Anda di halaman 1dari 9

Penerapan Terapi Modelling Pada Anak Tunanetra Untuk

Mendapatkan Rasa Percaya Diri

Dosen Pengampu :

Dra. Psi. Mierrina, M. Si.

Penyusun :
M. Alifian Zulkarnaen (B93218148)
M. Surya Utama (B73218102)

Moh. Alif Anjabi (B03218027)


M. Dimas Ulul Albab (B03218025)
M. Ilham Fajrianto Apriansyah (B93217144)

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, namun dibalik
kesempurnaan itu terdapat beberapa orang yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang dimiliki
individu tidak selamanya dipandang sebagai hal yang wajar sehingga terdapat pihak yang
berpandangan bahwa individu yang memiliki keterbatasan tidak sama dengan individu pada
umumnya yang sempurna baik fisik maupun mentalnya.
Pandangan yang tidak mewajarkan terhadap individu yang memiliki keterbatasan terjadi pada
masa Renaissance, pada masa itu anak yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental
diperlakukan dengan buruk (dianggap sebagai manusia yang kerasukan roh jahat).
Mata adalah salah satu kompenen terpenting dalam kehidupan. Karena dalam beraktifitas
manusia pada umumnya selalu menggunakan penglihatannya, dengan mata kita dapat mengamati
dan mengetahui segala sesuatu dengan lebih baik, tentunya tanpa mengesampingkan alat indra
yang lain. Mata adalah sumber cahaya, dari sana kita tahu apa itu biru, putih, hitam dan lainnya.
Apa jadinya jika nikmat melihat tidak diizinkan menyertai kehidupan kita?. Ibarat pepatah berkata
: “tiada gading yng tak retak’, hal ini senada dengan makna bahwa tiada manusia yang sempurna.
Lalu apa itu tunanetra?, apa saja hal yang dapat menyebabkannya, bagimana seorang anak dapat
mengikuti proses penddikan? Bukankah setiap manusia berhak mendapat pengarahan pendidikan
yang layak?
Oleh karena itu, para calon pendidik perlu mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan anak
berkebutuhan khusus. Terutama mengenai anak tunanetra, agar mampu menyalurkan pendidikan
dan menerapkan strategi pembelajaran sesuai dengan porsi, posisi dan tujuannya secara tepat.
Banyak kasus yang terjadi berkenaan dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah-
sekolah umum, termasuk di Sekolah Dasar (SD) yang perlu mendapatkan perhatian dan layanan
pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Masing-masing anak memiliki
karakteristik dan keunikan tersendiri, khususnya mengenai kebutuhan dan kemampuannya dalam
belajar di sekolah.
Anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri
dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada
umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan
pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam
upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Anak-anak tersebut, tentu saja tidak dapat
dengan serta merta dilayani kebutuhan belajarnya sebagaimana anak-anak normal pada umumnya.
Guru di sekolah haruslah dapat memberikan layanan pendidikan pada setiap anak berkebutuhan
khusus, hanya sayangnya masih banyak guru-guru di sekolah dasar yang belum memahami tentang
anak berkebutuhan khusus. Hal demikian tentu saja mereka juga tidak akan dapat memberikan
layanan pendidikan yang optimal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ABK Tunanetra


Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat awam khususnya sering menganggap bahwa
istilah tunanetra sering disamakan dengan buta. Pandangan masyarakat tersebut didasarkan pada
suatu pemikiran yang umum yaitu bahwa setiap tunanetra tidak dapat melihat sama sekali.
Secara etimologis, kata tuna berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki; netra berarti
mata atau penglihatan. Jadi tunanetra berarti kondisi luka atau rusaknya mata, sehingga
mengakibatkan kurang atau tidak memiliki kemampuan persepsi penglihatan. Dari pengertian
tersebut dapat dirumuskan bahwa istilah tunanetra mengandung arti rusaknya penglihatan .
Rumusan ini pada dasarnya belum lengkap dan jelas karena belum tergambarkan apakah keadaan
mata yang tidak dapat melihat sama sekali atau mata rusak tetapi masih dapat melihat, atau juga
berpenglihatan sebelah. Sedangkan pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah tidak dapat melihat dan menurut literatur berbahasa Inggris yaitu visually
handicapped atau visually impaired. Banyak orang yang memberikan definisi tentang tunanetra
tergantung dari sudut pandang seseorang berdasarkan kebutuhannya.
Menuru Hallahan dan Kauffman, terdapat dua cara yang sangat umum untuk
mendefinikasikan gangguan penglihatan (Tunanetra), yaitu definisi menurut hukum (legal) dan
definisi secara edukasional.1 Definisi menurut hukum, yang meliputi penilaian terhadap ketajaman
visual dan keluasan bidang pandang (field), digunakan untuk menentukan apakah seseorang
memenuhi syarat atau tidak untuk mendapatkan manfaat hukum yang tersedia bagi orang-orang
yang mengalami gangguan penglihatan. Menurut definisi tersebut, orang yang buta adalah orang
yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang, baik dengan koreksi (misalnya
menggunakan kacamata) maupun tidak, atau orang yang memiliki keluasan bidang pandang yang
sempit dengan besar sudut pandang tidak lebih dari 200. Pecahan 20/200 bermakna bahwa orang
(dengan gangguan penglihatan ) melihat pada jarak 20 kaki (feet) apa yang orang normal lihat pada
jarak 200 kaki (ketajaman visual normal adalah 20/200).

Definisi secara edukasional banyak digunakan oleh para pendidik karena memiliki nilai
bahwa klasifikasi menurut hukum tidak lagi memadai. Para pendidik mengamati bahwa ketajaman
visual bukanlah peramalan yang sangat akurat tentang bagaimana seseorang itu akan berfungsi
atau menggunakan sebesar apapun sisa penglihatan yang mereka punya untuk tujuan pendidikan,
individu yang mengalami kebutaan adalah individu yang sangat terganggu yang harus diajarkan
membaca dengan huruf Braille atau dengan menggunakan metode aural (audiotape). Tunanetra
juga bisa dijadikan sebagai individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi

1
Rini Hildiyani, Penanganan Anak Berkelainan, (Jakarta: Universitas terbuka, 2009), hlm 8.3
sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas. Tunanetra di
bagi menjadi dua yaitu:

1. Kurang awas (low vision), yaitu anak yang masih memiliki sisa penglihatan sedemikian
rupa sehingga masih dapat sedikit melihat atau membedakan mana yang gelap dan terang.
2. Buta (blind), yaitu anak yang sudah tidak bisa atau tidak memiliki sisa penglihatan
sehingga tidka bisa membedakan mana yang gelap dan terang.
Kebutaan: Seorang tunanetra memiliki tingkat kehilangan penglihatan yang sangat tinggi atau
kebutaan total. Sekitar 18% dari tunanetra adalah mengalami kebutaan total sedangkan 82%
sisanya masih dapat membedakan antara terang dan gelap. 2
Berdasarkan definisi diatas yang telah di sebutkan dapat di simpulkan bahwa tunanetra
termasuk golongan dalam dua kelompok, yaitu tunanetra dengan buta total dan tunanetra yang
awas atau memiliki keterbatasan penglihatan. Selain itu adapula seorang yang mengalami kebutaan
sejak lahir ataupun mengalami kebutaan akibat kecelakaan, pertambahan usia atau tidak sejak
lahir.
Teori ini menekankan proses pembelajaran perilaku melalui imitasi. Tanpa informasi visual,
peniruan dipelajari dari informasi melalui pendengaran dan sentuhan serta model fisik. Proses
imitasi diterima dengan reward, penguatan dan motivasi akan memperkuat kemudian ketrampilan
sosial yang dipelajari dan perilaku sasaran. Selain itu, guru, orang tua dan masyarakat memiliki
peran penting dalam membantu dan melatih anak tunanetra untuk meningkatkan keterampilan
sosialnya. Dampak dari model intervensi yang diusulkan, keterampilan sosial anak tunanetra akan
ditingkatkan sehingga dapat bersosialisasi secara efektif dengan anak tipikal.3

B. Penyebab ABK Tunanetra


Penyebab terjadinya Tunanetra pada dasarnya sangat beraneka ragam, baik itu Pre-natal
(sebelum kelahiran) dan Post-natal (setelah kelahiran).
1. Prenatal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa Pre-natal sangat erat hubungannya dengan
masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan antara lain:
 Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan
bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra.
Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinis Pigmentosa, penyakit
pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit
menyebabkan mundur atau memburuknya retina.

2
BBC. (2007) “What is the Definition of Blindness”, situs: http://www.bbc. co.uk/health/conditions/blindness1.shtml.
[10 Oct 2008].
3
Norshidah Mohamad Salleh, Khalim Zainal, Instructional Model for Social Skills Intervention Children with Visual
Impairment, Scientific Research Publishing, Creative Education 9, 2018
 Pertumbuhan Anak Dalam Kandungan
Ketunanetraan yang di sebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan
dapat disebabkan oleh, Gangguan waktu ibu hamil, penyakit menahun TBC, infeksi
atau luka yang dialami oleh ibu hamil, akibat terkena rubella atau cacar air, infeksi
karena penyakit kotor, dan kurangnya vitamin tertentu.

2. Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa Post-natal dapat terjadi sejak atau setelah
bayi lahir antara lain:
 Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-
alat atau benda keras.
 Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorhe, sehingga baksil gonorhe
menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan
berakibat hilangnya daya penglihatan.
 Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya
a) Xeropthalmia: yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A
b) Trachoma: yakni penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis
c) Catarac: yakni penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata
menjadi keruh, akibatnya terlihat di luar mata menjadi putih
d) Glaucoma: yakni penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata,
sehingga tekanan pada bola mata meningkat.4

C. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Bagi Penyandang Tunanetra


Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa ketunanetraan itu berarti
ketidakberdayaan, inferioritas, ketergantungan total, dan inkompetensi. Dan, karena sebagian besar
masyarakat menganut pandangan yang salah ini, maka besar kemungkinan bahwa pandangan
tersebut juga akan tercermin dalam sikap pada siswa/klien tunanetra terhadap dirinya sendiri.
Pemberian suatu label pada diri seorang anak dapat membatasi ekspektasi orang lain terhadap anak
tersebut, dan pada gilirannya juga membatasi ekspektasi anak terhadap dirinya sendiri. Label yang
diberikan kepada seseorang akan mempengaruhi cara orang lain berperilaku terhadap dirinya
(pengaruh interaksi sosial), cara orang tersebut berperilaku terhadap dirinya sendiri (self-referent
behavior), dan peran-peran apa yang akan diharapkan atau tidak diharapkan untuk diisinya. Oleh
karena itu, siswa/klien itu perlu dibimbing ke arah pemikiran dan perasaan yang lebih sehat dan
lebih konstruktif.

4
Endang Switri, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Pasuruan: Qiara Media, 2020)
Seorang tunanetra dapat memiliki perasaan percaya diri dengan cara :5
1. Seorang tunanetra harus mau mengakui dan menerima kenyataan bahwa dia tunanetra.
Kebenaran mendasar di balik advis ini adalah bahwa siapa pun diri anda, anda tidak akan dapat
mengatasi masalah yang anda hadapi jika anda sendiri tidak mau mengakui adanya masalah itu.
Ciri-ciri lainnya adalah tidak malu membawa tongkat kemanapun dia pergi, mau belajar Braille
dan berbagai teknik alternatif yang khas bagi tunanetra, serta bersedia menggunakannya bila dia
membutuhkannya meskipun dalam kehadiran orang lain
2. Mengekspos siswa/klien pada kegiatan-kegiatan yang selintas tampak terlalu sulit baginya
sebagai seorang tunanetra - misalnya mengoperasikan peralatan mekanik, bepergian sendiri dengan
tongkat di lingkungan yang sudah ataupun belum dikenalnya, bermain sepatu roda, mendaki bukit,
memasak, menjahit, dll. Siswa/klien harus memahami bahwa dia dapat belajar melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut atau kegiatan-kegiatan lain yang penuh tantangan secara kompeten,
dengan ataupun tanpa penglihatan, bila dia menggunakan teknik yang tepat.
3. Membiasakan siswa/klien melibatkan diri dalam kegiatan sosial di tempattempat umum,
misalnya berbelanja, menonton teater atau pementasan musik, mengunjungi pameran, mengikuti
turnamen catur yang diselenggarakan bagi umum, dll. Tujuan dari semua kegiatan semacam ini
adalah untuk membantu siswa/klien memahami bahwa dia adalah bagian yang integral dari
masyarakat luas, yang memiliki hak yang sama seperti anggota masyarakat lainnya.
4. Mengenal dan bergaul dengan orang tunanetra dewasa yang berhasil. Adanya model peran yang
baik itu sangat berharga dalam proses penyesuaian diri.
5. Menanamkan konsep bahwa orang tunanetra pun dapat memberikan atau melakukan sesuatu
untuk membantu orang lain. Sekurang-kurangnya, siswa/klien itu dapat berperan sebagai model
bagi adik kelasnya. Dia dapat lebih memacu kemajuan dirinya dengan merasakan kepuasan diri
karena dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

5
Didi Tarsidi, Kemandirian Tunanetra, Grafika Utama, Bandung, 2007, hlm 3
ASESMENT
Dari wawancara yang telah kami lakukan diperoleh data yaitu klien bernama Anisa
Mawardah fazriyah, dia lahir di mojokerto, 20 januari 2004, ayahnya bernama Katon raharjo,
beliau berprofesi sebagai karyawan swasta, sedangkan ibunya bernama Nurul fiitriyah, beliau
adalah seorang ibu rumah tangga. anisa adalah dua bersaudara, dia memiliki adik perempuan.
sekarang anisa menempuh pendidikan di SLB PKK GEDEG dia duduk di kelas 11. saat dia lahir
dia memiliki usia kandungan normal seperti pada umumnya, yaitu lahir dalam waktu 9 bulan, dia
lahir di mojokerto dibantu oleh dokter. pada perkembangan masa balita dia menyusui ibunya
hingga umur 1,5 tahun kemudian minum susu kaleng hingga umur 3 tahun, untuk kualitas
makannya baik begitu juga kuantitasnya, dia makan semua jenis makanan seperti anak pada
umumnya, namun ia juga mengalami kesulitan makan karena ia adalah anak tunanetra, sehingga
membutuhkan bantuan orang lain perkembangan fisik dari anisa yaitu dapat berdiri pada umur 1
tahun 3 bulan kemudian dapat berjalan pada usia 1 tahun 6 bulan, bicara menggunakan kalimat
lengkap usia 2 tahun, kesulitan gerak yang dialami yaitu tidak bisa melihat karena tunanetra, untuk
riwayat kesehatan, dia tidak memiliki penyakit penyerta selain tunanetra itu, sementara pada
perkembangan sosial hubungan dengan teman-teman tk masih baik tidak ada yang membuly, saat
sd dia di buly tapi jarang, saat smp juga masih dibuly tapi jarang, saat sma hubungan dengan
teman-temannya baik, karena dia sekolah di SLB,sehingga dia memiliki teman-teman sesama
penyandang disabilitas. kemudian hubungan dengan orang tua juga harmonis. dia memiliki hobi
mendengarkan musik dan bernyanyi sementara dia memiliki minat yaitu bernyanyi hal yang
menjadi fokus kami terhadap klien ini adalah membenai sifat percaya diri dan lebih berani di
depan umum dan menonjolkan potensi atau bakatnya di bidang bernyanyi., kemudian teknik yang
kami gunakan untuk menangani permasalahan klien adalah teknik modeling, karena dengan
menggunakan teknik ini klien bisa mengamati seseorang untuk dijadikan modelnya untuk
berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh sang model.

HASIL
Cara menumbuhkan rasa percaya diri bagi penyandang cacat tunanetra ada empat langkah
yang dapat dilakukan, yakni :6
1. Memahami masalah, kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang
diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa
yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional
(dapat dipecahkan).
2. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba
mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan
masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian
(membuat konjektur).

6
Ruseffendi, Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya, Tarsito, Bandung, 1991, hlm.15
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah:
menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan
penyelesaian.
4. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada
langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil
yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat
generalisasinya.
KESIMPULAN
Upaya untuk menumbuhkan rasa percaya diri penyandang cacat tunanetra ini dengan
pendekatan berbasiskan masyarakat yang dapat melibatkan profesional, penyandang cacat,
keluarga dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pengasuh untuk menumbuhkan rasa percaya
diri adalah proses belajar dengan mengoptimalkan pendengaran dan mengeksplorasikan
imajinasinya serta mengoptimalkan pendengaran dengan mengeksplorasikan dunia luar dirinya,
cara belajar dengan menyentuh rasa dan proses belajar dengan mengoptimalkan emosi. Hal
tersebut dilakukan agar anak dapat mengetahui urutan kegiatan dan mengembangkan berbagai
konsep melalui partisipasi aktifnya dalam kegiatan secara utuh. Selain itu dalam menumbuhkan
rasa percaya diri dengan pendidikan tentang gangguan, pelatihan keterampilan komunikasi,
pelatihan pemecahan masalah, strategi kognitif-behavior, dan pelatihan pemecahan masalah

Anda mungkin juga menyukai