PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai generasi yang tumbuh dalam era kemajuan internet dan digital, remaja
generasi milenial merupakan remaja yang selalu terhubung satu sama lain.
Tingginya tingkat penggunaan media sosial pada remaja tersebut membuat
mereka menjadi kelompok yang paling terpapar oleh apa yang dilakukan teman,
kerabat dan keluarganya.
Hal tersebut memicu mereka untuk terus terhubung dengan apa yang sedang
dilakukan oleh orang lain melalui dunia maya sehingga menimbulkan kegelisahan
pada diri mereka dan berujung pada sebuah ketakutan, yaitu ketakutan untuk
kehilangan momen. Fenomena tersebut disebut dengan FoMO (Fear of Missing
Out).(Akbar Rizki,dkk 2018)
FOMO (Fear of Missing Out) adalah ketika seseorang mengalami rasa takut jika
tertinggal informasi yang sedang terjadi terutama yang berkaitan dengan apa
orang atau kelompok lain sedang lakukan (Marlina, 2017). Menurut Dewi et al.
(2021). bagi seseorang yang mengalami FOMO biasanya ditandai dengan
perasaan khawatir atau cemas jika tidak bisa mengikuti atau mengetahui aktivitas
orang lain atau orang yang diikuti.
FOMO biasanya tidak terlepas dari media sosial dikarenakan pada zaman
sekarang, kita dapat dengan mudah mendapatkan segala informasi yang berada di
media sosial dan seperti yang kita ketahui bahwa rata-rata pengguna media sosial
adalah remaja. Hal ini didukung berdasarkan riset dari APJII (2022) yang
menemukan bahwa terdapat 905 responden dari kelompok usia 13-18 tahun dan
terdapat 1.124 responden dari pelajar mahasiswa. Dampak Fear of Missing Out
Menurut Przybylski dkk (2013). dampak atau efek buruk yang ditimbulkan oleh
sindrom FoMO atau Fear of Missing Out antara lain adalah sebagai berikut:
Saat kita mulai merasa cemas atau takut karena merasa tidak terlibat dan
mengeimbangi mereka. Terkadang, kita mulai merasa bahwa hal tersebut sebagai
sebuah keharusan untuk diikuti. Akibatnya, kita menjadi sering membuka sosial
media atau mulai memaksa diri kita untuk melakukan hal yang serupa dengan
mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kaloeti,dkk.,2021) Data
survei yang dilakukan pada 638 remaja di Indonesia bahwa sekitar 64,6% atau
412 remaja mengalami FoMO di media sosial.
Menurutl ryff (1995) Aspek dari Psychological well being Bila Individu dapat
dikatakan memiliki Psychological well being yang baik apabila memiliki : (1)
penerimaan diri, (2) hubungan positif dengan orang lain, (3) otonomi atau
kemandirian, penguasaan akan lingkungan (5) tujuan hidup, (6) pertumbuhan
pribadi. Jika individu memiliki aspek-aspek dalam Psychological well being maka
individu memiliki Psychological well being yang baik. Akan tetapi semakin
cepatnya perkembangan teknologi semaki susah seseorang memiliki tingkat
psycholological well being yang baik. Semakin seorang mahasiswa menggunakan
internet maka semakin tinggi tingkat depresi yang dimiliki (Abidah, 2020).
Permasalah akan tingkat Psychological well being juga terjadi pada remeja.
Hasil Studi yang dilakukan Royal Society For Public Health Inggris tahun 2017,
mengatakan bahwa media sosial (Instagram) dianggap sebagai platform media
sosial yang sering membuat remaja depresi, cemas, kesepian, selain itu hasil dari
Studi ini juga menunjukkan remaja merasa memiliki harga diri yang rendah,
kondisi tubuh yang buruk, dan kurang tidur. Hal tersebut terjadi karena apabila
ada komentar yang buruk pada foto maupun video yang diunggahnya, selain itu
jumlah love yang sedikit dapat mempengaruhi remaja memiliki harga diri yang
rendah dan rasa cemas. Menurut Ryff (1998), menjelaskan permasalah tersebut
muncul akibat remaja tidak mampu meneirma dirinya, tidak memiliki hubungan
positf dengan orang lain dan nilai kebahagian yang dimiliki dipengaruhi oleh
orang lain.
Penelitian pada siswa SMA YPBK 1 , Surabaya mendapati hubungan antar Fear
of Missing Out dengan psychological well being remaja menggunakan media
sosial memiliki korelasi psychological well being remaja menggunakan media
sosial. Sebaliknya semakin rendah FoMO maka semakin tinggi negatif dan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi FoMO maka semakin
rendah psychological well being remaja menggunakan media sosial.(Purba ,
Matulesy ,dan haque ,2021).
Kelemahan dari penelitian ini dalam penelitian ini sedikitnya literatur mengenai
hubungan antara Fear of Missing dengan psychological well being. Kelemahan
lain dalam penelitian ini juga adanya kesulitan dalam mengumpulkan data,
dikarenakan para siswa melakukan pembelajaran dirumah, sehingga peneliti
hanya bisa menyebar kuisioner melalui google form yang bagikan oleh guru-guru
sekolah.
KAJIAN PUSTAKA
Membina hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah satu
dari criterion of maturity yang dikemukakan oleh Allport (dalam Ryff,
1989). Teori perkembangan manusia juga menekankan intimacy dan
generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai manusia dalam tahap
perkembangan tertentu.
Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain
mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan
orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas,
serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar
pribadi (Ryff, 1995).
Sebaliknya, Ryff (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang
kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai
dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain,
sulit untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain,
terisolasi dan merasa frustrasi dalam membina hubungan interpersonal,
tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan
dengan orang lain.
3. Dimensi otonomi (autonomy)
Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara
lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self- determining) dan
mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur
tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam
menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri,
serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki otonomi akan sangat
memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang
lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan
penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff, 1995).
4. Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)
1) Jenis kelamin
2) Usia
3) Budaya
Ryff (dalam Ryan & Decci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial
ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Beberapa penelitian juga
mendukung pendapat ini Ryan & Deci (2001), dimana individu-individu
yang memfokuskan pada kebutuhan materi dan finansial sebagai tujuannya
menunjukkan tingkat kesejahteraan yang rendah.
Hasil ini sejalan dengan status sosial atau kelas sosial yang dimiliki individu
akan memberikan pengaruh berbeda pada psychological well-being
seseorang. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah
cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status
ekonomi yang lebih baik darinya. Individu dengan tingkat penghasilan
tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan
memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.
2.6 Hubungan Antara Fear of missing out dengan Psychological Well Being.
Penelitian yang dilakukan oleh Purba , Matulesy , dan Haque , 2021 pada
siswa SMA well being remaja menggunakan media sosial memiliki korelasi
psychological well being remaja menggunakan media sosial. Sebaliknya
semakin rendah FoMO maka semakin tinggi YPBK 1 , Surabaya mendapati
hubungan antar Fear of Missing Out dengan psychological negatif dan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi FoMO maka semakin
rendah psychological well being remaja menggunakan media sosial.