Anda di halaman 1dari 171

KEMENTRIAN PENDIDIKAN

DAN KEBUDAYAAN 2019


Marja, M.Pd

No. Kode: DAR2/Profesional/800/2/2019

PENDIDIKAN LUAR BIASA


MODUL 2
PENDIDIKAN ANAK DENGAN
HAMBATAN PENGLIHATAN

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2019


PENDALAMAN MATERI : PENDIDKAN KHUSUS (PKh)/
PENDIDIKAN LUAR BIASA (PLB)
MODUL 2
PENDIDIKAN BAGI ANAK DENGAN HAMBATAN PENGLIHATAN
KEGIATAN BELAJAR 1:
KONSEP DASAR HAMBATAN PENGLIHATAN

Penulis
Marja

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


Tahun 2019

Daftar Isi

Halaman 1 dari 23
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Modul 2 Pendalaman Materi Bidang Pendidikan
Khusus bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan untuk pendidikan dan latihan Pendidikan
Profesi Guru (PPG) dalam Jabatan tahun 2020.
Penulisan modul ini berorientasi pada program kegiatan Diklat yang bersifat daring
(online), untuk para mahasiswa dengan latar belakang pendidikan khusus atau pendidikan
luar biasa (PKh/PLB). Pada modul 2 ini berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak
dengan hambatan penglihatan (tunanetra), yang terdiri dari kegiatan belajar (KB) 1 sampai
dengan 4. Pada KB 1 dibahas tentang konsep dasar anak dengan hambatan penglihatan, KB 2
tentang Braille, KB 3 tentang oreintasi dan mobilitas, serta KB 4 tentang pembelajaran bagi
anak dengan hambatan penglihatan.
Di dalamn modul ini berisi paparan materi dari setiap kegiatan belajar (KB), yang
dilengkapi dengan paparan dalam bentuk power point (ppt), juga media pembelajaran
penyertanya berupa video animasi dan video pembelajaran. Hal tersebut diharapkan dapat
memberikan kemudahan bagi para mahasiswa peserta diklat yang mempelajari materi
pendalaman ini secara daring, mudah dalam membaca dan memahaminya, serta
mempraktikkannya secara mandiri.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang telah memberikan kesempatan menulis dan mengembangkan bahan diklat pendalaman
materi dalam bentuk modul ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Penyelia yang penuh dedikasi memberikan masukan arahan yang konstruktif, kepada Tim
Media yang telah membantu membuatkan media pembelajaran yang baik, juga kepada SLB
A Pembina Tingkat Nasional Jakarta yang telah berkenan dalam pembuatan video
pembelajaran. Tidak terlupakan untuk para penulis modul pendidikan khusus yang telah
memberikan masukan dan dorongan dalam penyelesaian penyusunan modul ini.
Penulis menyadari bahwa modul ini masih belum sempurna, kritik dan saran perlu
terus dilakukan untuk perbaikan dan penyempurnaannya. Semoga kebaikan dari semua pihak
diterima oleh Allah SWT, Tuhan YME sebagai amal jariyah, aamiin.
Jakarta, November 2019

Penulis

Halaman 2 dari 23
DAFTAR ISI

Cover ...................................................................... i
Kata pengantar ...................................................................... ii
Daftar Isi ...................................................................... iii

A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ......................................................................... 1
2. Relevansi ......................................................................... 1
3. Petunjuk Belajar ......................................................................... 2

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran .......................................................................... 2
2. Pokok-pokok Materi .......................................................................... 2
3. Uraian Materi .......................................................................... 3
a. Pengertian Hambatan Penglihatan ................................................. 3
b. Klasifikasi Hambatan Penglihatan ................................................. 4
c. Identifikasi dan Asesmen ............................................................. 6
d. Penyebab ketunanetraan ............................................................. 10
e. Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan ......................... 12
f. Kebutuhan Khusus Anak Dengan Hambatan penglihatan ............. 15
4. Contoh, non-contoh, ilustrasi .............................................................. 16
5. Forum Diskusi ........................................................................... 16

C. Penutup
1. Rangkuman ............................................................................ 17
2. Tes Formatif ............................................................................ 18
3. Daftar Pustaka ............................................................................ 19

Halaman 3 dari 23
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Penglihatan merupakan indera utama yang digunakan dalam mengakses informasi.
Kehilangan indera penglihatan berdampak kepada kehilangan informasi visual dalam
banyak sendi kehidupan, terlebih bagi individu yang mengalami kehilangan
penglihatan sejak lahir.
Hambatan penglihatan yang dialami individu berakibat kepada tiga keterbatasan
sebagaimana diungkapkan oleh Lowenveld (1973), meliputi keterbatan informasi
visual, keterbaatasan gerak dan berpindah tempat, serta keterbatasan dalam
komunikasi layaknya individu yang mampu melihat. Pada akhirnya hambatan
penglihatan yang dialami membawa berbagai permasalahan dalam kehidupan antara
lain masalah dalam akademik, masalah fisik motorik, serta masalah komunikasi dan
sosial.
Untuk mengetahui lebih jelas terkait individu yang mengalami hambatan penglihatan,
melalui modul KB-1 ini akan dibahas terkait konsep, karakteristik, klasifikasi, faktor
penyebab dan dampak dari hambatan penglihatan.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru yang sudah
mengajar di Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SKh/SLB), melalui PPG ini
diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional
dalam bidang ilmu pendidikan luar biasa, khususnya kajian hambatan penglihatan.
Setelah mengikuti PPG ini, diharapkan mahasiswa yang merupakan guru di SKh/SLB
dapat lebih profesional dalam memberikan pembelajaran di kelas dengan
memperhatikan karakteristik peserta didik hambatan penglihatan. Melalui modul ini
yang merupakan bahan belajar mandiri, diharapkan mahasiswa PPG dapat lebih
memperdalam dan menguasai konsep-konsep dasar secara teoritis maupun praktis
pada Kegiatan Belajar 1 (KB 1) terkait dengan konsep dasar hambatan penglihatan.

3. Petunjuk belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh mahasiswa PPG
untuk materi konsep dasar hambatan penglihatan. Sebaiknya modul ini dibaca dan
dipahami secara cermat dan berurutan mulai dari Kegiatan Belajar 1 sampai Kegiatan

Halaman 4 dari 23
Belajar 4, sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh terkait peserta didik
hambatan penglihatan.

B. Inti :
1. Capaian Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian hambatan penglihatan dengan baik.
b. Mahasiswa dapat menjelaskan klasifikasi hambatan penglihatan dengan baik.
c. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor penyebab hambatan penglihatan dengan
baik.
d. Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik hambatan penglihatan dengan
baik.
e. Mahasiswa dapat menjelaskan kebutuhan khusus hambatan penglihatan
dengan baik.

2. Pokok-Pokok Materi
Materi yang dapat dipelajari dalam kegiatan belajar 1 meliputi:
c. Pengertian Hambatan Penglihatan
1) Definisi Legal
2) Definisi Pendidikan
3) Definisi sosial
d. Klasifikasi Hambatan Penglihatan
1) Klasifikasi berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
2) Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Sisa Penglihatan
3) Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, yaitu hambatan penglihatanan:
4) Klasifikasi Berdasarkan lapangan penglihatan
5) Klasifikasi Pedagogis
c. Identifikasi dan Asesmen Anak dengan hambatan penglihatan
1) Pengertian
2) Gejala-gejala anak dengan hambatan Penglihatan
3) Asesmen Ketunanetraan
4) Asesmen Kemampuan Akademik Anak dengan hambatan penglihatan
5) Asesmen Keterampilan Anak dengan hambatan penglihatan
e. Penyebab ketunanetraan
1) Faktor Internal

Halaman 5 dari 23
2) Faktor Eksternal
f. Karakteristik Hambatan Penglihatan
1) Karakteristik Anak Hambatan Penglihatan dalam Aspek Akademis
2) Karakteristik Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Pribadi dan Sosial
3) Karakteristik Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Fisik/sensoris
danMotorik/perilaku
f. Kebutuhan Khusus Anak Dengan Hambatan penglihatan

3. UraianMateri :
a. Pengertian Anak dengan Hambatan Penglihatan
Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis
definisi sehubungan dengan hambatan penglihatan, yaitu: Definisi legal
(definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan), dan Definisi
edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan).
1) Definisi Legal
Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan
apakah seseorang berhak memperoleh akses terhadap keuntungan-
keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas bea
transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai
dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang
diukur, yaitu ketajaman penglihatan dan medan pandang.
2) Definisi Pendidikan
Hambatan penglihatan adalah seseorang yang tidak dapat mempergunakan
penglihatannya untuk pendidikan, sehingga untuk mengikuti pendidikan ia
memerlukan pendekatan dan metode khusus serta alat bantu yang
dimodifikasi ataupun alat bantu khusus yang tidak digunakan oleh anak-
anak awas.

3) Definisi sosial
Ditinjau dari segi sosial: hambatan penglihatan adalah orang yang tidak
sanggup ikut serta dalam kehidupan yang dilakukan orang-orang awas pada
umumnya, karena tidak berfungsinya alat penglihatan mereka tidak dapat

Halaman 6 dari 23
melakukan pekerjaan sebagaimana lazimnya yang dapat dilakukan oleh
orang awas (tanpa menggunakan alat bantu khusus).

b. Klasifikasi Hambatan Penglihatan


1) Klasifikasi berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
a) Hambatan penglihatan Ringan (defective Vision), yaitu mereka yang
mengalami kekurangan daya penglihatan ringan, seperti: rabun senja,
juling, dan myopia. Kelompok ini dapat mengikuti program pendidikan
biasa di sekolah-sekolah umum dan dapat menggunakan media tulisan
pika ukuran 12. Kelompok ini juga masih bisa melakukan
pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dengan baik.
b) Hambatan penglihatan Setengah Berat (partially sighted/low vision),
yaitu mereka yang kehilangan sebagian penglihatannya. Seseorang
dikatakan mempunyai penglihatan low vision atau kurang lihat apabila
hambatan penglihatanannya berhubungan dengan kemampuannya dalam
melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama dalam belajar
mempergunakan penglihatan dan alat bantu baik yang
direkomendasikan oleh dokter maupun bukan. Media huruf yang
dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat
bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan
oleh siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.
c) Hambatan penglihatan Berat (totally blind), yaitu mereka yang sama sekali
tidak dapat melihat atau kemampuan melihatnya sangat parah, sehingga
masyarakat pada umumnya menyebut buta. Seseorang dikatakan buta
apabila mempergunakan kemampuan perabaan dan penglihatan
sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya
mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan
memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.

2) Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Sisa Penglihatan


a) Buta Total (visus 0);
b) Masih memiliki persepsi cahaya (visus 2/200 sd 5/200);
c) Masih memiliki persepsi objek (visus 5/200 sd 10/200);
d) Kurang lihat (low vision/partially sighted).

Halaman 7 dari 23
Klasifikasi berdasarkan tingkat sisa penglihatan ini dapat
digunakan untuk menentukan bentuk pelayanan pendidikan.
3) Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, yaitu hambatan penglihatanan:
a) Sebelum lahir/prenatal (sejak dalam kandungan)hambatan penglihatanan
terjadi karena kasus ibu hamil yang mengidap penyakit menular ke janin,
saat hamil terjatuh, keracunan makanan atau obat, usaha
engguguran/aborsi, serangan virus misalnya taxoplasma, bisa juga karena
herediter.
b) Sekitar saat kelahiran (natal)
Hambatan penglihatanan bisa terjadi pada proses kelahiran yang sulit
sehingga menggunakan alat bantu kelahiran alat sedot, penjepit, dll,
proses kelahiran yang lama sehingga bayi terjepit dan kekurangan
oksigen, terkena virus GO Blenorhoe (sipilis) yang dialami oleh ibu.
c) Masa balita
d) Usia Sekolah;
e) Masa Remaja;
f) Masa Dewasa;
g) Masa Tua
Klasifikasi berdasarkan waktu terjadinya ini dapat digunakan untuk
menentukan bentuk penanganan psikologis hambatan penglihatanan.
4) Klasifikasi Berdasarkan lapangan penglihatan, terdapat tiga kategori yaitu
memiliki kemampuan melihat:
a) Ke samping (peripheral vision);
b) Ke tengah(central vision);
c) Cerobong (tunnel vision).
Klasifikasi ini menentukan bentuk pelayanan pendidikan.
5) Klasifikasi Pedagogis
a) Anak hambatan penglihatan pra sekolah, yaitu anak-anak yang berusia
kurang dari lima tahun atau disebut anak hambatan penglihatan balita;
b) Anak hambatan penglihatan usia sekolah, yaitu anak hambatan
penglihatan yang berusia enam tahun sampai delapan belas tahun
yang mengikuti pendidikan formal;
c) Anak hambatan penglihatan yang berusia lima belas tahun ke atas yang
sudah atau belum pernah mengikuti pendidikan formal serta

Halaman 8 dari 23
belum bekerja. Mereka memerlukan pendidikan untuk
mempersiapkan diri agar kelak dapat bekerja, mandiri, dan
bertanggungjawab.

c. Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Penglihatan

1). Pengertian
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau
menemukenali. Identifkasi anak dengan hambatan penglihatan
dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, dokter mata,
guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah
seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan atau hambatan dalam
penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak
normal).
Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah
penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih
ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak
tergolong anak yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra atau
bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang
dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya,
pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya.
Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila
diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter mata,
psikolog, neurolog, orthopedagog, dan lain-lain. Jadi tahap ini merupakan
tahap awal untuk menemukenali anak-anak yang diduga mengalami
gangguan penglihatan atau tunanetra.

a) Tujuan
Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap
tentang identitas dan data diri anak, orang tua, dan untuk mengetahui
apakah seorang anak mengalami kelainan penglihatan dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya yang awas/normal. Mengetahui
kemampuan melihat yang masih dimiliki, mengetahui penyebab
ketunanetraan, dll. Hasil identifikasi ini akan dijadikan data untuk

Halaman 9 dari 23
dilanjutkan pada asesmen yang akan dijadikan dasar untuk penyusunan
program pembelajaran sesuai dengan kondisi penglihatannya.

b) Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan hambatan penglihatan
adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar.
Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak
dengan hambatan penglihatan adalah:

• Anak-anak usia sekolah yang terdaftar di rumah sakit mata sebagai


pasien yang mengalami gangguan penglihatan;
• Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa
anaknya tergolong anak yang mengalami ketunanetraan sedangkan lokasi
SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat
belum/tidak mau menerimanya;
• Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena
factor akademik.
c) Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan
hambatan penglihatan atau bukan, dapat dilakukan oleh: Guru kelas,
Orang tua anak; dan/atau Tenaga professional terkait
d) Instrumen Identifikasi
Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu
mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat
identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam
rangka menemukenali anak dengan hambatan penglihatan antara lain
sebagai berikut :
• Instrumen untuk mengumpulkan data/Informasi riwayat
perkembangan anak;
• Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi orangtua anak/wali
siswa;
• Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi profil kondisi
penglihatan anak.

Halaman 10 dari 23
2) Gejala-gejala gangguan Penglihatan
a) Gejala-gejala buta total:
• Corena tidak bening atau tidak rata;
• Cairan aquous keruh;
• Pupil tidak dapat berakomodasi secara normal;
• Iris tidak bekerja sesuai fungsinya;
• Lensa keruh dan tidak berakomodasi;
• Cairan vitreous tidak bening;
• Retina macula tidak sensitive terhadap cahaya;
• Bola mata terlalu besar atau terlalu kecil;
• Bola mata tertutup selaput putih;
• Syaraf mata tidak berfungsi normal;
• Otot-otot mata tidak berakomodasi secara normal;
b) Gejala-gejala Low Vision:
• Mencoba “melihat” apa yang didekatnya;
• Mencoba “melihat titik-titik;
• Dapat bergerak dengan percaya diri di lingkungannya;
• Orientasi “visual” apabila ada rangsang cahaya pada mata;
• Menunjukkan respon terhadap adanya cahaya dan warna;
• Melirikkan mata terhadap sesuatu yang kena sinar;
• Dapat menghindari rintangan-rintangan/benda yang besar;
• Menunjukkan perhatian kepada sesuatu yang bergerak di sekitarnya;
• Terkejut apabila sesuatu yang mendekat secara tiba-tiba;
• Memiringkan kepala secara tidak wajar apabila melakukan suatu pekerjaan;
• Menunjukkan tanda-tanda dapat men gikuti sesuatu dengan penglihatannya;
• Menunjukkan respon terhadap bayangan;
• Mencari sesuatu yang jatuh menggunakan penglihatannya;
• Menjadi penuntun bagi teman-temannya yang buta (totally blind);
• Tertarik terhadap permainan yang menggunakan penglihatan;
• Menggerak-gerakkan tangannya apabila sedang berbicara

3) Asesmen Ketunanetraan

a. Pengukuran Visus

Halaman 11 dari 23
Pengukuran dilakukan menggunakan Snelen Chart. Visus normal
adalah 20/20 (ukuran feet), atau 6/6 (dengan satuan ukuran meter).
Penghitungan Visus menggunakan rumus: V = d/D.
(V = visus atau ketajaman penglihatan; d = jarak antara kartu Snelen dengan
mata orang yang sedang diukur; D = jarak baca penglihatan normal. )

4) Pengukuran lapang pandang/penglihatan


Lapang pandang yang normal adalah 1800 yang diukur dengan alat
campimetri.

5) Pengukuran Penglihatan Warna


Buta warna yang paling sering terjadi adalah terhadap warna merah dan atau
hijau dan biasanya menurun pada anak laki-laki. Meskipun demikian buta
warna juga terjadi terhadap warna biru dan atau kuning. Ada beberapa tes yang
dapat digunakan untuk melakukan tes buta warna akan tetapi tes yang paling
dikenal oleh guru adalah tes warna Ishihara. Tes ini berupa kartu yang berisi
bercak-bercak warna yang membentuk huruf atau angka tertentu yang
dilatarbelakangi oleh warna-warna lain sebagai pengecoh. Testee diminta
untuk melihat kartu tersebut dan mengatakan apakah melihat angka atau tidak
pada kartu tersebut. Jika testee mengalami buta warna maka dia tidak melihat
atau angka huruf pada kartu.
4) Asesmen Kemampuan Akademik Anak dengan hambatan penglihatan
Assesmen akademik adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak
dalam upaya mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap tentang kemampuan
akademik anak sebagai anggota keluarga. Apakah kemampuan akademik ini sesuai
dengan usianya? Hal ini akan membantu dan dipakai pertimbangan dalam
penempatan anak tersebut. Oleh karena itu asesmen ini dimaksudkan untuk
menentukan penempatan anak pada jenjang atau program pendidikan dan
rehabilitasi yang tepat, sehingga anak dapat mempelajari hal-hal baru
berdasarkan kemampuan akademik yang dimiliki. Asesmen ini dapat dilakukan
dengan tes dan non tes (wawancara).

5) Asesmen Keterampilan Anak dengan hambatan penglihatan


Asesmen keterampilan adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak dalam
upaya mendapatkan gambaran yang jelas tentang keterampilan yang

Halaman 12 dari 23
dimilikinya, terutama keterampilan kegiatan kehidupan sehari-hari. Asesmen ini
dimaksudkan agar guru dapat melatih dan mengajarkan keterampilan-
keterampilan baru berdasarkan keterampilan yang telah dimiliki dan dikuasai
serta untuk mengoreksi dan mengevaluasi keterampilan-keterampilan yang
dikembangkan anak sendiri secara kurang tepat. Asesmen ini dapat dilakukan
dengan tes perbuatan dan atau observasi.

d. Penyebab ketunanetraan
Penyebab ketunanetraan, secara umum meliputi faktor keturunan (internal) , penyakit,
dan kecelakaan (eksternal). Faktor keturunan (internal) merupakan faktor penyebab
tunanetra yang lebih sering terjadi dibanding faktor penyakit dan kecelakaan.

1) Faktor Internal
Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri
individu, yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar
terjadi pada pernikahan antar keluarga dekat dan pernikahan antar tunanetra.

2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor penyebab ketunanetraan yang berasal dari luar
diri individu. Penyebab ketunanetraan pada faktor ini dikelompokkan menjadi
beberapa yaitu
1. Penyakit Rubella dan Sypilis
Rubella atau campak Jerman merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus yang berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Apabila seorang ibu
hamil terkena virus rubella pada tri semester pertama ( 3 bulan pertama) maka
virus tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel pada janin dan merusak
jaringan pada mata, telinga atau organ lainnya. Sehingga kemungkinan besar
anaknya lahir tunanetra atau tunarungu atau berkelainan lainnya. Demikian
pula dengan penyakit Sypilis ( penyakit yang menyerang alat kelamin).
Apabila penyakit Sypilis terjadi pada ibu hamil maka penyakit tersebut akan
merambat ke dalam kandungan sehingga dapat menimbulkan kelainan pada
bayi yang dikandungnya atau bayi tersebut akan terkena penyakit ini sewaktu
dilahirkan.
2. Glaukoma

Halaman 13 dari 23
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan
pada bola mata. Hal itu terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna
pada saat pembentukan dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan
pembesaran pada bola mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air
mata, dan merasa silau.
3. Retinopati Diabetes
Retinopati Diabetes merupakan kondisi yang disebabkan oleh adanya
gangguan dalam suplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh
adanya penyakit diabetes. Diabetes merupakan gangguan metabolisme tubuh,
dimana tubuh tidak cukup memproduksi insulin sehingga produksi gula darah
meningkat dari ukuran normal. Gangguan metabolisme tubuh ini dapat
merusak mata, ginjal, susunan saraf, dan pembuluh darah.
4. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina, dan sering
ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai dari penyakit ini
antara lain menonjolnya bola mata, adanya bercak putih pada pupil, strabismus
(juling), glaukoma, mata sering merah atau penglihatnnya sering menurun.
5. Kekurangan Vitamin A
Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Dengan adanya
vitamin A tubuh lebih efisien dalam menyerap protein yang dikonsumsi.
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kerusakan pada mata, yaitu
kerusakan pada sensivisitas retina terhadap cahaya (rabun senja) dan terjadi
kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata,
disertai pengerasan dan penebalan epitel. Pada saat mata bergerak akan tampak
lipatan pada konjungtiva bulbi. Dalam keadaaan parah hal ini dapat merusak
retina, dan apabila keadaan ini tetapdibiarkan, akan terjadi ketunanetraan.
6. Terkena Zat Kimia
Disamping memberikan manfaat bagi manusia, zat-zat kimia juga dapat
merusak apabila penggunaannya tidak hati-hati. Zat kimia tertentu, seperti zat
etanol dan aseton apabila mengenai kornea akan mengakibatkan kering dan
terasa sakit. Selain itu zat-zat lain seperti asam sulfat dan asam tannat yang
mengenai kornea akan menimbulkan kerusakan, bahkan dapat menimbulkan
ketunanetraan.
7. Kecelakaan

Halaman 14 dari 23
Kecelakaan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan ketunanetraan
apabila kecelakaan tersebut mengenai mata atau saraf mata. Benturan keras
mengenai saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata dapat
menyebabkan gangguan penglihatan atau ketunanetraan.

e. Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan

1) Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan dalam Aspek Akademis


Hambatan penglihatanan secara langsung berpengaruh pada perkembangan
dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak
kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan
mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area
berikut ini:
a) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Ketika seorang anak mengalami hambatan penglihatanan, maka
pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang
masih berfungsi, khususnya perabaan dan penglihatan.
b) Kemampuan untuk berpindah tempat.
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam
suatu lingkungan, tetapi hambatan penglihatan mempunyai keterbatasan
dalam melakukan gerakan tersebut..
c) Interaksi dengan lingkungan.
Jika anda berada disuatu tempat yang ramai, anda dengan
segera bisa melihat ruangan dimana anda berada, melihat orang-orang
disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut.

Menurut Tillman & Obsorg (1969), ada beberapa perbedaan antara anak
hambatan penglihatan dan anak awas yaitu:
a) Anak-anak hambatan penglihatan menyimpan pengalaman-pengalaman
khusus seperti anak awas, tetapi pengalaman-pengalaman tersebut kurang
terintegrasikan.
b) Anak-anak hambatan penglihatan mendapat angka yang hampir sama
dengan anak awas dalam hal berhitung, informasi, dan kosa kata, tetapi
kurang baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan persamaan.

Halaman 15 dari 23
c) Kosa kata anak-anak hambatan penglihatan cenderung merupakan kata-
kata yang definitif, sedangkan anak awas menggunakan arti yang lebih
luas. Contoh, bagi anak hambatan penglihatan kata malam berarti gelap
atau hitam, sedangkan bagi anak awas, kata malam mempunyai makna
cukup luas, seperti malam penuh bintang atau malam yang indah dengan
sinar purnama.
Studi yang dilakukan oleh Kephart & Schwartz (1974), juga menunjukkan bahwa
anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan yang berat cenderung
memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan, dan mampu berprestasi,
seperti anak awas (ada beberapa tes standar). Di lain pihak kemampuan mereka
untuk memproses informasi sering berakhir dengan pengertian yang terpecah-
pecah atau kurang terintegrasi, sekalipun dalam konsep yang sederhana.
Dengan demikian, berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa hambatan
penglihatanan dapat mempengaruhi prestasi akademik para penyandangnya.
Disamping itu peningkatan dalam penggunaan media pembelajaran yang bersifat
auditory dan taktil dapat mengurangi hambatan dalam kegiatan akademik siswa.
Disamping itu penglihatan merupakan indra mereka yang dapat digunakan untuk
mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai bakat (talented) diantaranya dalam bidang musik.

2) Karakteristik Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Pribadi dan Sosial


Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada
anak hambatan penglihatan yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari kebutaannya adalah:
a) Curiga pada orang lain
Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan anak
hambatan penglihatan kurang mampu untuk berorientasi pada
lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu.
b) Mudah tersinggung
Pengalaman sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa dapat
mempengaruhi hambatan penglihatan sehingga tekanan-tekanan suara
tertentu atau singgungan fisik yang tidak sengaja dari orang lain dapat
menyinggung perasaannya.
c) Ketergantungan pada orang lain

Halaman 16 dari 23
Sifat ketergantungan pada orang lain mungkin saja terjadi pada hambatan
penglihatan. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena ia belum berusaha
sepenuhnya dalam mengatasi kesulitannya sehingga selalu mengharapkan
pertolongan orang lain.
3) Karakteristik Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Fisik/sensoris
danMotorik/perilaku
a) Aspek fisik dan sensoris
Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut
mengalami hambatan penglihatan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi
matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku. Pada
umumnya kondisi mata hambatan penglihatan dapat dengan jelas
dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang hambatan penglihatan
ada yang terlihat putih semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya
agak menonjol keluar. Namun ada juga yang secara anatomis matanya,
seperti orang awas sehingga kadang-kadang kita ragu kalau dia itu
seorang hambatan penglihatan, tetapi kalau ia sudah bergerak atau
berjalan akan tampak bahwa ia hambatan penglihatan.
Dalam segi indra, umumnya anak hambatan penglihatan menunjukkan
kepekaan yang lebih baik ada indra penglihatan dan perabaan dibanding
anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara otomatis,
melainkan melalui proses latihan.
b) Aspek Motorik/Perilaku
Ditinjau dari aspek motorik/perilaku anak hambatan penglihatan
menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
• Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Oleh karena keterbatasan penglihatannya anak hambatan penglihatan
tidak bebas bergerak, seperti halnya anak awas. Dalam melakukan
aktivitas motorik, seperti jalan, berlari atau melompat, cenderung
menampakkan gerakan yang kaku dan kurang fleksibel.
• Perilaku stereotipee (stereotypic behavior)
Sebagian anak hambatan penglihatan ada yang suka mengulang-
ngulang gerakan tertentu, seperti mengedip-ngedipkan atau
menggosok-gosok matanya. Perilaku seperti itu disebut perilaku

Halaman 17 dari 23
stereotipee (stereotypic behavior). Perilaku stereotipe lainnya adalah
menepuk-nepuk tangan.
Disamping karakteristik di atas, berikut ini akan dikemukakan aktivitas-
aktivitas motorik yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat (low
vision).
• Selalu melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda.
Dengan mengerutkan dahi, ia mencoba melihat benda yang ada di
sekitarnya.
• Memiringkan kepala apabila akan memulai melakukan suatu pekerjaan.
Hal itu dilakukan untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dan
daya lihatnya.
• Sisa penglihatannya mampu mengikuti gerak benda. Apabila ada benda
bergerak di depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda tersebut
sampai benda tersebut tidak tampak lagi.

f. Kebutuhan Khusus Anak Dengan Hambatan penglihatan


Untuk kepentingan pendidikan, pada dasarnya kebutuhan hambatan
penglihatan tidak berbeda dengan kebutuhan manuasia pada umumnya.
Meskipun demikian karena adanya kelainan atau kerusakan penglihatan,
para peserta didik hambatan penglihatan membutuhkan keterampilan
tertentu yang khusus untuk memenuhi kebutuhnnya.
Untuk memenuhi kebutuhan hambatan penglihatan, sekolah atau
lembaga pendidikan bagi hambatan penglihatan menyiapkan program
pemenuhan kebutuhan tersebut dalam bentuk kurikulum. Kurikulum
pendidikan di lembaga pendidikan hambatan penglihatan biasanya dapat
digolongkan sebagai bidang studi dan sebagai keterampilan khusus. Secara
keseluruhan program atau kurikulum tersebut memiliki tujuan;
1) Untuk meniadakan atau mengurangi hambatan belajar dan
perkembangan akibat hambatan penglihatanan,
2) Memberikan berbagai keterampilan agar mereka mampu berkompetisi
dengan orang lain pada umumnya, dan
3) Membantu mereka untuk memahami atau menyadari akan potensi dan
kemampuannya.

Halaman 18 dari 23
4. Contoh, Non-Contoh, Ilustrasi:
Cecep seorang anak dengan hambatan penglihatan di Bandung, ketika lahir ia
dalam kondisi mampu melihat secara normal, namun pada usia 2 tahun mengalami
sakit panas, sehingga kemampuan lihatnya menurun. Cecep masih mampu melihat
dengan mendekatkan objek ke hadapannya.
Saat ini Cecep berusia 4 tahun, sudah mulai masuk TK yang ada di sekitar
rumahnya. Di lembaga pendidikan tersebut, ia cenderung pendiam dan kurang
komunkatif.

5. Forum Diskusi:
Berdasarkan contoh kasus di atas, diskusikanlah dua permasalahan berikut ini:
1. Jelaskan jenis hambatan penglihatan yang dialami Cecep dan bagaimana
proses identifikasi kemampuan lihatnya?
2. Saran apa yang anda berikan untuk membantu orangtua Adi dalam
menentukan sekolah dan alat bantu yang tepat?

C. Penutup
1. Rangkuman
Dari berbagai uraian materi di atas, maka dapat dirangkum tentang konsep dasar
hambatan penglihatan/ketunanetraan sebagai berikut:
Hambatan penglihatan/ketunanetraan adalah suatu kondisi kehilangan
kemampuan melihat pada tingkat ringan (low vision) dan berat/buta total (blind),
sehingga ia tidak dapat melihat objek, oleh karena hal tersebut anak hambatan
penglihatan memerlukan layanan pendidikan khusus.
Akibat dari hambatan penglihatan/ketunanetraan tersebut maka peserta didik
hambatan penglihatan memiliki karakteristik dalam beberapa aspek, diantaranya;
akademik, pribadi dan sosial, serta Fisik/sensoris dan Motorik/perilaku.
Hambatan penglihatan juga dapat diklasifikasi berdasarkan: tingkat ketajaman
penglihatan, tingkat sisa penglihatan, waktu terjadinya hambatan
penglihatan/ketunanetraan, juga berdasarkan lapangan penglihatan, serta
klasifikasi pedagogis. Selanjutnya penyebab terjadinya hambatan penglihatan
terbagi menjadi 2 (dua) faktor yaitu internal dari dalam diri anak yang menjadi
penyebab terjadinya hambatan penglihatan/ketunanetraan, seperti genetik dan
penyakit yang diderita ibunya saat mengandung, dan faktor eksternal yaitu faktor-

Halaman 19 dari 23
faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan penglihatan/ketunanetraan dari
luar diri anak, seperti penyakit saat anak usia perkembangan dan kecelakaan yang
mengenai langsung syaraf penglihatannya.
Permasalahan yang ditimbulkan akibat dari hambatan
penglihatan/ketunanetraan adalah sebagaimana diungkapkan oleh Lowenfeld
(1973), yang meliputi tiga permasalahan, diantaranya: keterbatasan dalam
penerimaan informasi dan pengalaman baru, keterbatasan dalam komunikasi dan
sosial, serta keterbatan dalam berpindah tempat. Dari permasalahan-permasalahan
tersebut, tunanetra memerlukan program pendidikan khusus (Prosus), yaitu
Orientasi Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi (OMSK).

2. Tes Formatif
1) Keterbatasan akibat ketunanetraan diantaranya, kecuali …..
a) Memperoleh informasi dan pengalaman baru
b) Kosa kata yang rendah
c) Dalam interaksi dengan lingkungan
d) Dalam bergerak serta berpindah tempat
e) Taraf kecerdasan yang rendah
2) Penglihatan 20/200 artinya ……..
a) Orang awas dapat melihat 20 feet dan low vision dapat melihat 200 feet
b) Orang awas dapat melihat 200 feet dan low vision dapat melihat 20 feet
c) Orang awas dapat melihat 20 cm dan low vision dapat melihat 200 cm
d) Orang awas dapat melihat 200 cm dan low vision dapat melihat 20 cm
e) Orang tersebut digolongkan low vision
3) Seorang anak diduga ATN berdasarkan...
a) Tulisan tidak terbaca
b) Sering salah dalam membaca
c) Sering keliru dalam menulis
d) Sering kehilangan alat tulis
e) Kesalahan dalam menjawab

4) ATN membaca tulisan yang berukuran huruf besar, hal ini dapat menunjukkan...
a) Ketajaman penglihatan
b) Lantang pandang

Halaman 20 dari 23
c) Binokuler
d) Bidang pandang
e) Alat bantu belajar

5) Seorang anak mempunyai hambatan melihat dari jarak dekat. Anak ini menderita..
a) myopia
b) hypermetropi
c) astigmatism
d) presbiopi
e) rabun senja

6) Berikut ini yang tidak perlu dijadikan pertimbangan dalam asesmen gangguan
penglihatan untuk tujuan perencanaan layanan pendidikan adalah…
a) Fungsi indera penglihatan
b) Tingkat inteligensi/kemampuan kognitif
c) Kemampuan psikomotorik
d) Kemampuan finansial orangtua
e) Nilai raport anak

7) Yang tidak termasuk asesmen penglihatan adalah …..


a) Penglihatan periferal
b) Penglihatan visus
c) Penglihatan literal
d) Penglihatan fungsional
e) Penglihatan operasional

8) Karakterisitik anak dengan hambatan penglihatan dalam aspek pribadi dan sosial sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung berikut ini, kecuali ……
a) Curiga pada orang lain
b) Mudah tersinggung
c) Ketergantungan pada orang lain
d) Memliki rasa sosial yang tinggi
e) Prestasi belajar rendah

Halaman 21 dari 23
9) Perilaku Streotype yang disebabkan kurangnya rangsangan visual pada anak dengan
hambatan penglihatan disebut …….
a) Kontruktivism
b) Blindism
c) Orientasi mobilitas
d) Penglihatan visus
e) Verbalism
10) Di bawah ini pernyataan yang benar tentang hasil penelitian terhadap ATN adalah …..
a) Perkembangan emosional tidak terpengaruh oleh kekurangan kemampuan visual
b) Perkembangan kognitif terpengaruh oleh kekurangan kemampuan visual
c) Perkembangan sosial terpengaruh oleh kekurangan visual
d) Perkembangan bahasa terpengaruh oleh kekurangan kemampuan visual
e) Perkembangan motorik tidak terpengaruh kemampuan visual.

3. Daftar Pustaka
Friend, Marilyn (2005). Special Education: Contemporary Perspectives for
School Professionals. New York: Pearson Education Inc.

Geraldine T. School (Ed.) (1986), Foudations of Education for Blind and Visually
Handicapped Chindren and Youth, New York : American Foundation for
the Blind, Inc.

Mulyono Abdurahman dan Sudjadi (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum.


Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.
Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Berthold Lowenfeld (terjemahan), Frans Harsana S. (1979), Anak dengan


hambatan penglihatan di Sekolah
(penyesuaian hidup), Jakarta.

Samuel A. Kirk, J.J. Gallagher (1986). Education Exceptional Children. New


Jersey: Houghton Mifflin Company.

Halaman 22 dari 23
Halaman 23 dari 23
PENDALAMAN MATERI : PENDIDKAN KHUSUS (PKh)/

PENDIDIKAN LUAR BIASA (PLB)


MODUL 2

PENDIDIKAN BAGI ANAK DENGAN HAMBATAN


PENGLIHATAN

KEGIATAN BELAJAR 2:

PROGRAM KEBUTUHAN KHUSUS BRAILLE DAN


TEKNOLOGI ASISTIF

Penulis
Marja

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi


Tahun 2019

Halaman 1 dari 53
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Modul 2 Pendalaman Materi
Bidang Pendidikan Khusus bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan untuk
pendidikan dan latihan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Jabatan tahun 2020.
Penulisan modul ini berorientasi pada program kegiatan Diklat yang
bersifat daring (online), untuk para mahasiswa dengan latar belakang pendidikan
khusus atau pendidikan luar biasa (PKh/PLB). Pada modul 2 ini berkaitan dengan
layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), yang
terdiri dari kegiatan belajar (KB) 1 sampai dengan 4. Pada KB 1 dibahas tentang
konsep dasar anak dengan hambatan penglihatan, KB 2 tentang Braille, KB 3
tentang oreintasi dan mobilitas, serta KB 4 tentang pembelajaran bagi anak
dengan hambatan penglihatan.
Di dalamn modul ini berisi paparan materi dari setiap kegiatan belajar
(KB), yang dilengkapi dengan paparan dalam bentuk power point (ppt), juga
media pembelajaran penyertanya berupa video animasi dan video pembelajaran.
Hal tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi para mahasiswa
peserta diklat yang mempelajari materi pendalaman ini secara daring, mudah
dalam membaca dan memahaminya, serta mempraktikkannya secara mandiri.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah memberikan kesempatan menulis dan mengembangkan
bahan diklat pendalaman materi dalam bentuk modul ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Penyelia yang penuh dedikasi memberikan
masukan arahan yang konstruktif, kepada Tim Media yang telah membantu
membuatkan media pembelajaran yang baik, juga kepada SLB A Pembina
Tingkat Nasional Jakarta yang telah berkenan dalam pembuatan video
pembelajaran. Tidak terlupakan untuk para penulis modul pendidikan khusus yang
telah memberikan masukan dan dorongan dalam penyelesaian penyusunan modul
ini.

Halaman 2 dari 53
Penulis menyadari bahwa modul ini masih belum sempurna, kritik dan
saran perlu terus dilakukan untuk perbaikan dan penyempurnaannya. Semoga
kebaikan dari semua pihak diterima oleh Allah SWT, Tuhan YME sebagai amal
jariyah, aamiin.
Jakarta, November 2019

Penulis

Halaman 3 dari 53
DAFTAR ISI

Cover ........................................................ i
Kata pengantar ........................................................ ii
Daftar Isi ........................................................ iii

A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ..................................................... 1
2. Relevansi ..................................................... 1
3. Petunjuk Belajar ..................................................... 2

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran ..................................................... 3
2. Pokok-pokok Materi ..................................................... 4
3. Uraian Materi ...................................................... 5
a. Sejarah Perkembangan Sistem
Tulisan bagi Tunanetra ......................................... 5
b. Braille Dasar ..................................................... 16
c. Penggunaan Alat-alat Tulis Braille
dan Format Braille ...................................................... 35
d. Braille Matematika ...................................................... 39
e. Braille Arab ...................................................... 41
4. Contoh, non-contoh, ilustrasi .......................................... 45
5. Forum Diskusi ...................................................... 45

C. Penutup
1. Rangkuman ..................................................... 47
2. Tes Formatif ..................................................... 47
3. Daftar Pustaka ..................................................... 49

Halaman 4 dari 53
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Kemampuan komunikasi dan menerima informasi bagi anak dengan
hambatan penglihatan menjadi hal yang cukup serius dengan
terhambatnya/hilangnya kemampuan melihat. Beberapa informasi visual
bagi anak dengan hambatan penglihatan dapat diakses dengan baik, ketika
mereka memiliki kemampuan kompensatoris dalam hal ini berkaitan
dengan kemampuan membaca dan menulis Braille.
Kemampuan yang berkaitan dengan membaca dan menulis Braille, secara
terencana diajarkan kepada anak dengan hambatan penglihatan dari tingkat
dasar sampai tingkat perkembangan lanjutan. Hal itu juga berkaitan
dengan pengembangan kemampuan akademis di sekolahnya, agar mereka
mampu mengikuti dengan baik juga bisa mengakses informasi secara cepat
dan luas.
Untuk mengetahui lebih jelas terkait dengan Braille, melalui modul KB-2
ini akan dibahas terkait sejarah, Braille dasar (Bahasa Indonesia),
matematika, IPA, Braille Arab, dan teknologi asistif bagi tunanetra.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru yang
sudah mengajar di Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SKh/SLB), melalui PPG
ini diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional dalam bidang ilmu pendidikan khusus/pendidikan luar biasa,
khususnya kajian hambatan penglihatan. Setelah mengikuti PPG ini, diharapkan
mahasiswa yang merupakan guru di SKh/SLB dapat lebih profesional dalam
memberikan pembelajaran di kelas dengan memperhatikan karakteristik peserta
didik hambatan penglihatan. Melalui modul ini yang merupakan bahan belajar
mandiri, diharapkan mahasiswa PPG dapat lebih memperdalam dan menguasai
konsep-konsep dasar secara teoritis maupun praktis, kemampuan membaca dan
menulis Braille, pada Kegiatan Belajar 2 terkait dengan Program khusus Braille
dan teknologi asistif.

Halaman 5 dari 53
3. Petunjuk belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh mahasiswa
PPG untuk materi Program khusus Braille dan teknologi asistif.. Sebaiknya
modul ini dibaca dan dipahami secara cermat dan berurutan mulai dari Kegiatan
Belajar 1 sampai Kegiatan Belajar 4, sehingga diperoleh pemahaman yang
menyeluruh terkait peserta didik hambatan penglihatan dan pendidikannya.

Halaman 6 dari 53
B. Inti :
1. Capaian Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah Braille dengan baik.
b. Mahasiswa dapat membaca dan menulis Braille Bahasa Indonesia dengan
baik.
c. Mahasiswa dapat membaca dan menulis Braille Matematika dengan baik.
d. Mahasiswa dapat membaca dan menulis Braille Arab dengan baik.
e. Mahasiswa dapat membaca dan menulis Braille dengan menggunakan
perangkat komputer pendukung dengan baik

2. Pokok-Pokok Materi
Materi yang dapat dipelajari dalam kegiatan belajar 2 meliputi:
f. Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra
1) Sejarah Awal Pengembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra
2) Sejarah Perkembangan Sistem Braile
3) Perkembangan Braille di Zaman Modern
4) Perkembangan Alat Tulis Braille
g. Braille Dasar
1) Abjad Braille
2) Tanda Komposisi
3) Tanda Baca
4) Tanda Angka
h. Penggunaan Alat-alat Tulis Braille dan Format Braille
1) Penggunaan Reglet
2) Penggunaan Mesin Tik Braille
3) Penggunaan Printer Braille
4) Format Braille
5) Tabel
6) Gambar
7) Catatan Kaki
8) Garis Tutup
9) Surat Resmi Braille
i. Braille Matematika
1) Bilangan Besar, Desimal, dan Pecahan

Halaman 7 dari 53
2) Tanda-tanda Operasi Hitung
3) Tanda-tanda Ukuran
4) Penggunaan Komputer untuk Data Matematika
j. Braille Arab
1) Mengenal Huruf Arab Braille (Hijaiyyah)
2) Huruf Lanjutan
3) Tanda-tanda Harkat & Tanda Baca
4) Tata cara Penulisan Huruf Arab Braille

3. Uraian Materi:
A. Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra
1. Sejarah Awal Pengembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra
Sebelum memulai pemahaman tentang sistem tulisan Braille dan
menggunakanya, penting bagi mahasiswa untuk mengetahui sejarah
pengembangan sistem tulisan bagi orang tunanetra. Terdapat sejumlah
dokumentasi yang membuktikan bahwa sejak tahun 1640 para inovator dan
pendidik telah berupaya menciptakan materi yang akan memungkinkan orang
tunanetra terlibat dalam kegiatan membaca dan menulis. Bahkan pemahaman
mendasar tentang latar belakang historis ini pun penting untuk alasan berikut ini:
terdapat cukup banyak inovasi yang telah dan sedang dikembangkan akir-akhir
ini, pada umumnya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, yang dapat
berdampak besar terhadap cara tunanetra membaca dan menulis. Apakah
pengembangan inovasi tersebut akan mengakibatkan berakhirnya penggunaan
Braille sebagai salah satu cara utama untuk memproduksi bahan-bahan cetakan
bagi tunanetra? Argumennya adalah bahwa pemahaman tentang perkembangan
media cetak, yang mengarah pada penggunaan Braille saat ini, merupakan kata
kunci untuk mengikuti dan memahami diskusi yang ada dewasa ini tentang
bagaimana bahan-bahan cetakan akan diproduksi pada abad ke-21.

Metode Awal
Usaha untuk menciptakan tulisan bagi orang tunanetra telah dimulai sekurang-
kurangnya 16 abad yang lalu, ketika seorang cendekiawan tunanetra Jepang pada
abad ke-4 mengukir huruf-huruf pada kayu dan mendirikan sebuah perpustakaan
yang cukup besar untuk menghimpun karya-karyanya itu (Tarsidi, 1988). Pada

Halaman 8 dari 53
tahun 1676, seorang tunanetra Katolik di Roma, Italia, bernama Francesco Terzi,
menciptakan sejenis “abjad tali”. Dia membentuk huruf-huruf dari berbagai
variasi simpul tali, dan menggunakan abjad talinya itu untuk mentranskripsikan
kitab Injil. Seorang musisi wanita tunanetra dari Wina, Maria Theresa von
Paradis, (lahir tahun 1741), belajar membaca dengan alat bantu berupa paku-paku
yang ditancapkan pada sebuah bantalan untuk membentuk huruf-huruf. Dengan
cara ini dia berhasil belajar membaca partitur musik (Andersen, 2000).
Hingga awal abad ke-19, orang masih memusatkan usaha membantu tunanetra
belajar membaca dan menulis itu dengan memperbesar huruf Latin atau Romawi
dengan menggunakan berbagai macam cara dan bahan seperti tali-temali,
potongan-potongan logam, kayu, kulit, lilin atau kertas, tetapi hasilnya masih jauh
dari memuaskan. Kesemua cara ini memiliki ciri yang sama, yaitu memerlukan
bahan yang sulit dibuat atau sukar dimanipulasi sehingga tidak cocok sebagai
media komunikasi. Misalnya, orang tidak mungkin membawa begitu banyak
balok kayu untuk memungkinkanya berkomunikasi secara tertulis dengan orang
lain secara efisien. Kriteria standar yang sangat penting bagi suatu bentuk
teknologi komunikasi adalah mudah diproduksi, permanen, mudah difahami, dan
mudah dibawa-bawa (portable).

Hauy
Salah satu upaya yang paling terkonsentrasi untuk menciptakan sistem tulisan
bagi tunanetra terjadi di Paris pada tahun 1780-an. Valentin Hauy (1745-1822),
pendiri dan direktur sekolah pertama bagi tunanetra di dunia, menghasilkan
huruf-huruf timbul pada kertas tebal yang dapat diraba dan dibaca dengan ujung-
ujung jari. Untuk menghasilkan huruf timbul tersebut, pertama-tama dia membuat
cetakan huruf dari logam. Huruf-huruf pada cetakan tersebut dibentuk terbalik.
Kertas tebal yang sudah dibasahi diletakkan di atas cetakan tersebut. Sebuah
"pena" yang bermata bundar dari logam digoreskan di atasnya mengikuti bentuk
huruf pada cetakan di bawahnya. Setelah kertas itu dikeringkan, kini huruf-huruf
timbul telah terbentuk pada kertas tersebut. Buku pertama menggunakan teknik
penimbulan huruf ini diterbitkan pada tahun 1787 yang berisikan essay tentang
pendidikan bagi anak dengan hambatan penglihatan (Shodorsmall, 2000).
Gagasan untuk menghasilkan huruf yang ditimbulkan ini muncul secara
kebetulan. Franqois Lesueur, seorang anak laki-laki tunanetra, adalah murid

Halaman 9 dari 53
pertama Hauy sebelum sekolahnya itu berdiri secara resmi. Pada suatu hari,
ketika Lesueur sedang membereskan kertas di meja kerja Hauy, jarinya
merasakan ada sebuah tonjolan pada salah satu lembaran kertas itu: kesan sebuah
huruf pada sisi belakang sebuah kartu ucapan bela sungkawa yang baru dicetak.
Lesueur bertanya kepada gurunya itu apakah kesan yang dirasakan oleh jarinya
itu adalah huruf “o”. Memang benar, dan kejadian ini memunculkan pemahaman
pada diri Hauy bahwa jika jari-jari tangan seorang anak dengan hambatan
penglihatan dapat mendeteksi sebuah huruf yang sedikit timbul akibat tekanan
yang tidak disengaja, maka jari-jari itu pasti dapat mengenali huruf-huruf dengan
baik apabila huruf-huruf itu sengaja dibuat timbul. Hauy menguji pemikirannya
tersebut dengan mencetak berlembar-lembar teks dengan huruf yang ditimbulkan.
Lesueur ternyata dapat membedakan setiap huruf, dan dalam waktu enam bulan
dia mampu membaca dan menulis. Kemampuan Lesueur tersebut dipertunjukkan
di hadapan para anggota the Royal Academy of Sciences demi memperoleh
persetujuan mereka dan izin dari pemerintah Perancis untuk membuka sekolah
bagi anak dengan hambatan penglihatan. Pada tahun 1784 sekolah tersebut resmi
berdiri dengan nama L’Institute Nationale des Jeunes Aveugles, dengan 14 orang
murid pertama, dengan Hauy sebagai kepala sekolah dan Franqois Lesueur
sebagai asistennya (Koestler, 1984).
Salah satu tujuan Hauy dalam mendidik anak-anak dengan hambatan
penglihatan adalah sedapat mungkin mempertahankan kesamaan antara cara
belajar anak dengan hambatan penglihatan dan anak awas. Teorinya adalah
bahwa media dan teknologi pendidikan bagi siswa tunanetra seyogyanya tidak
menyimpang secara signifikan dari media dan teknologi pendidikan yang
dipergunakan oleh siswa-siswa yang awas.
Sistem tulisan timbul yang digagas oleh Hauy itu mengalami sejumlah
modifikasi, sebagian oleh Hauy sendiri dan sebagian lainnya oleh orang lain.

Moon
Kurun waktu dari tahun 1825 hingga 1835 tampaknya merupakan masa di
mana terdapat kegiatan yang universal untuk menciptakan dan mencetak tulisan
timbul. di Inggris ada Gall, Alston, Moon, Fry, Frere, dan Lucas, yang masing-
masing memiliki keunikan tersendiri dan mempunyai pendukungnya masing-
masing, dan di Amerika ada Friedlander, Howe dan lain-lain (Shodorsmall,

Halaman 10 dari 53
2000). Tampaknya yang paling menonjol di antara mereka adalah Dr. William
Moon, seorang tunanetra Inggris. Pada tahun 1845 dia menciptakan sebuah sistem
huruf timbul yang menggunakan abjad Romawi, dengan beberapa huruf
dimodifikasi atau disederhanakan. Prinsip yang digunakannya adalah bahwa
sedapat mungkin huruf timbul itu sama dengan bentuk aslinya (abjad Romawi)
tetapi harus mudah dikenali dengan perabaan. Dalam abjad Moon ini, , 8 huruf
tetap sama, 14 huruf disederhanakan, dan 5 huruf dirancang sama sekali baru.
Sistem Moon ini dipergunakan oleh relatif banyak orang tunanetra untuk jangka
waktu yang cukup panjang. Abjad ini masih dipergunakan hingga awal abad ke-
20.

Gambar Abjad Moon (dikutip dari http://www.brl.org/)

Pada dasarnya sistem Hauy dan sistem Moon ini adalah tulisan awas
(tulisan biasa) yang diperbesar dan dibuat timbul pada kertas. Keuntungan
utama menggunakan abjad ini adalah bahwa tulisan ini dapat dibaca oleh
orang tunanetra maupun orang awas. Kelemahannya adalah orang tunanetra
tidak dapat membacanya dengan cepat sehingga sangat tidak efisien sebagai
media penyerap informasi.

Barbier
Yang mendasari sistem tulisan Braille yang kita kenal sekarang ini
adalah sistem titik-titik timbul yang diciptakan oleh Charles Barbier, seorang
perwira artileri Napoleon. Pada tahun 1815, dalam peperangan Napoleon,
Barbier menciptakan tulisan sandi yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis
timbul yang dinamakannya "tulisan malam". Dia menggunakan tulisan ini

Halaman 11 dari 53
untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah militer dalam
kegelapan malam dengan merabanya melalui ujung-ujung jari. Sistem ini
didasarkan atas metodologi fonetik (atau sonografi). Setiap kata diuraikan
menjadi bunyi, dan setiap bunyi dilambangkan dengan konfigurasi titik-titik
dan garis-garis tertentu (Davidson, 2005; Shodorsmall, 2000). Barbier
menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertical yang masing-
masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut dibuat dengan menusukkan
sebuah alat tajam pada kertas tebal yang diletakkan pada sebuah cetakan dari
logam. Alat yang inovatif ini masih bertahan hingga kini sebagai alat tulis
Braille yang paling banyak dipergunakan. Di Indonesia, alat ini disebut “pen”
dan “reglet”.
Sistem Barbier tidak dimaksudkan sebagai alat pendidikan bagi anak dengan
hambatan penglihatan ataupun untuk memungkinkan orang tunanetra
berkomunikasi secara tertulis. Barbier adalah seorang insinyur di angkatan darat
Perancis. Motivasinya adalah menciptakan metode untuk mengirim pesan rahasia
yang dapat dibaca dalam kegelapan malam (dengan perabaan); dan oleh karena itu
sistem Barbier ini disebut “tulisan malam”. Namun demikian, Barbier tertarik
untuk memperkenalkannya kepada orang tunanetra; maka pada tahun 1820 dia
mempresentasikan mnetodenya itu di lembaga pendidikan tunanetra di Paris. Pada
awalnya anak-anak dengan hambatan penglihatan di lembaga itu sangat senang
dengan tulisan ini: lebih mudah dikenali dengan ujung-ujung jari. Tetapi
kemudian mereka menyadari bahwa sistem tulisan malam ini memiliki banyak
kekurangan. Sistem ini tidak membedakan huruf kapital dan huruf kecil, tidak ada
tanda-tanda untuk angka ataupun tanda-tanda baca; membutuhkan banyak ruang,
dan sulit dipelajari. Tulisan malam mungkin efektif untuk menuliskan pesan-pesan
singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”, tetapi tidak bagus
dipergunakan untuk membuat buku bagi tunanetra (Davidson, 2005).

2. Sejarah Perkembangan Sistem Braile


Sistem tulisan bagi tunanetra yang kita kenal sekarang ini diberi nama
penciptanya, yaitu Braille. Louis Braille lahir pada tanggal 4 Januari 1809 di
Coupvray, sebuah kota kecil sekitar 40 kilometer di sebelah timur Paris. Dia
menjadi buta pada usia tiga tahun sebagai akibat kecelakaan dengan pisau milik
ayahnya yang seorang pembuat pelana kuda. Ayahnya menyekolahkannya di

Halaman 12 dari 53
sekolah biasa di daerah tempat tinggalnya, dan dia membantunya dengan
membuat tulisan yang dapat dibacanya, yaitu dengan membentuknya dari paku-
paku yang ditancapkan pada papan kayu. Pada usia sepuluh tahun, Louis
dimasukkan ke sekolah khusus bagi tunanetra di paris, di mana dia bertemu
dengan Kapten Charles Barbier dan diperkenalkan dengan sistem tulisan Barbier.
Louis Braille menyadari bahwa sistem Barbier kurang baik sebagai media
baca/tulis, tetapi dia sangat menyukai gagasan penggunaan titik-titik untuk tulisan
bagi tunanetra; maka setelah pertemuannya dengan Charles Barbier, Louis Braille
selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan
garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi
tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan tulisannya itu kepada
kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya
lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk
hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi
tulisannya itu. Di samping itu, dia mengurangi jumlah titiknya dari dua belas
hanya menjadi enam saja. Akan tetapi modifikasi yang paling penting adalah
bahwa sistem tulisannya itu tidak didasarkan atas metodologi sonografi melainkan
didasarkan atas sistem abjad Latin dalam bentuk yang berbeda – menggunakan
titik-titik timbul dengan konfigurasi yang unik.
Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, setelah
bereksperimen dengan inovasinya itu selama lebih dari sepuluh tahun,
sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille
hanya menggunakan enam titik “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya itu –
tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan (lihat gambar 1.2). Untuk memudahkan
pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke
bawah), dan tiga titik di sebelah kanan diberi nomor 4, 5 dan 6. Satu atau beberapa
dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga dapat membentuk sebanyak 63
macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda
baca, matematika, musik, dan lain-lain.
Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan sistem tulisannya itu, dia
diangkat sebagai guru di L'Institute Nationale des Jeunes Aveugles (Lembaga
Nasional untuk Anak-anak dengan hambatan penglihatan) di Paris yang didirikan
oleh Valentin Hauy pada tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat

Halaman 13 dari 53
disukai. Dia dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata bahasa
Perancis, dan musik.
Ketika sistem tulisannya sudah cukup sempurna, dia mulai mencobakannya
kepada murid-muridnya. Mereka menyambutnya dengan gembira dan sangat
merasakan manfaatnya. Meskipun Dr. Pignier, kepala lembaga itu, mengizinkan
sistem tulisan itu dipergunakan dalam pengajaran di sekolah itu, namun tak
seorang pun di luar lembaga itu mau menerima keberadaannya. Karena mereka
belum pernah melihat betapa baiknya sistem tulisan ini, mengajarkan tulisan yang
berbeda dari tulisan umum dianggapnya sebagai sesuatu yang amat ganjil dan
tidak masuk akal. Karena badan pembina lembaga itu pun tidak menyukai sistem
tulisan ini, maka mereka memecat Dr. Pignier ketika ia merencanakan menyalin
buku sejarah ke dalam braille.
Kepala yang baru, Dr. Dufau tidak menyetujui sistem Braile itu dan melarang
keras penggunaannya. Karena murid-muridnya telah mengetahui kebaikan tulisan
Braille itu, mereka tidak kurang kecewanya daripada Braille sendiri. Maka mereka
meminta Braille mengajarnya secara diam-diam. Demi murid-muridnya itu, dia
setuju mengajar mereka di luar jam sekolah. Karena guru dan semua murid di
dalam kelas itu tunanetra, maka tidaklah mustahil bagi guru guru lain untuk
mengintip kelas rahasia itu dan memperhatikannya tanpa mereka ketahui. Kepala
staf pengajar, Dr. Guadet, sering mengamati pelajaran rahasia ini dengan penuh
minat dan simpati. Setelah melihat betapa cepatnya murid-murid itu memahami
pengajaran yang disampaikan oleh Braille itu, maka Dr. Guadet mengimbau
kepada Dr. Dufau agar mengubah pendiriannya dan mengizinkan penggunaan
sistem tulisan itu. Akhirnya Dr. Dufau setuju, dan menjelang tahun 1847 Louis
Braille kembali dapat mengajarkan ciptaannya itu secara leluasa.
Pada tahun 1851 Dr. Dufau mengajukan ciptaan Braille itu kepada Pemerintah
Perancis dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan
pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa. Tetapi, hingga dia meninggal
pada tanggal 6 Januari 1852, tanda jasa ataupun pengakuan resmi terhadap
ciptaannya itu tidak pernah diterimanya. Baru beberapa bulan setelah wafatnya,
ciptaan Louis Braille itu diakui secara resmi di L'Institute Nationale des Jeunes
Aveugles, dan beberapa tahun kemudian dipergunakan di beberapa sekolah
tunanetra di negara-negara lain. Baru menjelang akhir abad ke-19 sistem tulisan
ini diterima secara universal dengan nama tulisan "Braille".

Halaman 14 dari 53
Tulisan Braile dibawa ke Indonesia oleh orang Belanda pada awal abad ke-20.
Braille diajarkan di Blinden Instituut, sebuah lembaga tunanetra yang didirikan
oleh Dr. Westhoff pada tahun 1901 di Bandung. Setelah melalui beberapa kali
perubahan nama, kini lembaga tersebut bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata
Guna yang berada di bawah Departemen Sosial RI. Di kompleks yang sama
berdiri juga Sekolah Luar Biasa bagi Tunanetra yang secara administratif berada
di bawah Departemen Pendidikan Nasional RI.
Kini, sudah lebih dari satu setengah abad sejak tulisan braille itu tercipta
dengan sempurna, namun kemajuan teknologi masih belum dapat menyaingi
kehebatannya. Bahkan akhir-akhir ini tulisan braille sekali lagi telah membuktikan
kesempurnaannya karena dengan mudah dapat diadaptasikan untuk keperluan
transmisi informasi dari alat-alat pengolah data seperti komputer dan bahkan juga
telepon seluler.
Untuk mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956 The World
Council for the Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk Kesejahteraan
Tunanetra) menjadikan bekas rumah kediaman Louis Braille yang terletak di
Coupvray, 40 km sebelah timur Paris, sebagai museum Louis Braille. Karena pada
tahun 1984 WCWB melebur diri dengan International Federation of the Blind
(Federasi Tunanetra Internasional) menjadi World Blind Union (Perhimpunan
Tunanetra Dunia), maka sejak tahun itu pemeliharaan dan penngembangan
museum ini menjadi tanggung jawab WBU.

3. Perkembangan Braille di Zaman Modern


Simbol Braille untuk sejumlah bahasa yang tidak menggunakan abjad Latin
dikembangkan sejak awal abad ke-20. Ini mencakup symbol Braille bahasa
Jepang, Cina, Arab, dll.
Perkembangan lainnya adalah penyusunan system tulisan singkat Braille.
Sejak diciptakan, disadari bahwa salah satu kekurangan utama system Braille
adalah ukuran hurufnya yang besar. Ukuran standar sebuah karakter Braille adalah
sekitar 4 mm lebar dan 6 mm tinggi dengan ketebalan sekitar 0,4 mm. Ukuran ini
ideal untuk diidentifikasi dengan ujung jari, tetapi mengakibatkan buku Braille
menjadi sangat besar, makan tempat untuk penyimpanannya, dan tidak nyaman
untuk dibawa-bawa. Di samping itu, pembaca Braille yang berpengalaman pun
tidak dapat membaca Braille secepat rekan-rekanya yang awas. Hal ini terutama

Halaman 15 dari 53
disebabkan oleh kenyataan bahwa ujung-ujung jari tidak dapat secara fisik
mengamati tulisan Braille secepat orang awas menggunakan matanya untuk
mengamati tulisan awas. Hasil penelitian Simon & Huertas (1998) menunjukkan
bahwa kecepatan membaca rata-rata tunanetra pembaca Braille yang
berpengalaman adalah 90-115 kata per menit dibandingkan dengan 250-300 kata
per menit untuk mereka yang membaca secara visual. Pada awal tahun 1900-an,
para pendukung Braille berusaha mengatasi kedua keterbatasan tersebut.
Solusinya adalah pengembangan system tulisan singkat Braille, di mana satu
symbol dipergunakan untuk mewakili satu kata atau bagian kata atau keduanya.
Sesudah melalui diskusi Selama beberapa tahun, dengan memadukan versi Inggris
dan versi amerika, pada tahun 1932 ditetapkan Standard English Braille, yang
mengcakup kesepakatan tentang system singkatan yang seragam untuk bahasa
Inggris. Sistem tulisan singkat Braille dalam bahasa Inggris itu disebut “grade two
Braille” atau “contraction”.
Penggunaan system singkatan ini dapat mengurangi ketebalan dan beratnya
buku Braille dan dapat mengurangi jumlah karakter yang harus diraba dalam
membaca, sehingga kecepatan membaca pun menjadi lebih tinggi.
Sistem tulisan singkat Braille Indonesia (yang dikenal dengan istilah “tusing”)
dikembangkan sejak tahun 1960-an, dan versi terakhir dibakukan dengan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 053/U/2000. Salah seorang
penggagas utama tusing itu adalah Suharto, seorang tunanetra di Bandung
(Tarsidi, 1998).
Pengembangan symbol-simbol lainnya yang berlaku secara universal
dilakukan di bawah koordinasi World Braille Council (Dewan Braille Dunia),
sebuah badan yang dibentuk oleh World Blind Union (Persatuan Tunanetra
Dunia).

4. Perkembangan Alat Tulis Braille


Braille dapat diproduksi menggunakan beberapa macam alat, yaitu (1) reglet
dan pen, (2) mesin tik Braille, dan (3) computer dengan printer Braille.

Halaman 16 dari 53
Reglet dan Pen

Gambar Reglet (Dikutip dari https://support.perkins.org/)

Reglet dan pen (slate and stylus) adalah alat tertua yang dipergunakan untuk
menulis Braille. Prototipe alat ini diciptakan oleh Charles Barbier (Shodorsmall,
2000). Keuntungan utama alat yang sederhana ini adalah portabilitasnya dan
harganya yang terjangkau.
Reglet ini terdiri dari dua plat logam atau plastic yang dihubungkan dengan
engsel. Satu plat logam (plat bawah) mempunyai lubang-lubang tak tembus yang
berfungsi sebagai cetakan titik-titik, sedangkan satu plat lainnya (plat atas)
mempunyai lubang-lubang tembus yang berfungsi untuk mengarahkan
penggunanya dalam membentuk titik-titik itu. Lubang-lubang pada plat atas itu
disebut petak. Dalam keadaan plat bawah dan plat atas ditutupkan, setiap petak
merupakan pedoman untuk mengarah pada enam lubang titik yang membentuk
kerangka tulisan Braille. Untuk menulis, kertas dijepit di antara kedua plat logam
tersebut. Sebuah pen (paku dengan pegangan kayu) ditusuk-tusukkan di atas
kertas itu melalui lubang-lubang pada plat atas untuk membentuk titik-titik dengan
cetakan plat bawah.
Kelemahan utama reglet dan pen adalah soal orientasi menulisnya. Karena
titik-titik itu ditusukkan dari atas ke bawah, maka ini berarti bahwa untuk
membacanya, kertas harus dibalik, sehingga menulisnya pun harus dengan
orientasi yang berlawanan. Jadi, agar tulisan dapat dibaca dari kiri ke kanan,
menulis dengan reglet harus dari kanan ke kiri.
Terdapat bermacam-macam reglet berdasarkan jenis bahannya, jumlah
barisnya, dan jumlah petak perbaris. Pada awalnya reglet dibuat dari logam, tetapi
kemudian diproduksi juga reglet dengan bahan plastik. Jumlah barisnya berkisar
dari dua hingga 36 baris, sedangkan jumlah petaknya berkisar dari 18 hingga 40

Halaman 17 dari 53
petak perbaris. Akan tetapi, yang paling umum dipergunakan adalah reglet dengan
empat baris dan 27 petak perbaris.

Mesin Tik Braille

Gambar Perkins Brailler (Dikutip dari http://support.perkins.org/)

Mesin tik Braille (Braille writer atau Brailler) adalah alat yang dipergunakan
untuk menghasilkan tulisan Braille dengan cara yang banyak persamaannya
dengan cara mesin tik biasa menghasilkan tulisan awas. Prototipe mesin ini
diciptakan pada tahun 1951 oleh David Abraham, seorang guru di Perkins School
for the Blind, Amerika Serikat (Perkins School for the Blind, 2007). Terdapat
beberapa macam mesin tik Braille yang diproduksi oleh beberapa Negara, tetapi
prinsip kerjanya sama. Mesin tik Braille yang paling banyak dipergunakan di
seluruh dunia adalah Perkins Brailler buatan Howe Press, Amerika Serikat.
Berbeda dari mesin tik biasa, mesin tik Braille hanya mempunyai enam tombol
untuk menghasilkan karakter Braille, satu tombol spasi (di tengah), dan dua
tombol lainnya (masing-masing satu tombol di pinggir kiri dan kanan mesin)
untuk menggerakkan kertas.
Tiga tombol di sebelah kiri tombol spasi ditekan menggunakan telunjuk, jari
tengah dan jari manis kiri, dipergunakan untuk menghasilkan titik 1, 2 dan 3;
sedangkan tiga tombol di sebelah kanan tombol spasi ditekan menggunakan
telunjuk, jari tengah dan jari manis kiri, dipergunakan untuk menghasilkan titik 4,
5 dan 6. Untuk menghasilkan satu huruf, tombol-tombol tersebut ditekan bersama-
sama. Misalnya, untuk menghasilkan huruf “g”, tombol untuk titik 1 (telunjuk
kiri), titik 2 (jari tengah kiri), titik 4 (telunjuk kanan), dan titik 5 (jari tengah
kanan), ditekan berbarengan. Titik-titik tersebut akan muncul ke permukaan kertas

Halaman 18 dari 53
dan dapat langsung dibaca tanpa mengeluarkannya terlebih dahulu dari mesin tik
tersebut.
Printer Braille

Gambar Printer Braille (dikutip dari http://www.braillo.com)

Printer Braille (yang juga dikenal dengan istilah Braille embosser), mencetak
data yang dikirim dari computer. Braillo merupakan satu dari banyak produsen
printer Braille di dunia. Printer ini banyak terdapat di Indonesia sebagai hasil
kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Norwegia untuk
mengembangkan pendidikan bagi tunanetra di Indonesia.
Untuk dapat mencetak data menggunakan printer Braille, terlebih dahulu data
itu dibuat menggunakan program pengolah data seperti Microsoft Word.
Kemudian data Word itu dikonversi ke dalam format Braille menggunakan
program aplikasi penerjemah Braille. Program inilah yang mengirim data Braille
dari komputer ke Braille embosser itu. Inovasi ini telah membuat pencetakan
Braille menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
Kertas Braille
Istilah “kertas Braille” digunakan untuk mengacu pada jenis kertas yang cocok
untuk menulis Braille, yaitu kertas yang berukuran maksimal 12 kali 11,5 inci
(±30,4 kali 29,2 cm), dengan ketebalan antara 100 hingga 160 gram. Ukuran
kertas itu terkait dengan kapasitas alat tulis Braille (terutama mesin tik Braille dan
printer Braille), sedangkan ketebalan kertas terkait dengan daya tahan tulisan
Braille terhadap tekanan, baik tekanan yang diakibatkan oleh penumpukan
ataupun akibat tekanan jari-jari tangan pada saat dibaca oleh pembaca tunanetra.
Kertas yang tidak cukup tebal rentan mengakibatkan tulisannya mudah terhapus.

Halaman 19 dari 53
B. Braille Dasar
1. Abjad Braille
Sebagaimana diperlihatkan pada gambar 1.2, karakter Braille dibentuk berdasarkan
kerangka enam titik: dua titik ke kanan dan tiga titik ke bawah.

Gambar tersebut ditampilkan lagi di bawah ini.

Untuk memudahkan perujukan pada titik-titik dalam kerangka tersebut, masing-


masing titik diberi nomor sebagai berikut:
1 4
2 5
3 6

Jadi, dihitung mulai dari atas, titik-titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2, dan 3,
sedangkan titik-titik di sebelah kanan diberi nomor 4, 5, dan 6. Penomoran ini akan
mempermudah anda dalam belajar menulis Braille dengan menggunakan reglet
maupun mesin tik.

Abjad Braille dibentuk dengan pola yang logis sehingga mudah dihafal. Sepuluh
huruf pertama ( a sampai j ) hanya menggunakan titik 1, 2, 4, dan 5. Dengan kata lain,
sepuluh huruf pertama tersebut hanya menggunakan “tanda atas”. Dengan menghafal
sepuluh huruf pertama ini, huruf-huruf lainnya dapat “dikalkulasi” dengan mudah.
Kesepuluh huruf pertama itu sebagai berikut.

Tabel Huruf a - j

A B C D E F G H I J
a b c d e f g h i j

Sepuluh huruf berikutnya ( k hingga t ) dibentuk dengan menambahkan titik 3 pada


kesepuluh huruf pertama sebagai berikut.

Halaman 20 dari 53
Tabel Huruf k - t

K L M N O P Q R S T
k l m n o p q r s t

Lima huruf berikutnya (u, v, x, y, z) dibentuk dengan menambahkan titik 3-6 pada
huruf a, b, c, d, e.

Bagaimana dengan huruf w? Huruf ini tidak dikenal dalam bahasa Perancis
(sekurang-kurangnya hingga tahun 1860), sehingga huruf w tidak tercantum dalam abjad
Braille yang asli. Huruf w baru ditambahkan kemudian setelah abjad Braille dibawa ke
Amerika Serikat. Oleh karena itu, konfigurasinya pun tidak mengikuti pola di atas. Huruf u
hingga z selengkapnya adalah sebagai berikut.:
Tabel Huruf u - z

U V W X Y Z
u v w x Y z

2. Tanda Komposisi
Tanda komposisi adalah tanda khusus yang tidak terdapat dalam tulisan awas
(tulisan biasa). Tanda ini dimaksudkan untuk mengubah “tampilan” karakter braille.
Tanda komposisi itu mencakup tanda capital, tanda kursif, tanda angka, dan tanda
pugar. Karakter Braille yang dibubuhi tanda komposisi ini akan mempunyai fungsi
lain atau tampilan yang berbeda. Tanda komposisi diperlukan mengingat keterbatasan
kemungkinan konfigurasi Braille. (Ingat, sebuah kerangka Braille hanya dapat
membentuk sebanyak-banyaknya 63 konfigurasi karakter). Di samping itu, sebuah
huruf Braille bersifat “baku dan kaku”. Artinya, bentuk dan ukuran besarnya tidak
dapat divariasikan. Bandingkan dengan huruf awas yang dapat divariasikan
ukurannya, bentuknya atau tampilannya. Misalnya, di computer anda mempunyai
lebih dari 100 pilihan font, ukurannya dapat diperkecil ataupun diperbesar, dicetak
miring, digarisbawahi, dll. Hal seperti itu tidak dimungkinkan pada tulisan Braille
kecuali dengan membubuhkan tanda lain – tanda komposisi. Dalam kegiatan belajar

Halaman 21 dari 53
ini anda akan diperkenalkan pada dua tanda komposisi, yaitu tanda capital dan tanda
kursif.

Tanda Kapital , (titik 6)

Sebuah huruf Braille akan dianggap sebagai huruf capital apabila dibubuhi tanda
capital.

- Tanda capital diletakkan langsung di depan huruf yang akan dijadikan huruf capital.
Contoh:

,bandung
Bandung
Pada contoh di atas, titik 6 mendahului huruf b, sehingga menbubahnya menjadi B
capital.
- Apabila seluruh kata ditulis dengan huruf capital, dua tanda capital dibubuhkan
langsung di depan kata itu.
Contoh:

,,tvri dan ,,rri


TVRI dan RRI
Pada contoh di atas, semua huruf pada kata “TVRI” dan “RRI” menjadi huruf capital
karena di depannya ada dua tanda capital.
- Ketentuan tentang penggunaan tanda kapital di atas berlaku juga pada penulisan
angka Romawi.
Contoh:

,I ,,ii ,,iii
I II III

Tanda Kursif . (titik 4-6)

- Tanda kursif dipergunakan untuk menunjukkan bahwa kata yang berada di


belakangnya perlu mendapat perhatian khusus sebagaimana halnya kata-kata yang
dicetak miring (italic), dicetak tebal (bold), atau digarisbawahi.
- Tanda kursif diletakkan langsung di depan kata yang perlu mendapat perhatian
khusus itu.
Contoh:

Halaman 22 dari 53
,sekali .merdeka tetap .merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Pada contoh di atas, tanda kursif (titik 4-6) diletakkan langsung di depan huruf “m”
dari kata “merdeka”.
- Apabila teks yang “dikursif” itu terdiri dari tiga kata atau lebih, maka dua tanda
kursif diletakkan di depan kata pertama, dan satu tanda kursif diletakkan di depan
kata terakhir dari teks tersebut.
Contoh:

..,sekali merdeka tetap .merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka


Pada contoh di atas, dua tanda kursif diletakkan langsung di depan kata “sekali” (yang
merupakan kata pertama dari teks itu), dan satu tanda kursif lainnya diletakkan di
depan kata “merdeka” (kata terakhir dari teks yang dicetak miring).

- Apabila sebuah teks ditulis dengan huruf capital dan tanda kursif sekaligus, maka
tanda kursif dituliskan lebih dahulu, sedangkan tanda capital dituliskan langsung di
depan kata yang bersangkutan.
Contoh:

..,demi negara .,,ri


Demi negara RI

3. Tanda Baca
Tabel Tanda Baca

4 1 2 3 8 6 8 0 7 7 - / ' 59 99 '''
. , ; : ? ! “ “ ( ) - / ‘ ± * …

Nomor titik untuk tanda-tanda di atas adalah sebagai berikut.


Tanda titik = titik 2-5-6
Tanda koma = titik 2
Tanda titik koma = titik 2-3
Halaman 23 dari 53
Tanda titik dua = titik 2-5
Tanda Tanya = titik 2-3-6
Tanda seru = titik 2-3-5
Tanda kutip buka = titik 2-3-6
Tanda kutip tutup = titik 3-5-6
Tanda kurung (kurung buka dan kurung tutup) = titik 2-3-5-6
Tanda hubung = titik 3-6
Tanda garis miring = titik 3-4
Tanda apostrof = titik 3
Tanda lebih kurang = titik 2-6 3-5 (dua petak)
Tanda bintang = titik 3-5 3-5 (dua petak)
Tanda ellipsis = titik 3 3 3 (tiga petak)

Fungsi Tanda-tanda Baca

Secara umum, tanda-tanda ini mempunyai fungsi yang sama dengan padanannya
dalam tulisan awas. Namun demikian, terdapat beberapa kekhasan yang perlu anda
perhatikan sebagai berikut.

1) Tidak seperti dalam tulisan awas, tanda kutip buka dan kutip tutup dalam Braille
mempunyai bentuk yang berbeda.
2) Di pihak lain, Braille tidak membedakan bentuk tanda kurung tutup dan kurung
buka. Di samping itu, perlu dicatat bahwa tanda kurung dalam matematika
mempunyai bentuk yang berbeda, yang akan anda pelajari pada Modul 6.
3) Dalam tulisan awas, tanda elipsis sama dengan tiga buah tanda titik, sedangkan
dalam Braille, tanda ellipsis sama dengan tiga buah tanda apostrof.
Tanda Tanya dan tanda kutip buka mempunyai bentuk yang sama. Yang
membedakannya adalah posisinya dalam teks. Tanda Tanya selalu berada pada
akhir teks, sedangkan tanda kutip buka selalu berada pada awal teks.

4. Tanda Angka
Angka dibentuk dengan membubuhkan “tanda angka” (titik 3-4-5-6) langsung
di depan huruf a hingga j (untuk angka 1 hingga 0). Silakan anda pelajari tabel berikut
ini.

Halaman 24 dari 53
Tabel Angka dengan Satu Digit

#a #b #c #d #e #f #g #h #i #j
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0

Jika bilangan terdiri dari dua digit atau lebih, tanda angka cukup dibubuhkan satu saja

di depan digit pertama, contoh untuk angka 10 menjadi #aj dan 100 menjadi #ajj

Tanda Pugar: ; (titik 5-6). Sebagaimana kini sudah anda fahami, angka dalam
Braille dituliskan menggunakan huruf abjad yang didahului tanda angka. Bagaimana
kalau anda ingin menuliskan angka dan huruf dalam satu rangkaian? Misalnya 3A?
Untuk membedakan huruf dari angka yang mendahuluinya, anda harus menggunakan
tanda pugar (atau juga disebut tanda huruf).

- Tanda pugar dituliskan langsung di depan huruf untuk menunjukkan bahwa huruf
tersebut tidak termasuk angka.
- Apabila sebuah huruf harus menggunakan tanda capital dan tanda pugar
sekaligus, maka tanda pugar ditulis terlebih dahulu, dan tanda capital dituliskan
kemudian, langsung di depan huruf.
- Tanda pugar tidak diperlukan apabila huruf itu dituliskan di depan angka.
Misalnya, A3 (,a#c). Lihat contoh penggunaan tanda pugar pada tabel berikut ini.
Tabel Contoh Penulisan Rangkaian Angka dan Huruf

#b;b #b;,b ,b#b #e;,e #ad;d #af;,f


2b 2B B2 5E 14d 16F

C. Penggunaan Alat-alat Tulis Braille dan Format Braille


1. Penggunaan Reglet
Terdapat banyak model reglet berdasarkan jumlah barisnya dan jumlah petak pada
masing-masing baris, tetapi yang paling banyak dipergunakan adalah reglet dengan
empat baris dan 27 petak. Untuk melihat berbagai macam model reglet, silakan
kunjungi situs Perkins School for the Blind: https://support.perkins.org/.

Halaman 25 dari 53
Untuk menulis dengan reglet, kertas dijepit di antara kedua plat reglet itu, dan menulis
dilakukan dengan menusuk-nusukkan pen pada kertas di dalam petak-petak reglet
tersebut. Menulis dilakukan dari kanan ke kiri.

Agar dapat menulis dengan benar, ikutilah langkah-langkah berikut. Langkah-langkah


ini dibuat dengan asumsi bahwa anda tidak kidal, dan anda menggunakan kertas yang
lebarnya lebih panjang daripada reglet.

Cara Memasang Kertas:

a. Letakkan reglet di atas meja di hadapan anda dengan posisi horizontal, plat yang
berpetak-petak (yang selanjutnya kita sebut “plat atas” ) ada di atas, engsel reglet
ada di sebelah kiri. Anda akan mendapati bahwa pada masing-masing petak reglet
itu terdapat enam lubang pencetak titik-titik (dua lubang ke kanan, tiga lubang ke
bawah) yang merupakan kerangka Braile.
b. Buka reglet tersebut, maka anda akan mendapati paku pada keempat sudut plat
bawah reglet itu.
c. Letakkan kertas di atas plat bawah, dengan tepi kiri kertas menempel ke engsel
dan tepi atas kertas menempel ke paku atas.
d. Tekan bagian kertas di atas paku bawah hingga menembus kertas, lalu tutupkan
plat atas reglet tersebut.

Cara Menulis:

a. Pegang pen dengan tangan kanan: buku jari telunjuk ada di atas kepala pen dan
ujung telunjuk menyentuh batang pen, ibu jari dan jari tengah menjepit paku pen.
b. Mulailah menulis pada baris kedua, agar tulisan baris pertama tidak terlalu mepet
ke tepi atas kertas, dan menulis dimulai dari sebelah kanan.
c. Karena menulis dengan reglet harus menggunakan “system cermin”, maka pada
saat menulis, anda harus menomori titik-titik Braille dengan orientasi terbalik.
Dengan orientasi terbalik ini, titik 1 ada di kanan atas, titik 2 di kanan tengah,
titik 3 di kanan bawah, titik 4 di kiri atas, titik 5 di tengah kiri, dan titik 6 ada di
bawah kiri.
d. Pada saat menusuk, pen harus tegak.
e. Sementara tangan kanan menekan pen, ujung telunjuk tangan kiri berfungsi
sebagai “penutun” gerakan pen. Terutama penting bagi orang tunanetra, telunjuk

Halaman 26 dari 53
kiri harus selalu berada di petak yang akan ditusuk agar mengarahkan gerakan
pen. Ujung telunjuk kiri ini menempel ringan pada paku pen dan harus ikut
bergerak terus ke sebelah kiri agar tidak tertusuk. (Lihat gambar).
f. Setelah baris terakhir tertulisi, reglet digeser ke bagian bawah kertas untuk
melanjutkan menulis. Agar penggeseran reglet itu lurus, ikuti langkah-langkah
berikut:
- Buka plat atas reglet.
- Anda akan mendapati dua lubang (di kiri dan kanan) yang dibuat oleh dua
paku bawah.
- Tempatkanlah lubang tersebut pada paku atas, lalu tutup kembali reglet,
maka anda sudah siap untuk melanjutkan menulis.
g. Setelah menulis selesai, buka reglet dan balikkan kertas kea arah kiri.
h. Kini anda sudah siap membaca hasil tulisan itu.
i. Jika anda membuat kesalahan dalam menulis dengan membuat titik yang tidak
dikehendaki, anda dapat menghapusnya dengan paku pen atau dengan kuku jari.

Gambar Cara Memegang Pen

Halaman 27 dari 53
Gambar Cara Menulis dengan Reglet dan Pen

2. Penggunaan Mesin Tik Braille


Tampaknya model mesin tik Braille yang paling diminati orang tunanetra di dunia
adalah Perkins Brailler produksi Howe Press, Perkins School for the Blind, Amerika
Serikat. Pada selembar kertas berukuran 11 x 11 ½ inci, dengan mesin tik ini anda
dapat menuliskan 25 baris teks Braille, 42 karakter Braille per baris. Akan tetapi,
mesin tik ini juga dapat mengakomodasi kertas dengan ukuran lebih kecil.

Perkins Brailler

Cara Memasang Kertas


a. Buka penjepit kertas yang ada di kiri dan kanan bagian atas mesin tik itu
dengan menariknya ke belakang (kea rah tubuh anda).

Halaman 28 dari 53
b. Mesukkan kertas dari arah depan mesin tik dengan menyelipkannya ke bawah
kepala mesin tik.
c. Tutup kembali penjepit kertas.
d. Putar tombol penggulung kertas (yang ada di samping kiri dan kanan) kea arah
belakang hingga mentok.
e. Tekan tombol spasi baris (yang ada di sebelah kiri tombol pengetik) untuk
memposisikan kertas pada keadaan siap tik.

Pada bagian belakang mesin tik Perkins ini (bagian yang lebih dekat ke tubuh
anda) terdapat sembilan tombol. Tombol paling kiri (agak ke atas) adalah tombol
spasi baris yang tadi sudah kita pergunakan untuk memposisikan kertas pada keadaan
siap tik. Tombol ini selanjutnya dipergunakan untuk menggeser kertas per baris.
Tombol yang ada di sisi kanan (agak ke atas) adalah tombol spasi mundur
(backspace), untuk mundur per huruf.
Sesuai dengan pola enam titik yang dipergunakan dalam Braille, mesin tik ini
hanya mempunyai enam tombol pengetik, tiga di sebelah kiri dan tiga di sebelah
kanan, dipisahkan oleh tombol spasi. Tiga tombol di sebelah kiri itu dipergunakan
untuk membuat titik 1, 2, dan 3; sedangkan tiga tombol di sebelah kanan untuk
membuat titik 4, 5, dan 6. Tombol untuk titik 1 ditekan dengan telunjuk kiri, titik 2
dengan jari tengah kiri, dan titik 3 dengan jari manis kiri; sedangkan tombol untuk
titik 4 ditekan dengan telunjuk kanan, titik 2 dengan jari tengah kanan, dan titik 6
dengan jari manis kanan (lihat gambar 3.3). Untuk membuat sebuah huruf yang terdiri
dari beberapa titik (misalnya huruf q yang terdiri dari titik 1-2-3-4-5), semua tombol
yang membentuk titik-titik itu ditekan bersamaan.
Sebelum anda mulai mengetik, pastikan kepala mesin tik berada di pinggir
kiri. Pada saat anda mengetik, dia akan bergerak ke kanan.

Halaman 29 dari 53
Gambar Mengetik Braille
(Dikutip dari www.brl.org)
Perky Duck
Jika anda berkesulitan mendapatkan mesin tik Braille untuk berlatih, anda
dapat menggunakan software yang khusus dirancang untuk mensimulasi cara
mengetik Braille. Salah satu dari software tersebut adalah Perky Duck, yang
dikembangkan untuk program pendidikan jarak jauh oleh Duxbury Systems. Software
ini dapat di-download secara Cuma-Cuma dari situs web Duxbury Systems:
http://www.duxburysystems.com. Nama file software itu adalah “setup_perky.exe”.
Dengan software ini, keyboard computer anda dapat berfungsi seperti tombol-
tombol mesin tik Braille. Sebagaimana halnya dengan mesin tik Braille, anda hanya
memerlukan enam tombol untuk menghasilkan huruf Braille. Tombol huruf s-d-f pada
keyboard computer anda akan berfungsi untuk menghasilkan titik Braille 3-2-1, dan
tombol huruf j-k-l menghasilkan titik Braille 4-5-6. Titik-titik Braille itu akan
ditayangkan pada layar monitor.
Perlu dicatat bahwa Perky Duck akan berfungsi dengan baik bila diinstall pada
computer dengan system operasi Windows 95 atau 98. Setelah terinstall, pada menu
“Program” di computer anda akan muncul submenu Duxbury, dan di dalamnya ada
Perky Duck. Klik atau tekan Enter pada Perky Duck untuk mengaktifkan program ini.
Dalam program aplikasi Perky Duck ini terdapat lima Menu Bar, yaitu: File, Edit,
View, Global, dan Help. Silakan anda eksplorasi sendiri. Yang penting anda kuasai
pada saat ini adalah cara membuat dokumen.
Setelah program Perky Duck terbuka, anda tekan Control+N untuk membuat
dokumen baru (“Untitled Braille Document 1”). Di sini tombol yang berfungsi hanya

Halaman 30 dari 53
tombol s-d-f dan j-k-l, berfungsi sebagai tombol mesin tik Braille. Sekarang anda
sudah siap untuk “mengetik Braille”.

3. Penggunaan Printer Braille


Printer Braille (juga dikenal dengan istilah embosser) menerima “data Braille”
dari computer untuk dicetak ke dalam tulisan Braille. Data Braille itu dihasilkan
melalui proses konversi dari “data biasa” menggunakan program penerjemah Braille.
Program MiBee Braille Converter (MBC 4)
Terdapat banyak program penerjemah Braile yang beredar di dunia. Yang paling
popular di kalangan pengguna bahasa Inggris adalah Duxbury, sedangkan program
yang telah dikembangkan khusus untuk system tulisan Braille bahasa Indonesia
adalah MBC (Mitranetra Braille Converter) yang dikembangkan oleh Yayasan Mitra
Netra, Jakarta. Dalam modul ini akan dibahas cara mengoperasikan MBC versi 4,
yang dikembangkan Yayasan Mitra Netra bekerjasama dengan Universitas Bina
Nusantara, sehingga diberi nama MiBee Braille Converter (juga dikenal dengan nama
MBC 4). Setelah itu, sekilas anda juga akan diperkenalkan dengan MBC 3. Menu-
menu dalam program aplikasi ini menggunakan istilah bahasa Indonesia.
Kelebihan MBC 4 dibandingkan versi sebelumnya adalah bahwa dia tidak
hanya berfungsi sebagai program aplikasi penerjemah Braille melainkan juga sebagai
pengolah kata (word processor). Ini berarti bahwa MBC 4 tidak hanya dapat
membuka dokumen yang telah dibuat dengan pengolah kata lain (seperti Microsoft
Word), tetapi juga dapat digunakan untuk membuat dokumen baru.
Untuk mendapatkan software ini, anda dapat menghubungi Yayasan Mitra
Netra, Jalan Gunung Balong II No. 58, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12440. Telepon:
(021) 7692264, 7651386; Fax: (021) 7655264; e-mail: netra@dnet.net.id;
website: mitranetra.or.id.

Instalasi MBC
Untuk instalasi MBC, ikuti langkah-langkah berikut:
a. Masukkan CD MiBee Braille ke dalam CD-ROM, tunggu hingga proses
Autorun muncul.
b. Klik Instal MiBee Braille Converter.
c. Klik Next untuk melanjutkan instalasi.
d. Klik Next untuk memilih folder tujuan instalasi.

Halaman 31 dari 53
e. Klik Next untuk memilih folder program, tunggu proses.
f. Klik Finish.
Jika computer anda terhubung dengan embosser, silakan lanjutkan dengan
mengKlik Pengaturan Embosser untuk menentukan default printer Braille yang anda
gunakan.
a. Pilih Merek Embosser yang anda gunakan.
b. Tentukan driver printer (disarankan menggunakan driver Generic, atau dapat
juga menggunakan mode MSDOS).
c. Klik Simpan untuk menyimpan setting yang telah anda tentukan.
d. Klik Keluar untuk menutup jendela Autorun.
Sekarang submenu MiBee Braille Converter sudah ada di menu Program
computer anda. Di dalamnya terdapat
a. Help MiBee Braille,
b. Help Tulisan Singkat, dan
c. MiBee Braille Converter.
Klik MiBee Braille Converter untuk menjalankan program aplikasi ini.
Fitur MBC
Ketika MBC sudah terbuka, terdapat empat batang menu yaitu: Berkas,
Tampilan, Pengaturan, dan Bantuan.
Pada menu Berkas, terdapat:
a. Baru (untuk membuat dokumen baru)
b. Buka… (untuk membuka dokumen yang sudah tersimpan)
c. Dokumen Terakhir (untuk membuka kembali dokumen yang pernah dibuka
sebelumnya)
d. Keluar (untuk keluar dari program MBC).
Menu Pengaturan memuat fitur sebagai berikut:
a. Pengaturan Berkas Cetak…
b. Pengaturan Berkas Braille…
c. Pengaturan Printer…
d. Pengaturan Embosser…
e. Pengaturan Penerjemahan…
f. Pengaturan Pemeriksa Ejaan…
g. Pengaturan Editor…

Halaman 32 dari 53
Perlu difahami bahwa yang dimaksud dengan “berkas cetak” adalah berkas dalam
tulisan awas (bukan Braille). Silakan anda eksplorasi sendiri fitur-fitur ini jika anda
sudah menginstall MBC pada komputer anda.
Membuka Dokumen, Mengkonversinya, dan Mencetaknya dengan Embosser

MBC dapat membuka bermacam-macam dokumen, termasuk dokumen Microsoft


Word (*.doc), dokumen text (*.txt), dokumen Rich Text Format (*.rtf), dan dokumen-
dokumen yang telah dibuat dengan menggunakan beberapa program penerjemah
Braille lain.

Langkah-langkah Membuka Dokumen


a. Pastikan program MBC sudah terbuka.
b. Klik Berkas, lalu klik Buka (atau langsung tekan tombol Control+O).
c. Pada kotak dialog File of Type, sorot menu Semua File.
d. Klik kotak dialog Look In untuk mencari tempat penyimpanan dokumen yang
akan anda buka itu hingga anda menemukannya dan kemudian membukanya.

Fitur pada Layar Edit


Kini dokumen yang anda buka tadi sudah dapat dibaca di layar monitor, dan
anda berada pada “layar edit”. Ini berarti bahwa sekarang anda dapat melakukan
perubahan-pberubahan pada dokumen ini.
Coba sekarang anda perhatikan “application control”. Kini terdapat sembilan
batang menu, yaitu: Berkas, Edit, Tampilan, Sisipan, Format, Braille, Pengaturan,
Jendela, dan Bantuan. Anda dapat mengeksplorasi menu-menu tersebut secara
mandiri. Untuk saat ini, yang sangat penting anda perhatikan adalah batang menu
Braille. Di dalamnya terdapat:
a. Pengetikan Enam Tombol (untuk mengetik dengan sistem tombol mesin tik
Braille – lihat lagi bagian tentang Duxbury di atas)
b. Submenu Tingkat (di dalamnya terdapat Tingkat 0, tingkat 1, Tingkat 2, dan
Tingkat Latihan 1 hingga 14*)
c. Terjemahkan ke Berkas Braille.

Halaman 33 dari 53
* Catatan:

a. Braille tingkat 0 adalah kode Braille khusus untuk program komputer, di mana
setiap tanda hanya memerlukan satu tombol (atau satu petak) untuk
menuliskannya.
b. Braille tingkat 1 adalah “tulisan penuh”, yaitu penulisan Braille yang sesuai
dengan ejaan bahasa Indonesia baku.
c. Braille tingkat 2 adalah Braille dengan tulisan singkat (tusing).
d. Braille tingkat latihan adalah tulisan Braille yang mengandung unsur tusing,
yang dimaksudkan untuk membantu orang berlatih menggunakan tusing.
Tingkat latihan 1 adalah tulisan Braille dengan kadar tusing minimal, dan
latihan tingkat 14 adalah tulisan dengan kadar tusing maksimal.

Menerjemahkan Data Cetak ke dalam Data Braille dan Mencetaknya dengan


Embosser

Untuk dapat mencetak dokumen dengan printer Braille, terlebih dahulu anda
harus menerjemahkan dokumen yang berupa data cetak itu ke dalam Braille. Dengan
MBC, anda dapat menerjemahkannya ke dalam “tulisan penuh” atau “tulisan singkat”.
Tulisan singkat (tusing) adalah sistem penyingkatan yang sudah dibakukan untuk
tulisan Braille.
Secara default, MBC akan menerjemahkan data ke dalam tusing. Untuk kali
ini kita akan menerjemahkan data ke dalam tulisan penuh. Untuk itu, sebelumnya
anda harus memberi tanda cek pada “Tingkat 1” di menu Braille. Setelah itu, silakan
anda tekan tombol F5. Maka kini data anda sudah berubah menjadi data Braille
dengan format baku, dan sudah siap untuk dikirim ke embosser. Pastikan computer
anda sudah terhubung dengan embosser, dan embosser sudah dinyalakan. Prosedur
pencetakan dengan embosser sama dengan prosedur pencetakan dengan printer biasa.
Font Braille
Jika data Braille anda tidak tampil di layer sebagai tulisan Braille, ini karena
font Braille tidak terpasang di computer anda. Tetapi ini tidak berpengaruh terhadap
hasil cetakan Braille oleh embosser. Akan tetapi, jika anda ingin data Braille anda
tampil di layer monitor sebagai tulisan Braille, sebaiknya anda menginstall font
Braille. Salah satu font Braille itu adalah SimBraille.ttf. Font ini dapat di-download
dari situs web Duxbury Systems (http://www.duxburysystems.com). Atau, anda juga
dapat memintanya kepada penulis buku ini melalui e-mail: didi.tarsidi@yahoo.co.id.
Halaman 34 dari 53
Instalasi font ini dilakukan dengan cara mengkopinya dan memasukkannya ke dalam
folder Fonts di Control Panel komputer anda. Satu keuntungan lain dari instalasi font
Braille ini adalah bahwa data Braille anda akan dapat dicetak dengan printer biasa dan
tampil di kertas sebagai “Braille tinta”.

4. Format Braille
Ukuran standar sebuah karakter Braille adalah sekitar 4 mm lebar dan 6 mm tinggi
dengan ketebalan sekitar 0,4 mm. Ini berarti bahwa pada satu halaman Braille dengan
ukuran kertas standar (A4) hanya dapat memuat maksimal 40 karakter per baris dan
maksimal 28 baris (dengan margin 0). Memperkecil atau memperbesar ukuran
karakter tersebut akan sangat mengganggu keterbacaannya oleh ujung-ujung jari para
tunanetra.
Pembentukan sebuah karakter Braille terikat pada pola enam titik domino.
Sebuah karakter Braille dapat terdiri dari satu titik pada posisi yang berbeda-beda atau
kombinasi beberapa titik dari pola tersebut. Dengan pola ini hanya dapat dibentuk 63
kombinasi/karakter yang dibutuhkan untuk membentuk huruf-huruf abjad, tanda baca,
tanda-tanda dasar untuk matematika, musik dan sejumlah tanda singkatan. Tanda-
tanda yang pembentukannya tidak dapat terakomodasi oleh pola kombinasi tersebut
harus dibentuk dengan gabungan dua karakter atau lebih. Namun penggunaan
"karakter majemuk" ini pun masih belum dapat mengakomodasi pentranskripsian
semua lambang yang kita kenal dalam tulisan awas tanpa modifikasi khusus.
Misalnya, berbagai atribut (cetak tebal, cetak miring atau semacamnya), lambang-
lambang grafik, dan gambar perlu dimodifikasi bila ditranskripsikan ke dalam Braille
untuk dapat menyampaikan makna yang sama kepada para pembaca Braille.

Karakter Braille terdiri dari titik-titik yang dibentuk dengan "menusuk" kertas
dengan kedalaman tertentu. Agar titik-titik tersebut dapat bertahan lama, ketebalan
kertas memegang peranan penting.
Hal-hal di atas menyaratkan bahwa perlu ada ketentuan-ketentuan khusus
mengenai format Braille agar Braille dapat mengakomodasi secara optimal seluruh
informasi yang terdapat di dalam sebuah dokumen "awas" bila ditranskripsikan ke
dalam bentuk Braille, dan agar informasi tersebut dapat dicernak oleh pembaca
Braille dengan mudah. Pada bagian ini akan disajikan pedoman format tersebut, yang

Halaman 35 dari 53
telah dibakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2000), dengan mengacu pada
pedoman yang sudah dibakukan secara internasional.

a. Ukuran dan ketebalan Kertas/Buku


1) Kertas yang digunakan untuk penulisan Braille berukuran maksimal 12 x 11,5 inci
(±30,4 x 29,2 cm), dengan berat antara 100 hingga 160 gram. Ukuran kertas terkait
dengan kapasitas alat-alat tulis Braille, sedangkan berat kertas berkorelasi dengan
ketebalan kertas dan terkait dengan daya tahan tulisan. Kertas yang lebih tebal dapat
menghasilkan tulisan yang tahan lebih lama.
2) Buku untuk anak-anak ketebalannya sebaiknya tidak lebih dari 60 lembar agar tidak
terlalu berat sehingga lebih portable.
b. Kaver Buku
1) Pada kaver buku Braille, dalam tulisan Braille, cukup dituliskan judul buku, nomor
jilid (bila ada), dan nama penulisnya, sedangkan informasi lainnya (seperti penerbit,
tahun terbit dll.) dicantumkan pada halaman judul. Teks Braille pada kaver tersebut
ditulis pada margin kiri, membujur ke bawah (Landscape ). Ini dimaksudkan agar
memudahkan orang tunanetra mengidentifikasi buku yang sedang dicarinya di rak
buku.
2) Pada kaver ini perlu juga dituliskan judul buku (beserta semua informasi yang
tercantum pada halaman judul) dalam tulisan awas. Judul awas tersebut dituliskan
dengan orientasi melintang (portrait).
c. Halaman Judul
Sebagaimana lazimnya buku awas, teks pada halaman judul ditulis di tengah-tengah
halaman (centered).
d. Penulisan Daftar Isi
1) Pada dasarnya ketentuan penulisan daftar isi pada buku Braille sama dengan buku
awas. Dalam hal di mana nomor halaman awas (dari buku yang ditranskripsikan) dan
nomor halaman Braille sama sama dicantumkan, nomor halaman braille dituliskan di
ujung kanan, sedangkan nomor halaman awas ditulis dua spasi di sebelah kirinya.
2) Titik-titik yang menghubungkan antara teks isi dengan nomor halaman ditulis dengan
menggunakan titik 2.
e. Margin Halaman
- Margin kiri halaman antara 1 sampai 1,5 inci atau 2,5 sampai 4 cm.
- Margin kanan, atas dan bawah sekitar 0,5 inci atau 1 cm.
Halaman 36 dari 53
- Dengan komposisi margin seperti ini, pada kertas A4, jika anda menggunakan mesin
tik Braille atau embosser, anda dapat menghasilkan 26 baris tulisan Braille dengan 35
karakter per baris.

f. Spasi Baris
Khusus bagi pemula, bahan bacaan ditulis dengan spasi ganda, baik antar huruf
maupun antar baris. Ini berarti bahwa penulisan huruf (termasuk penulisan spasi)
harus berselang satu petak, dan penulisan baris tulisan harus berselang satu baris. Hal
ini dimaksudkan agar mereka yang baru belajar membaca Braille dapat
mengidentifikasi huruf-huruf Braille itu dengan lebih mudah.
g. Nomor Halaman
1) Nomor halaman braille diletakkan di sudut kanan atas.
2) Bila nomor halaman buku aslinya dicantumkan, nomor halaman awas tersebut
diletakkan di sudut kanan bawah dan dapat terdiri lebih dari satu nomor halaman
(misalnya, 3-4) sesuai dengan nomor halaman naskah yang tersalin pada halaman
Braille ini.
3) Jika anda perlu menandai pergantian halaman awas pada lembar Braille, posisi
pergantian halaman awas tersebut ditandai dengan titik penuh di luar margin kiri.
4) Ketentuan pada butir b dan c biasanya tidak terakomodasi dalam program penerjemah
Braille (untuk embosser).
h. Judul dan Subjudul
1) Judul bab/artikel ditulis sentris, diawali dengan satu baris kosong dan diakhiri dengan
satu baris kosong.
2) Apabila penulisan secara sentris dianggap sulit, judul tersebut dapat juga ditulis mulai
pada petak ke-6. Ini berlaku untuk setiap baris teks judul yang tidak muat dalam satu
baris.
3) Subjudul ditulis pada awal margin kiri (petak pertama), didahului dengan satu baris
kosong. Apabila tidak selesai satu baris, kelanjutannya ditulis sejajar dengan huruf
pertama dari subjudul tersebut. Antara subjudul dan paragraf pertama diberi satu
baris kosong. Antara satu paragraf dan paragraf lainnya berlaku ketentuan tentang
penulisan paragraf (lihat butir 9).
4) Judul/subjudul yang dicetak tebal, cetak miring atau tanda-tanda atribut semacamnya
ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda kursif (titik 4-6).

Halaman 37 dari 53
5) Jika anda menggunakan program penerjemah Braille, ketentuan-ketentuan di atas
pada umumnya sudah termuat dalam program itu.
i. Penulisan Paragraf
Awal paragraf dimulai pada petak ke tiga. Antara satu paragraf dan paragraf lainnya
tidak diberi satu baris kosong.
j. Tabel
1) Untuk tabel yang kolom-kolomnya muat dalam kelebaran halaman Braille, dan
keseluruhan tabelnya muat dalam satu halaman, penulisannya dapat dilakukan sesuai
dengan naskah asli (awas). Untuk membuat kolom, garis horisontal dibuat dengan
deretan titik 1 4, 2 5 atau 3 6 sesuai panjang baris. Untuk garis vertikal, digunakan
deretan titik 1 2 3 atau 4 5 6.
2) Untuk tabel sebagaimana dimaksud pada butir a di atas, khususnya untuk tabel yang
terdiri dari dua kolom, dapat juga direformat menjadi bentuk paragraf yang linear
(atas dan bawah), yang dipisahkan oleh satu baris horizontal. Setiap item pada tabel
itu diakhiri dengan tanda titik koma.
Contoh:
Jodohkanlah kata-kata pada tabel di bawah ini.
ayah nenek
kakek perempuan
laki-laki muda
adik kecil
tua ibu
besar kakak

,Jodohkanlah kata-kata pada tabel di bawah ini4


ayah2 kakek2laki-laki2 adik2 tua2 besar
333333333333333333333333333333
nenek2 perempuan2 muda2 kecil2 ibu2 kakak
3) Tabel yang terdiri dari banyak kolom di tulis secara linear dengan ketentuan sebagai
berikut.

Halaman 38 dari 53
a) Pertama tama dituliskan jumlah kolom dan judul judul kolom. Antara satu
dudul dengan judul lainnya dipisahkan dengan tanda titik koma.
b) Di bawahnya dibuat garis horizontal sepanjang baris (dengan titik 2-5).
c) Isi kolom ditulis berurut ke kanan. Isi kolom pertama diakhiri tanda titik dua,
sedangkan antar isi kolom-kolom berikutnya diberi tanda titik koma.
Contoh:
Negara Ibu Kota Jumlah Penduduk Produk Utama
Indonesia Jakarta 200 juta Tekstil
Malaysia Kuala Lumpur 18 juta Karet
Thailand Bangkok 60 juta Beras

Karena keterbatasan kapasitas baris Braille, tabel di atas sebaiknya dikonversikan


seperti berikut ini.

Empat kolom3 ,negara2 ,ibu ,kota2 jumlah penduduk2


produk utama
333333333333333333333333333333
,Indonesia3 ,Jakarta2 #bjj juta2 tekstil
,Malaysia3 ,Kuala ,lumpur3 #ah juta2 karet
,Thailand3 ,Bangkok2 #fj juta2 beras

Program penerjemah Braille pada umumnya tidak mengakomodasi ketentuan di atas.


Oleh karena itu, jika anda memproduksi Braille menggunakan embosser, anda harus
mengkonversikan tabel ke dalam format di atas sebelum menerjemahkannya ke dalam
Braille.
k. Gambar
1) Reproduksi secara taktual (timbul) harus dilakukan bagi gambar yang ilustratif
dan informatif serta dimungkinkan untuk direproduksi secara taktual dan mudah
dikenali dengan indera perabaan. Reproduksi dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin thermoform atau program pencetakan Braille yang memiliki

Halaman 39 dari 53
fasilitas penggambaran grafik (graphic representation). Untuk itu, gambar harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Gambar hendaknya hanya memuat aspek-aspek yang penting saja (tidak
terlalu rinci).
b) Hanya menggambarkan bagian tepi, tidak bagian tengah.
c) Gambar terisi--tidak kosong (bukan sekedar lingkaran garis tepi).
2) Bagi gambar ilustratif dan informatif yang terlalu sulit/tidak mungkin
direproduksi secara taktual (misalnya gambar rumah yang sedang terbakar)
hendaknya dideskripsikan dengan kata kata.
Contoh:
Gambar: Rumah terbakar.
Keterangan gambar: Bagian belakang sebuah rumah sedang terbakar. Banyak
orang mencoba memadamkannya dengan menyiraminya dengan air dan pasir.
Sekelompok orang lain sibuk mengeluarkan barang-barang. Banyak juga orang
lain yang bergerombol sekedar untuk melihat kebakaran itu. Wajah orang-orang
itu tampak sangat tegang. ....
3) Gambar yang hanya berfungsi ornamental (penghias) tidak perlu ditampilkan.

l. Catatan kaki (footnote)


1) Nomor catatan kaki ditulis dengan didahului tanda bintang (titik 3-5, 3-5).
Nomor tersebut diletakkan satu spasi setelah kata, bagian kalimat, atau kalimat
yang akan dijelaskan.
Contoh: 99#a
2) Catatan kaki ditulis setelah akhir paragraf yang memuat nomor catatan kaki
tersebut. Garis panjang (titik 2 5, 2 5 ...) ditulis sebelum dan sesudah catatan
kaki. Penulisan catatan kaki diawali dengan penulisan nomor catatan kaki.
Seluruh teks catatan kaki ditulis mulai petak ketiga.
3) Bila dalam satu paragraf terdapat dua catatan kaki, maka satu catatan kaki
dengan catatan kaki berikutnya dipisahkan oleh satu baris kosong.

m. Garis Tutup
Tanda garis tutup (titik 2 5) ditulis maksimal sebanyak dua pertiga baris dan
diletakkan simetris di tengah tengah baris.

Halaman 40 dari 53
n. Surat resmi Braille
Surat resmi Braille ditulis dengan format full block style (gaya lurus penuh),
yaitu semua bagian surat ditulis mulai pada margin kiri.

D. Braille Matematik
1. Bilangan Besar, Desimal dan Pecahan
Sebagaimana sudah anda pelajari pada model 2, angka dibentuk dengan
menambahkan tanda angka (#) pada huruf a-j. Jika sebuah bilangan terdiri dari
beberapa digit, tanda angka itu hanya dituliskan satu kali di depan digit pertama.
Dalam menuliskan bilangan besar, titik 2 (1) dipergunakan untuk memisahkan
unit bilangan besar dengan unit bilangan yang lebih kecil, misalnya unit ribuan
dengan ratusan dan puluhan. Lihat contoh-contoh berikut ini.
Contoh Penulisan Bilangan Besar

#ae1jjj #aej1ejj
15.000 150.500

Perhatikan: Tanda pemisah unit bilangan di atas sama bentuknya dengan tanda
koma

Tanda Desimal
.
Tanda Desimal (titik 4-6) dipergunakan untuk menunjukkan bahwa
angka yang berada di belakang tanda tersebut adalah angka pecahan
perpuluhan, peratusan, dst. Dalam tulisan biasa (dalam ejaan bahasa
Indonesia), tanda ini sama dengan tanda koma. Lihat contoh penggunaannya
berikut ini.

Contoh Penggunaan Tanda Desimal

#b.e #j.hc #j.jja #g.jbf #ii.iii


2,5 0,83 0,001 7,026 99,999

Halaman 41 dari 53
Perhatikan: Tanda desimal sama bentuknya dengan tanda kursif.

Bilangan Pecahan

Bilangan pecahan dibentuk dengan menggunakan tanda “per” (titik 3-4): /.

- Tanda angka dibubuhkan di depan pembilang.


- Tanda angka tidak digunakan untuk penyebut.
Untuk bilangan yang terdiri dari kombinasi bilangan bulat dan pecahan:

- Tanda hubung (titik 3-6) digunakan di antara bilangan bulat dan pecahan.
- Tanda angka hanya dibubuhkan satu kali di depan kombinasi bilangan
tersebut.
Contoh Penulisan Bilangan Pecahan:

#a/b #b/c #c/d #b-a/b #c-a/d

½ 2/3 ¾ 2½ 3¼

2. Tanda-tanda Operasi Hitung


Notasi operasi hitung dalam Braille ditulis tanpa spasi. Silakan anda pelajari tabel
berikut ini.
Tabel : Tanda-tanda Operasi Hitung dan Contoh Penggunaanya
Tanda Braille Awas Contoh Braille Contoh Awas
Sama dengan 33 =

Kali * × #c*#d33#ab 3 x 4 = 12

Bagi // ÷ #aj//#b33#e 10 : 2 = 5

Tambah 5 + #e5#h33#ac 5 + 8 = 13

Kurang 9 - #bj9#f33#ad 20 - 6 = 14

Kurung buka { (

Kurung tutup O ) {#b5#co*#b33#aj (2+3)×2=10

Halaman 42 dari 53
Kuadrat < ² #e<33#be 5² = 25

Pangkat 3 % ³ #e%33#abe 5³ = 125

Catatan:
- Tanda bagi dan tanda sama dengan terdiri dari dua petak.
- Tanda kurung matematik berbeda dengan tanda kurung bahasa.
- Tanda kurung tutup matematik sama dengan huruf o.

Nomor titik-titik untuk tanda-tanda Braille pada tabel 4.1 di atas adalah sebagai
berikut:
- Tanda sama dengan = titik 2-5, 2-5.
- Tanda kali = titik 1-6.
- Tanda bagi = titik 3-4, 3-4.
- Tanda tambah = titik 2-6.
- Tanda kurang = titik 3-5.
- Tanda kurung buka = titik 2-4-6.
- Tanda kurung tutup = titik 1-3-5.
- Tanda kuadrat = titik 1-2-6.
- Tanda pangkat 3 = titik 1-4-6.

3. Tanda-tanda Ukuran
Kecuali untuk tanda “derajat” dan “persen”, tulisan Braille menggunakan tanda yang
“sama”. Perbedaan yang mendasar dengan tulisan awas adalah bahwa tanda-tanda ukuran
dalam Braille selalu diletakkan di depan angka. Tanda ukuran tersebut ditulis langsung (tanpa
spasi) di depan tanda angka. Pelajarilah tabel berikut ini.

Tabel: Tanda Ukuran dan Contoh Penggunaannya


Ukuran Tanda Awas Tanda Contoh Contoh
Awas Braille
Braille
Panjang M M 10 m M#aj

Halaman 43 dari 53
Km Km 5 km km#e
Luas m² m< 50 m² m<#ej
km² 2 km²
km< km<#b
Berat Kg Kg 1 kg Kg#a
Isi M³ m% 1 m³ m%#a
Suhu º Dr 40º Dr#dj
Sudut

Persen % Ps 50% Ps#ej


Rupiah rp. Rp rp.500 Rp#ejj

Catatan:

- < (titik 1-2-6) adalah tanda persegi atau tanda kuadrat.


- % (titik 1-4-6) adalah tanda kubik atau tanda pangkat 3.

4. Penggunaan Komputer untuk Data Matematik


Tidak seperti halnya simbol Braille dasar dan notasi Braille musik yang bersifat
universal, tanda-tanda Braille matematik bervariasi dari negara ke negara - meskipun
terdapat banyak persamaannya. Hal ini menyebabkan software penerjemah Braille
matematik yang dikembangkan di satu negara tidak dapat digunakan untuk
menerjemahkan Braille matematik yang berlaku di negara lain yang menggunakan
sistem simbol Braille matematik yang berbeda. Ini berarti bahwa untuk
menerjemahkan Braille matematik Indonesia diperlukan software khusus yang
dikembangkan untuk itu, tetapi sayangnya software tersebut belum dikembangkan di
Indonesia. Namun demikian, software penerjemah Braille pada umumnya
menyediakan fasilitas “pengetikan enam tombol”, dan fasilitas seperti ini terdapat
pula dalam MiBee Braille Converter (MBC 4) yang sudah dibahas pada modul 3.
Fasilitas pengetikan enam tombol ini memungkinkan kita memasukkan data Braille ke
dalam memory komputer secara manual seperti mengetik dengan mesin tik Braille.

Halaman 44 dari 53
Untuk memasukkan data Braille matematik ke dalam memory komputer, ikutilah
langkah-langkah berikut ini. Langkah-langkah ini disarankan dengan asumsi bahwa
program MBC 4 sudah terinstall pada komputer anda.
a. Buka program MiBee Braille Converter.
b. Buat berkas baru dengan menekan Control+N.
c. Pilih tipe berkas Braille dan tekan tombol Enter.
d. Sekarang anda sudah siap untuk mengetik Braille menggunakan sistem
pengetikan enam tombol seperti pada mesin tik Braille Dengan sistem pengetikan
enam tombol ini, tombol huruf s-d-f berfungsi sebagai tombol titik 3-2-1, dan
tombol huruf j-k-l berfungsi sebagai tombol titik 4-5-6.
e. Setelah selesai mengetik, anda dapat menyimpan file data anda itu dengan
mengklik tombol Simpan atau Control+S. Data anda itu akan tersimpan dengan
nama file *.mbb.
f. Jika komputer anda sudah terhubung ke embosser, anda juga dapat langsung
mencetak data itu pada kertas Braille.

E. Braille Arab
1. Mengenal Huruf Arab Braille (Hijaiyyah)

Huruf-huruf Arab Braille, sebagaimana juga huruf-huruf Braille latin, terbentuk

dari titik-titik timbul, yang jumlahnya ada 6 (enam) titik. Titik-titik tersebut tersusun

dalam dua kolom. Kolom pertama yaitu titik ke-1, 2 dan 3 di sebelah kiri, serta titik

ke- 4, 5 dan 6 di kolom sebelah kanan. Dari kombinasi keenam titik-titik tersebut,

akan terbentuklah huruf-huruf ejaan Arab Braille beserta harokat/tanda baris dan

tanda bacanya.

Huruf-huruf hijaiyyah dalam bentuk Braille, disajikan dalam tabel berikut ini:

No. SIMBOL KODE BRAILLE NAMA No. SIMBOL KODE BRAILLE NAMA
1.
‫ا‬ a alif 16.
‫ط‬ ) tha'
2.
‫ب‬ B ba' 17.
‫ظ‬ = zha'
3.
‫ت‬ T ta' 18.
‫ع‬ ( 'ain
4.
‫ث‬ ? tsa' 19.
‫غ‬ < ghin

Halaman 45 dari 53
5.
‫ج‬ j jim 20.
‫ف‬ F fa'
6.
‫ح‬ : ha' 21.
‫ق‬ Q qaf
7.
‫خ‬ x kho' 22.
‫ك‬ K kaf
8.
‫د‬ D dal 23.
‫ل‬ L lam
9.
‫ذ‬ ! dzal 24.
‫م‬ M mim
10.
‫ر‬ R ra' 25.
‫ن‬ N nun
11.
‫ز‬ Z za' 26.
‫و‬ W wau
12.
‫س‬ S sin 27.
‫ه‬ h ha'
13.
‫ش‬ % syin 28.
‫ال‬ V lam-alif
14.
‫ص‬ & shod 29.
‫ء‬ ' hamzah
lepas
15.
‫ض‬ $ dhad 30
‫ي‬ I ya'
2. Huruf Lanjutan

No. SIMBOL KODE NAMA No. SIMBOL KODE NAMA


BRAILLE BRAILLE
31.
‫أإ‬ / hamzah
'alal alif
34
‫ة‬ * ta' marbutha

32.
‫ؤ‬ \ hamzah
'alal wau
35.
‫ى‬ o alif maksura

33.
‫ئ‬ Y hamzah
'alal ya'

3. Tanda-tanda Harkat Dan Tanda Baca

No. SIMBOL KODE BRAILLE NAMA

َ‫ـ‬
36. Fathah
1
37.
ِ‫ـ‬ E
Kasrah

ُ‫ـ‬
38. Dhommah
U

‫ـًـ‬
39. Fathatain
2
40.
ٍ‫ـ‬ 9 Kasrotain

ٌ‫ـ‬
41. Dhommatain
5
42. Fathah-isbaiyah
@

Halaman 46 dari 53
43. Kasroh-isbaiyah
^
44. Dhommah-isbaiyah
+

ّ‫ـ‬
45. syaddah/tasydid
,

ْ‫ـ‬
46. sukun
3

~
47. Tanda mad lebih dari 2
[ harkat

‫ـ‬
48. Tanda pemisah kata
- dengan tanda waqaf

)(
49. Tanda titik di akhir ayat
7

،
50. koma
"

:
51. titik dua
"1

4. Tata Cara Penulisan Huruf Braille Arab


a. Huruf-huruf Arab Braille ditulis (jika menggunakan alat reglet) dari kanan ke kiri,

dan dibaca dari kiri ke kanan. Dan jika menggunakan alat mesin, ditulis dari kiri

ke kanan, dan juga dibaca dari kiri ke kanan.

b. Huruf-huruf Arab Braille, selalu ditulis huruf demi huruf dengan sejajar.

c. Adapun tanda-tanda baris/harkat atau tanda-tanda baca lainnya, maka tanda-tanda

tersebut diletakkan sejajar sesudah huruf yang bersangkutan.

d. Khusus untuk penempatan tanda syaddah/tasydid, hendaknya ditempatkan

didepan hurufnya, yakni ditulis sebelum huruf yang bersangkutan.

e. Tanda-tanda baris/harkat pada penulisan kata Arab Braille harus ditiadakan dalam

keadaan-keadaan sebagai berikut:

Halaman 47 dari 53
1) Penulisan huruf-huruf berbaris fathah, kasroh dan dhommah, apabila diiringi

oleh huruf-huruf alif, ya atau waw selaku mad thabi'i, kedua huruf tersebut di

tulis tanpa baris, dan dibaca mad sekedar 2 (dua) harokat.

2) Demikian juga penulisan huruf-huruf yang berbaris "fathah isbaiyah" apabila

diiringi oleh huruf "alif maqshurah", ditulis hanya alif maqshurah. Tanda

fathah isbaiyah dibaca mad sekedar 2 (dua) harokat.

Contoh Penulisan Arab Braille :

ka-ta-ba = k1t1b1 = (‫)كتب‬

ja-la-sa = j1l1s1 = (‫)جلس‬

al-ham-du = al3:1m3du = )‫(الحمد‬

4. Contoh, Non-Contoh, Ilustrasi:


Gunakanlah reglet dan stylus, tuliskanlah ke dalam huruf Braille, kalimat di
bawah ini:
a. Pak tani menanam sayuran di ladang.
b. Alamat rumah pak Ahmad di Jalan Mangga No. 5A Kelurahan Kebon Kacang.
c. Suhu udara malam hari di kota Jakarta mencapai 33 C.
d. 5 x (7 + 5) = 60
e. Tulislah kalimat “alhamdulillah” dalam Braille Arab.

5. Forum Diskusi
Dalam forum diskusi ini, coba mahasiswa diskusikan bagaimana peran teknologi

asistif dikaitkan dengan eksistensi Braille dan pengembangannya!

Halaman 48 dari 53
C. Penutup
1. Rangkuman
Sistem tulisan bagi anak dengan gangguan penglihatan yang kita kenal
sekarang ini diberi nama penciptanya, yaitu “Braille”. Louis Braille lahir pada
tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray Paris. Dia menjadi buta pada usia tiga tahun
sebagai akibat kecelakaan dengan pisau milik ayahnya yang seorang pembuat
pelana kuda. Pada usia sepuluh tahun, Louis dimasukkan ke sekolah khusus bagi
tunanetra di paris, di mana dia bertemu dengan Kapten Charles Barbier dan
diperkenalkan dengan sistem tulisan Barbier.
Louis Braille menyadari bahwa sistem Barbier kurang baik sebagai media
baca/tulis, tetapi dia sangat menyukai gagasan penggunaan titik-titik untuk tulisan
bagi tunanetra; maka setelah pertemuannya dengan Charles Barbier, Louis Braille
selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan
garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi
tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan tulisannya itu kepada
kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya
lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk
hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi
tulisannya itu. Di samping itu, dia mengurangi jumlah titiknya dari dua belas
hanya menjadi enam saja.
Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, setelah
bereksperimen dengan inovasinya itu selama lebih dari sepuluh tahun,
sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille
hanya menggunakan enam titik “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya itu –
tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan
Sistem tulisan Braille itu menggunakan pola enam titik domino yang dapat
membentuk 63 macam konfigurasi titik-titik untuk mewakili berbagai macam
simbol. Alat yang dipergunakan untuk menulis Braille disebut reglet dan pen,
yang prototipenya diciptakan oleh Valentin Hauy. Pada pertengahan abad ke-20
diciptakan mesin tik Braille, dan menjelang akhir abad ke-20 diciptakan printer
Braille.

Tulisan Braile dibawa ke Indonesia oleh orang Belanda pada awal abad ke-20.
Braille diajarkan di Blinden Instituut, sebuah lembaga tunanetra yang didirikan

Halaman 49 dari 53
oleh Dr. Westhoff pada tahun 1901 di Bandung. Setelah melalui beberapa kali
perubahan nama, kini lembaga tersebut bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata
Guna yang berada di bawah Departemen Sosial RI. Di kompleks yang sama
berdiri juga Sekolah Luar Biasa bagi Tunanetra yang secara administratif berada
di bawah Departemen Pendidikan Nasional RI.

Pengembangan kemampuan membaca dan menulis huruf Braille yang disertai


dengan pengembangan kemampuan penguasaan teknologi adaftif, akan dapat
membantu anak dengan hambatan penglihatan mempelajari ilmu pengetahuan dan
teknologi. Begitu juga dengan kemampuan akademik dipersekolahan, membantu
dalam mempelajari bahasa tulisan, mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika,
sains, seni, dan Braille Arab.

6. Tes Formatif
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memilih a,b,c,d, dan e yang paling
benar:
1. Huruf “z” dalam braille adalah ……..
a. 1-3-4-5
b. 1-3-5-6
c. 2-3-4
d. 1-2-4-5
e. 2-3-4-5
2. Siapa penemu huruf Braille …..
a. Louis Braille
b. James Braille
c. William Moon
d. Valentine Hauy
e. Charler Barbier
3. Alat menulis tulisan huruf Braille adalah ……

Halaman 50 dari 53
a. Pulpen dan penghapus
b. Reglet dan pen
c. Spidol dan penggaris
d. Pensil warna
e. Kertas tebal
4. Huruf “y” dalam Braille adalah ……
a. 1-4
b. 1-4-5
c. 1-3-4-5-6
d. 1-2-3
e. 1-2-3-4-5
5. Konfigurasi dari 6 titik Braille akan membentuk...bentuk & makna
a. 26
b. 35
c. 50
d. 63
e. 75
6. Posisi dan urutan titik-titik Braille ketika membaca disebut juga dengan;
a. Positif
b. Negatif
c. Netral
d. Terbalik
e. Pola dasar
7. Sistem tulisan dari Barbier disebut juga sebagai:
a. Tulisan gelap
b. Tulisan terang
c. Tulisan malam
d. Tulisan Braille
e. Tulisan timbul
8. Penggunaan teknologi asistif dalam membaca dan menulis Braille dapat
dibantu dengan menggunakan program:
a. MBC
b. JAWS
c. DBT

Halaman 51 dari 53
d. Talking Book
e. Scanner
9. Braille negatif adalah berkaitan dengan urutan titik-titik dalam;
a. Matematika
b. Notasi musik
c. Membaca
d. Menulis
e. Menghapus
10. Dalam penggunaan keyboard komputer, titik 1,2,3,4,5, dan 6 dalam Braille,
melalui huruf-huruf berikut ini:
a. h,g,d, j,k,l
b. f,d,s,j,k,l
c. f,d,s,g,h,j
d. t,r,e,u,i,o
e. v,c,x,b,n,m

Daftar Pustaka

Davidson, M. (2005). Louis Braille - The Boy Who Invented Books for the Blind. Kuala
Lumpur: MAB Library and Resource Centre

Departemen Pendidikan Nasional (2000). Pedoman Penulisan Braille Indonesia Bidang


Bahasa. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Departemen Pendidikan Nasional (2000). Pedoman Penulisan Braille Indonesia Bidang


Matematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Shodorsmall (2000). BRL: Braille through Remote Learning. The Shodor Education
Foundation, Inc.

Simon, C. & Huertas, J. A. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather Information
Written in Braille. Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, pp.322-
330. American Foundation for the Blind.

Halaman 52 dari 53
Tarsidi, D. (1998). Analisis tentang Sistem Tulisan Singkat Braille Indonesia (Tusing).
Makalah disajikan pada Seminar Sistem Braille Indonesia Tingkat Nasional. Jakarta,
13-15 Oktober 1998.

Keputusan Worskop Penyempurnaan Standarisasi Penulisan Al Qur'an Braille Tentang Tata


Cara Penulisan Mushaf Al Qur'an Braille; Bandung, 2010.

Halaman 53 dari 53
PENDALAMAN MATERI : PENDIDKAN KHUSUS (PKh)/
PENDIDIKAN LUAR BIASA (PLB)
MODUL 2
PENDIDIKAN BAGI ANAK DENGAN HAMBATAN
PENGLIHATAN
KEGIATAN BELAJAR 3:
PROGRAM KEBUTUHAN ORIENTASI MOBILITAS, SOSIAL,
& KOMUNIKASI (OMSK)

Penulis
Marja

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


Tahun 2019

Halaman 1 dari 47
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Modul 2 Pendalaman Materi
Bidang Pendidikan Khusus bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan untuk
pendidikan dan latihan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Jabatan tahun 2020.
Penulisan modul ini berorientasi pada program kegiatan Diklat yang
bersifat daring (online), untuk para mahasiswa dengan latar belakang pendidikan
khusus atau pendidikan luar biasa (PKh/PLB). Pada modul 2 ini berkaitan dengan
layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), yang
terdiri dari kegiatan belajar (KB) 1 sampai dengan 4. Pada KB 1 dibahas tentang
konsep dasar anak dengan hambatan penglihatan, KB 2 tentang Braille, KB 3
tentang oreintasi dan mobilitas, serta KB 4 tentang pembelajaran bagi anak
dengan hambatan penglihatan.
Di dalamn modul ini berisi paparan materi dari setiap kegiatan belajar
(KB), yang dilengkapi dengan paparan dalam bentuk power point (ppt), juga
media pembelajaran penyertanya berupa video animasi dan video pembelajaran.
Hal tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi para mahasiswa
peserta diklat yang mempelajari materi pendalaman ini secara daring, mudah
dalam membaca dan memahaminya, serta mempraktikkannya secara mandiri.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah memberikan kesempatan menulis dan mengembangkan
bahan diklat pendalaman materi dalam bentuk modul ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Penyelia yang penuh dedikasi memberikan
masukan arahan yang konstruktif, kepada Tim Media yang telah membantu
membuatkan media pembelajaran yang baik, juga kepada SLB A Pembina
Tingkat Nasional Jakarta yang telah berkenan dalam pembuatan video
pembelajaran. Tidak terlupakan untuk para penulis modul pendidikan khusus yang
telah memberikan masukan dan dorongan dalam penyelesaian penyusunan modul
ini.

Halaman 2 dari 47
Penulis menyadari bahwa modul ini masih belum sempurna, kritik dan
saran perlu terus dilakukan untuk perbaikan dan penyempurnaannya. Semoga
kebaikan dari semua pihak diterima oleh Allah SWT, Tuhan YME sebagai amal
jariyah, aamiin.
Jakarta, November 2019
Penulis

Halaman 3 dari 47
DAFTAR ISI

Cover ........................................................ i
Kata pengantar ........................................................ ii
Daftar Isi ........................................................ iii

A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ..................................................... 1
2. Relevansi ..................................................... 1
3. Petunjuk Belajar ..................................................... 2

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran ..................................................... 3
2. Pokok-pokok Materi ..................................................... 4
3. Uraian Materi ...................................................... 5
a. Hakikat orientasi dan mobilitas .............................. 6
b. Teknik pendamping awas dan
melindungi diri ...................................................... 14
c. Pelaksanaan Teknik-Teknik Bergerak
dan Melawat Mandiri .......................................... 25
d. Teknik bepergian dengan tongkat .............................. 27
e. Keterampilan sosial dan komunikasi .............................. 38
4. Contoh, non-contoh, ilustrasi .......................................... 39
5. Forum Diskusi ...................................................... 39

C. Penutup
1. Rangkuman ..................................................... 39
2. Tes Formatif ..................................................... 41
3. Daftar Pustaka ..................................................... 43

Halaman 4 dari 47
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Kemampuan komunikasi, menerima informasi, bergerak, dan berpindah
tempat bagi anak dengan hambatan penglihatan menjadi hal yang penting.
Terhambatnya/hilangnya kemampuan melihat, beberapa informasi visual
bagi anak dengan hambatan penglihatan dapat diakses dengan baik, ketika
mereka memiliki kemampuan kompensatoris dalam hal ini berkaitan
dengan kemampuan sosial, komunikasi, yang dalam KB 3 dikenal dengan
OMSK (Orientasi Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi).

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru
yang sudah mengajar di Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SKh/SLB),
melalui PPG ini diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi
pedagogik dan profesional dalam bidang ilmu pendidikan
khusus/pendidikan luar biasa, khususnya kajian hambatan penglihatan.
Setelah mengikuti PPG ini, diharapkan mahasiswa yang merupakan guru
di SKh/SLB dapat lebih profesional dalam memberikan pembelajaran di
kelas dengan memperhatikan karakteristik anak dengan hambatan
penglihatan. Melalui modul ini yang merupakan bahan belajar mandiri,
diharapkan mahasiswa PPG dapat lebih memperdalam dan menguasai
konsep-konsep dasar secara teoritis maupun praktis, pada Kegiatan Belajar
3 terkait dengan Program khusus OMSK.

3. Petunjuk belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh
mahasiswa PPG untuk materi Program khusus OMSK. Sebaiknya modul
ini dibaca dan dipahami secara cermat dan berurutan mulai dari Kegiatan
Belajar 1 sampai Kegiatan Belajar 4, sehingga diperoleh pemahaman yang
menyeluruh terkait anak dengan hambatan penglihatan dan pendidikannya.

Halaman 5 dari 47
B. Inti :
1. Capaian Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat orientasi dan mobilitas.
b. Mahasiswa dapat mempraktikkan teknik pendamping awas dan melindungi
diri dengan baik.
c. Mahasiswa dapat mempraktikkan teknik bepergian dengan tongkat dengan
baik.
d. Mahasiswa dapat menjelaskan kemampuan sosial dan komunikasi anak
hambatan penglihatan dengan baik.

2. Pokok-Pokok Materi
Materi yang dapat dipelajari dalam kegiatan belajar 3 meliputi:
f. Hakikat orientasi dan mobilitas.
1) Pengertian orientasi
2) Prinsip orientasi
3) Tahapan orientasi
4) Komponen orientasi
5) Pengertian orientasi dan mobilitas
g. Teknik pendamping awas dan melindungi diri;
1) Teknik Dasar Untuk Pendamping Awas
2) Teknik Melewati Jalan Sempit
3) Teknik Melewati Pintu Tertutup
4) Teknik Memindahkan Pegangan Tangan
5) Teknik Berbalik Arah
6) Teknik Duduk Di Kursi
7) Teknik Naik Tangga
8) Teknik Turun Tangga
9) Teknik Memasuki Kendaraan
h. Pelaksanaan Teknik-Teknik Bergerak dan Melawat Mandiri
1) Teknik Tangan Menyilang ke Atas
2) Teknik Tangan Menyilang Ke Bawah
3) Teknik Merambat/Menelusuri
4) Teknik Tegak Lurus Dengan Benda
5) Teknik Mencari Benda Jatuh

Halaman 6 dari 47
i. Teknik bepergian dengan tongkat
1) Tehnik menyilang tubuh (tehnik diagonal)
2) Teknik Trailing
3) Teknik di luar ruangan (out door technique), meliputi:
a) Teknik sentuhan (Touch technique)
b) Teknik Dua Sentuhan (Two Touch Technique)
c) Teknik Menggeserkan Tip (Slide Technique)
d) Teknik Naik dan Turun Tangga
j. Keterampilan sosial dan komunikasi bagi anak hambatan penglihatan.

3. Uraian Materi:
A. Konsep Dasar Orientasi Dan Mobilitas
1. Hakikat Orientasi
a. Pengertian Orientasi
Dalam bergerak dan berpindah tempat yang efektif, di dalamnya mengandung
dua unsur yaitu unsur orientasi dan unsur mobilitas. Orientasi adalah proses
penggunaan indera-indera yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan
hubungannya dengan objek-objek yang ada dalam lingkungannya. Untuk dapat
mengorientasikan dirinya dalam lingkungan, orang dengan hambatan penglihatan
harus terlebih dahulu faham betul tentang konsep dirinya. Apabila ia dapat dengan
baik mengetahui konsep dirinya, akan mudah membawa dirinya memasuki
lingkungan atau membawa lingkungan ke arah dirinya.
Citra tubuh (body image) adalah suatu kesadaran dan pengetahuan tentang
bagian tubuh, fungsi bagian-bagian tubuh, nama bagian tubuh, dan hubungan antara
bagian tubuh yang satu dengan lainnya. Kesadaran dan pengetahuan ini akan
mengakibatkan gerak orang dengan hambatan penglihatan dalam ruang akan efisien,
dan ini pula merupakan dasar dalam mengenal siapa dia, dimana dia, dan apa dia.
Selanjutnya agar orientasi orang dengan hambatan penglihatan lebih mantap dan luas,
maka dia harus mempunyai pengetahuan tentang lingkungan dan dia harus mampu
menghubungkan dirinya dengan lingkungan. Akhirnya orang dengan hambatan
penglihatan harus mampu menghubungkan lingkungan satu dan lingkungan lainnya
dalam suatu aktifitas.

Halaman 7 dari 47
b. Prinsip Orientasi
Kemampuan orientasi seseorang berhubungan erat dengan kesiapan mental dan
fisiknya. Tingkat kemampuan mental seorang dengan hambatan penglihatan akan
berakibat pada proses kognitifnya. Orientasi merupakan proses berfikir dan mengolah
informasi yang mengandung tiga pertanyaan pokok/prinsip, yaitu:
1.Where am I ( di mana saya)?
2. Where is my objective (di mana tujuan saya)?
3. How do I get there (bagaimana saya bisa sampai ke tujuan tersebut)?
Jadi dengan demikian, sebenarnya orientasi itu mencari informasi untuk menjawab
pertanyaan: (1) di mana posisinya dalam ruang, (2) di mana tujuan yang dikehendaki
oleh seorang dengan hambatan penglihatan dalam ruang tersebut, dan (3) susunan
langkah/jalan yang tepat dari posisi sekarang sampai ke tujuan yang dikehendaki itu.

c. Tahapan Orientasi
Proses kognitif merupakan suatu lingkaran dari lima proses yang dilakukan oleh
seorang dengan hambatan penglihatan ketika dia melakukan kegiatan orientasi.
Kelima tahapan dalam proses kognitif tersebut adalah sebagai berikut:
1) Persepsi. Proses asimilasi data dari lingkungan yang diperoleh melalui indera-
indera yang masih berfungsi seperti penciuman, pendengaran, perabaan, persepsi
kinestetis, atau sisa penglihatan.
2) Analisis. Proses pengorganisasian data yang diterima ke dalam beberapa kategori
berdasarkan ketetapannya, keterkaitannya, keterkenalannya, sumber, jenis dan
intensitas sensorisnya.
3) Seleksi. Proses pemilihan data yang telah dianalisis yang dibutuhkan dalam
melakukan orientasi yang dapat menggambarkan situasi lingkungan sekitar.
4) Perencanaan. Proses merencanakan tindakan yang akan dilakukan berdasarkan
data hasil seleksi sensoris yang sangat relevan untuk menggambarkan situasi
lingkungan.
5) Pelaksanaan. Proses melaksanakan hasil perencanaan dalam suatu tindakan.

Halaman 8 dari 47
d. Komponen Orientasi
Untuk mempergunakan proses kognitif ini secara efektif, seorang dengan hambatan
penglihatan harus memiliki pemahaman fungsional tentang komponen khusus
orientasi, seperti:
1) Landmarks (ciri medan)
Definisi:
Setiap benda, suara, bau, suhu, atau petunjuk taktual yang mudah dikenali, menetap,
dan telah diketahui sebelumnya, serta memiliki lokasi yang permanen dalam
lingkungan.
Prinsip:
Landmark bersifat menetap dan permanen. Landmark sekurang-kurangnya
mempunyai satu karakteristik yang unik untuk membedakannya dari benda-benda lain
di lingkungan tersebut. Landmark mungkin dikenali melalui karakteristik visual,
taktual, penciuman, kinestetik, pendengaran, atau gabungan dari indera-indera
tersebut.
Prasyarat:
Ingatan sensori; konsep relativitas posisi; kesadaran hubungan ruang; konsep benda-
benda bergerak dan menetap; kesadaran akan jarak; lokalisasi suara; penggunaan
arah-arah mata angin; kemampuan menggunakan pola mencari secara sistematis dan
dapat membedakan karakteristik benda-benda yang mungkin dipergunakan sebagai
landmark.
Kegunaan:
Landmark dapat dipergunakan:
a) Menentukan dan menjaga arah orientasi;
b) Sebagai titik referensi;
c) Menentukan dan menjaga jarak yang berhubungan;
d) Menentukan tujuan tertentu;
e) Melakukan orientasi dan reorientasi diri dalam lingkungan;
f) Menentukan garis lawat, baik tegak lurus atau paralel;
g) Untuk memperoleh informasi tentang hubungannya dengan daerah-daerah lain,
misalnya: lantai atas, perempatan, atau air terjun.

Halaman 9 dari 47
2). Clue (petunjuk)
Definisi:
Setiap rangsangan suara, bau, perabaan, kinestetis, atau visual yang mempengaruhi
penginderaan yang dapat segera memberikan informasi kepada siswa tentang
informasi penting untuk menentukan posisi dirinya atau sebagai garis pengarah.

Prinsip:
Clue mungkin bergerak atau menetap. Setiap rangsangan tidak mempunyai nilai yang
sama sebagai clue, sebagian mungkin akan sangat mencukupi pemenuhan kebutuhan
(dominant clues), beberapa akan berguna tetapi tingkatannya kurang, dan sebagian
lagi mempunyai nilai yang negative (masking sound).

Prasyarat:
Indera-indera berkembang dengan baik; kesadaran penginderaan, akrab dengan
berbagai rangsangan penginderaan; lokalisasi, identifikasi, dan diferensiasi bunyi;
kemampuan menginterpretasikan pola lalu lintas (pejalan kaki dan kendaraan);
kesadaran jarak; persepsi obyek, kemampuan menginterpretasikan dan/atau
mengidentifikasi rangsangan.

Kegunaan:
Kemampuan untuk memahami dan mempergunakan berbagai clue mungkin secara
khusus akan sangat dirasakan manfaatnya. Clue mungkin akan membantu dalam hal:
a). menentukan arah;
b). menentukan posisi diri dalam lingkungan;
c). menjaga arah orientasi;
d). menentukan garis lawat;
e). menemukan obyek tertentu;
f). orientasi dan reorientasi dalam lingkungan;
g). memperoleh informasi tentang lingkungan;
h). memperoleh informasi tentang daerah yang berhubungan, misalnya: lantai atas
dengan mempergunakan suara elevator sebagai clue.

3). Indoor Numbering System (sistem penomoran di dalam ruangan)


Definisi:
Pola dan susunan nomor-nomor ruangan di dalam suatu bangunan.

Halaman 10 dari 47
Prinsip:
Titik fokal biasanya dekat pintu utama atau dimana dua gang bersimpangan. Nomor
genap biasanya berada di satu sisi dan nomor ganjil berada di sisi lainnya. Nomor
biasanya maju dari titik fokal dengan urutan dua-dua. Rentang nomor 0-99 ada di
lantai dasar atau lantai satu, 100-199 di lantai satu, 200 -299 di lantai dua, dan
seterusnya.
Prasyarat:
Kemampuan berhitung, kemampuan menggeneralisasi dan meneruskan; konsep angka
genap dan ganjil, urutan, dan pola; keterampilan sosial untuk minta bantuan secara
efektif; pengetahuan dasar dan/atau pemahaman tentang susunan bangunan umum
atau koridor; keterampilan berjalan mandiri secara efektif; kesadaran jarak;
kemampuan melakukan dan memahami putaran 90 dan 180 derajat; kemampuan
mempergunakan teknik melindungi diri dan memilihnya sesuai kebutuhan; konsep
ruang; konsep arah.
Kegunaan:
Pengetahuan tentang sistem penomoran berguna:
a. meminimalkan alternatif dan bantuan dalam menentukan obyek tertentu secara
lebih efisien;
b. sebagai dasar untuk menggeneralisir ke lantai-lantai lainnya dan bangunan-
bangunan lainnya.
c. membantu dalam memahami dan mendeskripsikan secara verbal lokasi tujuan
tertentu.

Beberapa konsep yang mungkin dapat diperkenalkan dan/atau berkembang


kemudian setelah praktek melakukan dan mempergunakan sistem penomoran
adalah: urutan, tegak lurus, sejajar, garis lurus, mulai, akhir, menyebrang, aray,
dekat, jauh, belok, atas, bawah, naik, turun, ukuran, sambungan (elevator, tangga,
dsb.). Berbagai keterampilan yang mungkin dapat diperkenalkan atau kemudian
berkembang adalah: lokalisasi bunyi, berjalan garis lurus, teknik berjalan dan
melindungi, meminta bantuan, menghitung, kesadaran jarak, berputar (90 dan 180
derajat), kemampuan menggeneralisir dan meneruskan, menentukan dan
mempergunakan landmark dan clue, dan pengukuran.

Halaman 11 dari 47
Outdoor Numbering System (sistem penomoran luar ruangan)
Pemahaman tentang sistem penomoran luar ruangan di satu kota bagi seorang
dengan hambatan penglihatan dapat memberikan dasar untuk mengembangkan
metoda yang sistematik dalam mengorientasikan dirinya dan menentukan tujuan
khusus, seperti nomor rumah atau bangunan, pada jalan tertentu. Pengetahuan
seperti ini dapat memungkinkan seorang siswa dengan hambatan penglihatan
menempatkan dirinya pada alamat tertentu di suatu jalan. Dia dapat
mempergunakan teknik bertanya untuk menentukan alamat pasti.

4). Measurement (pengukuran)


Definisi:
Tindakan atau proses mengukur. Mengukur merupakan suatu keterampilan untuk
menentukan suatu dimensi secara pasti atau kira-kira dari suatu benda atau ruang
dengan mempergunakan alat.

Prinsip:
Segala sesuatu yang ada di lingkungan dapat diukur. Alat ukur standar
mempunyai ukuran yang pasti dan menetap serta mempunyai hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya, misalnya: satu meter sama dengan seratus
sentimeter. Selain itu alat ukur harus dipilih sesuai dengan apa yang akan diukur,
misalnya: panjang pensil dengan centimeter, panjang jalan dengan kilometer, dan
sebagainya.
Mengukur dapat dibagi kedalam tiga bagian besar, yaitu: (1) mengukur dengan
mempergunakan alat ukur standar, (2) mengukur dengan membandingkan, dan (3)
tidak standar (selangkah, setinggi lutut, dan sebagainya).
Mengukur dengan membandingkan adalah membandingkan panjang atau jarak
dari dua obyek, misalnya: lebih panjang dari, lebih lebar dari, kurang dari.
Pengukuran linear dipergunakan untuk mengukur benda tiga dimensi: panjang,
tinggi, lebar.
Alat ukur standar atau tidak standar dapat dipergunakan untuk mengukur
perkiraan, misalnya: kurang lebih 5 meter, setinggi pinggang, 3 langkah.
Prasyarat:
Kemampuan berhitung; konsep tentang nilai relatif; kemampuan menambah,

Halaman 12 dari 47
mengurang, mengali, dan membagi; memiliki gambaran tubuh yang bagus;
konsep dimensi dan kemampuan menerapkannya; pengetahuan tentang alat ukur
standar dan hubungannya satu dengan yang lain; pemahaman tentang konsep
kurang dari, lebih besar dari, dan sama dengan; kesadaran kinestetik; kesadaran
taktual.

Kegunaan:
Pengukuran dapat dipergunakan untuk:
1) menentukan atau memperkirakan dimensi daerah dimana ukurannya akan
mempengaruhi fungsi siswa di daerah tersebut.
2) Menentukan teknik mobilitas yang sesuai dipergunakan di daerah tersebut.
3) Memperoleh konsep yang tepat tentang benda tertentu dan hubungannya
dengan posisi di antara benda-benda tersebut.
4) Mendapatkan konsep yang jelas tentang ukuran dari suatu daerah atau benda
dalam hubungannya dengan ukuran badan.

5). Compass Directions (arah-arah mata angin)


Definisi:
Arah-arah mata angin adalah arah-arah tertentu yang ditentukan oleh medan
magnetik dari bumi. Empat arah pokok ditentukan oleh titik-titik yang pasti,
dengan interval 90 derajat setiap sudutnya. Keempat arah tersebut adalah
utara, timur, selatan, dan barat.

Prinsip:
Arah-arah mata angin adalah bersifat menetap.
Arah-arah mata angin adalah saling berhubungan antara lingkungan yang satu
dengan lainnya. Arah-arah mata angin memungkinkan siswa untuk
menghubungkan jarak dalam lingkungan. Arah-arah mata angin
memungkinkan siswa untuk menghubungkan antara lingkungan dengan
konsep lingkungan secara lebih positif dan meyakinkan.
Ada empat arah mata angin yang utama. Prinsipnya adalah berlawanan: timur
dan barat adalah berlawanan, demikian juga utara dan selatan adalah
berlawanan.

Halaman 13 dari 47
Garis arah timur-barat adalah tegak lurus dan mempunyai sudut yang jelas
dengan garis utara-selatan.
Semua garis timur-barat adalah parallel, demikian juga semua garis utara-
selatan juga paralel.
Perjalanan mungkin dilakukan dari arah timur atau barat pada garis timur-
barat, dan utara atau selatan pada garis utara-selatan.

Prasyarat:
Pemahaman tentang terminologi posisi dasar, seperti: kiri, kanan, depan,
belakang; mengambil arah; konsep garis lurus; pemahaman dan kemampuan
melakukan putaran 90 dan 180 derajat; pemahaman sejajar, tegak lurus, dan
sudut; pemahaman posisi relatif dan menetap serta bagaimana benda-benda
berhubungan posisinya antara yang satu dengan lainnya; konsep benda-benda
yang dapat bergerak dan bagaimana benda-benda tersebut dapat menyebabkan
perubahan dalam posisi hubungannya dengan benda-benda dan dirinya dengan
benda-benda; pemahaman tentang bagaimana gerakan akan merubah posisi
hubungannya dengan benda dan tempat; konsep berlawanan; pengetahuan
tentang empat arah mata angin utama; kesadaran tubuh yang baik, pemahaman
tentang akibat dari putaran dalam hubungannya dengan arah.

Kegunaan:
Arah-arah mata angin mempunyai makna bagi orang dengan hambatan
penglihatan karena:
a. Arah memberikan sistem orientasi personal bagi orang dengan hambatan
penglihatan – cara untuk mengontrol gerakan dan diri dalam hubungannya
dengan lingkungan.
b. Arah lebih nyata dan efisien ketika memasuki lingkungan yang lebih luas.
c. Arah merupakan alat yang sistematis ketika berjalan dan menjaga orientasi
terhadap lingkungan. Pada esensinya, penggunaan kompas sangat efisien,
karena arah-arah dalam kompas adalah menetap dan memberikan
ketetapan di dalam lingkungan.

Arah-arah dapat dipergunakan untuk:


a. Merencanakan, menggambarkan dan mengikuti rute menuju suatu obyek;

Halaman 14 dari 47
b. Merencanakan rute alternatif menuju suatu tujuan;
c. Memfasilitasi komunikasi yang berhubungan dengan lokasi obyek atau
tempat;
d. Mendapatkan dan menjaga orientasi (menjaga untuk tetap pada arah yang
benar untuk menghindari kemungkinan tersesat);
e. Menentukan dan membuat penggunaan landmark atau titik referensi
secara lebih optimal;
f. Menggambarkan garis arah dan garis lawat; dan
g. Memformulasikan hubungan antara titik-titik (benda atau tempat) dalam
lingkungan atau antara dirinya dengan titik-titik tersebut dalam
lingkungan.

6). Self Familiarization (pengakraban diri) – merupakan pelajaran khusus.


Siswa kadang-kadang menghadapi kesulitan ketika bepergian di lingkungan
yang sudah dikenalnya. Tes yang benar untuk keterampilan orientasi siswa
adalah ketika dia dihadapkan dengan melakukan pengenalan dirinya dengan
lingkungan yang belum dikenalnya. Proses pengakraban diri merupakan
“pelajaran khusus” sebagai upaya untuk memadukan kelima komponen
orientasi dan menunjukkan saling keterhubungannya.
Kelima komponen orientasi merupakan dasar dari proses pengakraban diri.
Kelima komponen tersebut adalah: arah mata angin, pengukuran, clue,
landmark, dan sistem penomoran. Siswa sebaiknya tidak hanya memiliki
kesadaran intelektual saja tentang komponen tersebut, tetapi juga harus
mampu menerapkannya, baik secara terpisah maupun gabungan. Jika
komponen tersebut dipergunakan dengan baik, maka akan memberikan makna
dalam proses pengakraban diri dan membuat siswa melakukan orientasi secara
sistematis.
Ketika melakukan pengakraban diri terhadap lingkungannya, siswa sebaiknya
tetap mengingat tiga pertanyaan mendasar, yaitu: (a) Informasi apa yang saya
butuhkan untuk bisa dipergunakan dalam lingkungan ini?, (b) Bagaimana saya
mendapatkan informasi tersebut? (c) Bagaimana saya akan mempergunakan
informasi tersebut?

Halaman 15 dari 47
Rincian prosedur proses pengakraban diri dikemukakan di bawah ini.
Ketika siswa akan memasuki suatu bangunan sesuai dengan rencana
kunjungan yang dibuat, maka hendaknya:
a). Catatlah posisi arah pintu, misalnya: pintu berada di sebelah selatan
gedung. Sehubungan dengan itu siswa mempergunakan petunjuk-petunjuk
lingkungan yang ada di luar, seperti: mata hari, lalu lintas, dan sebagainya.
b). Catatlah setiap karakteristik yang dapat dengan mudah diidentifikasi
tentang gerbang yang akan dijadikan sebagai landmark, juga catat setiap
petunjuk yang dapat membantu dalam berpindah tempat.
c). Catatlah posisi pintu atau gerbang dalam hubungannya dengan koridor
utama. Hal ini akan mengarahkan siswa pada koridor.
d). Amati setiap landmark atau clue yang ada di lingkungan sekitar, seperti:
tangga, elevator, eskalator, toilet, telepon, bau-bauan, perubahan temperatur
atau cahaya.
e). Mulai memasuki lingkungan dengan bergerak sepanjang koridor,
menelusuri dinding koridor, mengklasifikasi informasi lingkungan baik clue
atau landmark dan menentukan posisi diri dalam hubungannya dengan
lingkungan dan titik awal pemberangkatan (landmark).
f). Catat jenis bangunan, apakah bangunan sekolah, kantor pos, dan
sebagainya.
g). Perhatikan landmark atau clue yang mungkin mempunyai hubungan
dengan lantai lain di gedung yang sama, seperti: tangga, elevator, dan
sebagainya.
h). Lanjutkan prosedur tersebut dengan memasuki koridor yang lebih panjang
dan kembali lagi ke sisi yang berlawanan secara berulang-ulang. Lakukan
kegiatan tersebut sebanyak lima atau tujuh kali sampai siswa memahami
perjalanan yang dia lakukan di koridor tersebut dalam hubungannya dengan
landmark.
i). Setelah menyelesaikan prosedur di atas siswa dapat meminta bantuan
tentang sistem penomoran di gedung tersebut, hubungan sistem antara
penomoran dengan informasi lingkungan yang sebelumnya sudah dia miliki
(landmark, clue, arah mata angin, dan pengukuran). Informasi yang
berhubungan dengan sistem penomoran mungkin dapat diperoleh lebih
awal pada saat proses pengakraban diri dilakukan.

Halaman 16 dari 47
j). Lanjutkan informasi lingkungan yang dapat dipergunakan di lantai lain
(jika gedung tersebut lebih dari satu lantai) dan mulai lagi untuk proses
pengakraban diri.

2. Pengertian Orientasi dan Mobilitas


Mobilitas merupakan suatu kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak.
Bergerak di sini tidak hanya diartikan berjalan tetapi lebih luas dari itu. Bergerak bisa
dari suatu posisi ke posisi yang lain atau dari suatu tempat ke tempat lain. Bergerak
dari suatu posisi ke posisi lain misalnya mengggerakkan tangan dari posisi
menggenggam ke posisi tangan terbuka atau dari posisi badan duduk ke posisi badan
berdiri. Bergerak dari suatu tempat ke tempat lain mengandung arti adanya
perpindahan. Misalnya seorang berjalan dari ruang tamu ke ruang makan dan
sebagainya.
Mobilitas diartikan sebagai kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak tidak
hanya kelihatan di saat ia melakukan gerak tetapi mobilitas diartikan sebagai daya dan
kesiapan untuk melakukan gerak. Misalnya seorang tunanetra tidak bisa
menggerakkan kakinya, tetapi ia punya daya, kemampuan dan kesiapan menggunakan
kursi roda atau alat bantu lainnya untuk bergerak.
Kemampuan untuk bergerak dalam suatu lingkungan "the ability to move within
one's environment" banyak mendatangkan manfaat. Bila seorang tunanetra melakukan
mobilitas, berarti ia memfungsikan organ tubuhnya.
Ini berarti akan meningkatkan ketahanan, stamina dan kelenturan tubuhnya. Di
samping itu, melakukan mobilitas. akan menambah pengalaman serta informasi baru
yang bisa disimpan ke dalam persepsinya. Banyaknya data yang tersimpan dalam
persepsi seseorang berarti ia akan mudah berinteraksi dengan lingkungannya.
Interaksi dengan lingkungan mengandung hubungan dua arah. Pertama bagaimana
agar tunanetra bisa masuk dan menyatu dengan lingkungan dan kedua bagaimana
lingkungan bisa masuk dan menyatu dengan tunanetra.
Mobilitas merupakan "physical locomotion'' yang mana merupakan suatu gerakan
organisme dari suatu tempat atau posisi ke suatu tempat atau posisi lain dengan
mekanisme organismenya sendiri. Degan mekanisme organismenya sendiri diartikan
ia mempunyai kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak dari dalam diri sendiri.
Artinya mobilitas merupakan suatu kemampuan untuk bergerak dalam lingkungannya
dengan selamat dan semandiri mungkin. Semandiri mungkin artinya tidak terlalu

Halaman 17 dari 47
banyak meminta bantuan dari orang lain. Tidak ada seorangpun didunia ini yang tidak
memerlukan bantuan orang lain. Yang lebih penting, bagaimana kita berusaha untuk
mengurangi bantuan orang lain.
Pada penjelasan tentang pengertian Orientasi dan pengertian Mobilitas sudah jelas
bahwa orientasi dan mobilitas mempunyai pengertian yang berbeda dan memang dua
unsur yang berbeda. Akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Mobilitas adalah
bagaimana ia dapat melakukan gerak dan berpindah dari posisi dirinya semula ke
posisi objek yang dikehendaki dengan selamat. Orientasi banyak berhubungan dengan
mental dan Mobilitas berhubungan dengan dengan fisik, sehingga orientasi dengan
mobilitas harus terintegrasi di dalam satu kesatuan pada diri kita. Gerakan dalam
mobilitas tidak mesti berpindah tempat (locomotor movement) tetapi bisa hanya
gerakan berpindah posisi (non-locomotor movement). Apabila kita satukan pengertian
dari orientasi dengan pengertian mobilitas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Orientasi dan mobilitas adalah: kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak dan
berpindah dari suatu posisi atau tempat ke suatu posisi atau tempat lain yang
dikehendaki dengan selamat, efisien, dan abik, tanpa banyak meminta bantuan orang
lain.
Bergerak dan berpindah dengan selamat artinya pergerakan dan perpindahan
menuju tujuan itu tanpa mengalami bahaya dan mampu mengatasi rintangan. Mampu
mengubah rintangan menjadi sesuatu yang dapat memberikan petunjuk dan pengarah
dalam bergerak dan berpindah. Bergerak dan berpindah efisien artinya tunanetra dapat
mencapi tujuan yang dikehendaki dengan waktu yang terpendek, menggunakan
tenaga sesuai dengan yang dibutuhkan. Bergerak dan berpindah dengan baik artinya
gerakan dan perpindahan dilakukan dengan lentur dan luwes. Tidak ada kekakuan dan
ketegangan dalam bergerak dan berpindah. Bergerak dan berpindah dengan sikap
tubuh (posture) yang tegap dan gaya jalan ( gait) yang baik.

B. Tehnik Pendamping Awas Dan Melindungi Diri

Dalam melakukan Orientasi dan Mobilitas anak dengan hambatan penglihatan


menggunakan teknik. Teknik merupakan suatu cara untuk mempermudah. Dengan
demikian teknik Orientasi dan Mobilitas merupakan suatu cara yang digunakan dengan
hambatan penglihatan untuk mempermudah dirinya dalam melakukan perpindahan dari
satu tempat ke tempat yang lain. Dalam hal ini dikenal dua cara, yaitu teknik yang

Halaman 18 dari 47
menggunakan alat bantu seperti manusia disebut ”pendamping awas” dan teknik tanpa
menggunakan alat bantu disebut perjalanan mandiri (Independent Travel). Teknik yang
menggunakan alat bantu tongkat disebut teknik penggunaan tongkat.
Di bawah ini akan dijelaskan satu persatu teknik-teknik tersebut di atas, melalui
keterangan dengan disertakan gambar-gambar diharapkan akan mempermudah para
pembaca untuk mengerti dan mempraktekan teknik-teknik tersebut.
1. Pelaksanaan Teknik-Teknik Pendamping Awas
Ada kecenderungan orang awas akan mengajak anak dengan hambatan
penglihatan berpergian bersama dengan menarik tangannya. Hal ini akan membuat
kesukaran-kesukaran di kedua belah pihak, baik bagi anak dengan hambatan penglihatan
sendiri maupun bagi orang awas yang akan mengejaknya. Untuk mempermudah kedua
belah pihak, maka disusun sedemikian rupa teknik pendamping awas ini sehingga lebih
manusiawi.
Berikut ini akan dijelaskan bagaimana anak dengan hambatan penglihatan
menggunakan pendamping awas di dalam melakukan perpindahan tempat, serta
bagaimana hubungan yang harus ada di antara anak dengan hambatan penglihatan dan
pendampinagnya sehingga tercipta kemudahan di kedua belah pihak dalam melakukan
gerak (mobilitas).
a. Teknik Dasar Untuk Pendamping Awas
1) Membuat Kontak
Untuk membuat kontak dengan seorang tunaentra (mengajak dengan
hambatan penglihatan), pendamping awas harus menyentuh tangan dengan
hambatan penglihatan dengan punggung tanganya.
Apabila dengan hambatan penglihatan yang akan mengajak pendamping
awasnya maka si dengan hambatan penglihatan dapat pula menyentuhkan
tangannya atau dengan ucapan.
2) Cara Anak dengan hambatan penglihatan Memegang Pendamping Awasnya
Setelah mendapat kontak dari pendampingnya dengan sentuhan, dengan
hambatan penglihatan segera memegang dengan erat lengan pendamping di atas
siku. Ibu jari dengan hambatan penglihatan berada di sebelah luar lengan
pendamping dan jari-jari yang lain berada di sebelah dalam lengan dari
pendamping. Lengan tunanetera tetap lentur pada siku, sedangkan lengan dengan
hambatan penglihatan tetap rapat pada badannya.
3) Posisi Anak hambatan penglihatan dengan Pendamping

Halaman 19 dari 47
Dengan hambatan penglihatan harus berposisi setengah langkah di belakang
pendamping awas dengan bahu lurus sejajar di belakan bahu pendamping awas.
Penting bagi dengan hambatan penglihatan untuk diperhatikan agara tetap
menjaga lengan atasnya rapat dengan badan terutama dalam berjalan dan
membelok ke kiri atau ke kanan, maupun dalam kembali. Hal ini untuk
menghindari gerakan yang berlebihan dari pendamping.

b. Teknik Melewati Jalan Sempit


Teknik jalan sempit ini digunakan apabila pendamping melewati suatu jalan yang
lebarnya tidak memugkinkan untuk di lalui secara normal oleh dua orang. Sikap
dengan hambatan penglihatan dan sikap pendamping dalam teknik ini adalah sebagai
berikut:
1) Pendamping menarik ke belakang langannya yang dipegang anak dengan
hambatan penglihatan ke sebelah dalam.
2) Tunaneta memberikan respons dengan meluruskan tangannya yang memegang
lengan pendamping, sehingga posisi badan dengan hambatan penglihatan berada
tepat di belakang badan pendamping dengan jarak satu langah penuh.
3) Apabila pendamping kembali pada posisi biasa yaitu mengembalikan posisi
lengannya seperti biasa, maka dengan hambatan penglihatan pula kembali pada
posisi semula dan berada setengah langkah di belakang pendamping dengan posisi
di samping pendamping.

c. Teknik Melewati Pintu Tertutup


Dilihat dari membuka dan menutupnya pintu, maka ada empat macam pintu.
Setiap macam pintu tersebut mempunyai teknik tersendiri sesuai dengan kemana
pintu itu membuka.
1) Pintu membuka menjauh dari kita ke sebelah kanan
2) Pintu membuka mendekat ke arah kita ke sebelah kanan.
3) Pintu membuka menjauh dari kita ke sebelah kiri
4) Pintu membuka mendekat dari kita ke sebelah kiri.
Bagi dengan hambatan penglihatan yang baru belajar teknik ini prosedurnya
sedikit kompleks, akan tetapi yang penting bagi dengan hambatan penglihatan adalah
memperhatikan ke arah mana pintu itu akan membuka (ke kiri atau kanan) menjauh
dari arah kita atau mendekat.

Halaman 20 dari 47
Dilihat dari kedudukan atau posisi anak hambatan penglihatan dengan
pendamping dihubungkan dengan membukanya pintu maka ada dua kemungkinan,
yaitu anak hambatan penglihatan berada di sebelah pendamping (kiri/kanan) dan
searah dengan membukanya pintu atau dengan hambatan penglihatan berada di
sebelah pendamping (kiri/kanan) dan tidak searah dengan membukanya pintu.
Posisi anak hambatan penglihatan hubungannya dengan membukanya pintu
mengakibatkan penggunaan teknik melewati pintu berbeda.
a) Teknik melewati pintu tertutup apabila anak hambatan penglihatan berada searah
dengan membukanya pintu.
(1) Setelah anak hambatan penglihatan dan pendampingnya sampai di depan
pintu, maka keduanya harus berhenti sejenak.
(2) Setelah berhenti atau jalan pelan-pelan pendamping menjelaskan kepada
anak hambatan penglihatan tentang ke arah mana pintu itu membuka
(membuka menjauh atau mendekat dan ke arah kiri atau kanan). Jelaskan
pula kalau ada ciri-ciri khusus dari pintu tersebeut, terutama yang berkenaan
dengan keselamatan anak hambatan penglihatan.
(3) Selesai memberikan informasi tentang membukanya pintu, pendamping
membuka pintu melalui pegangan pintu. Tangan yang membuka pintu
adalah tangan yang se arah dengan membukanya pintu. Kalau pintu
membuka ke sebelah kiri, maka pendamping harus membuka dengan tangan
kiri.
(4) Dengan memanfaatkan tangan pendamping yang memegang pegangan pintu
(kalau ada), anak dengan hambatan penglihatan mengkedepankan tangan
bebasnya untuk mencari pegangan pintu yang dipegang pendamping. Sikap
ini dilakukan setelah pintu yang dipegang sudah dalam keadaan sudah
dibuka oleh pendamping. Hal ini untuk menghindarkan posisi anak
hambatan penglihatan terlalu rapat dengan pendamping terutama bagi
dengan hambatan penglihatan yang tidak sama jenis kelaminnya dengan
pendamping, di samping menghindarkan anak hambatan penglihatan
berbenturan dengan daun pintu atau kusen. Posisi pendamping tetap lurus ke
depan, apabila badan pendamping serong atau menggeser, maka anak
hambatan penglihatan akan ikut pula menggeserkan badannya untuk
menyesuaikan dengan badan pendampingnya. Hal yang demikian

Halaman 21 dari 47
mengakibatkan anak hambatan penglihatan membentur daun pintu atau
kusen pintu.
(5) Setelah pendamping mengetahui bahwa tangan anak hambatan penglihatan
telah memegang pegangan pintu, maka sambil bergerak maju pendamping
melepaskan tangannya yang memegang pintu dan tugas selanjutnya
pendamping memberi kesempatan atau waktu kepada anak hambatan
penglihatan untuk menutup kembali pintu tersebut.
(6) Dengan memberi waktu dan kesempatan, dengan hambatan penglihatan akan
menutup kembali pintu tersebut dengan baik dan pelan (tidak berbunyi).

b) Teknik melewati pintu tertutup apabila pintu berada tidak searah dengan
membukanya pintu.
Apabila anak hambatan penglihatan berada di sebelah pendamping dengan
posisi tidak searah dengan membukanya pintu, maka taknik melewati pintu
tertutup ada dua cara,yaitu:
(1) Cara Pertama
Langkah-langkah kegiatan cara pertama ini tidak jauh berbeda dengan
teknik melewati pintu tertutup dengan posisi dengan hambatan penglihatan
searah dengan membukanya pintu, hanya setelah keduanya berada di depan
pintu dan pendamping menjelaskan ke arah mana pintu membuka, maka
sikap anak hambatan penglihatan adalah pindah pegangan sehingga
posisinya searah dengan membukanya pintu.
Jika dengan hambatan penglihatan sudah pindah pegangan yaitu sudah
berada pada posisi searah dengan membukanya pintu, maka langkah
selanjutnya adalah sama dengan cara seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
(2) Cara Kedua
(a) Setelah pendamping dan anak hambatan penglihatan sampai di depan
pintu, pendamping menjelaskan tentang ke arah mana pintu membuka.
Setelah itu langsung pendamping memegang pegangan pintu dengan
tangan yang searah dengan membukanya pintu.
(b) Dengan kesempatan waktu yang diberikan pendamping, anak
hambatan penglihatan bergeser ke arah dalam untuk pindah pegangan.
Dengan teknik pindah pegangan anak dengan hambatan penglihatan

Halaman 22 dari 47
bergeser dan hanya melakukan pindah pegangan sampai ”langkah
kedua” dari teknik ini sehingga posisinya adalah: anak dengan
hambatan penglihatan tepat berada di belakang pendamping dengan
tangan kanan anak hambatan penglihatan memegang tangan kanan
pendamping dan tangan kiri anak hambatan penglihatan memegang
tangan kiri pendamping.
(c) Tangan anak hambatan penglihatan yang searah dengan membukanya
pintu mencari pegangan pintu yang dipegang pendamping.
(d) Setelah anak hambatan penglihatan memegang pegangan pintu, maka
sambil bergerak maju perlahan-lahan pendamping melepaskan
tangannya yang memegang pegangan pintu dan memberikan
kesempatan pada anak hambatan penglihatan untuk menutup pintu
dengan baik.
(e) Setelah anak hambatan penglihatan menutup pintu dengan baik, maka
anak hambatan penglihatan melepaskan tangannya pada peganngan
pintu dan bersiap untuk kembali pada posisi semula, dengan cara yang
sama dengan langkah ketiga dan keempat pada teknik pindah
pegangan.
Catatan :
Cara kedua teknik melewati pintu tertutup dengan posisi anak dengan hambatan
penglihatan tidak searah dengan membukanya pintu hanya dapat dilakukan apabila
anak hambatan penglihatan berjenis kelamin sama dengan pendampingnya. Kalau
tidak sama jenis kelaminnya maka akan kelihatan kurang etis sebab anak hambatan
penglihatan dengan pendamping akan terlalu rapat.

d. Teknik Memindahkan Pegangan Tangan


Memindahkan pegangan tangan anak hambatan penglihatan ke arah posisi yang
berlawanan, misalnya semula dengan hambatan penglihatan berada disebelah kanan
pendamping akan berpindah ke sebelah kiri pendamping, maka hal ini bisa terjadi
karena beberapa kemungkinan.
Pertama, kemungkinan perpindahan ini dikehendaki atau atas permintaan anak
dengan hambatan penglihatan dikarenakan ada alasan tertentu misalnya capek atau
ada keingianan lain. Kedua, perpindahan tangan bisa terjadi atas permintan

Halaman 23 dari 47
pendamping karena alasan-alasan tertentu misalnya alasan keamanan atau juga karena
alasan lelah.
Apabila anak hambatan penglihatan yang menghendaki perpindahan pegangan,
maka amak hambatan penglihatan jangan sekali-kali pindah sebelum mendapat ijin
dari pendamping. Hal ini untuk menghindari adanya kejadian yang tidak diinginkan,
sebab yang tahu apakah baik dan tidak ditinjau dari segi keamanan dan keselamatan
perjalanan adalah pendamping awas.
Mengenal langkah-langkah dari teknik memindahkan pegangan tangan adalah
sebagai berikut:
1) Tangan anak hambatan penglihatan yang bebas memegang lengan pendamping
sehingga tangan kiri dan kanan anak hambatan penglihatan bersatu pada lengan
pendamping.
2) Tangan anak hambatan penglihatan yang pertama memegang lengan
pendamping dilepaskan, sambil menggeser ke arah dalam pendamping. Tangan
anak hambatan penglihatan yang dilepaskan selanjutnya mencari lengan
pendamping yang bebas sehingga posisi anak hambatan penglihatan berada
tepat di belakang pendamping dengan posisi tangan kanan anak hambatan
penglihatan memegang lengan kanan pendamping dan tangan kiri anak
hambatan penglihatan memegang lengan kiri pendamping.
3) Tangan yang kedua memegang lengan pendamping dilepaskan sambil
menggeser ke arah luar pendamping tangan anak hambatan penglihatan kedua
memegang lengan pendamping pertama sehingga kedua tangan anak hambatan
penglihatan bersatu pada lengan pendamping.
4) Setelah kedua tangan bersatu pada lengan pendamping anak hambatan
penglihatan melepaskan tangan yang sebelah luar dari lengan pendamping,
sehingga terjadilah perpindahan pegangan posisi anak hambatan penglihatan.

e. Teknik Berbalik Arah


Teknik berbalik arah dilakukan oleh karena berbagai sebab, antara lain:
- Situasi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui sehingga mengharuskan
untuk kembali, miisalnya karena jalan buntu.
- Karena kehendak pendamping, atau kehendak anak hambatan penglihatan sendiri.
Adapun cara dan prosedur teknik berbalik arah adalah sebagai berikut:

Halaman 24 dari 47
1) Pendamping berhenti sejenak, kemudian pendamping dan keduanya berputar 45
derajat ke arah dalam (ke arah dimana lengan pendamping dipegang dan tangan
anak hambatan penglihatan memegang).
2) Lengan anak hambatan penglihatan dibengkokan sehingga membentuk siku 90
derajat (lengan yang bebas).
3) Lengan yang bebas digerakan ke arah dalam untuk mencari lengan pendamping
yang bebas dan memegangnya.
4) Sambil pendamping melangkah ke arah yang berlawanan dengan arah semula,
maka anak hambatan penglihatan melepaskan tangan yang pertama yang
memegang lengan pendamping.
5) Setelah lepas pendamping berjalan seperti biasa.

f. Teknik Duduk Di Kursi


Sering terjadi kecanggungan dari orang awas bila akan mendudukan anak
hambatan penglihatan pada sebuah kursi, sehingga sering menimbulkan beberapa
tindakan yang kurang enak dilihat, bahkan tidak aman. Sering tindakan ini
menimbulkan kesan seolah-olah anak hambatan penglihatan tidak mampu untuk
duduk sendiri.
Ada beberapa perbedaan dalam cara mendudukan anak hambatan penglihatan di
kursi dengan meja dan kursi tanpa meja.
1) Teknik duduk di kursi tanpa meja
(a) Pendamping membawa anak hambatan penglihatan mendekati kursi jika
pendamping datang dari depan kursi, maka dekatkan anak hambatan
penglihatan sehingga tulang keringnya menyentuh kursi.
(b) Pegangkan salah satu tangan taunanetra ke sandaran kursi dan setelah itu
biarkan anak hambatan penglihatan sendiri melakukan langkah selanjutnya.
(c) Tanpa melepaskan tangan yang memegang sandaran kursi anak hambatan
penglihatan memriksa kursi bagian yang akan diduduki, hal ini menjaga
kemungkinan terdapat binatang atau benda-benda yang berbahaya.
(d) Tanpa melepaskan kontak dengan kursi, anak hambatan penglihatan
menempatkan dirinya di depan kursi dengan paha menyentuh bagian depan
kursi.
(e) Setelah terasa lurus posisi badannya dengan kursi maka anak hambatan
penglihatan duduk. Dengan meraba tangan kursi dan pinggiran kursi, maka

Halaman 25 dari 47
anak hambatan penglihatan akan mengerti hubungan badan dengan keadaan
kursi.
Catatan:
Bagi pendamping perlu diperhatikan bahwa dalam membawa anak hambatan
penglihatan mendekati kursi, pendampngnya perlu menjelaskan keadaan kursi
tersebut baik bentuk maupun arahnya. Teknik ini dapat dipakai pula kala
pendamping datang dari arah samping atau belakang kursi. Hanya jika
pendamping datang dari arah samping atau belakang kursi maka tidak perlu
pendamping mendekatkan anak hambatan penglihatan sampai pada menyentuh
tulang kursinya ke kursi tetapi cukup setengah langkah dari kursi, setelah itu
teknik selanjutnya adalah sama seperti di atas.

2) Teknik duduk di kursi dengan meja


Jika akan mendudukan anak hambatan penglihatan di kursi yang
menggunakan meja, maka cara mendekati kursi sama dengan mendekati kursi dari
belakang. Langkah-langkah duduk di kursi dengan menggunakan meja adalah
sebagai berikut:
(a) Pendamping membawa anak hambatan penglihatan mendekati kursi
sehingga berjarak setengah langkah.
(b) Pendamping memegang salah satu tangan anak hambatan penglihatan dan
tangan tersebut dipegangkan pada pinggiran meja dan pendamping
memegang tangan yang satu lagi dan dipegangkan pada sandaran kursi. Cara
pendamping memegangkan anak hambatan penglihatan tidak harus
kepinggiran meja terlebih dahulu, tetapi tergantung dari posisi dengan anak
penglihatan dan pendamping hubungannya dengan letak meja dan kursi.
(c) Tangan anak hambatan penglihatan yang memegang sandaran kursi menarik
kursi ke luar dari bawah meja sehingga ada jarak yang cukup dengan meja.
(d) Tangan yang memegang sandaran kursi menelusuri kursi dan mengecek
tempat duduk yang akan diduduki untuk mengetahui apakah tempat duduk
tersebut kosong dari benda-benda atau keadaanya baik untuk diduduki.
Dalam mengecek tempat duduk tersebut anak hambatan penglihatan tidak
boleh melepaskan tangan yang memegang pinggiran meja, karena hal ini
akan mengakibatkan anak hambatan penglihatan kehilangan control posisi

Halaman 26 dari 47
dirinya dengan meja, sehingga memungkinkan terjadi hal-hal yang tidak
dikehendaki.
(e) Setelah mengontrol tempat duduk, tanpa melepas kontak tangan dengan
pinggiran meja dan kursi anak hambatan penglihatan langsung duduk.
(f) Setelah anak hambatan penglihatan duduk, maka anak hambatan penglihatan
mengecek tempat duduknya apakah sudah lurus dengan meja atau belum.
Caranya ialah dengan mengkedepankan kedua tangannya dan keduanya
memegang pinggiran meja. Dengan cara demikian anak hambatan
penglihatan akan mengetahui posisi duduknya dengan meja.
Catatan:
- Apabila anak hambatan penglihatan duduk dikursi dengan meja untuk makan atau
disuguhi makanan, maka sebaiknya jarak antara pinggiran meja dengan dada/badan
cukup dekat sehingga apabila makanan jatuh tidak ke lantai
- Jika sebelum duduk posisi kursi rapat dengan meja, maka anak hambatan penglihatan
diharapkan untuk mengembalikan posisinya semula.

g. Teknik Naik Tangga


Teknik anak hambatan penglihatan menaiki tangga bersama pendamping awas adalah
sebagai berikut:
1) Pendamping mendekati pinggiran tangan sambil menjelaskan pada anak hambatan
penglihatan bahwa akan naik tangga.
2) Setelah mendekati tangga dan kaki pendamping menyentuh pinggiran tangga,
pendamping berhenti. Posisi anak hambatan penglihatan tetap berada setengah
langkah di depan pendamping.
3) Salah satu kaki pendamping naik menginjak anak tangga pertama, dengan naiknya
salah satu kaki pendamping pada tangga pertama, badan dengan hambatan
penglihatan tertarik ke depan sehingga kaki anak hambatan penglihatan maju
setengah langkah dan diharhapkan menemukan pinggiran tangga.
4) Setelah pendamping mengetahui dan yakin anak hambatan penglihatan telah
menyentuh pinggiran tangga pertama dan sadar maka selanjutnya pendamping
melangkahkan kaki berikutnya (yang satu) ke tangga berikutnya dan di ikuti oleh
anak hambatan penglihatan melangkahkan satu kakinya ke tangga pertama.
Demikian seterusnya, dan posisi anak hambatan penglihatan tetap berada satu
tangga di belakang pendamping.

Halaman 27 dari 47
5) Setelah pendamping berada di puncak tangga, maka pendamping berhenti sejenak
dan mengatakan bahwa tangga sudah habis. Hal ini untuk menjaga adanya salah
langkah bagi anak hambatan penglihatan.
Catatan:
Pada waktu kaki menaiki tangga, maka berat badan hendaknya tertumpu pada ujung
kaki.

h. Teknik Turun Tangga.


Prosedur teknik menuruni tangga hampir sama dengan prosedur menaiki tangga, perlu
diperhatikan bahwa keseimbangan badan sewaktu menuruni tangga bagi anak hambatan
penglihatan yang baru akan terasa lebih berat bila dibandingkan dengan menaiki tangga.
Karena itu pendamping harus hati-hati sewaktu membawa anak hambatan penglihatan
menuruni tangga.
Mengenai langkah-langkah teknik menuruni tangga adalah sebagai berikut:
1) Pendamping mendekati tangga dan menjelaskan pada anak hambatan penglihatan
bahwa akan menuruni tangga. Setelah dekat dengan bibir tangga pendamping
berhenti. Jika ada hal yang khusus dari tangga tersebut pendamping perlu
menjelaskan pada anak hambatan penglihatan. Posisi anak hambatan penglihatan
tetap berada setengah langkah di belakang pendamping.
2) Setelah berhenti di pinggir tangga pendamping menarik lengan yang dipegang anak
hambatan penglihatan ke depan sehingga tertarik setengah langkah dan posisinya
sejajar dengan pendamping. Pada saat itu juga pendamping menunjukan pada anak
hambatan penglihatan bibir tangga.
3) Setelah pendamping yakin bahwa dengan hambatan penglihatan sudah merasakan
pinggiran tangga, maka pendamping melangkah menuruni tangga. Langkah pertama
dari pendamping, anak hambatan penglihatan masih belum boleh melangkah, baru
setelah pendamping melangkahkan kakinya yang kedua anak hambatan penglihatan
ikut melangkahkan kakinya untuk menuruni tangga.
4) Sewaktu dalam proses menuruni tangga, anak hambatan penglihatan tetap berada
satu tangga di belakang pendamping.
5) Dengan anak hambatan penglihatan harus menjaga posisi tegak dari badan dengan
titik pusat berat badan jatuh pada tumit.

Halaman 28 dari 47
i. Teknik Memasuki Kendaraan
Mobil terdiri dari bermacam bentuk dan modelnya, karena itu akan lebih lancar bagi
anak hambatan penglihatan apabila ia telah mengetahui lebih dulu model-model dan
interior mobil tersebut. Namun demikian untuk mempermudah bagi anak hambatan
penglihatan memasuki suatu mobil, maka tekniknya sebagai berikut:
1) Setelah sampai di depan pintu mobil, pendamping menjelaskan bagaimana posisi
pintu dan ke arah mana pintu itu akan membuka, apakah ke kiri atau ke kanan dari
posisi anak hambatan penglihatan.
2) Pendamping menunjukan pada dengan anak hambatan penglihatan pegangan pintu
mobil.
3) Dengan tangan yang memegang pegangan pintu mobil tersebut anak hambatan
penglihatan membuka pintu.
4) Setelah pintu terbuka pendamping mengambil tangan anak hambatan penglihatan
yang bebas dan dipegangkan pada pinggiran pintu (kusen) terutama bagian atas
pintu bagi mobil kecil, hal ini untuk menghindari agar tidak terjadi benturan kepada
anak hambatan penglihatan dengan pinggiran pintu mobil (kusen).
5) Setelah tahu posisi masing-masing, anak hambatan penglihatan masuk ke mobil dan
pendamping mengikutinya dari belakang.

2. Pelaksanaan Teknik-Teknik Bergerak dan Melawat Mandiri


Teknik melawat mendiri adalah suatu teknik bagaimana anak dengan hambatan
penglihatan bergerak tanpa menggunakan alat bantu apapun dan teknik ini hanya bisa
dipakai pada daerah atau tempat yang sudah dikenal dengan baik.
Adapun macam-macam teknik melawat mandiri adalah sebagai berikut:
a. Teknik Tangan Menyilang ke Atas
Teknik ini memberikan perlindungan pada bagian dada dan kepala anak dengan
hambatan penglihatan dari benturan-benturan benda-benda atau rintangan-rintangan
yang ada di depannya. Teknik ini sebagaimana teknik lainnya hanya dapat berfungsi
efektif di tempat yang sudah dikenal. Jika diperlukan teknik ini dapat dikombinasikan
dengan teknik melawat mandiri lainnya. Pelaksanaan teknik lengan menyilang di atas
adalah sebagai berikut:
Tangan kanan atau kiri diangkat ke depan setinggi bahu menyilang badan, siku
membentuk 120 derajat dan telapak tangan menghadap ke depan, dengan ujung jari

Halaman 29 dari 47
berlawanan dengan bahu dan melindungi seluruh lebar bahu. Sikap kepala tetap
gerak, tidak menunduk.
b. Teknik Tangan Menyilang Ke Bawah
Teknik ini memberikan perlindungan pada badan bagian bawah terutama bagian
perut dan selangkangan dari kemugkinan benturan dengan objek atau rintangan dan
halangan yang berada di depannya dan berukuran setnggi perut.
Teknik ini hanya dapat berfungsi dengan baik jika anak hambatan penglihatan
berada di lingkungan yang sudah dikenal, dengan demikian posisi rintangan, halangan
dan objek sudah ketahui. Pada tempat yang belum dikenal anak hambatan
penglihatan, teknik ini juga dapat digunakan akan tetapi kurang efektif dan hanya
bersifat untung-untungan.
Pelaksanaan teknik lengan dan tangan menyilang ke bawah adalah sebagai berikut:
1) Lengan (kiri/kanan) diluruskan ke bawah
2) Sentuhkan telapak tangan ke paha yang berlawanan dengan tangan. Misalnya
tangan kanan menyentuh paha kiri.
3) Angkat tangan tersebut dari paha (menjauh paha) kurang lebih 10 – 15 cm.
4) Ujung jari sampai pada pergelangan tangan harus dalam posisi rilek atau
lentur/lemas (tidak tegang).
5) Telapak tangan mengahadap kepala.

c. Teknik Merambat/Menelusuri
Teknik merambat/menelusuri ini digunakan oleh anak dengan hambatan
penglihatan jika ia akan berjalan dan terdapat media atau sarana yang dapat ditelusuri,
misalnya: tembok atau dinding, meja dan objek-objek lainnya. Tujuan penggunaan
teknik merambat/menelusuri adalah untuk mendapatkan garis pengarah di dalam
menuju sasaran.
Cara dari pelaksanaan teknik merambat/menelusuri ini adalah sebagai berikut:
Lengan kanan atau kiri diluruskan mendekati tembok dengan jari-jari dibengkokan
lemas dan jari kelingking serta jari manis menempel di tembok. Sudut lengan dan
badan kurang lebih 60 derajat dan jarak badan dengan objek kurang lebih 10 cm.

d. Teknik Tegak Lurus Dengan Benda


Teknik tegak lurus dengan benda ini digunakan jika anak dengan hambatan
penglihatan ingin lurus dalam berjalan sehingga ia perlu melakukan ancang-ancang.

Halaman 30 dari 47
Dalam ancang-ancang ini anak dengan hambatan penglihatan perlu memanfaatkan
benda atau objek apa saja yang ada. Cara teknik tegak lurus dengan benda bisa
menggunakan tumit, telapak kaki, belakang badan maupun telapak tangan.
Teknik-teknik di atas dapat digunakan oleh anak hambatan penglihatan dalam
melakukan perjalanan secara mandiri yang berarti perjalanan yang tanpa
menggunakan suatu alat bantu apapun kecuali yang ada pada dirinya.

e. Teknik Mencari Benda Jatuh


Sebelum melakukan pencarian benda yang jatuh, anak dengan hambatan
penglihatan harus mendengarkan terlebih dahulu suara benda yang jatuh tersebut
sampai suara terakhir. Setelah itu anak dengan hambatan penglihatan menghadapkan
badannya ke arah suara terakhir dari benda tersebut. Langkahkan kaki anak dengan
hambatan penglihatan mendekati suara terakhir dari benda yang jatuh, dan
berjongkoklah untuk memulai mencari benda yang jatuh. Dalam teknik mencari
hendaknya tangan meraba permukaan lantai yang dimulai dari dekat kaki sampai
melebar di sekitar kaki. Apabila belum ketamu hendaknya anak dengan hambatan
penglihatan melangkah satu langkah ke depan dan mulai mencari kembali. Untuk
menghindari benturan kepala dengan objek sewaktu jongkok, maka ada dua cara
dalam berjongkok:
1) Teknik Jongkok Tegak Lurus
2) Teknik jongkok dengan membungkuk

C. Tehnik Bepergian Dengan Tongkat


1. Sejarah tongkat bagi anak hambatan penglihatan
Titik awal digunakannya tongkat panjang untuk anak dengan hambatan
penglihatan ialah pada tahun 1930, pada latihan-latihan yang diselenggarakan oleh Lions
Club USA. Sedang teknik penggunaan tongkat panjang secara sistimatik baru dimulai
pada tahun 1945 di Valley Forge Hospital USA, yang pada waktu itu digunakan untuk
merehabilitasi para anak dengan hambatan penglihatan veteran di bawah asuhan Dr.
Richard Hoover.
Richard Hoover pada waktu itu menciptakan tongkat panjang dengan ukuran :
panjang 46 inci, garis tengah 0,5 inci dan beratnya 6 ons.

Halaman 31 dari 47
2. Jenis tongkat
Pada waktu ini anak hambatan penglihatan dalam orientasi dan mobilitasnya mengenal
dua jenis tongkat, yaitu tongkat panjang (long cane) dan tongkat lipat (collapsible cane).
Bagi anak dengan hambatan penglihatan yang ketrampilannya menggunakan tongkat
belum sempurna lebih baik tidak usah menggunakan tongkat lipat lebih dahulu, karena
akan lebih aman dan selamat jika menggunakan tongkat panjang. Tongkat lipat akan lebih
baik bila digunakan oleh anak dengan hambatan penglihatan yang sudah benar-benar
sempurna dalam tehnik penggunaan dan akan efektif dan efisien jika digunakan waktu
masuk kuliah, karena dapat dilipat dan disiapkan di dalam tas.

3. Spesifikasi Tongkat Panjang


Adapun syarat dan ciri-ciri tongkat panjang yang disesuaikan untuk orang Indonesia
adalah sebagai berikut :
a. Panjang : Panjang tongkat yang dibuat oleh pabrik ialah 132 centimeter (52
inci). Tongkat ini boleh dipotong, disesuaikan dengan tinggi badan
dan lebar langkah si anak dengan hambatan penglihatan yang
memakai oleh instruktur atau guru orientasi dan mobilitas yang
sudah berijazah.
b. Batang : Batang tongkat dibuat dari bahan aluminium yang kuat tetapi
ringan dengan garis tengah 12,5 milimeter (5,2 inci).
c. Berat : Berat tongkat keseluruhan kira-kira 175 gram atau antara enam
sampai delapan cunces. Jadi harus ringan, untuk menghindarkan
kelelahan dan ketegangan pada pergelangan tangan serta lengan
anak dengan hambatan penglihatan.
d. Warna : Harus memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Penetapan
Lalu-Lintas Jalan Perhubungan Pen L – P (Surat Keputusan
Direktur Perhubungan dan Pengairan tanggal 26 September 1936;
Nomor W.1/9/2, seperti telah dirobah dan ditambah terakhir
dengan penetapan Menteri Perhubungan tanggal 1 Juli 1951 No.
244/Ment., Lembaran Tambahan No. 144). Pasal 4 a, yang
berbunyi :
Tanda untuk orang-orang berjalan kaki yang kurang penglihatan
dan buta ialah sebatang tongkat putih, yang pada jarak ¾ dari

Halaman 32 dari 47
panjangnya diukur dari bawah, mempunyai ban merah yang
lebarnya 8 cm.
e. Ujung : Terbuat dari bahan plastik atau nylon yang keras yang bila sudah
usang dapat dilepas dan diganti dengan mudah oleh anak dengan
hambatan penglihatan. Ukuran ujung tongkat, panjang 8 cm, garis
tengah 18 atau 19 mm dan beratnya tidak lebih dari 20 gram.
f. Daya tahan : Tongkat harus kuat menahan pemakaian yang keras di jalan, tidak
mudah pecah dan bengkok dalam keadaan yang biasa.
g. Kekakuan : Harus benar-benar kaku, sehingga dapat untuk menentukan arah
dan jarak.
h. Daya hantar : Tongkat harus dapat digunakan untuk memeriksa dan meraba
permukaan tanah dan benda-benda lainnya dengan ujungnya. Jadi
harus mampu menyampaikan getaran.
i. Keindahan : Tongkat harus mempunyai keindahan, sehingga menarik bila
dipandang dan tidak merendahkan derajad pemakainya.
j. Kaitan/crook : Dibuat sekecil mungkin, supaya tidak mengkait benda-benda lain,
dengan bahan yang tidak menambah berat tongkat, melainkan
hanya untuk keseimbangan.
k. Pegangan/grip : Pegangan tongkat dapat dibuat dari karet, plastik atau bahan lain
yang enak dipegang dan tidak licin. Panjang pegangan 18,5
centimeter. Bagian kanan pegangan dibuat datar untuk
menempatkan telunjuk dan tepat searah dengan kaitan.

Tongkat lipat atau Collapsible cane, juga mempunyai syarat-syarat dan ciri
sendiri. Antara lain ialah :
a. Sambungan : Sambungan harus dibuat yang kokoh dan kuat untuk melindungi
tali/kabel yang menjadi pegangan serta tidak mudah lepas. Bila
digerakkan sambungan tidak mengalami geseran dan dapat
memperkuat daya hantar.
Jumlah sambungan harus ganjil, misalnya tiga atau lima, supaya
kalau dilipat anak dengan hambatan penglihatan tidak memegang
ujung tongkat yang kotor. Jumlah sambungan juga harus dibuat
seminim mungkin, supaya kalau dilipat tidak terlalu besar.

Halaman 33 dari 47
b. Kabel/tali : Di dalam pipa tongkat lipat kabel/tali untuk bahan penegang harus
dapat dibuat yang kuat, sehingga sambungan benar-benar rapat,
kokoh dan tahan lama dipakai. Kabel ini harus mudah diganti oleh
anak dengan hambatan penglihatan sendiri.
c. Lipatan : Tongkat harus mudah dilipat, sehingga mudah disimpan oleh anak
dengan hambatan penglihatan jika tidak dipergunakan.
Lipatan dibuat yang kecil, agar mudah disimpan di dalam tas atau di
dalam saku jacket.
d. Ciri-ciri lain : Sama dengan tongkat panjang.

Selanjutnya dengan posisi tersebut di atas, anak dengan hambatan penglihatan disuruh
melangkah maju dan bila mengalami kesalahan segera dibetulkan. Jika dalam berjalan
maju menyentuh sesuatu benda harus segera dicek lebih dahulu. Caranya anak dengan
hambatan penglihatan melangkah maju mendekati tongkat, posisi tongkat dibuat tegak
lurus dan crook diputar ke arah depan.

4. Teknik tongkat
a. Teknik menyilang tubuh (tehnik diagonal)
Dengan teknik diagonal ini anak dengan hambatan penglihatan dapat
menyelamatkan sebagian dari tubuhnya dan bila menemui halangan dapat tersentuh
serta tidak mengganggu orang lain.
Dalam hal ini guru/instruktur orientasi dan mobilitas harus selalu memperhatikan
teknik memegangnya. Kalau memegangnya dengan ujung/tip terlalu keluar/ke
samping dan terlalu ke dalam, ini adalah suatu kesalahan yang segera harus
dibenarkan. Demikian pula kalu pergelangan tangan yang memegang tongkat juga
terlalu ke luar atau ke tengah-tengah badan.
Teknik diagonal ini juga digunakan sewaktu anak dengan hambatan penglihatan
naik atau turun tangga.
b. Teknik Trailing
Teknik ini sebetulnya adalah teknik diagonal yang digunakan untuk
trailing. Tujuan penggunaan teknik ini agar anak dengan hambatan penglihatan
mampu berjalan di dalam ruangan yang sudah dikenal dan dengan teknik ini anak
dengan hambatan penglihatan dapat berjalan lurus dalam mencapai tujuan
tertentu.

Halaman 34 dari 47
Caranya posisi tongkat sama dengan teknik diagonal, tetapi posisi tip/ujung
tongkat menempel pada permukaan datar yang ada pada tembok atau mungkin
pagar batu yang datar pada pinggiran yang horisontal dan vertikal.
c. Teknik di luar ruangan (out door technique)
Teknik ini dapat digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun yang belum
dikenal oleh anak dengan hambatan penglihatan. Panjang tongkat harus sudah diukur
yang sebaik-baiknya dengan anak dengan hambatan penglihatan yang memakainya.
Panjangnya yang paling ideal adalah setinggi tulang dada anak dengan hambatan
penglihatan yang memakainya.
Dalam hal ini perlu diperhatikan beberapa teknik yang harus dikuasai dengan
baik oleh anak dengan hambatan penglihatan, yaitu :
1) Mengenai cara memegang tongkat (grip).
2) Lebar busur ke kiri dan ke kanan harus selalu sama dan stabil (arc consistent).
3) Sebelum melangkahkan kaki, anak dengan hambatan penglihatan harus mengecek
dulu tempat yang akan diinjak untuk berjalan (clearing before walk).
4) Posisi tangan lentur di depan pada tengah-tengah badan (arm resting on body).
5) Gerak tongkat dan langkah kaki ada koordinasi yang harmonis (coordination/keep
in step).

d. Jenis teknik diluar ruang


Dalam teknik di luar ruangan (out door technique), akan diuraikan beberapa
teknik yang harus dikuasai oleh anak dengan hambatan penglihatan dan mampu
menggunakan teknik dengan trampil pada daerah/tempat yang sedang dilaluinya.
Teknik-teknik itu ialah :
1) Teknik sentuhan (Touch technique)
Teknik ini dapat digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun daerah
yang belum dikenal oleh anak dengan hambatan penglihatan, yang masih asing
bagi anak dengan hambatan penglihatan untuk menjelajahi tempat tersebut, namun
anak dengan hambatan penglihatan dapat berjalan dengan selamat.
Prosedur dari teknik sentuhan ini adalah sebagai berikut :
a) Cara memegang tongkat (grip)
Cara memegang grip diharapkan tidak tegang, tetapi harus relax seperti orang
yang sedang berjabat tangan. Dari yang benar-benar berfungsi dalam
memegang tongkat in adalah jari telunjuk yang untuk menahan tongkat dan

Halaman 35 dari 47
ibu jari, untuk menekan pegangan atau grip. Sedang jari-jari yang lain
fungsinya hanya sebagai pembantu saja. Posisi tongkat harus rapat pada
telapak tangan dengan telunjuk lurus pada bagian tongkat atau grip yang
datang (rata).
b) Lebar Busur
Lebar busur ke kiri dan ke kanan harus selalu sama atau stabil sehingga dapat
melindungi kaki kiri dan kanan (tip tepat lurus dengan bahu) tidak boleh
terlalu lebar ke kiri atau ke kanan. Posisi pergelangan tangan juga tidak boleh
terlalu ke tepi / sisi kiri atau kanan, terlalu ke atas atau ke bawah.
c) Mengecek sebelum melangkah (clearing)
Sebelum melangkahkan kaki, anak dengan hambatan penglihatan harus
mengecek lebih dulu tempat yang akan diinjak untuk berjalan.
Bila menyentuh sesuatu harus benar-benar diperhatikan apakah jenis benda
itu.
Cara mengecek : Ujung tongkat (tip) digeserkan dari samping kiri ke samping
kanan (atau sebaliknya), kemudian digeserkan kembali ke depan pada tengah-
tengah badan, selanjutnya ditarik digeser menuju tengah-tengah ke dua telapak
kaki. Teknik ini digunakan juga waktu akan menyeberang jalan.
d) Posisi tangan
Posisi pergelangan tangan di tengah-tengah badan, sehingga kalau menyentuh
/ menabrak sesuatu benda atau terkait tidak menusuk perut dan bagian
busurnya akan menyentuh benda itu lebih dulu.
Pergelangan tangan yang ditengah-tengah ini juga akan membantu anak
dengan hambatan penglihatan untuk dapat bejalan dengan lurus.
e) Gerak tongkat dan langkah kaki ada koordinasi yang harmonis
Gerak tongkat dan langkah kaki harus selalu seimbang, seirama dan stabil.
Dengan posisi kalau kaki kiri melangkah, maka ujung tongkat bergerak ke
kanan dan sebaliknya kalau kaki kanan melangkah maka ujung tongkat
bergerak ke kiri. Sela langkah dapat terjadi jika kaki geraknya tidak seperti
tersebut diatas. Misalnya kaki kiri melangkah dan ujung tongkat ada di depan
kaki kiri melangkah dan ujung tongkat ada di depan kaki kiri tersebut.
Demikian pula pada langkah kaki kanan, juga dapat terjadi salah langkah atau
out step. Hal ini harus segera diingatkan oleh guru (instruktur) orientasi dan

Halaman 36 dari 47
mobilitas setelah terjadi beberapa langkah out step, padahal anak tidak
menyadari.
Setelah prosedur tersebut diketahui anak anak dengan hambatan
penglihatan , maka cara berjalan adalah dengan menyentuhkan ujung tongkat di
daerah kaki kiri, kemudian digeser ke kanan ke depan telapak kaki ke kanan
sampai menyentuh garis pengarah (shore line) terus diangkat sedikit dari
permukaan tanah dikembalikan ke kiri atau sebaliknya dari permukaan tanah
dikembalikan ke kiri atau sebaliknya dapat pula dimulai dengan menyentuhkan
ujung tongkat pada sisi kanan, terus digeser ke kiri dan seterusnya.
Secara rasional di jalan yang rata / trotoar bila anak dengan hambatan
penglihatan menggunakan teknik ni akan selamat sampai ke tujuan, karena dengan
ujung tongakt yang digeser ke arah garis pengarah yaitu pada sebelah kiri atau
kanan anak dengan hambatan penglihatan, semua benda akan tersentuh, sehinggga
kaki dan tubuh akan terlindung oleh gerakan tongkat.
Dengan selalu menyentuh garis pengarah anak dengan hambatan
penglihatan selanjutnya akan mengikuti ke arah tujuan yang akan dicapai dengan
selamat.
b) Teknik Dua Sentuhan (Two Touch Technique)
Teknik dua sentuhan ini pada dasarnya adalah sama dengan teknik
sentuhan, perbedaanya hanya pada penggunaan dan geseran tongkat saja.
Teknik dua sentuhan digunakan untuk berjalan di jalan / tempat yang
kasar, dimana kalau tongkat digeser busrnya akan kerap tersangkut / menusuk
jalan atau tanah, sehingga gerakan tongkat ke kiri dan kanannya tidak dengan
digeser, melainkan sedikit diangkat ujungnya dari tanah (jangan lebih dari 10
sentimenter diatas tanah), dan disentuhkan ke sebelah kiri dan kanan di depan
telapak kaki jaraknya sama dengan teknik sentuhan.
Tujuan penggunaan teknik ini untuk berjalan mengikuti shore line, mencari
belokan, jalan masuk, jalan yang bahaya (kasar) dan untuk mengecek posisi tubuh
berada di pinggir atau tidak.
Teknik sentuhan maupun teknik dua sentuhan ini tidak selalu digunakan
sepanjang perjalanan, tetapi hanya digunakan dalam hal-hal seperti tersebut ditas.
Dengan teknik dua sentuhan ini anak dengan hambatan penglihatan juga
akan aman tidak akan tertabrak kendaraan, tersesat dan akan dapat berjalan
dengan laras.

Halaman 37 dari 47
c) Teknik Menggeserkan Tip (Slide Technique)
Prosedur teknik ini juga sama dengan prosedur kedua teknik tersebut
diatas. Perbedaannya juga hanya pada penggunaan geseran waktu menggerakan
tongkat.
Teknik ini digunakan pada jalan / trotoar / tempat yang rata / licin
permukaannya dengan menggunakan ujung tongkat ke kiri atau ke kanan pada
jalan / trotoar / tanah yang rata, sehingga semua benda, lubang baik besar maupun
kecil dapat tersentuh oleh bagian busur tongkat dan akhirnya tidak ada sesuatu
halangan pun yang tidak tersentuh oleh bagian busur dari geseran tongkat
sebelumnya.
Berjalan dengan teknik menggeserkan tip yang besar, akan membawa anak
dengan hambatan penglihatan sampai ke tempat tujuan dengan aman dan sleamat
karena semua halangan akan terdeteksi.
d) Teknik Naik dan Turun Tangga (Up and Down Stair Technique)
Tujuan penggunaan teknik ini, agar anak dengan hambatan penglihatan
mampu berjalan nai dan turun tangga dengan aman dan selamat sampai habis
seluruh tangga yang sedang dilalui.
Sebelum naik atau turun tangga tu harus mengadakan penertiban dulu
(squaring off) pada pinggir tangga yang pertama untuk naik atau turun, dengan
menggunakan ujung ke dua telapak kaki, dirasakan pada bagian pinggir tangga
(lurus dengan tangga).
Setela squaring off, anak dengan hambatan penglihatan mengecek tinggi
angga dan lebar tangan serta posisinya sudah di tengah-tengah jalan atau belum,
untuk menghindari kalau tangga naik atau turunnya tidak menggunakan pegangan
agar anak dengan hambatan penglihatan tidak terjun ke samping tangga. Tetapi
kalau disamping kiri / kanan ada pegangan, anak dengan hambatan penglihatan
lebih baik naik atau turun mendekati pegangan. Anak dengan hambatan
penglihatan dapat naik atau turun denga sebelah tangan memegang tongkat dan
sebelumnya berpegangan pada pegangan tangan.
Cara mengecek anak dengan hambatan penglihatan menggeserkan ujung
tongkatnya dari sisi kiri ke sisi kanan, kemudian digeser kembali ke tengah dan
ditarik ke ara kaki, seperti waktu mencek pada awal perjalanan.
Kalau anak dengan hambatan penglihatan sudah yakin bahwa posisinya
sudah benar dan siap akan naik, anak dengan hambatan penglihatan hendaknya

Halaman 38 dari 47
menggunakan teknik tongkat menyilang tubuh dengan ujung tongkat disentuhkan
pada pinggiran tangga yang kedua dan tegak agak diangkat sehingga ujung
tongkat kira-kira hanya 5 centimeter berada di bawah bibir tangga ke dua.
Kemudian mulai naik dengan posisi tangga dan ujung tongkat yang tidak berubah
sampai terasa tangga naik habis, karena bila tangga naik habis ujung tongkat tidak
menyentuh tangga lagi.
Bila turun tekniknya juga sama, hanya ujung tongkat disentuhjkan pada
tangga ke dua pada bagian bibirnya kemudian sedikit menggantung dan bila
tangga turun nanti sudah habis, ujung tongkat akan menyentuh lantai, selanjutnya
anak dengan hambatan penglihatan berjalan dengan teknik menggeserkan tip
(slide technique).
Untuk berjalan naik dan turun tangga yang lebar permukaan tangganya
tidak sama, tiap-tiap tangga harus dicek, sehingga tiap melangkah satu tangga,
anak dengan hambatan penglihatan tidak boleh lupa mengecek, jadi naik atau
turunnya satu tangga demi satu tangga.
Teknik-teknik tersebut harus dilatihkan pada tu, dimulai dari lingkungan
anak dengan hambatan penglihatan sendiri. Kalau mulai latihan di kompleks
sekolah, maka latihan di lingkungan sekolah ini harus dikuasai dulu, kemudian
diperluas sampai berjalan di keramaian kota yang penuh kesibukan lalu lintas.
Kadang-kadang seorang anak dengan hambatan penglihatan ingin berjalan
menyusuri sesuatu pagar, tembok, tepi parit, sisi jalan dan lain-lain, maka dia
harus tetap mengayunkan tongaktnya ke akan dan ke kiri agar dapat menyentuh
benda-benda tersebut. Anak dengan hambatan penglihatan tidak boleh sama sekali
hanya menggeserkan ujung tongkatnya untuk ditarik sepanjang benda itu, karena
perbuatan yang demikian ini akan membahayakan anak dengan hambatan
penglihatan sendiri, sebab badannya tidak terlindung oleh tongkat.
Dalam melatih anak dengan hambatan penglihatan untuk berjalan dengan
teknik tongkat yang benar-benar dikuasai, guru orientasi dan mobilitas akan
membutukan waktu yang cukup lama, karena harus mengulangi latihan-latihan
sampai beberapa kali, sehinga anak dengan hambatan penglihatan benar-benar
menguasainya.
Bila anak dengan hambatan penglihatan sudah berhasil menguasai sesuatu
teknik, sebaiknya guru mengatakan keapdanya, bahaw dia telah menguasai dan
dapat melakukan dengan baik. Hal ini akan membuat anak dengan hambatan

Halaman 39 dari 47
penglihatan berbesar hati dan akan mendorong untuk mengerjakan yang lebih baik
lagi.
Guru orientasi dan mobilitas hendaknya selalu menyadari bahwa memberi
kesempatan kepada anak dengan hambatan penglihatan untuk menggunakan
tongkat berarti memberi kesempatan kepada anak dengan hambatan penglihatan
untuk bepergian ke tempat yang diinginkan oleh anak dengan hambatan
penglihatan, seperti ingin ke sekolah, ke tempat ibadah, ke pasar, ke toko, ke alun-
alun, ke pusat kota atau ke pertemuan-pertemuan sosial.
Keadaan di lingkungan anak dengan hambatan penglihatan akan
mempermudah anak dengan hambatan penglihatan untuk gerakannya. Anak
dengan hambatan penglihatan harus mampu mengenali suara-suara binatang, bau
sampah dan barang-barang lain yang harus dihindari pada waktu berjalan. Bau-
bauan makanan, sayur-sayuran, buah-buahan atau bunga-bunaan dapat menjadi
petunjuk bagi anak dengan hambatan penglihatan dimana dia berada. Perbedaan
suhu dan tiupan angin di sekeliling anak dengan hambatan penglihatan akan dapat
menjadi petunjuk bagi para anak dengan hambatan penglihatan untuk mengira-ira
waktu dan cuaca pada saat itu.
Seorang anak dengan hambatan penglihatan harus dilatih juga untuk
menyeberang jalan dan menggunakan angkutan umum.
Di jalan yang sempit, anak dengan hambatan penglihatan dapat
mendengarkan apakah ada kendaraan yang akan lalu atau tidak. Bila ternyata tidak
ada kendaraan yang lalu yang berarti keadaan jalan aman, maka sesudah squaring
off anak dengan hambatan penglihatan dapat menyeberang jalan.
Sedang di jalan yang ramai keadaan kendaraannya anak dengan hambatan
penglihatan harus mampu mendengarkan suara kendaraan untuk dapat mengambil
kesempatan yang aman untuk menyeberang jalan. Tetapi kalau anak dengan
hambatan penglihatan tidak mampu menyeberang jalan di tempat yang ramai tidak
ada salahnya juga kalau minta tolong kepada orang lain.
Orang dengan hambatan penglihatan juga sebagaimana halnya orang awas
kalau menyeberang jalan di tempat penyeberang yang ada zebra crossnya, anak
dengan hambatan penglihatan juga harus mampu menggunakan tempat
penyeberangan yang ada zebra crossnya tersebut.

Halaman 40 dari 47
Untuk menyebarang jalan guru orientasi dan mobilitas harus juga melatih
dari tempat yang sepi, kemudian diperluas sampai di tempat yang paling ramai
lalu-lintasnya di pusat keramaian kota.
Sedang untuk latihan naik/menggunakan kendaraan umum, juga dimulai
dengan suatu waktu dimana dan kapan suasana kendaraan tidak terlalu sibuk.
Anak dengan hambatan penglihatan juga harus melatih untuk bertanya kepada
orang lain, mengenai nomor dan tujuan kendaraan yang akan digunakannya, dan
dimana dia harus turun dan sebagainya.
Pada akhirnya anak dengan hambatan penglihatan harus dilatih untuk
selalu bertanya kepada dirinya sendiri sebelum bergerak untuk berjalan tentang :
- Dimana saya berada?
- Kemana saya akan pergi?
- Bagaimana saya dapat sampai ke sana?
Dari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, anak dengan hambatan
penglihatan dapat membuat suatu rencana perjalanannya. Anak dengan hambatan
penglihatan harus mengetahui ciri medan dan beberapa petunjuk yang dapat
membantunya. Anak dengan hambatan penglihatan harus juga sudah menguasai
arah mata angin dengan baik dan juga harus mempunyai kemampuan untuk
membaca peta atau denah timbul dengan trampil.
Bila anak dengan hambatan penglihatan bepergian tanpa mengetahui
bagaimana caranya untuk mencapai tujuan, anak dengan hambatan penglihatan
dapat dengan mudah tersesat, sehingga sulit untuk mencapai tujuan perjalanannya
dengan cara yang efektif dan efisien. Karena itu Dari uraian diatas maka dapat
disimpulkan ada 3 (tiga) keterampilan yang harus dikuasai agar anak dengan
hambatan penglihatan dapat bepergian dari suatu tempat ketempat lain yang
dikehendaki dengan tepat, efisien dan selamat tanpa banyak bantuan orang lain
yaitu:
a) Keterampilan Orientasi adalah keterampilan yang membuat dan mengantarkan
anak dengan hambatan penglihatan ketujuan dengan tepat sesuai dengan yang
diinginkan.
b) Keterampilan mobilitas adalah keterampilan yang membuat tnanetra bergerak
dengan baik dan lincah menuju tujuan.

Halaman 41 dari 47
c) Keterampilan menggunakan Tehnik Mobilitas, hal ini membuat anak dengan
hambatan penglihatan bisa bergerak dan sampai ketujuan yang diinginkan
dengan dengan selamat.

D. Keterampilan Sosial
Ketrampilan sosial merupakan keterampilan yang berhubungan dengan aktifitas
seseorang sehari-hari baik dilakukan untuk dirinya maupun dilakukan untuk orang
lain dan lingkungannya. Seorang mempelajari keterampilan sosial ini melalui meniru
dan tidak disengaja. Bagi seseorang yang mengalami ketunanetraan, kemampuan
meniru aktifitas yang diluar jangkauan fisiknya merupakan kesulitan tersendiri dan
hampir dapat dikatakan sulit dan dan sebagian besar anak dengan hambatan
penglihatan tidak bisa melakukannya. Karena itu keterampilan sosial merupakan salah
satu kebutuhan dasar yang harus ada dalam program pendidikan dan rehabilitasi anak
dengan hambatan penglihatan.

E. Keterampilan komunikasi
Akibat dari masalah penglihatannya yang tidak bisa digunakan atau kurang baik untuk
digukan dalam mempelajari orang lain disekitar dirinya dalam melakukan komunikasi
maka tunanetra tidak secara otomatis dapat melakukan komunikasi secara ekspresif.
Karena keterampoilan komunikasi secara ekspresif bagi orang awas bisa dipelajari
secara insidentil atau tidak disengaja sejak anak itu lahir dan telah dapat menggunakan
matanya. Bagi tunanetra yang sejak lahir atau dibawah umur 5 tahun hal tersebut tidak
dapat dilakukan. Oleh karena itu secara otomatis tunanetra membutuhkan pembelajaran
khusus tentang tehnik komunikasi lisan yang ekspresif.
Komunikasi yang ekpresif dari seseorang akan lebih disenangi oleh lawan
komunikasinya, sehingga tujuan komunikasi tersebut akan lebih memungkinkan
mencapai tujuannya. Komunikasi itu sendiri memiliki prinsip:
1. Merupakan proses dua arah yang menyertakan membagikan perasaan, ide dan
informasi lainnya.
2. Berbagai cara interaksi antara pembicara dengan penerima, bisa melalui bicara
dan mendengarkan, (gestures), dan isyarat.
3. Komunikasi bisa melintasi batas ruang dan waktu bila ditulis, direkam dan
terjadi pada media massa dan sosial.

Halaman 42 dari 47
4. Komunikasi terjadi dengan baik bila kedua yang terlibat memiliki kesamaan
pengalaman.
5. Pendidikan dirancang untuk memberikan pengalaman dan mendorong
peningkatan keterampilan komunikasi baca, tulis, bicara dan mendengarkan.
6. Dalam mengembangkan komunikasinya, Tunanetra sangat terbatas
kesempatannya untuk belajar secara insidentil.
7. Komunikasi mengandung unsur reseptve dan ekspresif.
8. Keterampilan Komunikasi Reseptif meliputi membaca termasuk membaca
braille dan awas, mendengar, membaca dengan suara.
9. Keterampilan komunikasi ekspresif, meliputi menulis braille, mengetik,
menulis dengan tangan, Membaca (visual, taktual, aural) membutuhkan
kesiapan keterampilan yang spesifik. Membaca itu memerlukan keterampilan
yang berurutan.
4. Contoh, Non-Contoh, Ilustrasi:
Dengan berpasangan, silakan anda mempraktikkan teknik-teknik OM:
a. Teknik membuat kontak, membuat pegangan, berjalan dengan pendamping.
b. Terknik berjalan di tempat yang sempit, berpindah pegangan, berbalik arah
c. Teknik menelusur, membuka dan menutup pintu, naik dan turun tangga
d. Teknik tongkat, satu, dua, dan tiga sentuhan
e. Teknik tongkat naik dan turun tangga.

5. Forum Diskusi
Dalam forum diskusi ini, coba mahasiswa diskusikan bagaimana fungsi OM bagi
anak hambatan penglihatan dapat bepergian secara aman, cepat, tepat, dan
mandiri.

C. Penutup
1. Rangkuman
Adanya hambatan penglihatan pada seorang anak akan menyebabkan adanya 3
(tiga) keterbatasan pokok yaitu : Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman
baru, keterbatasan interaksi dengan lingkungan dan keterbatasan dalam mobilitas.
Karena itu untuk dapat mengatasi keterbatasan sehingga anak tunanetra dapat

Halaman 43 dari 47
akses kedalam berbagai aspek kehidupan dibutuhkan penguasaan keterampilan
kompensatoris.

Keterampilan yang dapat mengkompensasi keterbatasan dasar tunanetra


meliputi: Ketrampilan komunikasi, keterampilan sosial dalam kehidupan sehari-
hari dan keterampilan orientasi dan mobilitas. Keteramillan Komunikasi dan
keterampilan social hanya dapat dilakukan dan berfungsi baik dalam kehidupan
bila anak dapat bergerak dengan bebas mandiri, efektif dan efisien..

Anak awas dengan kemampuan pengliohatannya dapat menguasai ketiga


keterampilan tersebut di atas secara bertahap dan insidentil tampa disengaja.
Anak awas tanpa diperintah akan mengamati secara visual apa yang terjadi
dilingkungannya dan secara tidak disengaja akan meniru apa yang dilakukan oleh
orang yang berada dilingkungan anak. Hal ini tidak terjadi pada anak dengan
hambatan penglihatan. Anak hambatan penglihatan dengan hambatan visual yang
dimiliki, menyebabkan keterampilan tersebut bagi anak tidak dapat dikuasai
secara incidental atau tidak disengaja seperti yang terjadi pada anak yang
memiliki penglihatan.

Karena hambatan penglihatan yang ada, tunanetra mempelajari keterampilan


tersebut harus diajarkan secara sengaja dan kongkrit, terencana, menyeluruh dan
bertahap sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak. Dengan demikian
untuk membuat anak hambatan penglihatan memiliki keterampilan dan
kemandirian yang mendekati dan atau setara dengan anak anak awas maka ketiga
keterampilan tersebut merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan
dalam pendidikan anak hambatan penglihatan.

Halaman 44 dari 47
6. Tes Formatif
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memilih a,b,c,d, dan e yang paling
benar:
1. Seorang peserta didik tunanetra usia 10 tahun yang baru mengalami ketunanetraan
selama 6 bulan, materi pembelajaran yang harus diprioritaskan adalah …….
a. Membaca dan menulis
b. Orientasi dan mobilitas
c. Pendidikan jasmani
d. Pendidikan vokasional
e. Sensitivitas perabaan
2. Kebutuhan utama anak tunanetra adalah …….
a. Orientasi
b. Mobilitas
c. Orientasi dan mobilitas
d. Bina diri
e. Teknologi asistif
3. Teknik yang digunakan seorang tunanetra untuk memperoleh garis pengarah dari
suatu objek atau bunyi, sehingga dapat berjalan lurus dan sampai tujuan dengan tepat
disebut;
a. Direction taking
b. Trailing
c. Upper hand
d. Lower hand
e. Squaring up
4. Pengertian shore-line dalam orientasi mobilitas adalah …..
a. Batas atau tepi jalan atau rumput
b. Tindakan menentukan suatu arah dari suatu objek atau suara
c. Benda-benda dengan garis lurus yang permukaannya jika diteruskan
d. Objek suara bau suhu atau rabaan yang dapat dipakai sebagai petunjuk.
e. Garis penghubung antar objek
5. Perlindungan diri lengan menyilang dibagian atas badan dengan telapak tangan
menghadap kedepan pada tunanetra adalah ……
a. Upper hand and fore arm
b. Trailing

Halaman 45 dari 47
c. Direction taking
d. Dropped objects
e. Lower hand and fore arm
6. Yang bukan dari komponen orientasi berikut ini adalah …..
a. Self familiarization
b. Analisis
c. Measurement
d. Landmarks
e. Clue
7. Pola dan susunan nomor-nomor ruangan di dalam suatu bangunan ialah ……
a. Clue
b. Landmark
c. Indoor numbering system
d. Number
e. Outdoor numbering system
8. Bau makanan dalam restoran dalam pembelajaran ATN termasuk dalam...
a. Persepsi
b. Asimilasi
c. Orientasi
d. Klasifikasi
e. Sensori
9. Posisi ATN saat menyeberang jalan dengan pendamping awas adalah...
a. Samping kiri pendamping agak ke belakang
b. Didepan pendamping
c. Disamping pas
d. Dibelakang
e. Samping kiri pendamping
10. Di bawah ini yang termasuk kedalam kegiatan mobilitas ATN adalah...
a. Menuju bunyi yang diperdengarkan
b. Membedakan bunyi
c. Menentukan arah bunyi
d. Menyebutkan sumber bunyi
e. Memainkan alat musik

Halaman 46 dari 47
Daftar Pustaka

Berthold Lowenfeld (terjemahan), Frans Harsana S. (1979), Anak dengan


hambatan penglihatan di Sekolah
(penyesuaian hidup), Jakarta.

Friend, Marilyn (2005). Special Education: Contemporary Perspectives for


School Professionals. New York: Pearson Education Inc.

Irham Hosni, Orientasi dan Mobilitas, Sosial, Komunikasi (OMSK). Makalah.


Bimtek, 2017

Geraldine T. School (Ed.) (1986), Foudations of Education for Blind and Visually
Handicapped Chindren and Youth, New York : American Foundation for
the Blind, Inc.

Samuel A. Kirk, J.J. Gallagher (1986). Education Exceptional Children. New


Jersey: Houghton Mifflin Company.

Halaman 47 dari 47
PENDALAMAN MATERI : PENDIDKAN KHUSUS (PKh)/
PENDIDIKAN LUAR BIASA (PLB)

MODUL 2

PENDIDIKAN BAGI ANAK DENGAN HAMBATAN


PENGLIHATAN

KEGIATAN BELAJAR 4:

PEMBELAJARAN BAGI ANAK


DENGAN HAMBATAN PENGLIHATAN

Penulis
Marja

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


Tahun 2019

Halaman 1 dari 46
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Modul 2 Pendalaman Materi
Bidang Pendidikan Khusus bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan untuk
pendidikan dan latihan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Jabatan tahun 2020.
Penulisan modul ini berorientasi pada program kegiatan Diklat yang
bersifat daring (online), untuk para mahasiswa dengan latar belakang pendidikan
khusus atau pendidikan luar biasa (PKh/PLB). Pada modul 2 ini berkaitan dengan
layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), yang
terdiri dari kegiatan belajar (KB) 1 sampai dengan 4. Pada KB 1 dibahas tentang
konsep dasar anak dengan hambatan penglihatan, KB 2 tentang Braille, KB 3
tentang oreintasi dan mobilitas, serta KB 4 tentang pembelajaran bagi anak
dengan hambatan penglihatan.
Di dalamn modul ini berisi paparan materi dari setiap kegiatan belajar
(KB), yang dilengkapi dengan paparan dalam bentuk power point (ppt), juga
media pembelajaran penyertanya berupa video animasi dan video pembelajaran.
Hal tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi para mahasiswa
peserta diklat yang mempelajari materi pendalaman ini secara daring, mudah
dalam membaca dan memahaminya, serta mempraktikkannya secara mandiri.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah memberikan kesempatan menulis dan mengembangkan
bahan diklat pendalaman materi dalam bentuk modul ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Penyelia yang penuh dedikasi memberikan
masukan arahan yang konstruktif, kepada Tim Media yang telah membantu
membuatkan media pembelajaran yang baik, juga kepada SLB A Pembina
Tingkat Nasional Jakarta yang telah berkenan dalam pembuatan video
pembelajaran. Tidak terlupakan untuk para penulis modul pendidikan khusus yang
telah memberikan masukan dan dorongan dalam penyelesaian penyusunan modul
ini.

Halaman 2 dari 46
Penulis menyadari bahwa modul ini masih belum sempurna, kritik dan
saran perlu terus dilakukan untuk perbaikan dan penyempurnaannya. Semoga
kebaikan dari semua pihak diterima oleh Allah SWT, Tuhan YME sebagai amal
jariyah, aamiin.
Jakarta, November 2019
Penulis

Halaman 3 dari 46
DAFTAR ISI

Cover ........................................................ i
Kata pengantar ........................................................ ii
Daftar Isi ........................................................ iii

A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat ..................................................... 1
2. Relevansi ..................................................... 1
3. Petunjuk Belajar ..................................................... 2

B. Inti
1. Capaian Pembelajaran ..................................................... 3
2. Pokok-pokok Materi ..................................................... 4
3. Uraian Materi ...................................................... 5
a. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Bagi
Anak Dengan Hambatan Penglihatan ................. 6
b. Pengembangan Konsep ......................................... 8
c. Strategi Pembelajaran ......................................... 14
d. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ................. 20
4. Contoh, non-contoh, ilustrasi .......................................... 26
5. Forum Diskusi ...................................................... 32

C. Penutup
1. Rangkuman ..................................................... 32
2. Tes Formatif ..................................................... 33
3. Daftar Pustaka ..................................................... 35
4. Tes Sumatif ..........................................................
36
5. Tugas Terstruktur .......................................................... 40
6. Kunci Jawaban Tes .............................................. 40

Halaman 4 dari 46
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Anak dengan hambatan penglihatan/tunanetra, secara umum mempunyai
kemampuan untuk belajar sebagaimana peserta didik yang awas. Beberapa
kemampuan yang diharapkan dapat dikuasainya akan dapat dikembangkan
melalui pembelajaran yang tepat. Kemampuan komunikasi, menerima
informasi, bergerak, dan berpindah tempat bagi anak dengan hambatan
penglihatan/tunanetra menjadi hal yang penting. Terhambatnya/hilangnya
kemampuan melihat, beberapa informasi visual dapat berdampak dalam
pembelajaran bagi anak dengan hambatan penglihatan/tunanetra yang
dapat diakses dengan baik dalam kegiatan pembelajaran, yang dalam KB 4
dikenal dengan Pembelajaran bagi anak dengan hambatan
penglihatan/tunanetra.

2. Relevansi
Mahasiswa Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan merupakan guru
yang sudah mengajar di Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SKh/SLB),
melalui PPG ini diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan kompetensi
antara lain pedagogik dan profesional dalam bidang ilmu pendidikan
khusus/pendidikan luar biasa, khususnya kajian bagi anak dengan
hambatan penglihatan. Setelah mengikuti PPG ini, diharapkan mahasiswa
yang merupakan guru di SKh/SLB dapat lebih profesional dalam
memberikan pembelajaran di kelas dengan memperhatikan karakteristik
anak dengan hambatan penglihatan. Melalui modul ini yang merupakan
bahan belajar mandiri, diharapkan mahasiswa PPG dapat lebih
memperdalam dan menguasai konsep-konsep dan praktik pembelajaran
bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan.

Halaman 5 dari 46
3. Petunjuk belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh
mahasiswa PPG untuk materi pembelajaran bagi peserta didik dengan
hambatan penglihatan Sebaiknya modul ini dibaca dan dipahami secara
cermat dan berurutan mulai dari materi pertama sampai materi terakhir,
sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh terkait pembelajaran
bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan

Halaman 6 dari 46
B. Inti :
1. Capaian Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip pembelajaran bagi anak dengan
hambatan penglihatan
b. Mahasiswa dapat mendeskripsikan pengembangan konsep pada anak dengan
hambatan penglihatan
c. Mahasiswa dapat mendeskripsikan strategi pembelajaran bagi anak dengan
hambatan penglihatan
d. Mahasiswa dapat mendeskripsikan pengembangan perangkat pembelajaran
bagi anak dengan hambatan penglihatan

2. Pokok-Pokok Materi
e. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan
1) Hakikat Prinsip Pembelajaran bagi Anak dengan hambatan penglihatan
2) Prinsip Pembelajaran bagi Anak dengan hambatan penglihatan
f. Pengembangan Konsep Pada Anak Dengan Hambatan Penglihatan
1) Hakikat Pengembangan Konsep
2) Pengajaran Konsep pada Anak dengan hambatan penglihatan
3) Asesmen Pemahaman Konsep
g. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan
1) Layanan Pendidikan
2) Strategi Pembelajaran
3) Media Pembelajaran
4) Evaluasi Pembelajaran
h. Pengembangan Perangkat Pembelajaran, meliputi:
1) Pemetaan Kompetensi
2) Penyusunan Silabus
3) Penyusunan RPP
4) Penyusuna Bahan Ajar
5) Penyusunan Media, Metoda, dan Evaluasi

Halaman 7 dari 46
3. Uraian Materi:
1. Prinsip Pembelajaran Anak dengan hambatan penglihatan
a. Hakikat Prinsip Pembelajaran Anak dengan hambatan penglihatan
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta
didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih
baik (Mulyasa, 2004: 100). Di dalam pembelajaran, terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi, baik faktor internal dari dalam diri individu, maupun
faktor eksternal yang berasal dari lingkungan individu.
Sementara menurut Sari Rudiyati (2003, dalam Yatiningsih, 2010), pembelajaran
berarti penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang
diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan
memungkinkan terjadinya pembelajaran.
Dengan demikian, pembelajaran bagi anak dengan hambatan penglihatan
merupakan proses interaksi antara peserta didik hambatan penglihatan dengan
lingkungannya, dan atau proses penciptaan sistem lingkungan yaitu seperangkat
peristiwa yang dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan
memungkinkan terjadinya pembelajaran bagi anak hambatan penglihatan,
sehingga terjadi perubahan perilaku anak dengan hambatan penglihatan ke arah yang
lebih baik.
Orang dengan hambatan penglihatan mengalami tiga keterbatasan (Lowenfeld,
1948 dalam Rahardja, 2010), yaitu:
1) Keterbatasan akan kontrol lingkungan dan diri dalam hubungannya dengan
lingkungan.
Keterbatasan ini mempengaruhi penerimaan informasi dalam interaksi
sosial. Seseorang dengan hambatan penglihatan mungkin tidak mampu
menentukan kapan orang lain keluar atau masuk ruangan atau berjalan
menjauhi atau mendekati kelompoknya. Seorang hambatan penglihatan
mungkin tidak tahu apakah orang lain berbicara atau mendengarkan pada dirinya
karena dia tidak dapat melihat bagaimana ekspresi wajah dan gerakan tangan
orang lain, atau mempergunakan kontak mata.
2) Keterbatasan dalam mobillitas.
Apabila keterbatasan ini tidak ditangani dengan memberikan pelatihan
kepada orang dengan hambatan penglihatan, maka akan menghadapi kesulitan
dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Kemungkinan dia akan kesulitan
Halaman 8 dari 46
mempelajari lingkungan yang baru tanpa adanya bantuan dari orang lain,
atau dia akan berkesulitan menemukan landmark khusus yang hanya
dijelaskan dalam bentuk pengenalan verbal. Dikarenakan tidak adanya
penglihatan, orang hambatan penglihatan tidak dapat mengendarai kendaraan
yang merupakan alat penting untuk melakukan mobilitas dalam berbagai
lingkungan.
3) Keterbatasan tingkat dan keanekaragaman konsep.
Orang hambatan penglihatan yang hambatan penglihatanannya diperoleh
sejak lahir akan menghadapi kesulitan ketika memperoleh konsep-konsep yang
baru, seperti perkembangan teknologi, pakaian, dan perubahan dalam
lingkungan. Keterbatasan ini merupakan masalah utama yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan orang hambatan penglihatan yang diperoleh sejak lahir
karena pengembangan konsep merupakan dasar dari belajar akademik, sosial,
dan psikomotor. Orang awas mempelajari dan mengembangkan konsep
dilakukan secara informal, sedangkan orang hambatan penglihatan harus
melakukannya secara terstruktur untuk membantu mengembangkan konsepnya
dengan baik.
Pembelajaran yang terbaik bagi anak dengan hambatan penglihatan adalah
yang berpusat pada apa, bagaimana, dan di mana pembelajaran khusus yang
sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia. Pembelajaran khusus yang sesuai
dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan, prinsip-prinsip
tentang metoda khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran
tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan anak dimana pembelajaran akan dilakukan (Rahardja, 2010).
1) Pembelajaran dalam kurikulum inti yang diperluas
Para ahli mengemukakan, bahwa hambatan penglihatan mempunyai dua
perangkat kebutuhan kurikulum: pertama adalah kurikulum yang
diperuntukan bagi siswa pada umumnya, seperti: bahasa, seni, matematika,
dan IPS; kedua adalah yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya sebagai
akibat dari hambatan penglihatanannya yaitu kurikulum inti yang diperluas,
seperti: keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan
keterampilan pendidikan karir. Para ahli pendidikan bagi hambatan penglihatan,
khususnya mereka yang memberikan bantuan dan mengajar siswa dalam
setting inklusi, mungkin akan dihadapkan dengan dilema apa yang akan
Halaman 9 dari 46
diajarkan dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya mengajarkan
langsung kepada anak dengan hambatan penglihatan keterampilan khusus untuk
mendukung keberhasilannya berada di sekolah umum.
2) Mempergunakan prinsip-prinsip metoda khusus
Anak dengan hambatan penglihatan hendaknya diberikan pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan belajar khusus bagi mereka. Guru umum biasanya lebih
menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu tidak sesuai
dengan hambatan penglihatan.
Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metoda khusus untuk membantu
mengatasi keterbatasan akibat hambatan penglihatanan:
1) Membutuhkan pengalaman nyata.
Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari
lingkungannya melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda-benda
yang ada di sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya. Bagi
siswa yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktivitas seperti
itu merupakan tambahan dari eksplorasi visual yang dilakukan. Kalau
benda- benda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model.
2) Membutuhkan pengalaman menyatukan. .
Hambatan penglihatanan menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk
melihat keseluruhan dari suatu benda atau kejadian, guru hendaknya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyatukan bagian-bagian menjadi satu
kesatuan yang utuh.
Mempergunakan pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar
menghubungkan antara mata pelajaran akademis dengan pengalaman
kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan
pengalaman menyatukan.
3) Membutuhkan belajar sambil melakukan (learning by doing).
Guru hendaknya memberi kesempatan kepada anak dengan hambatan
penglihatan untuk mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan
mempraktekan keterampilan tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam
kurikulum inti yang diperluas, misalnya orientasi dan mobilitas, dapat diperlajari
dengan mudah oleh hambatan penglihatan apabila mempergunakan pendekatan
belajar sambil bekerja ini.

Halaman 10 dari 46
Semua siswa, apakah dia hambatan penglihatan atau bukan, akan
mendapatkan keuntungan dari pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip
metoda khusus tersebut, dan mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu
dapat membantu siswa untuk belajar membuat suatu konsep dari suatu pola
umum.

b. Prinsip Pembelajaran bagi Anak dengan hambatan penglihatan


Pembelajaran bagi anak hambatan penglihatan perlu memperhatikan
sejumlah prinsip berikut ini (Nurjana, 2009):
1) Prinsip Individual
Prinsip individual ini merupakan prinsip umum dalam pelaksanaan
pembelajaran baik dalam konteks pendidikan khusus maupun pendidikan
umum. Guru dituntut untuk memperhatikan perbedaan individu siswa atau
peserta didik.
Dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak
dengan hambatan penglihatan, dimensi perbedaan individu ini menjadi lebih
luas dan kompleks. Selain perbedaan individu yang umum seperti usia,
kemampuan mental, fisik, kognitif, kesehatan, sosial dan budaya, anak
hambatan penglihatan juga menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang
terkait dengan hambatan penglihatanannya.
Perbedaan khusus ini meliputi antara lain: tingkat atau derajat
hambatan penglihatannya, masa terjadinya hambatan penglihatanan,
penyebab hambatan penglihatanan, dampak sosial-psikologis akibat adanya
hambatan penglihatanan, dan sebagainya.
Di dalam pendidikan bagi anak dengan hambatan penglihatan sendiri,
perlu adanya perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision
dengan anak yang buta total.
Prinsip layanan individual ini menuntut kemampuan guru untuk
merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan,
hambatan dan kebutuhan belajar anak. Prinsip ini mendasari adanya
Program Pembelajaran Individual (PPI) bagi siswa berkebutuhan khusus.
2) Prinsip Kekonkritan (Pengalaman Penginderaan)
Strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memungkinkan anak
dengan hambatan penglihatan untuk mendapatkan pengalaman secara nyata dari

Halaman 11 dari 46
apa yang dipelajarinya. Hal ini disebut juga dengan penginderaan (Bower,
dalam Nurjana, 2009).
Anak hambatan penglihatan tidak dapat belajar melalui pengamatan visual
yang memiliki dimensi jarak, seperti: bunga yang sedang mekar, pesawat
yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan.
Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap
objek, atau situasi. Anak hambatan penglihatan harus dibimbing untuk
meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung
dan juga melihat bagi anak low vision.
Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan penyediaan komponen alat/media
dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu
tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan.
3) Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru dapat terjadi apabila guru
mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya
secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Menurut Bower (1986,
dalam Nurjana, 2009) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu
penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh
untuk mengenal suatu objek. Misalnya, untuk mendapatkan gambaran
mengenai burung, anak hambatan penglihatan harus melibatkan perabaan untuk
mengetahui ukuran, bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus
memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan
mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman
anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan
dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati
burung tersebut.
Hilangnya penglihatan pada anak hambatan penglihatan menyebabkan
dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh
mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara serentak (misalnya
suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan
beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip Aktivitas Mandiri
Pembelajaran bagi anak hambatan penglihatan harus memungkinkan atau
mendorong anak untuk belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar
Halaman 12 dari 46
mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu
memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan
keinginannya untuk belajar.
Prinsip aktivitas mandiri mengisyaratkan bahwa pembelajaran harus
memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan
mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa
mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau
konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih
penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan
pemahaman akan materi pelajaran tersebut.
Sementara menurut Subagya (2004), terdapat empat prinsip pembelajaran
bagi anak hambatan penglihatan yang berbeda jika dibandingkan
pembelajaran bagi anak awas pada umumnya. Keempat prinsip tersebut yaitu:
1) Duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan strategi pembelajaran bagi
anak awas dan menerapkannya ke dalam pembelajaran bagi anak hambatan
penglihatan tanpa melakukan perubahan apapun baik berupa penambahan atau
pengurangan.
2) Modifikasi, yaitu sebagian atau keseluruhan materi, media, prosedur dan strategi
pembelajaran yang digunakan bagi anak awas dimodifikasi sedemikian rupa
agar dapat diterapkan dalam pembelajaran bagi anak dengan hambatan
penglihatan.
3) Substitusi, artinya mengganti materi, media, dan strategi pembelajaran yang
berlaku pada pembelajaran bagi anak awas dengan materi, media dan strategi
yang sama sekali berbeda yang diperuntukkan bagi pembelajaran anak
hambatan penglihatan. Pada kasus tertentu, bahkan sampai mengganti mata
pelajaran yang dianggap tidak sesuai bagi anak hambatan penglihatan,
misalnya mengganti mata pelajaran menggambar dengan apresiasi seni suara
atau sastra.
Selain itu, substitusi juga dapat berupa memberikan tambahan pelajaran
atau aktivitas ekstra kurikuler yang berkaitan dengan program kompensatoris
yang tidak ada dalam kurikulum regular,misalnya pelatihan orientasi dan
mobilitas, activities of daily living (ADL), komputer bicara (program JAWS),
dan sebagainya.

Halaman 13 dari 46
4) Omisi, yaitu melakukan penghilangan materi tertentu yang ada pada pembelajaran
anak awas. Ini dilakukan jika ketiga prinsip sebelumnya sudak tidak dapat
diterapkan. Penghilangan dilakukan misalnya pada materi tentang pembiasan
cahaya dan proyeksi warna. Meskipun demikian, prinsip omisi ini jarang
dilakukan oleh guru, karena pertimbangan sesulit apapun materi, sebaiknya
tetap diberikan dengan menurunkan target daya serap pembelajaran.

2. Pengembangan Konsep pada Anak dengan hambatan penglihatan


a. Hakikat Pengembangan Konsep
1) Pengertian Pengembangan Konsep
Pengembangan konsep adalah proses penggunaan informasi sensoris (sensory
information) untuk membentuk suatu gambaran ruang (space) dan lingkungan
(Juang Sunanto, 2003). Dalam hal ini konsep dapat disamakan dengan kognitif dalam
teori perkembangan kognitif Piaget. Menurut Piaget kemampuan kognitif akan
berkembang jika anak berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep tentang ruang
(spasial) akan berkembang tergantung terutama pada indera penglihatan. Oleh
karena itu, keterbatasan luas dan variasi pengalaman akibat hambatan
penglihatanan perlu dikompensasi melalui program pengembangan konsep.
Menurut Piaget pengembangan kognitif memiliki beberapa tahap secara hierarki,
yaitu mulai tahap sensori motor, preoperational, concrete operation (operasi
konkrit), dan formal operation (operasiformal). Karena tidak memiliki indera
penglihatan (visual), hambatan penglihatan mengalami kesulitan untuk mencapai
tahap konkrit dalam memahami konsep tertentu bahkan ada beberapa konsep yang
tidak mungkin dipahami oleh hambatan penglihatan seperti misalnya warna,
bulan, bintang, matahari dan sebagainya.
Konsep tentang jarak atau ruang yang secara ideal dapat dipahami melalui indera
penglihatan, hambatan penglihatan harus memahaminya melalui haptic atau
kinesthetic. Konsep tentang ruang atau jarak ini sangat berguna untuk mengetahui
atau mengenali hubungan antar obyek. Misalnya benda B terletak lebih jauh di
samping kanan benda A, sementara benda C terletak lebih dekat dengan A
dibandingkan dengan B. Untuk mengenal konsep seperti ini hambatan
penglihatan tidak menggunakan indera penglihatan dan memerlukan teknik khusus.
Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak konsep yang perlu dipahami oleh
manusia tak terkecuali hambatan penglihatan. Meskipun hambatan penglihatan tidak
Halaman 14 dari 46
dapat memahami semua konsep yang dapat dipahami oleh orang awas sekurang-
kurangnya mereka perlu mengenal beberapa istilah yang digunakan untuk
menggambarkan konsep tersebut misalnya nama-nama warna, matahari, bulan,
bintang dan lain-lain. Pengenalan istilah ini diperlukan untuk memenuhi sebagai
alat komunikasi dengan orang awas.
Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasi jenis-jenis konsep terutama yang
diperlukan untuk keterampilan orientasi dan mobilitas menjadi tiga kategori besar
yaitu (1) konsep tubuh (body concepts), (2) konsep ruang (spatial concepts),
dan (3) konsep lingkungan (environmental concepts).
Informasi yang diperlukan oleh hambatan penglihatan untuk mengenal konsep
tubuh mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali nama
bagian-bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan, hubungannya dengan
bagian tubuh yang lain, dan fungsi bagian-bagian tubuh tersebut. Pengenalan
tubuh yang baik merupakan modal dasar untuk mengembangkan konsep ruang
dan sebagai dasar untuk proses orientasi dirinya terhadap lingkungan yang
diperlukan untuk mencapai mobilitas yang baik.
Konsep ruang (spatial concepts) mencakup posisi (positional) atau hubungan
(relational), bentuk dan ukuran. Sebagai contoh konsep tentang posisi/hubungan
meliputi depan, belakang, atas (top), bottom (bawah), kiri, kanan, antara, paralel
dan sebagainya. Yang termasuk konsep bentuk meliputi bulat, lingkaran, persegi
panjang, segi tiga dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk konsep ukuran meliputi
jarak, jumlah, berat, volume, panjang, dan sebagainya. Konsep ukuran dapat
berupa satuan. seperti: kg, cm, m2 dan lain- lain. Selain itu juga berupa ukuran
relatif seperti kecil, besar, berat, ringan, sempit, jauh dan lain-lain.

2) Ciri Penguasaan Konsep


Suatu konsep akan bermakna bila ia fungsional atau terasa manfaatnya
dalam kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk untuk seorang anak dengan
hambatan penglihatan. Menurut Irham Hosni dalam “Buku Ajar Orientasi dan
Mobilitas,” bukti yang tampak ketika seorang anak telah mampu memanfaatkan
konsep yang dimilikinya yaitu apabila ia dapat: Mengenal (Identifying) yaitu
kemampuan untuk mengetahui dan mengenal suatu obyek atau benda.
Menjelaskan (Describing) yaitu kemampuan untuk mengungkapkan ciri utama
dari suatu obyek.
Halaman 15 dari 46
Melabel (Labeling) yaitu kemampuan memberi nama pada suatu obyek yang
bisa menjelaskan isi, keadaan, apa yang dimilikinya, siapa yang memilikinya, dan
sebagainya. Mengelompokkan (Grouping) yaitu kemampuan menyatukan
kelompok orang atau benda berdasarkan klasifikasi yang sama atau mendekati.
Memilih (Sorting) yaitu kemampuan memilah dan meletakkan orang atau
benda yang kualitasnya sama. Menyusun (Ordering) yaitu kemampuan menyusun
berdasarkan urutan yang sistematis. Menyalin (copying) yaitu kemampuan meniru
sesuatu. Membuat pola (Patterning) yaitu kemampuan membuat model,
contoh atau petunjuk untuk ditiru. Membedakan (Contrasting) yaitu kemampuan
memperlihatkan perbedaan dari sesuatu. Seorang anak harus memiliki berbagai
kemampuan di atas agar ia dapat dengan mudah menghubungkan konsep
dengan lingkungan disekitarnya. Misalnya mengenai konsep bentuk. Ia harus
dapat mengenal bentuk tersebut, menjelaskan dan memberi nama pada bentuk
tersebut. Setelah itu, ia harus mampu mengelompokkan berbagai bentuk
sesuai kategorinya, memilih bentuk dengan kualitas yang sama, dan
menyusun bentuk suatu obyek menjadi teratur atau sistematis. Selain itu ia
dapat meniru bentuk dari aslinya, membuat pola/model/contoh dari berbagai
bentuk, dan menemukan perbedaan dari suatu bentuk yang sama (misalnya
ukuran yang berbeda).

3) Proses Pengembangan Konsep pada Anak dengan hambatan penglihatan


Pengembangan konsep merujuk kepada pemahaman dasar yang diperlukan
untuk memahami dunia seseorang. Hal ini termasuk ide atau gagasan tentang
diri dan orang lain, benda-benda, serta lingkungan. Pemahaman dasar ini
krusial untuk melakukan komunikasi, bepergian, dan kemandirian. Ketika anak-
anak dalam hal ini anak-anak awas, umumnya mengembangkan pemahaman
mengenai konsep dasar dengan belajar secara insidental, anak-anak dengan
hambatan penglihatan seringkali harus secara formal diajarkan mengenai konsep-
konsep tersebut berulang- ulang (Barbara & Barbara, 2010).
Fungsi mata dalam menangkap informasi dari lingkungan tidak dapat
sepenuhnya digantikan oleh indera lainnnya. Pengamatan indera- indera selain
mata tidak sekonkrit dan sedetail hasil pengamatan dari indera penglihatan kita.
Oleh karena itu, seseorang dengan hambatan penglihatan memerlukan waktu

Halaman 16 dari 46
yang lebih lama daripada orang tipikal (orang awas) dalam memahami suatu
obyek.
Orang tanpa hambatan penglihatan ketika mengamati suatu obyek, ia dapat
melakukannya dari jarak jauh dan mendapat informasi utuh mengenai berbagai
aspek dari benda tersebut; namun tidak demikian halnya dengan orang yang
mengalami hambatan penglihatan. Ketika hendak memperoleh informasi
mengenai suatu obyek, orang dengan hambatan penglihatan harus secara langsung
melakukan kontak dengan obyek tersebut. Obyek yang memiliki ukuran lebih
besar dari genggaman tangannya, tidak dapat dipelajari atau diamati sekaligus.
Ia harus melakukannya bagian per bagian hingga menjadi satu kesatuan yang
utuh. Ini berbeda dengan orang awas yang mengamati obyek dari keseluruhan
yang utuh, lalu menuju ke bagian-bagian yang lebih kecil untuk mengetahui
detailnya.
Menyatukan bagian-bagian kecil menjadi satu kesatuan utuh bukanlah hal
yang gampang. Hal ini menuntut kemampuan untuk mengingat sesuatu yang
abstrak dan kemudian menggabungkannya. Memasuki tahap abstrak dalam
mempelajari dan memahami suatu obyek merupakan hal yang sulit bagi
seseorang yang tidak dapat menggunakan matanya sebagai saluran utama
informasi (Hosni).
Seseorang dianggap telah memiliki konsep yang utuh mengenai suatu
obyek bila ia memiliki dan mampu memasuki tiga tahap pembentukan
konsep, yaitu:
1) Tahap konkrit, adalah tahap ketika seseorang melihat obyek sebagaimana
adanya.
2) Tahap fungsional, merupakan tahap saat seseorang mulai dapat memikirkan
fungsi dari berbagai obyek yang ada di sekitarnya. Fungsi suatu obyek
artinya apa yang dapat dilakukan oleh obyek tertentu, dan apa yang dapat
dilakukan manusia terhadap obyek tersebut.
3) Tahap abstraksi, yaitu tahap ketika seseorang mampu membuat gambaran
dalam mentalnya mengenai intisari dari semua sifat atau ciri utama obyek.
Melalui kemampuan ini, seseorang dapat membuat generalisasi dan batasan
mengenai sekelompok obyek atau konsep.

Halaman 17 dari 46
b. Pengajaran Konsep pada Anak dengan hambatan penglihatan
1). Mengajarkan konsep
Selama proses belajar mengajar atau komunikasi pada orang lain
khususnya dengan anak hambatan penglihatan, seringkali kita
menggunakan konsep-konsep yang tidak mudah atau bahkan sulit dipahami
oleh anak. Misalnya, ketika berkomunikasi dengan anak hambatan
penglihatan kita menggunakan istilah (konsep) „itu‟, “sana‟ semuanya tidak
dapat dipahami oleh anak dengan hambatan penglihatan. Di samping itu, kita
juga sering beranggapan bahwa istilah yang kita gunakan sangat mudah,
tetapi kenyataannya tidak bagi anak-anak. Jika hal semacam ini
berlangsung cukup lama dan banyak konsep yang tidak dipahami, maka
dapat menghambat perkembangan konsep anak-anak. Untuk memperkenal -
kan suatu konsep pada anak-anak agar dipahami secara benar perlu
dilakukan dengan pendekatan sistematis.
Terdapat dua langkah dalam menyampaikan konsep melalui pendekatan
yang sistematis, yaitu:
a) Memberikan atau mengembangkan definisi tentang konsep yang
dimaksud. Pembuatan definisi ini dimaksudkan untuk memberikan
karakteristik suatu konsep secara umum dengan cara sesederhana
mungkin. Oleh karena itu definisi ini tidak harus selalu diambil dari
kamus. Definisi yang sederhana akan membantu memudahkan orang
untuk memahaminya.
b) Melakukan proses analisis secara konseptual agar konsep tersebut dapat
dipahami dengan langkah-langkah yang strategis secara hierarkis.
Sebagai contoh, akan konsep meja, diharapkan anak dapat menunjukkan
secara verbal, atau perabaan bagian depan suatu obyek tersebut, di
belakang, juga di atasnya.
2). Memilih konsep untuk diajarkan
Sebelum memulai pembelajaran konsep, identifikasi terlebih dahulu konsep-
konsep yang penting untuk dipelajari anak dengan hambatan penglihatan,
baik dalam konteks sekolah ataupun kegiatan sehari-hari di luar sekolah.
Sejumlah konsep penting yang perlu diberikan pada anak untuk
pengembangan konsepnya, menurut Sunanto (2005) adalah sebagai berikut:

Halaman 18 dari 46
a) Kesadaran Tubuh, yaitu konsep-konsep yang berkaitan dengan tubuh,
meliputi; Kesadaran Tubuh dan Posisi Tubuh ; Atas, bawah, tengah,
belakang, depan, kiri, kanan. Keseluruhan tubuh, nama bagian tubuh,
tubuh bagian atas, tubuh bagian bawah. Kesadaran Kinestetik dan
Kesadaran proprioseptif Gesture (bahasa tubuh)
b) Kesadaran Lingkungan, yaitu obyek-obyek penting di lingkungan dan
hubungan khusus di antara obyek di dalam lingkungan.
c) Kesadaran Karakteristik Obyek, yaitu karakteristik umum obyek.
Kesadaran Karakteristik Obyek (1) Ukuran Bentuk Warna kecil,
sedang, besar Lingkaran Gelap Lebar, sempit Segitiga Terang
Panjang, pendek Persegi Keruh Dalam, dangkal Oval Nama warna
Gemuk, kurus Bujursangkar, dan lain- lain
Kesadaran Karakteristik Obyek (2) Suara Tekstur Perbandingan
Tinggi, rendah Kasar, halus Lebih besar Keras, pelan Kaku, lentur Lebih
kecil Irama Keras, lunak Sama berbeda
d) Kesadaran Waktu, yaitu konsep yang berhubungan dengan waktu.
Kesadaran Waktu; Mulai, berakhir Hari ini, besok Sebelum, sesudah
Kemarin, lusa, Pertama, berikutnya Yang akan datang Selama Siang,
sore Selalu Konsep jam, Sering, dan lain-lain
e) Kesadaran Ruang, yaitu konsep yang berhubungan dengan posisi ruang.
Kesadaran Ruang; Paralel, siku-siku, Pinggir, tengah, Di dalam, Lurus, Di
antara, Jauh, dekat
f) Aksi, yaitu konsep yang berkaitan dengan gerakan atau kegiatan.
Konsep aksi; menulis, membaca, melompat, makan, minum, merangkak,
dorong, memukul, tarik, melempar, tending, menepuk, mengikuti, dan
lain-lain
g) Kualitas, yaitu konsep yang berhubungan dengan angka atau kombinasi
angka. Konsep kualitas; kualitas pengukuran, operasi hitung, setengah
inci, meter, kubik, tambah, sepertiga, ons, kilo, detik, menit, jam, kurang,
sedikit, meter persegi, bagi, banyak, dan lain-lain Kali
h) Kesadaran Simbol, yaitu konsep simbol yang penting.
Kesadaran simbol; arah mata angin, warna, kata ganti orang (saya, kamu,
dia, kami, kita, dan sebagainya)

Halaman 19 dari 46
i) Kesadaran emosi dan sosial, yaitu konsep yang berhubungan dengan
penyesuaian psikososial.
j) Reasoning, yaitu cara berpikir yang menggunakan konsep (masuk akal).
Pengembangan konsep dalam praktik pembelajaran, misalnya dalam
pembelajaran orientasi dan mobilitas, konsep mengenai obyek
dipelajari dengan mengidentifikasi tiga hal, yaitu: tujuan, karakteristik dan
fungsi. Misalnya konsep tentang “pintu” dipelajari sebagai berikut:
✓ Tujuan: Untuk memisahkan dua ruang dalam suatu bangunan
atau memisahkan antara ruangan (indoor) dan luar ruang
(outdoor/outside)
✓ Karakteristik: Pintu dapat dibuat dari kayu, metal, kaca, dan lain-
lain.
✓ Fungsi: Untuk membuka dan menutup dengan menggunakan engsel
Pemahaman konsep juga sangat terkait dengan pengembangan bahasa.
Seorang anak dipandang telah memahami suatu konsep jika ia
dapat mengikuti perintah yang disampaikan dengan kata-kata. Selain itu,
anak dapat menggunakan kata-kata yang menggambarkan konsep
tertentu dan dapat menggunakannya dalam percakapan (Sunanto, 2005:
135). Misalnya kita meletakkan bola di samping tubuh anak, lalu kita
bertanya “Apa dan menjawab Kemudian bertanya “Ada dimana lalu
menjawab samping.” Kondisi menggambarkan bahwa anak telah
memahami konsep bola dan konsep posisi (di samping) serta dapat
menggunakan bahasa untuk menjelaskan konsep tersebut.

c. Asesmen Pemahaman Konsep


Dari penjelasan di atas, kita telah mengetahui berbagai jenis konsep yang
penting untuk dipelajari anak dengan hambatan penglihatan. Langkah
selanjutnya adalah melakukan asesmen untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman konsep yang telah dikuasai anak dan menentukan kebutuhan
anak dalam hal pengembangan konsep.
Asesmen adalah proses mengumpulkan informasi mengenai siswa yang akan
digunakan untuk membuat penilaian dan menentukan keputusan mengenai
siswa tersebut (Lerner & Kline, 2006: 44). Asesmen dimaksudkan
diantaranya untuk mengetahui sejauh mana anak memiliki kemampuan
Halaman 20 dari 46
pengembangan konsep. Pembelajaran yang dilangsungkan tanpa didahului
pelaksanaan asesmen cenderung tidak berjalan dengan baik akibat tidak
diketahuinya tingkat pengembangan konsep yang dikuasai anak. Seperti
telah dinyatakan sebelumnya bahwa pemahaman konsep berkaitan dengan
pengembangan bahasa, maka asesmen yang dilakukan harus mencakup respon
verbal (lisan) anak dan juga perilaku (performance) anak. Prinsip asesmen
yaitu mengases pemahaman yang sebenarnya— secara luas dan mendalam—
mengenai suatu konsep. Tingkat pemahaman konsep sangat bervariasi,
tergantung pada kemampuan anak dan tingkat kerumitan konsep itu sendiri.
Dalam menentukan tingkat pemahaman konsep seorang anak, harus
dipertimbangkan usia anak, fungsi penglihatan yang dimiliki anak, dan
jenis konsep yang diases.

3. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan


Hambatan penglihatan adalah gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan
menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-
alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak dengan hambatan penglihatan sulit dalam
melakukan mobilitas, yaitu sulit untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya
yang diinginkan. Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan suatu
keterampilan khusus, agar dapat bergerak secara efektif dan aman. Keterampilan
yang dibutuhkan yaitu orientasi dan mobilitas. Sementara untuk keterampilan
baca-tulis-hitung, bagi anak yang kehilangan seluruh indera penglihatannya
(totally blind), mereka memerlukan pembelajaran huruf Braille.
Adanya keterbatasaan di atas dapat menghambat anak hambatan penglihatan
dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, selain membutuhkan layanan
pendidikan umum sebagaimana halnya anak awas, anak hambatan penglihatan
membutuhkan layanan khusus untuk mengkompensasi hambatan yang dimilikinya
(Riyanti, 2013).
a. Layanan Pendidikan
Layanan pendidikan bagi anak hambatan penglihatan pada dasarnya sama
dengan layanan pendidikan bagi anak awas, namun dalam teknik
penyampaiannya disesuaikan dengan hambatan, kemampuan dan kebutuhan anak

Halaman 21 dari 46
dengan hambatan penglihatan. Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan
bagi anak hambatan penglihatan meliputi layanan umum dan layanan khusus.
1). Layanan umum
Latihan yang diberikan terhadap anak hambatan penglihatan sebagaimana
terhadap anak-anak lainnya, biasanya meliputi hal-hal berikut:
a) Keterampilan
b) Kesenian
c) Olahraga
2). Layanan khusus/layanan kompensatoris
Layanan khusus/kompensatoris yang diberikan terhadap anak hambatan
penglihatan, antara lain sebagai berikut (Riyanti, 2013):
a) Latihan membaca dan menulis Braille
b) Latihan penggunaan tongkat
c) Latihan orientasi dan mobilitas
d) Latihan visual/fungsional penglihatan
Hal-hal yang khas dalam layanan pendidikan anak hambatan penglihatan
adalah sebagai berikut (Riyanti, 2013):
a) Penempatan anak dengan hambatan penglihatan
Dalam menempatkan anak hambatan penglihatan, terutama pada kelas
inklusif, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
(1) Anak dengan hambatan penglihatan ditempatkan didepan, agar dapat
mendengarkan penjelasan guru dengan jelas.
(2) Memberikan kesempatan kepada anak dengan hambatan penglihatan untuk
memiliki tempat duduk yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya.
(3) Anak hambatan penglihatan hendaknya ditempatkan berdekatan dengan
anak yang relatif cerdas, agar terjadi proses saling membantu.
(4) Tidak diperkenankan dua anak hambatan penglihatan duduk
berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan anak awas.
b) Alat peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras.
Pada alat peraga bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus
kontras.
c) Ruang belajar bagi anak dengan hambatan penglihatan terutama anak low
vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.

Halaman 22 dari 46
b. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan
optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang
meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan
belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif
dan efisien. Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak
hambatan penglihatan didasarkan pada dua pemikiran, yaitu (Humairo, 2015):
1) Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (disatu sisi).
2) Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk
mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi
lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak dengan hambatan penglihatan
pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam
kerangka dua pemikiran di atas.
Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan seorang guru
dalam melayani pembelajaran anak dengan hambatan penglihatan (Humairo, 2015):
1) Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang
umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan,
dan aspek-aspek lainnya.
2) Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja
yang perlu atau tidak perlu diubah/dimodifikasi dan bagaimana serta
sejauhmana modifikasi itu dilakukan jika perlu.
3) Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara
optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran
yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.
Sejumlah strategi berikut ini dapat diterapkan dalam pembelajaran anak hambatan
penglihatan, yaitu (Riyanti, 2013):
1) Strategi individualisasi
2) Kooperatif
3) Modifikasi perilaku

Permasalahan dalam strategi pembelajaran anak hambatan penglihatan adalah


bagaimana upaya guru dalam melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap
semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman
Halaman 23 dari 46
pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat diterima/ditangkap oleh anak dengan
hambatan penglihatan melalui indera-indera yang masih berfungsi, yaitu indera
pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang
masih berfungsi pada anak dengan hambatan penglihatan agar lebih peka dalam
menangkap pesan pembelajaran.
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan hambatan penglihatan adalah
masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak
hambatan penglihatan lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama
menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru
adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yangbisa disampaikan secara
utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana
yang harus dihilangkan sama sekali.
c. Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu
proses pembelajaran. Keberhasilan suatu proses pembelajaran, salah satunya
ditentukan oleh ketepatan penggunaan media belajar ini.
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok
sebagai berikut (Riyanti, 2013):
1) Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut
sebagai alat peraga.
2) Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu
sendiri yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut ini merupakan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang dapat
digunakan dalam proses pembelajaran anak dengan hambatan penglihatan.
1) Alat peraga
a) Objek atau situasi yang sebenarnya.
Contoh objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
b) Benda asli yang diawetkan.
Contohnya binatang yang diawetkan.
c) Tiruan (model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
Model/tiruan tiga dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi
(memiliki volume) sehingga bentuknya hampir sama dengan objek

Halaman 24 dari 46
sebenarnya, akan tetapi sifat substansi, permukaan, dan ukuran ada
kemungkinan tidak sama.
Model dua dimensi, yaitu dimensi panjang dan lebar.
2) Alat bantu pembelajaran
Alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak dengan hambatan
penglihatan, antara lain berikut ini.
a) Alat bantu untuk baca-tulis
b) Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision)
c) Alat bantu berhitung
d) Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak dengan hambatan
penglihatan (Riyanti, 2013).

d. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak hambatan
penglihatan pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun
ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan
tes. Materi tes atau pertanyaan yang diberikan kepada anak hambatan penglihatan,
tidak mengandung unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual. Contohnya
Anda tidak dapat menanyakan tentang warna kepada anak hambatan penglihatan
karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi visual.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi pembelajaran bagi
anak dengan hambatan penglihatan:
1). Soal yang diberikan kepada anak hambatan penglihatan yang tergolong
totally blind hendaknya dalam bentuk huruf Braille, sedangkan bagi anak
low vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya disesuaikan
dengan kemampuan penglihatannya.
2). Anda harus bersifat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar
anak hambatan penglihatan atau memberikan penilaian yang sesuai dengan
kemampuan.
3). Waktu pelaksanaan tes bagi anak dengan hambatan penglihatan, hendaknya lebih
lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk anak awas. (Riyanti, 2013)

Halaman 25 dari 46
3. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dalam Kurikulum 2013

a. Pemetaan Kompetensi
Kurikulum 2013 merupakan penyelarasan antara sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Dalam hal ini sikap harus menjadi dasar utama yang menyelimuti
keterampilan dan pengetahuan, dalam arti sikap harus dapat memandu keterampilan
dan pengetahuan. Dalam proses perancangan RPP dan pelaksanaan pembelajaran di
kelas, sikap diintegrasikan dalam aktivitas keterampilan dan pengetahuan. Sikap yang
dimaksud meliputi sikap spiritual dan sikap sosial.
Standar kompetensi lulusan (SKL) dirumuskan ke dalam tiga domain di atas, yaitu
1) Sikap dan prilaku (menerima, menjalankan, menghargai, menghayati,
mengamalkan).
2) Keterampilan ( mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar,
mencipta).
3) Pengetahuan (memengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi).
Berdasarkan SKL tersebut, dirumuskan kompetensi inti (KI) dan dari KI
diturunkan ke dalam kompetensi dasar (KD). Kompetensi inti tersebut meliputi, yaitu
kompetensi inti 1 (KI 1) tentang sikap spritual, kompetensi inti 2 (KI 2) tentang sikap
sosial, kompetensi 3 (KI 3) tentang pengetahuan, dan kompetensi 4 (KI 4) tentang
keterampilan. Oleh sebab itu, urutan kompetensi inti dalam Kurikulum 2013 adalah
sikap spritual (KI-1), sikap sosial (KI-2), pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-
4). Meskipun urutan KI tersebut seperti itu, namun dalam perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran hendaknya dimulai dari KI-3 menuju KI-4. Keterampilan
hanya dapat dibangun dengan hasil yang baik melalui pengetahuan (pelukis,
penyanyi, olahragawan pasti memiliki pengetahuan yang memadai tentang
keterampilan yang ditekuninya). Keterampilan yang tidak melalui proses pengetahuan
(KI-3) tidak akan menghasilkan karya yang baik.
Dalam proses perolehan pengetahuan dan keterampilan, sikap diintegrasikan
sehingga seluruh mata pelajaran diorientasikan memiliki kontribusi terhadap
pembentukan sikap. Selanjutnya dari KI 4 berlanjut ke KI 2, kemudian KI 1). Dengan
demikian, dalam proses perancangan proses pembelajaran di kelas, alur yang
digunakan adalah diawali dengan KD dari KI-3 menuju KD dari KI 4 dan selanjutnya
memberikan dampak terhadap terbentuknya KD pada KI-2 dan KD pada KI-1.

Halaman 26 dari 46
Setelah kita menetapkan KD dan indikator untuk KI 3, KI 4, lalu KI 2, dan KI
1, kemudian kita tuliskan di RPP dengan mengurutkan dimulai dari KI 1 sampai KI 4.
Selanjutnya, rumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan indikator di atas (utamakan
dulu indikator dari KD pada KI 3). Berdasarkan indikator dari KD pada KI 3 kita
dapat mengintegrasikan indikator dari KI yang lain dalam merumuskan tujuan
pembelajaran. Perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan pembelajaran, hendaknya
menggunakan kaidah a (audien), b (behavior), c (condition), dan d (degree),

b. Penyusunan Silabus
Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap
bahan kajian mata pelajaran. Silabus dikembangkan berdasarkan Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) dan Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai
dengan pola pembelajaran pada setiap tahun ajaran tertentu. Silabus digunakan
sebagai acuan dalam pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Silabus paling sedikit memuat:
1) Identitas mata pelajaran (khusus SMP/MTs/SMPLB/Paket B dan
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK/Paket C/ Paket C Kejuruan);
2) Identitas sekolah meliputi nama satuan pendidikan dan kelas;
3) Kompetensi inti, merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi
dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta
didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran;
4) Kompetensi dasar, merupakan kemampuan spesifik yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang terkait muatan atau mata pelajaran;
5) Tema (khusus SD/MI/SDLB/Paket A);
6) Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan
ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian
kompetensi;
7) Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik
untuk mencapai kompetensi yang diharapkan;
8) Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik;
9) Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum
untuk satu semester atau satu tahun; dan

Halaman 27 dari 46
10) Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar atau
sumber belajar lain yang relevan.

c. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


RPP merupakan perangkat yang wajib dirancang oleh seorang guru sebelum
memulai pembelajaran. Bagi seorang guru, calon guru, dan mahasiswa jurusan
kependidikan wajib hukumnya untuk mampu merancang perangkat ini. Langkah-
langkah penyusunan RPP Kurikulum 2013 hampir sama dengan KTSP. RPP
Kurikulum 2013 disusun berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(PERMENDIKBUD) Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan
Dasar dan Menengah
RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang dilaksanakan satu kali
pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan
pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD). Bahan
yang diperlukan sebelum membuat RPP Kurikulum 2013 adalah Buku Guru dan
Buku Siswa
Langkah-langkah pembuatan RPP sebagai berikut
1) Mengisi identitas sekolah atau nama satuan pendidikan, identitas mata pelajaran
atau tema/subtema, kelas/semester, materi pokok, dan alokasi waktu. Alokasi
waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban
belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam
silabus dan KD yang harus dicapai
2) Mencantumkan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan
berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati
dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tujuan
pembelajaran sudah ada pada buku guru, jadi dikutip saja.
3) Mencantumkan kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi.
Kompetensi dasar (KD) dan indikator pada setiap muatan pembelajaran seperti
Bahasa Indonesia, Matematika, dan SBdP sudah ada pada buku guru, jadi dikutip
saja. KD 1 (Sikap spiritual) dan KD 2 (Sikap sosial) disesuaikan dengan KI
apabila belum ada pada buku guru.
4) Mencantumkan Materi Pembelajaran. Materi pembelajaran, memuat fakta,
konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir

Halaman 28 dari 46
sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi, cukup meringkas
materi yang ada pada buku siswa.
5) Memilih Metode Pembelajaran. Metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD yang
akan dicapai
Ada juga hal lainnya dalam mengembangkan RPP, Saat guru mengembangkan
RPP harus memperhatikan kerangka acuan pengembangan RPP, diantaranya sebagai
berikut:

1) RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan peserta didik mencapai


kompetensi dasar
2) Guru harus menyusun RPP secara lengkap dan sistematis
3) RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dijalankan untuk satu pertemuan atau
lebih.
4) Guru merancang penggalan RPP yang disesuaikan dengan jadwal atau
penjadwalan satuan pendidikan.

Setelah memahami hal tersebut, selaanjutnya sebelum kita membuat RPP kita
harus mengetahui terlebih dahulu apa prisip yang harus diperhatikan saat
mengembangkan RPP. Prinsip-Prinsip Mengembangkan RPP Kurikulum 2013;

1) RPP merupakan terjemahan dari ide kurikulum yang berdasarkan silabus yang
telah dikembangkan pada tingkat nasional ke dalam betuk rancangan proses
pembelajaran untuk direalisasikan dalam pembelajaran.
2) RPP dikembangkan sesuai dengan yang dinyatakan dalam silabus dengan kondisi
pada satuan pendidikan baik kemampuan awal peserta didik, minat, motivasi
belajar, bakat, potensi, kemampuan emosi, maupun gaya belajar.
3) RPP mendorong partisipasi aktif peserta didik. Yang ini, artinya kegiatan-kegiatan
yang dibuat dalam RPP harus mendorong untuk meningkatkan keaktifan siswa.
jadi maksud dari pemerintah metode pembelajarannya yaitu metode yang mampu
memberikan kesempatan untuk siswa lebih berperan aktif.
4) RPP sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013 untuk menghasilkan peserta didik
yang mandiri dan tak berhenti belajar atau long life learner. Untk menciptakan

Halaman 29 dari 46
seorang anak yang belajar karena butuh sehingga bukan belajar saat mau ujian,
dan tidak belajar saat sudah selesai ujian.
5) RPP mengembangkan budaya membaca dan menulis.
6) Proses pembelajaran dalam RPP dirancang untuk mengembangkan kegemaran
membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam bentuk tulisan.
7) RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan,
pengayaan, remedi, dan umpan balik.
8) RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara KI dan
KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, dan sumber belalajar
dalam satu keutuhan pengalaman belajar.
9) RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan
komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan
kondisi.

Dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar proses,


Komponen RPP Kurikulum 2013 adalah:
1) Identitas Sekolah
2) Identitas mata pelajaran
3) Kelas/ semester
4) Materi Pokok
5) Alokasi Waktu
6) Tujuan pembelajaran
7) Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
8) Materi Pembelajaran
9) Alokasi waktu
10) Metode pembelajaran
11) Media Pembelajaran
12) Sumber belajar
13) Langkah-langkah Pembelajaran
14) Penilaian hasil Pembelajaran

Halaman 30 dari 46
Berikut, langkah-langkah membuat RPP Kurikulum 2013
1. Membuat Format RPP Kurikulum 2013, Jadi tuliskan formatnya terlebih dahulu.
Karena dengan sudah menulis format akan lebih mempermudah bapak/ibu guru dalam
mengisi setiap komponen yang ada. Seperti tadi ya, komponennya ada 14 jadi tuliskan
semua.
2. Isi komponen-komponen tersebut mulai yang paling gampang seperti identitas
sekolah, identitas guru, kelas sampai dengan materi.
3. Masukan KD sesuai dari hasil identifikasi yang sudah dilakukan
4. Buatlah indikator yang baik dan benar dari KD tersebut,
5. Buat Tujuan Pembelajaran, tujuan pembelajaran yang baik itu di tuliskan dengan jelas
mulai subjek, objek, cara mencapainya dan keterangan. Contoh: Melalui pengamatan
terhadap lingkungan pasar siswa mampu mengenali komponen-komponen yang
terdapat pada pasar dengan tepat
6. Isi metode pembelajaran, metode pembelajaran adalah teknik atau cara yang
digunakan guru dalam mengajar. Seperti pada penjelasan di awal pada kurikulum
2013 usahakan menggunakan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan
keaktifan siswa.
7. Isi kegiatan pembelajarannya, dalam hal ini tuliskan langkah-langkah seperti apa yang
akan guru lakukan untuk mencapai tujuan yang sudah di buat. oh ya, di K13 kita tetap
bisa menuliskan langkah-langkah pembelajaran dengan membagi menjadi kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup.
8. Tuliskan alat dan sumber belajar yang kamu gunakan
9. Mengisi proses penilaian, yang meliputi : teknik, bentuk, instrumen, Kunci dan
penskoran serta Tugas

Halaman 31 dari 46
4. Contoh, non-contoh, ilustrasi Pengembangan Perangkat Pembelajaran :

Pemetaan Indikator Pembelajaran 1 Tema 1 Lingkunganku Yang Bersih


Subtema 3 Bekerjasama Menjaga Kebersihan Dan Kesehatan Lingkungan

Bahasa Indonesia
KD
3.4 Memahami teks cerita narasi sederhana kegiatan dan bermain di lingkungan rumah dalam
bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis (braille) yang dapat dibantu dengan kosakata
bahasa daerah.
4.4 Memeragakan teks cerita narasi sederhana tentang kegiatan dan bermain di lingkungan rumah
dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis (braille) yang dapat dibantu dengan kosakata
bahasa daerah.
Indikator
3.3.1 Membaca teks percakapan mengenai alat-alat kebersihan.
3.3.2 Membaca teks percakapan dalam bentuk braille mengenai alat-alat kebersihan.
3.3.3 Menirukan pengucapan kalimat pada teks percakapan mengenai alat-alat kebersihan.
3.3.4 Menyebutkan nama alat-alat kebersihan yang ada di kelas.
3.3.5 Menunjuk alat kebersihan sesuai dengan namanya.

4.3.1 Memperagakan peran dalam percakapan mengenai alat-alat kebersihan.


4.3.2 Menjelaskan manfaat dari tempat sampah.
4.3.3 Menirukan cara mengucapkan kata “tempat sampah”.

PEMBELAJARAN 1

Seni Budaya dan Prakarya


KD
3.4 Mengenal proses pembuatan prakarya sederhana.
4.4 Membuat prakarya sederhana.
Indikator
3.4.1 Menyebutkan alat dan bahan yang diperlukan untuk menghias tempat sampah.
3.4.3 Menunjuk alat dan bahan sesuai dengan instruksi.

4.4.1 Menghias tempat sampah.

Halaman 32 dari 46
PETA TEMA 1
SUB TEMA 3
SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SDLB)
KELAS III Anak dengan Hambatan Penglihatan

SUBTEMA 1
Lingkungan
Sekolahku

TEMA 1

SUBTEMA 3
SUBTEMA 2
Bekerjasama Menjaga
Lingkungan Sekitar
Kebersihan dan Sekolahku
Kesehatan Lingkungan

Halaman 33 dari 46
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Sekolah : SLB A Cahaya Netra


Kelas/Semester : II/1
Tema : Lingkungan yang Bersih
Sub Tema :3/ Bekerja Sama Menjaga Kebersihan dan Kesehatan
Lingkungan
Pembelajaran ke- :1
Alokasi Waktu : 1x pertemuan (4 x 35 menit)

A. KOMPETENSI INTI
KI 3

Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan
menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.

KI 4sesuai dengan tokoh yang diperankan.

Melalui kegiatan bermain peran, peserta didik dapat menyebutkan nama alat-alat

Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis,
dalam gerakan yang mencerminkan perilaku anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Dengan mendengarkan penjelasan guru, peserta didik dapat menjelaskan cara
menjaga kebersihan lingkungan.
2. Melalui kegiatan membaca teks percakapan, peserta didik dapat bermain peran
3. kebersihan.
4. Melalui kegiatan identifikasi alat-alat kebersihan, peserta didik dapat
menyebutkan fungsi dari alat-alat kebersihan.
5. Melalui kegiatan tanya jawab bacaan, peserta didik dapat menyebutkan kegiatan
untuk menjaga kebersihan di lingkungan sekolah.
6. Melalui kegiatan tanya jawab, peserta didik dapat menceritakan kembali isi teks
percakapan dengan bahasanya sendiri.
7. Dengan menyimak penjelasan guru, peserta didik mampu menghias tempat
sampah.

Halaman 34 dari 46
C. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KOMPETENSI PENCAPAIAN
Kompetensi Dasar
Bahasa Indonesia
3.4 Memahami teks cerita narasi sederhana kegiatan dan bermain di lingkungan
rumah dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis (braille) yang dapat
dibantu dengan kosakata bahasa daerah.
4.4 Memeragakan teks cerita narasi sederhana tentang kegiatan dan bermain di
lingkungan rumah dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis (braille) yang
dapat dibantu dengan kosakata bahasa daerah.

Indikator
Bahasa Indonesia
3.3.1 Membaca teks percakapan mengenai alat-alat kebersihan.
3.3.2 Membaca teks percakapan dalam bentuk braille mengenai alat-alat kebersihan.
3.3.3 Menirukan pengucapan kalimat pada teks percakapan mengenai alat-alat
kebersihan.
3.3.4 Menyebutkan nama alat-alat kebersihan yang ada di kelas.
3.3.5 Menunjuk alat kebersihan sesuai dengan namanya.
4.3.1 Memperagakan peran dalam percakapan mengenai alat-alat kebersihan.
4.3.2 Menjelaskan fungsi dari alat-alat kebersihan.
4.3.3 Menirukan cara mengucapkan kata “tempat sampah”.

Kompetensi Dasar
SBdP
3.4 Mengenal proses pembuatan prakarya sederhana.
4.4 Membuat prakarya sederhana.

Indikator
SBdP
3.4.1 Menyebutkan alat dan bahan yang diperlukan untuk menghias tempat sampah.
3.4.3 Menunjuk alat dan bahan sesuai dengan instruksi.
4.4.1 Menghias tempat sampah.

D. MATERI PEMBELAJARAN
Percakapan sederhana mengenai alat kebersihan.
Teks Percakapan Mengenai Alat-alat Kebersihan

Hari ini Ana, Uli dan Diba berangkat ke sekolah dengan semangat. Mereka akan kerja
bakti membersihkan sekolah.
Uli : Selamat pagi Ana dan Diba
Ana+Diba : Selamat pagi
Uli : Apakah kamu membawa alat-alat kebersihan yang diminta guru?
Ana : Ya
Diba : Ya, aku membawa tempat sampah.
Uli : Aku membaca kemoceng, Ana membawa apa?
Ana : Sapu.

Halaman 35 dari 46
Diba : Iya, kita akan bekerja bakti membersihkan lingkungan sekolah
kita.
Uli : Ayo semangat bekerja bakti
Menghias tempat sampah dan identifikasi alat-alat kebersihan.

E. METODE PEMBELAJARAN DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN


Pengamatan, Ceramah, Diskusi, dan Praktik
Pendekatan Scientific

F. MEDIA DAN ATAU ALAT, BAHAN DAN SUMBER BELAJAR


1. Media dan atau Alat
Sapu ijuk, kemoceng , tempat sampah, manik-manik, hiasan dan lem.
2. Bahan
Teks percakapan sederhana mengenai kegiatan menghias poster.
3. Sumber Belajar
Buku guru dan siswa kelas II A, internet, dan berbagai sumber yang relevan.

G. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Hari/Tanggal :
Waktu :
Perkiraan
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
Pendahuluan 1. Mengucapkan salam. 10 menit
2. Mengajak semua peserta didik berdo’a menurut agama
dan keyakinan masing-masing .(karakter religius)
3. Mengecek kehadiran peserta didik.
4. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
5. Mempersiapkan fisik dan psikis peserta didik untuk
memulai pembelajaran.
6. Melakukan kegiatan apersepsi.
Kegiatan Inti 1. Peserta didik diminta untuk mengamati alat-alat 100 menit
kebersihan.
2. Seluruh peserta didik mengidentifikasi alat-alat
kebersihan.
3. Seluruh peserta didik distimulus berlatih bertanya
mengenai alat-alat kebersihan.
4. Peserta didik low vision dan totally blind menjelaskan
fungsi dari alat-alat kebersihan.
5. Peserta didik low vision dan blind diminta membaca teks
percakapan dengan bimbingan guru.
6. Peserta didik low vision diminta untuk membaca teks
percakapan dengan huruf awas yang dimodifikasi.
7. Peserta didik totally blind diminta untuk membaca teks
percakapan dalam bentuk braille .
8. Peserta didik MDVI diminta untuk menirukan cara
pengucapan kalimat pada teks percakapan.
9. Seluruh peserta didik diminta untuk bermain peran sesuai

Halaman 36 dari 46
dengan teks percakapan dengan bimbingan guru.
10. Seluruh siswa bermain peran sesuai teks percakapan
secara mandiri.
11. Seluruh peserta didik mengamati alat dan bahan yang
diperlukan untuk menghias tempat sampah dengan
bimbingan guru.
12. Peserta didik low vision dan totally blind diminta untuk
menyebutkan alat-alat dan bahan yang dibutuhkan untuk
menghias tempat sampah.
13. Peserta didik MDVI diminta untuk menunjuk alat-alat
yang dibutuhkan untuk menghias tempat sampah sesuai
dengan instruksi.
14. Seluruh peserta didik menghias tempat sampah sesuai
dengan langkah-langkah yang telah dicontohkan oleh
guru.
15. Peserta didik low vision dan totally blind diminta untuk
menjelaskan manfaat dari tempat sampah.
16. Peserta didik MDVI diminta mengucapkan kata “Tempat
Sampah”.
Kegiatan 1. Peserta didik diajak untuk menjelaskan kegiatan 10 menit
Penutup pembelajaran apa sajakah yang telah dipelajarinya pada
hari ini (review pembelajaran).
2. Guru bertanya kepada peserta didik bagaimana perasaan
peserta didik selama kegiatan pembelajaran.
3. Merapikan media/alat, bahan dan sumber belajar.
4. Penanaman sikap spiritual yaitu dengan mengajak peserta
didik untuk bertanggung jawab terhadap tugasnya di
sekolah serta bersyukur kepada Tuhan karena telah
diberikan kesempatan untuk bersekolah dengan baik.
5. Peserta didik diminta berdoa untuk menutup pembelajaran
dan mengucapkan salam.

H. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN, PENGAYAAN DAN REMEDIAL


1. Teknik Penilaian
Pengamatan, Tes Tertulis, Tes Lisan, dan Praktik
2. Instrumen penilaian terlampir
3. Remedial dan pengayaan terlampir

Mengetahui, Jakarta,
Kepala SLB A Cahaya Netra Wali kelas III.A

……………………………………….. Eki Saraswati, S. Pd


NIP. NIP.

Halaman 37 dari 46
5. Forum Diskusi
Dalam forum diskusi ini, coba mahasiswa diskusikan beberapa hal berkaitan
dengan pembelajaran bagi anak dengan hambatan penglihatan:

a. Prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak dengan hambatan penglihatan


b. Pembelajaran konsep bagi anak dengan hambatan penglihatan
c. Strategi pembelajaran bagi anak dengan hambatan penglihatan

C. Penutup
1. Rangkuman
a. Layanan pendidikan bagi anak hambatan penglihatan pada dasarnya sama
dengan layanan pendidikan bagi anak awas. namun dalam teknik
penyampaiannya disesuaikan dengan hambatan, kemampuan dan kebutuhan
anak dengan hambatan penglihatan.
b. Layanan umum adalah latihan yang diberikan terhadap anak hambatan
penglihatan sebagaimana terhadap anak-anak lainnya yang meliputi:
keterampilan, kesenian, dan olahraga.
c. Layanan khusus/ kompensatoris yang diberikan terhadap anak dengan hambatan
penglihatan, yaitu: latihan membaca dan menulis Braille, latihan penggunaan
tongkat, latihan orientasi dan mobilitas, latihan visual/fungsional penglihatan.
d. Strategi pembelajaran bagi anak dengan hambatan penglihatan lebih ditekankan
pada upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak, dan
upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk
mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan.
e. Strategi`yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak hambatan
penglihatan, yaitu: strategi individualisasi, kooperatif, dan modifikasi perilaku.
f. Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering
disebut sebagai alat peraga.
g. Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu sendiri
yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
h. Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak hambatan penglihatan
pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada

Halaman 38 dari 46
sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan
tes. Materi tes atau pertanyaan yang diberikan kepada anak hambatan penglihatan,
tidak mengandung unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual

2. Tes Formatif
Lingkarilah jawaban yang anda anggap paling tepat dari soal dan pilihan jawaban
di bawah ini:
1. Contoh penerapan teori belajar konstruktivisme adalah ….
a. Belajar kelompok
b. Peer tutorial
c. Belajar mandiri
d. Belajar terprogram
e. Belajar tuntas
2. Di bawah ini yang tidak termasuk dalam konsep RPP adalah….
a. RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta
didik dalm upaya mencapai SK atau KI
b. Setiap guru dalam satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara
lengkap dan sistematis
c. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali
pertemuan atau lebih
d. Guru merancang menggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan
dengan penjadwalan disatuan pendidikan
e. RPP disusun dengan memperhatikan silabus dan pemetaan kompetensi
sebelumnya.
3. Seorang peserta didik tunanetra usia 10 tahun yang baru mengalami
ketunanetraan selama 6 bulan, materi pembelajaran yang harus diprioritaskan
adalah …….
a. Membaca dan menulis
b. Orientasi dan mobilitas
c. Pendidikan jasmani
d. Pendidikan vokasional
e. Pengenalan konsep
4. Pengenalan sayur-sayuran pada ATN dengan cara...
a. Memanen sayur di kebun
Halaman 39 dari 46
b. Makan sayur di restoran
c. Memasak sayuran
d. Menanam sayuran
e. Mencium bau sayuran

5. Siswa lowvision masuk sekolah inklusi yang diberikan pertama adalah...


a. Alat bantu penglihatan
b. Media pembelajaran yang dimodifikasi
c. Program pembelajaran yang sesuai
d. Menentukan tempat duduk
e. Mencarikan teman pendamping
6. Seorang guru akan memberikan pembelajaran tentang gajah kepada siswa
ATN sebaiknya menggunakan media...
a. Suara gajah
b. Model gajah
c. Gambar gajah
d. Relief gajah
e. Film gajah
7. Dalam pembelajaran untuk siswa ATN guru menjelaskan materi dengan
metode ceramah tanpa adanya media akan menimbulkan...
a. Verbalism
b. Kebosanan
c. Monoton
d. Kebingungan
e. Kegaduhan
8. Dalam pembelajaran ATN sebaiknya diberikan perintah berikut ini...
a. “ambil buku di atas meja”
b. “sebelah kirimu ada pintu”
c. “kamu pergi kesana”
d. “buatlah jadwal pelajaran
e. “tutup pintu itu”
9. ATN menuang air penuh ke gelas, untuk mengetahui penuh atau tidak dengan
cara...
a. Mendengarkan suara air dituang
Halaman 40 dari 46
b. Memegang gelas
c. Memegang bibir gelas
d. Tanya ke orang lain
e. Menggoyangkan gelas
10. Pembelajaran untuk ATN yang termasuk ke dalam “touch analytic” adalah...
a. Pembelajaran uang koin
b. Eksplorasi pembelajaran
c. Membayangkan
d. Miniatur gajah
e. Perabaan pohon tomat

3. Daftar Pustaka
Bishop, V., E. (1996): Teaching Visually Impaired Children, Second Edition,
Illinois: Charles C Thomas Publisher.
Djadja, R. (1994): Dasar-dasar O&M bagi Anak Tunanetra Usia Pra Sekolah.
Bandung: Jurusan PLB FIP IKIP Bandung (tidak dipublikasikan).
Hosni, Irham (2005). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti.
Lewis, Vicky, 2003. Development and Disability, second Edition.
Blackwell Publishing: USA
Michael L. Hardman dkk. 1990. Human Exceptionality (society, school and
family), Massachusetts: Allyn and Bacon.
Mason, H., and McCall, S. (1999): Visual Impairment, Access to Education for
Children and Young People, London: David Fultor Publishers.
McLinden, M., and McCall, S. (2002): Learning Through Touch, London: David
Fulton Publishers.
Mulyasa, E (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ponchillia, P., E. and Ponchillia, S.V. (1996): Foundation of Rehabilitation
Teaching with Person who are Blind or Visually Impaired. New York:
American Foundation for the Blind.
Rahardja, Djadja (2010). Sistem Pengajaran Modul Orientasi dan Mobilitas.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Riyanti, Widi (2013). Karakteristik dan Pendidikan Anak.
[http://widiriyanti.blogspot.co.id/2013/03/karakteristik-dan-pendidikan-
anak.html. diakses 12/11/2015].
Skjerten, Miriam D. 1999. Introduction to Visual Impairment. Oslo: Department

Halaman 41 dari 46
of Special Needs Education, University of Oslo. Alih bahasa: Didi
Tarsidi (2002).
Sunanto, Juang (2005). Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan
Penglihatan. Jakarta: Depdiknas, Dirjen Dikti.
Warren, D., H. (1994): Blindness and Children, An Individual Differences
Approach, Cambridge: University Press.
Welsh, R.L., and Blasch, B.B. (1980): Foundation of Orientation and Mobility.
New York: American Foundation for the Blind.
Winzer, Margaret, 1990. Children With Exceptionalities, A Canadian
Perspective, Second Edition. Prentice-Hall: Canada Inc

4. Tes Sumatif
Jawablah soal-soal di bawah ini dengan memilih jawaban yang benar:
1) Seorang anak diduga ATN berdasarkan...
a. Tulisan tidak terbaca
b. Sering salah dalam membaca
c. Sering keliru dalam menulis
d. Sering kehilangan alat tulis
e. Kesalahan dalam menjawab
2) ATN membaca tulisan yang berukuran huruf besar, hal ini dapat
menunjukkan...
a. Ketajaman penglihatan
b. Lantang pandang
c. Binokuler
d. Bidang pandang
e. Alat bantu belajar
3) Berikut ini yang tidak perlu dijadikan pertimbangan dalam asesmen
gangguan penglihatan untuk tujuan perencanaan layanan pendidikan
adalah…
a. Fungsi indera penglihatan
b. Tingkat inteligensi/kemampuan kognitif
c. Kemampuan psikomotorik
d. Kemampuan finansial orangtua
e. Nilai raport anak

Halaman 42 dari 46
4) Yang tidak termasuk asesmen penglihatan adalah …..
a. Penglihatan periferal
b. Penglihatan visus
c. Penglihatan literal
d. Penglihatan fungsional
e. Penglihatan operasional
5) Di bawah ini pernyataan yang benar tentang hasil penelitian terhadap ATN
adalah
a. Perkembangan emosional tidak terpengaruh oleh kekurangan
kemampuan visual
b. Perkembangan kognitif terpengaruh oleh kekurangan kemampuan visual
c. Perkembangan sosial terpengaruh oleh kekurangan visual
d. Perkembangan bahasa terpengaruh oleh kekurangan kemampuan visual
e. Perkembangan motorik tidak terpengaruh kemampuan visual.
6) Huruf “z” dalam braille adalah ……..
a. 1-3-4-5
b. 1-3-5-6
c. 2-3-4
d. 1-2-4-5
e. 2-3-4-5
7) Konfigurasi dari 6 titik Braille akan membentuk...bentuk & makna
a. 26
b. 35
c. 50
d. 63
e. 75
8) Posisi dan urutan titik-titik Braille ketika membaca disebut juga dengan;
a. Positif
b. Negatif
c. Netral
d. Terbalik
e. Pola dasar
9) Sistem tulisan dari Barbier disebut juga sebagai:
a. Tulisan gelap
Halaman 43 dari 46
b. Tulisan terang
c. Tulisan malam
d. Tulisan Braille
e. Tulisan timbul
10) Braille negatif adalah berkaitan dengan urutan titik-titik dalam;
a. Matematika
b. Notasi musik
c. Membaca
d. Menulis
e. Menghapus
11) Seorang peserta didik tunanetra usia 10 tahun yang baru mengalami
etunanetraan selama 6 bulan, materi pembelajaran yang harus diprioritaskan
adalah …….
a. Membaca dan menulis
b. Orientasi dan mobilitas
c. Pendidikan jasmani
d. Pendidikan vokasional
e. Sensitivitas perabaan
12) Teknik yang digunakan seorang tunanetra untuk memperoleh garis pengarah
dari suatu objek atau bunyi, sehingga dapat berjalan lurus dan sampai tujuan
dengan tepat disebut;
a. Direction taking
b. Trailing
c. Upper hand
d. Lower hand
e. Squaring up
13) Pengertian shore-line dalam orientasi mobilitas adalah …..
a. Batas atau tepi jalan atau rumput
b. Tindakan menentukan suatu arah dari suatu objek atau suara
c. Benda-benda dengan garis lurus yang permukaannya jika diteruskan
d. Objek suara bau suhu atau rabaan yang dapat dipakai sebagai petunjuk.
e. Garis penghubung antar objek
14) Yang bukan dari komponen orientasi berikut ini adalah …..
a. Self familiarization
Halaman 44 dari 46
b. Analisis
c. Measurement
d. Landmarks
e. Clue
15) Di bawah ini yang termasuk kedalam kegiatan mobilitas ATN adalah...
a. Menuju bunyi yang diperdengarkan
b. Membedakan bunyi
c. Menentukan arah bunyi
d. Menyebutkan sumber bunyi
e. Memainkan alat musik
16) Contoh penerapan teori belajar konstruktivisme adalah ….
a. Belajar kelompok
b. Peer tutorial
c. Belajar mandiri
d. Belajar terprogram
e. Belajar tuntas
17) Pengenalan sayur-sayuran pada ATN dengan cara...
a. Memanen sayur di kebun
b. Makan sayur di restoran
c. Memasak sayuran
d. Menanam sayuran
e. Mencium bau sayuran
18) Seorang guru akan memberikan pembelajaran tentang gajah kepada siswa
ATN sebaiknya menggunakan media...
a. Suara gajah
b. Model gajah
c. Gambar gajah
d. Relief gajah
e. Film gajah
19) Dalam pembelajaran untuk siswa ATN guru menjelaskan materi dengan
metode ceramah tanpa adanya media akan menimbulkan...
a. Verbalism
b. Kebosanan
c. Monoton
Halaman 45 dari 46
d. Kebingungan
e. Kegaduhan
20) Pembelajaran untuk ATN yang termasuk ke dalam “touch analytic” adalah...
a. Pembelajaran uang koin
b. Eksplorasi pembelajaran
c. Membayangkan
d. Miniatur gajah
e. Perabaan pohon tomat
4 Tugas Terstruktur
Dengan memperhatikan contoh pengembangan perangkat pembelajaran, silakan
anda membuat pemetaan kompetensi, menyusun silabus, dan menyusun RPP,
yang disertai dengan pengembangan bahan ajar serta penilaiannya.

5. Kunci Jawaban Tes Formatif dan Sumatif


KEGIATAN BELAJAR 1: Tes Sumatif :
1. b 6. d 1. b 6. b 11. b 16. c
2. b 7. c 2. a 7. d 12. a 17. c
3. b 8. d 3. d 8. a 13. a 18. b
4. a 9. b 4. c 9. c 14. b 19. a
5. b 10. c 5. c 10. d 15. a 20. d
KEGIATAN BELAJAR 2:
1. b 6. A
2. a 7. c
3. b 8. a
4. c 9. d
5. d 10. b
KEGIATAN BELAJAR 3:
1. b 6. b
2. c 7. c
3. a 8. a
4. a 9. a
5. a 10. a
KEGIATAN BELAJAR 4:
1. c 6. b
2. b 7. e
3. a 8. a
4. c 9. c
5. d 10. d

Halaman 46 dari 46

Anda mungkin juga menyukai