Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Dampak
Kondisi Disabilitas Tunanetra Terhadap Perkembangan Serta Kebutuhan Belajar.”
Makalah ini disusun sebagai upaya untuk menjelaskan dampak perkembangan serta
kebutuhan belajar dari penyandang tunanetra.
Dalam pengembangan makalah ini, penulis menyadari bahwa pentingnya mengetahui
dampak perkembangan serta kebutuhan belajar dari tunanetra, karena dengan mengetahui hal
tersebut orangtua dan pendidik bisa maksimal dalam memberikan pola asuh serta layanan
Pendidikan yang terbaik.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki,
namun dengan kerendahan hati, penulis berharap makalah ini dapat memberikan sumbangan
positif dan pemahaman yang lebih baik lagi dalam mendalami materi Disabilitas Tunanetra.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, bimbingan, dan motivasi selama penulisan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi pembaca.
Terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyandang tunanetra mengalami hambatan penglihatannya dalam
memperoleh informasi dan dalam proses pembelajaran. Penyandang tunanetra
merupakan salah satu tipe anak berkebutuhan khusus (ABK), yang mengacu pada
hilangnya fungsi indera visual sesorang. Untuk melakukan kegiatan kehidupan atau
berkomunaksi dengan lingkungannya mereka menggunakan indera non-visual yang
masih berfungsi, seperti indera pendengaran, perabaan, pembau, dan perasa
(pencecapan). Namun dari segi kecerdasan sebagian besar tunanetra tidak dipengaruhi
oleh ketunaannya, kecuali bagi mereka yang mengalami kelaianan ganda (double
handicaped), Hanya saja tunantera mengalami kesulitan untuk pembentuakan ataupun
penerimaan gagasan yang bersifat abstrak (Blackhurts & Berdine, 1981: 226;
Knededler, 1984: 219).
Telaah logis (ishartiwi, 1991) terkait dengan kesulitan penerimaan konsep
abstrak tersebut, maka dalam memberikan layanan pendidikan bagi tunanetra sangat
tergantung dari kondisi berat atau ringannya kelainan yang disandang. Di sisi lain
kondisi saat terjadinya ketunanetraan juga perlu diperhatikan dalam memberikan
layanan. Ketunanetran yang disandang sejak lahir tentu akan sedikit memperoleh
pengalaman tentang konsep dibandingkan dengan ketunanetraan pada masa anak,
remaja dan pasca remaja. Bagi tunanetra yang terjadi pada masa pasca lahir tentu saja
sudah menyimpan pengalaman dalam memorinya, sehingga sudah memiliki persepsi
tentang berbagai konsep. Kondisi awal tunanetra ini perlu dikenali lebih dahulu
sebelum memberikan intervensi.
Dari segi program intervensi Pendidikan bagi tunanetra lebih menekankan
pengembangan kemampuan kemandirian. Tujuan tersebut sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 Bab 2 Pasal 2 yaitu: ”Pendidikan
luar biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik
dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal
balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjut”.
Dari latar belakang diatas, makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai
definisi, karakteristik, tipe, faktor penyebab dan dan dampaknya pada aspek
perkembangan dan layanan Pendidikan pada anak Tunanetra
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin dibahas pada makalah ini adalah:
1. Apa definisi Tunanetra?
2. Bagaimana karakteristik Tunanetra?
3. Apa saja klasifikasi Tunanetra?
4. Apa saja faktor penyebab Tunanetra?
5. Apa dampak Tunanetra terhadap aspek perkembangan?
6. Bagaimana layanan Pendidikan bagi Tunanetra?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan memahami pengertian Tunanetra
2. Mengetahui dan memahami karakteristik Tunanetra
3. Mengetahui dan memahami klasifikasi Tunanetra
4. Mengetahui dan memahami faktor penyebab Tunanetra
5. Mengetahui dampak Tunanetra terhadap aspek perkembangan
6. Mengetahui layanan Pendidikan bagi Tunanetra
BAB II
LANDASAN TEORI
B. Karakteristik Tunanetra
Tunanetra Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan
sebagai anak-anak yang mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Kita perlu
mendefinisikan ketunanetraan berdasarkan fungsi atau kemampuan penglihatan
yang tersisa. Hal ini bertujuan untuk membantu mempermudah dalam
penyediaan layanan baik dalam bentuk akademik maupun layanan tambahan
sebagai keterampilan pendamping. Dengan mendefinisikan ketunanetraan sesuai
dengan tingkatan fungsi penglihatan, maka kita tidak akan mengartikan secara
mendasar bahwa anak tunanetra adalah anak yang mengalami kebutaan. Beberapa
ahli seperti Djaja Rahardja dan Sujarwanto (2010) serta Gargiulo (2006)
mendefinisikan ketunanetraan menjadi 3 kategori yaitu buta buta, buta fungsional
dan low vision. Seseorang disebut mengalami kebutaansecaralegal jika kemampuan
penglihatannya berkisar 20/200 atau dibawahnya, atau lantang pandangannya
tidak lebih dari 20 derajat. Pada pengertian ini, seorang anak di tes dengan
menggunakan snellen chart (kartu snellen) dimana anak harus dapat
mengidentifikasi huruf pada jarak 20 kaki atau 6 meter.
Dengan pengertian lain anak-anak dikatakan buta secara legal jika
mengalami permasalahan pada sudut pandang penglihatan, yaitu kemampuan
menggerakkan mata agar dapat melihat ke sisi samping kiri dan kanan.
Seorang anak dikatakan mengalami kebutaan apabila mereka hanya memiliki
sedikit persepsi tentang rangsangan cahaya yang diterima atau mungkin tidak
mempu mengidentifikasi apapun dengan kemampuan penglihatannya dengan
kata lain disebut dengan buta total. Anak-anak pada kategori ini memanfaatkan
indera pendegaran dan perabanya sebagai alat utama untuk mendapatkan
informasi tentang keadaan disekitar.
Seorang anak dikatakan mengalami buta fungsional apabila mereka
memiliki sisa penglihatan untuk mengidentifikasi cahaya disekitar. Anak-anak
pada kategori ini masih mampu mengidentifikasi stimulus cahaya di
lingkungan sekitar. Beberapa dari mereka masih mampu mengidentifikasi pantulan
cahaya dari benda-benda disekitar, sehingga dengan adanya sisa penglihatan ini
dapat memudahkan mereka untuk belajar orientasi mobilitas. Sedangkan
anak dikatakan low vision apabila mereka masih memiliki sisa penglihatan
untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan, anak-anak low vision
masih mampu mengidentifikasi huruf dan angka dengan kata lain dapat
digunakan untuk membaca meskipun membutuhkan bantuan kaca pembesar.
Pada kategori ini, anak yang mengalami low vision masih mampu
mengidentifikasi wajah seseorang dengankemampuanpenglihatannya meskipun pada
jarak yang sangat dekat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa
anak-anak tunanetra adalah anak yang mengalami permasalahan pada fungsi
penglihatannya, sehingga mereka mengalami permasalahan dalam berorientasi
dengan lingkunganmelalui indera penglihatannya. Tentunya anak yang mengalami
ketunanetraan akan menglami permasalahan dalam proses belajarnya, berbeda
dengan anak normal yang dapat menerima informasidariindera penglihatannya.
Maka dalam hal ini anak tunanetra membutuhkan layanan khusus dalam proses
belajarnya. Secara umum, anak tunanetra harus belajar dengan
menggunakan tulisan braille, yaitu dengan memanfaatkan indera perabanya untuk
mengidentifikasi tulisan braille.
Meskipun demikian, anak-anak tunanetra juga dilatihkan memanfaatkan
sisa penglihatannya untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar, misalnya yang
mengalami buta fungsional, mereka harus mampu memanfaatkan sisa
penglihatannya untuk membantu mereka dalam proses belajar orientasi
mobilitas. Sedangkan anak low vision juga harusdikenalkan dengan tulisan
awas sehingga tidak terbatas belajar dengan tulisan braille.Selain
membutuhkan tulisan braille untuk dapat belajar, anak-anak dengan
ketunanetraan juga memerlukan pendekatan yang berbeda pada proses
belajarnya. Guru perlu menggunakan media pembelajaran yang mirip
dengan bentuk nyata (tiruan,replika), sehingga anak tunanetra dapat
memanfaatkan indera perabanya untuk membantu mendapatkan informasi
dalamkegiatan
Namun demikian, anak tunanetra juga perlu pengalaman
nyatauntukmemperluas pengetahuan dan mempermudah proses belajar seperti
halnya anak-anak padaumumnya.Lebih daripada itu, dalam lingkungan
masyarakat anak-anak perlu bantuan aksesibilitas untuk dapat memanfaatkan
fasilitas umum yang tersedia. Sebagai contoh trotoar atau lantai yang
dilengkapi dengan bidang timbul yang dapat memudahkan mereka untuk
mengidenfi arah mereka berjalan. Selain itu diperlukan pula, tulisan-tulisan
braile yang terpasang pada ruang umum untuk memudahkan mereka dalam
menemukan fasilitas yang mereka perlukan.
Anak yang mengalami keterbatasan penglihatan memiliki karakteristik atau
ciri khas. Karakteristik tersebut merupakan implikasi dari kehilangan informasi secara
visual. Menurut Sari Rudiyati (2002: 34-38) karakteristik anak tunanetra yaitu: 1) rasa
curiga terhadap orang lain; 2) perasaan mudah tersinggung; 3) verbalisme; 4)
perasaan rendah diri; 5) adatan; 6) suka berfantasi; 7) berpikir kritis; dan 8)
pemberani. Karakteristik anak tunanetra tersebut dapat dikaji dan dimaknai lebih
lanjut sebagai berikut:
a. Rasa curiga terhadap orang lain Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh
terhadap penerimaan informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang
anak tunanetra tidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat
melalui suara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan
orang lainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkan
hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perlu
dikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggota keluarga,
tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
b. Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh
keterbatasan yang ia peroleh melalui auditori/ pendengaran. Bercanda dan saling
membicarakan agar saat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung.
Perasaan mudah tersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak
tunanetra dengan lingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa
setiap orang memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman.
Hal tersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan
tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan
c. Verbalisme Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrak
mengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti
fatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat
dibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konsep tersebut,
sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang mengalami
keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akan memiliki
verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja
(secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret yang dapat
menyerupai
d. Perasaan rendah diri Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada
konsep dirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk
bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwa penglihatan
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi. Perasaan rendah
diri dalam bergaul terutama dengan anak awas. Perasaan tersebut akan sangat
dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
e. Adatan Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera non-
visual. Bentuk adatan tersebut misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan ke
belakang silih berganti, gerakan menggerakkan kaki saat duduk, menggeleng-
gelengkan kepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra sebagai
pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki rangsangan baginya,
sedangkan bagi anak awas dapat dilakukan melalui dria penglihatan dalam mencari
informasi di lingkungan sekitar
f. Suka berfantasi Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra yaitu
suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak awas dapat melakukan
kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan mencari informasi saat santai atau
saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra,
sehingga anak tunanetra hanya dapat berfantasi saja.
g. Berpikir kritis Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalam
berpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awas
dalam mengatasi permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapat
mempengaruhi terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra akan memecahkan
permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang ia peroleh
sebelumnya serta terhindar dari pengaruh visual (penglihatan) yang dapat dialami oleh
orang awas.
h. Pemberani Pada anak tunanetra yang telah memiliki konsep diri yang baik, maka ia
memiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan,
dan pengalamannya. Sikap pemberani tersebut merupakan konsep diri yang harus
dilatih sejak dini agar dapat mandiri dan menerima keadaan dirinya serta mau
berusaha dalam mencapai cita-cita.
Menurut Aqila Smart (2010: 39-40) karakteristik penyandang tunanetra yaitu sebagai
berikut:
a) Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung yang dirasakan oleh
penyandang tunanetra disebabkan kurangnya rangsangan visual yang diterimanya
sehingga ia merasa emosional ketika seseorang membicarakan hal-hal yang tidak
bisa ia lakukan dan dengar. Pengalaman kegagalan yang sering dirasakannya juga
membuat emosinya semakin tidak stabil.
b) Mudah curiga Pada tunanetra rasa kecurigaannya melebihi orang pada umumnya.
Anak tunanetra merasa curiga terhadap orang yang ingin membantunya. Hal ini
bahwa untuk mengurangi atau menghilangkan rasa curiganya, seseorang harus
melakukan pendekatan terlebih dahulu kepadanya agar anak tunanetra mengenal
dan memahami sikap orang lain.
c) Ketergantungan yang berlebihan Anak tunanetra dalam melakukan suatu hal yang
bersifat baru membutuhkan bantuan dan arahan agar dapat melakukannya, namun
bantuan dan arahan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Hal ini
dilakukan oleh anak tunanetra yang memiliki asumsi bahwa dengan bantuan orang
awas terutama mobilitas merasa lebih aman, sehingga akan menjadikan anak
tunanetra memiliki ketergantungan secara berlebihan kepada orang awas terutama
pada hal-hal yang anak tunanetra dapat melakukan secara mandiri. Berdasarkan
pendapat di atas memberikan pemahaman bahwa karakteristik khas yang dimiliki
anak tunanetra merupakan implikasi dari kehilangan informasi secara visual.
Karakteristik tersebut menunjukkan adanya potensi dan kekurangan yang
dimiliki anak tunanetra. Potensi yang dimiliki anak tunanetra dapat dikembangkan
sebagai kemampuan awal dalam meminimalisir kekurangannya. Potensi dan
kekurangan tersebut memerlukan pemahaman bagi orang di sekitarnya untuk mencari
nilai positif dari karakteristik anak tunanetra. Karakteristik yang berupa kekurangan
anak tunanetra meliputi sikap mudah curiga, mudah tersinggung, rendah diri,
verbalisme, adatan dan ketergantungan yang berlebihan. Sikap tersebut dipandang
akan mempengaruhi sosialisasi dan adaptasi di lingkungan anak tunanetra (rumah,
sekolah dan masyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa anak tunanetra membutuhkan
proses pembelajaran, sosialisasi dan adaptasi dalam mengenal dan memahami kondisi
serta situasi lingkungan agar dapat mengurangi kekurangannya.
C. Klasifikasi Tunanetra
Menurut Aqila Smart dalam buku Anak Cacat Bukan Kiamat tunanetra
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu buta total dan kurang penglihatan (low
fision). Berikut penjelasan klasifikasi tunanetra :
a. Buta total
Buta total yaitu kondisi penglihatan yang tidak dapat melihat dua jari di mukanya
atau hanya melihat sinar atau cahaya. Mereka tidak bisa menggunakan huruf
selain huruf braille. Ciri-ciri buta total diantaranya secara fisik mata terlihat juling,
sering berkedip,menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan
mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan pembengkakan pada kulit
tempat tumbuh bulu mata. Secara perilaku menggosok mata secara berlebihan,
menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala, atau
mencondongkan kepala ke depan, sukar membaca atau mengerjakan tugas yang
memerlukan penggunaan mata, berkedip lebih banyak, membawa buku ke dekat
mata, tidak dapat melihat benda yang agak jauh, menyipitkan mata atau
mengerutkan dahi.
b. Low fision
Low fision yaitu kondisi penglihatan yang apabila melihat sesuatu maka harus
didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya atau memiliki
pemandangan kabur ketika melihat objek. Ciri-ciri low fision diantaranya menulis
dan membaca dengan jarak yang sangat dekat, hanya dapat membaca huruf yang
berukuran besar, mata tampak terlihat putih di tengah mata atau kornea (bagian
bening di depan mata) terlihat berkabut, terlihat tidak menatap lurus ke depan,
memincingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat
melihat sesuatu, lebih sulit melihat pada malam hari, pernah mengalami operasi
mata dan atau memakai 12 kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat
melihat dengan jelas.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa klasifikasi tunanetra
dibedakan menjadi dua yaitu buta total dan low fision. Buta total merupakan kondisi
penglihatan yang sama sekali tidak bisa melihat objek di depannya dan hanya bisa
menggunakan huruf braille untuk belajar. Sedangkan low fision merupakan kondisi
penglihatan yang basih bisa melihat objek di depannya akan tetapi objek tersebut
harus didekatkan atau dijauhkan atau objek yang dilihat terlihat kabur. Low fision
masih bisa dikoreksi dengan alat bantu penglihatan akan tetapi masih merasa
kesulitan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Individu yang awalnya mampu melihat secara normal kemudian menjadi
tunanetra total tentu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis yang dapat
mempengaruhi peran dan status sosialnya di lingkungan sekitar. Sebab, masyarakat
pada umumnya memandang seseorang yang tunanetra sama dengan orang-orang yang
menderita sakit parah, mereka sama-sama dianggap lemah, tidak berdaya, dan perlu
dikasihani. Pandangan negatif dari masyarakat dapat mempengaruhi konsep dan
penerimaan diri individu tunanetra total karena penerimaan diri juga dibangun melalui
persepsi orang lain. Hal terberat bagi seorang individu tunanetra adalah menyikapi
stigma masyarakat umum dalam memandang seorang yang tunanetra sama dengan
orang-orang yang menderita sakit parah dan mereka sama-sama dianggap lemah dan
tidak berdaya serta perlu untuk dikasihani.
Karena dianggap tidak berdaya dalam melakukan hal apapun. Pandangan
negatif dari masyarakat tersebut dapat mempengaruhi konsep dan penerimaan diri
pada individu tunanetra, karna penerimaan diri juga dibangun melalui persepsi orang
lain. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang tunanetra harus berjuang dalam hal
pencarian peran dan status sosialnya di masyarakat agar mereka diterima jika dapat
menyesuaikan diri dan tidak merepotkan orang lain. Individu tunanetra memiliki
tingkat kesejahteraan psikologis yang baik, sebab mereka memiliki pengalaman
positif yang lebih banyak dibandingkan dengan emosi negatifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dr. Irdamurni, M.Pd (2018) “Memahami Anak Berkebutuhan Khusus” Penerbit Goresan
Pena. Jawa Barat, April 2018
Jurnal
Eko Priyadi (2014) “Analisis Aplikasi Talkback Bagi Penyandang Tunanetra Pada Operasi
Sistem Android” Fakultas Teknologi Informatika Universitas Dian Nuswantoro
Dimas Itna (2016) “Hubungan Sikap Terhadap Cara Mengajar Guru dengan Penyesuaian
Sosial di Sekolah pada Siswa SMALB Wyata Guna Bandung” repository.unisba.ac.id
Ni Luh Gede Karang Widiastuti (2019) “Model Layanan Pendidikan Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami Kecacatan Fisik”
Makalah
Isartiwi (2008) “Rehabilitasi Dasar Untuk Semua Jenis Kecacatan, Topik: Dampak Penyakit
Terhadap Mata” di Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Jl. Kaliurang, Yogyakarta, 19
November 2008.
Ibid. Aqila Smart, (2014) “Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi
untuk Anak Berkebutuhan Khusus” (Jogjakarta: Katahati, 2014)