Anda di halaman 1dari 10

Acta Psychologia, Volume 1 Nomor 1, 2019, Halaman 87-96

Acta Psychologia
Available online at: http://journal.uny.ac.id/index.php/acta-psychologia

Fear of Missing Out dan Kesejahteraan Psikologis Individu Pengguna


Media Sosial di Usia Emerging Adulthood
Judithya Anggita Savitri
Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta;
Jl. Colombo No. 1 Sleman Yogyakarta, 55281
judithyaa98@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu pengaruh Fear of Missing Out (FoMO) terhadap kesejahteraan
psikologis terutama pada pengguna media sosial di usia emerging adulthood. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Penelitian dilakukan di provinsi DIY melalui link googleform.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 400 orang yang didapatkan dengan metode accidental sampling. Alat
pengumpulan data menggunakan skala fear of missing out (FoMO) dan skala kesejahteraan psikologis yang telah
dimodifikasi dari skala FoMO milik Przybylski dan skala kesejahteraan milik Ryff. Skala FoMO memiliki pernyataan
sebanyak 15 butir dengan koefisien reliabilitas α=0,849 dan skala kesejahteraan psikologis memiliki 45 butir
pernyataan dengan koefisien reliabilitas α=0,941. Teknik analisis data menggunakan uji regresi linier sederhana. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa FoMO mampu memprediksi kesejahteraan psikologis (β=0,315, F (1,398)=43,753;
p<0,001). FoMO dapat memprediksi kesejahteraan psikologis dengan nilai kontribusi sebesar 9,9% (R 2 = 0,099,
p<0,001).

Kata Kunci: fear of missing out, FoMO, kesejahteraan psikologis, emerging adulthood

Abstract
This study aimed to find out the impact of FoMO on psychological well-being especially for social media users at
the age of emerging adulthood. This study used a quantitative correlational research. The research was conducted
in the DIY and the data collected through googleform link. The sample in this study amounted to 400 people
obtained by the accidental sampling method. The data collected using a fear of missing out (FoMO) scale and a
psychological well-being scale that had been modified from Przybylski's FoMO scale and Ryff's Psychological well-
being scale. The FoMO scale has total of 15 items with a reliability coefficient α = 0.849 and the psychological well-
being scale has 45 items with a reliability coefficient α = 0.941. The data analysis technique used the simple linear
regression test. The result of this study showed that FoMO was able to predict psychological well-being (β=0.315,
F (1.398)=43.753; p<0.001). FoMO can predict psychological well-being with a contribution value of 9,99 (R2 =
0.099, p<0.001).

Keywords: fear of missing out, FoMO, psychological well-being, emerging adulthood

Pendahuluan seseorang dapat dikatakan memiliki


kesejahteraan psikologis ketika orang
Kesejahteraan psikologis adalah tersebut dapat berfungsi positif secara
salah satu hal yang didambakan oleh semua psikologis. Ryff dan Singer (2008)
orang. Ryff (1995) mengatakan bahwa mengatakan individu dengan kesejahteraan
kesejahteraan psikologis adalah psikologis tinggi akan lebih produktif dan
kemampuan seseorang untuk mengenal memiliki kesehatan mental maupun fisik
dan mengembangkan diri sesuai dengan yang lebih baik dibandingkan individu yang
potensi yang dimiliki. Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologisnya rendah.
Copyright © 2019, Acta Psychologia - 87
Huppert (2009) juga menyatakan menjalin relasi positif dengan orang lain,
kesejahteraan psikologis berhubungan dan penerimaan diri yang rendah.
dengan pemikiran yang fleksibel dan FoMO didefinisikan sebagai
kreatif, perilaku prososial, dan kesehatan ketakutan seseorang akan kehilangan
yang baik. kesempatan sosial sehingga mendorong
Namun, berdasarkan data yang orang tersebut untuk selalu terhubung
didapat dari World Health Organization secara terus menerus dengan orang lain dan
(WHO) jumlah orang yang hidup dengan mengikuti berita terbaru tentang segala
gangguan mental meningkat lebih dari 18% sesuatu yang dilakukan orang lain
antara tahun 2005 hingga tahun 2015. (Przybylski, dkk, 2013).
Didukung dengan pernyataan dari Perasaan takut, cemas, serta
Kementerian Kesehatan Republik khawatir tersebut menyebabkan individu
Indonesia (2016) yang mengatakan bahwa mengalami kesulitan dalam menguasai
kesehatan jiwa masih menjadi salah satu lingkungan, menjalin relasi positif dengan
permasalahan kesehatan yang signifikan di orang lain, dan menerima dirinya (Beyens,
dunia, termasuk di Indonesia. Data Riset dkk, 2016). Studi menunjukkan bahwa
Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2013 orang yang menghadapi FoMO lebih
menunjukkan prevalensi gangguan mental mungkin terjerumus dalam tuntutan
emosional yang ditunjukkan dengan gejala- psikologis untuk tetap terhubung dan
gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 berhubungan dengan orang lain (Beyens,
tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta dkk, 2016). Partisipasi di media sosial
orang atau 6% dari jumlah penduduk menjadi menarik bagi mereka yang
Indonesia. Hal ini menjadi indikasi bahwa mengalami FoMO. Penelitian Przybylski,
masih banyak individu yang memiliki dkk (2013) menunjukkan hasil bahwa
kesejahteraan psikologis yang rendah. orang yang memiliki tingkat FoMO yang
Data yang diperoleh dari hasil tinggi berada di usia yang lebih muda dan
survei Twenge (2018) menambahkan fakta melaporkan mood yang lebih rendah dan
bahwa sejak tahun 2008 hingga 2017, kepuasan hidup yang lebih rendah pula.
tingkat individu yang melaporkan gejala Pryzbylski, dkk (2013) menyatakan bahwa
depresi meningkat sebanyak 63% pada penderita FoMO lebih mungkin untuk
orang dewasa muda usia 18 hingga 25 memeriksa telepon genggamnya segera
tahun. Presentase orang dewasa muda yang setelah mereka bangun tidur di pagi hari,
mengalami tekanan psikologis serius juga tepat sebelum mereka pergi tidur, bahkan
meningkat sebanyak 71%. Begitupula pada ketika mereka berkendara.
pikiran untuk bunuh diri pada orang Fenomena FoMO sangat erat
dewasa muda meningkat sebanyak 47%. hubungannya dengan penggunaan media
Salah satu faktor yang sosial di era digital. Pada era digital ini,
menyebabkan rendahnya kesejahteraan sebagian besar orang tentu mengenal media
psikologis menurut Przybylski, Murayama, sosial. Berkat adanya media sosial,
DeHaan, & Gladwell (2013) yaitu Fear of komunikasi dapat terjalin tanpa berbatas
Missing out atau biasa disebut FoMO. jarak, waktu, maupun ruang. Media
Beyens, Erison, & Eggermont (2016) sosial menyediakan ruang bagi
mendukung pernyataan Przybylski, dkk seseorang untuk berkomunikasi aktif
(2013) dengan mengatakan bahwa FoMO dengan orang lain dan memudahkan
menjadi tanda bahwa kesejahteraan individu dalam mengakses informasi baru
psikologis seseorang cenderung negatif. (Burke, Marlow, & Lento, 2010).
Dikatakan demikian karena perasaan takut, Media sosial didefinisikan sebagai
cemas, serta khawatir yang dihasilkan layanan berbasis web yang memungkinkan
karena adanya FoMO membuat individu penggunanya untuk menciptakan profil
tidak mampu untuk menguasai lingkungan, umum atau semi umum dalam suatu

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 88


sistem; menampilkan pengguna lainnya berbagai tahap usia, namun Sugiharto
yang berkaitan dengan dirinya; serta melihat (2016) mengatakan bahwa pengguna
dan mengamati daftar jaringan yang mereka internet di Indonesia didominasi oleh anak
miliki maupun daftar yang dibuat oleh muda. Pada kategori usia 20-24 tahun
pengguna lain dalam sistem tersebut (Boyd ditemukan 22.3 juta jiwa pengguna internet
& Ellison, 2008). yang sebagian besarnya mengakses media
Pada masa kini, media sosial sosial ketika menggunakan internet.
menarik perhatian orang-orang karena Dikutip dari liputan6.com, Asosiasi
dapat digunakan sebagai sarana yang Penyelenggara Jasa internet Indonesia
mudah dan penting untuk menjaga (APJII) merilis data yang menyatakan
hubungan sosial serta untuk memuaskan bahwa sebagian besar respondennya
kebutuhan sosial seseorang (Shapiro & mengaku mengakses internet lebih dari
Margolin, 2014). Hal ini menyebabkan enam jam setiap hari. Ada sekitar 55.39%
media sosial menjadi bagian yang tak dari total responden yang setiap hari
terpisahkan dalam banyak hal dalam mengakses internet lebih dari enam jam.
kehidupan (Lenhart, 2015). Sementara responden lain bervariasi mulai
Namun dibalik kepopuleran media dari 2 hingga 6 jam sehari. Usia 20 hingga
sosial, ia juga memiliki berbagai dampak 24 tahun masuk ke dalam tahap usia yang
baik positif maupun negatif. Penggunaan disebut emerging adulthood. Pada tahap
media sosial yang bijak dan baik dapat usia ini, untuk pertama kalinya individu
menimbulkan dampak positif, misalnya menghadapi tujuan dan tugas baru yang
kemudahan mendapatkan informasi melibatkan orang lain secara langsung,
kesehatan dari orang yang ahli; sehingga dalam tahap ini individu
mendapatkan dukungan emosi; diharapkan bukan hanya mengembangkan
membentuk komunitas; dsb (Royal Society dan mencapai tujuan pribadinya namun
for Public Health, 2017). Sedangkan juga memulai proses perkembangan yang
penggunaan media sosial yang maladaptif baru dengan berhubungan dengan orang
dapat memberikan dampak negatif. lain (Salkind, 2006). Namun menurut hasil
Menurut Oberst, Renau, Chamarro & penelitian Azka, Firdaus & Kurniadewi
Carbonell (2016) penggunaan media sosial (2018), individu di usia emerging adulthood
yang maladaptif dapat menimbulkan juga memiliki kerentanan tinggi terhadap
dampak negatif bagi kesejahteraan dan ketergantungan media sosial karena
fungsi psikologis anak, remaja, dan dewasa cenderung kurang stabil dalam mengelola
awal. Sejalan dengan ini, Twenge (2018) kebutuhan hidup, hubungan interpersonal,
juga mengatakan bahwa penggunaan media serta mengembangkan aspek afektif
sosial kemungkinan adalah penyebab dari maupun kognitif. Sehingga, ketika individu
meningkatnya masalah kesehatan mental mendapat kesulitan dalam proses
pada orang dewasa muda. perkembangannya, individu akan
Mengenai tren penggunaan media ‘melarikan diri’ melalui pemakaian media
sosial di Indonesia, menurut pernyataan sosial yang intensif.
sekretaris jenderal Asosiasi Penyelenggara Berdasarkan uraian di atas, terlihat
Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun bahwa pada tahap emerging adulthood
2017 Indonesia mengalami pertumbuhan individu ditekankan untuk membangun
pengguna internet sebesar 54.6%. Konten hubungan yang positif dengan individu lain.
internet yang paling banyak diakses adalah Namun adanya kemungkinan bahwa
konten media sosial dimana tercatat ada individu emerging adulthood memakai media
97.4 % orang Indonesia yang mengakses sosial secara intensif serta merasakan
media sosial ketika menggunakan internet FoMO yang mana dapat menyebabkan
(Sugiharto, 2016). rendahnya hubungan positif dengan orang
Pengguna media sosial berasal dari lain memungkinkan hal ini turut

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 89


memengaruhi kesejahteraan psikologis Kesejahteraan psikologis ditunjukkan oleh
individu tersebut. enam dimensi, yaitu dimensi penerimaan diri,
Hal-hal yang mendorong relasi positif dengan orang lain, otonomi,
diadakannya penelitian ini adalah karena penguasaan lingkungan, tujuan hidup, serta
belum banyaknya penelitian mengenai perkembangan diri. Individu yang memiliki
FoMO serta penting bagi pengguna media tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi
sosial untuk mengetahui dampak dari fear of ditunjukkan oleh tingginya penerimaan diri,
missing out yang banyak terjadi pada memiliki relasi positif dengan orang lain,
pengguna media sosial. otonomi yang tinggi, memiliki kemampuan
penguasaan lingkungan, memiliki tujuan
Metode Penelitian hidup yang terarah serta perkembangan diri
yang baik.
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Teknik Analisis Data
kuantitatif dengan jenis korelasional. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri atas analisis
Waktu dan Tempat Penelitian deskriptif, uji prasyarat analisis yang terdiri
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret dari uji normalitas dan uji linearitas, serta uji
hingga bulan April 2019. Penelitian hipotesis.
dilaksanakan di provinsi Daerah Istimewa 1. Analisis Deksriptif
Yogyakarta melalui link googleform. Data yang berupa skala terdiri dari
empat pilihan dengan skor masing-
Populasi dan Sampel Penelitian masing, yaitu (4) = sangat sesuai, (3) =
Populasi penelitian ini adalah pengguna sesuai, (2) = tidak sesuai, dan (1) =
media sosial yang berusia 18-25 tahun di sangat tidak sesuai. Jumlah skor dari
Yogyakarta berjumlah 289.900 orang (BPS keseluruhan butir akan dikategorikan ke
DIY). Sampel pada penelitian ini berjumlah dalam lima kategori. Pengkategorian
400 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
menggunakan teknik accidental sampling. perhitungan manual.
2. Uji Hipotesis
Data, Instrumen, dan Pengumpulan Data Pengujian hipotesis dalam penelitian ini
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan regresi sederhana dengan
menggunakan pengukuran dengan teknik bantuan program komputer SPSS for
kuesioner. Instrumen pengumpulan data yang Windows. Uji regresi sederhana
digunakan berbentuk skala yang terdiri atas dilakukan untuk mengetahui pengaruh
skala fear of missing out yang dimodifikasi dari satu variabel prediktor terhadap satu
skala fear of missing out milik Przybylski (2013) variabel kriterium. Uji regresi sederhana
dan skala kesejahteraan psikologis yang dipilih karena dalam penelitian ini terdiri
dimodifikasi dari skala psychological well-being dari satu variabel prediktor (X) dan satu
milik Ryff (1995). variabel kriterium (Y). Untuk mencari
Empat indikator fear of missing out yaitu persamaan garis regresi linear sederhana
kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, dan menggunakan rumus Y = a + b.X.
keinginan untuk terus terhubung dengan Hasil Penelitian dan Pembahasan
orang lain. Individu yang memiliki fear of
missing out yang tinggi ditandai dengan Data penelitian diperoleh dari 400
tingginya sikap yang menunjukkan indikator orang berusia 18-25 tahun yang
kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, dan menggunakan media sosial. Data
keinginan untuk terus terhubung dengan dikumpulkan menggunakan skala fear of
orang lain. missing out dan skala kesejahteraan

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 90


psikologis. Analisis deskriptif dihitung sumbangan efektif variabel X terhadap
dengan penghitungan manual berdasarkan variabel Y sebesar 9.9%.
norma kategorisasi Azwar (2012). Tabel 2 Analisis data penelitian ini
menunjukkan hasil kategorisasi dari variabel menunjukkan bahwa FoMO dapat menjadi
Fear of Missing out. prediktor kesejahteraan psikologis pada
Tabel. 1 Kategorisasi Fear of Missing out individu emerging adulthood pengguna media
Kategori Rumus penentuan Persentase sosial. Hal ini berarti hipotesis yang
Sangat >49 5.5% berbunyi FoMO memiliki pengaruh
Tinggi terhadap kesejahteraan psikologis pengguna
Tinggi 43 – 49 24.75% media sosial di usia emerging adulthood
Sedang 35 – 42 43.5% terbukti. semakin tinggi tingkat FoMO
Rendah 28 – 34 18% maka semakin rendah tingkat kesejahteraan
Sangat <27 8.25% psikologis pada individu emerging adult
Rendah pengguna media sosial. Sebaliknya, semakin
Total 100% rendah tingkat FoMO maka semakin tinggi
tingkat kesejahteraan psikologis pada
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa individu emerging adult pengguna media
frekuensi paling banyak berada pada sosial.
kategori sedang (35 – 42) dengan presentase Faktor yang menyebabkan individu
sebesar 43.5% dari jumlah sampel. cenderung memiliki kesejahteraan
Frekuensi paling sedikit berada pada psikologis yang rendah ketika memiliki
kategori sangat tinggi (X > 49) dengan FoMO dalam penelitian ini adalah
presentase sebesar 5.5% dari jumlah dikarenakan penggunaan media sosial.
sampel. Faktor lain yang juga turut memengaruhi
Tabel 2. Kategorisasi Kesejahteraan kesejahteraan psikologis selain media sosial,
Psikologis sesuai dengan pendapat Huppert (2009)
Kategori Rumus penentuan Persentase adalah tahap usia dan gender. Menurut
Sangat >154 7% Huppert (2009) perempuan kemungkinan
Tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang
Tinggi 140 – 154 21% lebih rendah dibanding pria sehingga lebih
Sedang 124 – 139 40% mungkin memiliki mental disorder, sehingga
Rendah 108 – 123 26% mayoritas responden penelitian ini yang
Sangat <107 6% berjenis kelamin perempuan juga turut
Rendah memengaruhi hasil kesejahteraan psikologis
Total 100% dan FoMO. Faktor lain yaitu usia, menurut
Huppert (2009) bahwa skor kesejahteraan
Berdasarkan Tabel 2 diketahui psikologis individu di usia pertengahan
bahwa frekuensi paling banyak berada pada lebih rendah dibandingkan individu di usia
kategori sedang (124 – 139) dengan muda maupun tua, sehingga subjek
presentase sebesar 40% dari jumlah sampel. penelitian ini yang berada pada tahap
Frekuensi paling sedikit berada pada kategori emerging adulthood juga turut berpengaruh
sangat rendah (X<107) dengan presentase terhadap hasil kesejahteraan psikologis dan
sebesar 6% dari jumlah sampel. FoMO.
Hasil uji statistik F menunjukkan Individu yang mengalami FoMO
nilai F hitung sebesar 43.753 dengan cenderung merasakan stres hingga
probabilitas nilai sig, 0.001 < α (0.05) yang ketakutan ketika tidak dapat terhubung
berarti variabel X dapat memprediksi dengan media sosial (Beyens, dkk., 2016).
variabel Y. Koefisien determinasi R square Kecemasan tersebut kemudian
menunjukkan hasil 0.099 yang berarti memengaruhi kesejahteraan psikologis

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 91


individu terutama dalam aspek penguasaan kesejahteraan psikologis, 90,1% lainnya
lingkungan, relasi positif dengan orang lain dipengaruhi oleh berbagai macam faktor;
dan penerimaan diri (Beyens, dkk., 2016). kepribadian (extraversion atau
Oleh karena itu, seseorang dengan tingkat neuroticism); usia; gender; tingkat
FoMO tinggi cenderung memiliki pendidikan; ketimpangan ekonomi; media
kesejahteraan psikologis yang lebih rendah sosial. FoMO merupakan bagian dari media
dibandingkan dengan orang yang tidak sosial yang kemudian memberikan
memiliki FoMO atau hanya memiliki kontribusi terhadap rendahnya
tingkat FoMO rendah. kesejahteraan psikologis. Dengan kata lain,
Masa emerging adulthood merupakan FoMO dapat menjadi salah satu penyebab
masa yang penting bagi individu untuk dari rendahnya kesejahteraan psikologis
menyiapkan masa dewasanya (Arnett, individu pengguna media sosial di masa
2000). Pada masa ini individu menghadapi emerging adulthood.
tugas untuk membentuk relasi yang intim Hasil penelitian ini juga
dengan orang lain (Erikson dalam Papalia, menunjukkan adanya hubungan antara
2012). Oleh sebab itu, pada masa ini FoMO dengan masing- masing dimensi
seseorang idealnya menjalin relasi dengan dalam kesejahteraan psikologis. Hasil uji
orang lain dan mengeksplorasi diri. Media korelasi antara dimensi pada kesejahteraan
sosial kemudian menjadi salah satu alat psikologis dengan FoMO sebagai berikut:
untuk memudahkan individu dalam Terdapat hubungan negatif dan
menjalin relasi maupun mengeksplorasi diri. signifikan antara FoMO dengan dimensi
Namun, media sosial juga merupakan penerimaan diri. Hal ini sejalan dengan
sarana bagi meluasnya fenomena FoMO penelitian milik Beyens, dkk. (2016) yang
yang harus diwaspadai. menyatakan bahwa FoMO berhubungan
Hasil penelitian ini menunjukkan dengan kecemasan dan orang dengan
bahwa individu pengguna media sosial FoMO akan cenderung kesulitan dalam
terutama yang berada di masa emerging menerima dirinya. Orang dengan FoMO
adulthood perlu menyadari potensi dampak yang tinggi akan merasakan cemas ataupun
negatif yang mungkin ditimbulkan akibat khawatir terhadap kegiatan yang dilakukan
penggunaan media sosial yang tidak bijak. oleh orang lain dan merasa bahwa hal yang
Penggunaan media sosial yang tidak bijak dilakukan atau dimiliki oleh orang lain lebih
juga memiliki kontribusi dalam menyenangkan dibandingkan dengan apa
menurunkan tingkat kesejahteraan yang ia miliki atau alami. Dengan demikian,
psikologis. Di sisi lain, kesejahteraan seseorang dengan FoMO yang tinggi dapat
psikologis merupakan hal yang penting dikatakan tidak puas akan dirinya dan
untuk dimiliki individu emerging adulthood cenderung ingin menjadi orang lain.
dalam menyiapkan masa selanjutnya. Terdapat hubungan negatif dan
Penggunaan media sosial yang tidak bijak signifikan antara FoMO dengan dimensi
dapat mengakibatkan individu kesulitan relasi positif dengan orang lain. Hal ini
dalam menyiapkan masa dewasanya dengan sejalan dengan penelitian milik Beyens, dkk.
keadaan sehat secara psikologis. (2016) yang mengatakan bahwa individu
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan FoMO cenderung kesulitan dalam
variabel FoMO memiliki pengaruh negatif menjalani relasi yang positif dengan
terhadap variabel kesejahteraan psikologis orang lain. Menurut Luckerson (2015) hal
dengan sumbangsih sebesar 9,9%. Hal ini seperti ini terjadi karena dewasa ini, media
menandakan bahwa ada pengaruh sebesar sosial dan penggunaan internet
9,9% antara FoMO dengan kesejahteraan mempengaruhi cara orang-orang dalam
psikologis. Hal ini dikarenakan FoMO menjalani kehidupan terutama dalam
bukanlah faktor utama dalam pembentukan berkomunikasi. Luckerson (2015)

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 92


menambahkan bahwa belakangan ini, dapat lebih diterima dan diakui di
pertemuan- pertemuan yang seharusnya lingkungan sosialnya.
menjadi wadah bagi orang-orang untuk Terdapat hubungan yang negatif
saling berinteraksi dan berbicara untuk dan signifikan antara FoMO dengan
membangun ikatan telah berubah menjadi dimensi penguasaan lingkungan. Hal ini
pertemuan di mana kebanyakan orang sejalan dengan penelitian milik Reyes, dkk.
justru lebih memilih untuk membuka media (2018) yang mengatakan bahwa FoMO
sosial melalui gawainya dibandingkan dapat menyebabkan munculnya
berinteraksi satu sama lain. Dengan kata Problematic Internet Use (PIU). Spada
lain, seseorang dengan FoMO yang tinggi (2014) menjelaskan PIU sebagai
lebih fokus terhadap apa yang terjadi di ketidakmampuan individu untuk
media sosialnya dibandingkan menjalin mengontrol perilakunya dalam penggunaan
relasi yang lebih hangat dengan orang lain internet yang mana kemudian dapat
melalui pembicaraan langsung. Seseorang mendatangkan konsekuensi yang tidak
dengan FoMO berusaha untuk diinginkan. Seseorang dengan FoMO yang
berkomunikasi dan terhubung dengan tinggi cenderung memiliki kemampuan
orang lain, namun tidak terjalin hubungan penguasaan lingkungan yang rendah karena
yang hangat, memuaskan, dan saling tidak memiliki kemampuan untuk
percaya dalam hubungan tersebut. menguasai dan mengatur lingkungannya
Terdapat hubungan yang negatif (Ryff, 1995).
dan signifikan antara FoMO dengan Terdapat hubungan yang negatif
dimensi otonomi. Seseorang dengan FoMO dan signifikan antara FoMO dengan
yang tinggi akan cenderung memiliki dimensi tujuan hidup. Seseorang dengan
kemandirian yang rendah serta mudah FoMO yang tinggi cenderung tidak
terpengaruh oleh lingkungan sosial. Hal ini memiliki perasaan yang terarah dan tujuan
sejalan dengan penelitian FoMO di bidang dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan
ekonomi yang belakangan ini pernyataan Przybylski (2013) yang
memanfaatkan perasaan FoMO untuk mengatakan bahwa seseorang dengan
dapat menjalankan strategi penjualan yang FoMO cenderung memiliki kepuasan yang
efektif. Menurut Anggraini (2014), rendah dalam pemenuhan kebutuhan dasar
ketakutan akan tertinggal dari lingkungan psikologisnya sehingga mereka hanya fokus
sosial merupakan bentuk kebutuhan dalam upaya pemenuhan kebutuhan
psikologis yang mampu memotivasi tersebut.
konsumen, untuk melakukan sesuatu yang Terdapat hubungan negatif dan
mereka anggap bisa meredam ketakutan signifikan antara FoMO dan perkembangan
tersebut. Selain itu, seseorang dengan diri. Seseorang dengan FoMO yang tinggi
FoMO yang tinggi cenderung mencari cenderung sulit mengembangkan sikap atau
penerimaan dan pengakuan dari orang lain perilaku baru untuk berkembang ke arah
dibandingkan mengevaluasi diri dengan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
standar pribadi. Hal ini berhubungan penelitian milik Alt (2015) yang
dengan kebutuhan untuk diterimayang menemukan bahwa seseorang dengan
kemudian menyebabkan orang dengan FoMO yang tinggi cenderung tidak
FoMO akan melakukan segala cara agar memiliki motivasi untuk belajar.
dapat diterima secara sosial. Hal ini
didukung oleh hasil riset JWT Intelligence Simpulan dan Saran
(2012) di mana 90% responden mengaku
senang menjadi orang yang paling Simpulan
mengetahui segala informasi, agar mereka Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, dapat diambil kesimpulan

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 93


bahwa ada hubungan negatif antara Fear of Burke, M., Marlow, C., & Lento, T. (2010).
missing out (FoMO) dengan kesejahteraan Social network activity and social
psikologis pada pengguna media sosial di well- being. Postgraduate Medical
tahap usia emerging adulthood di DIY. Hal Journal, 86, 455-459.
ini berarti ketika seseorangmemiliki tingkat
FoMo yang rendah, maka ia akanmemiliki Huppert, F. A. (2009). Psychological well-
kesejahteraan psikologis yang cenderung being: evidence regarding its causes
tinggi. Sebaliknya, ketika seseorang memiliki and consequences. Applied Psychology:
tingkat FoMO yang tinggi, maka ia Health and Well-Being, 1(2), 137-164.
akan memilikikesejahteraan psikologis yang
cenderung rendah. Lenhart, A. (2015). Teens, social media and
technology overview. Washington
Saran DC: Pew Internet & American Life
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian Project.
yang sudah dilakukan, maka saran yang
dapat diberikan yaitu sebagai berikut: Luckerson, V. (2014). Fear,
1) Bagi pengguna media sosial, diperlukan misinformation, and social media
penggunaan media sosial secara bijak. complicate Ebola fight. Time.
Penggunaan media sosial secara bijak Diakses dari
misalnya dengan; memilah informasi http://time.com/3479254/ebola-
yang bermanfaat dan tidak menjadikan social- media/
media osial sebagai alat utama dalam
berkomunikasi. Luna, K. (2014). The psychology of fomo.
2) Bagi peneliti lain, diperlukan Diambil dari: youbeauty.com/lifethe-
pengambilan sampel yang lebih psychology-of- fomo/
proporsional agar lebih menggambarkan
Oberst, U., Renau, V., Chamarro, A., &
keadaan yang sesungguhnya.
Carbonell,
Daftar Pustaka
X. (2016). Gender stereotypes in facebook
Azka, F., Firdaus, D.F., & Kurniadewi, E. profiles: are women more female
(2018). Kecemasan sosial dan online?. Computers in Human
ketergantungan media sosial pada Behavior, 60, 559-564. Papalia, D.E.,
mahasiswa. PSYMPATHIC: Jurnal Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007).
Ilmiah Psikologi Vol. 5, No.2, 2018: Human development 10th ed.
201-210. New York:McGraw Hill Companies.

Beyens, I., Frison, E., & Eggermont, S. Przybylski, A.K., Muryama, K., DeHaan,
(2016). ‘I don’t want to miss a thing’: C.R., & Gladwell, V. (2013).
adolescents’ fear of missing out and it’s Motivational, emotional, and
relationship to adolescents’ social behavioral correlates of fear of missing
needs, facebook use, and facebook out. Computers in Human Behavior,
related stress. Computers in Human 29, 1841- 1848.
Behavior, 64, 1-8.
Putra, A.D. (2018). Hubungan antara fear of
Boyd, D.M. & Ellison, N.B. (2008). Social missing out dengan kesejahteraan
Networks sites: definition, history, psikologis pengguna instagram pada
and scholarship. Journalof Computer- masa transisi menuju dewasa. Skripsi,
Mediated Communication, 3, 210-230. Diterbitkan, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 94


Reyes, M.E.S. & Cayubit, R.F.O. (2018). development. Clinical Child and Family
Fear of missing out and its link with Psychology Review, 17(1).
social media and problematic internet
use among Filipinos. North American Spada, M. (2014). An overview of
Journal of Psychology problematic internet use. Addictive
Behaviors, 39(1), 3-6.
RSPH. (2017) Social media and young
people’s mental health and well Sugiharto, B.A. (2016). Pengguna internet
being. Diambil dari: di indonesia didominasi anak muda.
https://www.rsph.org.uk/org- CNN Indonesia. Diambil
work/policy/social-media-and- dari:http://cnnindonesia.com/tekn
young. ologi/20161 024161722-185-
167570/pengguna- internet-di-
JWT Intelligence. (2012). Fear of missing out indonesia-didominasi-anak- muda
(fomo). Diakses dari
http://www.jwtintelligence.com/wp Twenge, J.M., Martin, G.N., & Campbell,
content/uploads/2012/03F_JWT_F W.K. (2018). Decreases in
oMO_u pdate_3.21.12.pdf. psychological well- being among
American adolescent and links to
Kesehatan, K., & RI, K. K. (2013). Riset screen time during the rise of
kesehatan dasar. Jakarta: Badan smartphone technology. Emotion,
Penelitian dan Pengembangan 18(6), 765-780.
Kesehatan Departemen
Kesehatan republik Indonesia. Amir & Trianasari. (2013). Pola komunikasi
people-s- mental-health-and- antarpribadi dalam pengasuhan anak:
wellbeing.html Kasus orang tua beda agama
(Interpersonal communication patterns in parenting:
Ryff, C.D. (1989) Happiness is everything, The case of parents with different religion). Jurnal
or is it? explorations on the meaning Komunikasi KAREBA, 2(1)
of psychological well being. Journal of
Personality and Social Psychology, 57(6), Andri, Winarti, & Utami. (2001). Pola asuh
1069.(1995). orangtua dan nilai-nilai kehidupan yang
dimiliki oleh remaja. Fenomena: Jurnal
Psychological well-being revisited: advances Psikologi, 71-101
in the science and practice of
eudaimonia. Psychotherapy and Auliarahma. (2015). Hilangnya kedudukan
Psychosomatics, 83, 10-28. nilai- nilai pancasila dalam kehidupan
masyarakat. Tugas. STMIK
Ryff, C.D., & Singer, B. (2002). From social AMIKOM Yogyakarta
structure to biology. Handbook of
Positive Psychology, 63-73.
Barni, Daniela, et al. (2011). Value
Salkind, N.J. (2010). Encyclopedia of human transmission in the family: do
development. USA:Sage Publications, adolescents accept the values their
Inc. Publication Vol. 1 No. 05-5727. parents want to transmit? Journal of
Moral Education, 40 (1), 105-121
Shapiro, L.A.S., Margolin, G. (2013).
Growing up wired: social networking Chan, H.-W., & Tam, K.-P. (2016).
sites and adolescent psychosocial Understanding the lack of parent–
child value similarity: The role of

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 95


perceived norms in value Rokeach, M. (1973). The nature of human values.
socialization in immigrant families. New York: Free Press.
Journal of Cross- Cultural Psychology, 47(5),
651–669. Rosmawaty. (2010). Mengenal ilmu komunikasi.
https://doi.org/10.1177/002202211 Jakarta: Widya Padjadjaran
6635744.
Sari, Yunu M. (2014). Pembinaan toleransi
Davis, A. (2010). Defending religious dan peduli sosial dalam upaya
pluralism for religious education. memantapkan watak kewarganegaraan
Ethicsand Education, 5 (3), 189-202. (civic disposition) siswa. Jurnal Pendidikan
Ilmu Sosial, Volume 23 No. 1, Edisi Juni
De Muynck, B., Vos, P., Hoogland, J., & 2014.
Van der Stoep, J. (2017). A
Distinctive of Christian Higher Seligman, C., Olson, J. M., & Zanna, M. P.
Education: Educating for Vocation. (Eds.). (2013). The Ontario symposium on
Christian Higher Education, 16 (1-2), 3- personality and social psychology, Vol. 8. The
10. psychology of values: The Ontario symposium,
Vol. 8. Hillsdale, NJ, US: Lawrence
Friedman. (2010). Keperawatan keluarga. ErlbaumAssociates, Inc.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Sjarkawi. (2008). Membentuk kepribadian anak
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi “Peran moral intelektual, emosional, dan sosial
perkembangan: suatu pendekatan sepanjang sebagai wujud integritas membangun jati diri”.
rentang kehidupan. Jakarta: Gramedia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Imron, A. (2012). Proses manajemen Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M.
mutu sekolah dasar berbasis relegi. (2009). Interpretative Phenomenological
Jurnal Sekolah Dasar. 21(2):27-38. Analysis. London: SAGE
Publication.
Knafo, Ariel & Schwartz, Shalom. (2009).
Accounting for parent-child value Storm, I. and D. Voas. (2012). The
congruence: theoretical Intergenereational transmission of
considerations and empirical religious service attendance”.
evidence. In U. Schönpflug (Ed.), Nordic Journal of Religion and Society, 25
Culture and psychology. Cultural transmission: (2): 131- 150
Psychological, developmental, social, and
methodological aspects (pp. 240-268). New
York, NY, US: Cambridge
University Press.
Lestari, Sri. (2014). Psikologi keluarga penanaman
nilai dan penanganan konflik dalam keluarga.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Min, Joohong, Silvester, Merrin &
Lendon, Jessica. (2012).
Intergenerational transmission of
values over the family life course.
Advances in Life Course Research, 17(3) ,
112-120.

Copyright © 2019, Acta Psychologia - 96

Anda mungkin juga menyukai