Anda di halaman 1dari 26

DAMPAK KONDISI DISABILITAS TUNANETRA

TERHADAP PERKEMBANGAN SERTA KEBUTUHAN BELAJAR

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah


Perkembangan Anak Disabilitas dan Keberbakatan yang diampu oleh
Prof. Dr. Cece Rachmat, M.Pd.
Dr. Yoga Budhi Santoso, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Siti Sarah Santika 2311787

PRODI PENDIDIKAN KHUSUS PASCASARJANA


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Dampak
Kondisi Disabilitas Tunanetra Terhadap Perkembangan Serta Kebutuhan Belajar.”
Makalah ini disusun sebagai upaya untuk menjelaskan dampak perkembangan serta
kebutuhan belajar dari penyandang tunanetra.
Dalam pengembangan makalah ini, penulis menyadari bahwa pentingnya mengetahui
dampak perkembangan serta kebutuhan belajar dari tunanetra, karena dengan mengetahui hal
tersebut orangtua dan pendidik bisa maksimal dalam memberikan pola asuh serta layanan
Pendidikan yang terbaik.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki,
namun dengan kerendahan hati, penulis berharap makalah ini dapat memberikan sumbangan
positif dan pemahaman yang lebih baik lagi dalam mendalami materi Disabilitas Tunanetra.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, bimbingan, dan motivasi selama penulisan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi pembaca.

Terima kasih.

Bogor, 20 November 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyandang tunanetra mengalami hambatan penglihatannya dalam
memperoleh informasi dan dalam proses pembelajaran. Penyandang tunanetra
merupakan salah satu tipe anak berkebutuhan khusus (ABK), yang mengacu pada
hilangnya fungsi indera visual sesorang. Untuk melakukan kegiatan kehidupan atau
berkomunaksi dengan lingkungannya mereka menggunakan indera non-visual yang
masih berfungsi, seperti indera pendengaran, perabaan, pembau, dan perasa
(pencecapan). Namun dari segi kecerdasan sebagian besar tunanetra tidak dipengaruhi
oleh ketunaannya, kecuali bagi mereka yang mengalami kelaianan ganda (double
handicaped), Hanya saja tunantera mengalami kesulitan untuk pembentuakan ataupun
penerimaan gagasan yang bersifat abstrak (Blackhurts & Berdine, 1981: 226;
Knededler, 1984: 219).
Telaah logis (ishartiwi, 1991) terkait dengan kesulitan penerimaan konsep
abstrak tersebut, maka dalam memberikan layanan pendidikan bagi tunanetra sangat
tergantung dari kondisi berat atau ringannya kelainan yang disandang. Di sisi lain
kondisi saat terjadinya ketunanetraan juga perlu diperhatikan dalam memberikan
layanan. Ketunanetran yang disandang sejak lahir tentu akan sedikit memperoleh
pengalaman tentang konsep dibandingkan dengan ketunanetraan pada masa anak,
remaja dan pasca remaja. Bagi tunanetra yang terjadi pada masa pasca lahir tentu saja
sudah menyimpan pengalaman dalam memorinya, sehingga sudah memiliki persepsi
tentang berbagai konsep. Kondisi awal tunanetra ini perlu dikenali lebih dahulu
sebelum memberikan intervensi.
Dari segi program intervensi Pendidikan bagi tunanetra lebih menekankan
pengembangan kemampuan kemandirian. Tujuan tersebut sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 Bab 2 Pasal 2 yaitu: ”Pendidikan
luar biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik
dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal
balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjut”.
Dari latar belakang diatas, makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai
definisi, karakteristik, tipe, faktor penyebab dan dan dampaknya pada aspek
perkembangan dan layanan Pendidikan pada anak Tunanetra

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin dibahas pada makalah ini adalah:
1. Apa definisi Tunanetra?
2. Bagaimana karakteristik Tunanetra?
3. Apa saja klasifikasi Tunanetra?
4. Apa saja faktor penyebab Tunanetra?
5. Apa dampak Tunanetra terhadap aspek perkembangan?
6. Bagaimana layanan Pendidikan bagi Tunanetra?

C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan memahami pengertian Tunanetra
2. Mengetahui dan memahami karakteristik Tunanetra
3. Mengetahui dan memahami klasifikasi Tunanetra
4. Mengetahui dan memahami faktor penyebab Tunanetra
5. Mengetahui dampak Tunanetra terhadap aspek perkembangan
6. Mengetahui layanan Pendidikan bagi Tunanetra
BAB II
LANDASAN TEORI

Secara sederhana tunanetra dapat diartikan penglihatan yang tidak normal.


Biasanya, disebut memiliki ketajaman penglihatan 20/20 (Pueschel,1988:p.63).
Ketajaman penglihatan diukur melalui membaca huruf-huruf, angka-angka atau
simbol-simbol lain pada chart sejauh 20 kaki (Heward & Orlansky,1988'p,296).
ketajaman penglihatan ini menunjukkan bahwa seseorang dapat melihat suatu benda
pada jarak 20 kaki seperti yang dapat dilihat oleh orang yang memiliki ketajaman
penglihatan normal. Penglihatan seseorang dikatakan betul-betul terganggu apabila ia
mempunyai ketajaman penglihatan 20/200, ya itu ketajaman yang mampu melihat
suatu benda pada jarak 20 kaki yang umumnya dapat dilihat oleh orang yang memiliki
ketajaman penglihatan normal pada jarak 200 kaki. Orang yang tidak memiliki
ketajaman penglihatan sama sekali atau visus matanya disebut buta.
Orang yang memiliki bidang penglihatan terbatas adalah bentuk lain dari
gangguan penglihatan. Apabila kita melihat lurus ke depan secara periferal 180
derajat, kemudian oleh karena suatu sebab, penglihatan berkurang menjadi 20 derajat
atau kurang, maka ia termasuk buta. Dengan demikian mungkin saja seseorang yang
disebut buta masih memiliki sisa ketajaman penglihatan, dan apabila seseorang yang
tidak memiliki ketajaman penglihatan sama sekali, maka ia disebut buta total.
Ketajaman penglihatan menurut Snellen seperti dikutip oleh Kirk (1962 : 22)
dihubungkan dengan persentase efisien penglihatan sebagai berikut: (1) 20/20 = 100,0
persen, (2) 20/35 = 87,5 persen, (3) 20/70 = 64,0 persen, (4) 20/100 = 48,9 persen. (5)
20/200 = 20,0 persen.
Gangguan penglihatan disebut juga dengan tunanetra dapat diartikan tidak
dapat melihat (Alwi dkk,,1989: 971 ).dan menurut literatur berbahasa Inggris visually
handicapped atau visually impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa tunanetra
identik dengan buta. Padahal tidak demikian, karena tunanetra dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kategori. Anak yang mengalami 12 gangguan penglihatan dapat
didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya walaupun dibantu dengan
perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang bersangkutan
(Scholl, 1986 : 29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa
penglihatan dan yang buta.
Definisi kebutaan bergantung pada maksud definisi itu dibuat (Kirk, 1962 :
213). Misalnya. kebutaan menurut medik, berlainan dengan kebutaan menurut
pendidikan, dan berkelainan dengan kebutaan yang dikaitkan dengan pekerjaan.
Untuk maksud-maksud pendidikan, seseorang yang buta ialah yang penglihatannya
tidak sempurna, cacat atau rusak sehingga ia tidak dapat di didik dengan metode-
metode yang menggunakan penglihatan (Kirk,1962 : 214).
Gangguan penglihatan yang dialami oleh anak tunanetra menyebabkan
beberapa keterbatasan dan memerlukan kebutuhan khusus dalam pemenuhan
kehidupan. Keterbatasan dan kebutuhan tersebut menjadi pertimbangan tersendiri
bagi guru untuk menyampaikan informasi dalam mengembangkan potensi komunikasi
anak tunanetra. Anak tunanetra menggantikan fungsi indera penglihatan dengan
indera lainnya untuk mempersepsi lingkungan, seperti indera pendengaran dan
perabaan. Lowenfeld (1973) menyebutkan keterbatasan anak tunanetra tersebut antara
lain: “(1) anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam variasi dan jenis pengalaman
(kognisi), (2) keterbatasan pada kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungannya
(orientasi mobilitas), (3) berinteraksi dengan lingkungannya (sosial emosi)”.
Keterbatasan kognisi pada anak tunanetra bukan dikarenakan kemampuan
intelegensi yang rendah, namun kurangnya pengalaman persepsi auditori dalam
membentuk suatu konsep. Pembentukan konsep pengetahuan banyak terjadi dalam
kehidupan seharihari termasuk anak tunanetra. Hambatan yang dialami anak tunanetra
dalam pembentukan konsep yaitu kurangnya pengalaman dalam memahami deskripsi
suatu konsep. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan cara mengembangkan komunikasi
bagi anak tunanetra sejak dini. Anak tunanetra dibiasakan untuk memunculkan
inisiatif bertanya pada orang awas di sekitarnya untuk mendapatkan pengetahuan
tentang suatu konsep (ekspresif). Di samping itu, anak tunanetra perlu memahami
secara baik terkait penjelasan yang disampaikan oleh orang awas (reseptif).
Hal yang perlu diantisipasi dalam pengembangan komunikasi bagi anak
tunanetra yaitu keterbatasan sosial emosi. Anak tunanetra akan merasa tersinggung,
rendah diri dan bertindak pasif dalam kegiatan kelompok. Anak tunanetra kurang
memiliki keinginan kuat untuk bergabung bersama orang awas ketika melakukan
permainan. Kegiatan berkelompok perlu dirancang menarik dan membuat rasa
nyaman bagi anak tunanetra sehingga memunculkan keinginan untuk berpatisipasi
aktif. Keikutsertaan anak tunanetra secara aktif dalam kegiatan kelompok
memunculkan kebiasaan untuk menanyakan kabar, tanya jawab dan rasa empati.
Interaksi yang terjadi akan mengubah pola pikir anak tunanetra sehingga dapat merasa
nyaman ketika berada di lingkungan orang awas.
A. Definisi Tunanetra
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang
mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat
gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih
mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi
tunanetra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada
garis merah horizontal. Akibat hilang atau berkurangnya fungsi indra penglihatannya
maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti,
peraba, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya, sehingga tidak sedikit
penyandang tunanetra yang memilki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik
atau ilmu pengetahuan. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat awam khusunya sering menganggap
bahwa istilah tunanetra sering disamakan dengan buta. Pandangan masyarakat
tersebut didasarkan pada suatu pemikiran yang umum yaitu setiap tunanetra tidak
dapat melihat sama sekali. Secara etimologis, kata tuna berarti luka, rusak, kurang
atau tiada memiliki; netra berarti mata atau penglihatan. Jadi tunanetra berarti kondisi
luka atau rusaknya mata, sehingga mengakibatkan kurang atau tidak memiliki
kemampuan persepsi penglihatan. Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa
istilah tunanetra mengandung arti rusaknya penglihatan. Rumusan ini pada dasarnya
belum lengkap dan jelas karena belum tergambarkan apakah keadaan mata yang tidak
dapat melihat sama sekali atau mata rusak tetapi masih dapat melihat, atau juga
berpenglihatan sebelah. Sedangkan pengertian tunanetra menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989 : 971) dan menurut literatur
berbahasa inggris yaitu visually handicapped atau visually impaired. Banyak orang
yang memberikan definisi tentang tunanetratergantung dari sudut pandang seseorang
berdasarkan kebutuhannya.
Dengan demikian hal tersebut akan melahirkan keanekaragaman definisi
tunanetra tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan. Frans Harsana Sasraningrat
mengatakan bahwa tunanetra ialah sesuatu kondisi dari indera penglihatan atau mata
yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena
kerusakan pada mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus
visual. Irham Hosni menegaskan bahwa seseorang dikatakan tunanetra adalah orang
yang kedua penglihatannya mengalami kelainan sedemikian rupa dan setelah
dikoreksi mengalami kesukaran dalam menggunakan matanya sebagai saluran utama
dalam menerima informasi dari lingkungannya.
Drs. Nurkholis menyatakan bahwa tunanetra adalah kerusakan atau cacat mata
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat atau buta. Persatuan Tunanetra
Indonesia atau Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang
tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki sama sekali (buta total) hingga mereka
yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan
penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan
cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas). Yang dimaksud
dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer dimana pada bidang
selebar satu inch memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa
huruf dengan ukuran 18 point, misalnya pada bidang selebar 1 inch memuat 18 huruf.
Tunanetra memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain :
1) Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari satu meter.
2) Ketajaman penglihatan 20/200 kaki yaitu ketajaman yang mampu melihat
suatu benda pada jarak 20 kaki.
3) Bidang penglihatannya tidak lebih luas dari 20 derajat.
Dari berbagai uraian tentang tunanetra diatas maka dapat disimpulkan bahwa
tunanetra adalah orang yang mengalami kerusakan penglihatan yang sedemikian rupa
sehingga ia tidak dapat menggunakan indera penglihatannya untuk kebutuhan
pendidikan ataupun lainnya walaupun dengan bantuan alat bantu, sehingga
memerlukan bantuan atau pelayanan pendidikan secara khusus.

B. Karakteristik Tunanetra
Tunanetra Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan
sebagai anak-anak yang mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Kita perlu
mendefinisikan ketunanetraan berdasarkan fungsi atau kemampuan penglihatan
yang tersisa. Hal ini bertujuan untuk membantu mempermudah dalam
penyediaan layanan baik dalam bentuk akademik maupun layanan tambahan
sebagai keterampilan pendamping. Dengan mendefinisikan ketunanetraan sesuai
dengan tingkatan fungsi penglihatan, maka kita tidak akan mengartikan secara
mendasar bahwa anak tunanetra adalah anak yang mengalami kebutaan. Beberapa
ahli seperti Djaja Rahardja dan Sujarwanto (2010) serta Gargiulo (2006)
mendefinisikan ketunanetraan menjadi 3 kategori yaitu buta buta, buta fungsional
dan low vision. Seseorang disebut mengalami kebutaansecaralegal jika kemampuan
penglihatannya berkisar 20/200 atau dibawahnya, atau lantang pandangannya
tidak lebih dari 20 derajat. Pada pengertian ini, seorang anak di tes dengan
menggunakan snellen chart (kartu snellen) dimana anak harus dapat
mengidentifikasi huruf pada jarak 20 kaki atau 6 meter.
Dengan pengertian lain anak-anak dikatakan buta secara legal jika
mengalami permasalahan pada sudut pandang penglihatan, yaitu kemampuan
menggerakkan mata agar dapat melihat ke sisi samping kiri dan kanan.
Seorang anak dikatakan mengalami kebutaan apabila mereka hanya memiliki
sedikit persepsi tentang rangsangan cahaya yang diterima atau mungkin tidak
mempu mengidentifikasi apapun dengan kemampuan penglihatannya dengan
kata lain disebut dengan buta total. Anak-anak pada kategori ini memanfaatkan
indera pendegaran dan perabanya sebagai alat utama untuk mendapatkan
informasi tentang keadaan disekitar.
Seorang anak dikatakan mengalami buta fungsional apabila mereka
memiliki sisa penglihatan untuk mengidentifikasi cahaya disekitar. Anak-anak
pada kategori ini masih mampu mengidentifikasi stimulus cahaya di
lingkungan sekitar. Beberapa dari mereka masih mampu mengidentifikasi pantulan
cahaya dari benda-benda disekitar, sehingga dengan adanya sisa penglihatan ini
dapat memudahkan mereka untuk belajar orientasi mobilitas. Sedangkan
anak dikatakan low vision apabila mereka masih memiliki sisa penglihatan
untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan, anak-anak low vision
masih mampu mengidentifikasi huruf dan angka dengan kata lain dapat
digunakan untuk membaca meskipun membutuhkan bantuan kaca pembesar.
Pada kategori ini, anak yang mengalami low vision masih mampu
mengidentifikasi wajah seseorang dengankemampuanpenglihatannya meskipun pada
jarak yang sangat dekat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa
anak-anak tunanetra adalah anak yang mengalami permasalahan pada fungsi
penglihatannya, sehingga mereka mengalami permasalahan dalam berorientasi
dengan lingkunganmelalui indera penglihatannya. Tentunya anak yang mengalami
ketunanetraan akan menglami permasalahan dalam proses belajarnya, berbeda
dengan anak normal yang dapat menerima informasidariindera penglihatannya.
Maka dalam hal ini anak tunanetra membutuhkan layanan khusus dalam proses
belajarnya. Secara umum, anak tunanetra harus belajar dengan
menggunakan tulisan braille, yaitu dengan memanfaatkan indera perabanya untuk
mengidentifikasi tulisan braille.
Meskipun demikian, anak-anak tunanetra juga dilatihkan memanfaatkan
sisa penglihatannya untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar, misalnya yang
mengalami buta fungsional, mereka harus mampu memanfaatkan sisa
penglihatannya untuk membantu mereka dalam proses belajar orientasi
mobilitas. Sedangkan anak low vision juga harusdikenalkan dengan tulisan
awas sehingga tidak terbatas belajar dengan tulisan braille.Selain
membutuhkan tulisan braille untuk dapat belajar, anak-anak dengan
ketunanetraan juga memerlukan pendekatan yang berbeda pada proses
belajarnya. Guru perlu menggunakan media pembelajaran yang mirip
dengan bentuk nyata (tiruan,replika), sehingga anak tunanetra dapat
memanfaatkan indera perabanya untuk membantu mendapatkan informasi
dalamkegiatan
Namun demikian, anak tunanetra juga perlu pengalaman
nyatauntukmemperluas pengetahuan dan mempermudah proses belajar seperti
halnya anak-anak padaumumnya.Lebih daripada itu, dalam lingkungan
masyarakat anak-anak perlu bantuan aksesibilitas untuk dapat memanfaatkan
fasilitas umum yang tersedia. Sebagai contoh trotoar atau lantai yang
dilengkapi dengan bidang timbul yang dapat memudahkan mereka untuk
mengidenfi arah mereka berjalan. Selain itu diperlukan pula, tulisan-tulisan
braile yang terpasang pada ruang umum untuk memudahkan mereka dalam
menemukan fasilitas yang mereka perlukan.
Anak yang mengalami keterbatasan penglihatan memiliki karakteristik atau
ciri khas. Karakteristik tersebut merupakan implikasi dari kehilangan informasi secara
visual. Menurut Sari Rudiyati (2002: 34-38) karakteristik anak tunanetra yaitu: 1) rasa
curiga terhadap orang lain; 2) perasaan mudah tersinggung; 3) verbalisme; 4)
perasaan rendah diri; 5) adatan; 6) suka berfantasi; 7) berpikir kritis; dan 8)
pemberani. Karakteristik anak tunanetra tersebut dapat dikaji dan dimaknai lebih
lanjut sebagai berikut:
a. Rasa curiga terhadap orang lain Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh
terhadap penerimaan informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang
anak tunanetra tidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat
melalui suara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan
orang lainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkan
hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perlu
dikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggota keluarga,
tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
b. Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh
keterbatasan yang ia peroleh melalui auditori/ pendengaran. Bercanda dan saling
membicarakan agar saat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung.
Perasaan mudah tersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak
tunanetra dengan lingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa
setiap orang memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman.
Hal tersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan
tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan
c. Verbalisme Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrak
mengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti
fatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat
dibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konsep tersebut,
sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang mengalami
keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akan memiliki
verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja
(secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret yang dapat
menyerupai
d. Perasaan rendah diri Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada
konsep dirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk
bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwa penglihatan
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi. Perasaan rendah
diri dalam bergaul terutama dengan anak awas. Perasaan tersebut akan sangat
dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
e. Adatan Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera non-
visual. Bentuk adatan tersebut misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan ke
belakang silih berganti, gerakan menggerakkan kaki saat duduk, menggeleng-
gelengkan kepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra sebagai
pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki rangsangan baginya,
sedangkan bagi anak awas dapat dilakukan melalui dria penglihatan dalam mencari
informasi di lingkungan sekitar
f. Suka berfantasi Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra yaitu
suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak awas dapat melakukan
kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan mencari informasi saat santai atau
saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra,
sehingga anak tunanetra hanya dapat berfantasi saja.
g. Berpikir kritis Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalam
berpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awas
dalam mengatasi permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapat
mempengaruhi terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra akan memecahkan
permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang ia peroleh
sebelumnya serta terhindar dari pengaruh visual (penglihatan) yang dapat dialami oleh
orang awas.
h. Pemberani Pada anak tunanetra yang telah memiliki konsep diri yang baik, maka ia
memiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan,
dan pengalamannya. Sikap pemberani tersebut merupakan konsep diri yang harus
dilatih sejak dini agar dapat mandiri dan menerima keadaan dirinya serta mau
berusaha dalam mencapai cita-cita.
Menurut Aqila Smart (2010: 39-40) karakteristik penyandang tunanetra yaitu sebagai
berikut:
a) Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung yang dirasakan oleh
penyandang tunanetra disebabkan kurangnya rangsangan visual yang diterimanya
sehingga ia merasa emosional ketika seseorang membicarakan hal-hal yang tidak
bisa ia lakukan dan dengar. Pengalaman kegagalan yang sering dirasakannya juga
membuat emosinya semakin tidak stabil.
b) Mudah curiga Pada tunanetra rasa kecurigaannya melebihi orang pada umumnya.
Anak tunanetra merasa curiga terhadap orang yang ingin membantunya. Hal ini
bahwa untuk mengurangi atau menghilangkan rasa curiganya, seseorang harus
melakukan pendekatan terlebih dahulu kepadanya agar anak tunanetra mengenal
dan memahami sikap orang lain.
c) Ketergantungan yang berlebihan Anak tunanetra dalam melakukan suatu hal yang
bersifat baru membutuhkan bantuan dan arahan agar dapat melakukannya, namun
bantuan dan arahan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Hal ini
dilakukan oleh anak tunanetra yang memiliki asumsi bahwa dengan bantuan orang
awas terutama mobilitas merasa lebih aman, sehingga akan menjadikan anak
tunanetra memiliki ketergantungan secara berlebihan kepada orang awas terutama
pada hal-hal yang anak tunanetra dapat melakukan secara mandiri. Berdasarkan
pendapat di atas memberikan pemahaman bahwa karakteristik khas yang dimiliki
anak tunanetra merupakan implikasi dari kehilangan informasi secara visual.
Karakteristik tersebut menunjukkan adanya potensi dan kekurangan yang
dimiliki anak tunanetra. Potensi yang dimiliki anak tunanetra dapat dikembangkan
sebagai kemampuan awal dalam meminimalisir kekurangannya. Potensi dan
kekurangan tersebut memerlukan pemahaman bagi orang di sekitarnya untuk mencari
nilai positif dari karakteristik anak tunanetra. Karakteristik yang berupa kekurangan
anak tunanetra meliputi sikap mudah curiga, mudah tersinggung, rendah diri,
verbalisme, adatan dan ketergantungan yang berlebihan. Sikap tersebut dipandang
akan mempengaruhi sosialisasi dan adaptasi di lingkungan anak tunanetra (rumah,
sekolah dan masyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa anak tunanetra membutuhkan
proses pembelajaran, sosialisasi dan adaptasi dalam mengenal dan memahami kondisi
serta situasi lingkungan agar dapat mengurangi kekurangannya.

C. Klasifikasi Tunanetra
Menurut Aqila Smart dalam buku Anak Cacat Bukan Kiamat tunanetra
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu buta total dan kurang penglihatan (low
fision). Berikut penjelasan klasifikasi tunanetra :
a. Buta total
Buta total yaitu kondisi penglihatan yang tidak dapat melihat dua jari di mukanya
atau hanya melihat sinar atau cahaya. Mereka tidak bisa menggunakan huruf
selain huruf braille. Ciri-ciri buta total diantaranya secara fisik mata terlihat juling,
sering berkedip,menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan
mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan pembengkakan pada kulit
tempat tumbuh bulu mata. Secara perilaku menggosok mata secara berlebihan,
menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala, atau
mencondongkan kepala ke depan, sukar membaca atau mengerjakan tugas yang
memerlukan penggunaan mata, berkedip lebih banyak, membawa buku ke dekat
mata, tidak dapat melihat benda yang agak jauh, menyipitkan mata atau
mengerutkan dahi.
b. Low fision
Low fision yaitu kondisi penglihatan yang apabila melihat sesuatu maka harus
didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya atau memiliki
pemandangan kabur ketika melihat objek. Ciri-ciri low fision diantaranya menulis
dan membaca dengan jarak yang sangat dekat, hanya dapat membaca huruf yang
berukuran besar, mata tampak terlihat putih di tengah mata atau kornea (bagian
bening di depan mata) terlihat berkabut, terlihat tidak menatap lurus ke depan,
memincingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat
melihat sesuatu, lebih sulit melihat pada malam hari, pernah mengalami operasi
mata dan atau memakai 12 kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat
melihat dengan jelas.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa klasifikasi tunanetra
dibedakan menjadi dua yaitu buta total dan low fision. Buta total merupakan kondisi
penglihatan yang sama sekali tidak bisa melihat objek di depannya dan hanya bisa
menggunakan huruf braille untuk belajar. Sedangkan low fision merupakan kondisi
penglihatan yang basih bisa melihat objek di depannya akan tetapi objek tersebut
harus didekatkan atau dijauhkan atau objek yang dilihat terlihat kabur. Low fision
masih bisa dikoreksi dengan alat bantu penglihatan akan tetapi masih merasa
kesulitan

D. Faktor Penyebab Tunanetra


Dalam bidang Pendidikan Luar Biasa, anak yang mengalami gangguan
penglihatan disebut anak tunanetra. Secara medis, seseorang dikatakan tunanetra
apabila memiliki visus dua puluh per dua ratus atau kurang dan memiliki lantang
pandangan kurang dari dua puluh derajat. Berdasarkan sudut pandang pendidikan,
seseorang dikatakan tunanetra bila media yang digunakan untuk mengikuti media
pembelajaran adalah indra peraba dan ini biasa disebut atau digolongkan pada
golongan tunanetra total, ataupun anak yang masih bisa membaca dengan cara dilihat
dan menulis tetapi dengan ukuran yang lebih besar, penderita ini biasanya
dikelompokkan pada golongan low vision (Kosasih, 2012). Penyebab terjadinya
tunanetra berdasarkan waktu terjadinya kecacatan, ketrunanetraan dapat terjadi pada
saat dalam kandungan. Keadaan ini dapat terjadi karena faktor keturunan yang
penyebab utamanya yaitu perkawinan antar keluarga 15 dekat atau sedarah dan
perkawinan antar ketunanetraan. Keadaan tunanetra dalam kandungan bisa terjadi
karena penyakit seperti virus rubella/ campak Jerman, glaucoma, Retinopati diabetes,
retinoblastoma, dan kekurangan vitamin A. Keadaan tunanetra yang terjadi setelah
lahir umumnya disebabkan karena kecelakaan, terkena zat-zat berbahaya, karena
penyakit diabetes mellitus (Hidayat & Suwandi, 2013). Secara ilmiah, keadaan
tunanetra anak dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal (Koasih, 2012). Faktor internal diantaranya kondisi bayi yang masih dalam
kandungan ibu, asupan gizi yang di konsumsi ibu saat hamil sangat mempengaruhi
kondisi pada janin. Penyebab tunanetra lainnya adalah faktor eksternal yang terjadi
pada masa-masa perkembangan (Pratiwi & Murtiningsih, 2013
Bagaimana dampak ketunanetraan terhadap perkembangan serta kebutuhan
belajarnya? cara mengajar anak gangguan penglihatan, apakah sama caranya seperti
anak normal? Apakah ada layanan pendidikan khusus bagi mereka? Hal itu akan
terjawab pada pembahasan makalah ini.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Dampak Ketunanetraan Terhadap Perkembangan


1. Keterbatasan Anak Tunanetra
Menurut Lowenfeld (dalam Juang Sunanto, 2005: 47) kehilangan penglihatan
mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius yaitu sebagai berikut:
a. Variasi dan jenis pengalaman Anak tunanetra memperoleh pengalaman
melalui taktual/perabaan dan indera pendengaran, sedangkan anak awas
melalui pengalaman visual dalam memperoleh informasi secara lebih lengkap
dan rinci, sehingga hal ini berpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman
anak yang membutuhkan strategi dan kemampuan anak dalam memahami
informasi tersebut.
b. Kemampuan untuk bergerak Keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi
kemampuan untuk bergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan untuk bergerak pada anak tunanetra memerlukan pembelajaran
yang mengakomodasi indera nonvisual dalam bergerak secara mandiri.
c. Berinteraksi dengan lingkungannya (sosial dan emosi) Anak tunanetra yang
mengalami permasalahan dalam interaksi dengan lingkungan dipengaruhi oleh
sikap orang tua, keluarga dan masyarakat terhadapnya yakni kurang adanya
penerimaan dan komunikasi yang baik. Keterbatasan dalam berinteraksi
dengan lingkungan dipengaruhi oleh faktor kurangnya rangsangan
penginderaan dan kurangnya sosialisasi atau bergaul dengan masyarakat.
2. Kondisi Psikologis Tunanetra
Hilangnya fungsi penglihatan akan menimbulkan keterbatasan tunanetra
untuk menjelajahi semua isi benda maupun orang lain yang berada di lingkungan
sekitarnya. Seorang tunanetra akan selalu menunggu aksi dari benda atau orang
lain sebelum melakukan reaksi (Hidayat & Suwandi, 2013). Jadi mereka akan
bergerak dan merespon apabila ada stimulus terlebih dahulu yang datang padanya.
Dengan demikian, kemampuan inisiatif untuk melakukan kegiatan cenderung
rendah atau mengkin tidak ada sama sekali. Kondisi seperti ini bahkan dapat
mengakibatkan seorang tunanetra kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan lingkungan sosial.
Ketunanetraan seringkali menimbulkan rasa ketidakberdayaan pada orang
yang mengalaminya. Menurut Abramson, Metalsky & Alloy, perasaan
ketidakberdayaan ini akan menimbulkan rasa keputusasaan dan depresi. Depresi
tersebut ditandai dengan munculnya peristiwa kehidupan yang negatif yang
dipersepsi sebagai bersifat global, permanen, dan diluar kontrol individu
(Nawawi, A., Tarsidi, D., Hosni, I., 2010).
Tunanetra memandang dirinya sebagai seseorang yang tidak berdaya dan
inkompeten, ditambah dengan perasaan cemas dan depresi. Hal ini akan
mengakibatkan kehilangan rasa harga diri, karena tunanetra tahu bahwa untuk
memiliki kehidupan yang berkualitas harus berbuat sesuatu untuk memperoleh
apa yang diinginkan. Sedangkan apabila keadaan ini diperparah oleh sikap negatif
masyarakat terhadap kecacatan tunanetra, maka individu yang bersangkutan akan
menjadi putus asa (Nawawi, A., Tarsidi, D., Hosni, I., 2010).
3. Penyesuaian Diri Ketunanetraan
Keterampilan orientasi dan mobilitas berpengaruh positif terhadap
perkembangan kehidupan tunanetra, baik fisik, fisiologis, psikologis, sosial
maupun ekonomi (Hidayat & Suwandi, 2013). Orientasi merupakan penggunaan
organ indera yang masih berfungsi dalam menentukan posisi diri, dengan kata lain
orientasi merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menyadari
keadaan atau posisi dirinya dalam suatu lingkungan dan hubungannya dengan
obyek-obyek lain yang ada dalam lingkungan tersebut. Sedangkan mobilitas yaitu
kemampuan serta kesanggupan seorang tunanetra untuk bergerak atau berpindah
tempat secara mudah, cepat, tepat dan selamat dengan teknik yang efektif.
Orientasi dan mobilias secara fisik tunanetra akan memiliki bentuk tubuh yang
baik, secara fisiologi anggota tubuhnya akan bekerja dengan baik dan postur tubuh
yang lebih tertata sesuai dengan fungsi dan tugas tubuh itu tersendiri. Secara
psikologis, keterampilan orientasi dan mobilitas akan berpengaruh terhadap
peningkatan harga diri dan kepercayaan diri. Dari segi sosial akan meningkatkan
kemampuan diri untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial serta dengan mudah
dapat diterima oleh lingkungan. Sedangkan dari segi ekonomi ia akan lebih mudah
memperoleh pekerjaan sebagai bekal dalam kehidupannya.

B. Layanan Pendidikan Tunanetra


Model Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1) Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2) Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3) Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4) Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam
beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)’
5) Pusat Diagnostik-Prescriptif
6) Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi
anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa).
7) Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
8) Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9) Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
Samuel A. Kirk (1986) membuat gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus bergradasi dari model segregasi ke model mainstreaming bentuk-bentuk layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari
sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem
segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara
khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata
lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan
khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar
Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar
Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua.
Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya
kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu
pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan
menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya,
untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi
mobilitas. Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, binapersepsi bunyi; anak
tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk
mendukung fungsi fisiknya. Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan
sistem segregasi, yaitu:
2) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah. Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk
SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari
tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit
sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam
bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja),
sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB
untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk
tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan
tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih m.engarah ke sistem
individualisasi.
Selain, ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB
yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk
anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di
unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
3) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa
yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal
diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan
sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama dengan bentuk
SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu,
SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak
tunalaras, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran
antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan
tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan
pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah,
karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
4) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh
dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung
m e rupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta
pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan
sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di
kotalkabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini
diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas. Dalam
penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya.
Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di
dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan
administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
5) Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak b e r k e b u t u h a n
k h u s u s , p e m e r i n t a h m u l a i P e l i t a I I menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan
yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah,
guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita,
guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga
kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan
kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech
therapist, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di
SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan
belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan
masingmasing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi.
Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga
diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra
memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak
tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi bunyi
dan irama; anak tudagrahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak
tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik. Lama
pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk
tingka dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama6
tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun. Sejalan dengan perbaikan sistem
perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam
pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
1. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3
tahun
3. Sekolah Menengah Luar Biasa (SNILB) minimal 3 tahun. Selain itu, pada
pasal 6 PP No. 72 tahun 1991 juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman
Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga
tahun.
6) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu atau Terintegrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan
demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama
dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut
juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak
berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal.
Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam
rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagaian, jumlah anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa
keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini
untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru hams
melayani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesulitan yang dialami
oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing
Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala
sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi
sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas
khusus. Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:

1. Bentuk Kelas Biasa


Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena
itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru
bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk
khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk
keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh. Dalain keterpaduan ini
guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala
sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus.
Seagai konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat
mengenai kurikulum, maupun pei masalahan dalam mengajar anak
berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing
khusus, Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas
biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi
untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak.
Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran meriggambar, matematika,
menulis, membaca perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu
mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu
disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
2. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa
dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus
untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan
khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di
ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan
menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk
keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk
anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille,
peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga
keterpaduan sebagian.
3. Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan
sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah
umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut
juga keterpaduan lokalibangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai
pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian
yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa
digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan
sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untk kegiatan
yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi
pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Pada akhirnya, setiap model layanan pendidikan yang dikembangkan akan
berhasil jika guru sebagai pengajar sekaligus pendamping siswa harus mampu
mengkondisikan supaya kebutuhan pendidikan bagi masing-masing anak terpenuhi
dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Tirtayani (2017), bahwa terdapat
beberapa hal mendasar yang harus dilakukan oleh seorang guru terhadap anak
berkebutuhan khusus yaitu: (1) menghilangkan persepsi negatif, artinya dari awal
guru tidak boleh beranggapan bahwa anak tersebut tidak akan mampu mengikuti
pembelajaran justru diberikan motivasi khusus dengan strategi yang tepat; (2)
upaya monitoring peran, guru harus senantiasa menyadari bahwa penelolaan
pembelajaran yang dilakukan adalah berbeda dengan pembelajaran pada
umumnya. Karena peserta didik yang memiliki kebutuhan khsus akan sangat
berbeda perlakuan-perlakuan yang diberikan dibandingkan anak dengan kondisi
normal; (3) berefleksi dan memiliki harapan pada peserta didiknya, apabila peserta
didik belum mampu mencapai tujuan pembelajaran maka guru juga harus
melakukan refleksi terhadap metode dan startegi yang dirancang serta menaruh
harapan tersendiri pada peserta didik agar kelak mereka mampu memiliki
kemampuan untuk pencapaian hasil belajar yang lebih baik lagi.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Individu yang awalnya mampu melihat secara normal kemudian menjadi
tunanetra total tentu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis yang dapat
mempengaruhi peran dan status sosialnya di lingkungan sekitar. Sebab, masyarakat
pada umumnya memandang seseorang yang tunanetra sama dengan orang-orang yang
menderita sakit parah, mereka sama-sama dianggap lemah, tidak berdaya, dan perlu
dikasihani. Pandangan negatif dari masyarakat dapat mempengaruhi konsep dan
penerimaan diri individu tunanetra total karena penerimaan diri juga dibangun melalui
persepsi orang lain. Hal terberat bagi seorang individu tunanetra adalah menyikapi
stigma masyarakat umum dalam memandang seorang yang tunanetra sama dengan
orang-orang yang menderita sakit parah dan mereka sama-sama dianggap lemah dan
tidak berdaya serta perlu untuk dikasihani.
Karena dianggap tidak berdaya dalam melakukan hal apapun. Pandangan
negatif dari masyarakat tersebut dapat mempengaruhi konsep dan penerimaan diri
pada individu tunanetra, karna penerimaan diri juga dibangun melalui persepsi orang
lain. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang tunanetra harus berjuang dalam hal
pencarian peran dan status sosialnya di masyarakat agar mereka diterima jika dapat
menyesuaikan diri dan tidak merepotkan orang lain. Individu tunanetra memiliki
tingkat kesejahteraan psikologis yang baik, sebab mereka memiliki pengalaman
positif yang lebih banyak dibandingkan dengan emosi negatifnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Dr. Irdamurni, M.Pd (2018) “Memahami Anak Berkebutuhan Khusus” Penerbit Goresan
Pena. Jawa Barat, April 2018
Jurnal
Eko Priyadi (2014) “Analisis Aplikasi Talkback Bagi Penyandang Tunanetra Pada Operasi
Sistem Android” Fakultas Teknologi Informatika Universitas Dian Nuswantoro

Khairun Nisa, (2)Sambira Mambela dan (3)Lutfi Isni Badiah(1)Mahasiswa(2,3)Dosen


Pogram Studi Pendidikan Khusus (2018) “Karakteristik Dan Kebutuhan Anak
Berkebutuhan Khusus” FKIP Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Abadimas Adi
Buana Vol. 02. NO. 1, JULI 2018 e-ISSN : 2622 –5719, P –ISSN : 2622 -570033

Rendy Roos Handoyo (2016) “Pengembangan Komunikasi Anak Tunanetra Dalam


Permainan Kooperatif Traditional” Pendidikan Luar Biasa Pascasarjana UNY

Dimas Itna (2016) “Hubungan Sikap Terhadap Cara Mengajar Guru dengan Penyesuaian
Sosial di Sekolah pada Siswa SMALB Wyata Guna Bandung” repository.unisba.ac.id

Ni Luh Gede Karang Widiastuti (2019) “Model Layanan Pendidikan Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami Kecacatan Fisik”

Makalah
Isartiwi (2008) “Rehabilitasi Dasar Untuk Semua Jenis Kecacatan, Topik: Dampak Penyakit
Terhadap Mata” di Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Jl. Kaliurang, Yogyakarta, 19
November 2008.
Ibid. Aqila Smart, (2014) “Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi
untuk Anak Berkebutuhan Khusus” (Jogjakarta: Katahati, 2014)

Anda mungkin juga menyukai