Anda di halaman 1dari 3

1

Reforman Sejahtera Lubis


7111161028

Pengaruh Problematic Internet Use Terhadap Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa


Psikologi Unjani

Problematic Internet use


Problematic Internet Use atau PIU merupakan sindrom multi-dimensi dengan gejala
kognitif maladatif dan perilaku yang menghasilkan dampak negatif dalam sosial, akademis, atau
konsekuensi professional (Caplan, 2005). Davis (2001) mengatakan bahwa PIU adalah perilaku
penggunaan internet yang kurang terkontrol sehingga menghasilkan dampak negatif pada individu
seperti mengalami masalah pada kehidupan psikososial, sekolah atau kehidupan kerja. Dari
beberapa pengertian mengenai PIU tersebut dapat disimpulkan bahwa PIU merupakan penggunaan
internet secara berlebihan dan tidak terkontrol yang ditandai dengan gejala kognitif maladaptif dan
perilaku yang menghasilkan dampak negatif bagi kehidupan individu.
Awalnya Davis (2001) membuat model cognitive-behavioral dari PIU yang berfokus pada
kognisi maladaptif yang diasosiasikan dengan PIU. Lalu model tersebut dijabarkan lebih lanjut
serta validitas dan reabilitasnya diuji secara empiris oleh Caplan (2002) sehingga menghasilkan
alat ukur GPIUS yang terdiri dari 7 sub-dimensi yaitu, (1) perubahan suasana hati, (2) adanya
manfaat sosial yang dirasakan saat online, (3) dampak negatif dari penggunaan internet, (4)
penggunaan internet secara kompulsif, (5) waktu berlebihan yang dihabiskan untuk online, (6)
gejala withdrawal ketika offline, dan (7) adanya kontrol sosial dari online. Selanjutnya, Caplan
(2010) mengeksplorasi sub dimensi GPIUS dengan mengkonstruk GPIUS2 sehingga
menghasilkan empat dimensi untuk mengukur PIU, yaitu:

1. Preference for online social interaction (POSI).


Mengacu pada keyakinan bahwa berinteraksi melalui internet lebih aman, lebih nyaman dan
efektif, serta kurang mengancam dibandingkan interaksi tatap muka (Caplan, 2007; Kim &
Davis, 2009).
2. Mood regulation
Regulasi suasana hati atau mood regulation mengacu pada penggunaan internet untuk
mengurangi perasaan terisolasi atau gangguan emosi (Caplan, 2002; 2007, dalam Caplan,
2010).
3. Deficient self-regulation
Deficient self-regulation atau kurangnya regulasi diri dikonseptualisasikan sebagai keadaan
dimana individu secara kognitif merasa asik dengan internet sehingga selalu terobsesi untuk
menggunakannya dan mengalami perilaku yang kompulsif dalam menggunakan internet
karena gagal dalam mengontrol perilakunya (Caplan, 2010; Gámez-Guadix, Orue, & Calvete,
2013). Secara spesifik, deficient self-regulation terbagi menjadi dua aspek, yaitu :
a. Cognitive preoccupation
Cognitive preoccupation mengacu pada pola pemikiran obsesif dalam menggunakan
internet, seperti adanya pemikiran bahwa seseorang tidak dapat berhenti mengakses
internet atau ketika sedang tidak mengakses internet individu tidak dapat berhenti
memikirkan apa yang terjadi pada internet (Caplan, 2010).
2

b. Compulsive internet use


Compulsive internet use adalah keinginan seseorang untuk terus mengakses internet
bahkan ketika dirinya tidak sedang memiliki keperluan untuk menggunakan internet.
Individu mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan untuk
berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol penggunaan internet (Caplan, 2010).

4. Negative outcome
Negative outcome atau dampak negatif adalah konsekuensi dari perilaku penyalahgunaan
Internet (PIU).

Prokrastinasi
Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastinare, dari kata pro yang artinya maju,
ke depan, bergerak maju, dan crastinus yang berarti besok atau menjadi hari esok. Jadi, dari asal
katanya prokrastinasi adalah menunda hingga hari esok atau lebih suka melakukan pekerjaannya
besok.
Pertama kali istilah prokrastinasi digunakan oleh Brown Holtzman untuk menggambarkan
sesuatu kecenderungan menunda-nunda suatu tugas atau pekerjaan (Hayyinah 2004). Secara
umum proskratinasi didefinisikan sebagai kecenderungan perilaku untuk memulai sesuatu dengan
lambat dan membawa konsekuesi yang bagi seorang yang melakukannya (Dewitte dan
Schouwenberg dalam Delying, 2008). Prokrastinasi akademik adalah jenis penundaan yang
dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan akademik atau kinerja akademik
(Aitken dalam Ferrari dkk., 1995). Jeremy Hsieh (dalam Hayyinah, 2004) menganggap
prokrastinasi akademik sebagai suatu kecenderungan sifat yang dimiliki oleh pelajar yang sering
menghadapi tugas-tugas yang mempunyai batas waktu.
Ferrari, dkk dan Stell mengatakan bahwa sebagai suatu perilaku penundaan, prokrastinasi
akademik dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diukur dan diamati, ciri-ciri
tersebut berupa:
1) Perceived time, seseorang yang cenderung prokrastinasi adalah orang-orang yang gagal
menepati deadline. Mereka berorientasi pada masa sekarang dan tidak mempertimbangkan
masa mendatang. Prokrastinator tahu bahwa tugas yang dihadapinya harus segera diselesaikan,
tetapi ia menunda-nunda untuk mengerjakannya atau menunda menyelesaikannya jika ia sudah
memulai pekerjaannya tersebut.
2) Intention-action, celah antara keinginan dan tindakan. Perbedaan antara keinginan dengan
tindakan senyatanya ini terwujud pada kegagalan siswa dalam mengerjakan tugas akademik
walaupun siswa tersebut punya keinginan untuk mengerjakannya. Ini terkait pula dengan
kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.
3) Emotional distress, adanya perasaan cemas saat melakukan prokrastinasi. Perilaku menunda-
nunda akan membawa perasaan tidak nyaman pada pelakunya, konsekuensi negatif yang
ditimbulkan memicu kecemasan dalam diri pelaku prokrastinasi.
3

Fenomena

Kemunculan internet lewat sebuah wadah yg sering disebut gadget menjadi sebuah pisau
bermata dua bagi penggunanya terutama di kalangan mahasiswa, banyak yg mendapatkan
keuntungan positif dari kehadiran internet tersebut, tapi tak sedikit pula penggunanya tanpa sadar
menggunakan internet tanpa kontrol diri yang baik, yang akhirnya dapat menyebabkan perilaku
prokrastinasi akademik atau perilaku penunda - nundaan suatu tugas atau pekerjaan, dari dasar ini
lah terbangun sebuah penelitian untuk mencari tahu apakah

Anda mungkin juga menyukai