Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL SKRIPSI

Pengaruh Penggunaan Media sosial terhadap Tingkat


Kecemasan Mahasiswa Universitas Paramadina

Agie Dwi Prasasti


118206002

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Media sosial semakin populer seiring perkembangan zaman. Semakin banyak orang,

khususnya kaum muda berusia 18-25 tahun yang menggunakan media sosial. Berdasarkan

Katadata (2019) jumlah pengguna media sosial di Indonesia kini mencapai 150 juta orang

atau 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei pada tahun sebelumnya.

Berdasarkan Websindo (2019) pengguna media sosial di Indonesia terbanyak berasal dari

kelompok umur 18-24 tahun dan 25-34 tahun, kemudian disusul oleh kelompok umur 13-17

tahun. Ariyanti (2018) menambahkan bahwa sebanyak 90,61% anak muda pengguna internet

di Indonesia menggunakannya untuk media sosial. Semakin populernya media sosial di

kalangan kaum muda ini dibarengi dengan peningkatan intensitas penggunaannya. Penulis

mengamati bahwa teman-teman di sekitar penulis banyak yang cukup intens menggunakan

media sosial hingga berjam-jam per hari. Pengamatan penulis ini sesuai dengan data yang

ada, yaitu lama penggunaan media sosial di Indonesia rata-rata adalah 195 menit atau 3 jam

15 menit per hari (Duarte, 2019). Padahal penggunaan media sosial yang optimal adalah

kurang dari 30 menit per hari karena penggunaan yang melebihi angka tersebut meningkatkan

perasaan kesepian dan depresi secara signifikan (Hunt, Young, Marx.& Lipson, 2018).

Penggunaan media sosial yang sangat lama pada masyarakat Indonesia tersebut perlu

mendapatkan perhatian lebih. Hal ini karena media sosial lebih adiktif dibanding rokok dan

alkohol (RSPH, 2017). Layaknya hal-hal lain, media sosial tentunya memiliki dampak positif

dan negatif, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Dampak positif dari media sosial

antara lain untuk mengekspresikan diri, memperluas jaringan pertemanan ,dan berkomunikasi

dengan teman dan keluarga dimana saja dan kapan saja. Namun dampak negatif yang
ditimbulkan dari media sosial juga tidak boleh dianggap remeh, antara lain : meningkatkan

tingkat kecemasan, depresi dan menurunkan kualitas tidur (RSPH, 2017).

Delvinasari (2015) menjabarkan pengertian kecemasan menurut para ahli. Cemas

berasal dari bahasa latin anxius dan dalam bahasa Jerman angst kemudian menjadi

anxiety yang berarti kecemasan. (Darmanto Jatman, 2000:37). Menurut Chaplin

kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai

masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut (Chaplin, 2000:33).

Sedangkan menurut Assosiasi Psikiatri Amerika, kecemasan kecemasan adalah

ketakutan/keprihatinan, tegang, atau rasa gelisah yang berasal dari antisipasi bahaya,

sumber yang sebagian besar tidak dikenali atau yang tak dikenal.

Beberapa penelitian terbaru meneliti tentang dampak sosial media terhadap kesehatan

mental ataupun aspek psikologis lainnya. Misalnya Taqwa (2018) yang menemukan bahwa

intensitas penggunaan instagram stories berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental.

Penelitian ini dilakukan terhadap 358 mahasiswa berusia 18-24 tahun di Universitas

Muhammadiyah Malang. Selanjutnya penelitian Mubarok (2018) menjelaskan bahwa

penggunaan media sosial pada siswa kelas XI MAN 2 Surakarta menyebabkan siswa

menyimpan konten pornografi dan menghabiskan waktunya untuk media sosial hingga

melupakan tugas utamanya untuk belajar.

Handikasari, Jusuf, & Johan (2018) menemukan hal yang serupa yaitu terdapat korelasi

positif dan signifikan antara intensitas penggunaan media sosial dengan derajat gejala

depresi. Penelitian oleh RSPH (2017) di Inggris menemukan bahwa instagram merupakan

media sosial yang dampaknya paling buruk terhadap kesehatan mental. Meskipun media

sosial lainnya juga memiliki dampak buruk terhadap kesehatan mental.


Peltzer & Pengpid (2018) mencoba memetakan pengidap depresi di Indonesia. Mereka

menemukan bahwa tingkat depresi tertinggi di Indonesia ditemukan pada rentang usia remaja

atau dewasa muda, sesuai dengan tren dunia. Peltzer & Pengpid bahwa terdapat 32% wanita

dan 26% laki-laki berusia 15-19 tahun yang melaporkan gejala depresi sedang atau berat.

Mereka juga menjelaskan lebih lanjut bahwa faktor yang berkaitan dengan prevalensi depresi

yaitu : usia muda, persepsi ketidakcukupan ekonomi, menganggur atau sedang mencari

pekerjaan, mengalami bencana (alam atau konflik sosial), merasa lingkungan tidak aman,

memiliki masalah kesehatan kronis, mengonsumsi tembakau, menyalahgunakan zat, dan

aktivitas fisik yang rendah.

Putri, Nurwati, Budiarti (2016) menjelaskan bahwa kalangan remaja yang menjadi

hiperaktif di media sosial ini sering memposting kegiatan sehari-hari mereka yang seakan

menggambarkan gaya hidup yang mencoba mengikuti perkembangan jaman, agar mereka

dianggap lebih populer di lingkungan sosialnya. Namun apa yang mereka posting di media

sosial tidak selalu menggambarkan kehidupan sosial mereka yang sebenarnya. Ketika para

remaja tersebut memposting sisi hidupnya yang penuh kesenangan, tidak jarang

kenyataannya dalam hidupnya mereka merasa kesepian. Kemudian Soliha (2015) yang

melakukan penelitian pada mahasiswa di kota Semarang menemukan bahwa terdapat

hubungan positif dan signifikan antara kecemasan sosial dan tingkat ketergantungan pada

media sosial dengan tingkat hubungan yang cukup kuat.

Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah penulis telusuri, belum ada penelitian

yang dilakukan di Jakarta. Padahal penggunaan media sosial di kota besar seperti Jakarta

tentunya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Selain itu kebanyakan penelitian di

Indonesia dilakukan pada anak SMA, ada kemungkinan bahwa pengaruh media sosial

berbeda-beda pada mahasiswa. Penelitian yang berfokus membahas pengaruh media sosial
terhadap kecemasan juga baru Soliha (2015) saja di Semarang. Oleh karena itu penulis

menganggap bahwa perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam karena dinamika media

sosial merupakan hal yang baru diteliti 5-10 tahun terakhir.

Dilandasi oleh berbagai latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memverifikasi

apakah penggunaan media sosial secara intens justru memberikan dampak buruk bagi

penggunanya. Fokus yang akan penulis teliti yaitu pengaruh penggunaan media sosial

terhadap tingkat kecemasan. Sampel reponden yang diteliti adalah mahasiswa Universitas

Paramadina karena dekat dengan keseharian penulis sehingga lebih mudah dan lebih terbuka

untuk diwawancarai secara mendalam.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Pengguna media sosial terus meningkat, khususnya kaum muda usia 18-25 tahun
yang merupakan kelompok umur pengguna media sosial terbanyak.

2. Penggunaan media sosial di Indonesia secara rata-rata sangat lama, yaitu 3 jam 15
menit per hari.

3. Beberapa penelitian menemukan dampak negatif media sosial, antara lain


kecemasan dan depresi.
1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana pengaruh penggunaan media sosial terhadap tingkat kecemasan


Mahasiswa Universitas Paramadina?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan media sosial
terhadap tingkat kecemasan Mahasiswa Universitas Paramadina.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan dalam


bidang Ilmu komunikasi khususnya komunikasi dalam dunia digital dan
dampaknya terhadap kehidupan penggunanya. Selain itu penelitian ini dapat
menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya terkait media sosial maupun tingkat
kecemasan.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang dampak


penggunaan media sosial bagi penggunanya. Sehingga pengguna media sosial
bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Komunikasi

Terdapat 3 teori komunikasi yang bisa menjelaskan dinamika komunikasi dalam media
sosial. Tidak ada satu teori yang secara menyeluruh merepresentasikan dinamika komunikasi
media sosial secara utuh. Oleh karena itu penulis mencantumkan 3 teori komunikasi yang
secara bersama-sama bisa menggambarkan proses komunikasi dalam media sosial, yaitu teori
uses and gratification, teori dependency, dan teori participatory media culture.

2.1.1 Teori Uses and Gratifications

Teori ini dicetuskan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch.
Teori uses and gratifications mempelajari asal mula kebutuhan secara psikologis dan
sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media atau sumber lain yang membawa
pada terpaan media yang berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan serta
akibat-akibat lain termasuk yang tidak kita inginkan.

Teori ini memiliki asumsi bahwa khalayak dianggap aktif dalam artian memiliki
tujuan ketika menggunakan media. Katz, Blumler, dan Gurevitch menemukan bahwa
khalayak menggunakan media untuk mengirim pesan, membantu mengembangkan citra
diri, dalam kaitannya dengan sosial dan interaksi atau hiburan.

West & Turner, (2013) menjelaskan bahwa teori uses and gratification
merupakan teori yang secara garis besar membahas mengenai pemahaman media dan
juga dampak media bagi pengguna atau konsumennya. Media dalam teori uses and
gratification memunculkan adanya kebutuhan yang dipuaskan oleh media, dan
terpuaskannya kebutuhan ini merupakan alasan seseorang mengonsumsi suatu media.
Kebutuhan yang dipuaskan oleh media ini antara lain :

a. Kognitif : memperoleh informasi, pengetahuan dan pemahaman.

b. Afektif : pengalaman emosional, menyenangkan atau estetis.

c. Integritas personal: meningkatkan kredebilitas, percaya diri, dan status.

d. Integrasi sosial: meningkatkan hubungan dengan keluarga, teman, dan


lainnya.
e. Perlepasan ketegangan/stres: pelarian dan pengalihan.

Media sosial secara umum mampu memenuhi lima hal kepuasaan yang bisa
diberikan oleh media. Adanya sebuah aktifitas yang dapat digantikan dengan media
sosial membuat adanya sebuah kepuasaan yang dirasakan oleh khalayak dari kelima hal
tersebut. Pengetahuan digantikan dengan akun-akun yang memuat informasi-informasi
berdasarkan pemberitaan tertentu. Aktifitas untuk mengobrol dan face to face
digantikan dengan aktifitas chatting yang hampir diseluruh media sosial terdapat fitur
chatting. Aktualisasi diri kini dapat dilakukan dengan media sosial yang menyediakan
gambar dan foto atau video yang dapat menghilang dalam durasi 1x24 jam. Media
sosial memberikan kepuasaan yang “modern” dan praktis kepada penggunanya, hal ini
dikarenakan media sosial dapat mencakup segala hal yang dapat dilakukan oleh media
massa lain.

Media sosial saat ini diakui sebagai sebuah alat yang telah mulai sulit untuk
dipisahkan dengan khalayak, pasalnya secara sosial khalayak secara tidak langsung
telah terhubung satu dengan yang lainnya sehingga hal ini menjadikan sebuah koneksi
yang kuat dengan media sosial.

Pendekatan ini terpusat pada konsumen daripada pesan. Tidak seperti tradisi
kekuatan efek, pendekatan ini menggambarkan anggota audien lebih diskriminatif
terhadap penggunaan media. Audien diasumsikan aktif dan bertujuan langsung.
Anggota audiens secara luas bertanggung jawab untuk memilih media untuk
mempertemukan antara kebutuhan dan pengetahuan mereka dan bagaimana
mempertemukan mereka.

2.1.2 Teori Dependency / Ketergantungan

Penulis menganggap bahwa teori uses and gratification cukup terbatas. Dengan
kata lain, teori ini seakan-akan menganggap individu secara sepenuhnya mengkontrol
pilihan-pilihan dalam kehidupan mereka. Padahal pada kenyataanya individu tidak
sepenuhnya secara aktif memilih media yang dikonsumsinya. oleh karena itu
dependency theory bisa melengkapi kekurangan dari teori uses and gratifications.

Sandra Ball-Rokech dan Melvin DeFleur secara original mempromosikan teori


ini. Teori ini memprediksi ketergantungan terhadap informasi media untuk menemukan
kebutuhan tertentu dan pencapaian tujuan tertentu. Tetapi ketergantungan kita terhadap
media tidaklah sama.

Terdapat dua faktor penentu bagaimana pandangan kita terhadap media. Pertama,
kita akan lebih tergantung pada media yang memberikan apa yang kita butuhkan
daripada yang sedikit memenuhi kebutuhan kita. Yang kedua, sumber dependensi
adalah stabilitas sosial. Model ini menunjukkan bahwa istitusi sosial dan sistem media
berinteraksi dengan audien untuk menciptakan kebutuhan, ketertarikan dan motivasi.

2.1.3 Teori Participatory Media Culture

Teori yang dicetuskan oleh Henry Jenkins ini menguraikan cara-cara di mana
budaya media baru menawarkan khalayak untuk secara bersama-sama mengambil
peran sebagai konsumen media dan produsen media sekaligus. Jenkins berpendapat
bahwa dalam Participatory Media Culture, orang mampu secara kreatif menanggapi isi
media dengan menciptakan komoditas budaya mereka sendiri sebagai upaya mereka
untuk menguraikan dan menemukan makna di dalam produk media dan pesan yang
ada. Dalam Participatory Media Culture masyarakat dapat lebih mudah merespon dan
memberikan kontribusi dan pesan kepada media.

Teori ini sangat sesuai dengan keberadaan media sosial. Karena dalam media
sosial, individu tidak hanya berperan sebagai konsumen media seperti dijelaskan dalam
teori uses and gratifications dan teori dependency, namun juga sekaligus sebagai
produsen media yang menciptakan sesuatu yang akan dikonsumsi orang lain – yaitu
followersnya.

2.2 Model Komunikasi

2.2.1 Model Komunikasi Interaksional

Model Komunikasi Interaksional dicetuskan oleh Schramm pada tahun 1970-


an. Model tersebut saya pahami dari membaca berbagai sumber, namun utamanya
adalah dari buku Pengantar Ilmu Komunikasi karya Rayudaswati Budi yang
diterbitkan pada tahun 2010. Model ini saya pilih karena menurut saya model ini
merupakan model komunikasi yang menyeluruh. Model ini memperhitungkan
noise/gangguan dalam komunikasi dan sesuai dengan dinamika media sosial yang
merupakan memiliki feedback terus menerus antara komunikator dan komunikan.

Gambar 2.1 Model Komunikasi Interaksional

Sumber : Budi (2010)

Model komunikasi interaksional merupakan pengembangan dari model


komunikasi linear/satu arah yang pertama kali dicetuskan oleh Shannon dan Weaver
pada 1949. Model dari Schramm ini pada intinya menambahkan bahwa proses
komunikasi berjalan secara sirkuler (tidak linear). Penerima pesan
(komunikan/receiver) secara bergantian bertindak sebagai pengirim pesan
(komunikator/sender). Model ini khususnya sesuai dengan komunikasi interpersonal
(antar pribadi) yang kita lakukan sehari-hari.

Menurut Schramm (1997) model komunikasi interaksional menggambarkan


komunikasi sebagai sebuah proses dimana partisipan komunikasi saling bertukar
posisi sebagai pengirim pesan dan penerima pesan serta membentuk makna bersama
dengan cara mengirim dan menerima umpan balik dalam konteks fisik dan psikologis.
Tidak seperti model komunikasi linear, dalam model komunikasi interaksional
terdapat unsur umpan balik yang membuat proses komunikasi menjadi lebih interaktif
karena berlangsung secara dua arah

Dalam model komunikasi interaksional, ketika sumber mengirimkan pesan


kepada penerima pesan atau sumber kedua, hal pertama yang dilakukan sumber
adalah meng-encode pesan. Pesan yang telah di-encode tersebut kemudian dikirimkan
melalui channel atau media tertentu lalu diterima oleh penerima pesan atau sumber
kedua dengan cara meng-decode pesan tersebut untuk mendapatkan pesan atau
informasi yang utuh. Kemudian, penerima pesan berperan sebagai sumber, meng-
encode pesan lain atau umpan balik dan mengirimkannya kembali kepada pengirim
pesan atau sumber pertama.

Konsep penting lainnya yang terdapat dalam model komunikasi interaksional


adalah gangguan (noise) dan hambatan-hambatan komunikasi seperti bahasa, masalah
jaringan, dan lain-lain yang mempengaruhi proses komunikasi; dan bidang
pengalaman atau latar belakang sender/receiver karena pengalaman dan pengetahuan
yang dimiliki akan berdampak pada proses pembentukan dan penafsiran pesan. Yang
termasuk dalam bidang pengalaman adalah budaya, perilaku sosial, dan lain-lain

2.3 Teori Utama dan Pendukung Penelitian

2.3.4 Jenis Media Massa

Menurut Syarifudin Yunus (2010), media dikategorikan ke dalam 3 (tiga) jenis


yaitu:

1. Media cetak, yang terdiri atas surat kabar, surat kabar mingguan, tabloid,
majalah, buletin/jurnal, dan sebagainya.
2. Media elektronik, yang terdiri atas radio dan televisi.
3. Media online, yaitu media internet, seperti website, blog, dan lain
sebagainya.

Asep Syamsul M. Romli (2014) juga membagi media massa kedalam tiga
kategori yaitu :

1. Media Cetak (Printed Media)

Media cetak adalah media yang menggunakan kertas atau printed media
sebagai medium untuk menuliskan dan menyampaikan informasinya.
Contoh media cetak antara lain adalah surat kabar, tabloid, dan majalah.

2. Media Elektronik (Electronic Media)


Media elektronik menggunakan peralatan elektronik sebagai medium untuk
menyampaikan informasinya. Contoh media elektronik antara lain radio,
televisi, dan film/video.

3. Media Siber (Cyber Media)

Media siber juga menggunakan internet sebagai medium untuk


menyampaikan informasinya. Media siber memang menggunakan peralatan
elektronik untuk membuka informasi dari internet, tetapi karena ke
khususan dan keunikan dari media internet itu sendiri, maka diperlukan
kategori terbaru yang membedakan antara media elektronik dan media
siber. Contoh media siber antara lain website, portal berita, blog, dan media
sosial.

Berdasarkan kedua ahli diatas, kita dapat menyimpulakn bahwa secara umum
media massa dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu media cetak, media elektronik, dan
media online/siber.

2.3.5 Media Online

Media online adalah media baru yang tercipta akibat perkembangan teknologi.
Media terbaru ini menjadi semakin populer di masyarakat karena kemudahan yang
ditawarkannya yaitu bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Menurut Wikipedia
dalam Asep Syamsul M. Romli (2014), “Media online merupakan produk jurnalistik
online atau cyber journalism yang didefinisikan sebagai berikut, pelaporan fakta atau
peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet”.

Sedangkan menurut Asep Syamsul M. Romli (2014), pengertian media online


dapat dibagi menjadi dua yaitu pengertian umum dann pengertian khusus. Secara
umum media online adalah segala jenis atau format media yang hanya bisa diakses
melalui internet, bentuk media ini antara lain teks, foto, video, dan suara. Sedangkan
secara khusus pengertian media online terkait dengan pengertian media dalam konteks
komunikasi massa. Sehingga media online adalah media pers atau media jurnalistik
yang menyajikan karya jurnalistik secara online.
Syarifudin Yunus (2010) mendefinisikan media online sebagai salah satu jenis
media massa yang populer dan bersifat khas. Kekhasan media online terletak pada
keharusan memiliki jaringan teknologi informasi dengan menggunkaan perangkat
komputer, di samping pengetahuan tentang progam komputer untuk mengakses
informasi dan berita.

Berdasarkan definisi-definisi yang sudah dijelaskan di atas, kita dapat


menyimpulkan bahwa media online adalah media komunikasi yang menyebarluaskan
informasi menggunakan perangkat khusus yang khas yang disebut dengan internet.
Pengertian media online secara umum tersebut juga dapat kerucutkan berdasarkan
konteks jurnalistik atau komunikasi massa sehingga dapat diartikan bahwa media
online adalah media pers atau media jurnalistik yang menyajikan karya jurnalistik
secara online (melalui internet).

Menurut Asep Syamsul M Romli (2014), “Dari segi isi (konten) atau sajian
informasi, yang disajikan media online secara umum sama dengan media cetak seperti
koran dan majalah, yakni terdiri dari berita (news), artikel opini (views), feature, foto,
dan iklan yang dikelompokkan kategori tertentu, misalnya kategori berita nasional,
ekonomi, berita olahraga, dan politik”.

Syarifudin Yunus (2010) mengemukakan pendapat yang serupa, “Beberapa


produk media massa (media cetak, media elektonik, dan media online) yang patut
diketahui ialah berita, tajuk atau editorial, karikatural, pojok, artikel, kolom dan surat
pembaca”. Bentuk-bentuk media online yang ia sebutkan adalah bentuk-bentuk media
yang terdapat di media cetak.

2.3.7 Pengertian Media Sosial

Istilah media sosial secara sederhana dapat dimengerti dari kata yang
menyusunnya, yaitu “media” dan “sosial”. Mulawarman & Nurfitri (2017) menjelaskan
bahwa kata “media” artinya adalah alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” artinya
adalah kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa media dan semua perangkat
lunak lainnya merupakan “sosial” dalam makna merupakan produk dari proses sosial.
Oleh karena itu dari pengertian kedua kata penyusunnya, kita bisa menyimpulkan
bahwa media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan oleh penggunanya dalam
proses sosial.

Sedangkan menurut Nasrullah (2015), untuk menyusun definisi media sosial,


kita perlu terlebih dahulu melihat perkembangan individu dengan perangkat media.
Karakteristikkerja komputer dalam Web 1.0 berdasarkan pada pengenalan individu
terhadap individu lain yang berada dalam sebuah sistem jaringan. Sedangkan Web 2.0
berdasarkan bagaimana individu berkomunikasi dalam jaringan antarindividu. Terakhir
dalam Web 3.0, karakteristik teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana
manusia bekerja sama. Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa keberadaan media
sosial pada dasarnya merupakan bentuk yang tidak jauh berbeda dengan cara kerja
komputer. Tiga bentuk bersosial, yaitu pengenalan, komunikasi, dan kerja sama, bisa
dianalogikan seperti sistem yang ada diantara hubungan sosial individu dan masyarakat.

Menurut kamus Merriam-Webster (2019), media sosial adalah sarana yang


digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara
menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan
komunitas virtual. Carr & Hayes (2015) mendefinisikan media sosial sebagai media
berbasis internet yang memungkinkan penggunanya berkesempatan untuk berinteraksi
dan mempresentasikan diri, baik secara seketika maupun tertunda, dengan khalayak
luas maupun tidak, yang mendorong nilai dari user-generated content dan persepsi
interaksi dengan orang lain. Sedangkan Valenza (2014) menjelaskan bahwa media
sosial adalah platform internet yang memungkinkan bagi individu untuk berbagi secara
segera dan berkomunikasi secara terus-menerus dengan komunitasnya.

Menurut Kaplan & Haenlein (2010) media sosial adalah sebuah kelompok
aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0
dan memungkinkan terjadinya penciptaan dan pertukaran dari user-generated content.
Sedangkan menurut Putri, Nurwati, & Budiarti (2016) menjelaskan bahwa media sosial
merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian
terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Media
sosial terbesar antara lain Facebook, Myspace, dan Twitter. Media tradisional
menggunakan media cetak dan media broadcast, sementara media sosial menggunakan
internet.
Berdasarkan berbagai pengertian ahli diatas, dapat kita simpulkan bahwa media
sosial adalah media berbasis internet yang digunakan untuk melakukan aktivitas sosial,
yaitu berkomunikasi dan berinteraksi dengan komunitas sosial penggunanya dengan
cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan.

2.3.7 Pengertian Kecemasan (Anxiety)

Annisa & Ifdil (2016) menjelaskan bahwa istilah kecemasan, dalam bahasa
inggris anxiety, berasal dari bahasa latin angustus yang memiliki arti kaku, ango/anci
yang berarti mencekik, dan anxius yang berarti penyempitan atau pencekikan.
Kecemasan mirip dengan rasa takut tetapi dengan fokus yang kurang spesifik.
Ketakutan biasanya merupakan respon terhadap ancaman langsung yang jelas dan
spesifik, sedangkan kecemasan ditandai oleh kekhawatiran tentang bahaya tidak
terduga yang terletak di masa depan. Kecemasan merupakan keadaan emosional negatif
yang ditandai dengan adanya firasat dan somatik ketegangan, seperti hati berdetak
kencang, berkeringat, dan kesulitan bernapas.

Yusuf (dalam Annisa & Ifdil, 2016) mengemukakan bahwa anxiety (cemas)
merupakan ketidakberdayaan neurotik, rasa tidak aman, tidak matang, dan
ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan, kesulitan, dan tekanan kehidupan
sehari-hari. Sementara Kartono (dalam Annisa & Ifdil, 2016) menjelaskan bahwa
cemas adalah bentuk ketidakberanian ditambah kerisauan terhadap hal-hal yang tidak
jelas. Definisi kecemasan Sarwono (dalam Annisa & Ifdil, 2016) juga serupa yaitu
kecemasan merupakan takut yang tidak jelas objeknya dan tidak jelas pula alasannya.

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (dalam Hardiani, 2012) kecemasan adalah
respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal normal yang
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru, serta dalam menemukan
identitas diri dan arti hidup. Sedangkan Rochman (dalam Hardiani, 2012) menjelaskan
bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari keakmampuan mengatasi suatu
masalah aau karena tidak adanya rasa aman. Lubis (dalam Hardiani, 2012) menjelaskan
bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal.
Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang.
Dari berbagai pengertian tentang kecemasan (anxiety) yang telah dipaparkan di
atas, dapat disimpulkan kecemasan adalah kondisi emosi yang ditandai dengan
timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang
samar-samar diserta dengan perasaan tidak berdaya serta tidak menentu karena suatu
hal yang tidak jelas.

Kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang
disebabkan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi, namun objek ketakutan tersebut samar-samar dan
belum pasti terjadi.
2.3.8 Aspek-Aspek Kecemasan (Anxiety)

Stuart (2006) mengelompokkan kecemasan menjadi aspek perilaku, kognitif,


dan aspek afektif. Ketiga aspek kecemasan tersebut dapat dijabarkan lebih detail
sebagai berikut :

1. Aspek Perilaku antara lain : 1) gelisah, 2) ketegangan fisik, 3) tremor, 4)


reaksi terkejut, 5) bicara cepat, 6) kurang koordinasi, 7) cenderung mengalami
cedera, 8) menarik diri dari hubungan interpersonal, 9) inhibisi, 10) melarikan
diri dari masalah, 11) menghindar, 12) hiperventilasi, dan 13) sangat waspada.

2. Aspek Kognitif antara lain : 1) perhatian terganggu, 2) konsentrasi buruk, 3)


pelupa, 4) salah dalam memberikan penilaian, 5) preokupasi, 6) hambatan
berpikir, 7) lapang persepsi menurun, 8) kreativitas menurun, 9) produktivitas
menurun, 10) bingung, 11) sangat waspada, 12) keasadaran diri, 13)
kehilangan objektivitas, 14) takut kehilangan kendali, 15) takut pada
gambaran visual, 16) takut cedera atau kematian, 17) kilas balik, dan 18)
mimpi buruk

3. Aspek Afektif antara lain: 1) mudah terganggu, 2) tidak sabar, 3) gelisah, 4)


tegang, 5) gugup, 6) ketakutan, 7) waspada, 8) kengerian, 9) kekhawatiran,
10) kecemasan, 11) mati rasa, 12) rasa bersalah, dan 13) malu.
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

Penggunaan Media Sosial

Fear Of Missing Out Kecemburuan Sosial Adiksi

Kecemasan / Anxiety
BAB III

METODOLOGI

3.1 Metodologi Penelitian

Pengertian metode, berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah cara
atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu
cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya
untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk
keabsahannya. Menurut Soerjono Soekanto dalam Ruslan (2008), “Penelitian merupakan
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten.”

Dari definisi di atas peneliti menyimpulkan metodologi penelitian adalah suatu cara
yang mempelajari prosedur dan teknik-teknik tertentu untuk melakukan suatu metode riset.

Menurut Strauss and Corbin dalam Ruslan (2008) “Penelitian kualitatif (qualitative
research) merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya.”
Penelitian kualitatif ini dapat dipergunakan untuk penelitian kehidupan masyarakat, sejarah,
tingkah laku, fungsional organisasi, peristiwa tertentu pergerakan-pergerakan sosial dan
hubungan kekerabatan dalam kekeluargaan.

Dari definisi di atas, peneliti memahami bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena yang dijabarkan kedalam bentuk kata-kata
dan bahasa sesuai pada konteks khusus dan dengan metode ilmiah. Jadi penelitian kualitatif
tidak didasarkan kepada seberapa banyak populasi atau sample yang didapat.

Moleong (2008) menjelaskan fungsi penelitian kualitatif, yaitu :


1. Memahami isu-isu sesuatu proses
2. Memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang
3. Untuk meneliti latar belakang fenomena yang tidak dapat diteliti melalui
penelitian kuantitatif
4. Digunakan untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang sudah banyak
diketahui
5. Digunakan untuk lebih dapat memahami fenomena yang sampai sekarang belum
banyak diketahui
6. Dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti berpendapat bahwa metodologi kualitatif


cocok dengan penelitian yang akan dilakukan. Karena metode kualitatif dapat memahami isu-
isu yang ada dan meneliti secara lebih mendalam fenomena yang tidak dapat dijelaskan
melalui penelitian kuantitatif. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka peneliti ingin melihat
bagaimana penggunaan sosial media memiliki efek terhadap kondisi psikis khususnya
kecemasan dari mahasiswa Universitas Paramadina.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematik (Suriasumantri dalam Kriyantono, 2007,
Sedangkan menurut Kriyantono (2007), “Metode riset adalah cara atau teknik yang digunakan
untuk riset.” Metode mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset.

Dari kedua definisi diatas, peneliti menyimpulkan metode penelitian merupakan suatu
prosedur yang memiliki langkah-langkah sistematik yang dilakukan dalam penelitian. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif.

Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini
berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian
deskriptif kualitatif memiliki tujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai
keadaan yang ada. (Mardalis dalam Ruslan, 2008).

3.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Fokus penelitian ini adalah memahami dan
memaparkan fenomena atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari hubungan, tidak menguji
hipotesis, atau membuat prediksi. Namun tentunya penelitian kualitatif harus
mempertimbangkan metodologi kualitatif itu sendiri. Meolong (2008) menambahkan bahwa
data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto video tape,
dokumen pribadi, catatan, atau memo dan dokumen resmi lainnya.

Dari penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa sifat penelitian deskriptif adalah
untuk mendeskripsikan penelitian secara sistematis, akurat, dan berdasarkan fakta atau data
yang dikumpulkan untuk dapat menggambarkan realitas yang sedang terjadi. Peneliti
berpendapat dengan menggunakan penelitian deskriptif, peneliti akan mampu
mendeskripsikan dengan lebih mendetail dan mendalam bagaimana penggunaan sosial media
memiliki efek terhadap kecemasan mahasiswa Universitas Paramadina.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam metodologi kualitatif dikenal beberapa metode penelitian antara lain focus
group discussion, wawancara mendalam, studi kasus, observasi, analisis isi, framing,
semiotika, dan analisis wacana (Kriyantono, 2007). Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan kuesioner untuk mengukur
kecemasan.

3.4.1 Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu


dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dan terwawancara
(interviewed). Interviewer adalah orang yang mengajukan pertanyaan, sementara
interviewed merupakan orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Lincoln dan Guba dalam Moleong (2008) menjelaskan bahwa tujuan
dilakukannya wawancara antara lain : mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
organisasi, perasaan, motivasi, kebulatan-kebulatan yang dialami di masa lalu;
memproyeksikan kebulatan-kebulatan yang diharapkan akan dialami pada masa yang
akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh
dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi,
mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai
pengecekan anggota.
3.5 Key Informan dan Informan

3.5.1 Key Informan

Moleong (2008) mendefinisikan key informan sebagai orang atau narasumber


yang tidak hanya bisa memberi keterangan tentang sesuatu kepada peneliti, tetapi juga
bisa memberi saran tentang sumber bukti yang mendukung serta menciptakan sesuatu
terhadap sumber yang bersangkutan. Dalam menentukan key informan, terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu seroang key informan haruslah orang yang
tidak hanya terlibat langsung tetapi juga mampu menguasai kegiatan public relations.
Maka dari itu key informan bisa ditentukan setelah melakukan penelitian terhadap
informan. Key informan yang dipilih harus mengerti dan memahami setiap tahapan
proses sampai dengan evaluasi.

Oleh karena itu key informan yang sesuai dengan topik peneliti ini adalah
dosen psikologi ataupun dosen ilmu komunikasi yang pernah atau tertarik meneliti
dampak dari sosial media.

3.5.2 Informan

Sementara informan menurut Moleong (2008) adalah orang yang


dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian. Seorang informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar
penelitian.

Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan sampling purposif.


Krisyantono (2007) menjelaskan bahwa sampling purposif adalah teknik yang
mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria tertentu. Sedangkan orang-
orang dalam populasi yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut tidak dijadikan
sampel. Persoalan utama dalam sampling purposif adalah penentuan kriterianya,
dimana kriteria harus mendukung dan sesuai dengan tujuan penelitian. Biasanya
teknik purposif dipilih untuk penelitian yang lebih mengutamakan kedalaman data,
daripada untuk tujuan representatif.

Berdasarkan pengertian diatas, maka penulis memilih informan yang memiliki


kriteria tersendiri yaitu mahasiswa Universitas paramadina yang berumur 18-35 tahun
dan menggunakan sosial media minimal 2 jam per hari. Kriteria ini penulis pilih
karena mereka adalah orang-orang yang merasakan dampak dari penggunaan sosial
media yang intens, entah baik maupun buruk.
Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Sosial media apa saja yang anda gunakan?

2. Sosial media apa yang paling sering anda gunakan?

3. Berapa lama biasanya penggunaan sosial media tersebut (yang paling sering digunakan)
dalam 1 hari?

4. Kenapa sering menggunakan sosial media tersebut?

5. Apa saja yang biasanya anda rasakan ketika menggunakan sosial media tersebut?

6. Lebih banyak perasaan positif atau negatif?

7. Apakah anda pernah mendengar tentang Fear of Missing Out (FOMO)? (Jika tidak
tahu, peneliti menjelaskan). Apakah anda sedang atau pernah mengalaminya?

8. Menurut anda, sampai batas apa orang bisa disebut kecanduan sosial media?

9. Apakah anda bisa dibilang kecanduan sosial media?

10. Apakah anda mengalami sulit tidur?

11. Apakah anda merasa sering sulit berkonsentrasi?

12. Apakah anda merasa tidak percaya diri dengan tubuh atau fisik anda?

13. Menurut anda, apakah sosial media memiliki peran dalam menimbulkan beberapa
permasalahan tersebut?

14. Jika ya, gali sosial media apa yang berperan untuk tiap-tiap kesehatan mental.

15. Apakah anda juga menggunakan sosial media lain secara rutin? Jika ya ulang
pertanyaan 3-6. (ini pertanyaan opsional, jika objek masih terlihat nyaman
diwawancara)

Catatan : Daftar pertanyaan wawancara ini hanya merupakan panduan bagi peneliti, pertanyaan
yang akan diajukan sewaktu wawancara nanti tidak akan persis seperti ini. Pertanyaan yang akan
ditanyakan mengalir seiring dengan penjelasan yang diberikan narasumber.
Kuesioner Lie-Score Minnesota Multiphase Personality Inventory (L-MMPI)

Diambil dari dari Arimbi (2012)

Catatan : Kuesioner ini bisa dijadikan rujukan untuk membuat pertanyaan wawancara
terkait kecemasan. Peneliti mengganggap pertanyaan mengenai kecemasan belum cukup
merepresentasikan kecemasan yang dialamiresponden.

Petunjuk :

Berilah tanda silang (X) pada kolom jawaban (YA), bila anda merasa bahwa pernyataan ini
berlaku bagi anda atau mengenai anda. Sebaliknya berilah tanda (X) pada kolom jawab
(TIDAK), bila anda tidak setuju dengan pernyataan ini tidak berlaku atau tidak mengenai
anda.
Ya Tidak

1. Sekali-kali saya berfikir tentang hal buruk untuk diutarakan.

2. Kadang-kadang saya merasa ingin mengumpat atau mencaci


maki

3. Saya tidak selalu mengatakan yang benar

4. Saya tidak membaca setiap tajuk rencana tajuk harian

5. Saya kadang-kadang marah

6. Apa yang dapat saya kerjakan ini kadang saya tunda sampai
besok

7. Bila saya tidak enak badan, kadang saya mudah tersinggung

8. Sopan santun saya dirumah tidak sebaik seperti bersama orang


lain

9. Bila saya yakin tidak seorangpun yang melihatnya, mungkin


sekali-kali saya akan menyelundup nonton tanpa karcis

10. Saya lebih senang menang daripada kalah dalam suatu permainan

11. Saya ingin mengenal orang-orang penting, karena dengan


demikian saya merasa menjadi orang penting pula

12. Saya tidak selalu menyukai setiap orang yang saya kenal

13. Kadang-kadang saya mempergunjungkan orang lain (gosip)

14. Saya kadang-kadang memilih orang-orang yang tidk saya kenal


dalam suatu pemilihan

15. Sekali-kali saya tertawa juga mendengar lelucon porno


Daftar Pustaka

Ambar. (2017). 7 Teori Komunikasi Media Baru Menurut Para Ahli – Pengertian dan
Karakteristiknya. Diambil dari https://pakarkomunikasi.com/teori-media-baru.

Ambar. (2018). Model Komunikasi Interaksional – Komponen – Konsep – Kritik. Diambil dari
https://pakarkomunikasi.com/model-komunikasi-interaksional.

Annisa, Dona Fitri, & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia).
Konselor Vol. 5 No. 2.

Arimbi, Ari Lestari Dwi. (2012). Hubungan antara tingkat kecemasan dengan tingkat
dispepsia menjelang Ujian Nasional pada siswa kelas IX di SMP Negeri 1 Banyudono
Boyolali tahun 2012. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Budi, Rayudaswati. (2010) Pengantar Ilmu Komunikasi. Makassar : Kretakupa, 21-23 & 43-44.

Caleb T. Carr & Rebecca A. Hayes (2015) Social Media: Defining, Developing, and Divining.
Atlantic Journal of Communication, 23:1, 46-65

Duarte, Fernando. (2019). Berapa banyak waktu yang dihabiskan rakyat Indonesia di media
sosial? Diambil dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49630216

Gail W. Stuart. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan : Ramona P. Kapoh & Egi
Komara. Jakarta: EGC.

Hardiani, Carina Agita. (2012). Kecemasan Dalam Menghadapi Masa Bebas Pada
Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Skripsi Universitas
Negeri Yogyakarta.

Handikasari, Rirra Hayuning, Innawati Jusuf, & Andrew Johan. (2018). Hubungan Intensitas
Penggunaan Media sosial Dengan Gejala Depresi Mahasiswa Kedokteran : Studi Pada
Mahasiswa Kedokteran Tingkat Akhir Yang Menggunakan Kurikulum Modul
Terintegrasi. Jurnal Kedokteran Diponegoro.

Hunt, Melissa, Jordyn Young, Rachel Marx, & Courtney Lipson. (2018). No More FOMO:
Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression. Journal of Social and
Clinical Psychology.
Kaplan, Andreas M., Michael Haelein. (2010). Users of he world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media. Business Horizons 53(1) : 59-68.

Nasrullah, R. (2015). Media Sosial (Perspektif Komunikasi, Budaya, Dan Sosioteknologi).


Jakarta : Simbiosa Rekatama Media.

Merriam Webster. (2019). Social Media. Diambil dari https://www.merriam-


webster.com/dictionary/social%20media.

Moleong, P. D. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.

Mubarok, Muhammad Rois. (2018). Hubungan Antara Intensitas Penggunaan Media sosial
Dengan Akhlak Siswa Kelas XI MAN 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2017/2018. Skripsi
IAIN Surakarta.

Mulawarman, & Aldila Dyas Nurfitri. (2017). Perilaku Pengguna Media Sosial beserta
Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Buletin Psikologi Vol.
25 No. 1, pp. 36-44.

Peltzer, Karl & Supa Pengpid . (2018). High Prevalence Of Depressive Symptoms In a
National Sample of Adults In Indonesia: Childhood Adversity, Sociodemographic
Factors and Health Risk Behaviour. Asian Journal of Psychiatry.

Putri, Wilga S, R. Nunung Nurwati, & Meilanny Budiarti. (2016). Pengaruh Media Sosial
Terhadap Perilaku Remaja. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol.
3 No.1.

Romli, Asep Syamsul M. 2014. Jurnalistik Online. Bandung: Nuansa Cendikia.

RSPH. (2017). Status of Mind: Social media and young people’s mental health. Royal
Society for Public Health.

Soliha, Silvia Fardila. (2015). Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan
Kecemasan Sosial. Jurnal Interaksi Vol. 4 No. 1, pp. 1-10.

Taqwa, Mayvita Innani. (2018). Intensitas Penggunaan Media sosial Instagram Stories
Dengan Kesehatan Mental. Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang.

Valenza, Joyce Kasman, dkk. (2014). Social Media Curation. Library Technology Reports,
Vol. 50 No. 7.

Vera, Nawiroh. (2016). Komunikasi Massa. Bogor : Ghalia Indonesia.


Websindo. (2019). Indonesia Digital 2019. Diambil dari https://websindo.com/indonesia-
digital-2019-media-sosial/

West R. & Turner L. H. (2013). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta :
Salemba Humanika.

Widarmanto, Tjahjono. 2017. Pengantar Jurnalistik : Panduan Awal Penulis dan Jurnalis.
Yogyakarta : Araska.

Yunus, Syarifudin. 2010. Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai