Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus MI/SD

Dosen Pengampu:
Dr. Nova Asvio, M.Pd

Disusun Oleh :
Sela Mutiara (2011240080)
Anesa Salhi Putri (2011240085)
Yendra Hidayat (2011240169)
Titi Puspta Sari (2011240102)

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur kita hanturkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan taufik dan hidayahNya. Sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan tepat waktu .
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabatnya yang telah membawa kita dari
alam kebodohan menuju alam terang benderang bercahayakan iman, islam, dan ihsan.
Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah
“Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus MI/SD” yang telah mendukung kami
hingga menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan belum sempurna yang
kami sampaikan, sehingga apabila ada kekurangan dalam penulisan maupun materi,
kami mohon saran dan kritiknya secara langsung maupun tidak langsung, untuk
kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bengkulu, April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. Definisi Dari Tuna Wicara...........................................................................3
B. Ciri-Ciri Anak Tuna Wicara.......................................................................4
C. Prevalensi Tuna Wicara Di Indonesia..........................................................5
D. Penyebab Dari Tuna Wicara Dan Bagaimana Karakteristiknya.................. 6
E. Mengidentifikasi Dan Assessmen Tuna Wicara..........................................7
F. Pertimbangan Pendidikan Untuk Tuna Wicara...........................................9
G. Intervensi Yang Pernah Dilakukan Terhadap Tuna Wicara........................11
H. Transisi.........................................................................................................15

BAB III PENUTUP.............................................................................................17


A. Kesimpulan..................................................................................................17
B. Saran.............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu
mendengar, mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga
fungsi itu mempunyai hubungan yang sangat erat antara satu sama lain. Namun di
dunia ini ada segelintir individu yang memiliki keterbatasan dalam fungsi tersebut,
yang biasa disebut penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah mereka yang
mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual ataupun sensorik yang dimana dalam
kehidupannya sehari-hari mengalami hambatan dalam berinteraksi sosial untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Terdapat beberapa jenis disabilitas diantaranya tuna rungu, tuna wicara,
tuna netra dan masih banyak lagi. Namun, dalam pembahasan ini akan dijelaskan
sedikti hal mengenai tuna wicara yang mana hal ini sering disandingkan dengan tuna
rungu. Singkatnya, tuna wicara adalah kesulitan individu dalam
berkomunikasi secara lisan, yang disebabkan karena kurangnya sulitnya mengucapkan
kata, bahasa bahkan hingga intonasi suara.
Seperti yang kita ketahui komunikasi adalah kebutuhan manusia sebagai
mahluk sosial dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Banyak cara yang
dapat dilakukan untuk berkomunikasi di antaranya adalah dengan berbicara melalui
bahasa lisan atau dengan tangan melalui bahasa isyarat, serta tulisan. Dalam
masyarakat, terdapat penyandang disabilitas tuna wicara yang karena keterbatasan
indera bicaranya tidak dapat menggunakan bahasa lisan, mereka hanya dapat
mengandalkan komunikasi melalui bahasa isyarat dan atau tulisan. Penyandang
disabilitas tuna wicara memiliki permasalahan dalam kehidupan sehari-hari
mereka, dimana mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara formal,
ini akibat kekurangan dan keterbatasan fisik mereka.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Tuna Wicara ?
2. Bagaimana ciri-ciri anak tuna wicara ?
3. Berapa Prevalensi tuna wicara di Indonesia ?
4. Apa penyebab dari Tuna Wicara dan bagaimana karakteristiknyaa?
5. Bagaimana mengidentifikasi dan assessmen Tuna Wicara ?
6. Bagaimana pertimbangan pendidikan untuk Tuna Wicara ?
7. Apa saja intervensi yang pernah dilakukan terhadap Tuna Wicara?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Tuna Wicara ?
2. Untuk mengetahui ciri-ciri anak tuna wicara ?
3. Untuk mengetahui berapa Prevalensi tuna wicara di Indonesia ?
4. Untuk mengetahui penyebab dari Tuna Wicara dan bagaimana karakteristiknyaa?
5. Agar dapat mengidentifikasi dan assessmen Tuna Wicara ?
6. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan pendidikan untuk Tuna Wicara ?
7. Untuk intervensi yang pernah dilakukan terhadap Tuna Wicara?

2
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Sejarah dan Definisi


Tunawicara atau kelaianan bicara adalah ketidakmampuan individu dalam
mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain (pendengar). Serta gangguan pada
kemampuan untuk menerima, mengirim, memproses dan memahami konsep atau
symbol. Akibatnya, pesan yang terlihat sederhana ketika disampaikan kepada lawan
bicara sulit dipahami. Kelainan bicara dapat terbukti dalam proses pendengaran,
bahasa, dan / atau ucapan. Tak jarang gangguan bicara (Tunawicara) sering dikaitkan
dengan gangguan pendengaran (tunarungu).1 Karena apabila seseorang menglami
kesulitan dalam mendengar maka individu tersebut pun akan kesulitan dalam
mengucapkan kata. Gangguan komunikasi dapat berkisar dari tingkat keparahan
mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat. Terdapat beberapa macam
gangguan bicara (tunawicara) antara lain :
a. Articulation, kesulitan komunikasi dalam pengucapan
b. Gagap, kesulitan dalam mengucapkan kalimat secara fasih
c. Cerebral-Palsy speech, kelainan bicara akibat adanya kerusakan otak
d. Speech problem due impaired hearing, kelainan bicara akibat gangguan
pendengaran
e. Retarted Speech Development, Kelainan bicara akibat perkembangan
bicara itu sendiri.

B. Ciri-ciri anak tuna wicara


Tunawicara dibagi menjadi beberapa macam, antara lain sebagai berikut :
1. Gangguan suara (voice disorder)
Gangguan suara yaitu ketiadaan atau abnormalitas produksi kualitas
suara, pola titinada (pitch), kerasnya suara (loudness), resonansi, dan atau durasi

1
Hilmi Purwanto Joko, Ortopedagogik Umum (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1998).
3
bicara. Gangguan ini merujuk pada suara yang tidak atau kurang enak didengar,
mengacaukan dan/ atau membingungkan konteks komunikasi.
Terdapat lima ciri anak yang mengalami gangguan suara, antara lain:
a. Adanya gangguan kualitas suara sehingga menjadi bernada rendah, tinggi,
atau hanya berupa hembusan napas.
b. Ketidakseimbangan antara resonansi di mulut dengan resonansi
hidung yang menimbulkan suara nasal dan tidak adanya resonansi hidung.
c. Suara yang lemah atau terlalu nyaring
d. Suara bernada terlalu tinggi atau terlalu rendah
e. Adanya penyimpangan nada dan kenyaringan suara.

2. Gagap
Gagap (stuttering), yaitu adanya gangguan atau kerusakan kecepatan atau
ritme yang mungkin disertai dengan perilaku perjuangan keras untuk
mengatasinya (strugle behavior). Stuttering banyak terjadi pada anak usia
permulaan.
Adapun ciri-ciri anak yang mengalami gangguan kelancaran bicara
atau stuttering adalah:
a. Adanya suara-suara tambahan, pengulangan-pengulangan,
perpanjangan, interjection,dan perbaikan-perbaikan.
b. Bicaranya patah-patah dan sering terjadi pengentian-penghentian.
c. Adanya kelainan irama.
d. Intonasi dan tekanan suara kurang bervariasi.
e. Kecepatan bicara terlalu lambat atau terlalu cepat.2

C. Prevalensi
Susenas mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas
sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang disabilitas yang
terlihat pada gambar di bawah ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi
pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan,
sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsedisabilitas. Walaupun

E. V Valencia, “FASILITAS PENDIDIKKAN DISABILITAS TUNA RUNGU DAN TUNA


2

WICARA,” EDimensi Arsitektur Petra 7, no. 1 (2019): 809–16.


4
demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006
dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.3

Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas Berdasarkan Data


Susenas2003, 2006, 2009, dan 2012 Sumber: BPS Berdasarkan data Susenas tahun
2012 penyandang disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari
satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,97%, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan
atau naik tangga seperti pada gambar di bawah ini.

Dari grafik tersebut dapat diketahui penyandang tunawicara berjumalah


2.74% dari total penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 2.45% dengan jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2012.

D. Penyebab
P Kurniawati, L., Alimin, Z., & Asri, “Program Intervensi Pengembangan Kecakapan Berbicaraanak
3

Down Syndrome,” Pedagogia 1, no. 1 (2018): 288–95.


5
Menurut Drs. Sarjono faktor penyebab tuna wicara adalah sebagai berikut:
1. Gangguan Prenatal
a. Hereditas (keturunan)
Apabila diantara keluarga terdapat tuna wicara atau membawa gen tuna wicara
maka pada saat lahir anak akan memiliki gangguan tuna wicara.
b. Anoxia
Kekurangan oksigen pada janin dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan
saraf yang menyebabkan ketidak sempurnaan organ salah satu organ bicara,
seperti pita suara, tenggorokan, lidah dan mulut.
2. Gangguan neonatal
a. Prematur
Bayi prematur yang lahir dengan berat badan tidak normal dan lahir dengan
organ tubuh yang belum sempurna dapat mengakibatkan kebisuan yang
kadang-kadang di sertai ketulian, kurangnya berat badan ketika lahir juga
menyebabkan kerusakan jaringan-jaringan.
3. Gangguan pos natal
a. Infeksi
Sesudah lahir anak menderita infeksi misalnya campak yang menyebabkan
tuli, virus akan menyerang cairan koklea, menyebabkan anak menderita otitis
media.
2. Meningitis (radang selaput otak)
Penderita akan mengalami kelainan pada pusat syaraf pendengaran dan akan
mengalami ketulian perseptif.
3. Infeksi alat pernafasan
Seseorang dapat menjadi tunawicara apabila terjadi gangguan pada organ
pernafasan seperti paru-paru, laring atau gangguan pada mulut dan lidah.4
E. Karakteristik psikologis dan Perilaku
Menurut Heri Purwanto dalam Ortopedagogik umum yang
merupakan karakterisktik anak tunawicara adalah :
1. Karakteristik bahasa dan wicara

4
A. E Wiranda, N., & Putro, “Model Identifikasi Kata Ucapan Tuna Wicara,” IJEIS (Indonesian
Journal of Electronics and Instrumentation Systems) 9, no. 2 (2019): 131.
6
Pada umumnya anak tunawicara memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa
wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-anak normal.
2. Kemampuan intelegensi
Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan anak-anak normal, hanya pada
skor IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya
3. Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku
Dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan komunikasi
verbal, hal ini yang menyebabkan tuna wicara mengalami kesulitan dalam
penyesuaian sosialnya.Sehingga anak tunawicara terkesan agak eksklusif atau
terisolasi dari kehidupan masyarakat normal.
Sedangkan yang merupakan ciri-ciri fisik dan psikis anak tunawicara
adalah, Sebagai Berikut :
1. Berbicara keras dan tidak jelas
2. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
3. Telinga mengeluarkan cairan
4. Biasanya Menggunakan alat bantu dengar
5. Bibir sumbing
6. Suka melakukan gerakan tubuh
7. Cenderung pendiam
8. Suara sengau
9. Cadel5

F. Identifikasi dan assesmen


Identifikasi anak berkebutuhan khusus dimaksdukan sebagai usaha sesorang
(orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah
seseorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan dan perkembangannya
dibandingakan dengan anak-anak lain seusianya. Jadi identifikasi anak berkebutuhan
khusus merupakan upaya mengenali anak berkebutuhan khusus,dalam hal ini anak
berkelainan dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya dapat berupa gejala
fisik, gejala perilaku, dan gejala hasil belajar. Identifikasi anak berkebutuhan khusus
S. T Wulandari, N. D., & Aris Rakhmadi, “Pembuatan Aplikasi Kamus Bahasa Isyarat Untuk Tuna
5

Rungu Dan Tuna Wicara Berbasis Android” (Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014).
7
tidak hanya sebagai suatu kegiatan dalam upaya menemukan anak yang diduga
berkelainan, tetapi juga sekaligus mengenali gejala-gejala perilaku yang menyimpang
dari kebiasaan perilaku pada umumnya.6 Identifikasi perlu dilakukan dengan cermat
agar tidak terjadi penafsiran yang salah tentang kondisi objek perilaku anak sehingga
dapat menetukan tindak lanjut yang tepat.
Pengamatan yang seksama mengenai kondisi dan perkembangan anak
sanga diperlukan dalam melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus di
sekolah oleh guru, dan ini dapat dilakukan guru setiap saat7. Dengan demikian, untuk
dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap, maka usaha identifikasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, selain melakukan pengamatan secara seksama, perlu
juga dilakukan wawancara dengan orang tua ataupun lainnya. Informasi yang telah
diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan anak-anak yang
berkebutuhan khusus.
Identifikasi bertujuan untuk menandai gejala-gejala berkaitan kelainan atau
penyimpangan perilaku yang mengakibatkan kesulitan atau hambatan dalam belajar di
sekolah yang dapat dilakukan oleh guru.
1. Teknik assessment
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
keberadaan anak berkebutuhan khusus. Beberapa teknik khusus akan sangat
diperlukan untuk mengenali anak berkebuthan khusus, di antaranya sebagai
berikut:

a. Observasi
Observasi digunakan untuk melakukan identifikasi yaitu dengan cara
mengamati kondisi atau keberadaan individu tunawicara. Observasi
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Observasi
langsung yaitu melakukan observasi secara langsung terhadap subjek
terhadap lingkungan yang wajar, adanya dalam aktivitas kesehariannya.

6
Kurniawati, L., Alimin, Z., & Asri, “Program Intervensi Pengembangan Kecakapan Berbicaraanak
Down Syndrome.”
7
E. L Dianasari, “Implementasi Identifikasi Dan Asesmen ABK Di Sekolah Inklusif SDN 003 Tebing
Kabupaten KarimunNo Title,” Khazanah Ilmu Berazam 2, no. 1 (2019).
8
Observasi secara tidak langsung yaitu dilakukan dengan menciptakan
kondisi yang diinginkan untuk observasi.
b. Wawancara
Wawanacar merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi
mengenai keberadaan individu tunawicara, dalam upaya melakukan
identifikasi apabila data atau informasi yang diperoleh melalui observasi
kurang memadai, maka guru dapat melakukan wawancara terhadap
siswa, orang tua, keluarga, ataupun teman sepermainan yang
dimungkinkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai
keberadaan anak tersebut.
c. Tes
Tes merupakan suatu cara untuk melakukan penilaian yang berupa suatu
tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan, yang akan
menghasilkan suatu nilai tentang kemampuan atau perilaku individu
yang bersangkutan.
d. Tes psikologi
Tes psikologi memiliki akurasi yang lebih baik dari tes yang lainya.
Selain waktu pelaksaan yang lebih singkat, melalui tes psikologi juga
dapat diprediksikan apa yang akan terjadi dalam belajar atau ditahap
berikutnya. Untuk melihat tingkat kecerdasan seorang anak tes psikologi
merupakan instrumen yang lebih objektif dan validitasnya telah teruji.
Selain untuk melihat kecerdasan, tes psikologi dapat digunakan untuk
melihat aspek kepribadian dan perilaku seseorang.

G. Pertimbangan Pendidikan
Anak tuna wicara perlu di tampung dan diberi pendidikan seperlunya
disesuaikan dengan ketunaannya. Sekolah yang khusus menanpung anak tuna wicara
disebut sekolah luar biasa bagian B. (SLB B). Berpangkal pada ketentuan- ketentuan
bahwa8 :

N Rahmawati, A., Juhaeni, Aisah, S., Kinasih, A., & Shibyany, “Pengelolaan Kelas Terhadap Siswa
8

Tuna Rungu-Wicara Di Kelompok A1 PGRA Mamba’ul Hisan,” Journal Of Early Chilhood Education And
Development 2, no. 1 (2019): 98–103.
9
1. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahaan…….. (pasal 27 ayat 1 UUD 45).
2. Tiap-tiap arga Negara berhak mendapatkan pengajaran ( pasal 31 ayat 1UUD
45)
3. Juga dalam uu no.12 tahun 1954 sebagai undang-undang pokok
pendidikan, menetapkan antara lain sebagai berikut :
a. Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub dalam
pancasila, undang-undang dasar nedara republic Indonesia dan atas kebudayaan
kebangsaan (bab III, pasal 4 )
b. Pendidikan dan pengajar luar biasa di berikan dengan khusus untuk mereka
yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2)
c. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud pada orang-orang yang
dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya, supaya mereka
dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak (pasal
7 ayat 5)
Berdasarkan pedoman pelaksanaan kurikulum SLB untuk tuna rungu wicara
bagian B tahun 1977 buku III A 1 dijelaskan kurikulum SLB / B 1976 mengarahkan
pada suatu pengajaran bahasa untuk membentuk tuna rungu wicara yang memiliki sikap
dan bagian mata, dimana diperhatikan ke seluruhan hidup manusia yang cacat
pendengaran dengan segala akibatnya dan kekhasannya sebagai manusia “Pemata”
dan diusahakan menyusun hubungan pengertian yang akumulatif dengan keadaan hidup
sesengguhnya, yang mencakup kenyataan dan lingkunagan sekitar, tetapi tugas – tugas
sosial, budaya dana politik dalam masyarakat.
Adapun tujuan pendidikan bagi tuna wicara agar anak dalam proses belajar
mengajar dapat secara langsung berhadapan secara tatap muka agar siswa dapat :
a. Menangkap bentuk ucapan dana pembendahraan kata.
b. Menambah bentuk ucapan ungkapan.
c. Menambah ucapan kalimat.
d. Menambah keseluruhan isi cakapan.
e. Memanfaat sisa pendengaran

Dalam proses pembelajaran metode yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

10
1. Metode auditory oral
Metode ini menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan
mendengar dan bertutur kata, membutuhkan latihan pendengaran yang dapat
melatih anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi
yang berbeda. Metode ini tidak menggunakan gerakan jari tetapi lebih
menekankan pada metode pembacaan gerak bibir.
2. Metode membaca bibir
Komunikasi dengan metode ini baik untuk mereka yang mampu berkonsentrasi
tinggi pada bibir dan penglihatan yang baik. Dalam metode ini anak-anak
diharuskan untuk selalu melihat gerakan bibir penutur bahasa dengan tepat dan
penutur bahasa harus berada di temapat yang terang dan dapat terlihat dengan
jelas.
3. Metode bahasa isyarat
Bahasa isyarat yang digunakan secara mudah dengan menggabungkan perkataan
dengan makna dasar.
4. Metode komunikasi universal
Metode ini menggabungkan gerakan tangan, isyarat, pembacaan gerak bibir,
dan penuturan. Melalui metode ini anak-anak dapat memahami hal yang
disampaikan menurut kemampuan masing-masing.
5. Penuturan Isyarat (cued speech)
Metode ini menggunakan simbol-simbol tangan untuk memandu bunyi- bunyian.
Simbol-simbol tangan yang ditentukan dengan bentuk-bentuk tangan yang
menentukan maksud perkataan. Terdapat delapan simbol tangan tangan yang
ditentukan menurut konsonan yang berbeda dan empat simbol tangan untuk
menentukan huruf vokal.9

H. Intervensi
1. Terapi Wicara
Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk membantu anak dalam
mengoptimalkan kemampuan berbicaranya, salah satunya melalui terapi wicara.

9
Kemenkes, “Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan : Situasi Penyandang Disabilitas”
(2014).
11
Terapis wicara melakukan terapi pada masalah di bidang artikulasi; difluency
(ketidaklancaran berbicara); gangguan makan, gangguan bunyi suara (sengau), serta
gangguan bahasa reseptif dan ekspresif. Pada penelitian yang dilakukan Kurniawati
dkk, pertama-tama peneliti melakukan observasi terhadap kata yang diucapkan
oleh subjek. Seperti pada hasil observasi bahwa subjek masih mengalami
keterbatasan dalam berbicara. subjek hanya mampu berkomunikasi verbal dengan
kalimat satu kata, itupun terkadang hanya terdengar suku kata terakhir dalam
kalimat yang diucapkannya. Kalimat satu kata maksudnya adalah Subjek hanya
mampu mengucapkan satu kata, tapi kata tersebut memiliki banyak makna, seperti
saat anak mengucapkan kata tas, itu dapat berarti jika bekal yang dibawanya ada di
dalam tas atau jika tas miliknya tidak ada di kursi. Setelah itu mengajarkan anak
dengan pengucapan vokal a,i,u,e,o untuk melatihnya dalam berbicara. Lalu selalu
mengajak anak bicara dengan artikulasi dan intonasi yang jelas, karena anak
penyandang tunawicara bicara dengan artikulasi dan intonasi yang kurang jelas.
2. Terapi Musik
Wagiman menjelaskan ada banyak sekali manfaat terapi musik. Menurut
para pakar terapi musik memiliki beberapa manfaat utama, di antaranya relaksasi,
meningkatkan kecerdasan, meningkatkan motivasi, pengembangan diri, kesehatan
jiwa, mengurangi rasa sakit, menyeimbangkan tubuh dan meningkatkan olahraga.
Menurut Campbel (2002) ada dua macam metode terapi musik yaitu ;
a. Terapi musik aktif
Dalam terapi musik aktif ini individu diajak bernyanyi belajar main
menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu singkat.
Dengan kata lain individu berinteraksi aktif dengan dunia musik. Untuk
melakukan terapi musik aktif ini di butuhkan bimbingan seorang pakar terapi
musik yang kompeten.
b. Terapi musik pasif
Ini adalah terapi musik yang murah,mudah dan efektif. Pasien
hanya mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu yang di
sesuaikan dengan masalahnya. Hal terpenting dalam terapi musik pasif ini
adalah pemilihan jenis musik harus tepat.

12
Mekanisme kerja musik klasik menurut penelitian Alfered Tomatis
tahun 2001 menyebutkan musik klasik memberikan energi pada otak dan
membuat jadi lebih tenang. Seperti di kemukakan oleh Campbell musik klasik
mozart mampu memperbaiki konsentrasi ingatan. Sementara jenis-jenis musik
lain mulai dar Jazz,New Age, Latin, Pop, lagu-lagu Gregorian bahkan
gamelan meningkatkan imajinasi dan kreativitas. Musik klasik yang mampu
menghasilkan gelombang alfa, menenangkan serta merangsang limbik
jaringan otak dan dapat menyatukan neuron yang terpisah-pisah menjadi
bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak, sehingga terjadi
perpautan antara neuron otak kanan dan otak kiri.Terapi musik tidak selalu
membutuhkan kehadiran ahli, walau mungkin membutuhkan bantuannya
saat mengawali terapi musik.
Mekanisme kerja terapi musik klasik Mozart pada anak tunawicara,
pada anak tunawicara terjadi gangguan pada daerah oral motor pada otak kiri,
sedangkan otak kiri berfungsi untuk kemampuan bahasa dan bicara. Sedangkan
fungsi musik klasik Mozart dapat menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan,
pada saat di beri latihan terapi musik klasik anak disuruh untuk bernyanyi
sehingga bisa mengaktifkan kemampuan otak kanan dan mengurangi
ketergantungan pada otak kiri yang mengatur kemampuan bahasa dan bicara
Seorang dokter dari Prancis menyebutkan bahwa musik klasik Mozart
memberikan energi pada otak dan membuatnya menjadi lebih santai.
Sedangkan Grace Sudargo seorang musisi dan pendidik mengatakan, dasar-
dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyutan nadi manusia
sehingga dia berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa,
karakter bahkan raga manusia. Alfa Handayani dalam Hidayat (2003)
mengatakan bahwa musik mampu neningkatkan pertumbuhan otak anak karena
musik itu sendiri meransang pertumbuhan sel otak. Musik bisa membuat kita
rileks dan senang, yang merupakan emosi positif inilah membuat fungsi berfikir
seseorang menjadi maksimal.
3. Metode ABA
Metode ABA adalah metode yang terstruktur dan mudah
diukur hasilnya, sebagaimana metode ABA. Dengan demikian metode
13
ini dapat dengan mudah di ajarkan kepada para calon pasien terapi.
Prinsip dasar metode ABA merupakan cara pendekatan dan penyampaian materi
kepada anak yang harus dilakukan seperti berikut ini:
a. Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus, untuk
menjaga kontak mata yang lama dan konsisten.
b. Tegas (tidak dapat ditawar-tawar anak)
c. Tanpa kekerasan dan tanpa marah
d. Prompt (Bantuan, arahan) secara tegas tapi lembut.
e. Apresiasi anak dengan imbalan yang efektif, sebagai
motivasi agar selalu bergairah.
Dalam menciptakan suasanan yang kondusif dalam mendidik individu,
terapis menggunakan prinsip menciptakan suasana yang penuh kehangatan dan
kedamaian. Diusahakan terapis tidak melibatkan emosi marah/jengkel dan
kasihan sewaktu mengajar anak. Dengan begitu nantinya dengan sendirinya tidak
menyukai kekerasan dalam bersosialisasi dengan yang lain. Selain itu anak akan
berkembang menjadi individu yang toleran terhadap perbedaan pendapat dan
sekaligus kreatif. ABA itu sendiri terdiri dari tiga kata, yaitu Applied
yang berarti terapan, Behavior yang berarti perilaku
sedangkan Analysis memiliki pengertian: mengurai/memecah menjadi
bagian-bagian kecil, mempelajari bagian-bagian tersebut, melakukan dan
memodifikasi. Dari tiga kata tersebut ABA dapat diartikan sebagai ilmu terapan
yang mengurai, mempelajari dan memodifikasi perilaku.
a. Adapun teknik ABA menurut Handojo sebagai berikut: DTT
(Discrete Trial Training). Adalah salah satu tehnik utama dari ABA,
sehingga kadang ABA disebut juga DTT. Arti harfiah dari
DTT adalah latihan uji coba yang jelas/nyata. DTT terdiri dari
“siklus” yang dimulai dengan intruksi, prompt, dan di akhiri dengan
imbalan.
b. Discrimination Training atau Discriminating. Teknik membedakan ini dipakai
untuk melabel atau identifikasi. Tahap kognitif atau kemmapuan reseptif ini
digunakan untuk menamai atau mengenal hal-hal seperti huruf, warna,
bentuk, tempat, orang dan sebagainya. Untuk meyakinkan bahwa individu
14
benar-benar memahami/mengenali hal secara konsisten, diperlukan
pembanding. Apabila individu tetap dapat mengidentifikasi hat tersebut tanpa
ragu, maka ia telah benar-benar mengenalnya.
c. Matching atau Mencocokkan. Teknik ini dapat dipakai sebagai
pemantap identifikasi maupun sebagai permulaan latihan identifikasi.
Mencocokkan dapat dipakai juga untuk melatih ketelitian, yaitu dengan
memberikan beberapa/banyak hal yang dicocokkan.
d. Fading berarti meluntur. Yang dilunturkan adalah prompt kepada anak. Dari
prompt penuh kemudian dikurangi secara bertahap sampai
individu berhasil melakukan tanpa prompt lagi.
e. Shaping berarti pembentukan. Teknik ini biasanya dipakai saat
mengajarkan kata-kata verbal.
f. Chaining adalah menguraikan perilaku kompleks menjadi
beberapa mata rantai perilaku yang paling sederhana. Tiap mata
rantai diajarkan tersendiri dengan siklus DTT. Apabila individu
menguasai tiap mata rantai, maka diadakan penggabungan kembali sehingga
menjadi perilaku yang utuh. Teknik ini dipakai sewaktu terapis
mengajarkan memasang kaos kaki, melepaskan kaos kaki, memakai baju
kaos, melepaskan baju kaos dan sebagainya.10

I. Transisi
Individu tunawicara merupakan anak yang memiliki keterbatasan dan
gangguan dalam komunikasi. Keterbatasan ini yang membuat proses penyampaian dan
pemaknaan pesat sulit dipahami oleh orang lain. Santrock (2002) mengatakan masa
remaja merupakan masa transisi dari masa kanak- kanak menuju masa dewasa.
Hurlock (1980) membagi masa remaja awal dan masa remaja akhir. Kisaran usia
remaja awal ± 13-16 tahun dan masa remaja akhir ± 16-19 tahun. Erikson (dalam
Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa kritis. Hal ini
dikarenakan pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan identitas
dirinya. Kekacauan identitas kemungkinan akan terjadi, seperti adanya pembagian
gambaran akan diri, ketidakmampuan membina hubungan interpersonal yang baik, dan
10
N Gusti, “Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Kemampuan Bahasa Dan Bicara Pada
Anak Tunawicara Di SLB Peduli Anak Bangsa Payakumbuh” (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan., 2017).
15
lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian
diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan sebelumnya.
Menurut Frieda Mangunsong dalam psikologi dan pendidikan anak luar biasa,
tuna wicara atau kehilangan berbicara adalah hambatan dalam berkomunikasi verbal
yang efektif. Sedangkan Abdurrachman dan Sudjadi (1994: 78) dalam pendidikan luar
biasa umum menyatakan bahwa gangguan wicara atau tuna wicara adalah suatu
kerusakan atau gangguan suara, artikulasi dari bunyi bicara, dan atau kelancaran
berbicara. Wiliam Kays, sebagaimana dikutip dari Jkahja mengemukakan tugas-
tugas perkembangan remaja sebagai berikut:

1. Menerimfaisiknysaendibrierikukteragamaknualitasnya.
2. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang
mempunyaoitoritas.
3. Mengembangkanketerampilankomunikasinterpersonadl anbergaudl engan
temasnebayab,aiskecara individuaml aupuknelompok.
4. Menemukamn anusima odeylandgijadikaindentitapsribadinya.
5. Menerimda irinysaendirdi anmemili kiepercayaanterhadapkemampuannya sendiri.
6. Memperkuat self-control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup.
7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri kekanak-kanakan.

Pada sebuah penelitan, dikatakan apabila berdasarkan hasil wawancara dengan


para orangtua, diketahui bahwa banyak remaja penyandang
disabilitas intelektual yang putus terapi karena masalah biaya yang
tinggi, ketersediaan akses untuk terapi, ketersediaan waktu, dan juga
pribadi para remaja yang mulai merasa malu saat harus terapi tatap muka
dengan terapis. Bisa dilihat bahwa remaja tuna wicara mengalami kesulitan untuk
berkembang seperti remaja lainnya. Karena keterbatasan mereka dalam
berkomunikasi, remaja tuna wicara mengalami kesulitan dalam menyampaikan atau
berbicara dengan orang lain. Sehingga untuk membangun hubungan interpersonal yang
baik dengan orang lain, cenderung sulit. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa
remaja tuna wicara juga dapat bergaul dengan remaja normal.11

11
K. Z Putro, “Memahami Ciri Dan Tugas Perkembangan Remaja. APLIKASIA,” Jurnal Aplikasi
Ilmu-Ilmu Agama 2, no. 1 (2017): 25–32.
16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tunawicara atau kelaianan bicara adalah ketidak mampuan individu dalam
mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain (pendengar). Serta gangguan pada
kemampuan untuk menerima, mengirim, memproses dan memahami konsep atau
symbol. Tunawicara dibagi menjadi beberapa macam, antara lain ialah , Gangguan
suara (voice disorder), Gagap. penyandang tunawicara berjumalah 2.74% dari total
penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 2.45% dengan jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2012. Menurut Drs. Sarjono faktor penyebab tuna wicara adalah sebagai
berikut:
1. Gangguan Prenatal
2. Gangguan neonatal
3. Gangguan pos natal
Sedangkan karakterisktik anak tunawicara adalah :
1. Karakteristik bahasa dan wicara
2. Kemampuan intelegensi
3. Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku

Identifikasi anak berkebutuhan khusus dimaksdukan sebagai usaha sesorang


(orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah
seseorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan dan perkembangannya
dibandingakan dengan anak-anak lain seusianya.Anak tuna wicara perlu di tampung
dan diberi pendidikan seperlunya disesuaikan dengan ketunaannya. Sekolah yang
khusus menanpung anak tuna wicara disebut sekolah luar biasa bagian B. (SLB B).

18
B. Saran
1. Untuk pembaca di harapkan dapat memberikan masukan saran tentang materi yang
di kaji ini, agar pembahasan ini dapat memebrikan dampak yang baik bagi kelompok
kami.
2. Untuk dosen pembimbing diharapak memberikan masukan dan arahan untuk
makalah yang telah kami buat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Dianasari, E. L. “Implementasi Identifikasi Dan Asesmen ABK Di Sekolah Inklusif SDN


003 Tebing Kabupaten KarimunNo Title.” Khazanah Ilmu Berazam 2, no. 1 (2019).

Gusti, N. “Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Kemampuan Bahasa Dan Bicara
Pada Anak Tunawicara Di SLB Peduli Anak Bangsa Payakumbuh.” Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan., 2017.

Kemenkes. “Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan : Situasi Penyandang


Disabilitas,” 2014.

Kurniawati, L., Alimin, Z., & Asri, P. “Program Intervensi Pengembangan Kecakapan
Berbicaraanak Down Syndrome.” Pedagogia 1, no. 1 (2018): 288–95.

Purwanto Joko, Hilmi. Ortopedagogik Umum. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1998.

Putro, K. Z. “Memahami Ciri Dan Tugas Perkembangan Remaja. APLIKASIA.” Jurnal


Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama 2, no. 1 (2017): 25–32.

Rahmawati, A., Juhaeni, Aisah, S., Kinasih, A., & Shibyany, N. “Pengelolaan Kelas
Terhadap Siswa Tuna Rungu-Wicara Di Kelompok A1 PGRA Mamba’ul Hisan.”
Journal Of Early Chilhood Education And Development 2, no. 1 (2019): 98–103.

Valencia, E. V. “FASILITAS PENDIDIKKAN DISABILITAS TUNA RUNGU DAN


TUNA WICARA.” EDimensi Arsitektur Petra 7, no. 1 (2019): 809–16.

Wiranda, N., & Putro, A. E. “Model Identifikasi Kata Ucapan Tuna Wicara.” IJEIS
(Indonesian Journal of Electronics and Instrumentation Systems) 9, no. 2 (2019): 131.

Wulandari, N. D., & Aris Rakhmadi, S. T. “Pembuatan Aplikasi Kamus Bahasa Isyarat
Untuk Tuna Rungu Dan Tuna Wicara Berbasis Android.” Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2014.

20
Sunanik. (2013). Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak
Terlambat Bicara. Jurnal Pendidikan Islam, 19-44.

Wardani, D. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: UT.

21

Anda mungkin juga menyukai