Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Disusun Oleh :
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya yang
telah menganugerahkan kepada kami semua sebuah kecerdasan yaitu otak, dengan
kapasitor memori yang besar, sehingga kita sebagai khalifah di muka bumi ini,
merupakan makhluk yang paling mulia derajatnya dari sebaik-baiknya kejadian
semua makhluk hidup yang diciptakan Allah SWT.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Anak Bekebutuhan Khusus. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memberikan informasi tentang Tunarungu. Dalam penyusunan makalah ini, penulis
banyak mendapat tantangan dan hambatan terutama dalam pencarian data sebagai
referensi dalam pembuatan makalah ini. Namun dengan bantuan dari berbagai pihak,
makalah ini bisa terselesaikan. Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Nova Estu
Harsiwi selaku dosen mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah pemahaman tentang materi
ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan dapat menambah
pengetahuan pembaca tentang Tuna Rungu. Penulis pun senantiasa mengharapkan
masukan dari pembaca, baik kritikan maupun saran yang membangun, karena kami
menyadari bahwa kami tak luput dari kesalahan dan kekurangan dalam menyusun
makalah ini. Terima kasih dan selamat membaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Gerakan untuk kesejahteraan Tunarungu Indonesia, jumlah penyandang
tunarungu dari usia balita hingga lansia lebih kurang 6.000.000 per orang. Data riskesdas
2013 menyajikan bahwa informasi prevalensi anak yang mengalami kecacatan gangguan
pendengaran sebagai besar berada pada rentan usia 24059 bulan. Kecacatan disini
merupakan seperti terkena penyakit atau trauma/kecelakaan.
Anak tunarungu merupakan anak berkebutuhan khusus yang mana kehilangan
dalam pendengaraanya/ tidak dapat mendengar dengan baik bahkan tidak bisa sama
sekali. Tunaringu sendiri berasal dari kata tuna dan rungu. Tuna artinya kurang dan rungu
artinya pendengaran. Orang tunarungu tidak dapat menangkap rangsangan melalui indera
pendengaran (Dwiyono dalam Lendra, 2012: 4).
Peraturan daerah nomor 2 tahun 2008 tentang kesetaraan difabel ditetapkan. Perda
tersebut mengatur setiap disabilitas berhak untuk memperoleh kesempatan dalam layanan
public terkait dengan kehidupan dan penghidupannya, tindakan
rehabilitaspenyelenggaraan pemerintah daerah, dan pembangunan fasilitas layanan
umum, serta mewajibkan pemerintah mewujudkan kesetaraan difabelmelalui
perlindungan dari segala eksploitasi dan penerapan peraturan perundang-undangan yang
diskriminatif dan kesempatan bagi para disabilitas untuk membangun daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tunarungu?
2. Bagaimana karakteristik dari tunarungu?
3. Bagaimana dengan klasifikasi dari tunarungu?
4. Apa penyebab dari tunarungu?
5. Apa saja kebutuhan anak tunarungu?
6. Bagaimana pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu?
7. Bagaimana dengan komunikasi anak tunarungu?
8. Bagaimana dengan metode pembelajaran bagi anak tunarungu?
1
9. Bagaimana dengan media pembelajaran tunarungu?
10. Bagaimana dengan alat bantu dengar anak tunarungu?
11. Bagaimana dengan layanan bimbingan anak tunarungu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari tunarungu.
2. Untuk mengetahui karakteristik dari tunarungu.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari tunarungu.
4. Untuk mengetaui apa yang menjadi penyebab dari tunarungu.
5. Untuk mengetahui kebutuhan anak tunarungu.
6. Untuk mengetahui pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu.
7. Untuk mengetahui komunikasi anak tunarungu.
8. Untuk mengetahui metode pembelajaran bagi anak tunarungu.
9. Untuk mengetahui media pembelajaran bagi tunarungu.
10. Untuk mengetahui alat bantu dengar tunarungu.
11. Untuk mengetahui layanan bimbingan anak tunarungu.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunarungu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyatakan bahwa tunarungu adalah
istilah lain dari tuli yaitu tidak dapat mendengar karena rusak pendengaran. Secara
etimologi, tunarungu berasal dari kata “tuna” dan ‘rungu’. Tuna artinya kurang dan rungu
artinya pendengaran.
Menurut Soewito dalam buku Ortho paedagogik Tunarungu adalah Seseorang
yang mengalami ketulian berat sampai total, yang tidak dapat menangkap tuturkata tanpa
membaca bibir lawan bicaranya. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami
kehilangan kemampuan mendengar baik itu sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan
kerusakan fungsi pendengaran baik sebagian atau seluruhnya sehingga membawa
dampak kompleks terhadap kehidupannya (Nofiarrahma, 2018: 3).
Beberapa definisi tunarungu di atas merupakan definisi yang termasuk kompleks,
sehingga dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan
dalam pendengarannya, baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa
pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja
anak tunarungu masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus(Nofiarrahma, 2018: 3).
B. Karakteristik Tunarungu
Karakteristik yang khas menurut Effendi (2010) diantaranya sebagai berikut :
1. Karakteristik dari segi inteligensi
Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata akan
tetapi, semua perkembangan inteligensi juga dipengaruhi oleh perkembangan bahasa,
maka tampaknya inteligensinya rendah disebabkan karena kesulitan dalam memahami
bahasa. Perkembangan intelegensi anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan
mereka mendengar, karena dengan pendengaran inilah yang dapat membuat mereka
berpikir. Rendahnya intelegensi anak tunarungu bukan disebabkan IQ potensialnya
yang tidak berkembang, tetapi fungsinya kurang memperoleh kesempatan untuk
3
berkembang. Aspek intelegensi yang terhambat hanya bersifat verbal, misalnya dalam
memberikan makna, menarik kesimpulan, dan meramalkan sesuatu kejadian.
2. Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara
Perkembangan bahasa bicara anak tunarungu sampai saat mendengar, tidak
mengalami hambatan, karena mendengar merupakan kegiatan alami, dalam upaya
melatih pernapasan dan pita suara. Bahasa bagi anak tunarungu merupakan alat
berpikir dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi. Maka melalui mendengar
mereka dilatih dan dididik secara khusus. Dengan melalui latihan maka bahasa
bicaranya diharapkan dapat berkembang. Kita memahami dengan
ketidakmampuannya berbahasa dan bicara dibandingkan dengan anak normal
sebayanya akan tampak mereka lebih tertinggal. Hal ini dapat disadari bahwa anak
tunarungu walaupun sudah didik secara khusus masih banyak di antara mereka yang
tetap ketinggalan dua sampai empat tahun dalam kemampuan membaca dan menulis
jika hal ini kita bandingkan dengan anak yang mendengar. Untuk itu, kita
mengharapkan dalam pengembangan komunikasi perlu tenaga pendidik dan
bimbingan yang professional.
3. Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
Dengan ketunarunguan dapat mengakibatkan kurang kepercayaan dirinya dan
merasa asing dari masyarakat tempat mereka hidup, sehingga tampak adanya
kekurangan dalam interaksi sosial dengan lingkungan tersebut. Dengan demikian
semua ini mengakibatkan pada diri muncul adanya suatu keterasingan antara mereka
dengan anak normal mendengar lainnya. Selain itu pada anak tunarungu punya
pandangan yang negatif atau bertindak kurang menyenangkan terhadap lingkungan.
Melihat gejala yang tampak ini akan dapat mempengaruhi kepada perkembangan
kepribadian anak tunarungu.
4. Egosentrisme yang melebihi anak normal
Daerah pengamatan anak tunarungu lebih kecil jika dibandingkan dengan anak
yang mendengar, mereka hanya mampu menangkap dan memasukkan sebagian kecil
dunia luar ke dalam dirinya. Jadi makin sempit dunia di luar hidupnya semakin
menutup dan mempersempit kesadaran. Bagi anak yang masih mempunyai sisa
pendengaran, dan jika alat bantu pendengarannya dipakai sejak kecil maka akan dapat
4
membantu memfungsikan sisa pendengaran yang ada. Sehingga di dalam menempuh
hidupnya dapat terjalin komunikasi dan interaksi sosial dengan masyarakat di
lingkungannya.
Selain itu kita sangat menyadari bahwa penglihatan dan pengamatan anak
tunarungu sangat besar peranannya, sehingga dalam perjalanan hidupnya mereka
memiliki sifat sangat ingin tahu seolah-olah mereka selalu haus untuk melihat. Hal
tersebut bisa juga terjadi pada orang yang mendengar, tetapi bagi anak tunarungu sifat
tersebut lebih menonjol.
5. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
Bagi orang normal yang mendengar dapat saja suatu saat dihinggapi perasaan
takut akan kehidupan ini, tetapi bagi anak tunarungu lebih sering muncul perasaan
tersebut. Semua ini dapat terjadi karena anak tunarungu sering merasa kurang
menguasai keadaan yang ada hal ini diakibatkan karena pendengaran yang mengalami
gangguan, sehingga sering muncul pada dirinya kekhawatiran yang lebih sehingga
menimbulkan ketakutan.
6. Ketergantungan terhadap orang lain
Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah
dikenalnya dengan baik, merupakan sikap bahwa mereka memiliki rasa keputusasaan
dan selalu mencari bantuan dan perlindungan terhadap orang lain, maka di sini berarti
anak tunarungu kurang percaya diri dan kurang yakin dengan apa yang telah dimiliki.
7. Perhatian yang sukar di alihkan
Suatu hal yang sering terjadi pada anak tunarungu baik di sekolah maupun di
lingkungan tempat mereka tinggal, apabila ia menyukai suatu benda, atau menyukai
suatu jenis kegiatan yang berupa keterampilan atau permainan bisa mereka
melakukannya maka perhatiannya sulit untuk di alihkan. Anak tunarungu sukar di
ajak berpikir tentang hal-hal yang belum terjadi artinya anak tunarungu lebih miskin
fantasi (abstrak).
8. Memiliki sifat polos, sederhana tanpa banyak masalah
Di dalam hidupnya sehari-hari mereka seakan-akan tidak mempunyai beban
biasanya dengan mudah menyampaikan perasaannya kepada orang lain tanpa berpikir
dan mempertimbangkan atau memandang bermacam-macam segi yang mungkin
5
menjadi penghalang. Hal ini bisa dipahami karena anak tunarungu tidak memilih
alternatif lain karena anak tunarungu tidak menguasai suatu ungkapan dengan baik,
bila itu tidak berkenan dalam hatinya maka anak tunarungu langsung menyampaikan
walaupun perkataanya akan menyingung perasaan seseorang.
9. Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung
Karena sering mengalami kekecewaan disebabkan karena kesukaran dalam
menyampaikan pikiran perasaan kepada orang lain, hal ini di ekspresikan dengan
kemarahan, Mereka kadang kala berpikir bahwa setiap orang yang berbicara di
hadapan mereka seakan-akan yang dibicarakan oleh orang lain tersebut adalah
membicarakan dia, atau meledeknya. Anak tidak akan tersinggung apabila mampu
memahami, mengerti, dan menguasai dirinya melalui bahasa yang dimilikinya luas.
Artinya apa yang dibicarakan orang lain akan lebih mudah dia kuasai dan akan
semakin mudah pula mereka berbicara. Akhirnya semua ini akan dapat
menumbuhkan keyakinan di dalam menerima dirinya, dengan kata lain kepercayaan
diri semakin tinggi, akhirnya akan menunjukkan kematangan dalam berperilaku
(kepribadiannya) (Shinta, 2011 : 13-17).
C. Klasifikasi Tunarungu
Menurut Agustina (2021 : 57-59) menjelaskan bahwa klasifikasi berkurangnya
pendengaran menurut lokasi anatomis meliputi:
1. Conductive Hearing Loss, adalah kondisi berkurangnya kemampuan mendengar
dikarenakan rusaknya organ fisik dari telinga.
2. Sensorineural Hearing Loss, adalah kondisi berkurangnya kemampuan mendengar
dikarenakan rusaknya syaraf organ telinga.
3. Mixed Hearing Loss, adalah kondisi berkurangnya kemampuan mendengar
dikarenakan rusaknya organ fisik dari telinga dan rusaknya syaraf organ telinga.
Pengkategorian tingkat tunarungu berikut ini disesuaikan pada International Standard
Organization, juga berdasarkan pada intensitas suara yang diterima, yaitu sebagai berikut:
1. Gangguan Pendengaran Ringan (Slight Hearing Lost)
Anak mengalami kehilangan pendengaran antara 27 – 40 desibel. Gangguan
tingkat ini tidak dapat mendengarkan suara yang berasal dari jarak jauh. Anak yang
6
mengalami gangguan pendengaran ringan dapat dibantu dengan menggunakan alat
bantu pendengaran.
2. Gangguan Pendengaran Taraf Ringan (Mild Hearing Loss)
Anak mengalami kehilangan pendengaran antara 41 – 55 desibel. Mereka
mengalami kesulitan mendengarkan dalam jarak 3 hingga 5 kaki. Agar dapat
membaca gerak bibir dari komunikan penderita gangguan pendengaran ini harus
saling berhadapan dengan lawan bicaranya ketika berkomunikasi.
3. Gangguan Pendengaran Taraf Sedang (Moderate Hearing Loss)
Anak mengalami kehilangan pendengaran antara 56 – 70 desibel. Mereka
kesulitan memahami percakapan kecuali jika diucapkan secara keras. Perkembangan
dan kemampuan berbahasanya mengalami keterlambatan.
4. Gangguan Pendengaran Berat (Severe Hearing Loss)
Anak mengalami kehilangan pendengaran antara 71 – 90 desibel. Mereka hanya
dapat mendengar suara yang keras jika suara itu berada di dekat telinganya. Adanya
alat bantu dengar hanya berfungsi sedikit dalam membantu mereka. Pembelajaran
gangguan pendengaran berat ini harus dibantu dengan membedakan.
5. Gangguan Pendengaran Sangat Berat (Profound Hearing Loss)
Anak mengalami kehilangan pendengaran antara 91 – 120 desibel. Jika terdapat
suara yang keras mereka hanya bisa merasakan getarannya saja. Penyandang ganguan
pendengaran ini tidak memilik kemampuan berbicara dan kapasitas dalam
membedakan bunyi. Adanya alat bantu dengar pun tidak dapat membantu mereka.
6. Gangguan Pendengaran Total ( Total Hearing Loss)
Anak mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 120 desibel. Artinya mereka
tidak dapat mendengar maupun merasakan adanya getaran sama sekali. Pembelajaran
pada gangguan tingkat ini hanya menggunakan visual saja. Peran bahasa isyarat
dalam kasus ini sangat penting untuk proses komunikasi dan pembelajaran (Agustina,
2021 : 57-59).
D. Penyebab Tunarungu
Menurut Pratiwi pada buku Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus (2011: 11-13)
menjelaskan bahwa ketunarunguan seseorang bisa terjadi sebelum lahir yang disebut
dengan prenatal, ketika lahir disebut natal, dan setelah lahir disebut posnatal. Namun
7
didalam menyampaikan tentang penyebab anak tunarungu tergantung kepada kita dari
mana kita memandang.
Trybus dalam Krik dan Gallagher yang dialihbahasakan oleh Amin (1990)
mengemukakan penyebab ketunarunguan antara lain :
1. Keturunan
2. Campak Jerman dari pihak ibu
3. Komplikasi selama kehamilan atau kelahiran
4. Radang selaput otak (meningistis)
5. Otitis media (radang pada telinga bagian tengah)
6. Penyakit anak-anak, radang, dan luka-luka (Pratiwi, 2011 : 12-13).
Sedangkan para ilmuwan dari pihak lain ada yang mengelompokkan berdasarkan
faktor-faktor penyebab ketunarunguan yaitu :
1. Faktor dalam diri anak
Faktor dari dalam diri anak dapat disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu
atau kedua orang tua yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang
berbeda sehingga mengakibatkan ketunarunguan. Dalam hal ini juga karena transmisi
antara gen dari kedua orang tua anak ada yang dominan dan ada pula yang resesif
serta berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun ini merupakan pendapat umum
tapi belum ada kepastian berapa persen yang disebabkan oleh keturunan namun
diperkirakan oleh Moores dalam Somad (1996) ibu yang mengandung menderita
campak Jerman (rubella). Penyakit rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama
akan berpengaruh buruk pada janin (Pratiwi, 2011 : 12-13).
Sedangkan Hardy dalam Kirk dan Gallagher (1990) melaporkan 199 anak-anak
yang ibunya terkena virus rubella selagi mengandung selama masa tahun 1964
sampai 1965, 50% dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubella
dari pihak ibu merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal sebagai penyakit
ketunarunguan. Ibu yang sedang mengandung mengalami keracunan darah atau
Toxaminia, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi
terhadap pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat
pendengaran maka anak tersebut akan lahir dalam keadaan tunarungu (Pratiwi, 2011 :
12-13).
8
2. Faktor luar diri anak
Anak mengalami infeksi pada saat lahir atau kelahiran. Misalnya, anak terserang
Herpes Implex, jika infeksi ini menyerang kelamin ibu dapat menular kepada anak
saat anak dilahirkan. Penyakit kelamin dapat ditularkan lewat virus. Penyakit-
penyakit yang ditularkan bisa menimbulkan infeksi dan dalag menyebabkan
kerusakan pada alat-alat syaraf pendengaran (Pratiwi, 2011 : 12-13).
Menurut Kirk dan Gallagher (1990) yang telah mengutip pemdapat Vernon
(1968) menyatakan bahwa meningitis atau radang selaput otak sebanyak 8,1%, Ries
(1973) melaporkan 4,9%, sedang Trybus (1985) memberikan keterangan sebanyak
7,3% Otitis Media (radang telinga bagian tengah), telinga berair (nanah), dan nanah
mengumpul dapat mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi ini kronis dan tidak
segera diobati , bisa menimbulkan kehilangan pendengaran. Penyakit ini sering terjadi
pada masa kanak-kanak sebelum mencapai usia enam tahun. Ketunarunguannya
bertipe konduktif, selain itu bisa karena infeksi pernapasan atau pilek dan penyakit
anak-anak seperti campak. Penyakit lain bisa disebabkan oleh kecelakaan yang dapat
menimbulkan benturan pada bagian kepala sehingga dapat pula menimbulkan
kerusakan pada alat pendengaran bagian tengah dan dalam (Pratiwi, 2011 : 12-13).
9
4. Kebutuhan akan aktivitas, yaitu kebutuhan ikut terlibat dalam kegiatan keluarga
maupun dalam lingkungan yang lebih luas lagi. Sebagaimana halnya pada anak
normal lainnya, anak tuna rungu pun ingin melibatkan diri dalam permainan dengan
teman sebayanya.
5. Kebutuhan akan kebebasan, yakni ia membutuhkan kebebasan untuk berbuat,
berinisiatif, bebas untuk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Anak tuna
rungu tidak ingin selalu terikat oleh orang lain. Kebebasan yang anak tina rungu
butuhkan bukan kebebasan mutlak, melainkan kebebasan dengan batas-batas tertentu.
6. Kebutuhan akan kesehatan, yakni merupakan kebutuhan wajar anak yang sedang
tumbuh. Anak tuna rungu memerlukan tubuh yang sehat, kuat serta mampu menjaga
diri dari berbagai gangguan penyakit.
7. Kebutuhan untuk berekspresi, yaitu kebutuhan untuk mengemukakan pendapat yang
dapat dipahami oleh orang lain. Anak tuna rungu memerlukan bimbingan komunikasi
yang wajar untuk dapat mengemukakan pikiran, perasaan, serta kehendaknya kepada
orang lain. Kebutuhan berekspresi ini bukan hanya yang berhubungan dengan
masalah komunikasi, melainkan juga bentuk-bentuk ekspresi lain seperti
menggambar, bermain peran, melakukan kegiatan atau pekerjaan lain yang dapat
mewakili curahan isi hatinya.
10
staff pendidikan khusus, dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang
layak dan berarti bagi semua siswa.
Tujuan utama Full inclusion adalah meningkatkan kompetensi anak tuna rungu
dalam hubungan dengan teman sebayanya. Dengan hal ini anak tunarungu memperoleh
peranan yang lebih besar sehingga akan mampu memahami dirinya, menerima dirinya,
mencegah dirinya dari permasalahan serta akan bisa mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Dalam hal ini Full inclusion juga membantu anak tunarungu dalam
mengoptimalisasikan dirinya demi tercapai keberhasilan baik akademik, pengembangan
emosi maupun sosialisasinya serta dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
(Pratiwi, 2011: 19).
11
c. Isyarat kata saya, dalam menunjukkan isyarat saya anak tunarungu meletakkan
tangannya di depan dada sambil menunjukkan jari kelingking. Jari kelingking
yang ditunjukkan sebagai isyarat menunjukkan dirinya.
d. Ucapan terimakasih, dalam isyarat terimakasih seorang tunarungu akan
menengadahkan tangannya ke depan dengan telapak tangan di atas menunjukkan
bahwa anak tunarungu mengucapkan terimakasih dengan ekspresi wajah yang
memohon menunjukkan bahwa mereka benar benar berterimakasih.
e. Isyarat abjad (huruf), Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) adalah sistem
komunikasi yang praktif dan efektif untuk penyandang tunarungu Indonesia yang
telah dikembangkan oleh kaum tunarungu. Salah satunya yaitu isyarat abjad/
huruf (Mursita, 2015: 224). Isyarat abjad menggunakan jari digunakan untuk
mengisyaratkan nama diri, singkatan atau akronim serta kata yang belum ada
isyaratnya dengan mengeja huruf satu per satu (Agustina, 2021: 54).
12
a. Vokalik merupakan tingkah laku nonverbal berupa suara yang didalamnya
terdapat unsure kata-kata yang saling berkaitan satu sama lain dan menjadi salah
satu faktor pendukung bagi individu dalam berkomunikasi dengan individu
lainnya.
b. Ekspresi wajah merupakan sebuah bentuk penyampaian komunikasi nonverbal
yang menyanpaikan keadaan emosinya melalui ekspresi wajah seperti marah,
sedih, gembira, bingung, terkejut, malu, bosan atau tertarik.
c. Kontak mata yaitu berhubungan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh
seoran individu (tunarungu) untuk melakukan kontak mata dalam berkomunikasi.
d. Bahasa tubuh yaitu sebuah komunikasi nonverbal yang menggunakan tubuh
sebagai penyampaian komunikasi seperti menggeleng, meganggukkan
kepala,menggerakkan tangan atau kaki.
e. Gerak isyarat merupakan gerakan yang menunjukkan atau memiliki suatu arti.
Seperti lambaian tangan yang berarti mengucapkan selamat jalan. Gerak isyarat
ini juga dapat menggunakan isyarat abjad menggunakan Sistem Bahasa Isyarat
Indonesia (SIBI) yaitu sistem hasil rekayasa dan ciptaann dari orang normal
untuk berkomunikasi dengan penyandang difabel tunarungu dan bukan berasal
dari penyandang difabel tuna rungu (Febriana, 2015: 7). Salah satunya
penggunaan isyarat abjad SIBI.
13
f. Sentuhan yaitu sebuah bentuk komunikasi nonverbal yang secara langsung
memberikan tindakan seperti berjabat tangan, berpelukan, mencium pipi, dan
sebagainya.
g. Gerak tubuh merupakan gerakan anggota tubuh yang berkaitan dengan tingkah
laku.
14
alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal
(mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen
internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam
cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan
internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang
untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi
elektrik pada syaraf pendengaran.
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran
yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan
berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang
ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini
adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam
kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat
memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya.
Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu
dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.
3. Belajar secara Manual.
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi
manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah
mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Komunikasi manual
dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa
kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian
penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung
membentuk masyarakat yang eksklusif.
Komponen bahasa isyarat meliputi:
a. Abjad jari (finger spelling), adalah jenis isyarat yang dibentuk dengan jari-jari
tangan untuk menggambarkan abjad atau untuk mengeja huruf dan angka.
15
b. Ungkapan badaniah/bahasa tubuh, meliputi keseluruhan ekspresi tubuh,
seperti sikap tubuh, ekspresi muka ( mimik ), pantomimik, dan gesti atau
gerakan yang dilakukan seseorang secara wajar dan alami.
c. Bahasa isyarat asli, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat
konvensional yang berfungsi sebagai pengganti kata, yang disepakati oleh
kelompok atau daerah tertentu. Secara garis besar, bahasa isyarat asli
dibedakan menjadi 2 yaitu bahasa isyarat alamiah dan bahasa isyarat
konspetual.
d. Bahasa isyarat formal, yaitu bahasa nasional dalam isyarat yang biasanya
menggunakan kosakata isyarat dengan struktur bahasa yang sama persis
dengan bahasa lisan.
Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan dengan metode
pembelajaran yang sama dengan sekolah umum, contohnya metode tanya jawab,
demonstrasi, dan sebagainya.
1. Benda Nyata
Tunarungu mengalami hambatan pada pendengaran sehingga media pembelajaran
yang digunakan lebih menekankan ke visual. Nah benda nyata merupakan salah
satunya, dimana anak bisa melihat langsung mengenai benda yang dimaksud sambil
disajikan nama bendanya melalui tulisan. Media ini bisa digunakan untuk mengajar
materi berbagai hal seperti mengenal berbagai benda.
2. Pias Kata
Pias kata adalah media pembelajaran yang bisa digunakan untuk melatih anak
tunarungu membuat kalimat. Biasanya dalam suatu kalimat terdapat kata yang kosong
sehingga tugas anak untuk mencari kata yang tepat.
3. Media Gambar
16
Media gambar digunakan untuk mengenal materi nama-nama benda dimana
digambar tersebut juga disertakan keterangan tulisan nama benda tersebut. Di kelas
SDLB media ini sering digunakan misalnya anak berlatih belajar nama-nama hewan,
nama-nama buah, dan nama benda lainnya.
4. Video
Media video bisa menjadi pilihan dalam mengajar anak dengan hambatan
pendengaran misalnya saja tentang fenomena alam seperti proses terjadinya hujan,
maupuan proses gunung berapi meletus. Diamana tidak mungkin dijelaskan
menggunakan metode ceramah.
5. Cermin Artikulasi
Media ini digunakan sebagai feed back visual dengan cara melihat atau
mengontrol gerakan dari organ artikulasi diri siswa. Selain itu bisa juga dengan cara
menyamakan gerakan atau posisi organ artikulasi dirinya dengan posisi organ
artikulasi guru atau pengajar.
6. Alat musik
Seperti gong, suling, piano, organ, harmonika, rebana dll jika digunakan dalam
pembelajaran akan dapat membantu siswa tunarungu untuk mempelajari suatu materi.
7. Berbagai sumber bunyi
a. Suara alam contohnya gemercik air hujan, angin menderu, suara petir
b. Suara binatang contohnya gonggongan anjing, kicauan burung, ringkikan kuda,
auman harimau dll.
c. Suara yang dibuat manusia seperti batuk, tertawa, percakapan, tepukan tangan,
suara peluit, dll.
17
memperhatikan enam kategori pembagian tunarungu, yaitu gangguan pendengaran ringan
(slight), ringan (mild), sedang, berat, sangat berat dan total. Dengan begitu, maka siswa-
siswi tunarungu dapat dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda sesuai kategori yang
telah ditentukan dengan menggunakan alat bantu dengar tersebut, supaya cara
memberikan pelajarannya dapat diterima lebih terarah. Alat bantu dengar tersebut akan di
pasangkan headset bluetooth yang mengarah ke lubang telinga. Harapannya alat bantu
dengar tersebut akan membantu perlahan siswa-siswi tunarungu di SLB mulai mendengar
dan mulai berlatih untuk bicara.
18
d. Latihan bina bicara
Latihan bina bicara ini bertujuan agar anak tuna rungu memiliki dasar ucapan
yang benar sehingga dapat dimengerti orang lain, memberi keyakinan pada anak tuna
rungu bahwa bunyi atau suara yang yang diproduksi melalui organ bicaranya harus
mempunyai makna, membedakan ucapan yang satu dengan ucapan yang lainnya,
serta memfungsikan organ-organ bicaranya yang kaku.
e. Layanan bina persepsi bunyi dan irama
Layanan bina persepsi bunyi dan irama merupakan layanan untuk melatih
kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui sisa pendengaran atau merasakan vibrasi
(getaran bunyi) bagi siswa yang hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan dalam pendengarannya,
baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa pendengaran. Meskipun anak
tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak tunarungu masih
memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Nofiarrahma, 2018: 3).
Karakteristik yang khas menurut Effendi (2010) diantaranya yaitu karakteristik
dari segi intelegensi, karakteristik dalam segi bahasa dan bicara, karakteristik dalam segi
emosi dan sosial, egosentrisme yang melebihi normal, mempunyai perasaan takut akan
lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian yang sukar
dialihkan, memiliki sifat polos, lebih mudah marah.
Menurut Agustina (2021 : 57-59) menjelaskan bahwa klasifikasi berkurangnya
pendengaran menurut lokasi anatomis meliputi Conductive Hearing Loss, Sensorineural
Hearing Loss, dan Mixed Hearing Loss. Menurut Pratiwi pada buku Psikologi Anak
Berkebutuhan Khusus (2011: 11-13) menjelaskan bahwa ketunarunguan seseorang bisa
terjadi sebelum lahir yang disebut dengan prenatal, ketika lahir disebut natal, dan setelah
lahir disebut posnatal.
Menurut Nofiaturrahmah (2018: 10-12) menjelaskan bahwa anak tuna rungu
mempunyai kebutuhan seperti halnya anak normal sebagai berikut: Kebutuhan akan
keteraturan yang bersifat biologis, kebutuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
keluarga, kebutuhan akan keberhasilan dalam suatu kegiatan baik secara individual
maupun secara kolektif, kebutuhan akan aktivitas, kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan
akan kesehatan, dan kebutuhan untuk berekspresi.
Menurut Efendi (2010) dalam buku Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus oleh
Pratiwi (2011: 19) menjelaskan bahwa upaya pengembangan psikologis dan sosial anak
tuna rungu dapat dilakukan dalam bentuk bimbingan dan pelayanan yakni Full Inclusion
(Integrasi Penuh) melalui program mentoring. Pola komunikasi anak tunarungu dengan
sesama tunarungu biasanya menggunakan bahasa isyarat sedangkan pola komunikasi
anak tunarungu dengan orang normal menggunakan komunikasi nonverbal.
20
Metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru kepada anak tunarungu,
yaitu (Kurnaeni : 2011) : belajar melalui membaca ujaran (speechreading), belajar
melalui pendengaran, dan belajar secara manual. Ditinjau dari segi jenisnya, layanan
pendidikan bagi anak tunarungu meliputi layanan: layanan umum, layanan khusus,
layanan bina bicara, latihan bina bicara dan layanan bina persepsi bunyi dan irama.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun, sebagai manusia biasa menyadari
banyaknya kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu
untuk menyempurnakan makalah ini kami mengharapkan kritik, saran dan masukan dari
pembaca yang bersifat membangun kesempurnaan dari makalah ini. Semoga makalah ini
dapat dipahami dan memberikan manfaat bagi para pembaca.
21
DAFTAR PUSTAKA
Mursita, Rohma Ageng. (2015). Respon Tunarungu Terhadap Penggunaan Sistem Bahasa Isyarat
Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BASINDO) dalam Komunikasi. Jurnal
Inklusi. Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember. pp 222-232.
Nofiaturrahmah, Fifi. (2018). Problematika Anak Tuna Rungu. Volume 6, Nomor 1, 2018. pp 1-
15.
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: PT. Refika Aditama.
Suparno. (1989). Pendekatan Komunikasi Total. Cakrawala Pendidikan, 3, 57–66.
Agustina, D. A. A. (2021). Komunikasi Guru Dan Peserta Didik Penyandang
Tunarungu Dalam Mengenalkan Bahasa Isyarat Di Sekolah Luar Biasa Pertiwi
Ponorogo. Skripsi Komuniikasi dan Penyiaran Islam. Institut Agama Islam Negeri
Ponorogo.
Bekti Agustiningrum, M. D. (2018). Penanaman Proses Pendisplinan Diri Anak Berkebutuhan
Khusus (Tuna Rungu Wicara) Dalam Pembelajaran Tari Tradisional. Cakrawala Dini:
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Volume 5, Nomor 1. pp 31–39.
Pratiwi, Shinta. (2011). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang: Semarang University
Press.
Handayani, Muslih Aris. (2018). Komunikasi Anak Tunarungu dengan Bahasa Isyarat di SLB
Yakut Purwokerto. Journal of Communication. Velume 3, Nomor 2, Desember 2018. pp
213-230.
Bintoro, Totok. (2011). Kemampuan Komunikasi Anak Tunarungu. Prespektif Ilmu Pendidikan.
Volume 23, April 2011. pp 12-40.
Eko, Mikail. (2019). Alat Bantu Dengar Sebagai Media Penunjang Pembelajaran Komunikasi
Bicara Pada Siswa – Siswi Tunarungu Di Sekolah Luar Biasa ( SLB ). 163–174.
22