Anda di halaman 1dari 44

DIFERENSIASI PENDIDIKAN ANAK AUTIS DI SEKOLAH

INKLUSI DAN SEKOLAH LUAR BIASA

(Studi Deskriptif Di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe)

TESIS

Oleh

AHMAD GHIFARI TETAMBE


NIM. 17040202009

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan penting untuk

pelaksanaan semua hak asasi manusia lainnya. Meski pendidikan merupakan hak

setiap individu, namun jutaan anak-anak dan orang dewasa tetap kehilangan

kesempatan pendidikan, banyak anak-anak usia sekolah yang tidak mengenyam

pendidikan.

Sebagai Negara yang besar dan dengan sumber daya alamnya yang melimpah

pada dasarnya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu bangsa

yang maju, bermartabat dan lebih baik dari saat ini, dan itu semua dapat terwujud

tentunya dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, kreatif dan memiliki

visi dan misi yang jelas serta untuk kemajuan bangsa. Namun, untuk memenuhi tujuan

terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas tersebut tentunya pendidikan adalah

faktor terpenting yang tidak dapat dipisahkan.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003,

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara 1 . Namun senada dengan itu, ada juga yang mengartikan bahwa,

pendidikan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada

1
Undang-Undang Republik Indonesia No. 02 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) Dan Penjelasanya Pasal 1, (Yogyakarta: Media Wacana Pres, 2003), Hlm. 9
orang lain untuk megembangkan dan mengfungsionalkan rohani manusia (pikir, rasa,

karsa, cipta dan budi rohani) dan jasmani manusia (pancaindra dan keterampilan) agar

meningkatkan wawasan pengetahuannya, bertambah terampil sebagai bekal

keberlangsungan hidup dan kehidupannya disertakan akhlak mulia dan mandiri di

tengah masyarakat2.

Dari pengertian di atas, harus diakui bahwa, pendidikan memegang peranan

yang sangat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul

dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

zaman yang semakin meningkat tajam. Untuk mencapai tujuan idealisme pendidikan,

tentu diperlukan komitmen dalam membangun kemandirian dan pemberdayaan yang

mampu menopangkemajuan pendidikan dimasa mendatang.

Setiap warga Negaa berhak mendapatkan pendidikan, tanpa terkecuali mereka

yang menyandang kelainan, sebagimana dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003

tentang sistem pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa; “warga

Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual maupun sosial

berhak memperoleh pendidikan khusus”. Selain itu disebutkan juga dalam pasal 32

bahwa “pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,

mental, emosional, dan sosial 3 . Serta dalam PP. No. 72 tahun 1991 Bab II pasal 2

disebutkan tujuan pendidikan luar biasa adalah membantu peserta didik yang

menyandang kelainan fisik dan mental agar mampu mengembangkan sikap,


2
Musaheri, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Hlm. 19
3
Depdiknas, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikannasional. Cet. Ke
4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hlm. 7
pengetahuan dan keterampilan sebagai peribadi maupun anggota masyarakat dalam

mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar

serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan

lanjutan”4.

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, dapat

dijadikan sebagai dasar yang kuat terhadap pelaksanaan pendidikan bagi anak yang

berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya pada

anak-anak yang normal. Sehingga dengan demikian diharapkan tidak adanya tindakan

diskriminasi antara anak berkebutuhan khusus dengan anak yang normal. Maka dengan

demikian akan menumbuhkan motivasi, baik bagi orang tua mereka maupun bagi

mereka sendiri untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka demi meraih

kehidupan yang hakiki.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang

akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan

sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan,

maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa

lampau. Dalam hal ini pendidikan tidak membedakan antara anak normal dengan anak

tidak normal atau anak autis. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya diskriminasi hak

untuk memperoleh pengajaran, baik orang itu difabel atau normal. Orang berhak

mendapatkan pendidikan sesuai tingkat kecerdasan dan potensi yang ada pada dirinya.

Anak autis juga berhak untuk memperoleh pendidikan dan mendapatkan ilmu

4
Http://Ngada.Org/Pp72-1991.Htm. Di Akses Pada Tanggal 10 Oktober 2017. Pukul21. 45. Wib.
pengetahuan sama dengan anak yang normal. Sudah disepakati oleh seluruh

masyarakat di dunia, bahwa setiap anak harus memiliki hak untuk mendapatkan

pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut UNESCO mengadakan sebuah konferensi

yaitu, The Salamanca World Conference on Special Needs Education pada tahun 1994.

Pada paragraf ketiga dari The Salamanca Statement and Framework for Action on

Special Needs Education yang dihasilkan dari konferensi tersebut disepakati bahwa

sekolah memiliki kewajiban untuk mengakomodasi seluruh anak termasuk anak-anak

yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan

lainnya5. Sekolah-sekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak

yang berkelainan maupun yang berbakat, serta anak-anak yang berasal dari golongan-

golongan termarjinalkan yang lain. Sejalan dengan The Salamanca Statement and

Framework for Action on Special Needs Education, UNESCO mencetuskan prinsip

“pendidikan untuk semua” atau educational for all. Prinsip educational for all tersebut

mengandung makna bahwa pendidikan tersedia untuk semua tanpa memandang

perbedaan, atau wajib mengakomodasi keberagaman kebutuhan siswa yang normal

maupun yang memiliki kebutuhan khusus. Filosofi educational for all lahir sebagai

konsekuensi logis dari adanya pernyataan Salamanca yang menegaskan perlu adanya

penyelenggaraan pendidikan yang inklusi dan tidak diskriminatif.

Dari semangat educational for all itulah pemikiran mengenai pendidikan inklusi

muncul, di mana hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang

paling mendasar dan merupakan sebuah pondasi untuk hidup bermasyarakat.


5
Http://Unesdoc.Unesco.Org/Education_For_All_(Efa_America)_Inclusion.Pdf - An Efa
Flagship. 2004. The Rights To Education For Persons With Disabilities: Towards Inclusion,
Diaksestanggal 18 November 2017.
Pendidikan inklusi merupakan layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak

berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak-anak sebayanya di sekolah reguler6.

menurut Sapon-Shevin sebagaimana dikutip oleh Geniofam inklusi adalah sistem

layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-

sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya 7 . Sekolah ini

menampung semua murid di kelas yang sama, menyediakan program pendidikan yang

layak, dan menantang tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap

murid.

Selama ini pandangan masyarakat terhadap anak autis dan anak yang

mengalami kekurangan (cacat) masih dipandang dengan sebelah mata, padahal mereka

yang menyandang autis dan cacat juga bukan kehendak mereka namun itu adalah

pemberian dari Allah sang Kholiq, bahkan dalam dunia pendidikan bagi anak autis dan

cacat kurang diperhatikan. Jika keadaan dibiarkan saja maka dunia pendidikan dan

pandangan masyarakat terhadap mereka akan tetap stagnan atau berhenti seperti itu

terus.

Dewasa ini pendidikan mengalami perkembangan pesat mulai pendidikan

formal dan juga non formal. Pendidikan formal adalah salah satu sarana pengembangan,

pengetahuan termasuk bagi mereka yang berkelainan sehingga ada suatu lembaga

pendidikan khusus yang mengelola dan menangani anak-anak autis. Sebagai anak

6
Amy James, School Succes For Children With Special Needs (San Francisco: Josey-Bass A
Wiley Imprint, 2007), Hlm. 51
7
Geniofam, Mengasuh Dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus (Jogjakarta: Garailmu,
2010), Cet. 1, Hlm. 61-62
manusia mereka membutuhkan pendidikan, pendidikan sudah menjadi salah satu

kebutuhan hidup manusia.

Mendidik anak autis tak semudah mendidik anak-anak normal. Anak-anak autis

mempunyai ciri-ciri yang khusus, maka dalam program pendidikannya tidak hanya

diperlukan pelayanan secara khusus akan tetapi juga perlu alat-alat khusus, guru yang

khusus bahkan kurikulum yang khusus pula. Metode pengajaran adalah salah satu

faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan, bahkan

menentukan berhasil dan tidaknya suatu proses belajar mengajar. Bila guru tidak

mengerti masalah-masalah yang ada pada anak didiknya dalam proses belajar mengajar,

maka seorang pengajar bisa berkonsultasi kepada psikiater, ahli kurikulum dan

sebagainya yang dirasa mampu dalam bidangnya.

Bentuk penyetaraan pendidikan anak autis dinamakan pendidikan Inklusif.

pendidikan Inklusif ini menjadi hal menggembirikan untuk anak-anak autis yang ingin

megenyam pendidikan disekolah manapun mereka sukai. Sekolah inklusi dituntut untuk

menyesuaikan kurikulum, sarana dan prasarana, maupun sistem pembelajaran yang

diterapkan dengan kondisi peserta didik. Pendidikan inklusi merupakan suatu strategi

untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan

sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat8.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan inklusi menjamin akses

dan kualitas. Satu tujuan utama inklusi adalah mendidik anak yang berkebutuhan

khusus akibat kecacatannya di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lain yang
8
Endis Firdaus, “Pendidikan Inklusi Dan Implementasinya Di Indonesia” Makalah:
Disampaikan Dalam Seminar Nasional Pendidikan Di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
Purwokerto, 24 Januari 2010.
non-cacat, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, di sekolah yang ada di

lingkungan rumahnya.

Di Kabupaten Konawe sendiri terdapat sekolah yang menyelenggarakan

pendidikan Inklusif untuk anak-anak penderita autisme yaitu MTsN 1 Konawe. MTsN 1

Konawe memiliki jumlah anak penderita autis yang cukup banyak sehingga menjadi

sebuah tantangan untuk setiap guru yang mengajar anak-anak autis tersebut. jika kita

melihat dari kondisinya, MTsN 1 Konawe merupakan sekolah Umum yang

diperuntukkan unuk anak-anak nomal akan tetapi orang tua siswa penderita autis ini

lebih memilih memasukkan anaknya di MTsN 1 Konawe padahal di Kab. Konawe juga

terdapat Sekolah Luar Biasa yang notabenenya adalah sekolah khusus yang

diperuntukkan untuk anak yang berkebutuhan khusus.

Berdasakan masalah inilah peneliti tertarik untuk mencoba melakukan

penelitian terhadap pendidkan siswa penderita autis di MTsN 1 Konawe dan SLB

Konawe Melalui sebuah karya ilmiah yang berjudul: Diferensiasi Pendidikan Anak

autus Di Sekolah Inklusi Dan Sekolah Luar Biasa (Studi Deskriptif Di Mtsn 1

Konawe Dan Slb Konawe).

B. FOKUS PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka

untuk memudahkan peneliti lebih lanjut, peneliti akan menfokuskan penelitiannya

sebagai berikut:

1. pendidikan anak autis di sekolah inklusi

2. pendidikan anak autis di sekolah luar biasa


3. diferensiasi pendidikan anak autis di sekolah inklusi dan luar biasa

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pendidikan anak autis di sekolah inklusi?

2. Bagaimana pendidikan anak autis di sekolah luar biasa?

3. Bagaimana diferensiasi pendidikan anak autis di sekolah inklusi dan luar biasa?

D. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan foksus masalah yang di utarakan diatas, maka peneliti ini

bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan pendidikan anak autis di sekolah inklusi

2. Mendeskripsikan pendidikan anak autis di sekolah luar biasa

3. Mendeskripsikan diferensiasi pendidikan anak autis di sekolah inklusi dan luar

biasa

E. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian terhadap Differensiasi Pendidikan Anak Autis Disekolah Inklusi Dan

Sekolah Luar Biasa diharapkan mempunyai signifikansi yang bermanfaat, baik secara

teori maupun praktek. Manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai salah satu

informasi yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk pengembangan kurikulum

pendidikan inklusi disamping itu dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi peneliti.
Sedang manfaat praktisnya yaitu:

1. Bagi kalangan pengelola pendidikan inklusi, penelitian ini bermanfaat sebagai

inspirasi bagi upaya pengembangan lembaga pendidikannya.

2. Bagi kalangan pengambil kebijakan yang berkompeten dengan pendidikan

inklusi, bermanfaat untuk melakukan kajian ulang demi penyempurnaan

kebijakan, di masa yang akan datang.

3. Bagi orangtua dan masyarakat, penelitian ini berguna sebagai informasi dan

sekaligus sosialisasi tentang sekolah inklusi agar masyarakat turut serta

mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusi sebagai layanan pendidikan

reguler bagi anak berkebutuhan khusus.

F. DEFINISI ISTILAH

Definisi Istilah adalah definisi dari peneliti tentang indikator atau objek

penelitian yang akan diteliti, untuk memberikan pemahaman yang sama, sehingga tidak

terjadi multi tafsir, antara peneliti dan pembaca. Definisi operasional dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Diferensiasi Pendidikan yang dimaksud adalah perbedaan pendidikan yang

diterima oleh siswa penderita autisme

2. Anak Autis adalah anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan mental

dan emosional

3. Sekolah Inklusi adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif

sebagai bentuk penyetaraan pendidikan sedangkan Sekolah Luar Biasa adalah

sekolah yang mendidik siswa-siswa berkebutuhan khusus


BAB II
LANDASAN TEORITIK

A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Sub Fokus Penelitian

1. Differensiasi Pendidikan

Diferensiasi merupakan konsep yang diadopsi dari marketing yang bertujuan

untuk menciptakan perbedaan dari perusahaan lain. Menurut bahasa differensiasi

berasal dari kata different yang berarti tidak sama dengan yang lain, berbeda, dan diluar

kebiasaan. Sedangkan menurut istilah, differensiasi adalah tindakan merancang suatu

perbedaan yang berarti untuk membedakan penawaran perusahaan dari penawaran

pesaing9. Sedangkan menurut Payne (2000), diferensiasi adalah kemampuan perusahaan

untuk secara efektif membedakan dirinya sendiri dari pesaingnya dengan memberikan

nilai lebih padapelanggannya10. Lain halnya dengan Cravens (1991), ia menggunakan

istilah competitive advantages untuk menyebut istilah differensiasi. Menurutnya,

competitiveadvantagesadalah keuntungan yang ditawar kan oleh lembaga pada

konsumen dengan cara memberikan nilai keunggulan melalui (1) Harga yang lebih

murah dibanding lembaga lain, (2) Keuntungan unik yang tidak sekedar harga murah11.

Dari beberapa definisi di atas dapat dikatakan bahwa diferensiasi merupakan

sebuah upaya untuk menciptakan dan memberikan nilai yang yang berbeda dan berarti

bagi para pelanggan (customer). Tujuan dari differensiasi adalah memberikan layanan

yang lebih kepada para pelanggan untuk memenuhi kepuasan mereka. Sejalan dengan

9
Philip Kotler Dan Gary Amstrong, Marketing An Introduction, (New Jersey: Prentice Hall,
1993), Hlm 35.
10
Adrian Payne, Pemasaran Jasa. Ter. Fandi Tjiptono. (Yogyakarta : Andi, 2000),Hlm 45.
11
David W. Cravens, Strategic Marketing, (Boston: Richard D Irwin, 1989), Hlm 70.
hal tersebut, Berkowitz dkk (1989) menjelaskan bahwa, dengan menciptakan

differensiasi akan membantu konsumen lebih mudah untuk mempersepsikan lembaga

kita berbeda dan lebih baik dengan lembaga lain. Lebih lanjut, Berkowitz (1989),

menyatakan: Differensiasi dapatmencakup diferensiasi fisik maupun non fisik12.

Selanjutnya, terkait dengan lembaga pendidikan (sekolah), konsep

differensiasi berarti upaya yang dilakukan sekolah untuk menciptakan dan memberikan

keunggulan layanan pendidikan yang tidak diberikan oleh sekolah lain terhadap

stakeholders khususnya murid dan wali murid. Dengan differensiasi ini diharapkan

dapat menarik minat calon murid dan dapat memberikan keunggulan yang berarti.

Di Indonesia, jelas-jelas terjadi diferensiasi berdasarkan performansi

akademik. Anak-anak yang memiliki performansi akademik yang bagus akan masuk

sekolah-sekolah 'unggulan'. Yang performansinya kurang, mungkin masuk sekolah-

sekolah lainnya. Saya tidak tahu praktek ini didasarkan pada apa. Hal inilah yang

menyababkan anak berkebutuhan khusus seperti anak penyandang autis mengalami

kendala dalam mengenyam pendidikan dan menunjukkan performa mereka disekolah

umum.

2. Tinjauan Tentang Anak Autis

a. Pengertian Anak Autis

12
Eric. N. Berkowitz, Marketing, (Boston: Richard D Irwin. 1989), 101.
Autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan

adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,

komunikasi dan interaksi sosial13.

Untuk memudahkan pemahaman tentang anak autis berikut ini akan dijelaskan

beberapa pendapat yang mendeskripsikan tentang pengertian anak autis sebagai

berikut14:

1) Leo Kanner menyatakan autism berasal dari kata auto yang berarti sendiri,

penyandang autis seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Berdasarkan

pendapat Kanner ini banyak guru dan orang tua menganggap anak yang tidak

dapat melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar diidentikan sebagai anak

autis, padahal tidak sedikit anak tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan

disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat psikologis.

2) Bonny Danuatmaja menjelaskan bahwa autis merupakan suatu kumpulan

sindrom (gejala-gejala) akibat kerusakan syaraf dan menggangu

perkembangan anak.

3) Mif Baihaqi dan Sugiarmin menjelaskan autis merupakan suatu gangguan

yang kompleks dan berbeda-beda dari ringan sampai berat dan mengalami tiga

bidang kesulitan, yaitu komunikasi, imajinasi, sosialisasi.

4) Sumarna mendeskripsikan pengertian autis sebagai berikut, autis merupakan

bagian dari anak berkelainan dan mempunyai tingkah laku yang khas,

13
Dedy Kustawan, Pendidikan Inklusif Dan Upaya Implementasinya (Jakarta: Pt Luxima Metro
Media, 2012), H. 29
14
Deded Koswara, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Pt Luxima Metromedia,
2013),H. 10.
memiliki peran yang terganggu dan terpusat pada diri sendiri serta hubungan

yang miskin terhadap realitas eksternal.

5) Melly Budiman menjelaskan autis adalah gangguan perkembangan pada anak,

oleh karena itu diagnosis ditegakkan dari gejala-gejala yang Nampak dan

menunjukkan adanya penyimpangan dari perkembangan yang normal sesuai

umurnya.

6) Rudi Sutadi menyatakan autis adalah gangguan perkembangan berat yang

antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan bereaksi

(berhubungan) dengan orang lain, karena penyandang autis tidak mampu

berkomunikasi verbal maupun non verbal.

Autisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti “self”. Istilah ini

digunakan pertama kali pada tahun 1906 oleh psikiater swiss Uegen Bleuler, untuk

merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Cara berpikir

autistik adalah kencenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari

dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu kepada diri sendiri15.

Autisme (autism), atau gangguan autistic adalah salah satu gangguan terparah

di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup.

Anak-anak yang menderita autisme, tampak benar-benar sendiri di dunia, terlepas dari

upaya orang tua untuk menjembatani muara yang memisahkan mereka. Autisme

adalah gangguan perkembangan berat yang meliputi berbagai aspek yang

mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dengan berelasi (berhubungan)

15
Agustyawati Dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Jakarta, 2009), H. 236.
dengan orang lain secara berarti serta kemampuannya untuk membangun hubungan

dengan orang lain terganggu karena ketidakmampuannya berkomunikasi dan untuk

mengerti perasaan orang lain16.

Dari semua pengertian autis di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian autis

adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan mencakup komunikasi dari

yang ringan sampai yang berat, dan seperti hidup dalam dunianya sendiri, ditandai

dengan ketidakmapuan berkomunikasi secara verbal dan non verbal dengan

lingkungan luarnya.

b. Karasteristik Anak Autis

Autisme dikategorikan dalam gangguan perkembangan pervasive yaitu

kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal) dan dalam

pola komunikasi serta minat dan aktivitas yang terbatas stereopik dan berulang.

Penyandang autisma mempunyai karakteristik17, antara lain:

1) Selektif berlebihan terhadap rangsang

2) Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru

3) Responstimulasi diri sehingga menggangu integrasi sosial

4) Respon unik terhadap imbalan (reinforcement)

Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotipe berulang yang tidak

memiliki tujuan seperti berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan,

berayun kedepan dan kebelakang dengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik

16
Ibid
17
Y. Handojo, Autisma: Petunjuk Praktis Dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal,
Autis Dan Perilaku Lain (Jakarta: Pt Bhuana Ilmu Populer, 2008), Hlm. 13.
menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin

membenturkan kepala, menampar wajah, menggit tangan dan pundak, atau

menjambak rambut mereka. Bila mereka berada satu ruangan dengan orang lain,

maka penderita autisme akan cenderung menyibukkan diri dengan aktivitas yang

melibatkan diri mereka sendiri, yang umumnya dengan benda-benda mati. Ketika

dipaksa untuk bergabung dengan yang lainnya, mereka akan kesulitan untuk

melakukan tatap mata atau berkomunikasi secara langsung dengan orang lain18. Di

samping itu, jika mereka sedang bermain dengan mainan mereka, maka perilaku

mereka cenderung agresif atau menggerak-gerakkan badannya. Dan mereka condong

untuk memainkan permainan yang dapat dilakukan seorang diri. Mereka juga tidak

sanggup menghentikan permainannya bila diminta oleh orang lain.

Dalam kemampuan komunikasi dan bahasa, anak autis memiliki karakteristik

sebagai berikut19:

1) Ekspresi wajah yang datar pada beberapa anak seringkali guru dan orang tua

sangat sulit membedakan apakah anak sedang merasa senang, sedih ataupun

marah.

2) Tidak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh.

3) Jarang sekali memulai komunikasi

4) Tidak meniru aksi atau suara

5) Bicara sedikit atau tidak ada

6) Membeo kata-kata kalimat atau nyanyian


18
Mirza Maulana, Anak Autis Mendidik Anak Autis Dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak
Cerdas Dan Sehat (Jogjakarta: Katahati, 2008), H. 12.
19
Deded Koswara, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,H. 13.
7) Intonasi ritme vocal yang aneh

8) Tampak tidak mengerti arti kata

9) Mengerti dan menggunakan kata secara terbatas

10) Pemahaman bahasa kurang

11) Tidak melakukan kontak mata saat bicara

c. Jenis Anak Autis

Berdasarkan waktu munculnya gangguan, autisme dapat dibedakan menjadi

dua yaitu autisme sejak bayi dan autisme regresif20. Pada autisme yang terjadi sejak

bayi, anak sudah menunjukan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non-

autistik sejak ia bayi. Autisme regresif ditandai dengan regresi (kemunduran kembali)

perkembangan. Kemampuan yang sudah diperoleh jadi hilang, yang awalnya sudah

sempat menunjukkan perkembangan normal sampai sekitar usia 1,5 sampai 2 tahun,

tiba-tiba perkembangan ini berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap.

Awalnya sudah mulai bisa mengucapkan beberapa patah kata, hilang kemampuan

bicaranya. Kasus gangguan autisme yang sejak bayi bisa terdeteksi sekitar usia 6

bulan, sedangkan untuk kasus autisme regresif, orang tau biasanya mulai menyadari

ketika anak berusia 1,5 sampai 2 tahun.

Dilihat dari jenis perilaku, anak autisme dapat digolongkan dalam 2 jenis,

yaitu perilaku yang excessive (berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkurangan)21.

Yang termasuk perilaku excessive adalah hiperaktif, dan tantrum (mengamuk) berupa

menjerit, menyepak, menggit, mencakar, memukul dan terjadi anak menyakiti diri

20
Agustyawati Dan Solicha, Ibid, Hlm. 236.
21
Ibid, Hlm 240
sendiri (self abuse). Perilaku deficit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial

kurang sesuai (naik kepangkuan Ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue),

deficit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat,

misalnya tertawa tanpa sebab dan melamun.

d. Faktor yang menyebabkan anak autis

Autisme ini dapat terjadi sejak seorang bayi lahir, meskipun tidak sedikit juga

anak-anak yang terdeteksi autis saat berusia 18-24 bulan. Artinya ketika lahir, bayi

lahir normal, namun pada saat usianya 18-24 bulan, perkembangannya tiba-tiba

terhenti karena penyebab tertentu, dan bahkan mengalami kemunduran.

Penyebab autis sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, namun ada

beberapa faktor predisposisi yang memungkinkan terjadinya autisme, yaitu: faktor

generik, faktor hormoral, kelainan pranatal, proses kelahiran yang kurang sempurna,

serta penyakit tertentu yang diderita sang Ibu ketika mengandung atau melahirkan

sehingga menimbulkan gangguan pada perkembangan susunan saraf pusat yang

mengakibatkan fungsi otak terganggu22.

3. Sekolah Inklusi

a. Pengertian Sekolah Inklusi

Sekolah menurut Undang Undang Republik Indonesi No. 20 Tahun 2003

Pasal 18, tentang pendidikan nasional, sekolah adalah lembaga pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan

22
Ibid
menengah, pendidikan tinggi. Sekolah adalah sebuah lembaga yang ditujukan khusus

untuk pengajaran dengan kualitas formal23.

Inklusi (dari kata bahasa Inggris: inclusion-peny) merupakan istilah baru yang

digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan

(penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah adalah inklusi.

Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif

dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara

yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh 24 .

Inklusi dapat berarti penempatan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam

kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan konsep diri (visi-misi) sekolah.

Sekolah inklusi menyediakan lingkungan yang inklusif dalam arti kata bahwa

sekolah mampu melayani semua anggota dalam lingkungan tersebut. Inklusi biasanya

memberikan penempatan belajar ke arah kelas reguler tanpa menghiraukan tingkat

atau tipe kelainannya25.

Pendidikan inklusi mengakui bahwa masalah-masalah pembelajaran

merupakan bentuk yang saling berhubungan secara bersama antara lingkungan khusus,

ruang kelas khusus, beserta guru khusus dan peserta didik khusus. Kurikulum model

pembelajaran dan strategi pembelajaran dipergunakan oleh guru agar seluruh peserta

didik yang berkelainan dapat terlayani dalam ruang kelas reguler. Komitmen terhadap

pendidikan inklusi diartikan bahwa guru, sekolah, lingkungan dapat memberikan

23
Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
Hlm. 6.
24
David J Smith, Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua (Bandung: Nuansa, 2006), Hlm. 45.
25
Bandi Dekphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Setting Pendidikan Inklusi,
(Klaten: Intan Sejati, 2009), Hlm. 16.
dukungan terhadap upaya-upaya pemecahan masalah yang muncul di dalam kelas dan

sekolah sebagai upaya untuk mewujudkan hak setiap peserta didik dalam

mendapatkan pelayanan sebaik mugkin agar mereka yang berkelainan tidak

mendapatkan resiko negatif.

Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk anak-anak

berkebutuhan khusus, sekolah inklusi memberikan pelayanan yang berbeda dengan

sekolah-sekolah khusus lainnya. Model yang diberikan sekolah inklusif ini

menempatkan pada keterpaduan penuh, menghilangkan keterbatasan dengan

menggunakan prinsip education for all. Layanan pendidikan ini diselenggarakan pada

sekolah-sekolah reguler. Dalam kelas inklusi terdiri atas dua orang guru dan yang

satunya adalah guru khusus yang bertugas membantu anak-anak ABK yang merasa

kesulitan dalam belajar. Semua anak diperlakukan dan memiliki hak dan kewajiban

yang sama sengan anak-anak normal lainnya.

Dari beberapa paparan di atas penulis dapat menyimpulkan sekolah inklusi

adalah lembaga pendidikan yang memungkinkan semua anak dapat belajar bersama-

sama tanpa membedakan hambatan atau kesulitan yang mungkin dimiliki oleh anak.

Anak normal dan ABK akan memperoleh keuntungan secara kognitif dan sosial

dalam pembelajaran inklusi. Rasa saling menghargai, memahami, membantu, dan

bertoleransi akan terbentuk dalam diri anak didik. ABK akan terbiasa hidup dalam

lingkungan yang inklusif (tidak terpisah) sehingga memiliki kesiapan untuk hidup

bersama di tengah masyarakat.

b. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Inklusi


Penyelengaraan pembelajaran anak berkebutuhan khusus hendaknya mengacu

prisip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat dijadikan dasar-dasar dalam

upaya mendidik anak berkelainan, antara lain sebagai berikut:

1) Prinsip kasih sayang

Prinsip kasih sayang pada dasarnya menerima mereka apa adanya, dan

mengupayakan agar mereka dapat menjalankan hidup dan kehidupan dengan

wajar, seperti layaknya anak-anak normal lainnya.

2) Prinsip layanan individual

Pelayanan individual dalam rangka mendidik anak berkelainanperlu

mendapatkan porsi yang lebih besar, sebab setiap anak berkelainan dalam

jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah yang

berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu

dilakukan untuk mereka selama pendidikannya: jumlah siswa yang dilayani

guru tidak lebih dari 4-6 orang dalam setiap kelasnya, modifikasi alat bantu

pengajaran, penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga guru

dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah.

3) Prinsip kesiapan

Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan. Khususnya

kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan.

4) Prinsip keperagaan
Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung oleh

penggunaan alat peragaan sebagai medianya.

5) Prinsip motivasi

Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan pemberian

evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan. Contoh, bagi

anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang ditekankan pada

pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan mengesankan jika mereka

diajak ke kebun bintang. Bagianak tunagrahita, untuk menerangkan makanan

empat sehat lima sempurna, barangkali akan lenih menarik jika diperagakan

bahan aslinya kemudian diberikan kepada anak untuk dinakan, daripada hanya

berupa gambar-gambar saja.

6) Prinsip belajar dan bekerja kelompok

Sebagai salah satu dasar mendidik anak berkelainan, agar mereka sebagai

anggota masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya, tanpa

harus merasa rendah atau minder dengan orang normal.

7) Prinsip keterampilan

Pendidikan keterampilan yang diberikan kepada anak berkelainan, dapat

dijadikan sebagai bekal dalamkehidupan kelak.

8) Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap


Secara fisik dan psikis anak berkelainan memang kurang baik sehingga perlu

diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang baik serta tidak selalu

menjadi perhatian orang lain.26

c. Komponen-Komponen Penyelenggaran Pendidikan Inklusi

1) Kurikulum

Keuntungan dari pendidikan inklusi adalah bahwa anak berkebutuhan

khusus maupun anak bisa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan

tuntutan kehudupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat

terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing. Pendidikan inklusi masih

menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun

dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusi disesuaikan

dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik27.

2) Jenis Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi pada

dasarnya adalah kurikulum standar nasional yang berlaku disekolah umum. Namun

demikian, karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkelainan sangat

bervariasi, mulai dari sifatnya yang ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam

implementasinya, kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sesuai dengan standar

26
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: BumiAksara,
2005), h. 24-26.
27
Alfin Nurussalihah, Implementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi (Studi Multisitus Di Sdn Mojorejo 01 Dan Sdn Junrejo 01
Kota Batu), (Tesis, UIN Maulana Malik Ibrahim : Malang, 2016), Hlm. 71
nasional perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kebutuhan peserta didik28.

Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dapat dilakukan oleh tim pengembang

kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri atas kepala

sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidkan khusus, konselor,

psikolog dan ahli lain yang terkait.

3) Tujuan Pengembangan Kurikulum

Tujuan pengembangan kurikulum dalam pendidikan inklusi, antara lain

adalah:

a) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi

hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal mungkin dalam setting

inklusi.

b) Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan

bagi peserta didik berkebutuhan khusus, baik yang diselengarakan di

sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.

c) Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan,

menilai, dan menyempurnakan program pendidkan inklusi.29

4) Model Pengembangan Kurikulum Inklusi

a) Model Duplikasi

Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Meniru berarti membuat

sesuatu menjadi sama atau serupa. Model kurikulum duplikasi berarti

28
Ibid, Hlm. 72
29
Ibid.
mengembangkan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan

khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk

siswa pada umumnya (reguler). Model duplikasi dapat diterapkan pada

empat komponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.

Kemudian program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses

pembimbingan belajar, motivasi, dan ketekunan belajarnya.

b) Model Modifikasi

Modifikasi berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan

kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka model modifikasi

berarti cara pengembangan kurikulum dengan memodifikasi kurikulum

umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa reguler dirubah untuk

disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus. Siswa

berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuannya. Modifikasi dapat diberlakukan pada empat komponen

utama pembelajaran yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi. Misalnya

pada model kurikulum akomodatif. Model kurikulum akomodatif adalah

kurikulum yang dimodifikasi sesuai anak berkebutuhan khusus. Modifikasi

dapat dilakukan pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada

program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa.

c) Model Substitusi

Subtitusi berarti mengganti. Dalam kaitan dengan model kurikulum, maka

substitusi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum


dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak

mungkin diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa

diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan. Model substitusi bisa

terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses atau evaluasi.

d) Model Omisi

Omisi berarti menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum,

omisi berarti upaya untuk menghilangkan sesuatu (bagian atau keseluruhan)

dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikan kepada

siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang

ada dalam kurikulum umum tidak disampaikan atau diberikan kepada siswa

berkebutuhan khusus karena sifatnya terlalu sulit atau tidak sesuai dengan

kondisi anak berkebutuhan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika

dalam subtitusi ada materi pengganti yang sepadan, sedangkan dalam

model omisi tidak ada materi pengganti.30

d. Model-Model Sekolah Inklusi

Pilihan penempatan model pelayanan pendidikan disesuaikan dengan kondisi

dan potensi lapangan. Pada umumnya ada tiga tipe pilihan pengelolaan anak dengan

problema belajar di sekolah-sekolah umum yaitu kelas khusus, ruang sumber, dan

kelas reguler.

1) Kelas Khusus

30
Ibid, Hlm.73
Sistem pelayanan dalam bentuk kelas khusus biasnya menampung antara

10 hingga 20 anak berproblema belajar di bawah asuhan seorang guru khusus. Ada

dua jenis kelas khusus yang biasa digunakan, yaitu kelas khusus sepanjang hari

belajar dan kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu atau kelas khusus sebagian

waktu. Pada kelas khusus sepanjang hari belajar, anak-anak berproblema belajar

dilayani oleh guru khusus. Anak-anak di kelas ini mempelajari semua jenis mata

pelajaran dan hanya berinteraksi dengan anak-anak lain yang tidak berproblema

belajar pada saat turun main atau istirahat31.

2) Ruang Sumber

Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk

memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang membutuhkan,

terutama yang berproblema belajaran. Di dalam ruang sumber terdapat guru

remedial atau guru sumber dan berbagai media belajar. aktivitas utama dalam

ruang sumber umumnya berkonsentrasi pada upaya memperbaiki keterampilan

dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial

dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan pendidikan anak

berproblema belajar. Guru sumber juga diharapakan dapat menjadi pengganti guru

kelas dan menjadi konsultan bagi guru reguler. Anak belajar di ruangan sumber

sesuia dengan jadwal yang telah ditetapkan32.

3) Kelas Reguler

31
Ibid, Hlm. 75
32
Ibid, Hlm. 76
Sistem pelayanan dalam bentuk kelas reguler dimaksudkan untuk

mengubah citra adanya dua tipe anak, yaitu anak berproblema belajar dan anak

tidak berproblema belajar. Dalam kelas reguler yang dirancang untuk membantu

anak berproblema belajar diciptakan suasana belajar yang kooperatif sehingga

semua anak dapat menjalin kerjasama dalam mencapai tujuan belajar33.

Suasana belajar kompetitif dihindari agar anak berproblema belajar tidak

putus asa. Program pendidikan individual diberikan kepada semua anak yang

membutuhkan, baik yang berproblema belajar, yang memiliki keunggulan, maupun

yang memiliki penyimpangan lainnya. Dalam kelas reguler semacam ini berbagai

metode untuk berbagai jenis anak digunakan bersama34.

4. Sekolah Luar Biasa (SLB)

Dalam ketentuan umum UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 1dikemukakan

bahwa : Proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan Negara35.

Bertitik tolak dari tujuan itulah setiap lembaga pendidikan termasuk didalamnya

Sekolah Luar Biasa hendaknya bergerak dari awal hingga akhir sampai titiktujuan suatu

proses pendidikan, yang pada akhirnya dapat mewujudkan terjadinya pembelajaran

33
Ibid
34
Munawir Yusuf dkk, Pendidikan Bagi Anak Dengan Problema Belajar (Solo: TigaSerangkai,
2003), Hlm. 58-61.
35
Syafaruddin, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Bandung : Citra
Umbara,2006),Hlm.75
sebagai suatu proses aktualisasi potensi peserta didik menjadi kompetensi yang dapat

dimanfaatkan atau digunakan dalam kehidupan36.

Dalam system pendidikan nasional Indonesia sekolah memiliki peranan strategis

sebagai institusi penyelenggra kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa

Sekolah Luar Biasa memiliki dan mengemban tugas yang berat tetapi penting. Berat

karena harus selalu berperang menghadapi berbagai kelemahan, ancaman dan tantangan

guna menselaraskan program-program kegiatan yang terealisir dengan dinamika

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bergerak demikian cepat.

Penting, karena tugas-tugas dan fungsi sekolah sangat diperlukan untuk

mengembangkan potensi anak-anak berkebutuhan khusus demi kelangsungan hidupnya

yang harus selalu dinamis dan optimis. Melihat sekolah menjadi pusat dinamika

masyarakat. Keberadaan sekolah menjadi institusi sosial yang menentukan pembinaan

pribadi anak dan sosialisasi serta pembudayaan suatu bangsa37.

Dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat.

Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan

yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih orientasi proyek.

Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus

mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika

kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang

sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan,

36
Hari Suderadjat, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Bandung : Cipta Cekasa
Grafika, 2005) Hlml. 6
37
Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Konsep, Strategi dan
Aplikasi,(Jakarta : Grasindo, 2002) Hlm. 87-88
telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat

eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi

penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri

bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa38.

Berangkat dari kenyataan di atas maka mau tidak mau harus dilakukan berbagai

upaya untuk meningkatkan keberhasilan sekolah sehingga menjadi lembaga pendidikan

agama yang efektif dan produktif. Terwujudnya Sekolah Luar Biasa yang efektif dan

produktif merupakan suatu ciri bahwa sekolah itu berhasil dalam mengemban dan

menjalankan tugas dan fungsinya. “Organisasi yang berhasil adalah organisasi yang

tingkat efektivitas dan produktivitasnya makin lama makin tinggi. Produktivitas suatu

organiasasi harus selalu dapat diupayakan untuk terus ditingkatkan, terlepas dari

tujuannya, misinya, jenisnya, strukturnya, dan ukurannya. Aksioma tersebut berlaku

bagi semua jenis organisasi”39. Jadi, sesuai dengan pendapat tersebut, tentunya termasuk

di dalamnya organisasi pendidikan atau Sekolah Luar Biasa harus melakukan berbagai

upaya guna meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya, sehingga apa yang

diharapkan dapat dicapai secara optimal.

Untuk melihat keberhasilan suatu sekolah tentu harus diukur dengan kriteria

sebagaimana dikemukakan Sergiovanni dan Carver bahwa ada empat tujuan yaitu :

Efektivitas produksi, efisiensi, kemampuan menyesuaikan diri (adaptiveness), dan

kepuasan kerja, dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu

38
Ibid, Hlm.19
39
Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja.(Jakarta : Rineka Cipta,
2002)Hlml. 1
penyelenggaraan sekolah. Efektivitas produksi, yang berarti menghasilkan sejumlah

lulusan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku.

Kecakapan hidup diperlukan oleh setiap individu dalam upaya kelangsungan

hidupnya. Kecakapan hidup tidak muncul dengan sendirinya tetapi sebagai salah satu

keterampilan yang dikembangkan melalui belajar. Konsep life skills dalam sistem

persekolahan, menurut Ditjen Pendidikan Umum, 2002, mengelompokan menjadi dua,

yaitu: (1) general life skills/GLS (kecakapan generik) yang mencakup: kecakapan

personal (kecakapan mengenal diri/self awareness, kecakapan berpikir rasional/thinking

skills), kecakapan sosial; dan (2)spesific life skills SLS (kecakapan spesifik) meliputi:

kecakapan akademik dan kecakapan vokasional40.

Selanjutnya Anwar menjelaskan bahwa pendidkan life skills dalam jalur

persekolah formal dibedakan berdasarkan jenjang. Untuk TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs

ditekankan untuk pengembangan GLS, sedangkan kecakapan SLS sebatas tahap

pengenalan. Pada jenjang menengah umum (SMA/K) ditekankan pada pemantapan

GLS dan pengembangan SLS untuk bekal melanjutkan pendidikan tinggi dan atau

masuk ke sektor kerja. Konsep pendidikan life skills tersebut sama dengan pendidikan

ABK yang dijelaskan oleh Hallahan dan Kauffman (1991) bahwa bagi ABK di kelas

dasar dan menengah (usia 9-13 tahun) memerlukan fokus pembelajaran keterampilan

kematangan menolong diri atau keterampilan hidup sehari-hari dan akademik

fungsional (seperti membaca koran, membaca label barang, menghitung uang

belanja,mengisi formulir). Untuk ABK usia dewasa dan remaja pembelajaran di SLB

40
Anwar, Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep dan Aplikasi. (Bandung : Alfabeta. 2004)
lebih menekankan pengembangan aspek latihan kemampuan kejuruan dan

tanggungjawab sosial41.

Menurut Beirne, Ittenback Patton Skill kerja bagi ABK dengan hambatan mental

termasuk kecakapan perilaku adaptif yang mencakup: kebiasaan dan sikap kerja, skill

pencarian kerja, pelaksanaan kerja, behaviour kerja sosial dan keamanan kerja42.

Berdasarkan konsep life skills tersebut menunjukkan bahwa kemandirian ABK

dapat dicapai apabila memiliki keterampilan menolong diri sendiri, keterampilan

akademik dan atau akademik fungsional serta keterampilan vokasional. Kemandirian

sebagai hasil belajar yang tingkatan pencapaiannya dipengaruhi modalitas belajar yang

mencakup seluruh fungsi indera dimiliki Dryden & Vos, 1999. Modalitas belajar ini

yang mendasari jenis keterampilan yang diperlukan oleh ABK. Hal ini sesuai dengan

empat persyaratan dasar dalam pengembangan life skills menurut Direktorat

Kepemudaan Dirjen PLSP, tahun 2003 dalam Anwar, 2004 : (1) keterampilan yang

dikembangkan berdasarkan minat dan kebutuhan individu; (2) terkait dengan

karakteristik potensi wilayah setempat.. sumber daya alam dan sosial budaya; (3)

dikembangkan secara nyata sebagai sektor usaha kecil atau industri rumah tangga; (4)

berorientasi kepada peningkatan kompetensi keterampilan untuk bekerja secara aplikatif

operasonal.

Dari sudut teori belajar pelaksanaan pembelajaran lebih terkait dengan Teori

Asosiasionistik Hergenhahn B.R. & Olson Matthew H. 2008. Dalam hal ini dikemukaan

41
Ibid
42
Bernie, S.M., Ittenback, R.F. & Patton, J.R, Mental Retardation. (Ohio: Merrill Prentice
Hall.2002),Hlm. 21
oleh Edwin Ray Guthrie bahwa belajar tindakan membtuhkan parktik atau latihan sebab

menggahuruskan gerakan yang tepat yang telah diasosiasikan dengan petunjuknya.

Guthrie menggambarkan bahwa stimulasi ekternal akan menimbulkan respon nyata dan

menghasilkan gerakan nyata. Contoh: telpon berdering, seseorang akan berpaling

kearah telepon dan berjalan kearah telepon lalu mengangkat telepon. Teori ini sesuai

dengan proses pemebelajaran keterampilan yang syarat dengan gerakan untuk

mengahasilkan suatu tindakan dan juga mengasilkan produk karya. Hasil belajar ini

menurut Teori Bloom dominan pada ranah psikomotor, meskipun tercakup juga dua

ranah belajar lainnya, yairu kognitif dan afektif Winkel, 2007. Teori tersebut dipandang

tepat dalam pembelajaran keterampilan ABK. Ilustrasi implementasi teori tersebut

dikaitkan dengan berbagai hambatan fungsi indera dan perkembangan ABK, sehingga

memerlukan bantuan ekternal yang sesuai dengan kondisinya agar ABK dapat belajar.

Bantuan eksternal antara lain berupa kejelasan prosedur kerja (simbul-simbul gambar

dan tulisan untuk menjelaskan langkah), memberi contoh berulang-ulang cara bekerja,

penataaan lingkungan kerja dan peralatan kerja sesuai kondisi ABK (contoh: ruang dan

peralatan khusus bagi ABK tuna daksa) dan bantuan bombingan perorangan. Dengan

demikian stimulan eksternal dalam pembelajaran keterampilan bagi ABK sangat

penting.

Menelaah perkembangan yang terjadi di sekolah dan lulusan sekolah sebagai

refleksi dari kualitas layanan pendidikan dibandingkan dengan PP No. 19 tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan yang di dalamnya meliputi : (1) Sandar Isi, (2)

Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar

Pembiayaan, dan (8)Standar Penilaian Pendidikan, ternyata masih banyak kesenjangan

antara harapan dengan kenyataan. Hal ini terlihat dengan masih rendahnya mutu

kompetensi lulusan, masih kurangnya profesionalisme guru dalam mengelola

pembelajaran, masih banyaknya guru yang belum berkualifikasi akademik S1, masih

rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarkat, dan sebagainya. Dengan

kata lain, fenomena yang terlihat dalam lembaga pendidikan Sekolah Luar Biasa saat ini

masih rendah mutu layanannya. Kualitas layanan pendidikan tersebut dicerminkan

dengan suatu ukuran tingkat daya hasil suatu program yang menjadi tanggung jawab

sekolah.

Dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan di Sekolah Luar Biasa

tidak dapat terlepas dan harus didukung oleh berbagai pihak yang berkepentingan

(stakeholders) diantaranya pihak masyarakat. Hal ini penting karena masyarakat

memiliki peran yang sangat diperlukan oleh sekolah. Mengenai hal ini diungkapkan

dalam UU Sisdiknas tahun 2003 sebagai berikut :

1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang

meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui

dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

2) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan

dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan


dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada

tingkat satuan pendidikan.43

Peranan-peranan itulah yang diperlukan dari pihak masyarakat guna

meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah. Diperoleh beberapa keuntungan

dengan adanya partisipasi masyarakat. “Keputusan tentang bagaimana berlangsungnya

sekolah yang didasarkan atas partisipasi diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa

memiliki bagi semua kelompok kepentingan sekolah” 44 . adanya rasa memiliki maka

akan tumbuh rasa tanggung jawab terhadap pengembangan sekolah.

Peranserta masyarakat dalam pendidikan nasional telah tercantum dalam

Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1992 pasal 4 yang menyatakan 12 bentuk peran

serta masyarakat dalam pendidikan nasional yaitu :

1) Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah

atau jalur pendidikan luar sekolah.

2) Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan

pengajaran.

3) Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan

pembelajaran.

4) Pengadaan dan penyelenggaraan program pendidikan yang belum

diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional.

43
Hadiyanto. Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta,
2004) Hlm. 85
44
Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. (Bandung :
Bumi Aksara, 2006) hal. 5
5) Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah,

sumbangan, pinjaman, beasiswa, dll.

6) Pengadaan dana dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk

pelaksanaan pengajaran.

7) Pengadaan dana dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan

pendidikan untuk pelaksanaan pembelajaran.

8) Pemberian kesempatan untuk magang atau latihan kerja.

9) Pemberian bantuan manajemen penyelenggaraan satuan pendidikan.

10) Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan

kebijaksanaan pengembangan pendidikan nasional.

11) Pemberian bantuan dan kerja sama dengan penelitian dan pengembangan.

12) Keikutsertaan dalam program pendidikan atau penelitian yang diselenggarakan

pemerintah di dalam dan luar negeri.45

B. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN

Kajian tentang differensiasi pendidikan anak autis disekolah inklusi dan sekolah

luar biasa di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe ini akan tetap menjadi perbincangan

menarik dalam dunia pendidikan. Sejak dahulu, kini dan masa akan datang.

Problematika dalam lapangan pendidikan selalu menghiasi kehidupan umat diseluruh

dunia.

Dari studi kepustakaan yang penulis lakukan ternyata belum ada penelitian oleh

penulis atau peneliti sebelumnya mengenai permasalah differensiasi pendidikan anak


45
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pemberdayaan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2004, Hlm. 31-33
autis disekolah inklusi dan sekolah luar biasa di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe.

Meskipun ada penelitian terdahulu dan karya-karya penulis terdahulu namun hanya

mendeskripsikan secara umum dan garis besarnya saja, dan tidak ditemukan hasil

penelitian yang membahas secara spesifik dan sistematis tentang differensiasi

pendidikan anak autis disekolah inklusi dan sekolah luar biasa di MTsN 1 Konawe dan

SLB Konawe. Berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan diberbagai

perpustakaan, telah ditemukan beberapa judul penelitian yang dilakukan oleh beberapa

peneliti, baik yang berkaitan dengan differensiasi pendidikan anak autis disekolah

inklusi dan sekolah luar biasa di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe. Antara lain

sebagai berikut;

1. Penelitian (tesis) yang ditulis oleh Afrina Devi Marti dalam jurnal yang

berjudul “Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Kota Padang”. Tujuan

penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan

pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Kota Padang yang berkaitan dengan

kebijakan dan administrasi sekolah dalam mendukung pendidikan inklusif,

kondisi lingkungan sekolah, ketrampilan, sikap serta pengetahuan guru,

kompetensi guru dalam pendidikan inklusif, peserta didik, kurikulum yang

digunakan, penilaian dan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan

pendidikan inklusif. Metodologi dalam penelitian di jurnal ini bersifat deskriptif

dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian pada jurnal tersebut diantaranya

disebutkan bahwahampir semua sekolah yang menyelenggarakan pendidikan

inklusif di SD Kota Padang telah memiliki dan melaksanakan kebijakan


mengenai pendidikan inklusif, telah memiliki visi dan misi mengenai

pendidikan inklusif, pengelola sekolah dan guru memahami konsep pendidikan

inklusif. Kebijakan sekolah memberi keleluasaan pada guru untuk menggunakan

metode pembelajaran yang kreatif untuk membantu masalah belajar46.

2. Tesis karya Desti Widiani, Program pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta dengan judul “Pendidikan Karakter Bagi Anak Autis di Sekolah

Khusus Taruna Al-Qur’an Yogyakarta ”. Tesis tersebut berisi tentang penerapan

pendidikan karakter pada anak autis di Sekolah Khusus Taruna Al-Qur‟an

melalui enam strategi yaitu: pertama, melalui prinsip dasar layanan pendidikan

anak berkebutuhan khusus. Kedua, melalui pembiasaan dan pembudayaan yang

baik di sekolah. Ketiga, melalui keteladanan. Keempat, melalui akhlak aplikatif.

Kelima, melalui terapi Al-Qur‟an. Keenam, melalui Group Suport Terapy.

Selanjutnya nilai – nilai pendidikan karakter yang berhasil meliputi nilai – nilai

religious, nilai – nilai yang berhubungan dengan diri sendiri dan nilai – nilai

yang berhubungan dengan orang lain. Serta faktor pendorong dan penghambat

dalam menerapkan pendidikan karakter bagi anak autis di sekolah khusus

Taruana Al-Qur‟an.47

Berdasarkan lima penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian

yang dilakukan penulis memiliki perbedaan dengan penelitian – penelitian di atas.

Penelitian yang benar-benar belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, baik yang

46
Afrina Devi Marti.2012.”Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Kota Padang (Tesis)”.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu. (on line 11 Maret 2015 pukul 07.24).
47
Desti Widiani,Pendidikan Karakter Bagi Anak Autis di Sekolah Taruna Al-Qur’an Yogyakarta.
(Yogyakarta : Tesis UIN SUKA,. 2015)
berkaitan dengan judul, tema maupun isi. Sesuai dengan judul maka penelitian ini lebih

menekankan pada “differensiasi pendidikan anak autis disekolah inklusi dan sekolah

luar biasa di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe”


BAB III
METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN

Berdasarkan fokus dan tujuan penelitian, maka penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif multisitus, dengan cara kajian yang mendalam guna memperoleh

data yang lengkap dan terperinci. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran

mendalam mengenai differensiasi pendidikan anak autis disekolah inklusi dan sekolah

luar biasa di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian

deskriptif kualitatif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya

menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan48.

Penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang bermaksud mengadakan

pemeriksaan dan mengadakan pengukuran-pengukuran terhadap gejala tertentu 49 .

Selain itu penelitian deskriptif juga penelitian yang bermaksud untuk membuat

pencandraan (deskriptif) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Penelitian ini

berusaha untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan yang berhubungan dengan

differensiasi pendidikan anak autis disekolah inklusi dan sekolah luar biasa di MTsN 1

Konawe dan SLB Konawe.

B. KEHADIRAN PENELITI

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti bertindak sebagai key instrument

penelitian. Menurut Moleong kedudukan/ kehadiran peneliti dalam penelitian kualitatif

48
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2005), Hlm. 234.
49
Abdurahmat, Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Hlm.97.
sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengmpulan data, penganalisis, penafsir

data dan pada akhirnya sebagai pelopor hasil peneliti 50 . Oleh karena itu dalam

pelaksanaan kegiatan peneliti ini, peneliti ikut langsung kelapangan guna mendapatkan

dan mengumpulkan data-data. Sebagai instrument kunci, kehadiran dan keterlibatan

peneliti dilapangan lebih memungkinkan untuk menemukan makna dan tafsiran dari

subjek penelitian dibandingkan dengan menggunakan alat non-human (seperti angket)51

Kehadiran peneliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam

tentang differensiasi pendidikan anak autis disekolah inklusi dan sekolah luar biasa

dengan menggunakan penelitian kualitatif. Kehadiran peneliti sangat diperlukan

sebagai instrumen utama karena peneliti bertindak langsung sebagai perencana,

pelaksana, mengumpulkan data, menganalisis data, dan sebagai pelopor hasil penelitian.

Kehadiran peneliti tersebut telah diketahui oleh unsur Dinas Pendidikan dan Kepeala

Sekolah di tempat penelitian yang sudah ditentukan.

Maka sehubungan dengan itu peneliti menempuh langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Sebelum memasuki lapangan, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepala

Madrasah penyelenggara pendidikan inklusi di MTsN 1 Konawe dan SLB

Konawe beserta surat izin peneliti dari pihak Pascasarjana IAIN Kendari.

2. Peneliti akan mengadakan observasi dilapangan untuk memahami latar

penelitian yang sebenarnya.

50
Lexy J Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Hlm. 121.
51
Nana Sujana, Penelitian dan Penelitian Pendidikan (Bandung: Sinar Baru, 1989), Hlm. 196.
3. Membuat jadwal kegiatan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan

informan yang sudah ditentukan.

4. Peneliti melakukan penelitian tentang differensiasi pendidikan anak autis

disekolah inklusi dan sekolah luar biasa.

Untuk mendukung pengumpulan data dari sumber yang ada di lapangan,

peneliti juga memanfaatkan, alat perekam data, buku tulis, paper dan juga alat tulis

seperti pensil juga bolpoin sebagai alat pencatat data. Kehadiran peneliti di lokasi

penelitian dapat menunjang keabsahan data sehingga data yang didapat memenuhi

orisinalitas. Maka dari itu, peneliti selalu menyempatkan waktu untuk mengadakan

observasi langsung ke lokasi penelitian, dengan intensitas yang cukup tinggi.

C. DATA DAN SUMBER DATA

1. Data

Data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah data tentang fokus

penelitian yaitu; pendidikan anak autis di sekolah inklusi, pendidikan anak autis di

sekolah luar biasa, diferensiasi pendidikan anak autis di sekolah inklusi dan luar

biasa di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe. Dengan demikian, data yang ingin

dikumpulkan adalah data tentang diferensiasi pendidikan anak autis disekolah inklusi

dan sekolah luar biasa.

Menurut cara memperolehnya data dikelompokan menjadi dua macam, yaitu

data primer dan data sekunder:

a) Data Primer Sumber data primer juga merupakan sumber-sumber dasar

merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian yang lalu dan merupakan
sumber data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Data yang

dikumpulkan langsung dari informan melalui wawancara langsung, yang telah

memberikan informasi tentang dirinya dan penegetahuannya. Orang-orang

yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang mengetahui tentang

pendidikan inklusif untuk anak autis di antaranya adalah: kepala sekolah,

guru, guru BK di MTsN 1 Konawe dan SLB Konawe.

b) Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber pendukung, data

yang diperoleh peneliti dengan bantuan bermacam-macam tulisan (literature)

dan bahan-bahan dokumen. Literature dan dokumen dapat memeberiakan

banyak informasi tentang differensiasi pendidikan anak autis di MTsN 1

Konawe dan SLB Konawe

2. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong sumber data utama dalam

penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan

berupa dokumen dan lain-lain. menurut Suharsimi Arikunto berpandangan bahwa

sumber data merupakan subjek dimana data diperoleh. Sedangkan Sumber data

dalam penelitian ini adalah sumber yang dapat memberikan data dan informasi

temtang onyek yang diteliti, yakni berkenaan dengan bagaimana differensiasi

pendidikan anak autis diMTsN 1 Konawe dan SLB Konawe.

D. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Untuk dapat menjawab permasalahan pada fokus penelitian ini, maka perlu

mengumpulkan sejumlah data yang relevan dengan permasalahan yang telah


dirumuskan. Bagi peneliti kualitatif yang berinteraksi dengan subyek melalui

wawancara mendalam dan diobseravasi pada latar dimana fenomena tersebut sedang

berlanjut. Oleh karena itu, teknik wawancara dan observasi dalam penelitian kualitatif

merupakan teknik yang digunakan. Disamping itu, bahan-nahan yang ditulis tentang

subyek juga sering digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan. Prosedur terakhir

adalah teknik dokumentasi.

E. PROSEDUR ANALISIS DATA

Dalam analisis data terdapat dua tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam

pendekatan kualitatif yaitu, analisis data selama dilapangan dan analisis data setelah

data terkumpul. Karena analisis data berbicara tentang bagaimana mencari dan

mengatur secara sistematis data, transkip yang telah diperoleh dari wawancara dan

dokumentasi, maka peneliti pada penelitian ini menganalisa data-data hasil wawancara

dan dokumentasi objek penelitian serta menganalisis data yang telah terkumpul52.

Sugiyono memaparkan bahwa, analisis data adalah proses mencari


dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,
F. PENGECEKAN KEABSAHAN DATA

52

Anda mungkin juga menyukai