Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KELOMPOK ENAM (PROGRAM

PEMBELAJARAN INDIVIDUAL ANAK


TUNAGRAHITA)
Tugas Mata Kuliah Perspektif Pendidikan dan Pembelajaran Anak
Tunagrahita yang Diampu Oleh: Dr. Rahmatrisilvia, M.Pd

Nama Anggota:
1. Aufa Rizka Andini (22003087)
2. Chesellia Puteri Anggeyani (22003090)
3. Dara Pra Ulianda (22003170)
4. Dwi Wahyuni nur Syakinah (22003015)
5. Nurul Hanafianita (22003126)
6. Siti Anke Ighawa Armia (22003149)
7. Raissa Nabila Putri (22003208)
8. Solahuddin Harahap (22003059)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN LUAR BIASA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta salawat
serta salam tak lupa pula kami haturkan kepada baginda kita nabi Muhammad
SAW karena berkat rahmat serta karunia dari beliau lah hingga akhirnya Makalah
yang kami susun ini dengan judul “Program Pembelajaran Individual Anak
Tunagrahita" dapat terselesaikan dengan baik dan juga dalam waktu yang tepat.

Namun terlepas dari itu kami selaku penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada teman-teman yang sudah berkontribusi saling membantu dalam
menyelesaikan makalah ini yang sudah mencurahkan pikirannya untuk menyusun
makalah ini. Makalah ini ditulis untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah
Persepektif Pendidikan dan Pembelajaran Anak Tunagrahita, kami sebagai penulis
merasa bahwa makalah ini masih terlepas dari kata sempurna masih banyak
kekurangannya baik dari segi materinya maupun yang lain jadi kami memohon
kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan makalah ini.

Padang, 06 Maret 2023


Penulis

Kelompok Enam

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
1.3 Manfaat....................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
2.1 Kesenjangan Antara Kurikulum Dengan Anak Tunagrahita......................................5
2.2 Perbedaan Individual Anak Tunagrahita...................................................................6
2.3 Prosedur Penyusunan PPI........................................................................................7
2.4 Kendala-Kendala Penyusunan PPI..........................................................................10
2.5 Praktik Penyusunan PPI Berdasarkan Asesmen......................................................11
BAB III...........................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................14
3.2 Saran......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia tidak ada yang ingin terlahir dengan gangguan pada
kehidupannya, manusia pasti menginginkan hidup yang sempurna layaknya
manusia lainnya. Namun, takdir dan kuasa Tuhan-lah yang menentukan bahwa
takdir dari setiap manusia itu berbeda-beda sesuai dengan jalan yang di tujukan
kepada kita. Mereka yang terlahir istimewa ini banyak sekali kategorinya seperti
yang akan kita bahas ialah tentang anak Tunagrahita dengan spesifikasi makalah
yakni Program Pembelajaran Individual Anak Tunagrahita.
Tunagrahita adalah suatu gangguan atau ketidakseimbangan fungsi
intelektual, secara signifikan kemampuan dan fungsi intelektual anak Tunagrahita
di bawah rata-rata manusia pada umumnya bersamaan dengan kurang
berkembangnya tingkah laku serta penyesuaian diri dan semua itu berlangsung
pada masa perkembangannya (Hallahan & Kauffman, 1988). Meskipun anak
dengan gangguan intelektual terbilang cukup sulit menerima pelajaran namun para
guru pendidikan khusus tetap harus memberikan anak Tunagrahita pendidikan
yang layak untuk dirinya dikarenakan setiap anak berhak mendapatkan pendidikan
yang layak meski memiliki beberapa hambatan. Di makalah ini telah disiapkan
materi tentang program pembelajaran individual anak Tunagrahita.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kesenjangan antara kurikulum dengan kebutuhan anak Tunagrahita?


2. Apa saja perbedaan individual anak Tunagrahita?
3. Bagaimana prosedur penyusunan PPI?
4. Apa saja kah kendala-kendala yang terjadi dalam penyusunan PPI?
5. Bagaimana praktek menyusun PPI berdasarkan Asesmen?

3
1.3 Manfaat

1. Mahasiswa ataupun semua orang dapat mengerti apa saja kesenjangan-


kesenjangan kurikulum yang ada dengan anak Tunagrahita di masyarakat
2. Mahasiswa menjadi paham perbedaan individual anak dengan hambatan
intelektual
3. Mendapatkan informasi mengenai prosedur penyusunan PPI
4. Mahasiswa dan semua orang dapat mengetahui kendala apa saja yang terjadi
pada saat penyusunan PPI
5. Dapat mempraktekkan penyusunan PPI berdasarkan asesmen.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesenjangan Antara Kurikulum Dengan Anak Tunagrahita

Pendidikan yang bermutu dalam praktik proses pembelajaran harus dapat


memenuhi seluruh kebutuhan peserta didik atau dengan kata lain proses
pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus merasa nyaman,
senang dan tidak tertekan ketika terlibat dalam kegiatan belajar. Pembelajaran
harus memberikan makna yang mendalam dan selalu diarahkan untuk tumbuh dan
kembang peserta didik, menghargai lingkungan sehingga potensinya dapat
berkembang secara optimal. Pendidikan yang bermutu secara fungsional
menghantarkan setiap individu untuk mampu bertahan, berdaya saing, secara
mandiri dalam kehidupan yang dinamis dan bergerak cepat penuh persaingan.
Layanan pembelajaran belum banyak menyentuh kepentingan peserta
didik sebagai pembelajar, layanan pembelajaran belum memenuhi kekhasan serta
keberagaman peserta didik, yang berkaitan dengan kondisi fisik, kecerdasan,
mental, emosional dan sosial. Padahal layanan pendidikan yang bermutu telah
menjadi komitmen, tanggung jawab dan kewajiban pemerintah sekaligus hak
setiap warga negara. Kondisi yang digambarkan tersebut menunjukkan adanya
kesenjangan antara tuntutan dunia pendidikan yang seharusnya di satu pihak
dengan kondisi yang sebenarnya terjadi pada tingkat layanan pendidikan dilain
pihak. Kesenjangan ini akan lebih nampak apabila dicermati layanan
pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mencakup
pembelajaran untuk anak tunagrahita.
Anak tunagrahita memerlukan layanan pembelajaran yang mengacu
kepada kebutuhan yang khusus karena mempunyai kemampuan atau keterbatasan
belajar dan adaptasi sosialnya berada di bawah rata-rata kemampuan anak pada
umumnya. Oleh karena itu identifikasi terhadap keadaan anak tunagrahita
dipandang perlu guna mengetahui keterbatasannya, dengan mengetahui

5
keterbatasan anak tunagrahita, guru harus dapat melakukan tindakan pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak (Louk & Sukoco, 2016).
Peran guru dalam upaya mencapai tujuan pendidikan sangatlah besar,
terutama kemampuan seorang guru membuat suatu perencanaan pembelajaran
yang sesuai dengan tuntunan kurikukulum. Di dalam bagian perencanaan
pembelajaran terdapat silabus dan RPP yang mengacu pada Standar Isi.
Perencanaan terdiri dari persiapan RPP, media dan sumber belajar, perangkat
penilaian, dan skenario pembelajaran. Namun terdapat kesenjangan antara
kurikulum yang dibuat dengan keadaan atau ketidakmampuan anak Tunagrahita,
hal ini bisa di lihat pada pelayanan pendidikan di lapangan pendidikan bagi anak
Tunagrahita yang berlangsung cenderung lebih bersifat klasial, dan proses
pembelajaran semata-mata hanya didasarkan atas pencapaian tujuan kurikulum
saja tanpa melihat kemampuan dan masalah yang dihadapi oleh anak, akibatnya
terdapat banyak persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan dasar mereka
yang tidak tersentuh. Sistem evaluasi yang bersifat nasional dan adanya mata
pelajaran yang tidak fungsional bagi anak tunagrahita, hal ini bertentangan dengan
kaidah dan prinsip pendidikan tunagrahita yaitu layanan pendidikan yang bertolak
dari kebutuhan individu.
Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah laur biasa, belum
mempertimbangkan kebutuhan, masalah dan kemampuan anak yang diperoleh
melalui kegiatan asesmen, tetapi hanya semata-mata berdasarkan kurikulum yang
ada sesuai materi yang ada, oleh sebab itu terjadi kesenjangan antara kurikulum
dan bahan yang diajarkan dengan kebutuhan siswa tunagrahita.

2.2 Perbedaan Individual Anak Tunagrahita

Menurut Baral & Das (2004) serta Sternberg, J, (2007) mereka


mengatakan bahwa kecerdasan ditentukan oleh budaya di mana ia berada,
kebanyakan orang dengan budaya Barat cenderung setuju dengan gagasan bahwa
kecerdasan adalah variabel kepribadian harus dikagumi, tetapi orang-orang dari
budaya Timur cenderung kurang menekankan pada kecerdasan individu dan lebih
memandang kecerdasan sebagai cerminan diri. Sedangkan anak dengan gangguan

6
intelektual memiliki IQ yang dibawah rata-rata, namun meski begitu terdapat
perbedaan individual terhadap intelektual anak Tunagrahita, yakni sebagai
berikut:
a.   Inter Individual
yaitu perbedaan kemampuan anak tunagrahita dengan temannya walaupun
mereka berada pada tingkat ketunagrahitaan yang sama. Contoh: kepada dua
orang anak tunagrahita ringan diberikan pelajaran berhitung dengan materi yang
sama, ternya kedua anak tunagrahita tersebut tidak sama kecepatannya dalam
menyelesaikan tugas, yang satu lebih cepat dari yang lain, sehingga ada perbedaan
materi berhitung bagi masing-masing anak tersebut.
b. Intra Individual
 yaitu perbedaan kemampuan pada diri anak tunagrahita itu sendiri. Dia
memiliki kemampuan dalam satu bidang tertentu, akan tetapi tidak mampu dalam
bidang yang lainnya. Contoh: seorang anak tunagrahita memiliki kemampuan
yang baik dalam membaca, akan tetapi dalam pelajaran berhitung ia mengalami
kesulitan yang tergolong berat.

2.3 Prosedur Penyusunan PPI

Program Pembelajaran Individual (PPI) juga dikenal dengan the


Individualized Education Program (IEP) diprakarsai oleh Samuel Gridley Howe
pada tahun 1871. IEP merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi
peserta didik dengan status ABK. Bentuk pembelajaran ini merupakan satu
rancangan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus agar mereka
mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya dengan lebih memfokuskan pada
kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. PPI sudah diperkenalkan di
Indonesia sejak tahun 1992.
PPI merupakan perjanjian tertulis antara orang tua siswa dan sekolah tentang
kebutuhan siswa dan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut (Hallahan dan Kauffaman, 1996). Pada dasarnya, kontrak
layanan yang akan diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK)

7
tersebut harus dirancang dan ditulis oleh multi-disciplinary team (MDT) yang
bekerja sama dengan orang tua dan peserta didik itu sendiri.
Sebelum menyusun Program Pembelajaran Individu (PPI) terlebih dahulu
guru atau pendamping belajar anak berkebutuhan khusus diwajibkan membuat
sebuah pengelompokan yang dapat mengklasifikasikan kebutuhan belajar masing-
masing peserta didiknya, setelah dibentuk klasifikasi kebutuhan belajar,
berikutnya tatalaksana penyusunan program pembelajaran individu. Smith dan
Luckasson (1995) membuat perencanaan PPI dalam tujuh langkah, yaitu:
1. Referral atau pengalihtanganan
Dalam PPI merupakan upaya untuk mengarahkan peserta didik ke dalam
layanan khusus. Proses pengarahan dimulai dengan meminta informasi/data yang
berkaitan dengan kondisi anak, kemampuan dan keterbatasannya, di sekolah.
Dengan demikian, guru dapat memutuskan apakah anak tersebut memerlukan
layanan khusus atau tidak. Referral bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti
orang tua, psikolog, atau dokter yang memberikan rujukan bahwa anak tersebut
membutuhkan layanan khusus.
2. Assessment
assessment adalah penilaian atau diagnosis untuk menentukan apakah
peserta didik tersebut mengalami hambatan atau ketunaan tertentu, urgensi
pendidikan khusus, dan jenis layanan yang dibutuhkan. Informasi yang
dikumpulkan menjadi acuan dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar
serta penyelenggaraan proses pembelajaran.
3. Identification
Yang merupakan proses untuk mengidentifikasi ketunaan peserta didik,
ketidakmampuan belajar, perilaku menyimpang, cacat penglihatan, cacat
pendengaran, kelemahan berbicara atau berbahasa, dan lain sebagainya.
4. Analysis of service
Analysis of service menunjukkan kebutuhan peserta didik dalam
menerima layanan pendidikan dan layanan yang terkait dengan pendidikan
tersebut. Sebagai contoh, seorang peserta didik membutuhkan terapi sesuai
dengan hambatan yang dimilikinya, alat bantu khusus agar dapat berpartisipasi

8
aktif dalam proses pembelajaran, atau kebutuhan instruksional di bidang
akademis, seperti membaca, menulis.
5. Placement.
Placement adalah penempatan yang sesuai dengan hasil analisis terhadap
kondisi peserta didik. Penempatan mencakup dua konsep utama yaitu; pertama,
penempatan di lingkungan yang lebih luas yaitu bahwa peserta didik harus
digabungkan dengan peserta didik reguler sebanyak mungkin dan dilibatkan
dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan Kedua, penempatan di sekolah yang
sesuai dalam arti bahwa sekolah yang terpisah juga tetap diperlukan.
6. Instructional decision making
Adalah tahap pengambilan keputusan mengenai instruksi khusus sesuai
rancangan PPI yang sudah dibuat. Sasaran dan tujuan dinyatakan dalam hal yang
lebih spesifik. Tujuan berfokus pada apa yang diharapkan dari ABK setelah
melengkapi program instruksional. Sasaran dan tujuan ditulis dengan jelas dan
terperinci.
7. Evaluasi program.
Pada langkah ini, dilakukan evaluasi pencapaian tujuan dalam rancangan
PPI. Peserta didik yang menerima PPI dapat dievaluasi sepanjang masa
pembelajaran di sekolah atau setiap tahunnya. Sejalan dengan tumbuh dan
belajarnya peserta didik, rancangan PPI yang dibuat untuk satu tahun bisa jadi
tidak berlaku lagi untuk tahun ajaran berikutnya.

Kemudian, Rochyadi dan Alimin (2005), membuat langkah-langkah


pengembangan rancangan PPI setidaknya memperhatikan dalam enam tahapan,
yaitu: 1) asesmen, 2) merumuskan tujuan jangka panjang, 3) merumuskan tujuan
jangka pendek, 4) menetapkan materi pembelajaran, 5) menetapkan kegiatan
pembelajaran, dan 6) evaluasi kemajuan hasil belajar. Kintano & Kirby, (1986),
dalam Abdurrahman (2009), menjelaskan lima langkah merumuskan PPI sebagai
berikut.
I. Membentuk tim PPI yang terdiri atas guru kelas, guru bidang studi, kepala
sekolah, guru pendamping khusus (GPK), orang tua, dan tenaga

9
profesional layanan terkait. Mereka berbagi keahlian khusus terkait
kebutuhan peserta didik. Tenaga ahli yang diperlukan antara lain dokter
(dokter anak atau dokter spesialis lainnya seperti spesialis mata, THT, dll),
terapis okupasi, atau fisik, penyedia pendidikan jasmani adaptif, psikolog,
atau terapis wicara. Tim PPI bertanggung jawab bersama membuat
rancangan PPI.
II. Membuat penilaian terkait kekuatan, kelemahan, minat, dan kebutuhan
anak didasarkan dari berbagai aspek perkembangan seperti aspek emosi,
sosialisasi, kognitif, bahasa, dan fisik/ motorik.
III. Mengembangkan tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
IV. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan.
V. Menentukan metode evaluasi yang dapat digunakan untuk menentukan
kemajuan anak.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat dibuat garis besar tahapan
yang harus dilalui untuk membuat rancangan PPI. Terdapat tiga tahap penting
yang harus dilakukan dalam membuat rancangan PPI, yaitu tahap perencanaan,
tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Pada masing-masing tahapan tersebut, ada
beberapa langkah yang dilakukan (Arriani et al., 2021).

2.4 Kendala-Kendala Penyusunan PPI

Guru dan siswa merupakan pelaku dari pembelajaran sehingga hambatan


pembelajaran dapat disebabkan oleh guru dan siswa. Namun bukan hanya guru
dan siswa, terdapat faktor dari luar yang dapat menghambat pembelajaran. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Dimyati dan Mudjiono (2006: 238) bahwa
hambatan dalam pembelajaran di kelompokkan menjadi dua, yaitu hambatan
karena faktor intern (faktor yang ada dalam diri siswa) dan hambatan karena
faktor ekstern (faktor dari luar diri siswa).
1. Hambatan karna factor intern
Dimyati dan Mudjiono (2006: 239-247) dalam Jalanidhi, (2017) berpendapat
bahwa hambatan karena faktor intern merupakan hambatan yang datang dari
dalam diri siswa, diantaranya hambatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Sikap terhadap belajar

10
2) Motivasi belajar
3) Konsentrasi belajar
4) Mengolah bahan belajar
5) Menyimpan perolehan hasil belajar
6) Menggali hasil belajar yang tersimpan
7) Kemampuan unjuk hasil belajar
8) Rasa percaya diri siswa
9) Intelegensi dan keberhasilan belajar
10) Kebiasaan belajar
11) Cita-cita siswa
2. Hambatan karna factor intern
Dimyati & Mudjiono (2006: 247-254) berpendapat bahwa hambatan
karena faktor ekstern antara lain:
1) Guru sebagai pembina siswa belajar
2) Prasarana dan sarana pembelajaran
3) Kebijakan penilaian
4) Lingkungan sosial siswa di sekolah
Selain itu ada kendala yang terjadi saat penyusunan PPI di sekolah formal,
Melihat dari kebutuhan anak didik serta tanggung jawab guru sebagai pendidik
ada kendala yang terjadi yakni :  beberapa guru yang mengajar di sekolah inklusi
menganggap PPI hanya memakan waktu dan merepotkan saja. Mereka juga
merasa tidak percaya diri untuk menyusunnya karena merasa kurang pengetahuan
tentang hal tersebut. Sebagai akibatnya, filosofi pendidikan inklusi yang
memperhitungkan kebutuhan unik dari siswa berkebutuhan khusus menjadi
kurang terpenuhi.
PPI sebagai Program Pengajaran Individual   sering tidak berkaitan dengan
kurikulum reguler, ‘mengisolasi’ siswa berkebutuhan khusus, memberi beban
kerja tambahan kepada guru, teacher oriented, dan hanya terpusat pada
keterampilan tertentu daripada aspek kognitif pembelajaran.

2.5 Praktik Penyusunan PPI Berdasarkan Asesmen

PPI dirancang untuk setiap individu anak berkebutuhan khusus untuk


mengembangkan potensi yang dimiliki. Setiap guru pendidikan luar biasa wajib

11
membuat program ini di awal pembelajaran disamping data asesmen, RPI dan
RPP.
Berikut terdapat contoh program pembelajaran individual:

Program Pembelajaran Individual Bina Diri

1. Identitas Siswa:
Nama :
Tempat, Tanggal Lahir :
Usia :
Kelas :
Sekolah :

Nama Orangtua :
Ayah :
Ibu :
Alamat :

2. Tujuan Jangka Panjang


a. Mencuci sepatu dengan benar dan mandiri
b. Rutin mencuci sepatu 1 kali dalam 1 minggu

3. Tujuan Jarak Pendek


a. Mempersiapkan peralatan mencuci sepatu dengan benar dan mandiri
b. Membuka dan menutup kran air dengan mandiri
c. Meletakkan ember di bawah kran air
d. Mencuci sepatu dengan tahapan yang benar
e. Membilas sepatu dengan bersih
f. Menjemur sepatu yang sudah dicuci

4. Program Pembelajaran Individual


Sekolah :

12
Kelas :
Nama siswa :
Kondisi :
Mata Pelajaran:

Mata Kemampuan Kondisi yang Indikator Evaluasi Tanggal


Pelajara siswa saat ini ditetapkan guru keberhasilan
n 3 2 1 0

Bina diri a. Sudah 1. Anak bisa 80%


mencuci mengenal mempersiapkan
sepatu peralatan peralatan yang
yang digunakan
digunakan untuk mencuci
untuk sepatu dengan
mencuci mandiri
sepatu 2. Anak bisa 80%
membuka dan
b. Sudah bisa menutup kran
mengambil air dengan
dan mandiri
memegang 3. Anak bisa 80%
peralatan meletakkan
yang ember dibawah
digunakan kran
untuk 4. Anak bisa 80%
mencuci mencuci sepatu
sepatu dengan tahapan
yang benar
5. Anak bisa 80%
membilas
sepatu dengan
bersih
6. Anak bisa 80%
menjemur
sepatu dengan
baik

Keterangan: Evaluasi (rubrik penilaian) :

13
Skor 3 (Bisa) : anak bisa melakukan kegiatan tersebut dengan baik dan benar
secara mandiri

Skor 2 (Bisa dengan sedikit bantuan) : anak bisa melakukan kegiatan tersebut
dengan benar dengan sedikit bantuan guru

Skor 1 (Bisa dengan banyak bantuan) : anak bisa melakukan kegiatan tersebut
dengan benar dengan banyak bantuan guru.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak tunagrahita memerlukan layanan pembelajaran yang mengacu


kepada kebutuhan yang khusus karena mempunyai kemampuan atau keterbatasan
belajar dan adaptasi sosialnya berada di bawah rata-rata kemampuan anak pada
umumnya. Oleh karena itu identifikasi terhadap keadaan anak tunagrahita
dipandang perlu guna mengetahui keterbatasannya, dengan mengetahui
keterbatasan anak tunagrahita, guru harus dapat melakukan tindakan pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak. Namun terdapat kesenjangan antara
kurikulum yang dibuat dengan keadaan atau ketidakmampuan anak Tunagrahita,
hal ini bisa di lihat pada pelayanan pendidikan di lapangan pendidikan bagi anak
Tunagrahita yang berlangsung cenderung lebih bersifat klasial, dan proses
pembelajaran semata-mata hanya didasarkan atas pencapaian tujuan kurikulum
saja tanpa melihat kemampuan dan masalah yang dihadapi oleh anak, akibatnya
terdapat banyak persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan dasar mereka
yang tidak tersentuh. Maka lahirlah PPI yang merupakan salah satu bentuk
layanan pendidikan bagi peserta didik dengan status ABK. Di dalam makalah
telah tersedia apa itu PPI dan kendala-kendala dalam penyusunan PPI.

3.2 Saran

Penulis sangat menyadari bahwa makalah yang penulis tulis terdapat


banyak kesalahan dan kekurangan sehingga penulis meminta Guru Dosen

14
Pengampu dan para pembaca makalah untuk memberikan kritikan dan saran, hal
ini akan dijadikan sebuah pelajaran bagi penulis untuk menulis makalah lainnya di
kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (2009). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:


PT Rineka Cipta.
Arriani, F., Hidayah, F., Pramesti, F., & Adawiyah, E. (2021). Panduan
Penyusunan Program Pembelajaran Individual. Pusat Kurikulum Dan
Perbukuan Badan Penelitian Dan Pengembangan Dan Perbukuan
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi, 174.
Baral, B. ., & Das, J. . (2004). Intelligence: What is indigenous to India and what
is shared? In R. J. Sternberg (Ed.). International Handbook of Intelligence,
270–301.
Hallahan, D. ., & Kauffman, J. . (1988). Exceptional Children: Introduction to
Special Education. New Jersy: Prentice Hall, Inc.
Jalanidhi, D. (2017). Identifikasi Hambatan-Hambatan Guru dalam Pembelajaran
di Sekolah Inklusif SD Negeri 2 Petir Piyungan, Bantul. WIDIA
ORTODIDAKTIKA, 6(8), 823–833.
Kintano, M., & Kirby, D. (1986). Gifted Education: A Comperehensive View.
Boston: Brown and Company.
Louk, M. J. H., & Sukoco, P. (2016). Pengembangan media audio visual dalam
pembelajaran keterampilan motorik kasar pada anak tunagrahita ringan.
Jurnal Keolahragaan, 4(1), 24. https://doi.org/10.21831/jk.v4i1.8132
Sternberg, J, R. (2007). Intelligence and culture. In S. Kitayama & D. Cohen

15
(Eds.). In Handbook of cultural psychology (pp. 547–568). New York, NY:
Guilford Press.

16

Anda mungkin juga menyukai