Anda di halaman 1dari 50

Panduan Pengembangan Kurikulum dan Program

Pembelajaran bagi Siswa MDVI/Deafblind

Proyek Kerjasama

Perkins International

&

Direktorat PKPLK Pendidikan Dasar Republik Indonesia

oleh : Weningsih, S.Pd

didukung oleh:

1. Dr. Juang Sunanto

2. Muhammad Arif Taboer, M.Pd

1
Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN pasal 3, menyatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional ... untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab

Berdasarkan Pada pasal 5 ayat 2 dan 4, UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN,
peserta didik dapat dikategorikan menjadi (1) peserta didik yang memerlukan
pendidikan khusus, yaitu mereka yang mengalami kelainan fisik, mental, dan sosial
dan peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa; dan (2) peserta
didik yang pada umumnya atau normal. Peserta didik yang berkelianan maupun
peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa keduanya memerlukan
pendidikan khusus agar mereka dapat berkembang secara optimal.

Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang SPN mengisyaratkan bahwa negara memberikan jaminan
sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan
pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus
atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak
lainnya dalam pendidikan.

Penddidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik


yang memiliki kelainan baik fisik, mental, dan sosial emosi, merupakan bagian
integral dari sistem pendidikan nasional, memiliki tujuan yang sama dengan
pendidikan pada umumnya. Mengingat peserta didik dalam pendidikan khusus
memiliki karakteristik yang unik, yang berbeda sangat menonjol dengan peserta
didik umumnya maka dalam proses pendidikannya memerlukan sebuah
rancangan pembelajaran yang spesifik. Kekhususan tersebut di antaranya adalah

2
strategi: metode, dan peralatan yang perlu diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik anak serta materi dan evaluasi belajar.

Undang No. 20 Tahun 2003 tentang SPN menyebutkan bahwa Pendidikan


khusus dan layanan khusus merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan
nasional, yaitu pendidikan khusus diperuntukan bagi peserta didik yang mengalami
kesulitan mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan
khusus bagi peserta didik yang mengalami hambatan belajar dapat diselenggarakan
dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Terpadu, atau Sekolah Inklusi.

Anak dengan tunaganda sebagai salah satu kategori anak berkebutuhan khusus
di Indonesia belum mendapatkan layanan pendidikan yang memadai dikarenakan
sekolah atau lembaga yang diperuntukan bagi mereka masih sangat terbatas.
Keterbatasan ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya karena sangat
kurangnya sumber informasi dan layanan pendidikan serta kebanyakan orangtua
dan masyarakat khususnya masyarakat pendidikan menganggap beratnya kondisi
kelainan yang dialami anak dengan tunaganda sedangkan mereka tidak memiliki
cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mendidik mereka. Hal ini yang
menyebabkan pendidikan anak dengan tunaganda kurang diperhatikan: jumlah
sekolah bagi mereka sangat minim, tidak banyak guru yang dipersiapkan untuk
mendidik mereka, serta ketiadaan panduan kurikulum yang dapat digunakan
sebagai acuan.

Anak dengan tunaganda keadaannya sangat beragam, salah satunya adalah


anak dengan tunanetra yang disertai dengan ketunaan lain, yang dalam panduan
ini menggunakan istilah anak dengan MDVI/Deafblind yang berasal dari bahasa
Inggris Multi Disable Visual Impaired dan Deafblind, sengaja tidak digunakan
bahasa Indonesia karena masih belum ada padanan kata yang tepat. Dalam
literature berbahasa asing, mungkin ditemukan istilah lain dengan makna yang
sama, yakni VIMD (Visually Impaired Multiple Disable). Anak dengan
MDVI/Deafblind ini dapat ditemukan di SLB tunanetra atau di SLB lain, mereka
pada umumnya belum mendapat layanan pendidikan yang tepat. Bagi mereka yang
ada di SLB tunanetra mendapat layanan pendidikan yang disamakan dengan anak
tunanetra. Demikian juga mereka yang berada di SLB tunarungu mendapat layanan

3
pendidikan seperti anak tunarungu pada umumnya. Anak dengan MDVI/Deafblind:
tunanetra yang disertai tunarungu, mereka bukan anak-anak dengan gabungan
karakteristik anak dengan tunanetra dan dengan tunarungu, tetapi mereka adalah
anak-anak dengan karakteristik tersendiri yang unik yang berbeda khas dengan
anak tunanetra juga anak tunarungu pada umumnya. Oleh karena itu, untuk
mengembangkan potensi mereka diperlukan bentuk layanan pendidikan yang
dituangkan dalam sebuah kurikulum khusus sesuai dengan kebutuhan serta
kemampuan dan cara belajar anak dengan MDVI/deafblind.

Naskah ini merupakan suatu pedoman atau panduan bagi pendidik untuk
memberikan layanan pembelajaran bagi anak dengan MDVI/deafblind secara
khusus. Meskipun demikian pedoman ini juga dapat digunakan dalam pembelajaran
bagi anak dengan tunaganda tanpa hambatan penglihatan karena pedoman ini
disusun berdasarkan prinsip-prinsip umum pengajaran bagi anak dengan ketunaan
ganda.

B. Siapakah MDVI/DEAFBLIND?

Di Indonesia, salah satu kategori anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak
dengan tunaganda, yaitu ABK yang memiliki dua atau lebih hambatan, misalnya
tunanetra disertai tunarungu yang disebut tunanetra-rungu atau buta tuli. Di samping
itu, ada tunaganda yang lain, misalnya tunanetra yang disertai tunagrahita, atau
tunanetra sekaligus tunarungu dan tunagrahita. Anak-anak seperti ini sering dijumpai
baik di sekolah luar biasa (SLB) tunagrahita atau pun di SLB tunanetra. Sayangnya
di sekolah tersebut mereka belum mendapat pelayanan pendidikan yang ideal
karena sekolah yang khusus melayani pendidikan bagi anak-anak seperti ini di
Indonesia masih sangat minim jumlahnya.

Anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu (deafblind) adalah salah satu


kategori anak dengan tunaganda yang sangat istimewa dan menarik perhatian bagi
para pendidik, karena anak ini kehilangan dua indera utama sekaligus. Dampak dari
hilangnya kedua indera utama tersebut menyebabkan sesseorang mengalami
banyak tantangan dalam belajar, perkembangan, dan keterampilan komunikasinya.
Anak seperti ini membutuhkan layanan pendidikan khusus. Ada beberapa istilah
yang digunakan untuk menggambarkan anak dengan tunanetra sekaligus
tunarungu, yaitu deaf blind dengan berbagai variasi penulisannya; deaf-blind,

4
deafblind, deaf/blind dan deafblindness. Secara harfiah semua istilah tersebut berarti
tunanetra sekaligus tunarungu yang dalam bahasa Indonesia sering ditulis
tunanetra-rungu.

Miles (2005) menyebutkan tunanetra-rungu adalah suatu kondisi yang merupakan


kombinasi dari hambatan pendengaran dan penglihatan pada anak-anak yang
menyebabkan hambatan berat pada komunikasi dan perkembangan lainnya serta
kebutuhan pendidikan di mana kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi pada
program yang diperuntukkan bagi anak dengan hambatan pendengaran saja atau
anak dengan hambatan penglihatan saja atau bahkan program bagi anak
berkelainan ganda secara umum.

Dalam perkembangan selajutnya, di Amerika serikat, dikenal istilah multiple


disable with visual impairments (MDVI). Istilah tersebut merujuk pada seseorang
yang mengalami hambatan penglihatan yang disertai dengan hambatan lain. Maka
MDVI adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan yang disertai dengan
hambatan lain baik pendengaran, intelektual, fisik, emosi dan lain sebagainya.
Kombinasi dari hambatan-hambatan tersebut gradasinya bisa sangat beragam, dan
banyak di antara anak-anak ini masih dapat mendengar atau melihat sesuatu.
Dalam bahasa Indonesia anak dengan MDVI dapat disamakan dengan istilah
tunaganda yang memfokuskan pada hambatan penglihatan yang disertai oleh
hambatan lain.

Salah satu kategori anak dengan MDVI yang paling unik adalah anak dengan
tunanetra sekaligus tunarungu (deafblind). Anak ini mengalami kehilangan indera
utama yaitu penglihatan dan pendengaran yang paling berperan dalam membawa
informasi dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkan informasi tentang
lingkungan, anak tunanetra-rungu sangat tergantung pada orang lain yang bersedia
memberikan informasi. Sebagai dampak hilangnya duan indera utama ini, anak
tunetra-rungu memiliki karakteristik di antaranya, mengalami distorsi persepsi
tentang lingkungan, memgalami kesulitan komunikasi karena ketidakmampuan
untuk mengkomunikasikan sesuatu dengan cara yang berarti, mengalami hambatan
dalam menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain.

5
C. Kurikulum Secara Umum

Istilah kurikulum memiliki berbagai tafsiran, dan tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-


beda satu dengan yang lainnya. Istilah kurikulum berasal dari kata curriculae dari
bahasa Latin yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Dari sini,
kurikulum dianggap sebagai jembatan untuk mencapai titik akhir dari suatu
perjalanan yang ditandai dengan perolehan suatu ijazah.

Salah satu tafsiran yang paling umum dipakai adalah sejumlah mata ajaran
(subject matter) dipandang sebagai pengalaman yang telah disusun secara
sistematis dan logis. Di samping itu, tafsiran lain menjelaskan bahwa kurikulum
adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa.
Dengan program ini siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga terjadi
perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan.
Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata ajaran saja, melainkan meliputi segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa.

Pengertian ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas


dalam ruang kelas saja, melainkn mencakup juga kegiatan-kegiatan di luar kelas.
Semua kegiatan yang memberi pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada
hakekatnya adalah kurikulum.

Kurikulum bagi siswa MDVI/deafblind akan dibahas secara mendalam pada bab 2
berikutnya.

D. Struktur Kurikulum

Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Ke dalaman muatan
kurikulum setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan bahan belajar yang
tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi tersebut terdiri atas standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar
kompetensi lulusan.

Struktur kurikulum bagi anak MDVI/deafblind ini disusun dalam bentuk area
kurikulum yang meliputi (1) area bekerja, (2) komunikasi dan sosialisasi, dan (3)

6
bina diri yang masing-masing disertai Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan
Indikator. Secara rinci, Standar kompetensi, Kompetensi dasar, serta Indikator untuk
masing-masing area kurikulum disajikan dalam lampiran. ( lihat pada penjelasan
berikutnya)

7
Bab II

PENYUSUNAN PROGRAM PEMBELAJARAN BAGI SISWA MDVI/DEAFBLIND

Sebelum menyusun program pembelajaran bagi setiap siswa, pendidik harus


melaksanakan beberapa langkah agar program yang disusun sesuai dengan
kebutuhan mereka. Kurikulum yang berpusat pada anak menghendaki adanya
informasi yang jelas tentang potensi serta kebutuhan anak untuk berkembang.

Penerapan setiap area dalam kurikulum harus dilakukan di lingkungan yang alami
dan dengan situasi yang nyata.

A. Identifikasi

Merupakan proses awal yang dapat membantu kita untuk mengenali kelompok anak
yang diduga memiliki hambatan tertentu untuk selanjutnya dilakukan asesmen guna
memastikan dugaan tersebut. Identifikasi ini biasanya dilakukan berdasarkan
beberapa gejala yang nampak atau ditunjukkan oleh kelompok atau individu
sehingga pelaksana identifikasi dapat dengan mudah mengisi daftar cek yang
tersedia.

Proses identifikasi biasanya dilakukan melalui pengamatan dan wawancara.


Pengamatan meliputi dua hal yakni pengamatan fisik dan perilaku. Pengamatan
fisik akan meliputi adanya permasalahan fisik, misalnya; perbedaan bentuk anggota
tubuh atau wajah; maupun ketidaklengkapan anggota tubuh. Sedangkan
pengamatan perilaku dilakukan untuk melihat adanya pengecualian dari suatu
perilaku umum ketika individu sedang melakukan sesuatu. Misalnya, mendekatkan
buku ke arah wajah pada saat membaca, mendekatkan telinga pada sumber bunyi
pada saat mendengarkan sesuatu. Perbedaan-perbedaan yang muncul tersebut
dicatat untuk dilakukan pengecekan lebih mendalam oleh ahli yang berkompeten
melalui asesmen.

Identifikasi melalui wawancara dilakukan untuk memperjelas suatu gejala yang


terlihat. Jika anak dapat berkomunikasi secara verbal, maka ia akan menjadi sumber

8
informasi utama. Orang-orang yang ada di sekitar anak seperti keluarga dan orang
dekat lainnya juga dapat menjadi sumber informasi untuk melengkapi identifikasi
kita.

Seorang pendidik bahkan orang tua dapat berperan untuk melakukan identifikasi
awal, karena mereka memiliki waktu yang cukup banyak bersama dengan anak.
Dengan waktu yang dimiliki mereka dimungkinkan dapat melihat perubahan-
perubahan baik fisik maupun perilaku anak.

Jika proses identifikasi telah dilakukan, selanjutnya perlu dilakukan asesmen. Segala
catatan yang dikumpulkan dalam identifikasi menjadi dasar untuk penggalian
informasi lebih mendalam.

B. Asesmen

Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi mengenai kemampuan dan


kebutuhan anak secara komprehensif meliputi keterampilan sosial emosi;
keterampilan binadiri; kemampuan komunikasi; kemampuan akademik maupun
kemampuan fungsional motorik dan sensorik.

Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung, wawancara


serta mengkaji dokumen yang telah ada, misalkan hasil asesmen (diagnosa) medis.

Pengamatan hendaknya dilakukan secara berulang-ulang, dan di tempat yang


berbeda-beda agar mendapatkan informasi yang lengkap. Dari tempat yang sudah
dikenal oleh anak, hingga tempat yang baru. Hal ini kita perlukan untuk melihat
kepekaan anak terhadap perubahan lingkungan.

Proses asesmen bagi anak-anak ini sebaiknya dilakukan dalam situasi yang alami,
misalkan saat bermain atau saat anak melakukan kegiatan sehari-harinya. Asesor
dapat mengamati perilaku spesifik anak sesuai informasi yang diinginkan oleh
asesor.

Wawancara dilakukan oleh tim asesor untuk menggali data dari anggota keluarga
atau orang-orang di sekitar anak yang memiliki intensitas kedekatan dengan anak
atau frekuensi pertemuan dengan anak secara berkala. lnformasi dari wawancara,

9
seringkali harus dilihat langsung oleh asesor untuk memastikan adanya konsistensi
perilaku pada anak.

Mengkaji dokumen digunakan sebagai referensi atas hasil pengamatan dan


wawancara yang telah dilakukan. Hendaknya proses ini dilakukan pada proses akhir,
sehingga asesor tidak terpengaruh oleh diagnosa atau laporan yang telah ada.

Idealnya suatu proses asesmen dilakukan dengan melibatkan beberapa ahli lain
seperti opthalmologi (dokter mata); Audiologist (ahli di bidang pendengaran); atau
ahli medis lain yang dapat mengungkap tentang hambatan fisik setiap anak yang
mungkin tidak mudah dilihat atau ditemukan secara awam. Namun demikian, pada
situasi seperti negara kita, hal ini tidaklah mudah dilakukan. Selain keberadaan para
ahli yang umumnya hanya berada di kota besar juga kendala faktor lainnya yang
tidak selalu memungkinkan untuk memperoleh diagnosa dari mereka. Komponen
lain yang sangat penting dalam asesmen adalah keterlibatan keluarga dalam
memberikan informasi yang bernilai termasuk orang-orang yang dekat dengan anak.
Pendidik adalah tim pelaksana asesmen sekaligus pelaksana hasil asesmen.

Jenis asesmen yang seharusnya dilakukan pada anak MDVI/deafblind meliputi :

1. Asesmen fungsi Penglihatan

2. Asesmen fungsi Pendengaran

3. Asesmen kemampuan Binadiri

4. Asesmen Komunikasi dan Kognisi

5. Asesmen Sosial dan emosi

6. Asesmen kebutuhan dan harapan keluarga

7. Asesmen orientasi dan mobilitas (O & M)

Asesmen dapat dilakukan dengan berbagai macam tujuan, baik untuk penempatan
anak, penyusunan serta evaluasi program. Asesmen besar yang sangat

10
komprehensif untuk mengetahui setiap aspek dengan kontribusi tim pendidik dan
para ahli bisanya dilakukan pada saat anak masuk ke dalam program atau jika ada
suatu perubahan yang sangat signifikan. Sedangkan asesmen untuk melihat
perkembangan anak dilakukan secara terus menerus atau n going process

C. Kurikulum

Kurikulum bagi siswa MDVI/Deafblind sering diartikan sebagai :apa yang diajarkan
pada siswa, mengapa diajarkan dan bagaimana cara mengajarkan. Tiga hal ini
seharusnya menjadi landasan dan refleksi bagi pendidik agar selalu mengingat
bahwa kurikulum sangat fleksibel dan harus menyesuaikan kebutuhan siswa bukan
karena tuntutan sistem.

Pada umumnya target kurikulum dibuat untuk dilaksanakan pendidik secara klasikal,
mungkin jika diperlukan ada modifikasi tertentu sebagai penyesuaian. Namun
kurikulum bagi anak MDVI/deafblind bukanlah semata-mata sekumpulan target
hirarki yang kaku dan berlaku bagi semua anak. Melainkan berupa panduan cara
memilih program untuk individu anak. Kurikulum di sini diterjemahkan sebagai hal
penting yang perlu diajarkan anak, tetapi semua itu memerlukan kebijaksanaan
pendidik untuk memilih berdasarkan asesmen, keunikan anak serta harapan
keluarga.

Ketika sekolah-sekolah untuk anak-anak ini baru mulai, karena minimnya informasi
mereka mencoba untuk menggabungkan beberapa kurikulum berdasarkan kelainan
setiap anak. Misalkan kurikulum SLB A dan SLB C untuk anak yang memiliki
hambatan penglihatan sekaligus hambatan intelegensi. Tentu semua ini tidak dapat
dijalankan karena mereka memerlukan kurikulum yang berbeda. Bukan kurikulum
yang berbasiskan akademis dengan menitikberatkan kemampuan kognitif dan
keterampilan hidup sebagai tambahan. Mereka lebih memerlukan kurikulum yang
berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka dan berguna baik saat ini
maupun bagi kehidupannya nanti. Suatu kurikulum yang kaya akan pengalaman dan
keterampilan hidup yang disebut sebagai kurikulum fungsional.

11
Kurikulum fungsional adalah keterampilan sehari-hari yang dibutuhkan untuk hidup;
bekerja; menjalin hubungan dengan orang lain maupun menggunakan waktu
luang (to live, to work; to love dan to play). Empat komponen ini menjadi pra-
syarat agar hidup lebih bermakna dan bermartabat.

Komponen hidup menekankan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk


menolong dirinya sendiri, sesuatu yang penting harus dilakukan orang setiap hari.
Jika kita tidak dapat melakukan, maka orang lain akan melakukan agar dapat hidup.
Misalnya : makan, minum, buang air, mandi, berpakaian

Komponen bekerja bukanlah selalu sesuatu yang bersifat menghasilkan pendapatan


seperti pada umumnya. Ini menekankan keterlibatan kita sebagai anggota keluarga
dan anggota masyarakat untuk ambil bagian dalam peran dan tanggung jawab.
Misalkan : mencuci piring, masak, membersihkan rumah

Komponen menjalin hubungan dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan


anak untuk menjangkau orang lain, memahami adanya orang lain selain dirinya, ada
keluarganya, pendidik, teman sebaya, tetangga, bahkan orang yang berhubungan
dengan dia karena pelayanan jasanya. Keterampilan ini menjadi sangat penting
karena dunia anak-anak MDVI/DEAFBLIND sangat kecil untuk dapat melakukan
hubungan dengan orang lain. Karena banyak dari mereka yang tidak memahami
adanya orang lain di luar diri mereka. Maka kurikulum harus membuat mereka dapat
memperluas dunianya.

Komponen waktu luang adalah keterampilan yang dilakukan untuk mencari


kesenangan, untuk bersantai. Setiap orang melakukan kesenangan yang berbeda-
beda mungkin sesuatu yang bersifat berkala seperti piknik, nonton film di bioskop,
berenang. Tetapi ada kegiatan-kegiatan sederhana yang dilakukan untuk
menghilangkan penat dan sekedar bersantai. Misalkan, nonton TV, mendengarkan
musik, baca koran atau majalah dan lainnya. Anak-anak MDVI/deafblind perlu
diajarkan keterampilan-keterampilan ini agar ia dapat memanfaatkan waktu
luangnya untuk bermain, tetapi juga tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk
kegiatan ini.

Itulah empat komponen dasar yang menjadi pertimbangan dalam menentukan sub
area dalam kurikulum fungsional bagi anak MDVI/deafblind. Selanjutnya, empat

12
komponen ini tentu tidak muncul dengan nama yang sama tetapi akan terintegrasi
dalam area-area dan akhirnya menjadi kegiatan berdasarkan thema.

Terkadang pendidik memiliki kesulitan untuk melihat apakah program atau kegiatan
yang dikembangkan fungsional atau bahkan tidak fungsional.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat kita jadikan panduan untuk
mengkaji sebuah program atau kegiatan fungsional :

Apabila anak dengan MDVI/deafblind tidak dapat melakukan, maka orang


lain harus melakukan untuknya.

Apakah keterampilan /kegiatan tersebut memastikan anak dengan


MDVI/deafblind berinteraksi dengan orang lain?

Apakah kegiatan tersebut memastikan anak MDVI/deafblind memiliki pilihan?

Apakah dengan kegiatan tersebut membuat anak dengan MDVI/deafblind


lebih mandiri?

Apakah keterampilan tersebut harus digunakan setiap hari untuk hidup?

Dalam panduan kurikulum ini, tim telah menentukan beberapa area penting, yaitu :

1. Area Komunikasi dan sosial

2. Area Binadiri

3. Area Bekerja

Di dalam setiap area diberikan beberapa contoh kegiatan, seperti :

1. Area komunikasi dan sosial menitikberatkan komunikasi ekspresif dan


reseptif kemampuan anak untuk:

a. Memahami dan mengungkapkan kebutuhannya dalam memenuhi


kebutuhan dasar misalnya : rasa haus , lapar, sakit, toilet, dll

13
b. Memahami dan mengungkapkan kebutuhannya untuk pergi ke suatu
tempat atau bercerita tentang tempat baik di lingkungan terdekat maupun
yang jauh dari anak.

c. Memahami dan mengungkapkan keberadaan orang lain atau untuk


bersama orang lain.

d. Memahami dan mengungkap tentang perasaannya serta perasaan orang


lain, misalnya : rasa sedih, marah, kecewa, dll

Dalam area komunikasi, juga digambarkan tentang target kemampuan komunikasi


ekspresif dan reseptif dan dikaitkan dengan fungsi dan tujuan komunikasi.

Yang juga tercermin di kurikulum dan harus diperhatikan pendidik adalah bahwa
komunikasi tidak hanya dibatasi dengan komunikasi verbal seperti dengan bicara;
tulisan, maupun isyarat. Melainkan termasuk komunikasi non verbal yang tidak
menggunakan alat bantu bahasa seperti : gerakan tubuh, ekspresi wajah, simbol
benda atau gambar dan lainnya.

2. Area Binadiri

Area ini mencakup segala kegiatan yang berhubungan dengan kemampuan


hidup sehari-hari anak. Diantaranya terdiri meliputi kegiatan :

a. Makan dan minum

Menekankan pada keterampilan dalam makan dan minum dengan


menggunakan alat bantu yang paling sederhana hingga peralatan yang
lebih rumit.

b. Berpakaian

Menekankan pada keterampilan anak dalam berpakaian secara lengkap


hingga rumit

c. Merawat pakaian

Adalah keterampilan anak dalam mencuci pakaian; mengeringkan; melipat


hingga menyetrika

14
d. Membersihkan diri (Mandi, gosok gigi, keramas, toilet)

Keterampilan anak dalam hal mandi,menggosok gigi hingga mencuci


rambut termasuk penggunaan toilet dan keterampilan membersihkan diri
setelah toilet

e. Kebersihan dan kesehatan wanita

Merupakan keterampilan khusus yang diperlukan anak perempuan dalam


menjaga kebersihan dan kesehatan pada saat menstruasi.

f. Pendidikan seksual

Menekankan pada pemahaman anak tentang masalah-masalah umum


yang berhubungan dengan kemampuan memilih masalah privasi dan hal
yang umum; permasalahan yang berhubungan dengan proteksi diri; nilai-
nilai sosial yang berhubungan dengan perbedaan antara laki-laki dan
wanita

3. Area Bekerja

a. Masak

Bermula dari kegiatan sederhana hingga cukup rumit untuk


mengembangkan pemahaman konsep proses suatu makanan dan
keterampilan anak dalam terlibat langsung pembuatan makanan.

b. Berbelanja

Menekankan pada pemahaman dan penerapan konsep uang dan


penggunaannya serta pengembangan interaksi sosial.

c. Mencuci (pakaian dan peralatan makan)

Menekankan pada pemahaman anak tentang tanggungjawab dan sebagai


bagian dari keluarga. Dalam proses pelaksanaannya memungkinkan
peserta didik dapat mengembangkan beberapa area secara alami.

d. Keberhasihan lingkungan

15
Menekankan pemahaman tentang tanggungjawab dan beberapa konsep
secara bersamaan. Kegiatan disusun baik untuk pemahaman kebersihan
di dalam kelas maupun luar kelas.

e. Berkebun

Menekankan pemahaman konsep tumbuhan dan perawatannya,


memberikan pemahaman pada siswa tentang penerapan sains dalam
kehidupan sehari-hari

f. Keterampilan pilihan

Adalah kegiatan yang dapat diberikan pada siswa sesuai dengan


karakteristik wilayah setempat atau potensi siswa secara individu.

Dalam memenuhi area akademik, kurikulum ini juga memadukan isi area akademis
yang menjadi tuntutan kurikulum pada umumnya. Area akademik seperti
Matematika; Bahasa Indonesia; Sains; IPS dan PKN tidak berdiri sendiri menjadi
mata pelajaran melainkan terintegrasi dalam setiap kegiatan dalam tiga area inti.

Bagaimana keseluruhan komponen dan area ini tercermin dalam program


pembelajaran anak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat sebuah pendekatan
kurikulum berbasis thematik. Sebelum kita membicarakan mengenai masalah
kurikulum tematik ini, maka kita perlu memahami bahwa model kurikulum bagi anak-
anak kita seperti halnya sebuah spiral yang dimulai dari diri anak; lingkungan
terdekat hingga lingkungan yang lebih jauh dari dirinya. Berikut ini adalah gambaran
dari model kurikulum spiral.

16
Penjelasan gambar :

Dalam lingkaran terdalam, target dari setiap area komunikasi dan sosial adalah hal-
hal yang berhubungan dengan diri anak sendiri. Lambat laun akan mengarah pada
lingkungan dan orang terdekat seperti keluarga; kemudian pada lingkungan
masyarakat beserta isinya dan akhir lingkungan yang jauh dari jangkauannya.

D. Pendekatan Thematik

Pembelajaran harian yang bersifat real life menjadi kebutuhan setiap peserta didik,
sehingga diperlukan pendekatan thematik untuk memastikan ketiga area ( binadiri,
17
bekerja, sosial dan komunikasi) yang dilandasi empat komponen (to live, to work, to
love dan to play) kegiatan harian siswa. Pendekatan ini menuntut ketelitian pendidik
dalam memadukan beberapa standart kompetensi dan kompetensi dasar dalam satu
kegiatan. Thema ini dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok yang dipilih
berdasarkan budaya, keadaan setempat. Misalnya : thema Hari Raya, thema
Perayaan Hari Kemerdekaan; thema Ulang Tahun; thema bulan Ramadhan; atau hal
maupun kejadian yang biasanya terjadi dan dilakukan masyarakat setempat. Thema
biasanya beruapa kejadian, peristiwa umum yang terjadi secara umum baik di
wilayah sebuah bangsa atau pada wilayah tertentu.

Penetapan atau pelaksanaan thema juga harus mempertimbangkan waktu


pelaksanaan maupun durasinya. Misalnya thema tentang Hari Kemerdekaan hanya
tepat dilaksanakan pada bulan Agustus untuk di Indonesia. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan perayaan hari kemerdekaan harus mewarnai setiap kegiatan
yang diselenggarakan dalam proses belajar.

18
Contoh :

Thema Hari Kemerdekaan

Olah Raga

Perlombaan dalam
rangka perayaan

Masak Berkebun

Membuat snack Menanam bunga bayam


untuk membuat sayur pada
saat syukuran

Hari

Kemerdekaa
n
Kerajinan
Diskusi pagi
Membuat aksesories
Diksusi kegiatan perayaan
untuk perayaan
kemerdekaan

Belanja

Membeli benda untuk


membuat keperluan
perayaan

19
ALUR DALAM SKEMA KURIKULUM FUNGSIONAL

Analisa Tugas

To Live
Binadiri SK
To Work Kegiatan
Bekerja Kompetensi Area KD
To Play
Komunikasi & Sosial
To Love

Bahasa Indonesia

Matematika

Sains Thema

IPS

PKN

20
E. Penyusunan Program Pembelajaran Individual

Program Pembelajaran Individual (PPI) menjadi bagian yang sangat penting


dalam proses pendidikan bagi siswa dengan MDVI/deafblind. Merupakan
prioritas target yang ditetapkan oleh tim pendidik dan keluarga berdasarkan
hasil asesmen untuk meningkatkan keterampilan yang belum dikuasai
anak*dalam kurun waktu tertentu.

Asesmen yang lengkap akan menunjukkan kemampuan siswa dan hal yang
belum dikuasai oleh siswa dalam setiap area. Jika asesmen yang dilakukan
akurat, maka akan lebih mudah untuk menentukan target pembelajaran
berikutnya. Kadangkala, pendidik terjebak untuk menentukan target
berdasarkan apa yang diinginkan, tetapi harus selalu diingat bahwa semua
harus berpusat pada siswa. Kesenjangan kemampuan antara anak dengan
MDVI/deafblind dengan anak seusianya dalam hal binadiri, komunikasi
sosial , kognitif dan lainnya, sering sangat tinggi. Oleh karenanya PPI
merupakan program yang dibuat bertujuan untuk mempersempit kesenjangan
tersebut.

Namun demikian, pendidik harus jeli untuk mempertimbangkan kecepatan


belajar siswa yang bersangkutan dengan berorientasi pada prioritas dalam
setiap area perkembangan.

Bagaimanakah cara memadukan antara standar kompetensi dalam setiap


area dan tematik untuk menjadi PPI dan tercermin dalam penjadwalan
fungsional sehari-hari? Jawaban dari pertanyaan ini terlihat rumit, tetapi
sebenarnya akan mudah jika sudah di praktekkan. Oleh sebab itu, panduan
ini dilengkapi dengan format-format PPI dan contoh kasus beberapa siswa
dari sekolah yang ada.

21
Berikut ini adalah skema jaringan PPI - tema SK/KD dan analisa tugas :

22
Hasil asesmen

Menentukan
Belanja Masak Berkebun
-..

prioritas
-.. -..
- . - . - .
-.. -.. -..

SK/KD

Area binadiri kls 1,2,3,4,5,6 4.Melihat kesesuaian

PPI
kelas kemampuan
Area bekerja kls 1,2,3,4,5,6 Olah Raga Bercerita
-.. Them
2. Ambil bagian a -..
Area komunikasi & sosial kls - . - .
yg sesuai -..
1,2,3,4,5,6 -..
kemampaun
Tugas
PPI dlm Analisa
3. Pecah tujuan

Kesenian Kebersihan Berjualan


-.. -.. -..
- . - . - .
-.. -.. -..

Analisa Tugas

( langkah-langkah kegiatan )

Gambar .. : Jaringan penyusunan PPI

23
Untuk memahami skema di atas, marilah kita telaah penjelasan di bawah ini !

Langkah 1

Setelah kita mendapatkan hasil asesmen berupa kemampuan siswa dalam


setiap area beserta dengan keterampilan yang belum dikuasai dalam area
tersebut, maka selanjutnya adalah memilih diantara keterampilan yang belum
dikuasai tersebut untuk dijadikan tujuan PPI untuk satu semester atau
setengah semester.

Selanjutnya isilah format PPI seperti yang ada dalam contoh atau format
sejenis yang mencakup keseluruhan komponen seperti dalam contoh format.
Pendidik dapat membuat beberapa tujuan dalam satu format PPI untuk setiap
area. Area bekerja dan area binadiri dapat dipisahkan, sedangkan area
komunikasi dan sosialisasi dapat dipadukan dalam kedua area lainnya.

Langkah 2

Setelah menentukan tujuan PPI untuk setiap area, selanjutnya melihat


kesesuaian tema dan sub tema (kegiatan kelas) besera hirarki dari
penjabaran setiap kegiatan. Ini akan menunjukkan kaitan antara PPI dengan
pelaksanaan atau penerapannya sehari-hari. Untuk menentukan jenis
kegiatan harian, pendidik dapat menentukan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Tetapi yang harus menjadi ukuran adalah bahwa kegiatan tersebut harus
fungsional. (Lihat cirri-ciri kegiatan fungsional pada bagian terdahulu).

Yang harus menjadi catatan penting bagi pendidik adalah meskipun tema
berubah tetapi keterampilan (skill) yang ditetapkan dalam PPI tidak berubah

Tema akan membantu pendidik untuk menentukan media apa yang dapat
digunakan dalam mencapai tujuan PPI serta bagaimana pelaksanaan atau
perwujudan PPI dalam proses kegiatan sehari-hari.

24
Langkah 3

Analisa tugas menjadi komponen yang sangat penting dalam mempermudah


pendidik untuk mencapai tujuan PPI juga menentukan evaluasi. Setiap tujuan
harus dipecah atau diurai menjadi langkah-langkah kecil sebuah kegiatan.
(lihat contoh terlampir). Hendaknya setiap siswa harus memiliki buku analisa
tugas dari setiap kegiatan yang relevan. Pembahasan menganai analisa
tugas akan diperdalam pada bagian evaluasi.

Langkah 4

Lalu bagaimana letak SK/KD?

SK/KD bukanlah tujuan mutlak yang dapat dan harus dicapai oleh setiap
siswa. Siswa MDVI/Deafblind memiliki rentang kemampuan yang sangat luas
dan beragam, oleh sebab itu mereka tidak dapat menggunakan satu
kurikulum yang telah ditentukan untuk tujuan keseragaman.

Maka SK/KD yang telah dibuat sebagai contoh dapat digunakan sebagai
referensi untuk mengetahui perkiraan kelas kemampuan siswa. Jadi
*setelah* menentukan tujuan PPI, maka pendidik dapat melihat spesifik tujuan
tersebut sesuai dengan kelas berapa untuk setiap area.

Dari gambaran di atas sangat jelas bahwa :

1. Asesmen harus meliputi setiap area penting bagi siswa, asesor harus dapat
menemukan kemampuan siswa saat ini serta hal yang belum dikuasai dalam
area tersebut.

2. Pelaksanaan PPI harus tercermin dan terpadu dalam setiap kegiatan di kelas
sehari-hari.

3. Tema seharusnya terlihat dan menjadi payung dalam setiap kegiatan yang
ada dalam jadwal kelas

4. Kegiatan kelas yang ada dalam jadwal dapat berbeda, tetapi harus bersifat
fungsional

25
5. Setiap siswa hendaknya memiliki buku kumpulan analisa tugas untuk
kegiatan bina diri, sehingga mempermudah untuk melihat kemampuan siswa
secara umum.

6. SK/KD yang sering disebut sebagai kurikulum pada siswa dengan


MDVI/Deafblind digunakan sebagai referensi untuk menentukan kelas
kemampuan siswa. Bukan berfungsi sebagai acuan pembelajaran yang harus
dicapai siswa pada tingkatan kelas tertentu sebagaimana penggunaan SK/KD
dalam kurikulum pada umumnya.

F. TEKHNIS PENULISAN PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL (PPI)

Penulisan PPI yang efektif dan operasional akan mempermudah dalam


proses pelaksanaan dan evaluasi. Seringkali PPI dituliskan sangat umum dan
menggunakan pernyataan yang luas bahkan bias sehingga pendidik sulit untuk
mengevaluasi keberhasilannya. Kondisi ini seringkali mengakibatkan adanya
program yang sama dalam beberapa semester atau bahkan tahun, akibatnya
pendidik menjadi frustrasi karena tidak dapat melihat keberhasilan siswa.

Dalam panduan ini disajikan contoh format PPI yang dapat digunakan.
Memang tidak ada format baku dalam PPI, tetapi apapun format yang digunakan
harus memenuhi beberapa unsur. Yaitu :

1. Identitas siswa

2. Tanggal penyusunan dan evaluasi

3. Kemampuan siswa saat ini dan hal yang belum dikuasai dalam setiap area.

4. Tujuan

5. Pihak yang menyepakati dan penanggung jawab

Uraian di bawah ini memberikan gambaran secara lebih jelas.

26
a. Identitas siswa

Format ini berisi tentang identitas siswa serta hambatan yang dimiliki
termasuk jenis komunikasi yang digunakan. Penting juga untuk dituliskan
tetang hal-hal penting yang menyertai siswa seperti faktor keluarga atau
hal signifikan lainnya.

Format ini tidak perlu dituliskan setiap saat penyusunan PPI, karena
data yang dimiliki relative sama. Pembaharuan dilakukan jika ada
perubahan signifikan seperti adanya perubahan pada kondisi fisik atau
yang berhubungan dengan hambatan yang dimiliki, atau mungkin ada
perubahan penting dalam keluarganya.

Untuk mempermudah pendidik maka sering dibedakan dengan format


A atau 1 untuk bagian identitas dan format B atau 2 untuk bagian PPI yang
berubah setiap semester.

b. Tanggal Penyusunan dan evaluasi

Tanggal penyusunan penting untuk dituliskan baik pada format bagian


A mauput format B, hal ini dilakukan untuk mengetahui kapan data ini
dibuat. Untuk bagian B menjadi sangat penting karena akan
mempermudah penentuan tanggal evaluasi dilakukan. Tanggal evaluasi,
ini harus sesuai dengan jangka waktu yg ditentukan. Jika memang PPI
dibuat setiap 3 bulan sekali maka harus disebutkan 3 bulan setelah
penyusunan. Dan jika sudah tiba waktu evaluasi maka jangan pernah
menunda, apabila ada sesuatu hal sehingga tanggal tersebut tidak dapat
dilakukan maka sebaiknya tarik maju 1 atau 2 hari sebelumnya. Sehingga
kita dapat mengukur betul kemajuan program dan siswa.

Apabila pada tanggal tersebut ada halangan tertentu maka, harus


diantisipasi sehingga dapat dituliskan 2 3 hari sebelum atau
sesudahnya.

27
c. Kemampuan siswa saat ini dan hal yang belum dikuasai dalam setiap
area.

Ini merupakan ringkasan dari hasil asesmen untuk setiap area bahkan
sub area, tuliskan setiap kemampuan yang dimiliki siswa serta hal yang
belum dikuasai dalam area tersebut dan akan menjadi target
pengembangan berikutnya. Yang harus diingat dalam penulisan bagian ini
adalah harus sangat jelas dan tidak menimbulkan persepsi yang berbeda
antara orang yang menuliskan dan mengetahui siswa tersebut, dengan
orang yang membaca dan tidak mengetahui siswa tersebut. Apabila orang
yang membaca memiliki persepsi yang berbeda berarti ada kesalahan
atau ketidakakuratan dalam penulisan.

Kemampuan siswa saat ini, ini diambil dari hasil evaluasi terakhir.
Selain kemampuan, tuliskan juga apa yg belum dikuasai dan jadikan PPI
saat ini. Dengan demikian kita dapat melihat korelasi antara PPI pertama,
kedua, ketiga, dst

Hal lainnya yang juga penting adalah setelah pelaksanaan asesmen


harus segera dituliskan hasil asesmen dan dilanjutkan dengan
penyusunan PPI kemudian segera lakssiswaan. Karena jika terjadi
penundaan, maka kemungkinan kemampuan siswa sudah berubah dan
PPI menjadi tidak tepat lagi.

d. Tujuan

Dalam teknis tujuan komponen penting adalah :

1) Kondisi : adalah apa yang dilakukan pendidik atau disediakan pendidik


atau situasi yg dikondisikan oleh pendidik

2) Perilaku : apa yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dikuasai siswa

3) Pencapaian : 80% menjadi standar keberhasilan. Karena berdasarkan


penelitian apabila seseorang telah menguasai 80% dari suatu
keterampilan, maka ia sudah dianggap berhasil, sedangkan 20%

28
hanya melancarkan keterampilan tersebut. Penghitungannya dapat
berdasarkan jumlah langkah dalam task analisis untuk spesifik tujuan
tersebut, atau dihitung dari jumlah pertemuan untuk melakukan
kegiatan sehubungan dengan spesifik tujuan tersebut. Ini yang akan
memberikan nilai kuantitatif atau angka pada kita.

Misalkan langkah melepas kaos ada 10, maka kita lihat dalam
10 langkah tersebut berapa langkah yg dapat dilakukan. 80% dari 10
langkah adalah 8, maka siswa dinilai dapat mencapai 80% jika ia
menguasai 8 langkah dari 10 langkah yang ada tanpa bantuan.

Akan lebih baik jika 80% ini dituliskan konritnya juga, yaitu 8 dari 10
langkah benar

4) Waktu : tentukan berapa sering anda akan menyusun dan


mengevaluasi PPI ini, hal yang harus diperhatikan adalah.

Ketahui kecepatan belajar siswa, anda akan dapat memperkirakan


berapa lama waktu yg diperlukan untuk mencapai target tersebut. Ini
untuk menghindari pengulangan jika terlalu sulit atau bahkan siswa
terlalu cepat mencapai karena terlalu mudah

Jangan terlalu lama tapi juga terlalu sebentar sehingga anda akan
terjebak untuk meluangkan waktu melakukan pekerjaan administratif

Jika ternyata belum masa evaluasi dan siswa sudah menguasai,


cepatlah beralih ke tingkatan yang lebih tinggi jangan menunggu
hingga waktu evaluasi yang telah ditentukan

e. Pihak yang menyepakati dan penanggung jawab, adalah anggota tim yang
terlibat dalam penyusunan PPI ini dan juga pihak yang bertanggungjawab
untuk melakssiswaannya serta ikut menilai keberhasilan PPI.

Di bawah ini adalah contoh format PPI seperti penjelasan sebelumnya:

29
Format PPI (bagian A)

1. Nama siswa : Tgl. Penyusunan :

Tgl. Lahir :

Jenis kelamin :

Alamat :

2. Level komunikasi :

3. Gambaran sensori & lainnya :

4. Informasi penting tentang siswa :

5. Kondisi lain yang berhubungan dengan siswa :

6. Layanan yang sebaiknya diberikan :

7. Tujuan jangka panjang (mimpi 3 atau 5 tahun yang akan datang) :

8. Tujuan jangka pendek (satu tahun) :

30
Bagian (bagian B)

No. urut PPI : ..

Tanggal Penyusunan Program :


Tanggal evaluasi :
Nama Pendidik :

Kelas kronologis :

AREA & KELAS KEMAMPUAN

Binadiri Bekerja Komunikasi &


Sosialisasi

1. Area/ aspek :

2. Kemampuan
a. Kemampuan saat ini

b. Hal yang belum dikuasai

3. Tujuan khusus/ Tujuan pembelajaran selama 3 bulan (dapat beberapa


tujuan)

a. Kondisi :

31
b. Perilaku :

c. Pencapaian : 80 % benar

d. Waktu :

Disusun oleh : Dilaksanakan oleh:

1. ..................... 1. .........................

2 ...................... 2. .........................

3. ...................... 3. .........................

Disepakati oleh :

1. ...........................

2.............................

Bab III.

EVALUASI
32
A. Pengertian

Dalam evaluasi dikenal ada dua jenis, yaitu evaluasi hasil dan evaluasi
proses. Evaluasi hasil berorientasi pada pencapaian siswa sesuai dengan
target yang ditentukan dalam kurun waktu tertentu. Jenis ini semata-mata
hanya menilai sampai dimana tingkat keberhasilan siswa dan untuk
menentukan konsekuensinya. Jika pencapaiannya sesuai standar yang
diharapkan, maka siswa berhak untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih
tinggi. Tetapi jika hasilnya tidak memenuhi standar, maka ia harus mengulang
tahapan yang sama. Dalam pendidikan pada umumnya, jenis ini sering
digunakan

Sedangkan evaluasi proses menekankan pelaksanaan program; strategi


yang digunakan pendidik, ketepatan media. Jenis ini menjadikan pencapaian
siswa sebagai umpan balik bagi pendidik untuk mengevaluasi apa yang telah
dilakukan pendidik selama ini. Konsekuensi dari perolehan evaluasi proses
lebih menjadi tanggung jawab pendidik untuk memperbaiki program, strategi
maupun media yang digunakan. Jenis evaluasi ini dilakukan secara
berkelanjutan (on going) dan berkala.

Proses evaluasi yang dimaksud dalam panduan ini bukan


mengutamakan pada evaluasi hasil tetapi lebih menekankan penggunaan
evaluasi proses. Evaluasi proses digunakan setiap saat, sedangkan pada
masa berakhirnya PPI pendidik mungkin menggunakan jenis evaluasi hasil.
Namun yang penting untuk diingat adalah bahwa apapun hasil yang
ditunjukkan siswa merupakan cerminan dari proses yang diterapkan pendidik
selama ini.
Filosofi dibalik pengertian di atas adalah bahwa apapun yang terjadi
pada siswa sangat bergantung pada kemampuan pendidik dalam
mengaktualisasikan potensi siswa , serta mengimplementasikan ketepatan
dalam menentukan program, memilih strategi dan media belajar.
Maka konsekuensi wajar dalam pendidikan siswa MDVI/deafblind tidak
dikenal tinggal kelas (pembahasan lebih lanjut akan disajikan pada paparan
berikutnya)

33
Berdasarkan hal diatas maka kegunaan dari evaluasi dapat dilihat dari dua
sisi. Pada satu sisi, evaluasi akan memberikan informasi kepada siswa
mengenai prestasi dari upayanya dalam belajar dan memberikan informasi
mengenai hal-hal yang harus dipelajarinya pada kesempatan selanjutnya.
Pada sisi yang lain, evaluasi akan memberikan informasi kepada pendidik
mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pendidik dalam
membelajarkan siswa. Informasi ini dapat berupa keefektifan pendidik dalam
merancang pembelajaran, atau kefektifan metode pembelajaran yang
dikembangkan, atau kefektifan media pembelajaran yang digunakan, ataupun
keefektifan penataan lingkungan pembelajaran bagi siswa.

B. Proses Evaluasi Pembelajaran bagi Siswa MDVI/Deafblind

Di atas telah disebutkan bahwa evaluasi pada siswa MDVI/deafblind


akan lebih menggunakan jenis evaluasi proses. Dalam pelaksanaannya, ada
beberapa metode yang juga digunakan untuk mengumpulkan data selama
proses evaluasi. Jika evaluasi pada umumnya dilakukan dalam bentuk formal,
maka evaluasi pembelajaran pada program pendidikan siswa dengan
MDVI/Deafblind lebih bersifat non formal dan berkelanjutan (on going).

Beberapa metode umum yang digunakan pada proses evaluasi


terkadang dapat dilakukan setelah melalui modifikasi agar sesuai dengan
karakteristik siswa yang sangat individual karena kompleksitas yang
dimilikinya.

Misalnya, metode tes tidak akan dapat digunakan semena-mena


terhadap siswa. Pendidik tidak dapat meminta siswa untuk mengangkat
tangan kanan kiri untuk menilai pemahamannya tentang konsep kanan dan
kiri. Tetapi pendidik dapat melihat apakah siswa mampu memakai sepatu
tanpa terbalik; *menempatkan symbol kegiatannya dari kiri ke kanan, dan
seterusnya.

Marilah kita lihat beberapa metode evaluasi dan bagaimana pendidik


dapat memodifikasi sesuai kebutuhan siswa MDVI/deafblind.

1. Tes

34
Pengertian umum dari tes adalah proses pengumpulan informasi
dengan cara mengkondisikan siswa pada situasi tertentu dalam rangka
mengetahui hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Tes dapat dilakukan melalui tes tertulis dan tes unjuk kerja.

Bagaimana kita dapat memodifikasi?

Pendidik tidak akan dapat memperoleh hasil apapun apabila


meminta siswa duduk sementara diberikan beberapa pertanyaan
atau instruksi untuk menunjukkan kemampuan yang akan diukur.
Tetapi pendidik dapat meminta siswa untuk melakukan suatu
kegiatan dalam konteks dan situasi alami kemudian pendidik
mengamati dan mencacat.

Misalnya, pendidik ingin mengetahui apakah siswa mengerti konsep


kanan dan kiri. Hal umum yang dilakukan pendidik adalah meminta siswa
untuk mengangkat tangan atau kaki kanan dan kiri; atau meminta siswa
untuk menunjuk bagian kanan- kiri pada anggota tubuhnya. Mungkin
siswa tertentu tidak akan pernah mampu menunjukkan dan memberikan
jawaban yang benar karena sangat abstrak. Tetapi jika pendidik melihat
siswa dapat memakai sepatu dan sandal tanpa terbalik; siswa juga dapat
mengurutkan simbol jadwal dari kiri ke kanan, maka jelaslah bahwa ia
mengerti konsep kanan dan kiri.

2. Pengamatan
Secara umum, pengamatan merupakan suatu proses pengumpulan
informasi mengenai hasil perkembangan kemampuan siswa melalui
pengamatan pada prilaku hasil belajar siswa. Untuk dapat melakukan hal
ini terlebih dahulu disusun pedoman observasi. Pedoman observasi
dibangun berdasarkan tujuan dari proses belajar itu sendiri. Tujuan belajar
yang dibangun bergantung pada tujuan pelaksanaan evaluasi itu sendiri.
Pada evaluasi belajar harian maka tujuan pelaksanaan evaluasi adalah
melihat hasil belajar siswa pada kurun waktu satu hari. Dengan demikian
pedoman observasi yang dibangun berdasarkan tujuan belajar *siswa*
pada hari tersebut.

35
Pengamatan berpedoman pada pertanyaan panduan memang
diperlukan, tetapi ini tidak cukup apabila pendidik hanya melihat hal yang
diinginkan dalam panduan. Maka sangat penting bagi pendidik untuk
melihat jauh di luar panduan yang telah dibuat dan menciptakan situasi
agar siswa dapat menunjukkan kemampuan lain yang tidak di batasi oleh
panduan yang telah disiapkan.

Pengamatan tidak cukup dilakukan dalam waktu sehari, karena


pendidik tidak dapat mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya
dalam waktu satu hari. Beberapa alasan yang tidak menyarankan
pengamatan dalam satu hari adalah :
1. Pengamatan perlu dilakukan dalam suasana dan lingkungan yang
alami dan nyata. Apabila pengamatan dilakukan satu hari,
dimungkinkan pendidik menciptakan suasana yang tidak alami yang
akhirnya membingungkan siswa.
2. Kondisi dan emosi siswa sangat mempengaruhi performance siswa
tersebut. Kejadian sebelum pelaksanaan suatu kegiatan sering
mempengaruhi siswa, jika hal tersebut terjadi pada hari yang telah
ditentukan pastilah mereka tidak akan menunjukkan kemampuan yang
sesungguhnya.
3. Penilaian suatu keterampilan yang solid tidak dapat ditunjukkan hanya
dalam satu kejadian, tetapi harus dapat diterapkan dalam konteks yang
berbeda (generalisasi) dan dalam beberapa kali percobaan. Namun
siswa dengan MDVI/ deafblind sering kali tidak mau melakukan
sesuatu yang berulang-ulang dalam kesempatan yang sama dalam
satu hari. Maka pendidik perlu menciptakan situasi agar siswa
menunjukkan keterampilan tersebut pada situasi yang berbeda.
4. Jika pengamatan hanya dilakukan di akhir program, maka pendidik
hanya akan mendapat informasi tentang apa yang dapat dan tidak
dapat dilakukan siswa. Tetapi pendidik tidak memiliki kesempatan
untuk mengevaluasi program serta strategi yang digunakan sehingga
tidak akan ada perbaikan pada kurun waktu yang sama.

Bagaimana modifikasi yang dapat dilakukan?

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka pengamatan


seharusnya dilakukan di tempat dan situasi alami; berulang-ulang dan

36
berkelanjutan. Amati dan catat perilaku dan kemampuan siswa setiap saat
(on going) dan secara berkala.

3. Wawancara
Wawancara merupakan proses pengumpulan data yang berpusat pada
penggalian informasi yang dikembangkan pendidik kepada siswa baik
dengan menggunakan komunikasi verbal ataupun isyarat. Proses ini
disusun berdasarkan tujuan evaluasi yang ingin diungkap.

37
Banyak siswa MDVI/deafblind yang tahapan komunikasinya non
verbal, maka jika konsep di atas diterapkan sudah dipastikan pendidik
tidak dapat memperoleh informasi apapun.

Bagaimana modifikasi yang dapat dilakukan?

Wawancara seharusnya bukan ditujukan untuk siswa , tetapi orang-


orang yang berada di sekitar siswa dan bekerja dengan siswa. Keluarga
menjadi bagian penting yang tidak dapat ditinggalkan, mereka memiliki
informasi banyak tentang kemampuan siswa selama kurun waktu tersebut;
mungkin ada pendidik lain yang juga bekerja dengan siswa tetapi tidak
masuk dalam system sekolah yang juga harus didengar.

4. Catatan harian

Adalah catatan-catatan penting tentang kejadian di kelas yang


mempengaruhi proses pembelajaran; perilaku siswa; pencapaian siswa
yang akan digunakan untuk informasi pada saat evaluasi. Dalam proses
belajar mengajar klasikal, catatan harian seringkali sulit untuk dilakukan
karena jumlah siswa yang banyak sehingga pendidik tidak memiliki waktu
yang mencukupi. Akibatnya catatan harian seringkali hanya berisi tentang
kejadian penting di kelas tetapi tidak mencatat indvidu siswa.

Dalam proses pembalajar dan evaluasi belajar siswa MDVI/deafblind,


catatan harian menjadi sangat penting. Namun juga disadari bahwa hal ini
tidak mudah.

Apa yang dapat dilakukan?

Terkadang beban pendidik cukup banyak dan tidak seharusnya banyak


dihabiskan untuk melakssiswaan pekerjaan administrative. Tetapi juga
tidak dapat meninggalkan hal yang esensial. Maka cara sederhana yang
dapat dilakukan adalah membuat daftar cek yang dengan mudah dapat
diperbaharui pendidik setiap saat untuk memantau perkembangan siswa.
Catatan penting juga diperlukan, tetapi dapat berupa highlight-nya saja.

5. Portofolio

38
Merupakan kumpulan dokumen dan bukti-bukti dari keberhasilan siswa
selama mengikuti proses pembelajaran yang dibangun secara terus
menerus. Seringkali ada pendidik yang telah berhasil memampukan
siswa sehingga menunjukkan perkembangan yang sangat tinggi. Namun
sayangnya tidak ada bukti atau catatan yang mendukung. Semua riwayat
siswa dari awal hingga akhir ada pada memory pendidik yang
bersangkutan.

Apa yang dapat dilakukan?

Setiap siswa hendaknya memiliki kumpulan dokumen (portofolio) yang


dibangun sejak awal, baik berupa informasi yang tetap maupun yang
dinamis. Dokumen yang harus ada dalam suatu portofolio adalah :

a. Data identitas umum siswa


b. File identifikasi
c. Dokumen penyerta

Riwayat medis
Latar belakang keluarga
Dokumen pendukung yang berasal dari professional lain (jika ada)

d. Hasil asesmen
e. Program Pembelajaran Individual ( terus dibangun dari PPI 1,2,3,
)
f. Hasil evaluasi (evaluasi 1,2,3,)

Analisa tugas
g. Foto-foto atau video pada saat siswa melakssiswaan kegiatan
tertentu

C. Analisa Tugas
Dalam layanan pendidikan siswa berkebutuhan khusus dikenal dengan
adanya analisa tugas (task analysis), merupakan langkah-langkah kecil dari
sebuah proses kegiatan. Langkah-langkah ini dapat berupa langkah yang
cukup besar bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi, tetapi juga dapat
berupa langkah-langkah yang sangat kecil bagi siswa lainnya.

39
Contoh dari sebuah analisa tugas adalah :
Kegiatan : Minum dengan gelas

1. Mengambil posisi duduk

2. Menemukan gelas yang ada di atas meja

3. Kedua tangan memengang gelas

4. Mengarahkan gelas ke mulut

5. Menempelkan gelas ke bibir

6. Mengangkat/memiringkan gelas ke mulut hingga air keluar sedikit demi


sedikit
7. Menelan air

8. Mengulang langkah 7 8 berulang-ulang hingga merasa cukup

9. Meletakkan kembali gelas ke meja

10. Mendorong gelas sedikit menjauh dari badannya

Ketika seorang siswa memiliki program untuk dapat meminum air dengan
gelas, maka langkah-langkah dari analisa tugas di atas harus dievaluasi
setiap saat atau setidaknya setiap dua kali latihan (pertemuan). Untuk
memudahkannya, dapat digunakan table seperti di bawah ini.

Evaluasi Analisa tugas

Kegiatan : Minum dengan gelas


Nama siswa:

40
No Langkah Kegiatan Evaluasi Pertemuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ,

Idealnya setiap sekolah seharusnya memiliki buku kumpulan analisa tugas


yang menjadi lampiran bagi setiap siswa. Hal ini akan mempermudah
pendidik dalam melihat tingkat kemampuan siswa secara umum.

Analisa tugas akan sangat dibutuhkan terutama dalam area binadiri.


Meskipun analisa tugas merupakan urutan dari suatu kegiatan, namun bukan
merupakan hirarki dalam pencapaiannya. Karena kadang-kadang ada
langkah bagian awal yang lebih sulit dari bagian berikutnya.

Untuk pola pengajaran dengan menggunakan analisa tugas dikenal


adanya istilah forward channing and backward channing atau rangkain maju
dan rangkain mundur

Rangkain maju berarti mengajarkan suatu kegiatan mulai dari langkah


pertama menuju ke langkah terakhir. Sedangkan rangkain mundur berarti
mengajarkan kegiatan mulai dari langkah terakhir menuju ke langkah
pertama. Misalkan, ketika mengajari untuk memakai kaos kaki, akan lebih
mudah apabila pendidik sudah membantu siswa memasukkan kaos kaki ke
ujung jari kakinya dan siswa tinggal menarik ke atas, dari pada pendidik
mengajarkan siswa mulai dari menggulung kaos kaki lalu memasukkan kaos
kaki yang sudah digulung ke ujung jari kakinya sendiri, karena akan membuat
siswa putus asa terlebih dahulu. Satu prinsip yang harus dipegang pendidik
adalah, jika mengajarkan sesuatu hendaknya memastikan siswa untuk
merasa berhasil sehingga memotivasinya untuk melakukan langkah
berikutnya.

41
Ada beberapa cara mudah yang dapat digunakan untuk melihat kemajuan
siswa dengan munggunakan analisa tugas, yaitu dengan memberikan kode
berdasarkan apa yang dilakukan siswa pada setiap langkah.

Format catatan pertemuan dilakukan agar dapat digunakan pada tahap


analisa berikutnya. Pada pencatatan pertemuan, pendidik dapat mencatat
respon siswa dengan cara memberi tanda dengan kunci di bawah ini atas
sesuai dengan realitas.

Bf : Bantuan Fisik (tangan di bawah tangan)


Bv : Bantuan verbal (berupa lisan atau isyarat)
D : Demonstrasi
P : Petunjuk (berupa gesture/ clue sederhana/ sentuhan)
+/- : Kadang-kadang dapat melakukan tanpa bantuan apapun
+ : Mandiri

Keterangan (sesuai urutan intensitas bantuan dari bantuan yang paling


maksimal ke minimal

o Bantuan fisik (Bf) merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa


dengan melibatkan banyak kontak fisik yang dilakukan pendidik
dengan siswa. Sebagai contoh : dalam kegiatan minum, tangan
pendidik berada di bawah tangan siswa untuk bersama-sama
memengang gelas kemudian bersama-sama mengangkat ke mulut,
dan seterusnya

42
o Bantuan verbal (Bv) adalah bantuan berupa instruksi lisan atau isyarat
merupakan batuan yang diberikan oleh pendidik kepada siswa dalam
melakukan kegiatan dengan cara memberikan instruksi melalui
komunikasi verbal baik secara lisan maupun isyarat. Bantuan ini lebih
sesuai dengan kondisi siswa yang dapat berkomunikasi secara verbal.

o Demonstrasi (D) merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa


dengan cara pendidik mencontohkan terlebih dahulu kepada siswa
kegiatan yang akan dilakukan. Bantuan ini lebih sesuai dengan kondisi
siswa yang masih mempunyai kemampuan melihat ataupun sisa
penglihatan.

o Petunjuk (P) merupakan bantuan yang diberikan oleh pendidik kepada


siswa dalam melakukan kegiatan dengan cara memberikan clue
berupa sentuhan, raut wajah, bersuara (misalkan berdehem) atau
sedikit gerakan tubuh seperti mengangguk. Petunjuk biasanya
dilakukan apabila sudah dapat melakukan langkah tersebut tetapi
kadang tidak percaya diri sehingga perlu penguatan. Kadang kala
petunjuk juga dapat berupa pendidik diam saja tetapi menatap siswa
pada saat siswa mencoba memandang pendidik untuk sebuah
penguatan. Jelasnya bantuan ini merupakan bantuan sinyal yang
diberikan oleh pendidik kepada siswa dalam melakukan kegiatan
dengan cara pendidik hanya berkomunikasi secara non verbal kepada
siswa ataupun hanya memberi sentuhan.

o Kadang-kadang dapat melakukan sendiri (+/_) diberikan apabila siswa


kadang-kadag dapat melakukan sendiri tetapi belum konsisten.

o Mandiri (+) diberikan apabila siswa mampu melakukan keterampilan


tersebut tanpa bantuan apapun dan konsisten.

Perhatikan contoh berikut ini !

Nama :
Kegiatan : Minum air dengan gelas

43
No Langkah Kegiatan Evaluasi Pertemuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ,
1 Mengambil posisi duduk Bv P P + + + + + + +

2 Menemukan gelas yang ada di atas Bv Bv Bv P P P + + + +

meja

3 Kedua tangan memengang gelas Bf Bf Bf Bv Bv Bv P P P P

4 Mengarahkan gelas ke mulut P P P + + + + + + +

5 Menempelkan gelas ke bibir + + + + + + + + + +

6 Mengangkat/memiringkan gelas ke Bf Bf Bf Bf Bv Bv + + + +

mulut hingga air keluar sedikit demi


sedikit

7 Menelan air Bv Bv Bv Bv P P P P P P

8 Meletakkan kembali gelas ke meja + + + + + + + + + +

9 Mendorong gelas sedikit menjauh dari + + + + + + + + + +


badannya
7/9

D. Sistem Penilaian Analisa Tugas

Catatan analisa tugas dapat membantu pendidik untuk mengkaji progress


pencapaian siswa, sekaligus memberikan uman balik pada pendidik.
Progress siswa ditunjukkan dengan melihat gradasi bantuan yang seharusnya
semakin minimal. Jika hal tersebut terjadi, maka program strategi dan
media yang digunakan sudah tepat. Tetapi jika kita melihat ada tiga (3) kali
kode bantuan muncul secara berturut-turut, maka seharusnya pendidik
segera mengevaluasi dan melakukan modifikasi secepatnya. Sesuatu ada
yang salah, maka jangan biarkan menjadi berkepanjangan. Segera lihat
kembali, apakah langkah tersebut tepat? Apakah strategi yang dipakai selama
ini sudah tepat? Apakah media yang digunakan tepat? Mungkinkah
diperlukan modifikasi pada alat yang digunakan? Haruskah bagian dari
langkah analisa tugas tersebut diperkecil lagi?

Memberikan penilaian yang obyektif dan tidak bias pada standar kadangkala
sangat sulit, apalagi jika kita menggunakan skala angka atau rangking yang

44
memungkinkan perbedaan persepsi dari orang perorangan. Pemberian kode
di atas akan membantu memperkecil bias standar.

Pemberian nilai pada laporan pencapaian belajar seharusnya berupa kulitatif


dan kuantitatif. Tetapi hal ini sering kali tidak mudah, terutama karena kita
menilai proses bukan hasil semata-mata. Maka solusi yang diberikan dalam
buku panduan ini adalah menilai prosentase dari analisa tugas yang dicapai
siswa.

Berikut ini adalah perhitungan pencapaian siswa dalam kegiatan minum air
dengan gelas seperti dalam contoh table no.

1. Langkah yang dianggap berhasil dan dihitung hanyalah yang bertanda (+)
atau mandiri hingga langkah terakhir. Maka nilai dari kegiatan tersebut
adalah 7 berhasil dari 9 langkah yang ada. Jika di prosentase maka
hasilnya menjadi (7 x 100) : 9 = 77,7 atau 78%
2. Kemudian lihat pengelompokan berdasarkan prosentase, maka 78%
masuk ke dalam kelompok A (lihat detail pengelompokan pada bagian sub
judul Pola Kenaikan dan Pengelompokan siswa)
3. Tuliskan keterangan, pada bagian mana siswa dapat melakukan dengan
mandiri serta bagian mana yang masih memerlukan bantuan, jelaskan
bentuk bantuan dan media yang digunakan. Maka kita telah memperoleh
hasil berupa angka dan juga naratif.

E. Pola kenaikan dan Pengelompokan Siswa

Kenaikan kelas pada pendidikan siswa dengan MDVI/Deafblind menjadi isu


yang sangat besar. Perdebatan tentang standard an system seringkali tidak
menemukan titik temu dan akhirnya banyak siswa yang asal naik kelas atau
bahkan berada di kelas yang sama. Kesulitan ini semata-mata karena
keanekaragan kemampuan siswa serta kebutuhan yang dimilikinya.

Maka panduan ini mengarahkan pada dua hal penting yang menjadi fokus
dalam kenaikan dan pengelompokan.
1. Untuk mengatasi kebingungan dalam penentuan kelas, maka perlu kita
bedakan antara kelas dimana siswa duduk (kronologis) dan kelas
sesungguhnya (kelas kemampuan)

45
2. Kelas kronologis ditentukan berdasarkan usia, dimulai dari usia 7 tahun
berada di kelas 1 Dasar, dan seterusnya hingga kelas Dasar 6.
3. Kelas kemampuan ditentukan berdasarkan prosentase pencapaian dari
PPI. Kecuali pada kelas satu dasar, khusus di kelas satu dasar
dimungkinkan ada siswa yang kelas kemampuannya di tahap pra-sekolah.
4. Prinsip tersebut memungkinkan seorang siswa duduk di kelas 5, tetapi
kelas kemampuannya berada di kelas 3
5. Dalam setiap kelas masih dibagi berdasarkan 3 kelompok berdasarkan
kemampuan. Prosentasi ini dihitung dari pencapain PPI pada setiap
semester. Berikut adalah pengelompokan yang digunakan:
70 % - ke atas = Kelompok A
51 % - 69 % = Kelompok B
50 % ke bawah = Kelompok C

6. Kurikulum ini menekankan pada 3 area yaitu Binadiri, Komunikasi dan


Sosial, serta Bekerja. Maka penilaian yang dilakukan juga harus melihat
ketiga area secara terpisah. Karena sangat dimungkinkan kemampuan
siswa menyebar dan menunjukkan perbedaan dalam setiap area.

Bab III

PELAPORAN

Hasil pembelajaran siswa kemudian disimpulkan secara keseluruhan. Kesimpulan


tersebut dilaporkan kepada orang tua sebagai bentuk informasi hasil belajar yang
telah dicapai oleh siswa dalam rangka melihat hasil belajar selama 6 bulan. Hasilnya
kemudian akan digunakan untuk pengembangan program belajar untuk 3 bulan
yang akan datang.

Teknis penulisan laporan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Artinya bahwa
hasil belajar dilaporkan secara diskriptif dan dilengkapi dengan angka berupa
prosentasi keberhasilan. Adapun format pelaporan yang dapat dikembangkan
adalah sebagai berikut :

46
Laporan Hasil Belajar Siswa PPI No. (sesuai urutan)
Periode bulan : s/d . Tahun..
Nama : .
Kelas Kronologis : .

No Area Kemampuan yang Hasil yang dicapai


dipelajari % Kelom Kelas Naratif
( sesuai PPI) Kemampuan (Kemampuan dan yang belum dikuasai)
akumulasi pok
Binadiri 1. ..
2. ..
3

Bekerja 1. ..
2. ..
3
Komunikasi 1. ..
2. ..
& Sosial
3

47
Tanggal , .. 20
Mengetahui,
Kepala Sekolah Pendidik Kelas, Orangtua/wali

.. .

48
Pada kolom diatas dapat dilihat bahwa pada bagian kepala laporan terdapat periode
bulan. Bagian tersebut akan memuat periode *siswa* belajar. Sebagai contoh ketika
*siswa* mulai mempelajari sebuah / atau beberapa kemampuan dimulai pada bulan
Juni, maka sesuai dengan lingkup waktu *penilaian* per 3 atau 6 bulan maka
periode penilaian per 3 bulan dimulai pada bulan Juni s/d Agustus. Penilaian periode
6 bulan terhitung mulai bulan Juni s/d November ataupun Desember.

Pada sudut kanan juga dituliskan PPI Nomor . , ini merupakan informasi urutan
PPI. Setiap PPI harus diberikan nomor *sesuai* urutannya berdasarkan periode.
Nomor urut pada setiap area harus sama. Masih dibagian atas terdapat tulisan,
kelas kronologis yang diisi dengan kelas *dimana siswa* duduk berdasarkan usia.

Kolom area pada table diatas akan diisikan area belajar yang dipelajari *siswa*
dalam kurun waktu 3 dan 6 bulan. Area tersebut dapat terdiri dari beberapa area
sesuai dengan lingkup belajar yang terdapat dalam standard isi.

Kolom kemampuan akan berisikan tujuan pembelajaran yang tengah dipelajari oleh
*siswa* pada setiap area. Pada akhirnya pendidik melaporkan capaian kemampuan
yang *telah* dipelajari secara umum, dapat juga melaporkan capaian-capaian pada
setiap indicator. (analisa tugas) Dengan demikian dapat dilihat hubungan antara
capaian kemampuan secara keseuruhan dengan capaian setiap indikator.

Pada kolom hasil terdapat kolom; prosentase, kelompok , kelas kemampuan, dan
naratif. Isi dari masing-masing kolom tersebut adalah :
Prosentase adalah nilai akumulasi dari setiap PPI yang telah dibuat
berdasarkan pencapaian dalam analisa tugas. Sebagai contoh; jika ada 3 PPI
dalam area Binadiri, maka *prsentasi* dari PPI 1, 2, dan 3 harus dijumlahkan
kemudian dirata-rata untuk mendapatkan prosentase akumulasi pada area
binadiri.
Kelas kelompok adalah penterjemahan dari prosentasi akumulasi ke dalam
kelompok *sesuai* ketentuan
Kelas kemampuan adalah penterjemahan dari prosentasi akumulasi ke dalam
kelas kemampuan yang sesungguhnya berdasarkan SK dan KD dalam
kurikulum

49
Naratif berisi tentang deskripsi kemampuan dan hal yang belum dikuasai
yang merupakan bagian atau kelanjutan dari kegiatan tersebut. Bagian ini
akan dimasukkan ke dalam lembar PPI selanjutnya. Hal yang belum dikuasai
dalam PPI ini harus menjadi tujuan dari PPI selanjutnya dan mungkin
ditambah untuk kegiatan lainnya yang menjadi prioritas.

Pada laporan periode 3 bulan pada kolom hasil yang lalu diisikan gambaran
*perilaku* siswa pada suatu kemampuan tiga bulan yang lalu. Ketika kemampuan itu
belum dipelajari maka dapat dituliskan belum dipelajari. Kolom hasil saat ini
diisikan kemampuan yang ditunjukkan oleh *siswa* pada akhir bulan ke-3.
Pada laporan periode 6 bulan, kolom hasil yang lalu diisikan gambaran perilaku
*siswa* pada kemampuan 6 bulan yang lalu. Kolom hasil saat ini diisikan
kemampuan yang ditunjukkan oleh *siswa* pada akhir bulan ke-6.

Bab IV
Penutup

50

Anda mungkin juga menyukai