Anda di halaman 1dari 6

Gagasan

Enrichment

A. Tunanetra ringan (low vision)

- Menurut buku pendidikan dan bimbingan anak berkebutuha khusus dari Jati Rinakri
Atmaja, M.Pd
Low vision merupakan mereka yang memiliki hambatan dalam pennglihatan, ttetapi
mereka masih dapat mengikuti program-progam pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan atau kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.

- Menurut buku psikologi anak luar biasa dari Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M. Si., psi.
Low vision merupakan bila anak masih mampu menerima rangsangan cahaya dari luar
tetapi ketajamanya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline
pada surat kabar.

- Menurut buku pengantar pendidikan anak berkebutuhan khusus penerbit universitas


tebuka
Seseorang yang dikatakan tunanetra ringan apabila setlag dikoreksi penglihatannya
masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat ditibgkatkan melalui
penggunaan alat-alat bantu optic dan modifikasi lingkungan (Corn & Ryser, 1989).

B. Tunanetra setengah berat (partially sighted)

- Menurut buku pendidikan dan bimbingan anak berkebutuha khusus dari Jati Rinakri
Atmaja, M.Pd
Partially sighted merupakan mereka yang kehilangan sebagia daya penglihatan, hanya
dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu
membaca tulisan yang bercetak miring.

C. Tunanetra berat (totally blind)

- Menurut buku pendidikan dan bimbingan anak berkebutuha khusus dari Jati Rinakri
Atmaja, M.Pd
Totally blind yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.

- Menurut buku pengantar pendidikan anak berkebutuhan khusus penerbit universitas


tebuka
Seseorang yang dikatakan tunanetra berat apabila dia yabg sama sekali tidak memiliki
penglihatan atau hanya memiliki persepsi cahaya (Barrga & Erin 1991) sehingga untuk
keperluan belajarnya dia menggunakan indera-indera nonpenglihatan.
PEMBAHASAN

A. Pengertian tunanetra

Persatuan tunanera Indonesia/pertuni (2004) mendefenisikan ketunanetraan sebgai berikut.


Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali, hiingga mereka
yang masih memiliki sisa penglihatan, tetapi tidak mampu menggunkan penglihatannya untuk
membaca tulisan biasa berukuran 12 poin dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu
dengan kacamata (kuarang awas). Sementara itu, jika dilihat dari sudut pandang pendidikan,
seorang anak yang di katakan tunanetra bila media yang di gunakan untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran adalah indera peraba ataupun anak yang bisa membaca dengan cara dilihat dan
menulis, tetapi dengann ukuran lebih besar, anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif,
social, emosi, motoric dan kepribadinan yang sangat bervarisi.

Dapat di simpulkan bahwa tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi
sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-
anak dengaan gaangguan penglihatan ini dapat di ketahui dalam kondisi sebagai berikut:
 Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang di miliki orang awas.
 Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
 Posisi mata dikendalikan oleh syaraf otak
 Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.

1. Perkembangan kognitif anak tunanetra

Kognitif merupakan presepsi individu tentang orang lain dan objek yag diorganisasikan
secara selektif. Anak tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan keterhambatan
dalam menerima rangsangan atau informasi dari luar dirinya melalui indera
penglihatannya. Penerimaan rangsangaan hanya dapat dilakukan melalui pemanfaatan
indera lain di luar indera penglihatannya. Namun karena dorongan dan kebutuhan anak
untuk tetap mengenal dunia sekitarnya, anak tunanetra biasanya menggantikannya
dengan inndera pendengaran sebagai saluran utama penemrima informasi. Sedangkan
indera pendengaran hanya mampu menerima informasi dari luar yang beurpa suara.
Dengan suara seseorang hanya mampu mendeteksi dan menggambarkan tentang arah,
sumber, jarak.

Jika aktivitas imitative pada anak normal diperoleh melalui stimulasi visual, maka pada
anaak tunanetra harus di rangsang melalui stimulasi pendengaran. Kecenderungan anak
tunanetra menggantikan indera penglihatan dengan indera pendengran sebagai saluran
utama penerima informasi dari luar mengkibatkan pembentukn pengertian atau konsep
hanya berdasarkan pada suara atau bahasa lisan. Akibatnya seringkali tidak
menguntungkan bagi anak, yaitu kecenderungan pada anak tunanetr untuk
menggunakan bahasa tanpa tahu makna yang sebenarnya.
Karena kurangnya stimulasi visual, perkembangan bahasa anak tunanetra juga tretinggal
disbanding anak awas. Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata terbagi atas dua
golongan, yaitu kata-kaata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalaman sendiri,
dan kata-kata verbalistis yang diperlehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak
memahaminya. Komunikasi nonverbal pada tunanetra juga merupakann hal yang
kuurang di pahaminya karena kemampuan ini sangat tergantunng pada stimulasi visual
dari lingkungannya. Dalam hal pemahaman bahasa, berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan anak awas, kosakata anak tunanetra
cenderung bersifat definitive, anak awas cenderung lebih luas.

Akibat dari ketunanetraan membawa konsekuensi terhadap terhambatnya


perkembangan kognitif anak tunanetra. Hal ini disebabkan perkembangan kemampuan
kognitif seseorang menuntut partisipasi aktif, peran dan fungsi penglihatan sebagai
saluran utama dalam melakukan pengamatan terhadap dunia luar.

Pada akhirnya, bagaimana perkembangan anak tunanetra sangat tergantung pada


bagaimana jenis ketunaetraan anak, kapan terjadinya ketunanetraan, bagaimana tingkat
pendidikan anak, dan bagaimana lingkungan terhadap upaya-upaya perkembangan
kognitifnya.

2. Perkembangan sosial anak tunanetra

Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk


bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra
penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah.
Dibandingkan dengan anak awas, anak tunanetra lebih banyak menghadapi
msalah dalam perkembangan sosial. Hambatan- hambatan tersebut terutaama
muncul sebagai akibat langsug maupun tidak lansgung dari ketunanetraannya.
Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas
atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat yang
seringkali menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak acuh,
ketidakjelasan tuntunan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk
belajar tnetang pola tingkah laku yang di terima merupakan kecenderungan
tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi
terhambat.

Pada akhirnya dapat di simpulkan bahwa bagaimana perkembangan sosial anak


tunanetra sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan
lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetranitu sendiri.
Akibat ketunanetraan secara langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan anak
untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasan
lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya,
serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak utuk
memasuki lingkungan sosianya secara bebas dan aman.

3. Perkembangan emosi anak tunanetra

Salah satu variable determinan perkembangan emosi adalah variable


organisme, yaitu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang
mengalami emosi. Sedangkan variable lainnya adalah stimulus atau rangsangan
yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan
emosi yang dating dari lingkungannnya. Secara umum dari ketig variable
tersenut yang dapat diubah oleh pendidikan adalah variable organisme.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberi respon secara


emosional sudah di jumpai sejak baru lahir. Mula-mula bersifat tak terdiferensi
atau random dan cenderung disampaikan dalam bentuk perilaku atau respon
motorik menuju kearah terdeferensi dan dinyatakan dalam respn-respon yang
bersifat verbal. Perkembangan emosi juga sangat dipengaruhi oleh kematangan,
terutama kematangan intelektual dan kelenjar endokrin, serta proses belajar
baik melalui proses belajarcoba-coba gagal, imitasi, maupun kondisioning.
Namun proses belajar jauh lebih penting pengaruhnya terhadap perkembangan
emosi dibandingkan dengan kematangan karena proses belajar dapatdi
kendalikan atau dikontrol. Kematangan emosi di tunjukkan dengan adanya
keseimbangan dalam mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun
tidak.

Berdasarkan urain diatas, dapat kita pradugakan bahwa perkembangn emosi


anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkn dengan anak
yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar.

Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak


tersebut mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaaan dimana anak tunanetra
tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi
yang menyenangkan. Disamping itu, ada kecenderungan bahwa anak tunanetra
yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan
bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut
pertolongan dan kasih saying dari orang-orang di sekitarnya.

4. Perkembangan fisik anak tunanetra

Ketunanetraan itu sendiri tidak mempengaruhi secara langsung terhadap


perkembangan dan pertumbuhan fisik yang menyebabkan anak tunanetra
mengalami hambatan atau keterlambatan. Perkembangan motorik anak
tunanetra pada bulan-bulan awal tidak berbeda dengan anak awas Scholl,
1986: 73), tetapi karena fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas
lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi,
keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian terhadap
melakukan sesuatu ) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat
dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas gerak motorik.
Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung
berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat. Pada anak – anak yang
awas (melihat) kegiatan motorik sangat dipengaruhi oleh rangsangan visual
yang ada di sekitar anak. Ketika anak melihat benda yang menarik perhatiannya
timbul keinginan untuk meraih benda tersebut. Dengan kegiatan semacam ini
yang terjadi terus menerus dengan sendirinya memberikan dampak positif
terhadap perkembangan motorik, berbeda dengan anak tunanetra yang hanya
akan tahu batas wilayah ruang geraknya sepanjang jangkauan tangan dan
kakinya sehingga pada akhirnya mengalami masalah perkembangan perihal
orientasi dan mobilitasnya.

Banyak anak tunanetra mengalami keterlambatan pertumbuhan dan


perkembangan fisik karena faktor lingkungan. Orang tua sering memberikan
perlindungan yang berlebihan dan kurang memberi kesempatan pada anak
tunanetra untuk belajar bergerak atau melakukan aktivitas motorik dan
menggunakan tubuhnya untuk mengenal lingkungannya. Orang tua sering salah
mengerti bahwa kalau tidak melindungi anak dianggap tidak menyayangi
anaknya

Anda mungkin juga menyukai