Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertian Tunanetra
Setyaningrum (2017) menyatakan bahwa anak tunanetra merupakan
individu yang mengalami gangguan penglihatan. Atmaja (2018) menyatakan
bahwa individu dari sudut pandang medis dikatakan tunanetra ketika
memiliki visus 20/200 atau memiliki lantang pandangan kurang dari 20
derajat. Dari sudut pandang pendidikan, individu dikatakan tunanetra ketika
media yang digunakan untuk belajar yaitu indra peraba atau membaca dna
menulis dengan ukuran tulisan yang lebih besar. Anak tunanetra merupakan
anak yang indra penglihatannya tidak dapat berfungsi sebagai penerima
informasi. Kondisi umum anak dengan tunanetra:
1. Ketajaman penglihatan kurang dari yang dimiliki individu normal
2. Terdapat kekeruhan pada lensa mata
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
4. Terdapat kerusakan susunan saraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan
B. Klasifikasi Anak Tunanetra
Klasifikasi berdasarkan kemampuan daya penglihatan
1. Low Vision (tunanetra ringan)
Kirk dan Galagher (Firmanda, 2014) menyatakan bahwa low vision
merupakan individu dengan ketajaman penglihatan 20/70 – 20/200
setelah mendapatkan perbaikan penglihatan. Luckasson (Firmanda,
2014) menyatakan bahwa low vision merupakan individu yang
diklasifikasikan sebagai penyandang tunanetra dimana masih
memiliki sisa penglihatan dengan menggunakan alat bantu.
Soemantri (Setyaningrum, 2017) menyatakan bahwa anak tunanetra
kurang penglihatan masih mapu menerima ransangan cahaya dari
luar tetapi dengan menggunakn alat bantu optikal atau non optikal
atau hanya mampu membaca huruf vsual yag diperbesar sebesar
headline di surat kabar. Atmaja (2018) menyatakan bahwa tunanetra
ringan merupakan individu yang memiliki hambatan penglihatan
tetapi masih mampu mengikuti pendidikan dan melakukan kegiatan
sehari-hari
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted)
Merupakan individu yang kehilangan daya penglihatan dimana
menggunakan kaca pembesar untuk mengikuti pendidikan atau
membaca tulisan yang bercetak tebal.
3. Blindness (tunanetra berat/ totally blind)
Setyaningrum (2017) menyatakan bahwa anak tunanetra buta total
merupakan anak yang sama sekali tidak mendapatkan ransangan
cahaya dari luar. Atmaja (2018) menyatakan bahwa buta total
merupakan indiivdu yang sama sekali sudah tidak dapat melihat.
C. Karakteristk Anak Tunanetra
1. Rasa curiga terhadap individu lain
Tidak dapat melihat individu lain saat berkomunikasi dan berinteraksi,
sehingga tidak bisa mengetahui bagaimana ekspresi dari lawan bicara
dan hanya bisa mendengarnya saja. Hal tersebut mendorong rasa curiga
dan tidak aman pada individu dengan tunanetra ketika individu lain
berbicara dengan berbisik atau kurang jelas.
2. Mudah tersinggung
Ketika individu lain bercanda atau saling membicarakan dapat membuat
individu dengan tunanetra tersinggung. Hal tersebut terjadi karena
dipengaruhi oleh keterbatasan audio atau pendengaraan. Untuk atasi hal
tersebut, individu dengan tunanetra perlu dikenalkan pada lingkungan
sekitar bahwa setiap individu memiliki karakteristik dan cara berteman
yang berbeda-beda.
3. Verbalisme
Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrak
sangat terbatas, seperti pelangi. Hal tersebut terjadi karena tidak ada
media konkret yang dapt menjelaskan konsep abstrak tersebut, sehingga
hanya bisa dijelaskan melalui verbal. Hal tersebut membuat pemahaman
mengenai konsep abstrak pada individu dengan tunanetra hanya
sebatas verbal (kata-kata)
4. Perasaan rendah diri
Keterbatasan pada individu dengan tunanetra berdampak pada konsep
diri yang dimiliki. Hal tersebut terjadi karena timbul perasaan rendah diri
untuk bergaul atau berkompetisi dengan individu lain. Perasaan tersebut
sangat dirasakan ketika individu dengan tunanetra menerima penelokan
dari indivdu lain, seperti ditolak main bersama.
5. Adatan
Adatan merupakan upaya ransangan pada individu dengan tunanetra
melalui indra nonvisual, seperti menggerakkan kaki ketika duduk atau
menggelengkan kepala. Adatan dilakukan oleh individu dengan
tunanetra ketika berada pada kondisi dimana tidak terdapat ransangan.
6. Suka berfantasi
Individu dengan tunanetra hanya dapat berfantasi dimana individu
normal biasanya bisa memandang atau melihat sekitar untuk mencari
informasi.
7. Berpikir kritis
Keterbatasan informasi visual dapat mendorong individu dengan
tunanetra untuk berpikir kritis terhadap suatu masalah. Individu dengan
tunanetra memechakan masalah dengan fokus dan kritis berdasarkan
informasi yang telah diperoleh serta terhindar dari pengaruh visual
8. Pemberani
Individu dengan tunanetra yang memiliki konsep diri yang baik dapat
memiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan,
keterampilan, dan pengalaman. Hal tersebut mendorong individu untuk
mandiri dan menerima keadaan, sehingga dapat berusaha untuk
mencapai cita-cita.
D. Penyebab Anak Tunanetra
1. Prenatal
a. Keturunan (penyakit retinitis pigmentosa, menyebabkan kemunduran
pada retina)
b. Penyakit menahun (seperit TBC)
c. Infeksi atau luka akibat rubella atau cacat air
d. Infeksi karena penyakit toxoplasmosis, trachoma, dan tumor
e. Kerkurangan vitamin
f. Penyakit sifilis
g. Kecelakaan atau keracunan obat atau mengomsumsi alkohol ketika
hamil
h. Malnutrisi berat pada tahap embrional (minggu ke-3 sampai ke-8)
2. Perinatal
a. Proses kelahiran yang sulit (harus keluar dengan alat bantu vakum)
b. Menderita penyakit gonore, sehingga kuman GO dapat menular ke
bayi ketika proses melahirkan
c. Retroplenta fibroplasia dimana terjadi ketika bayi lahir sebelum
waktunya serta mendapatkan konsentrasi oksigen yang tinggi selama
di inkubator
3. Postnatal
a. Kekurangna vitamin A
b. Diabetes melitus dapat menyebabkan kelainan pada retina
c. Darah tinggi dapat membuat pandangan kabur
d. Stroke dapat memicu kerusakan pada saraf mata
e. Radang kantung air mata, radang kelenjar kelopak mata,
hemangiona, retinoblastoma, efek obat atau zat kimiawi
f. Kecelakaan
g. Mengalami penyakit mata, seperti katarak, trachoma, xeropthalmia,
glaucoma, diabetic retrinopathy, macular degeneration, retinopathy
of prematury
E. Dampak Anak Tunanetra
1. Dampak terhadap perkembangan motorik
Anak tunanetra tidak dapat melihat lingkungannya, sehingga anak
kehilangan stimulasi visual yang diperlukan untuk merangsang motorik
anak. Akibat hal tersebut, anak tunanetra kehilangan motivasi bergerak
dan mengalami hambatan fisik terutama dalam pergerakan tubuh seperti
koordinasi tangan dan motorik halus untuk mengenal lingkungan.
2. Dampak terhadap perkembangan kognitif
Respons individu terhadap orang dan objek bergantung pada bagaimana
orang dan objek tersbut terlihat dalam dunia individu, anak tunanetra
harus menggantikan fungsi penglihatan dengan indra lain untuk
mempersepsi lingkungannya. Hal tersebut membuat anak tunanetra tidak
pernah mempunyai pengalaman visual sehingga pandangannya dengan
individu pada umumnya berbeda. Dengan hilangnya penglihatan, anak
tunanetra mengalami hambatan kognitif khususnya dalam hal stimulasi
sensoris dan pengembangan konsep-konsep.
3. Dampak terhadap perkembangan bahasa
Anak tunanetra jarang mengalami hambatan dalam hal pemerolehan
bahasa. Hal tersebut karena persepsi auditif lebih berperan dalam proses
berbahasa dibanding proses visual. Banyak anak tunanetra justru lebih
termotivasi menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran
utama berkomunikasi dengan individu lain. Jika anak tunanetra
mengalami hambatan berbahasa, hal tersebut bukan semata-mata
karena keterbatasannya, melainkan karena cara orang lain
memperlakukannya sehingga menghambat perkembangan individu
tunanetra.
4. Dampak terhadap keterampilan sosial
Pada umumnya orangtua anak difabel akan mengalami tiga tahap duka
yakni tahap penolakan, tahap penyesalan, dan tahap penerimaan yang
mungkin akan dicapai setelah bertahun-tahun. Sikap orangtua tersebut
berpengaruh terhadap hubungan orangtua dengan anak tersebut, dan
hubungan tersebut akan memengaruhi perkembangan emosi dan sosial
anak.
5. Dampak terhadap mobilitas
Kemampuan mobilitas merupakan yang paling terpengaruh pada anak
tunanetra, yakni kemampuan bergerak secara leluasa dalam
lingkungannya. Kemampuan mobilitas sangat bergantung pada
kemampuan orientasi, yakni memahami hubungan lokasi antara satu
objek dengan objek lainnya di lingkungan.
F. Intervensi Atau Pendidikan Anak Tunanetra
1. Menciptakan lingkungan fisik yang aksesibel agar mudah dihampiri,
dilewati, atau dimasuki individu difabel
2. Tidak memberikan perhatian dan perlindungan yang berlebihan atau
overprotective agar tidak menghambat perkembangan anak tunanetra
3. Memberikan bimbingan dan konseling yang tidak hanya fokus pada
peran anak sebagai siswa di sekolah, tetapi juga perannya sebagai
anggota berbagai macam organisasi kehidupan dan budaya
4. Menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi anak dengan tunanetra,
terdapat komponen penting dalam lingkungan belajar anak menurut
Blocher, yakni:
a. Struktur kesempatan, yang ditentukan oleh jumlah dan rentang
kesempatan dimana siswa dapat mencoba menerapkan perilaku
barunya yang mengarah pada keberhasilan mengontrol situasi di
lingkungan yang bersangkutan
b. Struktur dukungan, yakni pemberian bantuan kepada individu untuk
mengatasi stres dalam pembelajaran. Terdiri dari dua elemen yakni
hubungan antarmanusia yang positif, hangat, mendorong, berempati,
dan perhatian optimal pada individu dalam menghadapi stres belajar,
serta memberi strategi dan kerangka kognitif yang membantu individu
belajar berbagai cara yang tepat dalam menghadapi tugas-tugas
yang penuh tantangan
c. Struktur imbalan, yakni lingkungan yang merangsang antusiasme
dan komitmen individu untuk menyelesaikan tugas-tugas dan
menghadapi tantangan, imbalan yang bermakna bagi individu akan
membuat individu rela mengorbankan waktu, energi, dan harga
dirinya untuk memperoleh hal tersebut.
G. Model Pelayanan Pendidikan Anak Tunanetra
1. Pendidikan Khusus (SLB)
a. Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra merupakan sekolah yang hanya
memberikan layanan pendidikan bagi anak tunanetra
b. Sekolah Dasar Luar Biasa merupakan sekolah yang memberikan
pendidikan khusus bagi anak dengan berbagai macam kelainan
2. Pendidikan Terpadu
Model pelayanan pendidikan yang diberikan bagi anak berkebutuhan
khusus yang dilakukan bersama dengan anak normal dalam satuan
pendidikan di sekolah regular (SD, SMP, SMA, dan SMK) dengan
menggunakan kurikulum lembaga pendidikan yang bersangkutan. Anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa
dan hanya memiliki satu jenis kelainan. Hal tersebut dilakukan agar
beban guru tidak terlalu berat.
Hal-hal yang harus disiapkan dalam pendidikan terpadu:
a. Guru Pembimbing Khusus (GPK)
b. Ruangan untuk anak berkebutuhan khusus. Ruangan tersebut dibuat
dengan tujuan bila anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan
dalam belajar di kelas, maka ia akan dibawa ke ruangan tersebut dan
diberi bimbingan oleh guru PLB. Bimbingan tersebut berupa bantuan
untuk memahami materi, menggunakan alat bantu, pengayaan, dan
rehabilitas sosial (yang mengalami kesulitan bergaul).
c. Tiga bentuk pendidikan terpadu berdasarkan depdiknas:
1.) Bentuk kelas biasa (Keterpaduan penuh), anak berkebutuhan
khusus belajar bersama di kelas biasa dengan menggunakan
kurikulum yang bersangkutan. Pendekatan, metode, cara nilai
sama dengan sekolah umum, namun ada beberapa mata
pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak. GBK
hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru,
atau orangtua anak yang menasihati soal kurikulum dan
permasalahan ABK.
2.) Kelas biasa dengan ruangan bimbingan khusus (Keterpaduan
Sebagian), ABK belajar di kelas biasa, menggunakan kurikulum
bersangkutan, dan mengikuti pelayanan khusus untuk mata
pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti ABK bersama dengan
anak normal. Contoh: anak tunanetra diberikan alat tulis Braille di
ruang bimbingan khusus
3.) Bentuk kelas khusus (Keterpaduan Lokal), ABK mengikuti
pendidikan dengan kurikulum SLB secara penuh di kelas khusus
sekolah umum. GBK berfungsi sebagai pelaksana program di
kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara nilai yang biasa
digunakan di SLB. Keterpaduan tersebut hanya bersifat fisik dan
sosial (nonakademik)
3. Guru Kunjung
Pelayanan pendidikan tersebut diberikan bila anak berkebutuhan khusus
berhalangan dalam belajar di sekolah khusus atau umum seperti tempat
tinggal sulit dijangkau karena kemampuan mobilitas yang terbatas, jarak
rumah-sekolah terlalu jauh, kondisi anak tidak memungkinkan, dan
menderita penyakit parah.

Daftar Pustaka
Atmaja, J. R. (2018). Pendidikan dan bimbingan anak berkebutuhan khusus. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Firmanda, T. H. (2014). Penyesuaian diri penyandang low vision dalam melewati
pendidikan di Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi Tabularasa, 9(1), 1-14.
Setyaningrum, O. (2017). Faktor penyebab rendahnya keaktifan belajar anak tunanetra
kurang lihat (low vision) kelas 3 Sekolah Dasar di SLB Negeri 1 Bantul. Jurnal
Widia Ortodidaktika, 6(1), 62-73.

Anda mungkin juga menyukai