Anda di halaman 1dari 18

DAMPAK DISABILITAS MAJEMUK

TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN BELAJAR

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Anak
dengan Disabilitas Majemuk yang diampu oleh Dr. Nia Sutisna, M. Si. dan
Dr. Imas Diana Aprilia, M. Pd.

Oleh :

Kelompok 4

Arieq Aliyyudien NIM 1908041


Gita Fitriani Kusnandar NIM 1900012
Qisthy Fathiya Shafa NIM 1900168
Salma Dieny Izzatie NIM 1907984

PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

i
DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................................6
1.4 Metode Penulisan.........................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................7
2.1      Perkembangan Bahasa Pada Anak................................................................................................7
2.2       Anak dengan Disabilitas Majemuk..............................................................................................8
2.3      Pengembangan Keterampilan Kognitif.........................................................................................8
BAB III......................................................................................................................................................11
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................11
3.1 Perkembangan Bahasa pada Anak dengan Disabilitas Majemuk.....................................................11
3.2 Pembelajaran pada Anak dengan Disabilitas Majemuk..................................................................13
3.3 Layanan untuk Perkembangan Bahasa dan Belajar pada Anak dengan Disabilitas Majemuk....14
BAB IV.....................................................................................................................................................18
PENUTUP.................................................................................................................................................18
4.1 Simpulan..........................................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar anak dengan disabilitas majemuk memang memiliki beberapa tingkat
gangguan kognitif, tetapi diagnosis spesifik dari anak dengan disabilitas majemuk
seringkali ambigu atau tidak dapat ditentukan. Tingkat kemampuan anak dapat sangat
bervariasi, dari segi akademik hingga keterampilan hidup dasar. Namun demikian,
sebagian besar anak dengan disabilitas majemuk masih cukup mampu belajar sesuai
dengan tingkatanya sendiri jika diberikan dukungan dan materi yang sesuai.
Proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian kejadian yang dilaksanakan dengan
tujuan untuk mendapatkan pengetahuan – pengetahuan baru. Proses pembelajaran dapat
terjadi dimana saja dan semua orang bisa terlibat didalamnya. Namun, umumnya proses
pembelajaran terjadi di sekolah. Proses pembelajaran ini tidak terbatas oleh usia, waktu
maupun tempat.
Bahasa memegang peranan penting daIam pembaharuan dan peningkatan mutu
pendidikan. Hal ini disebabkan oleh proses pendidikan dan pembelajaran yang pasti
melibatkan bahasa didalamnya, baik saat disajikan secara verbal maupun saat disajikan
secara visual. Selain itu, pengembangan bahasa juga memungkinkan anak untuk belajar
memahami dan mengontrol dirinya sendiri.
Faktor fisik merupakan salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi
perkembangan individu (Rita Eka, 2008: 9). Kondisi fisik pada individu akan berkaitan
dengan kemampuan individu dalam menilai kemampuan pada dirinya. Namun, tidak
semua manusia mempunyai fisik yang ideal. Sebagian orang memiliki kekurangan pada
kondisi fisiknya. Termasuk anak dengan disabilitas majemuk atau biasa disebut dengan
tunaganda. Anak dengan disabilitas majemuk, memiliki beberapa kekurangan pada
dirinya yang bisa mempengaruhi kemampuan berbahasa serta proses perkembangannya.
Oleh karena itu, mereka memerlukan beberapa fasilitas – fasilitas serta pelayanan khusus
untuk menunjang kebutuhan belajarnya.

3
1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang akan digali lebih lanjut lagi yakni:
1. Bagaimana perkembangan bahasa pada anak dengan disabilitas majemuk?
2. Bagaimana proses pembelajaran pada anak dengan disabilitas majemuk?
3. Bagaimana pelayanan yang sesuai untuk mengatasi masalah perkembangan bahasa
dan proses pembelajaran pada anak dengan disabilitas majemuk?

1.3 Tujuan Penulisan

Selaras dengan rumusan masalah yang telah disebutkan, adapun tujuan penulisan dari
makalah ini antara lain:

1. Mengetahui dampak dari disabilitas majemuk terhadap perkembangan bahasa


2. Mengetahui dampak disabilitas majemuk terhadap perkembangan bahasa belajar.
3. Mengetahui pelayanan yang sesuai untuk mengatasi masalah perkembangan bahasa
dan proses pembelajaran pada anak dengan disabilitas majemuk.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif.
Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan data yang akurat serta mendalam
mengenai Dampak Disabilitas Majemuk Terhadap Perkembangan Bahasa dan Belajar
yang didapatkan melalui penelitian – penelitian terdahulu. Dalam penulisan makalah ini
kami mengumpulkan data dengan mencari informasi – informasi dari beberapa jurnal
maupun buku yang tersedia secara online. Setelah dilakukan pengumpulan data, kami
menyusun laporan dan menyajikan data-data yang telah di dapat, serta mendeskripsikan
hasil analisa dan menarik kesimpula

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1      Perkembangan Bahasa Pada Anak

Pengertian Bahasa (dari bahasa Sanskerta भभभभ, bhāṣā) adalah kemampuan yang
dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda,
misalnya kata dan gerakan. Kajian ilmiah bahasa disebut ilmu linguistik. (Rasyid,
Mansyur, & Suratno, 2009). M. Schaerlaekens membagi fase-fase perkembangan
bahasa anak dalam empat periode. Perbedaan ini didasarkan pada ciri-ciri tertentu
yang khas pada setiap periode. Adapun periode-periode tersebut adalah sebagai
berikut:

a) Periode Prelingual (usia 0-1 tahun)


Periode prelingual yaitu anak belum dapat mengucapkan bahasa ucapan seperti
yang diucapkan orang dewasa, dalam arti belum mengikuti aturan-aturan bahasa
yang berlaku. Namun perkembangan menghasilkan bunyi-bunyi itu sudah mulai
pada minggu-minggu sejak kelahirannya. Seperti tangisan-tangisan yang
dikeluarkannya. Perkembangan tersebut menurut Chaer melalui tahap-tahap
sebagai berikut: Bunyi resonansi, Bunyi berdekut, Bunyi berleter, Bunyi berleter
ulang, dan Bunyi vokabel.
b) Periode Lingual Dini (usia 1-2,5 tahun)
Pada periode ini anak mulai mengucapkan kata pertama, meskipun belum
lengkap. Misalnya: atit (sakit), agi (lagi), dan sebagainya. Pada masa ini beberapa
kombinasi huruf masih terlalu sukar diucapkan, beberapa huruf masih sukar
diucapkan, seperti: r, s, k, j, dan t. Pertambahan kemahiran berbahasa pada
periode ini sangat cepat dan dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu Periode
kalimat satu kata (holophrare), Periode kalimat dua kata, dan Periode kalimat
lebih dari dua kata (more word sentence).
c) Periode Diferensiasi (usia 2,5- 5 tahun)
Pada periode diferensiasi adalah keterampilan anak dalam mengadakan
diferensiasi dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat.

5
d) Periode Menjelang Sekolah (sesudah usia 5 tahun)
Yang dimaksud dengan periode menjelang sekolah adalah menjelang anak masuk
sekolah atau pendidikan formal yaitu pada waktu mereka berusia antara lima
sampai enam tahun. Pada periode ini anak sudah bisa berbahasa seperti orang
dewasa.(Halimah, 2016)

2.2       Anak dengan Disabilitas Majemuk

Menurut Heward dan Orlansky dalam Dinas Pendidikan Luar Biasa, Departemen
Pendidikan Amerika Serikat memberikan pengertian mengenai anak-anak yang
tergolong tunaganda adalah anak-anak yang karena mempunyai masalah-masalah
jasmani, mental atau emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa
masalah tersebut, sehingga agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal
memerlukan pelayanan kebutuhan yang melebihi pelayanan program pendidikan luar
biasa secara umum, terutama dalam hal kemampuan komunikasinya.

Dollar dan Brooks dalam Snell (1983) dalam Danimartianda, Kania (2008)
mengidentifikasi anak tuna ganda atau tunamajemuk sebagai berikut :

1. Mereka memiliki ketunaan yang berat dan parah


2. Mereka membutuhkan program pendidikan dengan sumber yang lebih besar
daripada program biasa
3. Mereka membutuhkan program yang terfokus pada keterampilan dalam fungsi
kemandirian dan pemenuhan diri.

Berdasarkan pengertian diatas maka anak tunaganda ini memerlukan layanan


program pendidikan dan pembelajaran yang fungsional untuk pengembangan
keterampilan yang optimal terutama dalam pembelajaran kehidupan sehari-harinya.

2.3      Pengembangan Keterampilan Kognitif

Secara garis besar, Jean Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif


seorang anak menjadi empat tahap yaitu: tahap sensorimotor, tahap pra-operasional, tahap
operasi konkret, dan tahap operasi formal. Tahap sensorimotor lebih ditandai dengan pemikiran

6
anak berdasarkan tindakan inderawinya. Tahap pra-operasional diwarnai dengan mulai
digunakannya simbol-simbol untuk menghadirkan suatu benda atau pemikiran, penggunaan
bahasa.  Tahap operasi konkret ditandai dengan penggunaan aturan logis yang jelas. Tahap
operasi formal dicirikan dengan pemikiran abstrak, hipotetis, deduktif, dan induktif. Tahap-tahap
tersebut saling berkaitan.  Urutan tahap tahap tidak dapat ditukar atau dibalik, karena tahap
sesudahnya mengandaikan terbentuknya tahap sebelumnya.  Tetapi, tahun terbentuknya tahap
tersebut dapat berubah-ubah menurut situasi seseorang.  Seseorang dapat mulai tahap operasi
formal pada umur 11 tahun, sedangkan orang lain mulai tahap yang sama pada umur 15 tahun. 
Perbedaan antar tahap sangat besar karena ada perbedaan kualitas pemikiran yang lain.
Meskipun demikian, tidak dari perkembangan sebelumnya tetap tidak dibuang.  Jadi, ada
kesinambungan dari tahap ke tahap, walaupun ada juga perbedaan yang sangat mencolok.

Sekolah atau lembaga penyelenggara pendidikan untuk anak usia pra sekolah menggunakan
kurikulum standar nasional, yang ditentukan oleh kementrian pusat. Namun, untuk
pengembangan kurikulum tersebut, masing-masing sekolah diberikan kebebasan sesuai dengan
kebutuhan dan kebudayaan setempat. Kurikulum untuk anak usia pra sekolah bertujuan untuk
mengembangkan potensi perkembangan anak secara optimal pada semua aspek. Salah satu fokus
yang kebanyakan menjadi acuan adalah perkembangan kognitif.

Proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi
(penyeimbangan). Asimilasi adalah proses penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif
yang telah dimiliki individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam
situasi yang baru. Ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan  antara asimilasi dan
akomodasi. Contohnya jika seorang anak sudah mempunyai prinsip pengurangan, ketika
mempelajari pembagian maka terjadi proses integrasi antara pengurangan  (telah dikuasai) dan
pembagian (info baru) inilah asimilasi. Jika anak diberi soal pembagian, maka situasi ini disebut
akomodasi. Artinya anak sudah dapat mengaplikasikan  atau memakai prinsip pembagian dalam
situasi baru. Proses penyesuaian antara ling luar dan struktur kognitif yang ada dlm dirinya
disebut ekuilibrasi

Implikasi dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget dalam pembelajaran perkembangan
bahasa adalah :

7
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi atau berkomunikasi dengan teman-temanya.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Perkembangan Bahasa pada Anak dengan Disabilitas Majemuk

Anak berkebutuhan khusus dikategorikan berdasarkan kelainan fisik, sensoris,


intelektual, emosi dan sosialnya yang meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, dan tunalaras. Tidak jarang dijumpai ABK yang memiliki lebih dari satu
hambatan yang disebut tunaganda. Kata ganda berarti "double" atau dua, tetapi tunaganda
ada yang memiliki kelainan lebih dari dua, sehingga penggunaan istilah ganda menjadi
tidak tepat. Sehingga menggunakan istilah hambatan majemuk.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam kehidupan
sehari-hari melalui gerakan, simbol, kata, tanda, dsb. Dalam berkomunikasi setiap
individu harus mengerti apa informasi yang disampaikan oleh individu lain. Sebuah
percakapan dapat dikatakan komunikatif apabila diantara mereka, selain mengerti bahasa
yang digunakan juga mengerti maknanya.
Proses pencapaian kemampuan berkomunikasi pada individu dengan hambatan
majemuk penglihatan dan pendengaran sejak lahir sangatlah kompleks, seperti yang
diuraikan oleh van Dijk (2001), yaitu: Children with congenital deafblindness often
function at a presymbolic communication level for a very long period. They have no
notion of the gestures such as hand or mouth movements, which people use to express
themselves. Gaining an awareness of this might take many, many years. A number of
persons who are deafblind will remain at a nonsymbolic level when they are adults while
others will develop a symbolic language system. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa anak tunarungu-tunanetra sejak lahir, membutuhkan waktu yang
sangat lama dalam memproses makna simbol dan memiliki kesulitan dalam
mengekspresikan dirinya.
Komunikasi anak dengan hambatan majemuk berawal dari tingkatan pra-simbolik
yaitu pengiriman pesan tanpa menggunakan simbol (kata, isyarat, grafik). Seseorang
mungkin menggunakan gerak tubuh, ekspresi muka, pandangan mata, suara vokal, dsb
untuk menyampaikan suatu pesan non-simbolik.

9
Belajar berkomunikasi bagi anak dengan hambatan penglihatan dan pendengaran
adalah tantangan sekaligus kesempatan terbesar yang dihadapi oleh anak dengan
hambatan penglihatan dan pendengaran, karena dengan komunikasi dan bahasa akan
diketahui apa yang menjadi keinginan, kebutuhan, ide, dan pikiran mereka. Kemampuan
menggunakan bahasa bagi mereka dapat membuka/memperluas jalan dalam
mengeksplorasi lingkungannya. Dalam belajar bahasa, anak dengan hambatan
penglihatan dan pendengaran menghadapi tantangan keterikatan interaksi dengan
kemampuan terbaik mereka dan memanfaatkan diri mereka terhadap kesempatan bahasa
yang tersedia untuk mereka. Komunikasi yang baik secara terus menerus akan membantu
perkembangan yang sehat pada diri mereka. Komunikasi melibatkan banyak hal daripada
sekedar bahasa. Percakapan dianggap sebagai bentuk terbaik dari komunikasi yang baik.
Sebuah percakapan bersama seorang anak dengan hambatan penglihatan dan
pendengaran dapat dimulai dengan mitra bicara yang hanya memperhatikan apa yang
diperlihatkan anak saat itu dan menemukan sebuah cara untuk membuat anak mengerti
bahwa ketertarikannya sama dengan orang lain. (Barbara Miles, 2008).
Setelah terbangun sebuah ketertarikan yang sama, dapat menjadi sebuah topik
untuk membangun pembicaraan. Topik percakapan biasanya dibangun antara orang tua
dan anak awas atau anak yang dapat mendengar, dengan membuat kontak mata dan
gestur, misalnya menunjuk atau mengangguk, atau dengan pertukaran suara dan ekspresi
wajah. Karena kurangnya penglihatan dan pendengaran, anak dengan hambatan
penglihatan dan pendengaran akan sering membutuhkan sentuhan untuk memberikan
kepastian bahwa lawan bicara memperhatikannya. Ketika anak dengan hambatan
penglihatan dan pendengaran menjadi nyaman untuk berinteraksi secara non verbal
bersama orang lain, dia menjadi siap untuk menerima beberapa bentuk komunikasi
simbolik sebagai bagian dari interaksi tersebut. Seringkali membantu untuk menyertai
perkenalan kata-kata (bahasa lisan atau isyarat) dengan menggunakan gestur dan/atau
benda sederhana yang berfungsi sebagai simbol atau representasi untuk suatu aktivitas.
Dengan melakukan hal tersebut dapat membantu seorang anak untuk mengembangkan
pemahaman bahwa suatu hal dapat mewakili sebuah hal lain.
Seorang anak dengan hambatan penglihatan dan pendengaran membutuhkan
stimulasi bahasa yang sebanding, dengan menyesuaikan kemampuannya untuk menerima

10
dan merasionalisasikan stimulasi bahasa tersebut. Hal yang dapat dilakukan untuk
mengenalkan bahasa kepada anak adalah dengan membuat lingkungan yang mendukung
seorang anak dalam memperoleh bahasa dengan terus menerus memberikan komentar
terhadap pengalaman anak dengan menggunakan bahasa isyarat, lisan atau simbol apapun
yang mudah diakses anak.
Guru atau orang tua dapat menggunakan gestur atau bahasa isyarat untuk
menamakan benda yang dia dan anak pegang secara bersama, atau menamakan gerakan
yang mereka lakukan secara bersama. Pemberian nama pada benda, dapat dilakukan
berulang-ulang sehingga memberikan kesempatan yang sama seperti yang diberikan
untuk anak yang mendengar sehingga dapat membuat sebuah hubungan yang bermakna
antara kata-kata dan hal-hal yang mereka wakili.

3.2 Pembelajaran pada Anak dengan Disabilitas Majemuk

Banyak aspek-aspek perkembangan yang terpengaruh dan terhambat akibat


kehilangan penglihatan dan atau hambatan lain. Bagi anak yang kehilangan penglihatan
sekaligus pendengaran dapat mengakibatkan minimnya stimulus dari luar yang diterima
anak. Mereka tidak belajar dari interaksi dengan lingkungannya seperti anak lainnya.
Akses atau indera yang ada terbatas pada perabaan, pengecap, dan penciuman tetapi
kemungkinan indera-indera ini masih terpengaruh karena kelainan lain yang ada seperti
misalnya intelektual. Ketika dua saluran utama dalam menerima informasi terhambat atau
tidak berfungsi, ini akan berdampak pada perkembangan anak di beberapa area utama,
yaitu: (1) perkembangan komunikasi; (2) perkembangan gerak; (3) perkembangan
kognitif; (4) perkembangan sosial dan emosi; (5) perkembangan konsep dan citra diri.
Dampak dari keadaan kehilangan penglihatan yang disertai hambatan lain
memerlukan banyak strategi dalam proses pembelajaran dengan mempertimbangkan hal-
hal (1) dampak dari kelainan pada kesulitan dalam pembelajaran; (2) karakteristik
pembelajaran harus bersifat sepanjang masa; dan (3) pembelajaran harus berarti.
Seorang tunarungu-tunanetra dalam berkomunikasi menggunakan berbagai
metode, diantaranya dengan bahasa isyarat (isyarat alamiah, SIBI, ASL, BSL, dsb),
isyarat taktil/metode tracking (menyentuh tangan pemberi isyarat untuk merasakan
bentuk dan gerakan), tactile finger spelling (meraba tangan seorang pemberi isyarat jari),

11
membaca ujaran dengan metode tadoma (meletakkan ibu jari pada dagu orang lain, dan
meletakan jari-jari pada pipi orang lain untuk merasakan getaran suara seseorang dan
gerakan bibir mereka), menggunakan huruf braille. Beragamnya cara berkomunikasi ini
bergantung pada penyebab, kombinasi kerusakan fungsi penglihatan dan pendengaran,
serta lingkungan mereka. Anak dan orang dewasa dengan hambatan penglihatan dan dan
pendengaran mampu menggunakan komunikasi simbolik, dapat juga lebih mengandalkan
rutinitas yang dapat dilakukan daripada mengandalkan individu awas dan dapat
mendengar. Rutinitas yang dapat dilakukan akan membantu meredakan kecemasan yang
sering disebabkan karena kurangnya informasi sensorik.

3.3 Layanan untuk Perkembangan Bahasa dan Belajar pada Anak dengan Disabilitas
Majemuk

Mencari tahu kebutuhan anak dengan disabilitas majemuk secara spesifik sangat
penting untuk pengembangan program pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Anak
dengan disabilitas majemuk juga memiliki kekurangan dalam bidang komunikasi,
sehingga sulit bagi mereka untuk mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan, dan rasa
sakit mereka kepada orang-orang di sekitar mereka. Hambatan yang mereka miliki ini
dapat berdampak kepada perkembangan emosional dan intelektual anak, tetapi dapat
diatasi melalui penggunaan teknologi pendukung dan sistem komunikasi augmentatif.
Komunikasi Augmentatif dan Alternatif (AAC) adalah media dan metode yang
digunakan oleh individu yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi atau menulis
agar bisa berkomunikasi dengan baik dan lancar bersama dengan orang yang ada
disekitarnya. Komunikasi augmentatif dan alternatif berhubungan dengan strategi atau
cara mengkompensasikan keterbatasan komunikasi individu yang mengalami hambatan
Komunikasi alternatif adalah teknik-teknik yang menggantikan komunikasi lisan bagi
individu yang mengalami hambatan dalam bicara atau tidak mampu berkomunikasi
melalui bahasa lisan. Sedangkan Komunikasi augmentatif adalah kaidah-kaidah dan
peralatan/media yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dalam
kenyataan hidup sehari-hari.
Banyak individu disabilitas majemuk yang disertai dengan gangguan secara fisik
tidak dapat secara efektif menggunakan komunikasi gestur dalam bentuk apapun karena

12
keterbatasan keterampilan motorik halus mereka. Sistem komunikasi alternatif dan
augmentatif dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi bagi siswa
penyandang disabilitas majemuk dan bertujuan untuk menjembatani kesenjangan dalam
berkomunikasi dan memberi individu dengan disabilitas majemuk sarana untuk
berkomunikasi dengan lebih nyaman.  Komponen AAC meliputi: (1) Teknik komunikasi;
(2) Sistem simbol; dan (3) Kemampuan Berkomunikasi. (McCormick & Shane, 1990
dalam Kuder, 2003). 
a. Teknik Komunikasi 
Teknik komunikasi ada dua macam, yaitu: (1) teknik komunikasi tanpa
bantuan;dan (2) dengan bantuan. (Vanderheiden & Lloyd, 1986 dalam Kuder
2003). 
1. Teknik Komunikasi Tanpa Bantuan
Teknik ini tidak memerlukan alat bantu dari luar diri anak dan
tidak pula memerlukan prosedur khusus dalam pengunaannya. Teknik ini
menggunakan kaidah isyarat, gesture, mimik muka, dsb. Kelebihan teknik
ini adalah tidak perlu alat bantu, dengan sendirinya menjadi lebih murah
karena tidak memerlukan biaya, dan mudah ditukar atau dipindahkan.
Adapun kekurangannya adalah: pertama, tidak inovatif sehingga
komunikasi di masa depan akan menjadi masalah karena bahasa
komunikasi itu terus berkembang; kedua, tergantung pada kemampuan
ingatan pengguna; ketiga isyarat sebenarnya sulit dipelajari bagi anak
disabilitas majemuk yang intelektual dan fisik (motorik halusnya)
terganggu.

2. Teknik Komunikasi dengan Bantuan

Teknik ini memerlukan alat bantu dan menggunakan prosedur


secara rinci dalam penggunaannya. Baik alat bantu ini elektronik maupun
non-elektronik maupun system symbol. Alat bantu ini dari yang sangat
sederhana sampai yang paling canggih, dari papan komunikasi sampai alat
bantu bicara sintetik yang menggunakan komputer. Jadi teknik ini
memerlukan objek fisik yang berupa peralatan bantu komunikasi untuk

13
memudahkan seorang anak berkomunikasi. Kelebihan teknik ini adalah
dapat menyampaikan pesan lebih kompleks terhadap kemampuan
berbahasa/berkomunikasi bagi pengguna, dan dapat digunakan
komunikasi jarak jauh. Adapun kelemahan teknik ini adalah mudah rusak,
kehilangan daya (elektronik), perawatan susah, dan lebih mahal.
Gambar 1. Contoh dari Komunikasi Augmentatif dan Alternatif dengan
Bantuan Alat
b. Sistem Simbol 
Berbagai sistem simbol dibuat dari benda asli (benda sebenarnya),
berbentuk gambar, dan sistem simbol yang abstrak. Sistem simbol yang abstrak
antara lain gambar yang mewakili suatu bentuk atau kejadian (picture
representations), ideographs (ide yang ditampilkan melalui simbol garis), simbol
arbitrari (ide dalam bentuk konfigurasi garis arbitrari), dan lexigrams (simbol
visual-grafis secara arbitrari yang merupakan bentuk-bentuk geometri). 
c. Kemampuan Berkomunikasi
Prosedur dan alat bantu AAC telah menyediakan peluang terbaik bagi
individu yang tidak mampu berkomunikasi secara lisan/verbal untuk dapat
berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Oleh karena itu prosedur dan alat
bantu AAC harus digunakan secara optimal. Untuk dapat mengikuti prosedur dan
alat bantu dengan baik ABK perlu mendapatkan latihan secara intensif dan
berkesinambungan
Dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan disabilitas majemuk,
khususnya tunanetra-tunarungu dapat menggunakan kurikulum fungsional. Kurikulum
fungsional dirancang untuk menyiapkan keterampilan atau latihan-latihan yang
dibutuhkan anak-anak netra ganda yang dapat dikembangkan di lingkungan.
Selain itu, pelayanan untuk anak dengan hambatan majemuk membutuhkan
pendamping untuk membantunya dalam belajar dan memperoleh bahasa. Seperti
contohnya Helen Keller yang merupakan salah satu anak dengan hambatan majemuk. Ia
didampingi oleh pelayannya yang bernama Anne Sullivan. Jari-jari Sullivan ke tangan
Helen untuk mengeja huruf dari benda tersebut, yaitu dengan mengeja “w-a-t-e-r” dengan

14
air mengalir di tangan Helen. Kemudian, hubungan antara huruf dan kata-kata dan benda-
benda dibuat.

15
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Bahasa (dari bahasa Sanskerta भभभभ, bhāṣā) adalah kemampuan yang dimiliki manusia
untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan.
M. Schaerlaekens membagi fase-fase perkembangan bahasa anak dalam empat periode.
Perbedaan ini didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang khas pada setiap periode.

Anak berkebutuhan khusus dikategorikan berdasarkan kelainan fisik, sensoris,


intelektual, emosi dan sosialnya yang meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, dan tunalaras. Tidak jarang dijumpai ABK yang memiliki lebih dari satu
hambatan yang disebut tunaganda. Kata ganda berarti "double" atau dua, tetapi tunaganda
ada yang memiliki kelainan lebih dari dua, sehingga penggunaan istilah ganda menjadi
tidak tepat. Sehingga menggunakan istilah hambatan majemuk.

Sebagian besar anak dengan disabilitas majemuk memiliki beberapa tingkat


gangguan kognitif, tetapi diagnosis spesifik dari anak dengan disabilitas majemuk
seringkali ambigu atau tidak dapat ditentukan. Tingkat kemampuan anak dapat sangat
bervariasi, dari segi akademik hingga keterampilan hidup dasar. Namun demikian,
sebagian besar anak dengan disabilitas majemuk masih cukup mampu belajar sesuai
dengan tingkatanya sendiri jika diberikan dukungan dan materi yang sesuai.

Mencari tahu kebutuhan anak dengan disabilitas majemuk secara spesifik sangat
penting untuk pengembangan program pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Anak
dengan disabilitas majemuk juga memiliki kekurangan dalam bidang komunikasi,
sehingga sulit bagi mereka untuk mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan, dan rasa
sakit mereka kepada orang-orang di sekitar mereka. Hambatan yang mereka miliki ini
dapat berdampak kepada perkembangan emosional dan intelektual anak, tetapi dapat
diatasi melalui pelayanan – pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhannya, yakni

16
penggunaan teknologi pendukung dan sistem komunikasi augmentative, kurikulum
fungsional, dan memberikan pendampingan melalui seorang ahli.

17
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Imas Diana. (2012). Interaksi dan Komunikasi pada Anak dengan Hambatan Majemuk.
[online]. Tersedia di:  
https://ejournal.upi.edu/index.php/jassi/article/download/4013/2883. [Diakses 26
September 2020].

Mulia, Dedi. Studi Deskriptif Pembelajaran Komunikasi Pada Anak Tuna Netra-Rungu di SLB
Rawinala Jakarta. [online]. Tersedia di:
http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/UNIK/article/view/3497. [Diakses 28 September
2020].

Sunanto, Juang. (2013). Konsep Dasar Individu dengan Hambatan Majemuk. [online].
JASSI_Anakku : Telaah, 73-85. [Diakses 26 September 2020].

Zubaidah, E. (2004). PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA·DINI DAN TEKNIK


PENGEMBANGANNYA DISEKOLAH. Cakrawala Pendidikan, XXII(3), 459–479.

18

Anda mungkin juga menyukai