Anda di halaman 1dari 12

FENOMENA FOMO MENJADI BUDAYA BARU

DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA

Sarah Fauziah Annas 2001026021 ( Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Walisongo Semarang )

Email : sarfaaannas@gmail.com

Abstrak
A. LATAR BELAKANG

Budaya merupakan atau suatu alat kehidupan bagi manusia. Budaya juga dikatakannya
sebagai kepribadian cara seseorang memecahkan masalah, mengekspresikan diri, cara berpikir
bahkan termasuk juga sistem transportasi perencanaan kota. Komunikasi dilakukan untuk
menyampaikan suatu maksud atau keinginan dari seseorang kepada orang lain dalam
komunikasi pastinya terdapat sebuah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi untuk
mencapai tujuan yang efektif. Bahasa sendiri yaitu alat atau perwujudan budaya yang
digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan baik lewat tulisan lisan atau
gerakan (bahasa isyarat). Dengan tujuan untuk menyampaikan suatu informasi atau kemauan
kepada lawan bicara atau orang lain. (Edward T.Hall (1959) dalam Aloliliweri (2003:8).
Sebuah proses komunikasi pastinya tidak akan terlepas dari sebuah budaya terlebih dalam
sebuah kehidupan bermasyarakat pastinya mereka memiliki kebudayaan sendiri-sendiri dalam
proses komunikasi. Pada era saat ini terdapat sebuah media baru dalam berkomunikasi atau
sering kita sebut sebagai new media yaitu internet. Dalam new media ini banyak sekali budaya
baru yang kita temukan terlebih di masa pandemi sekarang ini banyak sekali trend trend yang
terjadi di sosial media yang pastinya banyak diikuti oleh para masyarakat Indonesia baik
mudah sampai usia tua.
Kehadiran media sosial pastinya akan menyediakan ruang bagi seseorang untuk
melakukan komunikasi aktif dengan orang lain dan memudahkan dalam mengakses informasi
yang sedang terjadi terkait suatu aktivitas (Burke, Marlow, dan Lento, 2010 ; Przybylski,
Murayaman, Dehaan, dan Gladwell, 2013). Media sosial juga dapat digunakan sebagai sarana
yang mudah dan penting untuk menjaga koneksi sosial serta memuaskan kebutuhan sosial
seseorang. Sebuah proses komunikasi yang terjadi di sosial media sekarang ini menjadi sangat
meningkat. Sama dengan banyaknya bermunculan sebuah sindrom atau fenomena yang sering
dikenal dengan atau fair of missing out.
Fenomena fearr of missing out semakin terus meningkat dan berkembang seiring dengan
kemajuan teknologi informasi dan keberadaan media sosial yang kian meningkat. Fear of
missing out pada dasarnya merupakan kecemasan sosial yang bisa saja terjadi di dunia nyata
atau dalam kehidupan sehari-hari ( JWT Intelligence, 2012). FoMo yaitu sebuah kekhawatiran
akan ketidakhadiran diri pada aktivitas atau kegiatan menyenangkan lainnya. Fenomena ini
cenderung terjadi pada kalangan remaja namun tidak dipungkiri juga banyak kalangan dewasa
yang terkena sindrom FoMo ini.
Semakin hari fenomena ini semakin merajalela terutama pada kalangan masyarakat
Indonesia yang merasa cemas akan ketertinggalan sebuah tren yang terjadi di dunia maya. Hal
ini menyebabkan sebuah fenomena budaya dimana homo menjadi sebuah budaya baru bagi
kalangan masyarakat Indonesia terutama dalam media sosial salah satunya yaitu Tik tok
bagaimana masyarakat Indonesia berlomba-lomba membuat sebuah tren yang terjadi di sosial
media tersebut. FoMo mendorong seseorang untuk terus-menerus menggunakan media sosial di
mana jika tidak diatasi akan berdampak pada kesehatan mental dan kesejahteraan psikologi
penggunanya ( Baker, Krieger dan LeRoy, 2016).
Sebuah data mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat keempat tertinggi di
dunia dalam menghabiskan waktu menggunakan media sosial dengan rata-rata waktu 3 jam 26
menit setiap orangnya perhari. Penggunaan internet menghabiskan waktu selama lebih dari 10
jam per minggunya digolongkan ke dalam penggunaan berat hal ini menunjukkan rata-rata
pengguna media sosial di Indonesia merupakan pengguna berat internet dan rentan mengalami
dampak negatif yang disebabkan oleh media sosial ( The Georgia Institute of Technologi,
2008).
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, menurut David Williams (1995)
penelitian kualitatif adalah upaya peneliti mengumpulkan data yang didasarkan pada latar
alamiah tentu saja karena dilakukan secara alamiah atau natural maka hasil dari penelitiannya
pun juga ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan penelitian kualitatif juga bertujuan untuk
memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitiaan.
Penelitian menggunakan pendekatan studi pustaka dengan mengacu pada beberapa
penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana fenomena FoMo
terjadi di Indonesia dan menjadi budaya baru di kalangan masyarakat Indonesia.
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Fenomena
Fenomena dalam kamus bahasa besar Indonesia (KBBI) adalah fe.no.me.na merupakan
hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai
secara ilmiah seperti fenomena alam, gejala, gerhana adalah salah satu ilmu
pengetahuan atau sesuatu yang luar biasa keajaiban sementara masyarakat tidak percaya
akan adanya pemimpin yang berwibawa, tokoh itu merupakan tersendiri yang
menyajikan fakta, kenyataan, peristiwa itu merupakan sebuah peristiwa sejarah yang
tidak dapat diabaikan serta tidak dapat diulang.
Fenomena juga bisa diartikan sebagai suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati
istilah ini dimulai atau digunakan dalam filsafat modern melalui Immanuel kant. Yang
membandingkan fenomena dengan nomina yang tidak dapat diamati secara langsung.
Bisa diartikan juga fenomena adalah hal yang luar biasa dalam kehidupan di alam dan
dapat terjadi dengan tidak terduga dan tampak mustahil dalam pandangan manusia.
2. FoMo atau Fear of Missing out
Fear of missing out merupakan sebuah ketakutan individu untuk tertinggal dan
kehilangan seseorang. Fear of missing out atau lebih dikenal dengan sebutan FoMo
didefinisikan sebagai sebuah rasa kecemasan akan adanya peristiwa menarik atau
mungkin sebuah hal yang menarik yang terjadi di tempat lain, kecemasan ini testimulasi
oleh hal yang ditulis atau dimuat dalam sebuah media sosial seseorang. FoMo adalah
sebuah sindrom modern bagi masyarakat modern yang terobsesi untuk terhubung
sepanjang waktu. (Hodkinson dan Poropat:2014)
Fear of missing out merupakan sebuah fenomena di mana seseorang merasa ketakutan
terhadap orang lain yang memperoleh pengalaman yang menyenangkan namun tidak
terlibat secara langsung sehingga menyebabkan individu berusaha untuk tetap
berhubungan dengan apa yang orang lain lakukan melalui media dan internet secara
lebih sederhananya, FoMo dapat diartikan sebagai rasa takut atau kecemasan terhadap
sebuah ketinggalan terhadap hal-hal yang menarik di luar sana atau takut dianggap tidak
eksis dan up to date.
3. Budaya Baru
Budaya baru merupakan sebuah kebudayaan yang baru dalam kehidupan sehari-hari
terutama kehidupan di warga masyarakat Indonesia budaya baru ini salah satunya yaitu
new media yang berupa internet yang menjadikan banyak budaya baru yang muncul di
kalangan masyarakat Indonesia terutama pada masa pandemi seperti ini.
D. PEMBAHASAN
1. Pengertian Fear of Missing Out
Przybylski dkk (2013) mendefinisikan Fear of Missing Out sebagai ketakutan
yang dirasakan individu ketika individu tersebut tidak mengetahui pengalaman atau
kegiatan orang lain yang menarik. Dalam mendefinisikan Fear of Missing Out (FoMO),
Przyblyski mengacu pada Self Determination Theory atau SDT, yang menggambarkan
bahwa Fear of Missing Out (FoMO) terbentuk karena rendahnya kebutuhan dasar
psikologis dalam penggunaan media seperti media sosial. Kebutuhan dasar psikologis
menurut Reeve & Sickenius (1994) adalah sumber tendensi motivasi intrinsik proaktif
yang melekat dan mengarahkan individu untuk mencari hal-hal baru, mengejar
tantangan yang optimal, melatih dan memperluas kemampuan,mengeksplorasi dan
belajar, sehingga dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Pryzbylski dkk (2013) Fear
of Missing Out (FoMO) terbentuk karena rendahnya kepuasan dalam kebutuhan dasar
psikologis dari competence, autonomy dan relatedness.
Alt (2015) menjelaskan bahwa Fear of Missing Out (FoMO) merupakan
fenomena dimana individu merasa ketakutan orang lain memperoleh pengalaman yang
menyenangkan namun tidak terlibat secara langsung sehingga menyebabkan individu
berusaha untuk tetap terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui media dan
internet. Secara lebih sederhananya, Fear of Missing Out (FoMO) dapat diartikan
sebagai ketakutan ketinggalan hal-hal menarik di luar sana dan atau takut dianggap
tidak eksis dan up to date.
Hodkinson & Poropat (2014) mendefinisikan Fear of Missing Out sebagai
ketakutan individu untuk tertinggal dan kehilangan seseorang. Fear of Missing Out
dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai kecemasan akan adanya peristiwa menarik
atau mungkin hal menarik yang terjadi di tempat lain, kecemasan ini terstimulasi oleh
hal yang ditulis di dalam media sosial seseorang. Fear of Missing Out (FoMO) adalah
sindrom modern bagi masyarakat modern yang terobsesi untuk terhubung sepanjang
waktu.
Berdasarkan pemaparan definisi tersebut penelitian ini merujuk kepada penelitian
Przybylski dkk (2013) yaitu Fear of Missing Out sebagai ketakutan yang dirasakan
individu ketika individu tersebut tidak mengetahui pengalaman atau kegiatan orang lain
yang menarik.
2. Faktor Penyebab Fear of Missing Out
Ryan dan Deci menyatakan pemenuhan kebutuhan dasar psikologis merupakan
mekanisme motivasi yang menggerakkan manusia dalam berperilaku. Secara universal,
terdapat tiga kebutuhan psikologis yang menjadi motivasi dasar seseorang memilih
untuk melakukan sesuatu yang apabila terpenuhi dapat membantu proses pertumbuhan
dan optimalisasi fungsi seseorang sebagai manusia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
adalah kebutuhan autonomy, competence, dan relatedness (Ryan dan Deci, 2000).
Beberapa faktor diantaranya yaitu :
1) Competence
Competence dimaknai sebagai kebutuhan untuk mampu mengatur diri dan
berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Penting untuk
mengeksplorasi dan memanipulasi lingkungan sehingga dapat menghadapi
hal-hal yang menantang. Kepuasan terhadap competence membantu
seseorang untuk menguasai dan beradaptasi dengan lingkungan yang rumit
dan berubah-ubah. Apabila tidak terpenuhi, dapat menyebabkan frustasi
dan kehilangan motivasi (Ryan dan Deci, 2000).
2) Relatedness
Kebutuhan individu untuk dipahami, diapresiasi, memiliki ikatan,
berhubungan, dan saling peduli dengan orang lain. Kebutuhan ini
terpenuhi saat seseorang merasakan kerukunan dan mengembangkan
hubungan yang akrab dengan orang lain (Ryan dan Deci, 2000). Manusia
memiliki kecenderungan secara natural untuk mengintegrasikan dirinya
dalam hubungan sosial dan memperoleh keuntungan dari hal tersebut
(Broeck dkk, 2010)
3) Autonomy
Kebutuhan individu merepresentasikan hasrat untuk dapat memiliki
kehendak dan bebas menentukan pilihan saat beraktivitas. Memiliki
keinginan pribadi dan memilih untuk melakukannya tersebut tentu bukan
berarti terlepas dari orang lain. Kepuasan autonomy seseorang juga bisa
dipenuhi saat bergantung pada orang lain maupun memenuhi permintaan
orang lain (Broeck dkk, 2010).

3. Dampak Fear of Missing Out


Przybylski, dkk (2013)memberikan beberapa ciri khusus tentang dampak FoMO
diantarannya yaitu :
1) Individu selalu mewajibkan diri untuk mengecek media sosial. Seorang
yang FoMO memiliki rutinitas untuk melihat media sosial milik rekan
lain. Ia merasa harus selalu up to date dengan apa yang sedang
diperbincangkan, apa yang dilakukan, dan apa yang dipublikasikan di
media sosial oleh user lainnya. Misalnya, mereka memiliki rasa takut yang
berlebihan apabila dikatakan sebagai kudet’ (kurang update).
2) Individu selalu memaksa diri berpartisipasi dalam semua kegiatan.
Mendatangi sebuah acara atau sebuah tempat merupakan suatu
perlombaan bagi seorang dengan FoMO yakni untuk meningkatkan harga
dirinya melalui berbagai posting terkait dengan kegiatan yang diikutinya.
Pengidap FoMO melakukannya untuk mendapat pujian dan eksistensi diri
yang berlebihan.
3) Individu selalu membuat “panggung pertunjukan” sendiri. Panggung itu
bisa di front-stage (online) bisa juga di back-stage (offline), dan di
panggung itulah individu merepresentasikan dirinya dalam kehidupan
sehari-hari. Pengidap FoMO menunjukkan bahwa media sosial adalah
panggung pertunjukan baginya guna memberikan kesan yang berbeda dan
unik dibandingkan dengan user lainnya. Oleh karena itu, semua status
Facebook,cuitan di Twitter, foto di Path dan Instagram, bahkan data diri di
Linke dinpun berjejer dengan prestasi dan capaian dirinya. Hal ini
dikarenakan individu yang tidak ingin eksistensinya dikalahkan oleh orang
lain.
4) Individu selalu merasakan diri yang berkekurangan dan menginginkan
yang lebih. FoMOmuncul salah satunya karena adanya keterasingan diri di
dunia offline sehingga pengidap FoMO mencari pengakuan di dunia
online. Namun, ketika di dunia online pun ia tetap merasa terasing, maka
timbul keinginan yang bersifat destruktif seperti mencoba mengganggu
user lain, bahkan membuat akun palsu sampai meretas akun lainnya.
Selain itu keterasingan tersebut akan menggerogoti jiwa pengidap FoMO
yang bisa mengakibatkan stres, depresi, dan kelainan mental lainnya.

4. FoMo Menjadi Budaya Baru di Kehidupan Msyarakat Indonesia.


FoMo menjadi sebuah fenomena, atau sebuah peristiwa yang akhir-akhir ini
sering dibahas atau sering terjadi pada kalangan masyarakat Indonesia terutama mereka
yang menggunakan media sosial. Dalam kehidupan dunia maya mereka berlomba-
lomba untuk menjadi yang paling viral atau kontroversial versi mereka masing-masing.
Hal ini merupakan sebuah budaya baru yang terbentuk karena adanya pengaruh dari
new media atau internet.
FoMo atau kepanjangan dari Fear of Missing out ini merupakan bagaimana
seorang individu merasa khawwatir atau cemas atas ketertinggalan sebuah peristiwa.
FoMo ini semakin hari makin banyak yang terkena sindrom trend ini. Usia yang rentan
terkena sindrom ini yaitu 16-24 tahun. bagaiman mereka merasa cemas atau khawatir
ketika tidak mengupdate status ataupun tidak mengikuti trend yang sedang viral pada
saat itu.
Sebagai dampaknya, individu dengan FoMO yang tinggi merasa harus tetap
terhubung dengan media sosial supaya mengetahui apa yang individu lain lakukan,
seperti informasi mengenai profil, berita ataupun status terbaru milik individu lain
(Steinfield , Ellison, Lampe, dan Vitak, 2013). Przybylski, dkk (2013) mengatakan
bahwa ketidakhadiran individu dengan FoMO tinggi pada suatu pertemuan akan
membuatnya merasa gelisah akan ketinggalan berbagai informasi baru,sehingga hal
tersebut mendorong individu untuk selalu hadir dalam semua kegiatan bersama rekan
yang lainnya.
penggunaan media sosial sebelumnya sudah banyak dilakukan dan menghasilkan
data seperti perkiraan rata-rata harianaktivitas penggunaan dalam hitungan menit atau
login akun perminggu dan frekuensi perilaku penggunaan media sosial (Baker dan
Oswald, dan Lampe, 2007). Salah satu penelitian penggunaan media sosial yang
dilakukan di Indonesia dilakukan oleh We Are Social yang perusahan media asal
Inggris pada tahun 2019. Laporan mengenai peneltian ini menjabarkan di Indonesia,
56% dari populasi penduduk merupakan pengguna media sosial. Pada tahun 2018,
tercatat pengguna media sosial hanya 41%, dan ini menunjukkan adanya peningkatan
sebesar 15% di tahun 2019.
Ditinjau dari segi usia, pengguna media sosial terbanyak di Indonesia pada
Januari 2019 berada pada kelompok usia 18-24 tahun, dimana usia ini tergolong pada
kategori remaja dan dewasa awal. Pada kategori usia ini, menurut perkembangannya
berada pada tahap pembentukan identitas dan cenderung berkonformasi dengan kawan
sebayanya (Santrock, 2012). Kehadiran media sosial memfasilitasi pengguna remaja
dan dewasa awal dalam membangun identitas dan menjalin relasi dengan teman
sebayanya.
Dengan demikian bisa terlihat bahwasanya fenomena FoMo ini terus berkembang,
dan bisa menjadi budaya baru di kalangan masyarakat Indonesia. Apalagi dengan
banyaknya media sosial yang semakin berkembang. Terlebih pada masa pandemi yang
kebanyakan masyarakat melakukan aktivitasnya di rumah sehingga merasa jenuh yang
akhirnya membuat mereka berkreasi membuat sebuah tren baru yang ada di sosial
media dengan hal ini pastinya mereka akan terus berlomba-lomba untuk mengikuti tren
yang ada maka dari itu semakin lambat laun fenomena ini akan terus berkembang dan
berlanjut.
E. STUDI KASUS
Studi kasus yang peneliti ambil yaitu viralnya film KKN di desa penari gimana tembus
hingga 9 juta penonton. Gimana film ini dinobatkan sebagai salah satu film horor terlaris
sepanjang masa. Viralnya film ini diawali dengan salah satu di media sosial yaitu Twitter
dengan username simple man yang menceritakan mengenai KKN yang dia lakukan di
salah satu desa di provinsi Jawa timur, terjadi sebuah peristiwa horor yang melanda
mereka ketika KKN viralnya cuitan tersebut pada tahun 2019. Yang kemudian diangkat
sebagai film pada tahun 2020 dan diisukan akan tayang pada tahun tersebut namun
nyatanya diundur kurang lebih selama 3 tahun karena adanya pandemi covid-19. Dari
hasil penelitian yang saya dapatkan bahwasanya banyak penonton yang melihat atau
menonton film tersebut disebabkan oleh rasa takut ketertinggalan tren ketika teman-
temannya menonton film tersebut dan mereka juga ingin merasa up to date terhadap hal
tersebut yang menjadikan mereka menonton film KKN di desa penari. Bukan hanya rasa
takut yang melanda mereka namun mereka juga mengupload status atau story di masing-
masing media sosial mereka agar terlihat lebih kekinian. Yang akhirnya hanya ingin
mendapatkan klaim bahwa orang tersebut update atau mengikuti tren terhadap sebuah
peristiwa yang sedang terjadi di masanya.
F. PENUTUP
Kesimpulan
Dengan adanya sebuah kemajuan teknologi informasi pastinya akan berdampak pada
kehidupan masyarakatnya salah satunya yang sekarang ini sangat hangat dibicarakan di
kalangan masyarakat yaitu sebuah sindrom atau fenomena fomo. Gimana para pelakunya
yaitu mereka yang merasakan kecemasan atau kekhawatiran akan ketertinggalan sebuah
sesuatu tren atau peristiwa yang sedang viral terutama peristiwa yang terjadi di media sosial.
Fenomena ini juga biasanya terjadi pada usia remaja atau usia dewasa kisaran umur 16
sampai 24 tahun. Banyak faktor yang menyebabkan para masyarakat ini terkena sindrom
FoMo ini. Salah satunya yaitu kompetensi gimana mereka berlomba-lomba untuk terus-
menerus mengikuti trend sehingga ketika suatu waktu mereka tidak mengikuti tren tersebut
maka kecemasan akan ketertinggalan semakin tinggi. Semakin banyak korban dari sindrom
ini pastinya akan menjadikan sebuah budaya baru yang ada di kalangan masyarakat
Indonesia yang akhirnya mereka terus berlomba-lomba dalam membuat sebuah tren serta
terus merasa dihantui oleh rasa takut serta cemas yang tinggi akan ketertinggalan sebuah
tren tersebut. Diharapkan untuk para kalangan muda bisa lebih cermat dan disiplin dalam
menggunakan media sosial dan harus merasakan takut ketertinggalan atau tidak up to date
terhadap suatu peristiwa pada dasarnya sindrom ini akan terus berkembang dan
berkelanjutan ketika kita terus-menerus mengikuti tren-tren yang ada lebih baiknya jika
sesekali kita tidak mengikuti sebuah tren yang ada sehingga rasa jama serta khawatir itu
akan mulai sedikit demi sedikit akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, Emotional, and
Behavioral correlates of Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior

Anda mungkin juga menyukai