Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai generasi yang tumbuh dalam era kemajuan internet dan digital, remaja
generasi milenial merupakan remaja yang selalu terhubung satu sama lain.
Tingginya tingkat penggunaan media sosial pada remaja tersebut membuat
mereka menjadi kelompok yang paling terpapar oleh apa yang dilakukan teman,
kerabat dan keluarganya.

Hal tersebut memicu mereka untuk terus terhubung dengan apa yang sedang
dilakukan oleh orang lain melalui dunia maya sehingga menimbulkan kegelisahan
pada diri mereka dan berujung pada sebuah ketakutan, yaitu ketakutan untuk
kehilangan momen. Fenomena tersebut disebut dengan FoMO (Fear of Missing
Out).(Akbar Rizki,dkk 2018)

FOMO (Fear of Missing Out) adalah ketika seseorang mengalami rasa takut jika
tertinggal informasi yang sedang terjadi terutama yang berkaitan dengan apa
orang atau kelompok lain sedang lakukan (Marlina, 2017). Menurut Dewi et al.
(2021). bagi seseorang yang mengalami FOMO biasanya ditandai dengan
perasaan khawatir atau cemas jika tidak bisa mengikuti atau mengetahui aktivitas
orang lain atau orang yang diikuti.

FOMO biasanya tidak terlepas dari media sosial dikarenakan pada zaman
sekarang, kita dapat dengan mudah mendapatkan segala informasi yang berada di
media sosial dan seperti yang kita ketahui bahwa rata-rata pengguna media sosial
adalah remaja. Hal ini didukung berdasarkan riset dari APJII (2022) yang
menemukan bahwa terdapat 905 responden dari kelompok usia 13-18 tahun dan
terdapat 1.124 responden dari pelajar mahasiswa. Dampak Fear of Missing Out
Menurut Przybylski dkk (2013). dampak atau efek buruk yang ditimbulkan oleh
sindrom FoMO atau Fear of Missing Out antara lain adalah sebagai berikut:

a. Individu selalu mewajibkan diri untuk mengecek media sosial

b. Individu selalu memaksa diri berpartisipasi dalam semua kegiatan

c. Individu selalu membuat panggung pertunjukan sendiri


d. Individu selalu merasakan diri yang berkekurangan dan menginginkan yang
lebih Berdasarkan pengertian mengenai FOMO dan remaja adalah rata-rata yang
menggunakan media sosial seperti yang telah disinggung pada paragraf
sebelumnya, FOMO biasanya mereka sering membuka media sosial dengan
tujuan untuk mengurangi rasa khawatir atau cemas (Dewi et al., 2021). Saat kita
mulai merasa cemas atau takut karena merasa tidak terlibat dan mengeimbangi
mereka. Terkadang, kita mulai merasa bahwa hal tersebut sebagai sebuah
keharusan untuk diikuti. Akibatnya, kita menjadi sering membuka sosial media
atau mulai memaksa diri kita untuk melakukan hal yang serupa dengan mereka.

Aspek-aspek Fear of Missing Out (FoMO) menurut (Przybylski, 2013), antara


lain yaitu :

1. Kompetensi (Competence) Kompetensi merupakan kapasitas individu untuk


bertindak secara efektif di kehidupan seharihari, mengacu pada kebutuhan untuk
merasa mampu dan dapat melaksanakan tugas di berbagai tingkat kesulitan secara
efektif.

2. Otonomi (Autonomy) Otonomi merupakan kapasitas individu untuk


memunculkan inisiatif pribadi, mengacu pada kebutuhan individu menentukan
keputusan atau tindakannya sendiri tanpa pengaruh dari luar.

3. Kebutuhan psikologis akan relatedness yang tidak terpenuhi. Relatedness


diartikan sebagai suatu kedekatan kepada orang lain untuk merasakan
kenyamanan dalam kebersamaan. Kondisi relatednees ini memiliki perasaan yang
kuat antar individu memiliki tali persaudaraan yang kuat sehingga membuat orang
ingin memiliki kesempatan lebih dalam bersosialnya. Apabila kondisi relatednees
tidak terpenuhi maka akan timbul rasa cemas dan mencari tau informasi dari
individu yang melebihi dirinya akan suatu hal, sehingga membuat individu
tersebut harus terhubung dengan dunia maya.

Berdasarkan pengertian mengenai FOMO dan remaja adalah rata-rata yang


menggunakan media sosial seperti yang telah disinggung pada paragraf
sebelumnya, FOMO biasanya mereka sering membuka media sosial dengan
tujuan untuk mengurangi rasa khawatir atau cemas (Dewi et al., 2021).

Saat kita mulai merasa cemas atau takut karena merasa tidak terlibat dan
mengeimbangi mereka. Terkadang, kita mulai merasa bahwa hal tersebut sebagai
sebuah keharusan untuk diikuti. Akibatnya, kita menjadi sering membuka sosial
media atau mulai memaksa diri kita untuk melakukan hal yang serupa dengan
mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kaloeti,dkk.,2021) Data
survei yang dilakukan pada 638 remaja di Indonesia bahwa sekitar 64,6% atau
412 remaja mengalami FoMO di media sosial.

Penggunaan internet yang meningkat di Indonesia diharapakan mampu


mempermudah dan meningkatkan produktivitas rakyat Indonesia dalam kegiatan
sehari-hari. Penggunaan internet dalam bidang ekonomi membantu memasarkan
barang jualan, trading online, bursa saham, dan pengunaan jasa layanan seperti
ojek online melalui E-commerces. Internet juga membuat kebutuhan manusia
dapat dipenuhi seperti kebutuhan bersosialisasi, mengakses informasi dan
kebutuhan hiburan seperti media sosial (Soliha,2015).
Manusia selain ingin mendapatkan kehidupan yang mudah dalam beraktivitas,
pasti menginginkan kesejahteraan dalam kehidupan. Kesejahteraan yang
dimaksudkan adalah perasaan sejahtera baik secara fisik maupun psikologis.
Psychological well being (kesejahtraan psikologis) menurut Ryff dan Keyes
(1995), adalah individu yang mampu hidup bahagia atas pengalaman masa
lalunya dan memaknai pengalamannya sebagai sesuatu yang berharga dan
membanggakan bagi dirinya maka individu tetap merasakan sejahtera atau well
being.

Menurutl ryff (1995) Aspek dari Psychological well being Bila Individu dapat
dikatakan memiliki Psychological well being yang baik apabila memiliki : (1)
penerimaan diri, (2) hubungan positif dengan orang lain, (3) otonomi atau
kemandirian, penguasaan akan lingkungan (5) tujuan hidup, (6) pertumbuhan
pribadi. Jika individu memiliki aspek-aspek dalam Psychological well being maka
individu memiliki Psychological well being yang baik. Akan tetapi semakin
cepatnya perkembangan teknologi semaki susah seseorang memiliki tingkat
psycholological well being yang baik. Semakin seorang mahasiswa menggunakan
internet maka semakin tinggi tingkat depresi yang dimiliki (Abidah, 2020).
Permasalah akan tingkat Psychological well being juga terjadi pada remeja.

Hasil Studi yang dilakukan Royal Society For Public Health Inggris tahun 2017,
mengatakan bahwa media sosial (Instagram) dianggap sebagai platform media
sosial yang sering membuat remaja depresi, cemas, kesepian, selain itu hasil dari
Studi ini juga menunjukkan remaja merasa memiliki harga diri yang rendah,
kondisi tubuh yang buruk, dan kurang tidur. Hal tersebut terjadi karena apabila
ada komentar yang buruk pada foto maupun video yang diunggahnya, selain itu
jumlah love yang sedikit dapat mempengaruhi remaja memiliki harga diri yang
rendah dan rasa cemas. Menurut Ryff (1998), menjelaskan permasalah tersebut
muncul akibat remaja tidak mampu meneirma dirinya, tidak memiliki hubungan
positf dengan orang lain dan nilai kebahagian yang dimiliki dipengaruhi oleh
orang lain.

Penelitian pada siswa SMA YPBK 1 , Surabaya mendapati hubungan antar Fear
of Missing Out dengan psychological well being remaja menggunakan media
sosial memiliki korelasi psychological well being remaja menggunakan media
sosial. Sebaliknya semakin rendah FoMO maka semakin tinggi negatif dan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi FoMO maka semakin
rendah psychological well being remaja menggunakan media sosial.(Purba ,
Matulesy ,dan haque ,2021).

Kelemahan dari penelitian ini dalam penelitian ini sedikitnya literatur mengenai
hubungan antara Fear of Missing dengan psychological well being. Kelemahan
lain dalam penelitian ini juga adanya kesulitan dalam mengumpulkan data,
dikarenakan para siswa melakukan pembelajaran dirumah, sehingga peneliti
hanya bisa menyebar kuisioner melalui google form yang bagikan oleh guru-guru
sekolah.

Pentingnya Penelitian ini :

1. Dampak Media Sosial pada Kesejahteraan Emosional Remaja: Penelitian ini


memiliki relevansi yang sangat penting dalam memahami dampak penggunaan
media sosial dan FoMO pada kesejahteraan emosional remaja. Semakin banyak
remaja yang mengalami FoMO, semakin penting untuk memahami dampaknya
terhadap psychological well-being mereka.

2.Kesejahteraan Psikologis Remaja: Psychological well-being merupakan faktor


penting dalam menentukan kualitas hidup remaja. Memahami bagaimana FoMO
dapat memengaruhi aspek-aspek seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan
orang lain, otonomi, dan tujuan hidup pada remaja adalah informasi yang sangat
berharga untuk pengembangan kebijakan dan intervensi yang lebih baik.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
terdapat peran FoMO ( Fear Of Missing Out) terhadap Psychological Well Being
pada usia remaja Madya pada siswa Jurusan Teknik Kimia Industri di SMK 2
Cimahi.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Psychological Well-Being

Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi


individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya,
mandiri, mampu membina hubungan positif dengan orang lain, dapat menguasai
lingkungannya dalam arti memodifikasi lingkungannya agar sesuai dengan
keinginannya, memiliki tujuan hidup, serta terus mengembangkan pribadinya
(Ryff, 1989).

Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara


afek positif dan afek negatif namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan
dengan tantangan-tantangan sepanjang hidup. Kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) merupakan suatu kondisi tertinggi yangdapat dicapai
oleh individu yang mencakup evaluasi dan penerimaan diri pada berbagai aspek
kehidupan tidak hanya berupa aspek positif namun juga aspek negatif yang
terbagi dalam enam dimensi, yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan
positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan,
tujuan hidup dan dimensi pengembangan pribadi (Lakoy, 2009).

Psychological well-being dapat diartikan sebagai kepuasan hidup. Keadaan sehat


secara mental, kebahagiaan, dan kepuasan hidup ini sangat penting agar para
lansia dapat menjalani masa lansia dengan baik. Beberapa faktor yang
mempengaruhi Psychological well-being antara lain adalah demografi,
kepribadian, dukungan sosial, dan evaluasi terhadap pengalaman hidup. Salah
satu dari unsur kepribadian yang dianggap mempengaruhi Psychological well-
being adalah masalah emosi (De Lazzari, 2000).

Berdasarkan definisi-definisi yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa


psychological well-being merupakan kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh
individu dalam hal evaluasi dan penerimaan diri terhadap berbagai aspek
kehidupan. Hal ini melibatkan penerimaan terhadap kelebihan dan kekurangan
diri sendiri, mandiri dalam menghadapi tantangan, kemampuan dalam membina
hubungan positif dengan orang lain, serta kemampuan untuk menguasai
lingkungan dan mengembangkan diri.
2.2 Aspek – aspek Psychological well being

Enam dimensi psychological well-being yang merupakan intisari dari teori-


teori positive functioning psychology yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Ryff,
1989; Ryff dan Keyes, 1995), yaitu:

1. Dimensi penerimaan diri (self-acceptance)

Dalam teori perkembangan manusia, self-acceptance berkaitan


dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain
itu dalam literatur positive psychological functioning, self-acceptance juga
berkaitan dengan sikap positif terhadap diri sendiri (Ryff, 1989).

Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam


dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap
dirinya sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada
dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang
yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal
yang positif dari kehidupannya dimasa lalu (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam
dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya
sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya
dimasa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan
berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri (Ryff,
1995).
2. Dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relations with
others)
Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama
dari kondisi mental yang sehat. Selain itu, teori self-actualization
mengemukakan konsepsi hubungan positif dengan orang lain sebagai
perasaan empati dan afeksi kepada orang lain serta kemampuan untuk
membina hubungan yang mendalam dan identifikasi dengan orang lain.

Membina hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah satu
dari criterion of maturity yang dikemukakan oleh Allport (dalam Ryff,
1989). Teori perkembangan manusia juga menekankan intimacy dan
generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai manusia dalam tahap
perkembangan tertentu.
Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain
mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan
orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas,
serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar
pribadi (Ryff, 1995).
Sebaliknya, Ryff (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang
kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai
dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain,
sulit untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain,
terisolasi dan merasa frustrasi dalam membina hubungan interpersonal,
tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan
dengan orang lain.
3. Dimensi otonomi (autonomy)

Teori self-actualization mengemukakan otonomi dan resisitensi


terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Roger (1961)
mengemukakan bahwa seseorang dengan fully functioning digambarkan
sebagai seorang individu yang memiliki internal locus of evaluation,
dimana orang tersebut tidak selalu membutuhkan pendapat dan
persetujuan dari orang lain, namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan
standar personal (Ryff, 1989). Teori perkembangan memandang otonomi
sebagai rasa kebebasan yang dimiliki seseorang untuk terlepas dari norma-
norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.

Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara
lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self- determining) dan
mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur
tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam
menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri,
serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki otonomi akan sangat
memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang
lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan
penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff, 1995).
4. Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Salah satu karakteristik dari kondisi kesehatan mental adalah


kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi psikisnya. Allport (1961) menyebutkan bahwa
individu yang matang akan mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar
dirinya (Ryff, 1989). Dalam teori perkembangan juga disebutkan bahwa
manusia dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menciptakan perbaikan pada lingkungan dan melakukan perubahan-
perubahan yang dinilai perlu melalui aktivitas fisik dan mental serta
mengambil manfaat dari lingkungan tersebut.
Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan
memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat
mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya
termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan
nilai-nilai pribadi.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang
kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari,
merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas
lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada
dilingkungannya, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan (Ryff,
1995).

5. Dimensi tujuan hidup (purpose in life) Kondisi mental yang sehat


memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan
tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada
hidup yang ia jalani. Allport (1961) menjelaskan bahwa salah satu ciri
kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni memiliki rasa
keterarahan (sense of directedness) dan rasa bertujuan (intentionality)
(Ryff, 1989). Teori perkembangan juga menekankan pada berbagai
perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan dalam tahap
perkembangan tertentu. Selain itu, (Rogers, 1961) mengemukakan bahwa
fully functioning person memiliki tujuan dancita-cita serta rasa keterarahan
yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna (Ryff, 1989).
Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup
memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup, mampu merasakan
arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan
tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam
hidup (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki tujuan hidup akan
kehilangan makna hidup, memiliki sedikit tujuan hidup, kehilangan rasa
keterarahan dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan
hidup, serta tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari
kejadian di masa lalu (Ryff, 1995).
6. Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth)

Optimal psychological functioning tidak hanya bermakna pada


pencapaian terhadap karakteristik-karakteristik tertentu, namun pada
sejauh mana seseorang terus-menerus mengembangkan potensi dirinya,
bertumbuh, dan meningkatkan kualitas positif pada dirinya (Ryff, 1989).
Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan
perspektif utama dari dimensi pertumbuhan diri. Keterbukaan akan
pengalaman baru merupakan salah satu karakteristik dari fully functioning
person (Ryff, 1989). Teori perkembangan juga menekankan pada
pentingnya manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru
dalam setiap periode pada tahap perkembangannya.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being Faktor-faktor


yang mempengaruhi psychological well-being seseorang antara lain, yaitu:

1) Jenis kelamin

Menurut Ryff (1989), dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan


antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan
orang lain. Wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding pria
karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik
dibanding pria. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak
laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan mandiri, sementara itu
perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta
sensitif terhadap perasaan orang lain dan hal ini akan terbawa sampai anak
beranjak dewasa.

2) Usia

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan


adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai
kelompok usia. Pada dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia
seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh
karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya
menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu yang berada
dalam usia dewasa awal memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan
pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi
memiliki skor rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).

3) Budaya

Ryff (1989) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau


kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang
dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam
dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang
menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain.

4) Status sosial ekonomi

Ryff (dalam Ryan & Decci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial
ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Beberapa penelitian juga
mendukung pendapat ini Ryan & Deci (2001), dimana individu-individu
yang memfokuskan pada kebutuhan materi dan finansial sebagai tujuannya
menunjukkan tingkat kesejahteraan yang rendah.

Hasil ini sejalan dengan status sosial atau kelas sosial yang dimiliki individu
akan memberikan pengaruh berbeda pada psychological well-being
seseorang. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah
cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status
ekonomi yang lebih baik darinya. Individu dengan tingkat penghasilan
tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan
memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.

2.4 Fear of missing out (FoMO)


Definisi Fear of Missing Out ( FoMO)

Andrew K.Przybylski , dkk (2013) mendefinisikan FoMO ( Fear of missing


out) sebagai ketakutan yang meluas bahwa orang lain mungkin mendapatkan
pengalaman berharga yang tidak dimiliki seseorang, FoMO ditandai dengan
keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain.

Serta terdapat definisi lainya dari Hodkison dan Poropat (2014)


mendefinisikan Fear Of missing out sebagai ketakutan individu untuk
tertinggal dan kehilangan seseoran lalu terdapat definisi lainya dari FOMO
(Fear of Missing Out) adalah ketika seseorang mengalami rasa takut jika
tertinggal informasi yang sedang terjadi terutama yang berkaitan dengan apa
orang atau kelompok lain sedang lakukan (Marlina, 2017)

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas , dapat disimpulkan


bahwa FoMO adalah ketakutan atau kekhawatiran individu tentang
kehilangan atau tertinggal dari informasi, pengalaman, atau aktivitas yang
sedang terjadi, terutama yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh
orang lain atau kelompok. Hal ini sering kali mengakibatkan keinginan untuk
terus terhubung, memperhatikan, atau terlibat dalam apa yang sedang terjadi
agar tidak merasa terpinggirkan atau kehilangan pengalaman yang dianggap
penting.

2.5 Aspek- aspek Fear of Missing Out (FoMO)


Aspek-aspek Fear of Missing Out (FoMO) menurut (Przybylski, 2013),
antara lain yaitu :
1. Kompetensi (Competence) Kompetensi merupakan kapasitas individu
untuk bertindak secara efektif di kehidupan seharihari, mengacu pada
kebutuhan untuk merasa mampu dan dapat melaksanakan tugas di berbagai
tingkat kesulitan secara efektif.
2. Otonomi (Autonomy) Otonomi merupakan kapasitas individu untuk
memunculkan inisiatif pribadi, mengacu pada kebutuhan individu
menentukan keputusan atau tindakannya sendiri tanpa pengaruh dari luar.
3. Kebutuhan psikologis akan relatedness yang tidak terpenuhi. Relatedness
diartikan sebagai suatu kedekatan kepada orang lain untuk merasakan
kenyamanan dalam kebersamaan. Kondisi relatednees ini memiliki perasaan
yang kuat antar individu memiliki tali persaudaraan yang kuat sehingga
membuat orang ingin memiliki kesempatan lebih dalam bersosialnya.
Apabila kondisi relatednees tidak terpenuhi maka akan timbul rasa cemas dan
mencari tau informasi dari individu yang melebihi dirinya akan suatu hal,
sehingga membuat individu tersebut harus terhubung dengan dunia maya.

2.6 Hubungan Antara Fear of missing out dengan Psychological Well Being.

Remaja generasi milenial, yang tumbuh di era digital, rentan terhadap


fenomena Fear of Missing Out (FoMO). FoMO mencerminkan ketakutan
untuk ketinggalan informasi atau momen yang dianggap penting oleh orang
lain, mendorong remaja untuk terus terhubung secara virtual dan
menimbulkan kecemasan serta keinginan yang kuat untuk terlibat dalam
aktivitas yang sedang dilakukan orang lain. Fenomena ini sering kali
mendorong mereka untuk selalu memeriksa hal-hal terkait dengan aktivitas,
perasaan terpaksa untuk berpartisipasi, bahkan menciptakan citra diri yang
ideal. Dampak negatif dari FoMO meliputi rasa tidak puas dengan diri
sendiri, seringkali merasa kurang dan menginginkan lebih banyak lagi.
Tingginya tingkat FoMO pada remaja tercermin dari penelitian yang
menunjukkan kecenderungan intensif dalam upaya terhubung dan
keterlibatan pada aktivitas yang dilakukan orang lain. Namun, terlepas dari
manfaat teknologi, penggunaan yang berlebihan juga dapat berdampak
negatif terhadap Psychological well being remaja Penelitian yang dilakukan
oleh Purba , Matulesy , dan Haque , 2021 pada siswa SMA YPBK 1 ,
Surabaya mendapati hubungan antar Fear of Missing Out dengan
psychological well being remaja menggunakan media sosial memiliki
korelasi psychological well being remaja menggunakan media sosial.
Sebaliknya semakin rendah FoMO maka semakin tinggi negatif dan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi FoMO maka semakin
rendah psychological well being remaja menggunakan media sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Purba , Matulesy , dan Haque , 2021 pada
siswa SMA well being remaja menggunakan media sosial memiliki korelasi
psychological well being remaja menggunakan media sosial. Sebaliknya
semakin rendah FoMO maka semakin tinggi YPBK 1 , Surabaya mendapati
hubungan antar Fear of Missing Out dengan psychological negatif dan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi FoMO maka semakin
rendah psychological well being remaja menggunakan media sosial.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Fear of Missing Out


berhubungan dengan aspek-aspek dalam psychological well being. seseorang
yang memiliki fear of Missing Out yang tinggi cenderung kurang mampu
menerima keadaannya dimasa lalu, kurang percaya diri, kurang mampu
berkomuniksi dengan orang lain, mudah mengevaluasi orang lain, mudah
dipengaruhi oleh orang lain, kurang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan, kurang dapat menghargai hidup, dan kurang dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki. seseorang yang memiliki Fear of
Missing Out yang rendah akan berperilaku sewajarnya ketika akan
menggunakan media sosial sehingga tidak memiliki kekhawtiran tidak dapat
bergabung dengan orang lain, tidak menganggap orang lain memiliki
pengalaman yang lebih baik, dan tidak memiliki kecemasan saat ketinggalan
sesuatu yang sedang viral.

2.6.1 Definisi Psychological Well-Being

Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari


potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan
dirinya, mandiri, mampu membina hubungan positif dengan orang lain, dapat
menguasai lingkungannya dalam arti memodifikasi lingkungannya agar
sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup, serta terus
mengembangkan pribadinya (Ryff, 1989).

2.6.2 Definisi Fear of Missing Out ( FoMO)

Andrew K.Przybylski , dkk (2013) mendefinisikan FoMO ( Fear of missing


out) sebagai ketakutan yang meluas bahwa orang lain mungkin mendapatkan
pengalaman berharga yang tidak dimiliki seseorang, FoMO ditandai dengan
keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai