Anda di halaman 1dari 9

DETOX MEDIA SOSIAL DENGAN KONSELING TEKNIK CBT UNTUK

CEGAH GANGGUAN MENTAL PADA REMAJA


A. Kondisi Penggunaan Internet Di Indonesia
Hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di
Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20%
dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta
atau sekitar 48% dari populasi (BPS (Biro Pusat Statistik), 2018). Global Web Index ,
Indonesia mencatatkan waktu selama 3.25 jam per hari. Flagship Report 2019

Hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2017)
menyatakan bahwa pertumbuhan pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
mengalami peningkatan. Tahun 2017 merupakan tahun dengan jumlah pengguna internet
tertinggi, yaitu sebanyak 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia yaitu sekitar
262 juta orang. Angka tersebut meningkat 10,56 juta jiwa, jika dibandingkan dengan
pengguna internet pada tahun 2016. Jumlah pengguna internet tertinggi berada di pulau Jawa,
tepatnya sebanyak 86,3 juta orang atau sekitar 58,08%. Durasi penggunaan media sosial per
hari yaitu 1-3 jam (43,89%), 4-7 jam (29,63%) dan lebih dari 7 jam (26,48%). Konten media
sosial yang sering dikunjungi menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(2016) yaitu facebook (54%), instagram (15%), youtube (11%), google (6%), twitter (5,5%)
dan linkedin (0,6%).
Media sosial dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat, salah satunya adalah
remaja yang merupakan pengguna tertinggi media sosial yaitu dengan persentase 75,50%
(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2017). Masa remaja merupakan masa
transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dengan berbagai perubahan baik secara biologis,
kognitif dan sosioemosional. Jika dilihat dari perubahan sosioemosional yang dialami remaja,
yaitu lebih mementingkan teman sebayanya dan muncul permasalahan pada orang tuanya
(Santrock, 2007). Hal ini menyebabkan masa remaja relatif bergejolak dibandingkan dengan
masa perkembangan lainnya. Hal tersebut menyebabkan masa remaja menjadi sangat penting
untuk diperhatikan.
Data yang dipaparkan di tahun 2013 menunjukkan bahwasannya di dunia 7,1% anak
berusia 5–19 telah terdiagnosa mengalami Gangguan yang diakibatkan oleh gawai, di
Indonesia sendiri pada tahun 2015 ditemui kira-kira sejumlah 9,1% laki-laki dan 2,8%
perempuan mengidap gejala yang sama yakni mengidap Gangguan yang diakibatkan oleh
gawai (Setianingsih, Ardani, & Khayati, 2018).
Hal ini sama pula pada penelitian Kibona dan Mgaya (2015) dengan 100 responden,
hasilnya 48% menunjukkan angka rata-rata penggunaan gawai sekitar 5 hingga 7 jam per hari
tanpa mempertimbangkan waktu yang telah dihabiskan .
Walaupun demikian, menggunakan gawai secara berlebihan dapat mengakibatkan
perasaan stres hingga dapat mengakibatkan orang mengalami adiksi gawai (Jun, 2015; Lee,
Chang, & Cheng, 2014; van Deursen, Bolle, Hegner, & Kommers, 2015).
Umur siswa-siswi pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) termasuk
remaja dengan kelompok umur 15-17 tahun, berdasarkan hasil penelitian dari Haug (2015)
menyatakan bahwa tingkat kecanduan gawai banyak terjadi pada remaja berumur 15-17
tahun, yang artinya banyak dialami oleh remaja tingkat pendidikan SMA.
Konsep tentang adiksi secara bahasa berasal dari Bahasa Latin ‘enslaved by’ yang
berarti ‘diperbudak oleh’. Adiksi adalah bagian dari pengaruh kinerja bagian otak dengan tiga
karakteristik khas yang melekat kuat yaitu kuatnya kemauan serta sulit untuk melepaskan
belenggu di dalam lingkaran keinginan kuat, kehilangan kontrol, dan tidak bisa lepas dari
objek tersebut tanpa memfikirkan dampak yang diakibatkan qnantinya (Harvard Health
Publishing, 2011).
B. Conditions in Indonesia (In The Future)
Penggunaan media sosial yang terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama, tentu
memunculkan banyak masalah. Sejumlah penelitian mengungkap, diantaranya terlalu sering
menggunakan media sosial ternyata membuat penggunanya rentan akan rasa frustasi dan
mudah iri dengan orang lain. Temuan itu dimuat dalam penelitian berjudul A Tool to Help or
Harm yang secara khusus menyoroti gangguan kesehatan mental akibat penggunaan media
sosial di Indonesia.
Menurut Sujarwoto, peneliti yang meriset masalah gangguan kesehatan mental,
perasaan iri dan getir muncul karena pengguna media sosial sering membanding-bandingkan
kehidupannya dengan orang lain di medsos. Kecenderungan rasa iri yang timbul juga
semakin tinggi mengingat lingkup media sosial yang lebih luas. Media sosial selain dapat
menjadi sarana penularan emosi juga dapat mempengaruhi suasana hati penggunanya. Turkle
(Turkle, 1995) mengemukakan bahwa seberapa lama seseorang menghabiskan waktu di
media sosial akan terjadi proses pembandingan sosial yang bisa mengakibatkan efek depresif
akibat munculnya reaksi “alone together”. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian
tersebut menjabarkan bahwa semakin sering seseorang mengakses Facebook maka semakin
tidak bahagia orang tersebut (Pontes et al., 2018). Penggunaan Facebook secara berlebihan
dapat memicu luapan emosi negatif seperti depresi ketika tidak mendapatkan respon atau
komentar yang diharapkan dari pengguna media sosial lain, peristiwa masa lalu yang
memalukan dan menyakitkan diungkap oleh pengguna media sosial lain, dan sedikitnya
jumlah teman atau pengikut di sosial media dibandingkan orang lain.
C. Dampak yang ditimbulkan
remaja menjadikan media sosial suatu media yang paling utama dalam mendapat
berbagai informasi dan membuat komunikasi dengan orang-orang dalam kehidupan nyata
menjadi berkurang dikarenakan mereka selalu ingin tetap terhubung dengan media sosial.
Selain mempengaruhi emosi penggunanya, penggunaan media sosial yang terus
menerus juga menyebabkan Gangguan dalam hubungan interpersonal. Orang merasa lebih
nyaman melakukan komunikasi melalui media sosial dibandingkan komunikasi langsung.
Tidak hanya itu kehangatan dan keakraban dengan lingkungan keluarga juga semakin
berkurang karena setiap anggota keluarga terlalu sibuk dengan media sosial mereka
masing-masing. Mereka bahkan rela melakukan berbagai macam cara demi untuk
mendapatkan content yang menarik sehingga mendapatkan like dan komentar yang
banyak.
Pada taraf yang lebih luas, mereka yang menggunakan media sosial terus menerus
juga dilaporkan mengalami gangguan kesehatan, mulai dari sakit kepala, kram tangan,
hingga tidak dapat tidur. Serangkaian keluhan yang muncul tentu akan menjadi bom waktu
dikemudian hari jika tidak disikapi dengan bijaksana.
D. Penyebab Remaja menggunakan media sosial
Penyebab tingginya komponen virtual information karena remaja memiliki keingintahuan
yang tinggi terhadap berbagai hal baru yang belum ia ketahui (Sarwono, 2011). Remaja
menjadikan media sosial sebagai suatu fasilitas yang dapat memenuhi kebutuhan akan
informasi dalam kehidupannya. Hal tersebut dibuktikan oleh survei Pew Research Center
(2010) bahwa remaja sebagai generasi millenial memiliki sifat yang penuh ingin tahu dan
lebih memilih mencari informasi paling terbaru terkait keadaan sekitar melalui media
sosial dibandingkan dengan televisi, koran atau sumber informasi lainnya yang
menyebabkan sehingga membuat remaja harus selalu terhubung dengan media sosial.
E. Solusi cegah kecanduan
Pada kecanduan media sosial tingkat tinggi, walaupun komponen virtual problem
rata-rata memiliki nilai rendah pada responden tetapi jika tidak segera diatasi maka dapat
membuat remaja mengalami dampak negatif bagi kehidupannya. Oleh karena itu, pada
tingkat kecanduan media sosial tinggi remaja harus dibantu untuk mengurangi atau bahkan
sama sekali tidak mengakses media sosial dalam jangka waktu tertentu dan apabila remaja
kembali mengakses media sosial harus dilakukan pengontrolan dalam penggunaannya.
1. CBT
Kecanduan media sosial tingkat tinggi harus ditangani secara serius dan sesegera
mungkin untuk meminimalisir terjadinya dampak negatif yang dapat ditimbulkan pada
remaja.Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah suatu perawatan yang didasarkan
bahwa pikiran dapat menentukan perasaan (Fuggle, Dunsmuir & Curry, 2013). CBT
digunakan untuk membantu remaja untuk mengganti isi pikirannya menjadi lebih
rasional dan dapat membuat remaja memiliki perilaku adaptif dalam menggunakan
media sosial, seperti adanya perilaku mengontrol penggunaan media sosial. CBT dapat
dilakukan oleh perawat yang sudah mendapatkan pelatihan terkait terapi ini, sehingga
perawat tersebut dapat memberikannya secara benar dengan proses berkelompok pada
remaja (Young, 2007).
Berdasarkan hasil kajian keberhasilan Penerapan konseling Teknik CBT dalam rangka
mengatasi permasalahan kecanduan gawai yang dialami peserta didik, dapat diketahui
bahwa dampak dari kecanduan gawai tidak dapat dirasakan, namun yang sering di alami
oleh mereka yaitu gangguan seperti kecemasan, susah tidur, dan merasa gelisah.
Junhua Zhang (2020) menjelaskan bahwa Teknik CBT mampu memberikan pengobatan
secara psikologis bagi remaja yang mengalami dampak ketergantungan internet melalui
gawai. Fokus yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk adalah dengan kekuatan
serta kapasitas klien untuk melakukan perubahan sebagai titik langkah awal. Pada fase
ini, yang menjadi fokus utama sesi perawatan adalah berupaya meningkatkan kesadaran
terhadap masalah penggunaan online inklusif. Selain itu, pecandu diberikan dorongan
agar aktif berpastipasi mempersiapkan perawatan, menetapkan tujuan dan strategi yang
berguna.
Pecandu bekerja dalam menemukan langkah sehat menghadapi perasaan harga diri
yang rendah ketika tanpa penggunaan media jaringan berbasis Internet. Dalam metode
dan tekniknya CBT memakai format ABC yakni:
1. A ialah activating event yang berarti suatu kejadian eksternal nyata yang telah
terjadi, kejadian di masadepan yang telah diantisipasi agar tidak terjadi atau kejadian
di dalam diri sendiri seperti mimpi atau memori A ini sering disebut sebagai
pencetus
2. B ialah beliefs yangdapat berupa fikiran, aturan peribadi, tuntutan yang ia buat
(untuk dirinya sendiri, dunia, orangdisekitarnya), dan arti yang anda tangkap pada
peristiwa internal dan eksternal.
3. C ialah consequences termasuk emosi, perilaku dan sensasi fisik yang mendampingi
setiap emosi yang berada.
Dari beberapa metode dan Teknik tersebut yang pertama lebih menitik beratkan pada
keperibadian seseorang dimana pola keperibadian ini bisa dilihat dari kejadian-kejadian yang
terjadi dalam individu tersebut dengan menerima suatu tanggapan emosional yang diberikan,
yang kedua dengan mengembangkan pola prilaku memalui proses ilmiah, yang ketiga lebih
berfokus pada bagaimana menghadapi suatu masalah dari pada mencari akar permasalahan.
Peserta didik yang mengalami kecanduan gawai atau games addiction biasanya memiliki
trigger untuk bermain, misalnya bertengkar dengan orang tua, rekan kerja atau tidak mampu
mengerjakan PR yang sulit. Oleh karena itu mereka harus mengidentifikasi situasi yang dapat
menjadi trigger sehingga mampu meningkatkan perilaku bermain games. Pemikiran yang
terdistorasi seperti halnya catastrophic, over-generalisasi berkontribusi terhadap prilaku
adiksi, misalnya penggunaan internet yang berlebihan atau bermain gadged yang sedemikian.
Dari beberapa literatur diatas dapat diketahui bahwasanya metode atau Teknik CBT
membutuhkan paling sedikit 12 sesi pertemuan setiap Langkah tersusun dengan sesistematis
dan seterencana mungkin. CBT ini
juga mampu memberikan warna baru atau bisa mengatasi akar permasalahan yang
ditimbulkan oleh kecanduan gawai terhadap peserta didik. Dibawah ini adalah metode
Langkah-langkah atau cara mengatasi kecanduan gawai terhadap peserta didik antara lain
yang:
1. asesment danjuga diagnosis dijalankan dalam 2 sesi.
2. Proses pendekatan kognitif dijalankan hingga 2 atau 3 sesi
3. pembuatan formula status dijalankan hingga 3 sampai 5 sesi.
4. semua fokus konseling dijalankan hingga dengan 4 sampai 10 sesi
5. intervensi perilaku dijalankan 5 sampai 7 sesi.
6. keenam perubahan core beliefs dijalankan 8 hingga 11 sesi.
7. pencegahan dijalankan dengan 8 sampai 11 sesi.
Berdasarkan hasil penulisan diatas dapat disimpulkan bahwasanya dengan merubah prilaku
peserta didik dari yang memiliki pemikiran monoton atau pemikiran yang tradisional menjadi
suatu pemikiran yang lebih kepada
rasional dalam model dan tekniknya dibutuhkan cognitive restructuring Teknik ini
merupakan cara untuk mengubah pemikiran yang tradisional menjadi suatu pemikiran yang
lebih rasional. Oleh karena itu, salah satu bentuk treatment yang mampu dan dapat diterapkan
adalah CBT yang dirancang untuk membantu individu memperoleh insight terhadap
permasalahanya sehinga individu tersebut dapat mengganti pemikiran yang terdistorsi
menjadi pemikiran yang rasional sehingga bisa memunculkan perilaku yang adaptif.

Terdapat beberapa factor yang menjadi penentu keberhasilan metode CBT . Diantara factor –
factor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Partisipan menjalankan intervensi dengan sangat kooperaif.
2. partisipan memiliki kesadaran diri bahwasannya dia sedang memiliki sebuah masalah
dan memiliki hasrat untuk merubahnya. Oleh karenanya partisipan memiliki
komitmen untuk mengikuti seluruh tahapan intevensi yang telah dirancang.
3. Terciptanya hubungan baik antara fasilitator dan juga partisipan
4. Materi, metode dan media yang dibuat oleh fasilitator telah disesuaikan dengan anak.
Ditambahkan dengan visual visual dan juga media yang memudahkan dalam
memahami konten dari intervensi
Proses CBT
peserta dapat dikatakan kecanduan setelah mengisi daftar kuisoner dengan masalah
perilaku seperti gangguan tidur, gejala agresif atau depresi. Melakukan identifikasi serta
menulis tentang gejala kecanduan gawai hari itu dan apa yang mereka rasakan saat terjadinya
proses kecanduan gawai pada kelompok yang menjadi eksperimen. peneliti mengungkapkan
beberapa prosedur Teknik dalam mengatasi kecanduan gawai dalam bermain games
menggunakan konseling CBT. Klien diminta untuk mencatat tanggal dan waktu setiap sesi
Internet, acara pendahuluan yang mengarah ke pencatatan online, dan jenis aktivitas online
yang diakses (misalnya, email,obrolan, situs pornografi, harga saham, eBay, penjelajahan
web acak ). Selanjutnya, klien melacak berapa lama setiap sesi berlangsung, khususnya
merekam jumlah menit atau jam per sesi Internet. presentase dihitung dari tingkat seberapa
banyak ganguan yang di sebab kan oleh kecanduan internet. Penerapan sesi konseli dilakukan
5 sesi dengan tujuan memdapatkan hasil yang siknifikan. Jumlah sesi di bagi menjadi 6 sesi
dalam setiap pertemuan.
Tahapan yang dilaksanakan dalam penelitian ini ada 3 tahapan : 1) tahapan
mempersiapkan penelitian; 2) tahap melaksanakan penelitian; dan 3) tahap evaluasi hasil
penelitian. Proses pelaksanaan terapi dijalankan dalam seminggu yakni 3 kali, dan proses
pelaksanaannya teratur tiap 2 hari sekali. Jumlah tatap muka yang dibutuhkan untuk
keseluruhan tahapan intervensi/terapi yakni 9 pertemuan dengan durasi tiap kali pertemuan
yakni 1,5 jam.
Subyek pada penelitian ini ialah siswa yang memunyai karakteristik gangguan
obsesif-kompulsif memunyai usia 20 tahun, perempuan, dan sudah mengidap OCD selama 5
tahun. Setelah dilakukan pengukuran seminggu kemudian (follow-up) skor tingkat depresi
menjadi 10 kategori ringan. Kemudian pada subjek JJ pada saat pretest skor tingkat depresi
sebesar 25 kategori depresi sedang, setelah diberikan intervensi CBT (posttest) skor tingkat
depresi menjadi 15 kategori ringan, seminggu setelahnya skor (follow-up) menjadi 12
kategori ringan. Terakhir pada subjek MR pada saat pretest skor tingkat depresi sebesar 16
kategori depresi sedang, setelah diberikan intervensi CBT (posttest) skor tingkat depresi
menjadi 9 kategori normal, seminggu setelahnya skor (follow-up) menjadi 7 kategori normal.
Keefektifan penggunaan CBT dalam penelitian ini didukung juga karena peserta
didik yang menjadi sampel penelitian adalah remaja, yang secara idealnya sudah mampu
berpikir kritis dan mampu menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Terdapat 7 studi yang menjelaskan prosedur teknik CBT dengan menerapkan
berbagai sesi serta panjang durasi setiap sesinya, terdapat 7 (tujuh) studi yang memberi
penjelasan tentang langkah penerapan teknik CBT dengan topic atau tema yang akan ditulis
subjek penelitian, 2 studi memberi penjelasan berkaitan cara sistematis teknik CBT dengan
menerapkan tema yang menjadi bahan penulisan subjek peneliti termasuk banyaknya sesi , 2
studi yang menerapkan standar prosedur teknik CBT secara umum, serta penggunaan waktu
dan instruksi teknik CBT serta adanya 2 studi yang tidak menjelaskan secara prosedural
tentang penerapan teknik CBT.
Keberhasilan dalam proses penerapan CBT pada kedua partisipan dipengaruhi oleh
faktor pemberian reward & punishment dan dukungan dari lingkungan. Dalam proses
penerapan CBT, metode reward & punishment cukup berhasil untuk mengurangi jam
bermain pada kedua partisipan. Pemberian reward pada individu dapat memperkuat
terbentuknya prilaku yang diinginkan.
Selain pemberian reward dan punishment factor dukungan sosial juga berperan
penting dalam keberhasilan intervensi ini. Selama pelaksanaan intervensi seorang peserta
didik harus mendapatkan kontroll maupun dukungan yang maksimal agar termotivasi dan
bisa mendapatkan reward yang disediakan.
Teknik self control ialah satu diantara beragam teknik yang ada dalam terapi CBT,
teknik ini sendiri merupakan teknik yang memunyai tujuan untuk menjadi penyelesaian
permasalahan atas perilaku yang menyimpang dengan melakukan restrukturasi kognitif.
Chaplin memaparkan bahwasannya self-control ialah sebuah kemampuan yang
dimiliki setiap individu dalam mengatur perilaku dirinya sendiri baik itu mendorong maupun
menghambat untuk melakukan sesuatu hal, seperti menekan untuk tidak melakukan
permainan game yang berlebihan dan lain sebagainya.
Ditambahkan Nevid dkk, yang memaparkan bahwasannya strategi self control
memunyai sebuah fokus supaya bisa memberikan bantuan terhadap seorang individu yang
memunyai permasalahan pada dirinya sendiri dalam melakukan perubahan tingkah laku.
Chaplin menjelaskan bahwasannya sumber adanya self control dalam setiap individu itu ada
2, yakni internal dan juga eksternal.
2. Detox Media Sosial
Salah satu yang biasa dilakukan adalah dengan mengurangi penggunaan media sosial
atau detox sosial media. Detox adalah istilah yang seringkali digunakan dalam dunia
kesehatan dalam membuang zat buruk dari tubuh. Berbeda dengan detox diet yang
membuang racun dari dalam tubuh, detox sosial media justru membantu membuang
semua racun yang menggangu mental, sehingga kita terbangun dan hidup dalam realita.
Beberapa metode yang bisa dilakukan untuk melakukan detox media digital antara lain:
(a) Buat daftar gadget
(b) Menetapkan batas waktu penggunaan media digital
(c) Menetapkan Target sesuai kemampuan
(d) Berkomitmen untuk mengubah satu kebiasaan pada satu waktu
(e) Menghindari menyimpan smartphone di ruang tidur
(f) Memberi perhatian terhadap orang lain
(g) Mencari teman untuk sama-sama melakukan detox
(h) Tinggalkan gadget di rumah
(i) Beri tahu semua orang apa yang kamu lakukan
(j) Nonaktifkan dorongan Untuk mengurangi ketergantungan digital Anda, matikan
pemberitahuan push ponsel Anda
(k) Gunakan jam untuk menyalakan alarm, dan jangan menggunakan ponsel anda
(l) Matikan ke mode pesawat
(m)Matikan handphone untuk satu hari
(n) membiasakan untuk 24 jam dalam 1 minggu tanpa HP
F. Tujuan Dari Program
1. Metode dan teknik konseling CBT untuk mengatasi kecanduan internet pada siswa,
2. Keberhasilan penerapan konseling CBT untuk mengatasi kecanduan internet pada
siswa , dan
3. Proses konseling CBT dalam menangani kasus kecanduan internet pada siswa.

Anda mungkin juga menyukai