Anda di halaman 1dari 17

1

METODOLOGI PENELITIAN KUANTITATIF PSIKOLOGI A


“Hubungan Kecemasan Sosial Terhadap Smartphone Addiction”
Dosen Pengampu: Dr. Sri Aryanti Kristianingsih, M.Si., M.H., Psikolog

Disusun Oleh:

Yemima Tamariska Putri 802020078

PROGRAM STUDI S1 PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2022
2

Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkat dan rahmat-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan laporan tugas
akhir individu pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif Psikologi F dengan judul
penelitian “Hubungan Self Efficacy dan Coping Stress di Masa Pandemi pada Mahasiswa
Fakultas Psikologi UKSW Angkatan 2019” ini.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Metodologi Penelitian
Kuantitatif Psikologi A yaitu Ibu Dr. Sri Aryanti Kristianingsih, M.Si., M.H., Psikolog dan
kakak asdos mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif Psikologi karena telah
membimbing dan membantu saya dalam pelajaran dan pembuatan laporan ini.
Saya berharap kedepannya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Atas
perhatiannya saya ucapkan terimakasih.

Salatiga, Desember 2021

Penulis

BAB I
3

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi saat ini semakin pesat sehingga membuat manusia lebih mudah,
efektif dan efisien dalam melaksanakan kegiatan pada keseharian mereka, dan teknologi yang
memiliki perkembangan yang pesat saat ini yaitu adalah teknologi komunikasi (Azka,
Firdaus, & Kurniadewi, 2018). Salah satu jenis teknologi komunikasi adalah smartphone
dimana merupakan telepon yang dilengkapi dengan koneksi internet dan menyediakan fungsi
PDA (Personal Digital Assistant) seperti kalender, buku agenda, kalkulator, catatan, dan
berbagai aplikasi canggih untuk membantu kegiatan sehari-hari (Gary, Thomas, & Misty,
2007).
Perusahaan riset Data Reportal menyebutkan bahwa jumlah perangkat seluler yang
terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta pada januari 2022, angka ini meningkat 13 juta
atau 3,6 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya(Jemadu & Prasatya, 2022).
Berdasarkan hasil survei pada tahun 2020 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) mengumumkan bahwa jumlah internet di Indonesia naik menjadi 73,7 persen atau
setara dengan 196,7 juta pengguna pada tahun 2020 pertengahan, dimana sedikit saja sudah
menembus menjadi 200 juta pengguna dari populasi Indonesia yaitu 266,9 juta menurut data
Badan Pusat Statistik(Indonesia Internet Provider Association, 2020). Selain itu juga, menteri
komunikasi dan informatika Rudantara mengungkapkan penggunaan internet oleh individu
sebanyak 65,34% berusia 9-19 tahun(KOMINFO,2018). Oleh karena itu, dengan semakin
mudahnya mengakses internet lewat smartphone, pola kecanduan dalam penggunaan
smartphone semakin sering terlihat dan menjadi fenomena yang terus meningkat(Kwon, Kim,
Cho, & Yang, 2013). Selain itu juga, frekuensi penggunaan dan waktu yang dihabiskan untuk
menggunakan smartphone juga menjadi salah satu penanda tingkat keparahan adiksi
seseorang pada smartphone (Haug,dkk, 2015).
Menurut Haug (2015) penggunaan smartphone selama sekitar 6 jam atau lebih dalam
sehari dapat dikatakan sebagai smartphone addiction. Istilah smartphone addiction sendiri
merupakan jenis kecanduan baru yang disebabkan oleh berkembangnya media secara pesat
termasuk internet dan smartphone pada dunia industri komunikasi (Kwon,dkk, 2013).
Berdasarkan laporan RSJ Cisarua Provinsi Jawa Barat dalam sebulan bisa menangani rata-
rata 11 hingga 12 pasien anak dan remaja dengan rentang usia 7-15 tahun yang mengalami
smartphone addiction(Detik, 2021).Berdasarkan data tersebut dapat menunjukan bahwa
4

smartphone addiction menjadi masalah yang cukup serius yang perlu diperhatikan. Menurut
Park,dkk (2014) menunjukan bahwa individu yang mengalami smartphone addiction akan
dapat memiliki masalah dalam perkembangan mental dan juga fisik(Park & Park, 2014).
Selain itu juga penggunaan smartphone yang berlebihan juga dapat mempengaruhi hubungan
sosial dengan orang lain,mempengaruhi produktivitas dalam melakukan sesuatu serta dapat
memunculkan masalah psikologis lainnya(Vaghefi & Lapointe, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mi-ok,dkk (2015) menunjukan bahwa
remaja merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami masalah yang berkaitan
dengan smartphone addiction dibandingkan dengan orang dewasa(Mi-ok,dkk, 2015). Selain
itu Kwon,dkk (2013) juga menyebutkan bahwa remaja memiliki kecenderungan untuk
berkonsentrasi ketika menggunakan media, utamanya media baru, di mana hal tersebut dapat
memunculkan masalah penggunaan(Kwon,dkk, 2013). Ini juga sesuai dengan apa yang
disampaikan Bae (2017) bahwa remaja disebut sebagai kelompok usia yang rentan terhadap
smartphone addiction. Hal ini dapat terjadi karena pada usia remaja, perkembangan otak
masih rentan terhadap kecanduan(Bae, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agusta, untuk melihat apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi kecanduan smartphone pada remaja siswa SMK menunjukan bahwa
faktor yang ada antara lain adalah faktor internal, faktor situasional, faktor eksternal,dan juga
faktor sosial(Agusta,2016). Faktor psikologis juga berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi kecanduan smartphone, dimana berdasarkan penelitian lainnya juga
menunjukan bahwa semakin tinggi skor seseorang dalam hal kesepian,rasa malu maka akan
semakin tinggi pula kemungkinan seseorang mengalami kecanduan pada
smartphone(Bian,2014). Selain itu juga, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Darcin,dkk (2016) juga menunjukan bahwa kecemasan sosial, fobia, dan kesepian dapat
menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap penggunaan perangkat teknologi
komunikasi secara berlebihan, dimana termasuk dalam pengunaan smartphone yang
berlebihan(Elandi & Ariana, 2019). Dacin,dkk (2016) juga menyampaikan bahwa individu
yang menggunakan smartphone dalam mengakses media sosial diketahui memiliki resiko
yang lebih tinggi daripada individu lainnya yang menggunakannya untuk mencari sesuatu di
internet ataupun telepon, dan dijelaskan juga bahwa individu dengan gejala kecemasan
dimana khususnya kecemasan sosial yang lebih tinggi memiliki resiko yang lebih tinggi juga
dalam tingkat smartphone addiction.
5

Anxiety and Depression Association of America (ADAA) menjelaskan bahwa kecemasan


sosial sebagai perasaan cemas yang intens, ketakutan pada penilaian orang lain, evaluasi yang
buruk, atau penolakan yang terjadi dalam situasi sosial. Individu dengan gangguan ini
biasanya akan merasa khawatir, akan terlihat cemas, terlihat bodoh, canggung, dan
membosankan ketika berada di lingkungan sosial(Elandi & Ariana, 2019). Menurut Nevid
dkk (2005) juga menyampaikan bahwa individu dengan kecemasan sosial biasanya memiliki
ketakutan sangat intens pada situasi sosial yang bisa mereka hindari atau menahannya,
meskipun hal tersebut memberikan tekanan besar pada dirinya(Nevid,2005). Rasa khawatir
atau takut yang berlebihan ini dapat menyebabkan individu berulang kali memeriksa
smartphone untuk memperoleh kenyamanan dan hal ini dapat mengakibatkan adiksi yang
merupakan salah satu cara untuk mengatasi kecemasan yang dimana sebenarnya hal ini juga
dapat memperburuk kecemasannya(Thomas, Kandou, & Langi, 2019).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thomas,dkk (2019) untuk melihat hubungan
antara kecemasan dengan adiksi smartphone pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi Manado dengan jumlah sampel 160 menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan adiksi smartphone. Kemudian,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Darcin,dkk (2016) pada mahasiswa di Istanbul,
Turki dengan 367 responden menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara kecemasan
sosial terhadap smartphone addiction(Darcin,dkk, 2016). Selain itu juga berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Saniatuzzulfa & Wijiyanti (2019) pada mahasiswa universitas
menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara kecemasan sosial dengan smartphone
addiction, yang dimana kontribusi dari kecemasan sosial dalam penelitian tersebut adalah
11,59 %(Saniatuzzulfa & Wijiyanti, 2019).
Selain dari penelitian yang menunjukan hubungan positif antara kecemasan sosial dan
smartphone addiction, ada penelitian juga yang menunjukan bahwa kecemasan sosial
memiliki pengaruh terhadap smartphone addiction. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Elandi & Ariana (2019) untuk melihat bagaimana pengaruh kecemasan sosial terhadap
smartphone addiction pada remaja di Indonesia dengan jumlah partisipan 171 orang,
menunjukan bahwa kecemasan sosial berpengaruh terhadap smartphone addiction pada
remaja dengan nilai R sebesar 0,346 dan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05), dimana ini
menandakan bahwa kecemasan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
smartphone addiction remaja di Indonesia(Elandi & Ariana, 2019). Walaupun begitu ada juga
penelitian yang dilakukan oleh Primadiana,dkk (2019) pada SMA X Sidoarjo dengan jumlah
sampel 289 yang menunjukan bahwa dalam hal ini yang menjadi faktor yang mempengaruhi
6

dalam kecemasan sosial adalah smartphone addiction, dimana terdapat hubungan smartphone
addiction dengan kecemasan sosial pada remaja di SMA X Sidoarjo, dengan koefisien
korelasi bertanda positif yang berarti memiliki makna bahwa semakin tinggi smartphone
addiction maka kecemasan sosial juga akan semakin tinggi(Berlian Primadiana, Nihayati, &
Wahyuni, 2019).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada maka dapat disampaikan bahwa beberapa
penelitian menunjukan terdapat hubungan antara kecemasan sosial dengan smartphone
addiction . Selain itu juga terdapat satu penelitian yang menunjukan bahwa kecemasan sosial
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction, tetapi dilain sisi ada
juga penelitian yang menyampaikan bahwa yang menjadi faktor dalam mempengaruhi
kecemasan sosial adalah smartphone addiction. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai bagaimana pengaruh kecemasan sosial terhadap smartphone
addiction pada seluruh remaja yang ada di Indonesia.
7

1.2. RUMUSAN MASALAH


Apakah ada hubungan antara self-efficacy dan coping stress di masa pandemi pada
mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW angkatan 2019?

1.3. TUJUAN PENELITIAN


Untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dan coping stress di masa pandemi pada
mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW angkatan 2019.

1.1. MANFAAT PENELITIAN


Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan
mempunyai manfaat, baik manfaat teotitis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Teoritis:
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
Pendidikan Psikologi, khususnya Psikologi Klinis dalam hal coping stress di masa
pandemi pada mahasiswa. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai referensi pada
penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan self-efficacy dan coping
stress di masa pandemi pada mahasiswa serta menjadi bahan kajian lebih lanjut.
2. Praktis:
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa terutama dalam
memahami kemampuan self-efficacy yang mereka miliki untuk kemudian dapat
mengatasi stres di masa pandemi.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Coping Stress
2.2.1 Definisi Coping Stress
Coping adalah upaya kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk mengelola
persyaratan internal dan eksternal yang dianggap sebagai sumber stres dan supra-
pribadi dan bertujuan untuk menghilangkan, meminimalkan atau mentolerir stres
(Azam Kazemi dan Mehdi Kohandel, 2015). Menurut pandangan Haber dan Runyon
(1984), coping adalah semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif atau positif) yang
dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stres.
Selain itu, coping juga diartikan sebagai perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang
dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi
dalam kondisi yang penuh stres (Yani, 1997). Sedangkan menurut Lazarus &
Folkman (1984), koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku yang selalu
berubah yang dibuat individu untuk mengelola suatu situasi spesifik yang
menyebabkan stres.
Menurut Lazzarus dan Folkman, coping stress merupakan suatu proses di mana
individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu
tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan)
dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi penuh
tekanan (Lazarus & Folkman dalam Moh. Muslim, 1984). Coping stress merupakan
upaya kognitif dan tingkah laku untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal yang
khusus dan konflik diantaranya yang dinilai individu sebagai beban dan melampaui
batas kemampuan individu tersebut (Lazarus, 1996).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti mengambil definisi coping stress
yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984).

2.2.2 Aspek dan Dimensi Coping Stress


9

Beberapa ahli telah mengemukakan teorinya terkait aspek dan dimensi dalam
coping stress, beberapa diantaranya yaitu tiga aspek menurut Sullivan (2010) yaitu
Approach, Avoidance, dan Social Support. Sementara menurut Moos (1984) koping
dibagi menjadi dua jenis yakni approach (mendekati) dan avoidance (menjauhi).
1. Approach strategies meliputi usaha langsung untuk mengubah situasi yang tidak
menyenangkan.
2. Avoidance strategies dicirikan dengan tidak adanya usaha untuk mengubah
situasi yang tidak menyenangkan.
Selain itu, adapun aspek coping stress menurut Lazarus & Folkman (1984) yang
membedakan coping stres menjadi dua jenis, yaitu emotion focused coping (koping
yang berorientasi pada emosi) dan problem focused coping (koping yang berorientasi
pada masalah) adalah sebagai berikut:
1. Emotion focused coping
Strategi coping berfokus pada emosi adalah melakukan usaha-usaha yang
bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah
stressor secara langsung. Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung
dilakukan bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan
hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak
mampu mengatasi situasi tersebut. Emotion focused coping digunakan untuk
mengatur respons emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku
individu, seperti penggunaan obat penenang, bagaimana meniadakan fakta-fakta
yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif.
2. Problem focused coping
Strategi coping berfokus pada masalah adalah suatu tindakan yang diarahkan
kepada pemecahan masalah. Problem focused coping digunakan untuk
mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau
keterampilan-keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan
strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode atau fungsi
masalah ini lebih sering digunakan oleh orang dewasa.
Berdasarkan beberapa aspek atau karakteristik tersebut, peneliti memilih aspek
yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984) sebagai acuan dalam penelitian
ini untuk menentukan alat ukur yang akan digunakan dalam mengukur coping stress.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress


10

Menurut Rahmandani, Karyono, dan Dewi terdapat faktor eksternal dan faktor
internal yang mempengaruhi koping. Faktor eksternal yang mempengaruhi coping
stress yaitu dukungan sosial, penguatan positif dan tekanan dari luar. Dukungan sosial
dalam hal ini adalah adanya keterlibatan orang lain dalam menyelesaikan masalah.
Individu melakukan tindakan kooperatif dan mencari dukungan dari orang lain,
karena sumberdaya sosial menyediakan dukungan emosional, bantuan nyata dan
bantuan informasi (Siti Maryam, 2017). Sementara untuk faktor internal yang
mempengaruhi coping stress yaitu isi kognitif, karakteristik kepribadian dan sikap hati
yang terbuka. Isi kognitif salah satunya terdiri dari efikasi diri. Lazarus dan Folkman
(1984) berpendapat bahwa cara individu dalam menghadapi masalah juga dipengaruhi
oleh kepribadian, tuntutan situasi, dan peran, penilaian kognitif, kebudayaan, dan
kesenangan.

2.2. Self Efficacy


2.2.1 Definisi Self Efficacy
Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau
buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang
dipersyaratkan (Alwisol). Menurut Bandura (1995) self efficacy sebagai kepercayaan-
kepercayaan kemampuan diri secara kolektif yang memberikan gambaran terhadap
pola pikir, pengaruh, motivasi dan tindakan yang mesti seseorang itu lakukan. Selain
itu, self efficacy juga diartikan sebagai keyakinan seseorang terhadap dirinya sendiri
mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu
yang pada akhirnya akan mempengaruhi pola pikir dan kekuatan untuk bertahan
dalam menghadapi tugas tersebut (Ramadhanti, 2010).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti mengambil definisi self efficacy
yang dikemukakan oleh Bandura (1995).

2.2.2 Aspek dan Dimensi Self Efficacy


Beberapa indikator self-efficacy mahasiswa sebagai calon guru (Zuya dkk., 2016)
yaitu: keyakinan dalam penguasaan materi matematika, keyakinan memiliki
keterampilan yang cukup untuk dapat mengajar matematika dengan efektif, keyakinan
dapat membantu kesulitan yang dialami siswa selama proses pembelajaran, dan
keyakinan dalam meningkatkan pencapaian siswa dalam belajar matematika. Menurut
11

Bandura (1995), dalam menilai tingkat self-efficacy seseorang dapat melalui tiga
dimensi, diantaranya sebagai berikut:
1. Tingkat kesulitan tugas, dimana seseorang merasa mampu dalam melakukan
tugas mulai dari tugas yang mudah hingga tugas yang sangat sulit. Setiap individu
akan berbeda penilaiannya baik saat akan menghadapi tugas yan bersifat mudah
sekalipun. Dimana dalam hal ini, ada individu yang memiliki self efficacy yang
tinggi hanya pada tugas yang bersifat mudah dan sederhana, namun ada juga
individu yang memiliki self efficacy yang tinggi pada tugas yang sulit dan rumit.
2. Luas bidang tingkah laku, situasi dalam pelaksanaan tugas yang disertai oleh
perasaan yang yakin akan kemampuan diri sendiri. Dan terkadang individu dapat
merasa yakin akan kemampuan dirinya hanya pada bidang aktivitas dan situasi
tertentu atau dalam serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.
3. Kemantapan keyakinan, yakni kuatnya keyakinan yang dimiliki individu
mengenai kemampuannya, yang dalam hal ini tercermin melalui besarnya daya
tahan dalam menghadapi hambatan saat melaksanakan tugas. Seseorang yang
kurang memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas
cenderung akan mudah menyerah bila menghadapi hambatan dalam
menyelesaikan tugas.
Berdasarkan beberapa aspek dan dimensi tersebut, peneliti memilih aspek self-
efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1995) sebagai acuan yang digunakan dalam
penelitian ini untuk menentukan alat ukur yang akan digunakan dalam mengukur
tingkat self efficacy pada individu.

2.2. Mahasiswa Dewasa Awal


Orang dewasa adalah seseorang yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap
menerima kedudukannya di masyarakat bersama orang dewasa lainnya (Hurlock, 1996).
Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun. Saat
perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan
reproduktif (Hurlock, 1996). Dimana dalam hal ini, masa dewasa awal merupakan
periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan
sosial baru. Orang dewasa awal diharapkan memainkan peran baru, seperti suami/istri,
orang tua, dan pencari nafkah, keinginan-keinginan baru, mengembangkan sikap-sikap
baru dan nilai-nilai baru sesuai tugas baru (Hurlock, 1996). Sedangkan menurut
12

Mappiare (1983:15) orang dewasa awal merupakan transisi baik secara fisik, intelektual,
peran sosial dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja sehingga ciri-ciri
perkembangan masa dewasa awal tidak begitu berbeda dari masa remaja. Ciri-ciri masa
dewasa menurut Hurlock (1996) yaitu:
a. Masa dewasa awal merupakan suatu usia reproduktif, masa ini ditandai dengan
membentuk rumah tangga.
b. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah, setiap masa dalam kehidupan manusia,
pasti mengalami perubahan, yang membuat seseorang harus banyak melakukan
kegiatan penyesuaian diri dengan kehidupan perkawinan, peran sebagai orang tua
dan sebagai warga negara yang sudah dianggap dewasa secar hukum.
c. Masa dewasa awal merupakan masa yang penuh dengan masa ketegangan
emosional, ketegangan emosional seringkali ditempatkan dalam ketakutan-ketakutan
atau kekhawatiran-kekhawatiran.
d. Masa dewasa awal sebagai masa ketergantungan dan perubahan nilai.
Dalam kehidupannya, orang dewasa awal sangat perlu dan penting dalam
menyelesaikan tugas perkembangannya, agar dalam kehidupannya tidak mengalami
masalah yang berarti dan merasa bahagia menjalani kehidupan yang akan dijalani
selanjutnya. Hurlock (2009) membagi tugas perkembangan dewasa awal, sebagai
berikut: (a) mendapatkan suatu perkerjaan, (b) memilih seorang teman hidup, (c) belajar
hidup bersama dengan suami istri membentuk suatu keluarga, (d) membesarkan anak-
anak, (e) mengelolasebuah rumah tangga, (f) menerima tanggung jawab sebagai warga
negara, (g) bergabung dalam suatu kelompok sosial. Dengan demikian, masa dewasa
awal ini adalah salah satu masa perkembangan yang sangat penting terutama dalam
hubungan sosial dengan orang lain dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

2.3. Hubungan antara Self Efficacy dan Coping Stress di Masa Pandemi pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Angkatan 2019
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem pembelajaran secara daring
yang ditetapkan pemerintah sebagai sistem yang baku menyebabkan banyak dosen yang
menerapkan sistem pemberian tugas dalam pembelajaran daring melalui media sosial
(Hairani dkk, 2021). Namun bukannya memberikan kemudahan dalam memahami
materi, banyaknya tugas yang diberikan tersebut ternyata berdampak pada kondisi
psikologis mahasiswa yang semakin tertekan dengan semakin banyaknya tugas yang
13

diberikan (Hairani dkk, 2021). Mahasiswa adalah individu yang berada pada fase
perkembangan dewasa awal (Arifah, 2020). Masa dewasa awal ini (Hurlock, 1980)
adalah tahap pencarian yang penuh dengan masalah, ketegangan emosional, periode
isolasi sosial, serta perubahan nilai-nilai dan penyesuaian diri pada pola hidup.
Karena banyaknya tekanan yang kemudian berdampak pada kondisi psikologis
dimana seseorang mengalami stres, maka beberapa diantara mereka akan berusaha
melakukan coping stress. Menurut Lazzarus dan Folkman, coping stress merupakan
suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-
tuntutan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi
penuh tekanan (Lazarus & Folkman dalam Moh. Muslim, 1984). Hasil literatur yang ada
menjelaskan salah satu faktor determinan yang menjadi konstruk dari coping stress
adalah self-efficacy atau efikasi diri. Menurut Bandura (1995) self efficacy sebagai
kepercayaan-kepercayaan kemampuan diri secara kolektif yang memberikan gambaran
terhadap pola pikir, pengaruh, motivasi dan tindakan yang mesti seseorang itu lakukan.
Dalam beberapa hal coping stress dan efikasi diri mungkin merupakan dua konsep
yang berbeda, tetapi perlu kita ketahui bahwa kedua hal tersebut saling bekerja sama
(Elsavina Rizky, Zulharman, dan Devi Risma, 2014). Menurut Elsavina, dkk (2014)
individu dengan efikasi diri yang rendah bisa mudah terkena stres kronik dimana jika
individu tersebut diberikan tugas yang membuat stres, ia mungkin tidak percayabahwa ia
mampu menyelesaikan tugas tersebut dan berhenti untuk menyelesaikannya. Individu
dengan efikasi diri yang rendah ternyata memiliki permasalahan dalam penggunaan jenis
coping stress, dimana individu tersebut akan lebih memilih menghindari semua tugas dan
menyerah dengan mudah ketika muncul suatu masalah. Individu dengan efikasi diri
rendah dalam hal ini acenderung akan mengembangkan emotional focused copingnya
yang tinggi. Sedangkan individu dengan efikasi diri yang tinggi, dimana individu
tersebut akan berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi berbagai tantangan.
Seorang individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi memiliki problem focused
coping yang tinggi (Elsavina Rizky, Zulharman, dan Devi Risma, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
yang signifikan antara efikasi diri dengan coping stress (Elsavina Rizky, Zulharman, dan
Devi Risma, 2014). Selain itu, beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan koping stres kerja. Self-
efficacy adalah prediktor yang baik untuk mengatasi stress (Azadi et al, 2014). Dengan
14

demikian, tinggi atau rendahnya coping stress pada individu cenderung akan sangat
bergantung dari tinggi atau rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut.

Self Coping
Efficacy Stress

2.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hipotesis nol ( H 0): Tidak ada hubungan antara self-efficacy dan coping stress di
masa pandemi pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW angkatan 2019.
2. Hipotesis alternatif ( H 1): Terdapat hubungan antara self-efficacy dan coping stress di
masa pandemi pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW angkatan 2019.
Berdasarkan tinjauan teori dan hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan
antara self-efficacy dan coping stress di masa pandemi pada mahasiswa, maka dapat
diajukan hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara efikasi diri dengan coping stress.
Hal ini berarti bahwa hipotesis alternatif ( H 1) diterima sementara hipotesis nol ( H 0)
ditolak. Asumsinya bahwa semakin tinggi efikasi diri maka semakin tinggi coping stress
pada mahasiswa.
15

Azka, F., Firdaus, D. F., & Kurniadewi, E. (2018). Kecemasan Sosial dan Ketergantungan
Media Sosial pada Mahasiswa. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(2), 201–210.
https://doi.org/10.15575/psy.v5i2.3315
Bae, S. M. (2017). Smartphone addiction of adolescents, not a smart choice. Journal of
Korean Medical Science, 32(10), 1563–1564.
https://doi.org/10.3346/jkms.2017.32.10.1563
Berlian Primadiana, D., Nihayati, H. E., & Wahyuni, E. D. (2019). HUBUNGAN
SMARTPHONE ADDICTION DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA REMAJA
(Relationship between Smartphone Addiction with Social Anxiety in Adolescents).
PSYCHIATRY NURSING JOURNAL (Jurnal Keperawatan Jiwa), 1(1), 21–28.
Retrieved from https://www.e-journal.unair.ac.id/PNJ/article/view/14325
Detik. (2021). Gawat RSJ Cisarua Rehabilitasi Ratusan Anak Kecanduan Gadget di Jabar.
Retrieved April 15, 2022, from detik.com website: https://news.detik.com/berita-jawa-
barat/d-5495226/gawat-rsj-cisarua-rehabilitasi-ratusan-anak-kecanduan-gadget-di-jabar
Elandi, R. P., & Ariana, A. D. (2019). Pengaruh Kecemasan Sosial Terhadap Smartphone
Addiction Pada Remaja di Indonesia. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 8,
1–15.
Enez Darcin, A., Kose, S., Noyan, C. O., Nurmedov, S., Yılmaz, O., & Dilbaz, N. (2016).
Smartphone addiction and its relationship with social anxiety and loneliness. Behaviour
16

and Information Technology, 35(7), 520–525.


https://doi.org/10.1080/0144929X.2016.1158319
Indonesia Internet Provider Association. (2020). Apjii. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia, Vol. 74, p. 1. Retrieved from
https://apjii.or.id/content/read/104/503/BULETIN-APJII-EDISI-74---November-2020
Jemadu, L., & Prasatya, D. (2022). Jumlah Perangkat Seluler di Indonesia Capai 370,1 Juta
pada 2020. Retrieved April 15, 2022, from suara.com website:
https://www.suara.com/tekno/2022/02/21/165644/jumlah-perangkat-seluler-di-
indonesia-capai-3701-juta-pada-2022
Kwon, M., Kim, D. J., Cho, H., & Yang, S. (2013). The smartphone addiction scale:
Development and validation of a short version for adolescents. PLoS ONE, 8(12), 1–7.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0083558
Mi-ok, K., Heejeong, K., Kyungsook, K., Sejin, J., & Junghyun, C. (2015). Conceptual paper
on factors affecting the attitude of senior citizens towards purchase of smartphones.
Indian Journal of Science and Technology, 8(12), 83–89.
https://doi.org/10.17485/ijst/2015/v8i
Park, C., & Park, Y. R. (2014). The Conceptual Model on Smart Phone Addiction among
Early Childhood. International Journal of Social Science and Humanity, 4(2), 147–150.
https://doi.org/10.7763/ijssh.2014.v4.336
Saniatuzzulfa, R., & Wijiyanti, A. N. (2019). Smartphone Addiction Ditinjau Dari Subjective
Well Being, Kecemasan Sosial, Dan Materialisme Pada Mahasiswa Di Universitas “Y.”
Psycho Idea, 17(2), 145. https://doi.org/10.30595/psychoidea.v17i2.4029
Thomas, N. G., Kandou, D. G., & Langi, G. F. L. F. (2019). Hubungan Antara Kecemasan
Dengan Adiksi Smartphone Pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi Manado. Kesmas, 8(2), 1–6.
Vaghefi, I., & Lapointe, L. (2014). When too much usage is too much: Exploring the process
of IT addiction. Proceedings of the Annual Hawaii International Conference on System
Sciences, (January 2014), 4494–4503. https://doi.org/10.1109/HICSS.2014.553
17

Anda mungkin juga menyukai