Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KONSTRUK TES PSIKOLOGI

“Fear of Missing Out”

(Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Konstruk Tes Psikologi)
Dosen Pengampu: 1. Hasniar A. Radde, S. Psi., M. Si.
2. Tarmizi Thalib, S. Psi., M. A.
3. Muh. Fitrah Ramadhan Umar S.Psi., M. Si

DISUSUN OLEH :

A.Nur Adnandya Isnan Nugraha SAM.T


4519091053

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA
2022
1. Definisi Fear of Missing Out
Istilah FoMo pertama kali berkembang pada tahun 2010 dan fenomena ini
dibahas oleh Wortham dan Morford. Wortham, (2011) menyatakan FoMO
mungkin merupakan sumber perasaan negatif atau perasaan depresi karena
dapat melemahkan perasaan bahwa seseorang telah membuat keputusan
terbaik dalam hidupnya sedangkan Morford menyatakakan bahwa dorongan
adiktif terhadap peristiwa yang dianggap luar biasa dan terjadi di sekitar
yang akan menjadi seperti mimpi buruk ketika seseorang tidak terlibat di
dalamnya (Morford,2010).
Hondkison & Poropat (2014) menyatakan bahwa FoMo (Fear of Mising
Out) sebenarnya berasal dari bahasa Cina yang artinya takut kehilangan
orang lain. Fenomena takut kehilangan ini bermuara pada zaman teknologi
yang notabenenya mengalami pertukaran informasi yang sangat cepat.
Senada dengan hal tersebut Turkle (dalam Przybylski, 2013) mengatakan
bahwa kemajuan teknologi saat ini mengakibatkan dampak yang positif dan
negatif. Turkle mengungkapkan bahwa seseorang yang sering mengakses
teknologi akan mengakibatkan terganggunya pengalaman sosial dan
membuat sangat takut kehilangan “momen” yang sedang terjadi di
lingkungannya.
Oxford (2013) juga mendefinisikan FoMO sebagai kecemasan akan
adanya peristiwa menarik yang terjadi di tempat lain, di mana kecemasan ini
terstimulasi oleh hal-hal yang ditulis di dalam media sosial seseorang. FoMO
merupakan bentuk perkembangan kecemasan sosial baru yang muncul
karena perkembangan media sosial. Kecemasan sosial adalah hal yang
dianggap lumrah dan setidaknya individu pernah mengalaminya. Namun
tindakan strategi koping yang salah pada individu menyebabkan kecemasan
sosial berkembang menjadi fobia sosial dan akan menetap dalam individu
(Pratiwi, 2016)
Hal yang sama disampaikan oleh (Pryzbylski, dkk 2013) dalam risetnya
tentang fenomena FoMo dan berhasil mendefinisikan FoMo (Fear of missing
out) sebagai “a pervasive apprehension that others might behaving
rewarding experiences from which one is absent, FoMO is characterized by
the desire to stay continually connected with what others are doing”
(Przybylski, dkk 2013). Hal ini berarti FoMo merupakan sebuah bagian
kecemasan yang dialami oleh individu saat melihat individu atau kelompok
lain mengalami pengalaman berharga sementara individu tersebut tidak dan
ditandai dengan ingin selalu berhubungan dengan orang lain.
Alt (2015) menyatakan bahwa Fear of Missing Out (FoMO)
merupakan fenomena dimana individu merasa ketakutan akan orang lain
memperoleh pengalaman yang menyenangkan namun tidak terlibat secara
langsung pada pengalaman tersebut. Sehingga menyebabkan individu
berusaha untuk tetap terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui
media dan internet. Secara lebih sederhananya, Fear of Missing Out (FoMO)
dapat diartikan sebagai ketakutan ketinggalan hal-hal menarik di luar sana
dan atau takut dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman (Up to Date).
Keyda dkk (2019) juga menjelaskan hal yang sama bahwa FoMO
adalah kecemasan yang dialami individu ketika orang lain mengalami
pengalaman berharga, sementara individu tersebut tidak mengalaminya.
FoMO ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berhubungan dengan
apa yang orang lain lakukan. Definisi lain menyebutkan FoMO sebagai
kecemasan konstan akan tertinggalnya atau kehilangan sesuatu yang
berharga. Individu pemilik FoMO tidak akan mengetahui secara spesifik
mengenai apa yang hilang, tetapi akan merasakan kehilangan ketika orang
lain memiliki momen yang berharga.
Biella dkk (2021) Menyampaikan bahwa Fear of Missing Out (FoMO)
ialah apabila individu mengalami rasa takut ketika kehilangan momen,
informasi yang berharga tentang orang lain atau kelompok lain, terlebih
apabila orang tersebut tidak bisa hadir dan tidak dapat terhubung, hal ini
dicirikan pada keinginan agar terus dapat terkoneksi pada apapun yang
dilakukan oleh orang lain melalui media apa saja. Salah satunya saat ini
yang paling cepat memberikan informasi secara real ialah media social.
Ali dkk (2018) mengemukakan bahwa FoMO adalah perasaan tidak
nyaman atau merasa kehilangan sebagai akibat dari mengetahui aktivitas
yang dilakukan orang lain, dan merasa bahwa aktivitas tersebut lebih
menyenangkan, lebih berharga daripada aktivitasnya. FOMO
dikarakteristikan dengan keinginan untuk selalu terhubung dengan aktivitas
yang dilakukan oleh orang lain. Dengan kata lain FOMO adalah keinginan
untuk selalu ingin mengikuti aktivitas-aktivitas orang lain yang diposting di
media sosial, dan kecenderungan untuk selalu membandingkan kehidupan
orang lain dengan kehidupannya
Desy dkk (2020) FoMo merupakan sebuah fenomena yang sedang
berkembang dan merupakan faktor yang membuat generasi ini
mengeluarkan uang lebih dan maraknya aplikasi sosial. Seperti yang
disebutkan sebelumnya generasi ini ingin memenuhi kebutuhan emosional
mereka sehingga mereka menyerah pada tekanan sosial meskipun mereka
tidak memiliki uang yang cukup. Merasa tidak aman akan ditinggalkan dan
melewatkan sesuatu, menyulitkan generasi ini untuk mengatakan tidak dan
fenomena ini merupakan salah satu faktor mengapa adanya syndrome
FoMo, sedangkan faktor utama pendukungnya merupakan adanya sosial
media. Sebagai media baru yang cepat dalam penyebaran informasi sosial
media menambah gambaran kehidupan orang-orang disekitar dan diri
sendiri
Satria dkk (2020) menyampaikan hal serupa bahwa FoMO
sebenarnya merupakan fenomena yang sudah lama terjadi dan terpicu sejak
adanya Word of Mouth. Awal FoMO mulai muncul pada kehidupan
masyarakat di awal tahun 2000an, dimana teknologi masih belum secanggih
pada hari ini sehingga perkembangan fenomena FoMO masih sangat rendah
sampai akhirnya teknologi memberikan jalan untuk setiap orang mengirim
pesan singkat secara massal seperti melalui platform SMS atau direct
massage sehingga kejadian ini membukakan jalan untuk berkembangnya
fenomena FoMo dengan sangat cepat pada media social.
Rizky (2020) juga menyampaikan bahwa FoMo berhubungan erat
dengan emosi dan perasaan yang terbentuk dari lingkungan, semakin
banyak yang membicarakan sebuah kejadian semakin sang pendengar ingin
mengikuti dan ikut serta dengan kejadian tersebut karena adanya rasa
rewarding (dari kebutuhan psikologi) dengan mengikuti perkembangan dan
berhubungan dengan yang bersangkutan secara online. Seperti yang sudah
disebutkan diatas, berkembangnya sosial media memperkuat FoMo untuk
terus berkembang juga, ditambah dengan adanya ponsel pintar yang bisa
dibawa kemana saja, FoMo juga akan terus dibawa kemanapun oleh
pengguna internet
Abdul (2021) menjelaskan bahwa FoMo dapat ditimbulkan
berdasarkan keterlibatan partisipan dengan sosial media, kepuasan hidup
dan bagaimana kemandirian, kompetensi dan hubungan dengan orang lain
dirasakan pada kehidupan sehari-hari partisipan. Hasilnya semakin
partisipan merasakan kurangnya kemandirian, kompetensi dan hubungan
dengan orang lain maka kemungkinan mereka akan cenderung lebih
mengalami FoMo dan artinya lebih sering menggunakan sosial media
dibandingkan dengan partisipan yang merasa aman dan nyaman dalam
hubungannya dengan orang lain. Partisipan merasa tidak terdapat paksaan
untuk terus berhubungan dengan orang lain dikarenakan perasaan aman
dan nyaman tersebut

Adapun grand theory dan komponen konstruk yang akan diambil dalam
penelitian ini ialah, komponen Fear of Missing Out dan definisi yang
digunakan oleh Przybylski dkk (2013) yang mendefinisikan FoMo sebagai
munculnya perasaan khawatir yang bersifat pervasif apabila dirasa orang
lain mempunyai pengalaman yang lebih berharga dan memuaskan. FoMO
memiliki ciri yaitu muncul dorongan agar dapat selalu terhubung pada
kegiatan yang dilakukan oleh orang lain. Pemilihan komponen tersebut
disebabkan karena definisi FoMO Przybylski yang relevan dengan dengan
Self-Determination Theory dan telah dipakai pada banyak penelitian.

2. Aspek – Aspek Fear of Missing Out


1. Tidak Terpenuhinya Autonomy (sense of volition)
Przybylski dkk, (2013) menjelaskan bahwa autonomy atau Otonomi
adalah kemampuan untuk merasa untuk dapat mengendalikan perilaku dan
takdir seseorang, dengan melibatkan inisiatif diri dan pengaturan diri dari
perilakunya sendiri. Otonomi melibatkan kemampuan untuk membuat
keputusan sendiri dan dikaitkan dengan perasaan mandiri. Selain itu,
perasaan otonomi dapat meningkat ketika individu diberi pilihan dan
mampu mengatur perilaku mereka sendiri dan ketika orang lain mengakui
perasaan mereka. Sebaliknya jika mereka merasa dikendalikan atau
terancam oleh orang lain atau harus bekerja sesuai dengan tenggat waktu
kemungkinan Sense of volition/otonomi seseorang akan berkurang.
Selain itu Otonomi dianggap sebagai rasa kesukarelaan, oleh karena
itu, sebenarnya tidak sama dengan kemandirian karena seseorang dapat
mandiri atau memilih tergantung secara heteronom, independen, atau
pada konteksnya dan perilaku yang menyertainya. Ciri khas otonomi
adalah perilaku seseorang didukung oleh dirinya sendiri, atau sesuai
dengan minat otentiknya dan nilai dalam diri. Ketika bertindak dengan
otonomi, seseorang akan melakukan kegiatan dengan sepenuh hati,
sedangkan orang yang tidak memiliki otonomi diri akan mengalami
ketidaksesuaian dan konflik ketika melakukan apa yang bertentangan atas
kemauannya hanya beberapa tindakan yang disengaja yang benar-benar
dapat diatur sendiri atau otonomi selebihnya diatur oleh kekuatan eksternal
Secara sederhana kebutuhan dasar manusia atau SDT dalam hal ini
adalah otonomi merupakan sebuah kebutuhan psikologis yang penting dan
krusial. Hal Ini menunjukkan pengalaman kemauan dan pengarahan diri
sendiri dalam pikiran, perasaan, dan tindakan. Ini mengacu pada persepsi
tentang diatur sendiri daripada dikendalikan oleh kekuatan eksternal seperti
memilih menggunakan hp yang murah dengan fungsi yang sama daripada
menggunakan hp yang mahal dengan fungsi yang sama.
2. Tidak Terpenuhinya Competence (sense of efficacy)
Komponen Kopetensi mengacu kepada kebutuhan dasar manusia yang
berusaha merasakan atau melakukan pencapaian yang memberi dampak
dan penguasaan. Manusia memerlukan kopetensi untuk merasa berkuasa
atau mengendalikan berbagai hal dalam kehidupan mereka dari hal yang
sederhana sampai hal yang rumit dan dimanifestasikan dalam tindakan
motivasi, manipulasi, keingintahuan. Seperti contohnya seseorang bermain
game dihp yang berusaha mencapai peringkat tertinggi.
Kompetensi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
seseorang yang memiliki kualitas yang cukup untuk melakukan tugas yang
diberikan atau untuk menggambarkan keadaan yang memiliki kecerdasan,
penilaian, keterampilan, dan/atau kekuatan yang memadai. Ketika seorang
individu merasa kompeten mereka merasa mampu berinteraksi secara
efektif dalam lingkungan mereka, dan mereka memiliki keterampilan yang
dibutuhkan untuk sukses untuk memastikan bahwa tujuan mereka tercapai.
Orang yang kompeten merasakan penguasaan atas lingkungannya.
Namun, kompetensi mudah dirusak atau terdistrak dalam konteks Jika
tugas terlalu menantang atau seseorang menerima umpan balik negative
secara terus menerus, perasaan kompetensi ini atau mengendalikan ini
akan menjadi rendah atau bahkan sudah hilang dan merasa tidak lagi
mampu mengendalikan dirinya seperti yang biasa dilakukan. Tetapi
sebaliknya, perasaan kompetensi dapat ditingkatkan dengan tuntutan tugas
secara optimal sesuai dengan keterampilan seseorang dan pemberian
umpan balik positif diterima secara terus menerus.
3. Tidak Terpenuhinya Relatedness (sense of caring relationships)
Relatednes atau keterkaitan menyangkut perasaan terhubung secara
sosial. Seseorang merasakan keterkaitan paling sering ketika mereka
merasa diperhatikan oleh orang lain. Namun Relatednes juga terjadi saat
seseorang merasa setara dengan orang atau sekelompok orang. Secara
simpelnya Relatednes dapat dilihat saat seseorang memiliki kesamaan
dengan orang atau sekelompok orang dan merasa terhubung secara
social.
Relatedness juga merupaka sebuah kemampuan untuk merasakan rasa
keterikatan dengan orang lain dan rasa saling memiliki di antara orang lain.
Relatedness melibatkan perasaan kedekatan dan memiliki kelompok
sosial. Tanpa relatedness seseorang akan sulit untuk mencapai self-
determination karena dengan relatedness seseorang menedapatkan
bantuan dan dukungan dalam kesehariannya sebagai mahkluk sosial.
Ada beberapa hal dapat diamati saat melihat seseorang memiliki atau
berusaha meningkatkan komponen relatednessnya dilingkungan social.
Relatedness juga dapat ditingkatkan ketika individu dihormati dan
diperhatikan oleh orang lain, dan mendapatkan perhatian lebih bagian dari
lingkungan yang inklusif. Namun Relatedness juga dapat dirusak oleh
persaingan dengan orang lain, kelompok, dan kritik dari orang lain.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fear of Missing Out


1. Life Satisfaction (Kepuasan Hidup)
Dalam kamus APA, life satisfaction diartikan dengan sejauh mana
seseorang menemukan kehidupan yang kaya, bermakna, terpenuhi, atau
berkualitas. Hal yang sama disampaikan oleh Ruut Veenhoven (1996) life
satisfaction adalah sejauh mana seseorang secara positif mengevaluasi
kualitas hidupnya secara keseluruhan atau bisa juga dimaknai seberapa
besar orang tersebut menyukai kehidupan yang dijalaninya.
Huebner, dkk (2004) mengemukakan bahwa life satisfaction
merupakan evaluasi individu mengenai apa yang paling penting dalam
kehidupannya, tujuan hidupnya, dan harapan yang telah terpenuhi dan
proses evaluasi ini bersifat subjektif. Sama halnya dengan Diener, dkk
(1985) yang memandang life satisfaction sebagai penilaian seseorang
terhadap kualitas hidupnya yang berdasarkan pada kriteria yang telah
ditentukan sendiri selain itu dinner juga mendefinisikan life satisfaction atau
kepuasan hidup sebagai komponen kognitif dari subjective well-being.
Diener, dkk (1985) menambahkan bahwa life satisfaction sebagai suatu
respon evaluatif terhadap kehidupan secara keseluruhan atau mengacu
pada aspek kehidupan tertentu, seperti keluarga, teman, dan sekolah atau
tempat Pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat Ellison (1989)
menyatakan bahwa life satisfaction adalah penilaian kognitif dari keadaan
dasar yang dianggap relative konsisten dan dipengaruhi oleh faktor sosial.
Lebih lanjut Diener & Pavot (2008) mendefinisikan kembali life
satisfaction sebagai suatu proses penilaian individu akan dirinya dengan
mengacu pada kriteria unik. Kriteria unik yang dimaksud disini adalah
kriteria yang diciptakan oleh individu itu sendiri berdasarkan penilaian
kognitif dari seluruh aspek kehidupan secara keseluruhan. Senada dengan
hal tersebut, Sousa & Lyubomirsky (2001) mengemukakan bahwa life
satisfaction mengandung makna tersirat tentang kepuasan atau
penerimaan individu terhadap kondisi hidupnya dikarenakan telah
memenuhi keinginan dan kebutuhan secara menyeluruh.
Berdasarkan penjelasan life satisfaction diatas maka dapat ditarik
benang merah bahwa life satisfaction adalah sebuah bentuk evaluasi atau
penilaian kognitif oleh individu terhadap dirinya yang mana penilaian
tersebut berdasarkan kriteria tertentu yang terdapat dalam diri seseorang.
Adapun penilaian tersebut diantaranya berhubungan dengan keluarga,
teman maupun pendidikan.
2. Konformitas
Baroon (2005) menjelaskan bahwa konformitas adalah suatu jenis
pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka
agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Sedangkan Kiesler dalam
Rakhmat (1996) menuturkan bahwa konformitas adalah sebuah perubahan
perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat dari
tekanan kelompok yang real atau yang dibayangkan.
Sears, dkk (1985) Konofrmitas sendiri merupakan sebuah perilaku yang
muncul karena menyesuaikan perilaku kebanyakan orang yang
menampilkan perilaku yang sama. Dalam hal ini Konformitas dapat terlihat
saat sekelompok orang (mayoritas) akan mengatakan atau melakukan
sesuatu, kemungkinan ada kecenderungan para anggota untuk
mengatakan dan melakukan hal yang sama.
Shely dkk (2009) mengungkapkan bahwa konformitas adalah
tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai
dengan perilaku orang lain atau mengikuti hal yang seharusnya terjadi. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanaria, (2006) yang
menyatakan bahwa kelompok biasanya terdiri dari beberapa individu.
Kelompok memiliki karakteristik sendiri yang membedakan dengan
kelompok lain. Maka, individu yang menjadi bagian dari kelompok tersebut
harus memperlihatkan perilaku, nilai, sikap dan pola lainnya yang sama
dan bisa diidentifikasi sebagai faktor pembeda dari kelompok lainnya.
Dari pengertian diatas dapat ditarik sebuah pengertian yang
sederhana dimana konformitas merupakan sebuah fenomena perubahan
tingkah laku dan sikap karena pengaruh social atau sebagai tekanan
kelompok baik secara nyata ditekan maupu hanya sebagai bayangan.
Sebagai contoh saat seseorang akan memikirkan bagaimana membeli hp
keluaran terbaru karena semua teman kelompoknya sudah memilikinya
dan merasa takut akan ketinggalan zaman.
3. Parenting Style
Darling (1993) mendefinisikan parenting style sebagai kumpulan sikap
yang dikomunikasikan kepada anak dengan tujuan mencipkan iklim
emosional dimana perilaku orangtua dapat diekpresikan. Lebih lanjut
Darling (1999) mendefinisikan parenting style sebagai kegiatan kompleks
kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa perilaku spesifik yang
dilakukan secara individu maupun bersama-sama bertujuan untuk
mempengaruhi perilaku anak.
Kordi dan Baharudin (2010) menyatakan parenting style adalah
konstruksi psikologis yang mewakili strategi standar yang digunakan orang
tua dalam membesarkan anak-anak mereka. Istilah ini adalah kegiatan
kompleks yang mencakup 23 banyak perilaku spesifik yang bekerja secara
individual maupun kolektif untuk mempengaruhi anak.
Baumrind (1991) menggambarkan tiga jenis parenting style yang dapat
membantu orang tua dalam membina anak, yaitu Authoritarian parenting,
Authoritative parenting, Permissive parenting (indulgent). Adapun
Authoritarian merupakan sebuah pola asuh yang membatasi dan
menerapkan hukuman. Dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti
arahan orang tua dan menghormati pekerjaan serta usaha mereka. Batas
dan control yang tegas ditempatkan pada anak, dan sedikitnya pertukaran
verbal yang diizinkan. Pola asuh ini dikaitkan dengan perilaku anak yang
tidak kompeten secara social
Authoritative parenting dimana pola asuh ini mendorong anak untuk
mandiri tetapi tetap menempatkan batasan dan kontrol pada tindakan
mereka. Komunikasi verbal secara dua arah berlaku dan orang tua
bersikap hangat pada anak. Pola asuh ini dikaitkan dengan perilaku anak
yang kompeten dalam bersosialisasi.
Sedangkan Permissive parenting (indulgent) merupakan pola asuh yang
ditandai dengan tingginya tingkat responsivitas akan tetapi orangtua kurang
memberikan tuntutan dan control pada anak. Orang tua dengan pola asuh
permissive sangat terlibat dengan anak tetapi tidak terlalu menuntut 24
atau mengontrol mereka. Orangtua membiarkan anak melakukan apa saja
yang mereka inginkan. Mereka menghargai ekspresi diri dan penaturan diri.
Orangtua dengan tipe pola asuh ini membuat sedikit permintaan dan
membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka hangat,
tidak mengontrol, dan tidak menuntut.
Parenting style dapat membangun komunikasi dan hubungan yang baik
antara anak dan kedua orang tuanya. Hal ini tentu saja juga dapat
membantu anak sebagi bekal dalam menjalani hari-harinya. Parenting
Style yang dinyatakan Bumrind sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Alt & Boniel-Nissim, 2018) dimana faktor komunikasi orang tua
dengan anak (ibu-anak atau ayah-anak) sangat berkaitan dengan faktor
FoMO. Keterbukaan dan hubungan komunikasi yang erat antara orang tua
dengan anak dapat mengurangi tingkat Fear of Missing Out pada remaja.
4. Self Regulation
Bandura (1991) menggambarkan Self Regulation sebagai bagian besar
dari perilaku manusia yang diatur oleh pemikiran sebelumnya (rencana).
Seseorang melakukan motivasi pada diri sendiri dan mengendalikan
perilaku mereka untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini dinamakan
bandura sebagai Self Regulation. Hal senada disampaikan Karoly (1993)
yang mendefinisikan Self Regulation atau regulasi diri merupakan bagian
dari proses internal atau tranksaksional untuk memungkikan seseorang
untuk memandu dirinya sendiri pada beragam situasi.
Brown (1998) juga mendefinisikan Self-Regulation sebagai kemampuan
seseorang untuk merencanakan,memantau dan mengarahak perilakunya
walaupun dalam situasi yang berubah-ubah. Lanjut Zimmerman (2000)
juga menyebutkan bahwa regulasi diri ini mengacu pada konsep pemikiran
hasil sendiri, perasaan dan Tindakan yang direncanakan serta disesuaikan
melalui pencapaian tujuan pribadi. Senada dengan itu Blair,dkk (2010)
mendefinisikan berbeda yang menyatakan bahwa Self-Regulation
merupakan sebuah system kerja biobehavioral yang memungkikan control
perhatian dan gairah emosional untuk tujuan yang reflektif.
Berdasarkan penjelasan diatas, singkatnya Self-Regulation ini
merupakan sebuah kemampuan seseorang untuk merencanakan,
membimbing, dan memantau perilaku dirinya secara fleksibel. Hal ini tentu
berkaitan dengan ketakutan akan kehilangan atau Fear of Missing out. Hal
ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sianipar, & Kaloeti,
2019) yang menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara
regulasi diri dengan FoMO yang berarti semakin tinggi regulasi diri maka
semakin rendah FoMO yang dialami. Sebaliknya, semakin rendah regulasi
diri maka semakin tinggi FoMO.
5. Social Media Engagement
Sugiharto (2016) mengungkapkan bahwa media Sosial merupakan
sebuah alat komunikasi yang paling banyak dipergunakan saat ini apalagi
dikalangan remaja dan remaja menjadi pengguna terbesar dalam
penggunaan media social.Salah satu alas an remaja saat ini menjadi
mayritas pengguna media social adalah mereka lahir dan tumbuh saat era
informasi dan digital berkembang pesat. Media Sosial juga digunakan
remaja untuk proses pebentukan identitas diri Saphiro & Margolin, (2014).
Siddqui & Singh,(2016) juga menyatakan manfaat lain dari penggunaan
media social merupakan sarana komunikasi antar remaja dan membentuk
sebuah lingkungan untuk mendapatkan dukungan,saran dan informasi
penting dari pengguna lainnya. Namun sebaliknya, media social juga
memiliki dampak negative terhadap psikologis pengguna itu sendiri, dan
menghasilkan pola perilaku bermasalah dalam dunia social media seperti
berkata kasar,penggunaan media social berlebihan dan ajang pamer. (Al-
Menayes,2015).
Penggunaan social media memiliki tingkatan hinga berujung kepada
tingkat dimana seseorang tidak lepas dengan media social karena
menyiapkan konten secara terus menerus atau yang biasa disebul social
media engagement. Dari hal inilah seseorang takut kehilangan hal yang
telah dicapai sebelumnya di media social dan ini mengindikasikan Individu
yang memiliki tingkat kepuasan akan kebutuhan dasar yang rendah dan
lebih tertarik untuk menggunakan media social.

4. Dampak yang Ditimbulkan Fear of Missing Out


1. Meningkatnya penggunaan media social berlebihan
Emma dkk, (2021) menjelaskan bahwa dampak yang ditimbulkan dari
Fear of Missing Out adalah sebuah rutinitas untuk melihat media sosial milik
rekan lain. Seseorang akan merasa harus selalu up to date dengan apa
yang sedang diperbincangkan, apa yang dilakukan, dan apa yang
dipublikasikan di media sosial oleh user lainnya. Misalnya, mereka memiliki
rasa takut yang berlebihan apabila dikatakan sebagai „kudet‟ (kurang
update). Juga, mereka akan menderita jika status media sosialnya sepi dari
pengunjung, sedikitnya jumlah like dan komentar. Mereka akan merasa
senang bahkan bangga jika ada yang memberikan komentar di akun media
sosialnya dan mereka memiliki kebutuhan untuk selalu eksis dan „ada‟
setiap saat di dunia virtual. Kebutuhan ini seolah-olah menjadi hantu yang
selalu muncul setiap bangun dan menjelang tidur
2. Haus akan validasi atau pengakuan
Sumini, (2018) juga menjelaskan dampak lain yang ditimbulkan ,yakni
individu selalu memaksa diri berpartisipasi dalam semua kegiatan seperti
Mendatangi sebuah acara atau sebuah tempat dan menganggap hal tersebut
merupakan suatu perlombaan. Hal itu penting bagi seseorang yang mengidap
Fear of Missing Out untuk meningkatkan harga dirinya melalui berbagai
kegiatan yang diikutinya. Pengidap FoMO melakukannya untuk mendapat
pujian dan eksistensi diri yang berlebihan. Bahkan, tidak hanya menghadiri, ia
juga akan berusaha membuat keberadaannya diakui dan berbeda dari yang
lainnya dengan cara ikut berpartisipasi dalam acara tersebut. Adakebutuhan
untuk menuliskan semua hal yang diikuti dan dihadiri pada status Facebook,
Path, Twitter, maupun Instagram miliknya
3. Hidup adalah panggung pertunjukan
Puspitasari, (2016) menjelaskan individu yang mengalami FoMo akan
selalu membuat “panggung pertunjukan” sendiri. Panggung itu bisa di front-
stage (online) bisa juga di back-stage (offline), dan di panggung itulah individu
merepresentasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengidap FoMO
menunjukkan bahwa media sosial adalah panggung pertunjukan baginya
guna memberikan kesan yang berbeda dan unik dibandingkan dengan user
lainnya. Oleh karena itu, semua status Facebook, cuitan di Twitter, foto di
Path dan Instagram, bahkan data diri di Linkedin pun berjejer dengan prestasi
dan capaian dirinya. Hal ini dikarenakan individu yang tidak ingin
eksistensinya dikalahkan oleh orang lain.
4. Memiliki rasa tidak puas
Lebih lanjut Puspitasari,(2016) menjelaskan bahwa seseorang yang
memiliki FoMO juga selalu merasakan diri yang berkekurangan dan
menginginkan yang lebih. FoMO muncul salah satunya karena adanya
keterasingan diri di dunia offline sehingga pengidap FoMO mencari
pengakuan di dunia online. Namun, ketika di dunia online pun ia tetap merasa
terasing, maka timbul keinginan yang bersifat destruktif seperti mencoba
mengganggu user lain, bahkan membuat akun palsu sampai meretas akun
lainnya. Selain itu keterasingan tersebut akan menggerogoti jiwa pengidap
FoMO yang bisa mengakibatkan stres, depresi, dan kelainan mental lainnya .
5. Ketidakmampuan melakukan control emosi
Shodiq dkk, (2020) juga menjelaskan bahwa ketidakmampuan seseorang
mengontrol emosi merupakan dampak yang terjadi dari FoMo. FoMO yang
tinggi sangat berkorelasi pada suasana hati serta kepuasan diri yang rendah
pada kebutuhan dasar psikologis individu dalam hal otonomi, kompetensi,
serta relasi. Hal tersebut menyebabkan individu kurang mampu
mengendalikan rasa cemas, dan takut kehilangan sesuatu didalam dirinya.
Sehingga dampak yang ditimbulkan berhubungan dengan ketidakmampuan
dalam perilaku dan emosi.

5. Pengukuran Fear of Missing Out


1. Skala Fear of missing out (FoMO) oleh Przybylski, dkk (2013).
Alat ukur ini berisi seperangkat pernyataan yang menggambarkan
faktor-faktor penyebab dari Fear of missing out. Skala terdiri dari 10 item
yang mengukur dua faktor penyebab dari Fear of missing out yaitu
autonomy dan relatedness. Skala Fear of missing out (FoMO) oleh
Przybylski dan kawan-kawan disajikan hanya dalam bentuk pernyataan
yang mendukung (Favorable) dengan bobot: angka 1 (tidak seluruhnya diri
saya), 2 (sebagian kecil diri saya), 3 (setengahnya diri saya), 4 (Sebagian
besar diri saya), dan 5 (Keseluruhan diri saya). Kemudian alat ukur ini
sering mengalami penyesuaian oleh peneliti-peneliti yang menggunakan
alat ukur tersebut. Skala Fear of missing out yang dibuat oleh Przybylski
dan kawan-kawan ini telah banyak digunakan dalam beberapa penelitian
salah satunya ialah Nisa, (2020) yang meneliti tentang Peran Fear Of
Missing Out (FoMO) Terhadap Atensi Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara Dalam Proses Belajar.
2. Skala Fear of missing out (FoMO) oleh Gilang (2015).
Alat ukur ini menggunakan alat ukur kuantitatif dengan mengadaptasi
Fear of missing out (FoMO) yang dikembangkan oleh Przybylski dan
kawan-kawan (2013) dengan meneiliti tingkatan FoMO berdasarkan 3
faktor kebutuhan dasar psikologi yaitu kebutuhan berkompetensi (need for
competence), kebutuhan otonomi (need for autonomy/ self), dan kebutuhan
akan rasa memiliki/ kedekatan dengan orang lain (need for relatedness).
Namun pernyataan yang digunakan Gilang (2015) sebagai alat ukur
berupa item yang hanya berdasarkan 2 faktor yakni untuk pemenuhan
kebutuhanpsikologi pada self dan relatedness dengan skala nilai 1 (sangat
tidak sesuai) sampai 4 (sangat sesuai). Alat ukur ini digunakan oleh
beberapa penelitian diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Wisudawati
(2017) dengan judul Fear of missing out ditinjau dari tipe kepribadian
ekstrovert dan introvert.
3. Skala Fear of missing out (FoMO) oleh Wegmann et al. (2017)
Alat ukur ketiga ini Memiliki sub-skala yang mengukur Fear of missing
out (FoMO) dengan konteks online yaitu state-FoMO yang memiliki 12 item
dengan pengukuran lima skala likert dari “Sangat Tidak Sesuai” hinga
“Sangat Sesuai”, sehingga sesuai dengan perkembangan penelitian-
penelitian berikutnya. state-FoMO lebih kepada kecenderungan munculnya
perlakuan atau perasaan yang umumnya mungkin terjadi pada orang lain
dan bersifat sementara. Alat ukur ini digunakan oleh beberapa penelitian
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Keyda, dkk (2019) dengan judul
peranan Fear of missing out terhadap problematic social media use.
Blue Print Fear of Missing Out

Variabel Dimensi Butir Item Jumlah

Fav Unfav
Autonomy 1,7,13,19, 5,11,17,23, 16
(sense of 25,31,37,43 29,35,41,47
volition)
FoMo
(Fear of
Missing Out) 6,12,18,24,30 4,10,16,22, 16
, 28,34,40,46
Competence 36,42,48
(sense of
efficacy)

2,8,14,20, 3,9,15,21,27, 16
26,32,38,44 33,39,45
Relatednes
(sense of
caring
relationships)
48

Dimensi Indikator Butir Item Jumlah


Fav Unfav
1. Saya bertindak 5. Saya takut
sesuka hati saya orang lain
mengambil
hak yang
saya miliki
7. Saya bebas 11. Saya
untuk gelisah jika
berekspresi. seseorang
menyuruh
saya untuk
Senang diam. 8
melakukan
hal-hal yang
sesuai dengan
minatnya 13. Saya mampu 17. Saya
mengembangkan cemas
minat saya Ketika orang
sendiri lain
menghamba
t hobi saya
19. Saya mudah 23. Saya
mengakses cemas jika
informasi tentang ketinggalan
hobi saya secara informasi
pribadi. tentang hobi
saya.

25.Saya mampu 29. Saya benci


Autonomy bertanggung pada orang
jawab atas yang bekerja
pekerjaan saya atas
sendiri. kehendaknya
sendiri.

31.Saya yakin bisa 35. Saya


menyelesaikan merasa takut
masalah sendiri. jika tindakan
saya dikontrol
oleh orang
Berinisiatif lain.
serta lebih
senang
bekerja secara
mandiri
37. Saya senang 41. Saya
jika membuat cemas dengan
keputusan keputusan
sendiri. yang dibuat
oleh orang
lain.

43. Saya lebih cepat 47. Saya


bekerja secara merasa cepat
individual untuk penat
saat diperintah
oleh orang
lain.
Dapat 6. Saya 4.Saya impulsif
beradaptasi mengurutkan suatu dalam
terhadap permasalahan agar menyelesaikan
Competence perubahan mudah untuk suatu masalah
dengan cepat menyelesaiakannya.

12. Saya 10.Saya


mengidentifikasi bekerja secara
suatu permasalahan lamban.
kemudian
menyusun langkah
efektif untuk
menyelesaikannya.
18.Saya mudah 16.Saya
beradaptasi pada kesulitan
pekerjaan yang melakukan
berat. aktivitas saat
memiliki beban
pikiran.

24. Saya sigap 22.Saya sulit


membantu teman mengikuti arus
yang mengalami perbincangan
kesulitan dalam dalam
bekerja. pekerjaan.

Memiliki 30. Saya memiliki 28. Saya


prinsip dalam nilai-nilai yang saya mudah
hidup jadi kan pedoman terpengaruh
hidup. oleh orang
lain.
36. Saya punya 34. Saya
standar yang jelas tergolong
mengenai suatu hal. orang yang
mudah di-
doktrin.

42. Saya 40. Saya


menimbang segala adalah orang
hal mengenai yang labil.
kehidupan saya.

48. Saya tipikal 46. Saya


orang yang adalah orang
konsisnten terhadap yang mudah
suatu hal. untuk berubah
pikiran.
Relatedness Keterampilan 2.Saya suka berbagi 3.Saya cemas
untuk pengalaman dengan jika sulit
mengakrabka seseorang. membantu
n diri dengan orang lain.
orang lain. 8.Saya disenangi 9. Saya takut
banyak orang orang lain tidak
karena kesopanan merespon
saya. obrolan saya.

14. Saya dengan 15. Saya resah


senang hati jika kebaikan
mendengarkan saya di sia-
keluh kesah teman siakan orang
saya. lain.

20. Saya senang 21. Saya


menyapa orang gelisah jika
yang saya kenal tawaran
saat berada bantuan saya
ditempat yang di tolak orang
sama. lain.

Memiliki 26. Saya adalah 27.Saya


pertalian yang tipikal orang yang cemas jika sulit
erat dalam hal sangat bahagia jika berinteraksi
interaksi dapat membantu dengan orang
teman saya. lain.

32. Saya memiliki 33. Saya


hubungan gelisah saat
pertemanan yang orang lain
baik. menjauhi saya.
38. Saya memiliki 39.Saya
sahabat lebih dari khawatir Ketika
satu orang. orang lain
mengabaikan
saya.

44. Saya memiliki 45. Saya takut


lingkaran jika menjalin
pertemanan yang hubungan
baik. yang buruk
dengan orang
lain.

Daftar Pustaka
Alt. D., & Boniel-Nissim, M. (2018). Links between Adolescents’ Deep and
Surface Learning Approaches, Problematic Internet Use, and Fear of
Missing Out (FoMO). Internet Interventions, 13, 30-39. Doi:10.1016/j.
invent.2018.05.002

Abdul. 2021. Ketakutan Akan Kehilangan Momen dan Kesepian Terhadap


Kecenderungan Adiksi Internet Pada Mahasiswa Teknik Informatika.
Jurnal Imiah Psikologi Volume 9 No 1.
Baumrind, D. 1991. The influence of parenting style on adolescent competence
and substance use. The Journal of Early Adolescence, 11 (1), 56-95..

Biella Putri Wahyunindya , Sondang Maria J. Silaen. 2021. Kontrol Diri Dengan
Fear Of Missing Out Terhadap Kecanduan Media Sosial Pada Remaja
Karang Taruna Bekasi Utara. Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 5 No 1.

Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of self-regulation. Organizational


Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 248–287.

Brown, J. M. (1998). Self-regulation and the addictive behaviors. In W. R. Miller,


& N. Heather (Eds.), Treating addictive behaviors (2nd ed., pp. 61-73).
New York, NY: Plenum Press

Blair, C., & Cybele, C. Raver. (2012). Individual Development and Evolution:
Experiential Canalization of Self-Regulation. Development Psychology,
48(3), 647-657. Doi: 10.1037/a0026472

Christina R., Yuniardi M. S., & Prabowo A., (2019). Hubungan tingkat neurotisme
dengan fear of missing out (FoMO) pada remaja pengguna aktif media
sosial. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2), 105-117.

David O’Sears, et. al., Psikologi Sosial Jilid Kedua, ter. Michael Adryanto (Jakarta
: Erlangga, 1985)

Darling, N. (1999). Parenting style and its correlates. Clearing house on


Elementary and Early Childhood Education. Retrieved from http://ecap.
crc. illinois. edu/eecearchive/digests/1999/darlin99.pdf

Darling, N., & Toyokawa, T. (1997). Construction and validation of the parenting
style inventory II (PSI-II).

Desy Mustika , Akhmad Rizkhi Ridhani, Farial. 2020. Model Layanan Klasikal
Teknik Home Room Berbasis Online Mengurangi Fomo Menggunakan
Media Sosial. Jurnal Bimbingan Konseling dan Psikologi Volume 3,
Nomor 1

Dogan, V. 2019. Why Do People Experience the Fear of Missing Out (FoMO)?
Exposing the Link Between the Self and the FoMO Through Self-
Construal. Journal of CrossCultural Psychology, 50(4), 524–538.

Diener, Ed. 2000. Subjective Well-Being: The Science of Happiness and a


Proposal of national index. American Psychologist, 55: 34-43

Diener, Ed., Emmons, Robert A., Larsen, Randy J., & Griffin, Sharon. 1985. The
Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49(1): 71-
75.

Elhai, J., D., Jason, C. L., Robert, D., D., & Brian, J., H. (2016). Fear of missing
out, need for touch, anxiety and depression are related to problematic
smartphone use. Computers in Human Behavior, 63, 509 – 51
Emma Azizah, Fahyuni Baharuddin. 2021. Hubungan Antara Fear Of Missing Out
(Fomo) Dengan Kecanduan Media Sosial Instagram Pada Remaja Vol 19,
No 1.

Huebner, E. S., Suldo, S. M., Valois, R. F., Drane, J. W., & Zullig, K. 2004. Brief
Multidimensional Students' Life Satisfaction Scale (BMSLSS): Gender,
Race, adn Grade Effects for High School Sample. Psychological Reports,
94: 351- 356.)

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,


1996)

Karimah, S. A. & Frieda, N. R. H. (2016). Perbedaan psychological wellbeing


remaja ditinjau dari persepsi pola asuh orang tua. Jurnal Empati, 5, 291 -
295

Karoly, P. (1993). Mechanisms of self-regulation: A systems view. Annual Review


of Psychology, 44, 23-52.

Keyda Sara Risdyanti , Andi Tenri Faradiba dan Aisyah Syihab. 2019. Peranan
Fear Of Missing Out Terhadap Problematic Social Media USE Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 3, No. 1

Kordi, A., Baharudin, R. (2010). Parenting attitude and style and its effect on
children’s school achievements. International Journal of Psychological
Studies, 2(2), 217-222

Liftiah, L Dahriyanto, F Tresnawati. (2016). Personality traits prediction of fear of


missing out in college students. International Journal of Indian
Psychology, 3, 129 – 136

Lira Aisafitri , Kiayati Yusriyah. 2021. Kecanduan Media Sosial (FoMO) Pada
Generasi Milenial. Jurnal Audience: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 04 No. 01

Mirna Dewi Kalisna , Nur Wahyumiani. 2021. Hubungan Antara Sindrom Fomo
( Fear Of Missing Out)Dengan Kepercayaan Diri Siswa Pada Siswa Kelas
Vii Di Smp Muhammadiyah 2 Godean Sleman Tahun Ajaran 2019/2020.
Jurnal Bimbingan Dan Konseling Vol. 5 No. 2

Muhammad Ali Adriansyah, Adella Saputri, Alda Nadhira Lawolo, Jasmine


Syahadata Arsha. 2018. Vipassana Sebagai Upaya Preventif Bagi
Penderita Fear Of Missing Out (Fomo). Psikostudia: Jurnal Psikologi Vol
7, No 1.

Morford, M. (2010, August 4). Oh my god you are so missing out. San Francisco
Chronicle. .

Nejad, E. mohammadi H., Besharat, M. A., Haddadi, P., & Abdolmanafi, A. 2011.
Mediation effects of positive and negative affects on the relationship
between perfectionism and physical health. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 30, 176–181.
Nisa, K. (2020). Peran Fear Of Missing Out (FoMO) Terhadap Atensi Mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Dalam Proses Belajar.

O’Riordan, A., Howard, S., & Gallagher, S. (2020). Type D personality and life
event stress: The mediating effects of social support and negative social
relationships. Anxiety, Stress, & Coping, 33(4), 452– 465.

Oberst, U., Wegmann, E., Stodt, B., Brand, M., & Chamarro, A. (2017). Negative
consequences from heavy social networking in adolescents: The
mediating role of fear of missing out. Journal of Adolescence, 55, 51–60.

Pratiwi, E., (2016). Faktor yang mempengaruhi niat menggunakan Instagram


dengan the theory of reasoned action menggunakan Amos 21. Jurnal
Teknik Komputer AMIK BSI.

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013).


Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out.
Computers in human behavior, 29(4), 1841-1848.

Puspitasari, F. I. 2016. Kebutuhan yang Mendorong Remaja Mem-posting Foto


atau Video Pribadi dalam Instagram. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, 5(1), 1–12.

Rabathy, Q. 2018. “Nomophobia sebagai Gaya Hidup Mahasiswa Generasi Z”.


Jurnal Linimasa Vol. 1 No. 1. Universitas Pasundan.

Rizky. 2020. Hubungan Antara Kesepian dengan Ketakutan Akan Ketinggalan


Momen Pada Pengguna Instagram di Samarinda. Jurnal Imiah Psikologi
Volume 8 No 4

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2017). Self-determination theory: Basic psychological


needs in motivation, development, and wellness. Guilford Publications.

Robert A. Baron, Psikologi Sosial (Jakarta : Erlangga, 2005

Satria Siddik, Mafaza Mafaza, Lala Septiyani Sembiring. 2020, Peran Harga Diri
terhadap Fear of Missing Out pada Remaja Pengguna Situs Jejaring
Sosial. Vol. 10, No. 2, 127-138. doi: 10.26740/jptt.v10n2.p127-138

Shodiq, F., Kosasih, E., & Maslihah, S. 2020. Need To Belong Dan of Missing
Out Mahasiswa Pengguna Media Sosial Instagram. Jurnal Psikologi
Insight, 4(1), 53–62.

Sianipar, N.A., Kaloeti, D.V.S., (2019). Hubungan antara regulasi diri dengan fear
of missing out (FOMO) pada mahasiswa tahun pertama fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro. Jurnal Empati (136-143)

Siddik, S., Mafaza, M., & Sembiring, L, S. (2020). Peran harga diri terhadap fear
of missing out pada remaja pengguna situs jejaring sosial. Jurnal
Psikologi Teori dan Terapan. 10(2), 127-138.
Sianipar, N. A., & Kaloeti, D. V. S. (2019). Hubungan antara regulasi diri dengan
fear of missing out (Fomo) pada mahasiswa tahun pertama Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Empati, 8(1), 136-143.

Soetjipto, H. P. (2005). Pengujian validitas konstruk kriteria kecanduan internet.


Jurnal Psikologi, 32(2), 74-91

Shely E, et. al., Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas, ter. Tri Wibowo B.S.
(Jakarta : Prenada Media Group, 2009)

Sousa, L., & Lyubomirsky, S. (2001). Life satisfaction. Encylopedia of women and
gender: Sex similarities and differences and the impact of society on
gender, 2, 667-676.

Sumini.2018. Neuro-Lingusitic Programming (Nlp) Based Counseling Sebagai


Solusi Untuk Mereduksi Efek Fomo (Fear Of Missing Out) Pada
Kecanduan Media Sosial. Jurnal Bimbingan Konseling. 7(1): 109-116.

Stevenson, A. (Ed.). (2010). Oxford dictionary of English. Oxford University


Press, USA.

VandenBos, G. R. (2007). APA dictionary of psychology. American Psychological


Association.

Wortham, J. (2011, April 10). Feel like a wallflower? Maybe it’s your facebook
wall. The New York Times . .

Zimmerman, B. J. (2000). Attaining self-regulation: a social cognitive perspective.


In M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of
selfregulation (pp. 13-39). Burlington: Elsevier Academic Press

Anda mungkin juga menyukai