Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh : Lilis Nurteti

A. Rasional

“We must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eridication is
the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and
strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is
incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem
than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.

Saat ini sudah ada semacam kesadaran bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada
pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada
fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human
resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara
Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk
memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh
hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke
dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu


Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu
pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah
abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan
memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat 2 (dua) indikator
sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan
indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report


2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih
mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun
sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi
peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada
tahun 2004.

Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari
47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-
masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa
produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya
kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu
semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan
kreativitas (N. Idrus - CITD 1999).

Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan
yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education
in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia  Education Sector
Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan
pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung
pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari
keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan
dengan negara lain, termasuk negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase
anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.

Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards
in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia
adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal,
mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan
datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan
akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Persoalan yang paling mendasar terhadap
berbagai kompleksitas persoalan di atas adalah fokusnya bermuara terhadap kebijakan
pembiayaan pendidikan.

B. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan


pendidikan, sampai kapan pun dan di manapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya,
sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan
demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas
dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan


bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan
industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah
menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Menurutnya, tidak ditempatkannya
pendidikan sebagai prioritas terpenting dikarenakan masyarakat Indonesia, mulai dari yang
awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk
memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang dan jauh ke depan.

Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W.
McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education:
Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting
pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi
manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan
bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan
bukan pendidikan yang super canggih. Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh
UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat)
pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk
melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live
together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk
menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man
not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea
Selatan, Taiwan, Filifina ataupun Malaysia dan negara-negara tetangga lainnya sekalipun dalam
dua dekade belakangan ini (http://jurnalhukum.blogspot.com/Analisa%20Putusan, diakses
tanggal 5 juni 2008).

Negara Amerika dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dapat dijadikan
pelajaran bagi Indonesia untuk menirunya. Amerika adalah sebuah negara yang menjamin
terlindunginya hak-hak dasar manusia dan warga negara. Salah satu hak dasar yang mendapat
perhatian serius adalah sektor pendidikan. Sehingga pendidikan menjadi prioritas utama dalam
membangun bangsanya. Indonesia juga sebetulnya telah mendeklarasikan diri sebagai negara
yang memprioritaskan pendidikan sebagaimana tercantum pembukaan UUD 1945 dinyatakan
bahwa tujuan didirikannya negara Indonesia adalah “memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Tetapi sayang dalam perjalanannya cita-cita tersebut tidak menjadi prioritas


pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Sehingga konsekuensinya bangsa kita sampai saat
ini mengahadapi masalah besar yang berkaitan dengan kualitas manusia Indonesia. Masalah-
masalah tersebut adalah: (1) minimnya kemampuan teknis; (2) minimnya kemampuan
profesional; (3) kemampuan intelektual; (4) etos kerja, disiplin, moral dan kepribadian manusia
modern yang demokratis (Forum Mangunwijaya Kompas, 2007 :19). Kata kuncinya adalah
dunia pendidikan kita belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas pembangunan. Buktinya
adalah anggaran atau pembiayaan pendidikan yang secara esensial ‘masih sangat minim” dan
implementasinya masih banyak terjadi mispolicy atau kesalahan kebijakan.

Oleh karena itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo fokus visi program
kerjanya pada sistem pembiayaan pendidikan dalam kebijakannya. Ia menegaskan bahwa sistem
pembiayaan dengan mekanisme subsidi silang akan berwatak sosial karena masyarakat yang
mampu secara finansial akan menyubsidi mereka yang kesulitan secara ekonomi.

C. Jaminan Nilai Konstitusi Terhadap Pembiayaan Pendidikan

Semua pihak menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi manusia bagi sebuah
bangsa, dan bahkan dipandang sebagai salah satu faktor ekonomi, sosial dan politik yang
penting. Penyelenggaraan pendidikan tentu memerlukan biaya yang cukup, baik yang harus
ditanggung oleh negara, maupun oleh masyarakat dan orang tua peserta didik. Pada prinsipnya
negara kita telah memberikan jaminan terhadap hak pendidikan bagi rakyat. Hal tersebut
sebagaimana dijelaskan :

1. Dalam pembukaan UUD 1945 (mencerdaskan kehidupan bangsa);


2. Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : ”Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar, dan pemerintah wajib mebiayainya” dan ayat 4 : Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD
untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional.

3. Dan dijelaskan lagi pada pasal 49 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan alokasi dana
pendidikan minimal 20% dari APBN, dan 20% dari APBD selain gaji dan biaya pendidikan
kedinasan.

4. pasal 34 ayat 1-2 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan ”setiap warga negara yang berusia 6
(enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.

Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XIII (Pendanaan Pendidikan) dengan empat pasal (pasal 46,
47, 48 dan 49). Bab ini mengatur tentang tanggung jawab pendanaan (pasal 46), sumber
pendanaan (47), pengelolaan dana pendidikan (pasala 48), dan pengalokasian dana pendidikan
(pasal 49)(Anwar Arifin, 2006:83-84).

Secara rinci diatur dalam pasal pasal sebagai berikut :

a. Pasal 46 tentang tanggung jawab pendanaan

1. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah


daerah dan masyarakat.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan


sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat ( 4 ) Undang-Undang dasar negara Republik
Indonesia tahun 1945.

3. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam


ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

b. Pasal 47 tentang sumber pendanaan pendidikan

1. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan


berkelanjutan

2. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku

3. Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat


( 1 ) dan ayat ( 2 ) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

c. Pasal 48 tentang pengelolaan dana pendidikan


1. Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transfaransi,
dan akuntabilitas public.

2. Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 )


diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

d. Pasal 49 tentang pengalokasian dana pendidikan

1. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan Dan belanja Negara (APBN) pada sector
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah ( APBD ).

2. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara ( (APBN )

3. Dana pendidikan dari pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang undangan yang brlaku

4. Dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bnetuk hibah
sesuai dengan perundang undangan yang berlaku

5. Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat


( 1 ), ayat ( 2 ), dan ayat ( 3 ), dan ayat ( 4 ) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. ( UU Sisdiknas : 2003 ).

Dari penjelasan di atas konstitusi dan perundang-undangan kita telah mengamanatkan


bahwa pendidikan menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa yang dibuktikan dengan
jaminan pembiayaan penyelenggaran pendidikan secara optimal.

D. Teori Pembiayaan Pendidikan

Macam-Macam Biaya

Cohn (1979:40) membagi biaya ke dalam dua kategori, yaitu :

1) Biaya langsung, yaitu biaya yang berasal dari sekolah atau siswa seperti : (1) biaya tambahan
untuk ruangan, papan tulis, dan pakaian; (2) biaya transfortasi, angkutan sekolah, dan (3)
biaya lainnya seperti buku-buku sebi dan perlengkapan olahraga.

2) Biaya tak langsung, seperti : (1) pendapatan yang hilang karena siswa bersekolah; (2)
pembebasan pajak yang secara umum dinikamati oleh lembaga nirlaba, dan (3) biaya yang
berkenaan dengan penyusutan dan bunga bank (bangunan dan perlengkapan).

Sedangkan Supriadi (Iim Wasliman, 2007:229) menyatakan bahwa biaya di bagi ke dalam
tiga kategori, yaitu :
1. Biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung

Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan
pendidikan. Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang secara tidak langsung menunjang
proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah,
misalnya biaya hidup siswa, biaya transfortasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan dan
harga kesempatan (opportunity cost).

2. Biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost).

Biaya pribadi adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran
rumah tangga. Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk pendidikan,
baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah kemudian
digunakan untuk membiayai pendidikan. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pada
dasarnya termasuk biaya sosial.

3. Biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non monetary cost)

Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya
langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa. Kebanyakan biaya langsung berasal dari sistem persekolahan sendiri
seperti SPP, dan sumbangan orang tua murid untuk pendidikan atau yang dikeluarkan sendiri
oleh siswa untuk membeli perlengkapan dalam melaksanakan proses pendidikannya, seperti
biaya buku, peralatan dan uang saku. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan dalam
bentuk kesempatan yang hilang dan dikorbankan oleh siswa selama belajar.

Menurut Cohn (dalam Iim Wasliman, 2007:230) biaya pendidikan dapat dikategorikan
sebagai berikut :

1. Biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang dikeluarkan secara langsung untuk membiayai
penyelenggraan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, seperti gaji guru,
pegawai non edukatif, buku-buku pelajaran dan bahan perlengkapan lainnya. Hal ini
berpengaruh pada hasil pendidikan berupa nilai pengorbanan untuk penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan tersebut.

2. Biaya tak langsung (indirect cost), yaitu meliputi hilangnya pendapatan peserta didik karena
sedang mengikuti pendidikan. Bisa juga berupa keuntungan yang hilang (earning forgone)
dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa
selama belajar.

Perhitungan biaya dalam pendidikan akan ditentukan oleh unsur-unsur tersebut yang
didasarkan pula pada perhitungan biaya yang nyata sesuai dengan kegiatan menurut jenis dan
volumenya. Dalam konsep pembiayaan pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji dan
dianalisis yaitu biaya pendidikan secara keseluruhan dan biaya satuan per siswa.
Biaya satuan ditingkat sekolah merupakan biaya pendidikan tingkat sekolah, baik yang
bersumber dari pemerintah, orang tua dan masyarakat yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
pendidikan dalam satu tahun pelajaran.

Hal tersebut dipertegas pula oleh Howard R. Bowen (Iim Wasliman, 2007:220) yang
menyebutkan bahwa biaya satuan per murid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa
besar uang yang dialokasikan ke sekolah-sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam
menempuh pendidikan. Hal ini ditekankan pula oleh Howard R. Bowen yang mengemukakan
bahwa :”Dengan menganalisis bahwa biaya satuan, memungkinkan untuk mengetahui efisiensi
dalam penggunaan sumber-sumber di sekolah, keuntungan dari investasi pendidikan, dan
pemerataan pengeluaran masyarakat.

Dalam menetapkan biaya pendidikan yang diperlukan, maka harus disusun perencanaan
pembiayaan pendidikan. Maka, suatu proyeksi biaya pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan
dalam kaitannya dengan pembiayaan pendidikan di tingkat negara, yaitu dengan membuat
alternatif proyeksi pendidikan sekurang-kurangnya 5-6 tahun mendatang. Alternatif proyeksi
biaya pendidikan harus didasarkan asumsi-asumsi :

1. Kecepatan rasio pertumbuhan

2. Jumlah imigrasi ke negara

3. Tipe pendidikan untuk target populasi dengan perbedaan kebutuhan

4. Perbedaan biaya untuk tipe yang berbeda program pendidikan

5. Jumlah siswa yang mungkin akan pindah dari sekolah

6. Perbedaan biaya yang dibutuhkan berdasarkan pada jarang atau padatnya penduduk

7. Tingkat kualitas pendidikan

8. Kekuatan memperoleh uang

Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa pembiayaan pada suatu persekolahan
terpusat pada penyaluran keuangan dan sumber-sumber pendapatan lainnya untuk pendidikan.
Distribusi atau penyaluran tersebut mencakup dua kategori yaitu bagaimana uang itu diperoleh
dan bagaimana dibelanjakan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik dan sesuai
dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Aspek penting yang perlu dikaji adalah peraturan perundang-undangan pendidikan,


perkembangan historis pemerintah pusat, kecenderungan termasuk masa yang akan datang.

Oleh karena itu dalam menetapkan biaya pendidikan perlu didukung dengan data dan informasi
mengenai siapa yang harus dididik, tujuan dan sasaran apa yang ingin dicapai, program
pendidikan apa yang akan dilakukan sebagai suatu usaha dalam mencapai tujuan dan sasaran
tersebut.

E. Formulasi Kebijakan Pembiayaan Pendidikan

Menurut J. Hallak ( 1996 ) dalam analisis formulasi pembiayaan pendidikan, biaya


dalam arti yang umum yaitu dalam bentuk moneter/uang. Sementara, Biro perencanaan
depdikbud ( 1989 ) menyatakan bahwa : “Konsep biaya dalam pendidikan terdiri dari seluruh
biaya yang dikeluarkan dan dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pendidikan baik oleh
pemerintah, perorangan dan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan “. Sementara itu
menteri Pendidikan Nasional mengatakan bahwa formulasi biaya pendidikan : “Yang namanya
pembiayaan pendidikan didasarkan pada tingkat mutu tertentu, besaran anggaran pendidikan
diasumsikan pada tingkat mutu tertentu pula secara nasional. Kemudian dihitung berapa
anggaran yang bersember dari APBN, APBD dan masyarakat “. (Koran Kompas : 2004 ).

Dalam kaitan ini Zymelman ( 1975 ) dengan jelas mengatakan bahwa “Pembiayaan


pendidikan tidak hanya menyangkut analisis sumber sumber dana, tetapi juga menyangkut
penggunaan dana – dana itu secara efisien makin efisien system pendidikan, maka semakin kecil
dana yang diperlukan untuk pencapaian tujuan tujuan pendidian itu “. Oleh karena itu dengan
pengelolaan dana secara baik akan membantu meningkatkan efisiensi penyelenggaraan
pendidikan. Artinya dengan anggaran yang tersedia dapat mencapai tujuan pendidikan yang lebih
produktif, efektif, efisien dan relevan antara kebutuhan dibidang pendidikan dengan
pembangunan dan masyarakat ( link and match )

Mengutif dari apa yang dikemukakan Nanang Fatah (2005 : 41) yang mengatakan
bahwa, secara sederhana formulasi pengelolaan dana pendidikan itu mencakup dua aspek, yaitu :

1. Dimensi penerimaan atau sumber dana

2. Dimensi pengeluaran atau alokasi dana

Dimensi penerimaan antara lain berumber dari : Penerimaan umum pemerintah,


penerimaan khusus pemerintah yang diperuntukan bagi pendidikan, iuran sekolah, dan
sumbangan – sumbangan masyarakat. Sedangkan dimensi pengeluaran meliputi : Pengeluaran
modal/capital atau anggaran pembangunan (capital outlay/expenditure).

Keberhasilan pengelolaan atas dana pendidikan itu akan menimbulkan berbagai manfaat
diantaranya :

1. Memungkinkan penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara efisien artinya dengan dana


tertentu diperoleh hasil yang maksimal atau dengan dana minimal tercapai sebuah tujuan
tertentu.

2. Memungkinkan tercapainya kelangsungan hidup lembaga pendidikan sebagai salah satu


tujuan didirikannya lembaga tersebut (terutama bagi lembaga pendidikan swasta dan
kursus-kursus).
3. Dapat mencegah adanya kekeliruan, kebocoran-kebocoran atau adanya penyimpangan-
penyimpangan penggunaan dana dari rencana semula. Penyimpangan akan dapat
dikendalikan apabila pengelolaan berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.
Apabila kekeliruan dan kebocoran ini terjadi, maka akan berakibat buruk baik
pengelolaan keuangan ( atasan langsung dan bendaharanya ) maupun bagi lembaga
pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan hal diatas, pengelolaan keuangan pendidikan lebih difokuskan dalam proses
merencanakan alokasi secara teliti dan penuh dengan perhitungan, serta mengawasi pelaksanaan
penggunaan dana, baik untuk biaya oprasional maupun biaya kapital, disertai dengan bukti-bukti
secara administratif dan fisik ( material ) sesuai dengan dana yang dikeluarkan (Nanang fatah :
2005 )

Dalam Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya
investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya
manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses
pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud di atas meliputi:

1. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,

2. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan

3. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan
sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya (http://www.bsnp-indonesia.org, diakses tanggal 5 juni 2008).

Keterkaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan formulasi merumuskan kebutuhan


pembiayaan dalam pendidikan menjadi faktor yang sangat esensial. Meminjam istilah Nanang
Fatah (2006) merumuskan kebutuhan dan pembiayaan pendidikan dengan menggunakan
mekanisme bottom up.  Yaitu sebuah mekanisme yang disusun dari bawah yaitu dari tingkat
yang terendah satuan pendidikan sampai dengan Departemen Pendidikan
Nasional. Mekanisme adalah sebagai berikut :

A. Sekolah/ Madrasah memiliki tugas :

a. Menyusun RAPBS yang mencakup kebutuhan dana pokok pendidikan, peningkatan


mutu, dan dana kompensasi kemiskinan.
b. Mengusulkannya kepada Dinas Pendidikan/Kota.

B. Dinas Kabupaten/Kota memiliki tugas :


a. Mengkompilasikan usulaan sekolah menjadi dasar penyusunan anggaran pendidikaan
sebagai bagian APBD yang dibiayai dengan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi
khusus (DAK).

C. Dinas Pendidikan Propinsi

a. Menyusun dana penyelenggaraan untuk penataran guru dan dana koordinasi


penyelenggaraan lintas daerah.
b. Anggaran Pendididikan provinsi disusun sebagai bagian APBD yang bersumber dari dana
dekonstrasi dan pembantuan APBN.

D. Departemen Pendidikan Nasional

a. Menyediakan dana untuk penyusunan kebijakan nasional, pengendalian sstandar nasional


pendidikan, dan manajemen.
b. Anggaran Pendidikan Nasional bersumber dari APBN.

Selanjutnya Formulasi merumuskan Perencanaan dan Pengendalian Anggaran


Pendidikan dapat disusun dengan skema berikut ini :

Analisis (Standar
kinerja deviasi

Revisi

Implementasi
Implementasi

Anggaran
Model diadaptasi dari Makalah Seminar Pendidikan, Prof. Dr. Nanang Fattah 13
September 2006.

F. Problematika Kebijakan Anggaran Pembiayaan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan memberikan peran yang sangat penting bagi kemakmuran ekonomi suatu
bangsa. Anthony Giddens dalam The Global Third Way Debate (2002) bahwa “kemakmuran
ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan kemampuannya dalam kapasitas inovasi,
pendidikan, dan riset (seperti Jepang, Amerika, Israel, China, Korea Selatan).

Bagaima dengan Indonesia? Untuk mengkaji mengenai kebijakan pemerintah di bidang


pembiayaan pendidikan, sekedar melakukan refleksi kembali perjalanan dunia pendidikan dari
awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya
mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh
pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang
penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat
dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin
Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna
mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar
Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana
namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri
Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di
belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh
cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah,
proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya
pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-


pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik.
Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai
mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan
digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap
rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila
pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk
dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun
kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah
pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non
issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila
kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian.

Lalu bagaimana dengan politik pendidikan Indonesia sekarang ini? Taruhlah sekarang ini
ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan,
dan anggaran pendidikan. Masih segar juga di ingatan kita, ketika masa kampanye Pemilihan
Umum berlangsung beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih
baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000
guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji
politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan, karena itu semua amat
tergantung pada situasi dan iklim politik, sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan
William Lowe Boyd (1994) dalam "Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight
From Democracy".

Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi,


serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan
kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern,
sebenarnya institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan
publik lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering
terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.
Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel
Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek,
yang sedikit menaruh kecurigaan bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak
kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun
legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam dan
money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang
terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari
Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy
to govern, but impossible to enslave”.

Negara-negara pada belahan Eropa Barat, melalui Socrates, menegaskan bahwa


pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan
(knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya mereka menilai bahwa intelektualitas adalah
nilai pendidikan yang paling tinggi (the intellectual virtues are assigned the highest rank in the
hierarchy of virtues). Anita Lie dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan dalam Dinamika
Globalisasi” mengemukakan bahwa untuk memajukan dunia pendidikan dibutuhkan suatu
komitmen dan kemauan yang kuat dari tampuk kepemimpinan nasional.

Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah
terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak
pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat
maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit
untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi
negara berkembang terbesar kedua di Asia setelah China, sedangkan Malaysia banyak bergerak
maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan
pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-
sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang
bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.

Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa


sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya
disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional
failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam
konstitusinya (dan cukup ironis karena saat ini gaji pegawai yang berkait dengan pendidikan
tercakup dalam target 20%). Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan
terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.

Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas ketidakmampuan


Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional obligation) dengan
menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan kondisi “tragis” bangsa ini adalah
hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan
tersebut selalu dijadikan dalih. Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara
tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan
tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan
sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgrond).
Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-
sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari
kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya.
Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri,
di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan
amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah
rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act
of government, but the people constituing a government”.

Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya
lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa
adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien.
Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk
pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih
tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan
penundaan untuk “menerbitkan” badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang
tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang
cukup besar.

Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan


anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir
sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek dari
pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan
sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru
memberikan isyarat terhadap biaya yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya.

Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen
penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran
pendidikan yang disetujui DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak
pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila
kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana pembelajaran seperti media pembelajaran,
laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan
tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa
diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas
pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan
yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau
memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang
dimilikinya, seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen.

Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur
pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai
kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan
membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas
toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang
mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi
yang total mencapai triliunan rupiah. Laporan ini juga selalu menempatkan
Departemen Pendidikan sebagai departemen terkorup nomor dua setelah Departemen Agama.
Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan
kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan
manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah
telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam
pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka
lumbung korupsi yang lebih besar.

Secara sistematis dari uraian di atas terdapat beberapa persoalan yang terkait dengan
pembiayaan pendidikan di Indonesia, di antaranya :

1. Faktor kultural. Di Indonesia terjadi pandangan yang kurang tepat terhadap pendidikan.
Pendidikan oleh sementara orang dianggap sebagai pemborosan atau bahkan konsumtif.
Karena itu ketika harus mengeluarkan pembiayaan atau pendanaan pendidikan yang besar
dianggap sebagai kebijakan yang kurang tepat. Sehingga belum tertanam bahwa pendidikan
bukanlah investasi masa depan yang sangat berharga bagi suatu individu, masyarakat,
bangsa dan negara.

2. Faktor Struktural. Yaitu terjadinya inkonsistensi dalam implementasi kebijakan.


Kebijakan yang selalu berubah-rubah akan mengakibatkan pada biaya ekonomi tinggi.
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia setiap kali ganti pejabat maka kebijakan akan
berubah dan tidak kontinyu dengan kebijakan selanjutnya.

3. Manajerial. Pengaturan pembiayaan pendidikan serta implementasinya masih jauh dari


prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Padahal akuntabilitas dan transparansi adalah
kunci kesuksesan pengeloalaan pembiayaan pendidikan.

4. Faktor ekonomi. Pembiayaan akan sangat terkait dengan faktor ekonomi. Dunia


perekonomian kita sedang menghadapi masalah yang yang cukup rumit, yaitu : (a) semakin
meningkatnya harga minyak dunia (BBM); (b) kewajiban meningkat yang terkait dengan
hutang dalam dan luar negeri; (c) nilai kurs rupiah yang rendah; (d) dan sumber pendapatan
yang terbatas (Makalah Seminar Nanang Fatah, 13 september 2006).

G. Mengatasi Persoalan Kebijakan Pembiayaan Pendidikan Di Indonesia

1. Mengubah mekanisme pendanaan pendidikan secara efisien dan efektif. Yaitu dengan
mengatur kejelasan dan koordinasi peruntukan dana pendidikan yang berasal dari berbagai
sumber (yaitu dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota). Sehingga tidak terjadi tumpang
tindih kebijakan pendanaan yang jauh dari sasaran pendidikan. Oleh karena itu penyaluran
dana masing-masing tidak melalui banyak proyek.

2. Memperbaiki mekanisme dan prosedur alokasi dana sehingga akan terhindarkan terjadinya
tumpang tindih dalam pemberian dana ke sasaran pendidikan dan komponen yang dibiayai.
3. Pembiayaan pendidikan melalui pendekatan : berbasis kegiatan pembelajaran (activity-led
funding formula) yang karakteristik utamanya adalah menggunakan komponen sistem
pendidikan sebagai acuan ketimbang jenis pengeluaran.

4. Menyusun mekanisme anggaran pendidikan yang bottom up yaitu dari sekolah/Madrasah,


Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, Departemen Pendidikan Nasional.
Sehingga anggaran akan berdasar pada kebutuhan bukan anggaran yang berdasarkan proyek.

5. Melihat APBN yang peluangnya sangat sulit untuk mencapai 20% murni (tidak termasuk gaji
guru) alokasinya untuk pendidikan, maka diperlukan membangun peningkatan kesadaran
partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Walaupun tanpa disadari bahwa
sebetulnya sumbangan orang tua murid (masyarakat) sangat besar dibanding dengan biaya
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya dari dana yang dibutuhkan Rp. 426,
326 triliyun orang tua telah menyumbang Rp. 300, 913 triliyun.

KESIMPULAN

Kinerja pendidikan nasional Indonesia masih memprihatinkan. Itu semua terjadi


dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, beberapa diantaranya dapat
terlihat jelas dari pengalokasian pembiayaan/anggaran pendidikan yang rendah dan kurang
memadai, manajerial keuangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak kunjung
membaik, output SDM yang kurang kompetitif, dan sebagainya. Sektor pendidikan di Indonesia
masih tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama
pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan,
maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi
dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun
kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebab,
apabila seruan hanya ditujukan untuk terpenuhinya dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi
tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan,
justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan besar-besaran. Akhirnya,
baik anggaran pendidikan yang besar maupun kecil sama-sama tidak memperbaiki mutu
pendidikan nasional, juga tidak mengurangi beban masyarakat. Dalam konteks ini, kita perlu
berlapang dada tanpa rasa malu sebagaimana Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II
dengan memajukan pendidikannya, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun
kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International, Malaysia yang pada tahun 1970
belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri,
Jepang telah menjadi negara industri terkemuka di dunia, India mampu memainkan peranannya
di berbagai tingkatan Internasional, dan Malaysia lambat laun mulai menjadi capital bagi Asia
Tenggara.

Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka
bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah
bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian
menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa
(character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet
pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin
ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan
nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa
pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi
memajukan pendidikan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang (2007). Analisis kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar. Bandung :


Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Forum Mangunwijaya (2007). Kurikulum Yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan


Alternatif. Jakarta : Kompas.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Fokus
Media.

Wasliman, Iim (2007). Modul Problematika Pendidikan Dasar. Bandung : Sekolah Pascasarjan


Universitas Pendidikan Indonesia.

www.depdiknas.go.id)/040608

http://www.bsnp-indonesia.org/standards/040608)

http://jurnalhukum.blogspot.com/search/label/Analisa%20Putusan/050608)

Anda mungkin juga menyukai