A. Rasional
“We must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eridication is
the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and
strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is
incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem
than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.
Saat ini sudah ada semacam kesadaran bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada
pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada
fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human
resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara
Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk
memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh
hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke
dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari
47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-
masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa
produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya
kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu
semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan
kreativitas (N. Idrus - CITD 1999).
Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan
yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education
in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector
Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan
pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung
pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari
keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan
dengan negara lain, termasuk negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase
anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.
Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards
in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia
adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal,
mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan
datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan
akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Persoalan yang paling mendasar terhadap
berbagai kompleksitas persoalan di atas adalah fokusnya bermuara terhadap kebijakan
pembiayaan pendidikan.
Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W.
McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education:
Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting
pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi
manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan
bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan
bukan pendidikan yang super canggih. Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh
UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat)
pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk
melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live
together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk
menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man
not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea
Selatan, Taiwan, Filifina ataupun Malaysia dan negara-negara tetangga lainnya sekalipun dalam
dua dekade belakangan ini (http://jurnalhukum.blogspot.com/Analisa%20Putusan, diakses
tanggal 5 juni 2008).
Negara Amerika dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dapat dijadikan
pelajaran bagi Indonesia untuk menirunya. Amerika adalah sebuah negara yang menjamin
terlindunginya hak-hak dasar manusia dan warga negara. Salah satu hak dasar yang mendapat
perhatian serius adalah sektor pendidikan. Sehingga pendidikan menjadi prioritas utama dalam
membangun bangsanya. Indonesia juga sebetulnya telah mendeklarasikan diri sebagai negara
yang memprioritaskan pendidikan sebagaimana tercantum pembukaan UUD 1945 dinyatakan
bahwa tujuan didirikannya negara Indonesia adalah “memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Oleh karena itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo fokus visi program
kerjanya pada sistem pembiayaan pendidikan dalam kebijakannya. Ia menegaskan bahwa sistem
pembiayaan dengan mekanisme subsidi silang akan berwatak sosial karena masyarakat yang
mampu secara finansial akan menyubsidi mereka yang kesulitan secara ekonomi.
Semua pihak menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi manusia bagi sebuah
bangsa, dan bahkan dipandang sebagai salah satu faktor ekonomi, sosial dan politik yang
penting. Penyelenggaraan pendidikan tentu memerlukan biaya yang cukup, baik yang harus
ditanggung oleh negara, maupun oleh masyarakat dan orang tua peserta didik. Pada prinsipnya
negara kita telah memberikan jaminan terhadap hak pendidikan bagi rakyat. Hal tersebut
sebagaimana dijelaskan :
3. Dan dijelaskan lagi pada pasal 49 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan alokasi dana
pendidikan minimal 20% dari APBN, dan 20% dari APBD selain gaji dan biaya pendidikan
kedinasan.
4. pasal 34 ayat 1-2 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan ”setiap warga negara yang berusia 6
(enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XIII (Pendanaan Pendidikan) dengan empat pasal (pasal 46,
47, 48 dan 49). Bab ini mengatur tentang tanggung jawab pendanaan (pasal 46), sumber
pendanaan (47), pengelolaan dana pendidikan (pasala 48), dan pengalokasian dana pendidikan
(pasal 49)(Anwar Arifin, 2006:83-84).
2. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku
1. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan Dan belanja Negara (APBN) pada sector
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah ( APBD ).
2. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara ( (APBN )
3. Dana pendidikan dari pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang undangan yang brlaku
4. Dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bnetuk hibah
sesuai dengan perundang undangan yang berlaku
Macam-Macam Biaya
1) Biaya langsung, yaitu biaya yang berasal dari sekolah atau siswa seperti : (1) biaya tambahan
untuk ruangan, papan tulis, dan pakaian; (2) biaya transfortasi, angkutan sekolah, dan (3)
biaya lainnya seperti buku-buku sebi dan perlengkapan olahraga.
2) Biaya tak langsung, seperti : (1) pendapatan yang hilang karena siswa bersekolah; (2)
pembebasan pajak yang secara umum dinikamati oleh lembaga nirlaba, dan (3) biaya yang
berkenaan dengan penyusutan dan bunga bank (bangunan dan perlengkapan).
Sedangkan Supriadi (Iim Wasliman, 2007:229) menyatakan bahwa biaya di bagi ke dalam
tiga kategori, yaitu :
1. Biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung
Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan
pendidikan. Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang secara tidak langsung menunjang
proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah,
misalnya biaya hidup siswa, biaya transfortasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan dan
harga kesempatan (opportunity cost).
Biaya pribadi adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran
rumah tangga. Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk pendidikan,
baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah kemudian
digunakan untuk membiayai pendidikan. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pada
dasarnya termasuk biaya sosial.
3. Biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non monetary cost)
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya
langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa. Kebanyakan biaya langsung berasal dari sistem persekolahan sendiri
seperti SPP, dan sumbangan orang tua murid untuk pendidikan atau yang dikeluarkan sendiri
oleh siswa untuk membeli perlengkapan dalam melaksanakan proses pendidikannya, seperti
biaya buku, peralatan dan uang saku. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan dalam
bentuk kesempatan yang hilang dan dikorbankan oleh siswa selama belajar.
Menurut Cohn (dalam Iim Wasliman, 2007:230) biaya pendidikan dapat dikategorikan
sebagai berikut :
1. Biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang dikeluarkan secara langsung untuk membiayai
penyelenggraan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, seperti gaji guru,
pegawai non edukatif, buku-buku pelajaran dan bahan perlengkapan lainnya. Hal ini
berpengaruh pada hasil pendidikan berupa nilai pengorbanan untuk penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan tersebut.
2. Biaya tak langsung (indirect cost), yaitu meliputi hilangnya pendapatan peserta didik karena
sedang mengikuti pendidikan. Bisa juga berupa keuntungan yang hilang (earning forgone)
dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa
selama belajar.
Perhitungan biaya dalam pendidikan akan ditentukan oleh unsur-unsur tersebut yang
didasarkan pula pada perhitungan biaya yang nyata sesuai dengan kegiatan menurut jenis dan
volumenya. Dalam konsep pembiayaan pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji dan
dianalisis yaitu biaya pendidikan secara keseluruhan dan biaya satuan per siswa.
Biaya satuan ditingkat sekolah merupakan biaya pendidikan tingkat sekolah, baik yang
bersumber dari pemerintah, orang tua dan masyarakat yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
pendidikan dalam satu tahun pelajaran.
Hal tersebut dipertegas pula oleh Howard R. Bowen (Iim Wasliman, 2007:220) yang
menyebutkan bahwa biaya satuan per murid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa
besar uang yang dialokasikan ke sekolah-sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam
menempuh pendidikan. Hal ini ditekankan pula oleh Howard R. Bowen yang mengemukakan
bahwa :”Dengan menganalisis bahwa biaya satuan, memungkinkan untuk mengetahui efisiensi
dalam penggunaan sumber-sumber di sekolah, keuntungan dari investasi pendidikan, dan
pemerataan pengeluaran masyarakat.
Dalam menetapkan biaya pendidikan yang diperlukan, maka harus disusun perencanaan
pembiayaan pendidikan. Maka, suatu proyeksi biaya pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan
dalam kaitannya dengan pembiayaan pendidikan di tingkat negara, yaitu dengan membuat
alternatif proyeksi pendidikan sekurang-kurangnya 5-6 tahun mendatang. Alternatif proyeksi
biaya pendidikan harus didasarkan asumsi-asumsi :
6. Perbedaan biaya yang dibutuhkan berdasarkan pada jarang atau padatnya penduduk
Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa pembiayaan pada suatu persekolahan
terpusat pada penyaluran keuangan dan sumber-sumber pendapatan lainnya untuk pendidikan.
Distribusi atau penyaluran tersebut mencakup dua kategori yaitu bagaimana uang itu diperoleh
dan bagaimana dibelanjakan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik dan sesuai
dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Oleh karena itu dalam menetapkan biaya pendidikan perlu didukung dengan data dan informasi
mengenai siapa yang harus dididik, tujuan dan sasaran apa yang ingin dicapai, program
pendidikan apa yang akan dilakukan sebagai suatu usaha dalam mencapai tujuan dan sasaran
tersebut.
Mengutif dari apa yang dikemukakan Nanang Fatah (2005 : 41) yang mengatakan
bahwa, secara sederhana formulasi pengelolaan dana pendidikan itu mencakup dua aspek, yaitu :
Keberhasilan pengelolaan atas dana pendidikan itu akan menimbulkan berbagai manfaat
diantaranya :
Berdasarkan hal diatas, pengelolaan keuangan pendidikan lebih difokuskan dalam proses
merencanakan alokasi secara teliti dan penuh dengan perhitungan, serta mengawasi pelaksanaan
penggunaan dana, baik untuk biaya oprasional maupun biaya kapital, disertai dengan bukti-bukti
secara administratif dan fisik ( material ) sesuai dengan dana yang dikeluarkan (Nanang fatah :
2005 )
Dalam Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya
investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya
manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses
pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud di atas meliputi:
1. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
3. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan
sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya (http://www.bsnp-indonesia.org, diakses tanggal 5 juni 2008).
Analisis (Standar
kinerja deviasi
Revisi
Implementasi
Implementasi
Anggaran
Model diadaptasi dari Makalah Seminar Pendidikan, Prof. Dr. Nanang Fattah 13
September 2006.
Pendidikan memberikan peran yang sangat penting bagi kemakmuran ekonomi suatu
bangsa. Anthony Giddens dalam The Global Third Way Debate (2002) bahwa “kemakmuran
ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan kemampuannya dalam kapasitas inovasi,
pendidikan, dan riset (seperti Jepang, Amerika, Israel, China, Korea Selatan).
Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh
cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah,
proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya
pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.
Lalu bagaimana dengan politik pendidikan Indonesia sekarang ini? Taruhlah sekarang ini
ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan,
dan anggaran pendidikan. Masih segar juga di ingatan kita, ketika masa kampanye Pemilihan
Umum berlangsung beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih
baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000
guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji
politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan, karena itu semua amat
tergantung pada situasi dan iklim politik, sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan
William Lowe Boyd (1994) dalam "Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight
From Democracy".
Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah
terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak
pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat
maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit
untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi
negara berkembang terbesar kedua di Asia setelah China, sedangkan Malaysia banyak bergerak
maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan
pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-
sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang
bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.
Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya
lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa
adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien.
Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk
pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih
tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan
penundaan untuk “menerbitkan” badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang
tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang
cukup besar.
Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen
penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran
pendidikan yang disetujui DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak
pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila
kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana pembelajaran seperti media pembelajaran,
laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan
tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa
diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas
pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan
yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau
memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang
dimilikinya, seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur
pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai
kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan
membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas
toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang
mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi
yang total mencapai triliunan rupiah. Laporan ini juga selalu menempatkan
Departemen Pendidikan sebagai departemen terkorup nomor dua setelah Departemen Agama.
Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan
kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan
manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah
telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam
pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka
lumbung korupsi yang lebih besar.
Secara sistematis dari uraian di atas terdapat beberapa persoalan yang terkait dengan
pembiayaan pendidikan di Indonesia, di antaranya :
1. Faktor kultural. Di Indonesia terjadi pandangan yang kurang tepat terhadap pendidikan.
Pendidikan oleh sementara orang dianggap sebagai pemborosan atau bahkan konsumtif.
Karena itu ketika harus mengeluarkan pembiayaan atau pendanaan pendidikan yang besar
dianggap sebagai kebijakan yang kurang tepat. Sehingga belum tertanam bahwa pendidikan
bukanlah investasi masa depan yang sangat berharga bagi suatu individu, masyarakat,
bangsa dan negara.
1. Mengubah mekanisme pendanaan pendidikan secara efisien dan efektif. Yaitu dengan
mengatur kejelasan dan koordinasi peruntukan dana pendidikan yang berasal dari berbagai
sumber (yaitu dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota). Sehingga tidak terjadi tumpang
tindih kebijakan pendanaan yang jauh dari sasaran pendidikan. Oleh karena itu penyaluran
dana masing-masing tidak melalui banyak proyek.
2. Memperbaiki mekanisme dan prosedur alokasi dana sehingga akan terhindarkan terjadinya
tumpang tindih dalam pemberian dana ke sasaran pendidikan dan komponen yang dibiayai.
3. Pembiayaan pendidikan melalui pendekatan : berbasis kegiatan pembelajaran (activity-led
funding formula) yang karakteristik utamanya adalah menggunakan komponen sistem
pendidikan sebagai acuan ketimbang jenis pengeluaran.
5. Melihat APBN yang peluangnya sangat sulit untuk mencapai 20% murni (tidak termasuk gaji
guru) alokasinya untuk pendidikan, maka diperlukan membangun peningkatan kesadaran
partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Walaupun tanpa disadari bahwa
sebetulnya sumbangan orang tua murid (masyarakat) sangat besar dibanding dengan biaya
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya dari dana yang dibutuhkan Rp. 426,
326 triliyun orang tua telah menyumbang Rp. 300, 913 triliyun.
KESIMPULAN
Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka
bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah
bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian
menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa
(character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet
pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin
ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan
nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa
pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi
memajukan pendidikan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Fokus
Media.
www.depdiknas.go.id)/040608
http://www.bsnp-indonesia.org/standards/040608)
http://jurnalhukum.blogspot.com/search/label/Analisa%20Putusan/050608)