Muhammad Taufik
Nando Apriyansyah
Sarina Kabogau
5B
PENDIDIKAN JASMANI
UNIVERSITAS BENGKULU
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga tugas kelompok “penjas adaktif” dapat kami selesaikan
sesuai waktu yang ditargetkan. Makalah ini kami susun untuk memberikan informasi kepada
pembaca mengenai “tunanetra” serta sebagai bahan penilaian dalam menguji pemahan belajar
kami..
Kami menyadari dalam makalah ini terdapat kekurangan ataupu kesalahan, untuk itu
kami mohon kritik demi kesempuranaan makalah selanjutnya. Atas partisipasinya kami
ucapkan terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A Latar Belakang................................................................................... 1
B Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C Tujuan................................................................................................ 2
D Manfaat ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
1. Pengertian Tunanetra......................................................................... 3
3. Dampak Ketunanetraan..................................................................... 8
A Kesimpulan........................................................................................ 15
B Saran.................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, namun dibalik
kesempurnaan itu terdapat beberapa orang yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang
dimiliki individu tidak selamanya dipandang sebagai hal yang wajar sehingga terdapat pihak
yang berpandangan bahwa individu yang memiliki keterbatasan tidak sama dengan individu
pada umumnya yang sempurna baik fisik maupun mentalnya.
B. Rumusan masalah
D. Manfaat
Bagi penulis : makalah ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan tentang
pengertian tunanetra, klasifikasi anak tunanetra, dan karakteristik anak tunanetra. Selain itu
juga untuk melatih membuat makalah yang baik dan benar. Bagi pembaca : dengan
membaca makalah ini tentunya akan menambah pengetahuan mereka mengenai topik yang
dibicarakan dan diharapkan nantinya mampu membagi pengetahuan mereka kepada orang
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian tunanetra
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan.
b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-
kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan
pribadi.
d. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran
mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e. dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian
diri.
a. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan
dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan
dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian
daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
a. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki
bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
b. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan
20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
a. Myopia adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang
retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses
penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
b. Hyperopia adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan
retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses
penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
c. Astigmatisme adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena
ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga
bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi
dengan lensa silindris.
C. Dampak Ketunanetraan
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung
pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya. Setiap orang
mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang
ditentukan oleh factor-faktor berikut:
b. struktur fisiologisnya
Dari keempat factor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan
dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan
dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka
tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang
dunia ini sejauh mungkin berbeda dari konsepsi orang awaspada umumnya.
Peran orang tua sangat penting dalam perkemabangan anak tunanetra. Akibat ketunaan
yang dialami tidak jarang orang tua merasa malu dan tidak menerima keadaan yang dialami
oleh sang anak. Tidak jarang hal ini sering menimbulkan permasalahan pada kedua orang
tuanya, dan bisa memicu perceraian. Namun jika kedua orang ua bisa saling menerima
keadaan sang anak itu bisa berdampak baik pada perkembangan si anak sendiri. Pada
umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang “normal”
itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan,
meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-
tahun. Proses “duka cita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak
penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap
hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan
hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan social
anak.
Pada dasarnya perkembangan bahasa pada anak tunanetra tidak jauh berbeda dengan anak
awas pada umumnya. Mereka bisa berkomunikasi dengan baik dengan mereka yang awas.
Dalam belajar berkomunikasi mereka sama-sama mendengarkan.
Kemampuan yang paling berpengaruh pada tuna netra adalah pada saat bermobilitas yaitu
kemampuan bergerak secara leluasa. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan
kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek
dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976). Para pakar dalam bidang
orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu
tunanetra untuk memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan
(sequncial mode) menggambarkan keadaan sekitar dengan titik-titik lingkungan tersebut
secara berurutan. Ataupun dengan peta konsep yakni gambar antopografis tentang hubungan
secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan.. Metode peta kognitif lebih
direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam
menavigasi lingkungan. Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apapun , metode urutan
ataupun metode peta kognitif- individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas
dibandingkan dengan sebayanya yang awas.
Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna
netra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing
penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk membantu
orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan. Agar anak tuna netra
memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya
bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas
D. Kemampuan Bahasa Dan Berbicara Anak Tunanetra
Anak yang sejak lahir mengalami tunanetra beratakan kesulitan untuk belajar ahasa
sebab sebagian besar proses pembelajaran bahasa dan bicara pada anak melalui imitasi dan
penglihatan yang diobservasi dari lingkungannya. Atas dasar itulah, perkembangan bahasa
anak yang mengalami ketunanetraan sejak lahir, konsep perbendaharaan kata yang dimiliki
lebih lambat dibandingkan dengan anak normal, sebab anak tunanetra hanya mengenal nama-
nama tanpa mempunyai pengalaman untuk memahami hakikat secara langsung objeknya,
interprestasinya hanya menurut gagasannya, dan cenderung verbalistik.
Kehilangan seluruh atau sebagian fungsi penglihatan pada anak tunanetra akan
menimbulkan dampak negative atas kemampuannya yang lain, kemampuan mendayagunakan
kemamppuan fisiknya yang lain, seperti pengembangan fungsi psikis dan penyesuaian sosial.
Perkembangan bahasa anak tunanetra sebagai berikut :
1. Awal mula perkembangan bahasa pada anak yang mengalami hambatan dalam
penglihatan sama dengan anak awas lainnya, dimulai dengan mengucapkan bunyi-bunyi
vokal pada usia sekitar 8 minggu.
4. Mulai mengucapkan kata yang bermakna dan mulai meniru bunyi pengucapan kata
sampai usia 48 minggu.
Setelah melewati usia 1 tahun, anak yang mengalami hambatan visual akan
menunjukkan perkembangan bahasa yang lambat, karena keterbatasan untuk mengobservasi
dan memadukan secara simultan antara bunyi kata, makna bunyi kata, dan objek yang
memiliki makna bunyi kata ybs. Konsekwensinya anak akan kehilangan berbagai stimulasi
untuk merangsang perkembangan bahasanya. Dalam melakukan dialog dengan orang
lain, anak yang mengalami hambatan visual akan kesulitan untuk mengembangakan
pembicaraan, karena keterbatasan objek pembicaraan, sehingga anak kehilangan banyak
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan bahasanya.
Anak tunanetra dalam belajar membaca menggunakan cara yang khusus, yakni
menggunakan huruf-huruf yang diciptakan oleh braille. Sebelum ditemukan huruf braille,
pengajaran membaca pada anak tunanetra sempat dicoa dengan menggunakan huruf latin
yang dibuat timbul, namun hal ini rupanya kurang efektif dan efisien. Huruf braille yang
digunakan sebagai pengganti huruf latin, terdiri atas titik-titik yang ditumbulkan dan dibaca
dengan jari-jari. Huruf braille tersusun dari enam buah titik, dua dalam posisi vertical dan tiga
dalam posisi horizontal.
Penggunaan jari-jari sebagai alat pembaca huruf braille, Burken (1932) dalam
penelitiannya menyimpulkan, bahwa jari-jari yang dominan dalam membaca braille adalah
telunjuk dan jari tengah. Cara membacanya yakni gerakan naik turun dan horizontal, boleh
juga dengan memutar. Membaca braille dengan tangan kanan lebih efisien daripada membaca
braille dengan tangan kiri, serta membaca braille dengan diam lebih cepat daripada membaca
dengan oral.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Fitriyah, Chusniatul & Rahayu, Siti Azizah. (2013). Konsep Diri pada Remaja
Tunanetra di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Surabaya. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
http://ririsagustin.blogspot.co.id/2012/05/tunanetra.html
https://devianggraeni90.wordpress.com/2010/02/17/anak-tunanetra/
Mestika, Puti Addina. Sarana Bantu Atletik Lari Tunanetra dengan Sistem
Kerja Line Follower. Bandung: Institut Teknologi Bandung.