Anda di halaman 1dari 91

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi

informasi dan komunikasi saat ini tengah berkembang sangat pesat.

Perkembangan ini tentunya memiliki dampak yang mendalam terhadap kehidupan

masyarakat seperti cara berinteraksi dan memperoleh informasi dengan cara yang

lebih praktis. Salah satu teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang

pesat saat ini adalah media sosial. Media sosial merupakan sebuah media online

dimana penggunanya dapat saling terhubung untuk berkomunikasi, berpartisipasi,

berbagi, serta untuk menciptakan suatu isi atau konten dari media tersebut

(Maludi, 2018). Penggunaan media sosial telah menjadi fenomena global yang

menguasai berbagai kalangan mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai orang

tua. Perkembangan media sosial saat ini memberikan dampak positif seperti

memudahkan komunikasi meskipun jarak jauh, berbagi ide, konten, dan

membangun hubungan kelompok. Akan tetapi, akses yang meluas melalui media

sosial menyebabkan kecanduan dan memberikan efek negatif jangka panjang pada

kehidupan akademis, keluarga, dan pekerjaan mereka (Wang, Lee, & Hua, 2014).

Kecanduan media sosial merujuk kepada kecanduan internet karena media

sosial merupakan suatu aplikasi berbasis internet. Kecanduan internet pertama kali

diperkenalkan oleh Ivan Goldberg dan dideskripsikan sebagai “sebuah patologi,

gangguan penggunaan berlebihan akan teknologi internet, yang meliputi berbagai

1
macam perilaku dan kontrol impuls yang luas (Saliceti, 2015). Media sosial

merupakan salah satu teknologi berbasis internet yang paling populer dan diminati

di Indonesia. Menurut Potenza (dalam Saliceti, 2015) kecanduan media sosial

sulit dihilangkan karena sangat terkait dengan pencarian kesenangan dan

kebahagiaan. Kecanduan terhadap media sosial tidak dapat dihindari lagi, setiap

harinya pengguna smartphone mengakses media sosial hanya untuk sekedar

mencari informasi dan hiburan di media tersebut. Data penelitian dilakukan oleh

Asosiasi Penyelenggara Jasa Interenet Indonesia (APJII, 2019) menyatakan alasan

tertinggi penggunaan internet adalah untuk sosial media yang mencapai total

persentase 51,5%. Hasil Penelitian Global Web Index (dalam Duarte, 2019)

Indonesia merupakan peringkat ke enam dengan tingkat kecanduan media sosial

yang menghabiskan 195 menit per hari untuk bermain media sosial yang

penggunaanya didominasi oleh kelompok muda berusia 16-24 tahun . Hal tersebut

sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Asosiasi

Penyelenggara Jasa Interenet Indonesia (2017) yang menujukkan bahwa pengguna

internet tertinggi di Indonesia berdasarkan rentang usia didominasi kelompok usia

dewasa awal 19-34 tahun dengan total persentase 49,52%. Kecanduan terhadap

internet pada semua kalangan usia terutama bagi generasi muda saat ini

merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hampir setiap hari perangkat mobile

serta internet merupakan hal yang selalu ada dalam genggaman tangan dan sulit

dipisahkan dari kehidupan saat ini. Perwakilan UNICEF Angela (dalam Sahrul,

2018) mengatakan bahwa “Hari ini, hampir tidak mungkin untuk menarik garis

antara online dan offline”. Perkembangan media sosial saat ini bagaikan dua mata

2
pisau yang perlu mendapatkan perhatian. Tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik

manfaat internet juga menimbulkan dampak negatif yang mengkhawatirkan, mulai

dari kecanduan media sosial, kekerasan, penipuan dan pornografi yang semuanya

berawal dari dunia maya. Hal tersebut mendorong pemerintah mencanangkan

program Internet Cerdas, Kreatif, dan Produktif (INCAKAP) dan program

Internet Sehat dan Aman (INSAN) untuk mensosialisasikan cara menggunakan

internet secara bijak dan meminimalkan dampak negatif intertet di kalangan

masyarakat khususnya pemuda dan pelajar selaku pengguna internet tertinggi di

Indonesia (Kominfo, 2018)

Wang, Lee, & Hua (2015) mengatakan bahwa individu yang mengalami

kecanduan media sosial disebabkan oleh perilaku maladaptif atau kegagalan

beradaptasi dalam menggunakan media sosial. Kecanduan internet atau media

sosial sendiri memang belum tercantum dalam Diagnostic Mental Disorder-V

(DSM-V), beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab perilaku

maladaptif ini juga bisa disebabkan karena sistem neural dalam otak yang sama

dengan individu yang mengalami kecanduan obat-obat terlarang dan perjudian

(Turel, He, Xue, Xiao, & Bechara, 2014). Penyebab kecanduan media salah

satunya berhubungan dengan terjadinya mekanisme kimia dan biologis yang

terjadi di otak. Otak manusia membutuhkan pengetahuan atau informasi karena

bagi otak informasi merupakan sesuatu yang diibaratkan sebagai suatu hadiah

(Anna, 2019). Melalui sosial media, seseorang akan memperoleh informasi baru

sehingga hal tersebut memberikan feeling of rewards atau rangsangan

penghargaan yang dikeluarkan oleh senyawa kimia di otak yang bernama

3
dopamine yang merupakan suatu substansi membuat perasaan bahagia. Hal ini

sejalan dengan penelitian Pinel (2009) yang menyatakan bahwa dopamine terlibat

dalam reward manusia dan pada kecanduan manusia secara khusus.

Kecanduan media sosial dapat menurunkan kemampuan bagian otak yang

bernama prefrontal cortex. Prefrontal cortex berfungsi sebagai neuropsikiatri

(perencanaan, pengorganisasian, pemecahan masalah, fokus perhatian,

kepribadian) dan fungsi motorik serta memediasi fungsi intelektual yang lebih

tinggi (higher cognitive functions) termasuk emosi dan perilaku (Yan zhou, hao lei

dkk dalam Young & Abreu, 2017). Pada wilayah ini otak terlibat dalam

perencanaan perilaku kognitif yang kompleks, ekspresi kepribadian, pengambilan

keputusan dan perilaku sosial yang benar. Hal yang sama terjadi juga pada

kecanduan internet game online seperti yang diungkapkan oleh Linden (dalam

psychology today, 2011) bahwa dengan bermain game secara berlebihan akan

mengaktifkan banyak bagian dalam otak, termasuk bagian yang berhubungan

dengan proses visual, pengelolaan perhatian, fungsi motorik, dan integrasi

sensomotorik. Sirkuit otak yang mengaktifkan kesenangan juga ikut terangsang

saat bermain game, termasuk nucleus accumbens (bagian otak yang memproses

penghargaan), amygdala (bagian otak yang memproses respon emosional), dan

orbitofrontal cortex (bagian otak yang memproses aktivitas visual).

Penggunaan internet yang berlebihan dapat diamati melalui durasi waktu

dalam menggunakan internet. Penelitian The Graphic, Visualization & Usability

Center, the Georgia Institute of Technology (Surya dalam Suhartini, 2018)

menetapkan indikator individu yang kecanduan internet pada golongan heavy

4
users adalah individu yang menggunakan internrt lebih dari 40 jam per bulan atau

6 jam/hari. Data dari ICCA (Indonesian Contact Center Association) manyatakan

bahwa pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktunya sebanyak 3

jam dalam sehari untuk bermedia sosial. Maka dalam sebulan pengguna internet

menggunakan waktunya rata-rata sebanyak 84 jam. Intensitas penggunaan internet

tersebut termasuk memiliki kecenderungan Heavy Users (Anugrah, 2014).

Kecanduan internet merupakan pemakaian internet secar terus-menerus

sehingga dapat mengganggu berbagai aspek kehidupan pemakainya. Hal ini akan

berpengaruh dalam kehidupan sosial sehingga menganggu fungsi profesional dan

personal yang berdampak buruk terhadap wellbeing seseorang (Caplan, 2002).

Berdasarkan survei Global Web Index pada Januari 2015, pengguna internet

mengakses melalui tablet atau PC yaitu 5 jam 6 menit, sedangkan melalui gadget

mencapai 3 jam 52 menit per hari. Pengguna media sosial mengakses akun

mereka melalui berbagai media durasinya mencapai 2 jam 52 menit per hari

sehingga dalam seminggu rata-rata penggunaan internet sebanyak 21 jam. Hal

tersebut didukung pada hasil wawancara salah satu individu dewasa awal dengan

inisial AD (2019), yang mengaku memiliki sekitar enam akun media sosial yakni

Twitter, Telegram, Path, Instagram, Line, dan Facebook. Dirinya (AD) mengaku

bahwa ia biasa mengecek akun media sosialnya setiap 15 menit sekali

(Wawancara pribadi, 2019). Pada kurun waktu tersebut, ia menghabiskan sekitar

10 menit untuk memindai aktivitas jejaring sosialnya setiap kali login. Artinya

setiap 15 menit yang ia habiskan, AD hanya akan mengalokasikan 5 menit

diantaranya untuk benar-benar berinteraksi dengan orang di dunia nyata. Hal yang

5
sama terjadi di Indian Institutes of Technology (ITTS), universitas teknik

terkemuka yang membatasi penggunaan internet dan media sosial di kampus pada

malam hari karena mendapatkan laporan mengenai tindakan bunuh diri terkait

dugaan perilaku antisosial yang dipicu oleh penggunaan internet secara berlebihan

(Swaminath, dalam Young & Abreu, 2017)

Situs jejaring media sosial menjadi suatu alternatif untuk menjalin

komunikasi dan keakraban bagi kebanyakan orang, termasuk individu-individu di

masa dewasa awal untuk menjalin komunikasi secara virtual. Pikiran yang selalu

terekspos internet menimbulkan keasyikan tersendiri sehingga seseorang

mengalami masalah atau mempunyai risiko kehilangan hubungan pribadi,

kehilangan pekerjaaan, kehilangan kesempatan pendidikan, dan kehilangan karir

(Nurmandia, Wigati, & Masluchah, 2013). Hal yang sama dikemukakan oleh

Engelberg (2004) bahwa dengan bersosialisasi melalui internet, seperti media

social, chat room, dapat meningkatkan rasa kesepian karena penggunaannya

menjadi begitu memakan waktu lama sehingga merusak fungsi normal dalam

ranah sosial dan yang terkait dengan pekerjaan.

Widiana, dkk (2004), menyebutkan seorang pecandu internet akan

menghabiskan waktu berjam-jam bahkan secara ekstrem berhari-hari berada di

depan komputer untuk online. Pecandu internet merasakan rasa perpindahan

ketika online dan tidak mampu mengelola aspek-aspek utama dari kehidupan

individu termasuk keterampilan sosial karena individu tersebut keasyikan online.

Individu mulai kehilangan waktu yang penting di tempat kerja, menghabiskan

lebih sedikit waktu dengan keluarga. Individu mengabaikan hubungan sosial

6
dengan teman-teman individu, rekan kerja, dan dengan komunitas individu, dan

akhirnya, hidup individu menjadi tidak terkendali karena internet (Greenfield

dalam Ningtyas, 2012).

Kecanduan internet dapat digolongkan dalam kecanduan karena

menunjukkan perilaku dan karakteristik umum dengan jenis kecanduan lainnya,

seperti kehilangan kendali, munculnya sindrom abstinensi, ketergantungan

psikologis yang kuat, gangguan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, dan

hilangnya minat pada aktivitas lain (Echeburúa & Amor, 2001). Kecanduan

internet menghasilkan dampak negatif pada keterampilan sosial individu yang

mengakibatkan individu terisolasi dari aktivitas sosial yang sehat sehingga

menyebabkan peningkatan perasaan kesepian (Kim, LaRose, & Peng, 2009).

Menurut Erikson (dalam Papalia 2009) individu dalam rentang usia 18-40

tahun merupakan individu yang berada pada tahap perkembangan kehidupan

dewasa awal. Perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas penting masa

dewasa awal(Erikson dalam Papalia, 2009). Kebutuhan untuk membentuk

hubungan yang kuat, stabil, dekat, dan penuh perhatian merupakan motivator

penting dari tingkah laku manusia. Unsur penting dari keintiman adalah

pengungkapan diri (self-disclosure) yaitu membuka informasi penting tentang diri

sendiri kepada orang lain (Collins & Miller dalam Papalia, 2009). Pada tahap

perkembangan dewasa awal dituntut untuk dapat memiliki keterampilan sosial dan

emosional, karena jika dewasa awal tidak memiliki kemampuan tersebut maka

kemungkinan besar untuk gagal dalam membangun keintiman dengan individu

lainya, sehingga ia dapat mengalami keterkucilan atau isolasi sosial dari

7
lingkungannya yang kemudian dapat mempengaruhi hubungan interpersonalnya

(Santrock, 2009).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwiutami (2013)

menjelaskan terdapat dampak positif dari kecanduan media sosial yaitu semakin

tinggi kecanduan pada situs media sosial maka akan semakin baik keterampilan

sosial pada dewasa awal. Menurut penelitian tersebut melalui situs-situs jejaring

sosial para pecandu tetap dapat melakukan interaksi sosial meskipun tidak terjadi

kontak fisik, antara lain dalam bentuk chat dan berbalas komentar. Hal tersebut

dapat melatih dewasa awal untuk lebih terampil secara sosial dan peka secara

emosional tidak hanya meliputi kemampuan individu dalam bersosialisasi, tetapi

juga pada dimensi emosionalnya. Valkenburg & Peter (2011) menyatakan Media

sosial sebagai sarana komunikasi online memberikan dampak positif secara

personal maupun sosial seperti dapat meningkatkan self-esteem, membentuk

hubungan baru, meningkatkan kualitas pertemanan dan mampu meningkatkan

eksplorasi diri secara seksual.

Penelitian lainnya oleh Abadi, Sukmawan & Utari (2013) mengatakan

bahwa individu yang mengalami kecanduan media sosial menjadikan media sosial

sebagai sarana komunikasi yang mempengaruhi perkembangan komunikasi

hubungan sosial di dunia nyata. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Dewi (2016) menjelaskan bahwa individu yang mengalami adiksi

internet dapat menimbulkan masalah akademis dan fungsi hubungan sosial

lainnya.

8
Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian-penelitian sebelumnya

mengenai kecanduan media sosial terhadap keterampilan sosial terdapat hasil

yang positif dan negatif. Beberapa penelitian juga telah meneliti bagaimana

kecanduan media sosial dan keterampilan sosial sering kali dikaitkan dengan

kalangan mahasiswa. Sehubungan dengan fenomena tersebut, maka penulis

tertarik untuk mengkaji lebih dalam sejauh mana dampak kecanduan media sosial

berkaitan dengan keterampilan sosial dan ingin meneliti dengan subjek yang lebih

meluas pada usia dewasa awal tidak hanya pada kalangan mahasiswa.

B. Rumusan Masalah

Media sosial merupakan sarana untuk komunikasi dan bertukar informasi

meskipun dalam posisi jarak jauh. Penggunaan media sosial menguasai berbagai

kalangan termasuk dewasa awal. Perkembangan media sosial saat ini memberikan

dampak positif dengan akses yang meluas seperti memudahkan komunikasi

meskipun jarak jauh, berbagi ide, konten, dan membangun hubungan kelompok.

Akan tetapi, akses yang meluas melalui media sosial menyebabkan kecanduan dan

dapat memberikan efek negatif pada kehidupan akademis, keluarga, pekerjaan,

dan hubungan sosial mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan

masalah yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan antara

kecanduan internet media sosial dengan keterampilan sosial pada dewasa awal?”

9
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris apakah terdapat

hubungan antara kecanduan media sosial dengan keterampilan sosial pada dewasa

awal.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

bermanfaat terutama bagi perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi

sosial, psikologi perkembangan, dan psikologi klinis. Serta dapat memberikan

gambaran antara hubungan kecanduan internet dengan keterampilan sosial

pada mahasiswa serta dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi

penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Bagi dewasa awal hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi

untuk menggunakan media sosial secara bijak sehingga mampu memiliki

keterampilan sosial yang baik.

Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi mengenai

pengaruh media sosial terhadap keterampilan sosial serta dapat digunakan

untuk melakukan pengembangan program untuk meningkatkan keterampilan

sosial dengan memantau penggunaan internet sehingga tidak terjadi kecanduan

pada media sosial.

10
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Media sosial

1. Pengertian Media Sosial

Media sosial adalah media online dimana penggunanya dapat

saling terhubung untuk berkomunikasi, berpartisipasi, berbagi, serta

menciptakan suatu isi atau konten dari media tersebut (Maludi, 2018).

Kaplan dan Haenlein (2014) mengatakan bahwa media sosial

merupakan suatu kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun

berdasarkan kerangka pemikiran dari ideologi dan teknologi dari Web

2.0 dan membuat terjadinya kreasi serta pertukaran informasi dan

merupakan dasar dari terbentuknya sosial media.

Istilah media sosial mengacu pada suatu ruang lingkup yang

berbasiskan internet serta layanan mobile secara luas yang

memungkinkan penggunanya dapat berpartisipasi pada pertukaran

online, memberikan user created content, dan bergabung dalam

komunitas online (Dewing, 2012). Akan tetapi, menurut Osteriede

(2013) kemampuan individu dalam membagikan konten ke sesama

pengguna merupakan suatu prinsip inti dari media sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa media

sosial merupakan suatu layanan aplikasi mobile yang dibangun melalui

suatu teknologi berbasis internet dan dapat membuat penggunanya

11
untuk dapat saling berkomunikasi serta melakukan berbagai pertukaran

informasi secara online.

B. Kecanduan Media Sosial

1. Pengertian Kecanduan Media sosial

Kecanduan media sosial merupakan salah satu jenis bentuk

kecanduan yang disebabkan oleh teknologi internet atau yang lebih

dikenal dengan internet addiction disorder (IAD). Kecanduan media

sosial merupakan keadaan dimana individu mengalami dorongan untuk

menggunakan media sosial secara berlebihan (Griffiths, 2000). Hal

tersebut sesuai dengan pengertian yang diungkapkan Saliceti (2015)

bahwa kecanduan media sosial adalah kebiasaan, keadaan patologi

yang sulit dihilangkan karena sangat terkait dengan pencarian

kesenangan dan kebahagiaan.

Young (1988) menyatakan bahwa Internet addiction atau

kecanduan internet merupakan ketidakmampuan seseorang dalam

mengontrol penggunaan interenet, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan kesulitan psikologis, sosial, dan pekerjaan pada

kehidupan sehari-hari. Menurut Byun dkk (2009) kecanduan internet

adalah suatu tindakan kompulsif atau ketergantungan yang tak

terkendali terhadap internet, yang menyebabkan gangguan psikologis

seseorang baik secara mental dan emosional mauupun respon fisiologis

yang parah.

12
Berdasarkan definisi di atas mengenai kecanduan media sosial,

dapat disimpulkan bahwa kecanduan media sosial merupakan perilaku

kompulsif terhadap penggunaan internet khususnya pada media sosial

sehingga hal tersebut menyebabkan kehilangan kemampuan dalam

mengontrol perilaku penggunaan internet yang dapat berakibat

gangguan psikologis baik secara mental, emosi, serta interaksi dengan

dunia nyata.

2. Kriteria Kecanduan Media Sosial

Kecanduan media sosial merupakan kecanduan psikologis seperti

halnya Internet Addiction Disorder (IAD). Menurut Young (1996)

terdapat delapan kriteria pada individu yang mengalami kecanduan

internet, yaitu:

a. Merasa antisipasi dalam menggunakan internet, yaitu adanya

keinginan yang kuat untuk menggunakan media sosial, berpikir

tentang aktivitas online sebelumnya atau mengantisipasi kegiatan

online berikutnya (Tao, Huang, Wang, Zhang, dan Li, 2010).

b. Penggunaan yang berlebihan yaitu membutuhkan waktu tambahan

untuk mencapai kepuasan yang diinginkan sewaktu menggunakan

media sosial. Untuk mengukur tingkat kecanduan penggunaan media

sosial seseorang dapat dilihat dari intensitas waktu dalam

menggunakan media sosial tersebut sehingga dapat membentuk

perilaku kecanduan. Penggunaan yang berlebihan disini mencakup

penggunaan internet di luar kegiatan akademik maupun kegiatan

13
pekerjaan atau bisnis. Pengguna media sosial akan mengakses lebih

lama dari niat awal menggunakan media sosial. Seseorang akan

menjadi gelisah, tidak tenang, moody, murung, depresi, mudah

tersinggung atau lekas marah ketika berusaha mengurangi atau

menghentikan penggunaan internet (Young, 1996; Beard & Wolf,

2001). Penggunaan waktu yang dihabiskan secara berlebihan dijadikan

patokan untuk dapat menilai apakah seseorang mengalami kecanduan

media sosial. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dikemukakan

oleh The Graphic, Visualization & Usability Center, the Georgia

Institute of Technology yang menetapkan dan menggolongkan

pengguna internet ke dalam 3 tahapan berdasarkan intensitas.

1. Heavy Users (lebih dari 40 jam per bulan) atau sekitar 6 jam per hari

2. Medium Users (lebih dari 10-40 jam per bulan) atau 3-6 jam per hari

3. Light Users (lebih dari 10 jam per bulan) kurang dari 3 jam per hari

Pengguna internet dibedakan menjadi pengguna internet secara

normal (Non Dependent) yang menggunakan internet untuk mencari

informasi dalam jangka waktu 4-5 jam per minggu. Sedangkan

pengguna secara adiktif (Dependent) menggunakan internet untuk

melakukan hubungan pertemanan dan mempertahankan relasi serta

digunakan untuk bertukar pendapat dan perasaan, penggunanya

memakai durasi waktu internet antara 20-80 jam per minggu dengan

15 jam per online (Young dalam Widiana, 2004). Akan tetapi,

penggunaan waktu tidak selalu dapat dijadikan patokan secara

14
langsung dalam mendiagnosis kecanduan media sosial karena

mengingat popularitas internet maupun media sosial, sering kali sulit

untuk mendeteksi dan mendiagnosis kecanduan akan media sosial,

karena bisnis atau pekerjaan lainnya serta penggunaan pribadi lainnya

seringkali menutupi perilaku adiktifnya (Young dan Abreu, 2011).

c. Tidak mampu mengontrol, mengurangi, atau menghentikan

penggunaan internet. Pengguna tidak terbiasa tanpa internet atau media

sosial dalam aktivitas kesehariannya sehingga ketika tidak tersambung

dengan jaringan internet maka mereka cenderung akan mengalami

perubahan mood dan mudah merasa cemas karena tidak dapat untuk

mengecek notifikasi atau kegiatan yang sedang terjadi pada akun

media sosialnya.

d. Merasa gelisah, murung, depresi, mudah marah ketika berusaha

mengurangi ataupun menghentikan penggunaan internet.

e. Mengakses internet atau media sosial lebih lama dari rencana awal

ketika menggunakan media sosial.

f. Berani kehilangan segala sesuatu yang berarti. Kriteria ini

dimaksudkan bahwa individu berani mempertaruhkan atau mengambil

resiko untuk kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya

hanya demi kepentingan berinternet. Misalnya, hubungan dengan

orang terdekat (significant others) seperti orang tua, kemudian

pekerjaan, pendidikan, bahkan kesempatan berkarir

15
g. Melakukan kebohongan pada anggota keluarga, terapis, dan orang-

orang terdekat dalam menyembunyikan keterlibatan lebih jauh dengan

internet atau media sosial.

h. Menggunakan media sosial dalam menyelesaikan masalah atau

menutupi perasaan dysphoric seperti perasaan tidak berdaya, rasa

bersalah, kegelisahan ataupun depresi sebagai jalan keluar dari

permasalahan-permasalahan tersebut.

Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

kriteria dari kecanduan internet antara lain tidak mampu untuk

mengontrol pemakaian internet, waktu yang digunakan untuk

mengakses internet lebih lama dari yang sudah direncanakan,

menghabiskan banyak waktu dan juga uang dalam menggunakan

internet, mudah merasakan gelisah, cemas, dan depresi ketika

mengurangi penggunaan internet, menggunakan internet sebagai

tempat pelarian diri dari masalah, menarik diri ketika tidak

menggunakan internet atau ketika lagi offline, berbohong tentang

penggunaan internet pada keluarga, teman, sehingga hubungan sosial,

pendidikan dan pekerjaan menjadi terganggu.

3. Dampak Kecanduan Media Sosial

Menurut Suler (dalam Widiana dan Sariroh, 2016) terdapat enam

dampak negatif akibat dari kecanduan internet, yaitu:

a. Lebih mementingkan diri sendiri.

b. Malas untuk melakukan suatu kegiatan ataupun kewajiban.

16
c. Kurangnya perilaku sopan santun dan malas melakukan

komunikasi di dunia nyata.

d. Perubahan pola hidup karena menghabiskan sebagian waktunya

untuk media sosial.

e. Pola istirahat yang berkurang sehingga berdampak pada kesehatan.

f. Mengabaikan keluarga, teman, serta lingkungan sehingga terjadi

ketidakpekaan yang menurunkan keterampilan sosial.

Berdasarkan dampak kecanduan media sosial yang telah

dipaparkan dari penelitian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan

bahwa untuk dapat menilai seseorang mengalami kecanduan media

sosial adalah dengan melihat perilaku negatif yang ditimbulkan dari

kecanduan tersebut. Keberadaan media sosial menyebabkan individu

lebih senang untuk berinteraksi secara online dibandingkan

berinteraksi secara tatap muka sehingga hubungan sosialisasi

terabaikan. Perilaku negatif yang muncul akibat kecanduan media

sosial ialah perasaan mudah merasa gelisah, murung, depresi, mudah

marah ketika berusaha mengurangi ataupun menghentikan

penggunaan internet karena tidak mampu untuk mengontrol,

mengurangi, atau menghentikan penggunaan internet dan selalu

membutuhkan waktu tambahan untuk mencapai kepuasan yang

diinginkan sewaktu menggunakan media sosial Young (1996).

17
C. KETERAMPILAN SOSIAL

1. Definisi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan dalam mengirimkan,

menerima, dan mengontrol informasi verbal maupun nonverbal

sehingga tercipta interaksi sosial yang positif (Riggio, 1986). Menurut

Menurut Gresham dan Elliot (2011) keterampilan sosial merupakan

suatu hal yang dipelajari untuk membentuk perilaku dalam situasi

tertentu yang memprediksikan suatu hasil interaksi sosial yang penting

bagi individu seperti penerimaan teman sebaya, popularitas, penilaian

orang lain dan tingkah laku sosial yang berkaitan secara konsisten.

Menurut Kelly (dalam Merrel dan Gimpel, 1998) menjelaskan bahwa

keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang

digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam

lingkungan. Hargie, Saunders, & Dickson (dalam Merrel & Gimpell,

1998) menjelaskan keterampilan sosial sebagai keterampilan yang

digunakan ketika berinteraksi pada tingkat interpersonal dengan orang

lain, yang diarahkan pada tujuan, saling terkait, sesuai dengan situasi,

unit perilaku yang dapat diidentifikasi, dan perilaku yang dipelajari.

Keterampilan sosial menurut Wu (2008) adalah sekumpulan

kemampuan untuk memahami aturan sosial, memahami pesan verbal

maupun nonverbal dan juga kemampuan untuk menyesuaikan perilaku

dalam berbagai situasi.

18
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan

bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki individu

melalui proses belajar untuk melakukan interaksi sosial baik secara

verbal maupun nonverbal untuk menjaga hubungan yang sehat dengan

orang lain disekitarnya dimana hal tersebut merupakan dasar hubungan

interpersonal terbentuk melalui proses kognitif.

2. Dimensi Keterampilan Sosial

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riggio (1986)

terdapat enam dimensi keterampilan sosial, yaitu:

a. Emotional Expressivity

Mengacu pada keterampilan umum dalam

mengkomunikasikan pesan nonverbal. Dimensi ini mencerminkan

kemampuan individu dalam mengekspresikan diri secara spontan

dan akurat, serta mampu merasakan keadaan emosional sebaik

dengan kemampuan dalam mengekspresikan perilaku secara non-

verbal. Individu yang memiliki emotional expressivity tinggi

merupakan individu yang dapat dikarakteristikan sebagai individu

yang emosional. Individu yang memiliki emotional expressivity

tinggi dapat terpengaruh secara emosional atau menginspirasi

orang lain karena kemampuannya memperlihatkan keadaan

emosional yang mereka rasakan.

19
b. Emotional Sensitivity

Mengacu pada keterampilan individu dalam menerima dan

menginterpretasikan komunikasi nonverbal dengan orang lain. Hal

itu berkaitan erat dengan sensitivitas nonverbal, individu dengan

emotional sensitivity yang tinggi terkait dengan kewaspadaan

dalam mengamati isyarat emosi nonverbal orang lain mampu

menginterpretasikan komunikasi emosional dengan cepat dan

efisien meskipun pesat tersebut tidak disampaikan secara terang-

terangan, mereka mungkin lebih mudah tersentuh atau terangsang

emosi oleh orang lain dan mudah bersimpati dengan keadaan

emosi yang sedang dialami orang lain.

c. Emotional Control

Merupakan kemampuan umum dalam mengontrol dan

meregulasi emosinya. Individu dengan emotional control yang

tinggi kemungkinan dapat memainkan emosi dengan baik, mampu

menimbulkan emosi dengan isyarat, dan mampu menggunakan

konflik emosi sebagai isyarat untuk menyembunyikan keadaan

emosional (misalnya, tertawa tepat pada lelucon; memasang wajah

ceria untuk menutupi kesedihan).

d. Social Expressivity

Pada umumnya mengacu pada keterampilan berbicara

secara verbal dan kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam

interaksi sosial. Social expressivity ini mengukur kemampuan

20
individu dalam ekspresi verbal dan kemampuan untuk melibatkan

orang lain dalam kegiatan sosial. Orang yang memiliki social

expressivity yang tinggi tampil ramah tamah dan suka berteman

karena mereka memiliki kemampuan untuk memulai percakapan

dengan orang lain.

e. Social Sensitivity

Merupakan kemampuan untuk memecahkan serta

memahami komunikasi verbal yang disampaikan orang lain dan

pengetahuan umum tentang norma-norma yang mengatur

perilaku sosial dengan tepat. Perhatian orang yang memiliki

social sensitivity tinggi dengan perilaku sosial yang tepat dapat

menyebabkan kesadaran diri dan kecemasan sosial yang dapat

menghambat partisipasi orang dalam interaksi sosial.

f. Social Control

Mengarah pada keterampilan dalam menempatkan diri pada

lingkungan sosial. Social control mengukur kemampuan dalam

menempatkan diri, bermain peran dan bagaimana cara individu

mempresentasikan atau membawakan diri didepan orang lain.

Individu yang memiliki social control yang tinggi pada

umumnya bijaksana, terampil secara sosial, dan percaya diri.

Selain itu, mereka terampil dalam memainkan peran, mampu

memainkan berbagai peran sosial dan dapat dengan mudah

mengambil sikap tertentu atau orientasi dalam diskusi. Individu

21
social control yang tinggi secara sosial memiliki sikap bijaksana,

karena itu mereka mampu menyesuaikan perilaku pribadi agar

sesuai dengan apa yang mereka anggap sesuai dengan situasi

sosial tertentu.

Menurut Wu (2008) keterampilan sosial merupakan

sekumpulan keterampilan atau kemampuan yang dimiliki oleh

individu untuk dapat memahami aturan sosial di lingkungannya

berada, keterampilan dalam memahami pesan melalui verbal

maupun nonverbal serta kemampuan menyesuaikan perilakunya

dalam berbagai kondisi dan situasi. Berdasarkan penelitian

tersebut Wu (2008) mengidentifikasi keterampilan sosial ke

dalam tiga dimensi yaitu, antara lain:

a. Social Presentation

Keterampilan memahami dan memainkan peran sosial

yang tepat. Individu yang memiliki social presentation yang

baik mampu mengungkapkan pesan verbal dan nonverbal

sesuai dengan aturan dan norma sosial di lingkungan

tempatnya berada. Pesan yang disampaikan secara nonverbal

sangat penting untuk membangun hubungan interpersonal

dengan individu lain, sedangkan pesan verbal penting dengan

tujuan dapat bertukar informasi serta untuk melengkapi

tugas-tugas dalam lingkungan sosial hal tersebut

dikemukakan oleh Trower, Bryant, & Argyle, 1978 (dalam

22
Wu, 2008). Social Presentation yang efektif tidak hanya

melibatkan keterampilan dalam mengungkapkan pesan verbal

dan nonverbal tetapi juga keterampilan berupa keterampilan

untuk mengikuti aturan sosial. Aturan sosial menentukan

suatu perilaku sosial yang sesuai. Ketika seseorang

melanggar aturan sosial akan terdapat kerugian yang

didapatkan oleh individu tersebut yang berdampak akan

mengurangi kemampuan individu untuk berinteraksi secara

sosial yang juga merupakan bagian dari keterampilan sosial.

Menurut Schlenker (dalam Wu, 2008) individu yang mampu

untuk berperilaku sesuai dengan aturan sosial maka akan

mampu juga untuk berperan penting dalam konteks sosial,

dan peran ini berhubungan dengan perilaku yang dirasakan

dan diharapkan dalam situasi sosial. Individu yang

berperilaku berdasarkan peran yang sudah ditentukan dalam

lingkungan sosialnya dengan peran sosial yang diharapkan

mampu untuk berkontribusi menciptakan keefektifan sosial

diantara individu pada suatu sistem sosial yang sama. Pada

beberapa individu mungkin tidak akan mampu untuk

berperan sesuai dengan perannya di lingkungan sosial mereka

secara baik karena mereka memilih untuk berperilaku dengan

cara yang berbeda. Hal-hal yang mencakup dalam social

presentation adalah kemampuan untuk berbicara secara

23
verbal serta kemampuan untuk memulai percakapan dengan

orang lain di lingkungannya.

b. Social Scanning

Suatu keterampilan dalam hal mengamati serta

memahami pesan verbal maupun nonverbal dari orang lain.

Social scanning bukan hanya sekedar keterampilan untuk

mendengarkan secara aktif tentang apa yang disampaikan

oleh orang lain tetapi juga mampu memahami batasan

perbincangan. Menurut Burgoon & Bacue (2003)

kemampuan memahami pesan nonverbal bertujuan baik

untuk dapat meningkatkan interaksi sosial yang

mempengaruhi inisiasi, penghentian dan kelanjutan interaksi.

Pada umumnya kemampuan nonverbal yang baik

memberikan dampak yang positif untuk dapat memahami

serta mengenali suatu tanda atau isyarat halus yang

memungkinkan individu untuk mengetahui perannya yang

sesuai di suatu kondisi atau situasi. Individu sering

menggunakan pesan nonverbal untuk memberi tanda tidak

dapat mengungkapkannya secara verbal dan ingin

meninggalkan interaksi sosial untuk sementara. Bahasa

nonverbal juga dapat digunakan ketika sedang berbicara dan

untuk mengganti topik pembicaraan yang tidak diinginkan.

Individu yang memiliki keterampilan ini yaitu keterampilan

24
untuk membaca atau memahami serta mengamati perubahan

yang terjadi di sekitar lingkungannya maka individu tersebut

mampu untuk berperilaku lebih efektif secara sosial karena

individu tersebut akan menyesuaikan perilakunya dengan

kondisi individu di sekitarnya.

c. Social Flexibility

Keterampilan untuk berperilaku fleksibel dalam

menghadapi adanya perubahan lingkungan. Hal ini sangat

penting dalam mencapai interaksi sosial yang efektif.

Spitzberg (2003) berpendapat bahwa kemampuan

Fleksibilitas diartikan sebagai salah satu ciri khas dari

kemampuan interpersonal dan keterampilan sosial karena

interaksi sosial tidak selalu sama dan tetap di setiap waktu.

Hal–hal yang mencakup dalam fleksibilitas sosial ialah

keterampilan untuk menyesuaikan perilaku serta peran sosial

ke peran sosial yang lainnya sehingga dapat selaras dan

sesuai dalam berbagai situasi.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial

Menurut hasil penelitian Davis dan Forsythe (dalam Mu’tadin,

2002), faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial (social

skill) yaitu:

25
a. Keluarga

Kualitas hubungan dengan orang tua merupakan kunci bagi

pengembangan keterampilan kompetensi sosial. Kualitas hubungan

sosial dan keterampilan sosial yang baik memainkan peran dalam

perkembangan psikologis yang sehat, kesuksesan akademik, dan

bahkan dalam kehidupan berhubungan, seperti perkawinan dan

orangtua (Hair, Justin, & Garrett, 2002). Perlakuan yang salah

dapat mengakibatkan dampak yang besar pada individu dalam

kehidupan sosialnya. Menurut Santrock (2007) kegagalan dalam

memenuhi kebutuhan dasar ketika masa perkembangan awal dapat

menyebabkan perasaan penolakan seperti tidak adanya perhatian

dan kasih sayang. Dampak yang ditimbulkan dari kurangnya

perhatian dan kasih sayang yaitu individu tersebut akan mencari

aktivitasnya sendiri melalui media sosial, bermain playstation,

video games dsb. Hal tersebut jika dilakukan secara berlebihan

dapat menyebabkan kecanduan yang dapat menimbulkan sifat

individualistik kurang peka terhadap lingkungannya yang

berdampak pada keterampilan sosial yang rendah.

b. Pendidikan

Secara umum proses pendidikan didapatkan di bangku

sekolah dan perguruan tinggi. Terdapat beberapa nilai yang perlu

dipelajari dan diajarkan di sekolah selain akademik, yang dinamai

sebagai Mega Skills, antara lain: percaya diri, motivasi, usaha,

26
tanggung jawab, inisiatif, kemauan kuat, kasih sayang, dan kerja

sama. Karakter kerja sama merupakan karakter yang harus dimiliki

agar dapat hidup berdampingan dengan baik antara individu yang

satu dengan individu yang lain (Zuchdi dkk dalam Dewi 2016).

Namun demikian terkadang terdapat benturan dan konflik ketika

individu yang satu dengan individu yang lain harus bekerja sama.

Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kemampuan yang tidak

dimiliki individu dalam bersosialisasi diantaranya yaitu

kemampuan untuk berkomunikasi dan kemampuan untuk

berinteraksi. Funder dan Block (dalam Widiana, 2004) menyatakan

pentingnya keterampilan kognitif dan control impuls didapatkan

pada proses pendidikan. Keterampilan kognitif berguna dalam

membuat pertimbangan terhadap tindakan yang dilakukan.

Keterampilan kognitif tersebut dapat meningkatkan kemampuan

untuk membuat pertimbangan sosial dan mengontrol perilakunya

(Elkind & Weiner dalam Widiana, 2004).

c. Lingkungan

Perilaku seseorang dan lingkungan berhubungan timbal balik,

individu mempengaruhi lingkungan sosial sementara itu

lingkungan juga mempengaruhi individu tersebut, sementara itu

peristiwa yang terjadi pada lingkungan akan memodifikasi atau

mengontrol respon individu (Dowd & Tierney, 2005). Menurut

27
Lunadi (1994) lingkungan terdiri atas lingkungan fisik dan

lingkungan sosial. Lingkungan fisik seseorang berbeda dari

lingkungan satu dengan lingkungan lainnya karena adanya norma

yang berbeda. Lingkungan Sosial yaitu yang mempengaruhi

individu dalam berkomunikasi yang dapat membantu melatih

meningkatkan keterampilan sosial seseorang. Kecanduan media

sosial dapat menimbulkan konflik pada kehidupan seseorang yang

mengakibatkan mereka mengabaikan kehidupan sosial. Selain itu

juga mengakibatkan kehilangan orang-orang terdekat, pekerjaan,

kesempatan pendidikan atau karir (Beard & Wolf, 2001). Dengan

adanya konflik pada pengguna media sosial dengan lingkungan

sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dalam tugas lainnya

(pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) yang mengakibatkan

terlalu banyak menghabiskan waktu bermain internet (Griffiths,

2015).

d. Hubungan teman sebaya

Hubungan teman sebaya merupakan suatu elemen yang

penting dalam kehidupan individu serta menyumbangkan beberapa

cara dalam pembelajaran sosial dan keterampilan sosial. Seseorang

yang belajar keterampilan sosial dengan tepat, mempraktekkannya,

dan membuatnya berguna sesuai dengan kemampuan sehingga

tentu saja akan mampu untuk masuk dalam hubungan teman

sebaya atau kelompok pertemanan, memiliki interaksi positif

28
dalam berhubungan dengan teman sebaya serta memperlihatkan

adanya penerimaan perilaku (Mami & Hatami Zad, 2014).

Seseorang yang menggunakan internet secara berlebih cenderung

menggunakan internet sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan

teman sebaya dan sarana untuk melepaskan permasalahan yang

mereka hadapi. Hal ini berdampak pada keterampilan sosial

seseorang terutama pada kemampuan untuk fleksibel dalam

menghadapi perubahan lingkungan (Setiaji & Virlia, 2016).

D. Dewasa Awal

1. Definisi Dewasa Awal

Menurut Hurlock (1999) dewasa awal merupakan masa

perkembangan manusia yang berada di rentang usia 18-40 tahun. Masa

dewasa awal menurut Papalia (2007) masa transisi dari remaja menuju

dewasa yang berada pada rentang usia 20-40 tahun. Pada masa ini

individu telah berada pada tahap telah menyelesaikan proses

pertumbuhannya dan siap untuk menerima kedudukan bersama dan

dewasa lain dalam masyarakat. Sebagian besar individu dalam masa

dewasa awal meninggalkan orangtuanya untuk menyelesaikan

pendidikan, bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan

kemandirian, memiliki kestabilan hubungan pasangan dan atau untuk

berkeluarga (Berk, 2007).

29
Pada tahap penyesuain diri yang dilakukan oleh individu dewasa

awal membutuhkan keterampilan sosial dan keterampilan emosional

(Santrock, 2009). Hal ini disebabkan karena pada masa dewasa awal

merupakan tahap dimana individu memulai hubungan yang intim

dengan individu lainnya sehingga jika individu yang berada dalam

tahap masa dewasa awal gagal dalam membangun hubungan intim

dengan individu lain maka ia akan dikucilkan yang akan

mempengaruhi hubungan interpersonalnya (Santrock, 2009).

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa dewasa awal adalah individu yang berada dalam rentang usia

18-40 tahun yang merupakan masa transisi dari masa remaja ke

dewasa. Pada masa dewasa awal juga merupakan masa penyesuaian

diri individu terhadap kehidupan dan lingkungan sosial yang baru.

2. Ciri-ciri Dewasa Awal

Hurlock (1996), menguraikan secara ringkas ciri-ciri dewasa

yang menonjol dalam masa – masa dewasa awal sebagai berikut :

1. Masa Emosional

Ketegangan emosional seringkali ditampilkan dalam

ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran. Ketakutan

atau kekhawatiran yang timbul ini pada umumnya bergantung pada

tercapainya penyesuaian terhadap persoalan-persoalan yang

dihadapi pada suatu saat tertentu atau sejauh mana sukses atau

30
kegagalan yang dialami dalam penyelesaian persoalan. Akan tetapi,

ketika individu dewasa awal mengalami kecanduan media sosial

akan kesulitan mengontrol penggunaan media sosial sehingga

menyebabkan perubahan mood seperti perasaan gelisah, depresi,

dan mudah marah (Young, Beard & Wolf, 2001).

2. Masa Keterasingan Sosial

Pada masa ini, individu menjadi lebih egosentris. Hal ini

berkaitan dengan tuntutan persaingan dalam bekerja maupun

dengan status sosial. Seseorang yang mengalami kecanduan media

sosial cenderung tidak mampu untuk memenuhi tuntutan

persaingan kerja maupun status sosialnya karena kecanduan media

sosial akan menimbulkan resiko konflik pada kehidupannya yang

mengakibatkan mereka mengabaikan pekerjaan. Hal tersebut

menyebabkan seseorang mengalami kegagalan beradaptasi di

lingkungan sosialnya.

3. Masa perubahan nilai

Perubahan karena adanya pengalaman dan hubungan sosial

yang lebih luas dan nilai-nilai itu dapat dilihat dari kacamata orang

dewasa. Perubahan nilai ini disebabkan karena beberapa alasan

salah satunya yaitu individu ingin diterima oleh anggota kelompok

orang dewasa, individu menyadari bahwa kebanyakan kelompok

sosial berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal

keyakinan dan perilaku. Kecanduan media sosial akan

31
menimbulkan konflik pada kehidupan seseorang yang

mengakibatkan mereka mengabaikan kehidupan sosial sehingga

mengakibatkan kehilangan orang-orang terdekat, pekerjaan,

kesempatan pendidikan atau karir dan dikucilkan dalam kehidupan

masyarakat karena kurang bersosialisasi dengan lingkungan secara

tatap muka(Young, 1996; Griffiths, 1995; Griffiths, 2005; Griffiths

2010; Tao, et al., 2010; Beard & Wolf, 2001).

4. Masa Penyesuain Diri dan Cara Hidup baru

Masa ini individu banyak mengalami perubahan dimana pola

kehiduan baru paling menonjol adalah dibidang perkawinan dan

peran orang tua. Pada masa ini keterampilan sosial yang paling

diperlukan adalah kemampuan emotional sensitivity mengacu pada

keterampilan individu dalam menerima dan menginterpretasikan

komunikasi nonverbal dengan orang lain untuk lebih meningkatkan

kualitas hubungan. Hal itu berkaitan erat dengan sensitivitas

nonverbal, seseorang dengan perilaku kecanduan media sosial akan

kesulitan mengamati isyarat emosi nonverbal orang lain karena

tidak terbiasa melakukan interaksi secara tatap muka untuk

menginterpretasikan komunikasi non-verbal orang lain.

5. Masa Bermasalah atau Ketidakstabilan

Pada masa ini banyak masalah yang bermunculan dan harus

dihadapi. Hal ini disebabkan karena masa peralihan masa anak-

anak ke dewasa yang memiliki pola hidup serta tanggung jawab

32
banyak yang berubah. Pada masa ini jika seseorang mengalami

kecanduan media sosial maka mereka cenderung untuk merasa

kesulitan dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi sehingga

lebih sulit menyesuaikan diri dengan identitas baru mereka sebagai

dewasa awal dan hal tersebut menyebabkan mereka dapat

terkucilkan.

Berdasarkan dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan

bahwa ciri-ciri atau karakteristik yang paling menonjol pada tahap

masa dewasa awal adalah terdapat tuntutan sosial yang berkaitan

dengan peran sosial dan tanggung jawab sosial individu dalam

suatu kelompok ataupun dalam masyarakat, serta adanya berbagai

perubahan pola hidup dimana individu tidak lagi berfokus terhadap

diri sendiri, melainkan juga ke luar diri yaitu lingkungan sekitar.

Individu yang berada pada tahap dewasa awal mulai memasuki

pola hidup dimana individu mulai membangun hidup bersama

dengan orang lain (keluarga maupun pekerjaan) sehingga hal ini

yang membedakan karakteristik antara individu yang masih berada

dalam tahap perkembangan remaja dan dewasa awal. Pada tahap

perkembangan ini dewasa awal yang dimana merupakan masa

penyesuaian diri karena merupakan masa transisi dari masa remaja

dan dewasa. Pada tahap ini merupakan masa mengembangkan diri

dengan menjalin relasi sosial yang lebih luas sehingga dituntut

untuk dapat memiliki keterampilan sosial dan emosional. Hal

33
tersebut sesuai dengan pendapat Arnett (2004) yang menyatakan

bahwa emerging adulthood adalah seseorang memutuskan untuk

mengembangkan hidupnya dengan jalur pendidikan formal

maupun nonformal, bekerja, dan terlibat dalam aktivitas sosial

guna menjalin di kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu

individu yang berada dalam tahap perkembangan ini memiliki

dorongan untuk dapat terhubung dengan orang lain dengan

membina hubungan hangat, dekat, dan komunikatif. Penggunaan

media sosial penting bagi individu dewasa awal berguna untuk

memenuhi kebutuhan individual dan interpersonalnya. Namun,

dengan kemudahan mengakses layanan media sosial dapat

membuat pengguna terlalu terlibat dalam penggunaan online secara

berlebihan dan berpotensi kecanduan. Kecanduan media sosial

pada dewasa muda memiliki kemungkinan besar bagi mereka

untuk gagal membangun keintiman dengan individu lainya di dunia

nyata di lingkungan. Hal ini berkaitan erat dengan sensitivitas

nonverbal, seseorang dengan perilaku kecanduan media sosial akan

kesulitan mengamati isyarat emosi nonverbal orang lain karena

tidak terbiasa melakukan interaksi secara tatap muka untuk

menginterpretasikan komunikasi non-verbal orang lain, sehingga

mereka dapat mengalami keterkucilan atau isolasi sosial dari

lingkungannya yang kemudian dapat mempengaruhi hubungan

interpersonalnya (Santrock, 2009). Akan tetapi, tidak semua

34
individu yang berada pada masa dewasa awal memiliki

perkembangan kognitif dan afektif serta keterampilan komunikasi

atupun sosial yang sama, untuk itu masa emerging adulthood ialah

masa dimana dewasa awal memiliki ciri perkembangan yang

kurang stabil dalam perkembangan emosi dan kognitifnya (Kandel

dalam Soliha, 2015). Hal tersebut mengakibatkan para dewasa

awal ini memiliki kesulitan dalam berkembang secara sosial,

sehingga media sosial menjadi cara yang efektif untuk memperluas

pertemanan mereka (Smahel dalam Soliha, 2015).

E. Dinamika Antara Kecanduan Internet Dengan Tingkat Keterampilan

Sosial Pada Dewasa Awal.

Peningkatan penggunaan internet terutama jejaring media sosial

pada saat ini tidak dapat lepas dari kehidupan sehari-hari setiap orang.

Bukan hanya kaum remaja yang merupakan pecandu internet tetapi juga

individu yang berada pada masa dewasa awal. Asosiasi Penyelenggara

Jasa Interenet Indonesia (APJII, 2019) menyatakan alasan tertinggi

penggunaan internet adalah untuk sosial media yang mencapai total

persentase 51,5%. Hasil Penelitian Global Web Index (dalam Duarte,

2019) Indonesia merupakan peringkat ke enam dengan tingkat kecanduan

media sosial yang menghabiskan 195 menit per hari untuk bermain media

sosial yang penggunaanya didominasi oleh kelompok muda berusia 16-24

tahun. Kehadiran media sosial mengacu pada suatu ruang lingkup yang

35
berbasiskan internet serta layanan mobile secara luas yang memungkinkan

penggunanya dapat berpartisipasi pada pertukaran online, memberikan

user created content, dan bergabung dalam komunitas online (Dewing,

2012). Berbagai keunggulan serta fungsi dari kemudahan mengakses

layanan media sosial dapat membuat pengguna terlalu terlibat dalam

penggunaan online secara berlebihan dan berpotensi kecanduan.

Penelitian yang dilakukan oleh Young (2011) mengatakan bahwa

fitur-fitur pada media sosial yang digunakan secara berlebihan

mengakibatkan pengguna media sosial mengabaikan tugas rutin atau

tanggung jawab hidup, isolasi sosial, dan sembunyi-sembunyi melakukan

kegiatan online di media sosial. Hal tersebut berdampak pada kemampuan

pengguna media sosial untuk mengatasi masalah dan menjalankan

fungsinya, misalnya merasakan depresi, kecemasan, lari dari masalah dan

juga berdampak pada interaksinya dengan orang lain yang merupakan

bagian dari keterampilan sosial seseorang, seperti terganggunya hubungan

yang signifikan, pekerjaan, tidak jujur dengan orang lain (Beard dan Wolf,

2001).

Kecanduan media sosial merupakan keadaan dimana individu

mengalami dorongan untuk menggunakan media sosial secara berlebihan

(Griffiths, 2000). Menurut Young (1996) terdapat 8 kriteria pada individu

yang mengalami kecanduan internet, yaitu merasa antisipasi, penggunaan

waktu yang berlebihan, tidak mampu mengontrol penggunaan internet,

merasa gelisah, mengakses internet atau media sosial lebih lama dari

36
rencana awal, berani kehilangan segala sesuatu yang berarti, melakukan

kebohongan pada anggota keluarga, terapis, dan orang-orang terdekat

dalam menyembunyikan keterlibatan lebih jauh dengan internet atau

media sosial, dan menggunakan media sosial dalam menyelesaikan

masalah atau menutupi perasaan dysphoric.

Individu yang mengalami kecanduan media sosial lebih banyak

menghabiskan waktunya dengan melakukan kegiatan di media sosial

seperti memberikan like atau komentar pada postingan-postingan yang

ada, melakukan chatting melalui chat room yang tersedia pada media

sosial atau mungkin hanya sekedar melihat-lihat gambar atau video yang

terdapat di media sosial serta memeriksa pembaharuan status di media

sosial secara terus-menerus (Dewi, 2018). Perilaku tersebut mencakup

kriteria kecanduan media sosial yaitu penggunaan waktu yang berlebihan,

tidak mampu mengontrol penggunaan internet, merasa gelisah, mengakses

internet atau media sosial lebih lama dari rencana awal. Hal tersebut

mempengaruhi keterampilan sosial seseorang terutama social presentation,

yaitu keterampilan untuk memahami dan memainkan peran sosial yang

tepat sesuai aturan sosial yang berlaku, seperti (dapat memulai atau

mengakhiri sebuah percakapan). Penelitian ini sejalan dengan penelitian

oleh Caplan (2005) bahwa individu yang memiliki self-presentational skill

yang rendah cenderung untuk memilih interaksi secara online daripada

interaksi secara tatap muka.

37
Aktivitas online yang berlebihan mengakibatkan terabaikannya

kegiatan yang lebih penting seperti tugas pendidikan atau pekerjaan

mereka, serta menghabiskan lebih sedikit waktu dengan keluarga. Individu

mengabaikan hubungan sosial dengan teman-teman individu, rekan kerja,

dan dengan komunitas individu, dan akhirnya, hidup individu menjadi

tidak terkendali karena internet serta memberikan mempengaruhi

keterampilan sosial individu tersebut (Greenfield dalam Ningtyas, 2012).

Dampak yang ditimbulkan tersebut mencakup kriteria dalam kecanduan

media sosial yaitu mengakses internet lebih lama dari rencana awal, serta

berani kehilangan segala sesuatu yang berarti. Kriteria berani kehilangan

segala sesuatu yang berarti dimaksudkan bahwa individu berani

mempertaruhkan atau mengambil resiko untuk kehilangan sesuatu yang

sangat penting dalam hidupnya hanya demi kepentingan bermedia sosial

misalnya, hubungan dengan orang terdekat (significant others) seperti

orang tua, kerabat, pasangan bahkan pekerjaan, pendidikan, dan

kesempatan berkarir karena kecanduannya pada media sosial (Young,

1996). Hal ini akan berdampak pada keterampilan sosial seseorang

terutama pada social scanning yaitu kemampuan mengenali pesan atau

informasi verbal maupun nonverbal untuk mengenali isyarat halus orang

lain disekitarnya sehingga mampu mengetahui peran yang sesuai terhadap

suatu situasi di lingkungan tempatnya berada baik di lingkungan rumah

maupun lingkungan tempat kerja. Keterampilan sosial yang baik dapat

38
memfasilitasi interaksi antar pribadi, yang pada gilirannya dapat

menghasilkan pekerjaan yang efektif (Wu, 2008).

Menurut Young dan Abreu (2017) menyatakan bahwa internet atau

media sosial merupakan sarana distraksi yang nyaman, legal, dan aman

secara fisik sehingga sering kali digunakan sebagai pelarian masalah di

kehidupan nyata yang oleh pecandu media sosial. Kecanduan media sosial

juga akan membuat individu yang mengalaminya merasa perpindahan

ketika online dan tidak mampu mengelola aspek-aspek utama dari

kehidupan individu termasuk keterampilan sosialnya karena individu

tersebut keasyikan online serta merasakan kegelisahan jika aktivitas

tersebut berusaha untuk dihentikan sehingga melakukan melakukan

kebohongan pada anggota keluarga dan orang terdekat lainnya untuk

menyembunyikan keterlibatannya lebih jauh dalam penggunaan media

sosial yang merupakan salah satu kriteria dalam kecanduan media sosial.

Selain kriteria kebohongan pada anggota keluarga, hal tersebut juga

memenuhi kriteria merasa gelisah, murung, depresi, mudah marah ketika

berusaha mengurangi ataupun menghentikan penggunaan internet dan

kriteria menggunakan media sosial sebagai sarana menyelesaikan masalah

atau menutupi perasaan dysphoric seperti perasaan tidak berdaya, rasa

bersalah, kegelisahan ataupun depresi sebagai jalan keluar dari

permasalahan yang dihadapinya. Individu yang kecanduan media sosial

dan menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyelesaikan

masalah akan memberikan dampak pada keterampilan sosial seseorang

39
terutama pada social flexibility, yaitu kemampuan untuk fleksibel dalam

menghadapi berbagai perubahan situasi yang mereka hadapi. Hal tersebut

disebabkan karena kecenderungan mempertahankan pola penyelesaian

masalah yang dialaminya hanya melalui media sosial tanpa berpikir kritis

pada pemecahan masalah yang lainnya sehingga menimbulkan pemikiran

yang kaku atau tidak flexible dalam menghadapi masalah atau situasi yang

dihadapinya.

Menurut Gresham dan Elliot (2011) menyatakan bahwa

keterampilan sosial merupakan suatu hal yang dipelajari untuk membentuk

perilaku sosial dan tingkah laku sosial yang berkaitan secara konsisten.

Ketika individu mengalami kecanduan media sosial maka ketiga dimensi

dalam keterampilan sosial sulit untuk dimiliki secara maksimal. Hal

tersebut disebabkan karena keterampilan sosial merupakan suatu hal yang

perlu dilatih dan dipelajari, sedangkan individu yang mengalami

kecanduan media sosia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk online

di media sosial dari pada melakukan komunikasi secara langsung yang

dapat melatih keterampilan sosialnya. Penelitian tersebut sejalan dengan

Wu (2008) yang menyatakan bahwa keterampilan sosial sebagai perilaku

sosial yang dapat dipelajari yang digunakan untuk mencapai tujuan sosial.

Pecandu media sosial lebih sering melakukan komunikasi melalui

media sosial sehingga jarang terlibat dalam komunikasi secara langsung

atau tatap muka. Perilaku tersebut menyebabkan individu memiliki waktu

yang kurang untuk belajar melatih keterampilan sosialnya seperti

40
memberikan feedback komunikasi terhadap lawan bicaranya dan

memahami bahasa tubuh berupa ekspresi dan perasaan lawan bicaranya.

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Murtiadi

(2015) mengatakan bahwa dalam melakukan interaksi secara online,

bahasa tubuh nonverbal seperti ekspresi perasaan dan emosi tidak dapat

diperhatikan. Hal itu sesuai dengan studi yang dilakukan mengatakan

bahwa isyarat nonverbal berkurang ketika berkomunikasi melalui

computer-mediated communication (CMC) seperti media sosial,

komunikan mengalami rasa anonimitas yang tinggi daripada interaksi

secara langsung sehingga tidak merasa canggung untuk melakukan

komunikasi (McKennaetal, 2002). Ketika seseorang menggunakan media

sosial secara berlebihan, maka secara otomatis waktunya lebih banyak

dihabiskan untuk berselancar di media sosial menatap layar komputer

maupun smartphone dibandingkan melakukan komunikasi secara tatap

muka yang dapat melatih keterampilan sosial seseorang.

Masa dewasa awal dituntut untuk dapat memiliki kemampuan

penyesuain diri yang baik dan kemampuan menjalin hubungan

interpersonal yang baik sehingga untuk memenuhi tuntutan perkembangan

tersebut dibutuhkan keterampilan sosial dan emosional. Jika dewasa awal

tidak memiliki keterampilan sosial maka memiliki kemungkinan besar

untuk gagal membangun keintiman dengan individu lainya sehingga dapat

mengalami keterkucilan atau isolasi sosial dari lingkungannya yang

41
kemudian dapat mempengaruhi hubungan interpersonalnya (Santrock,

2009).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang

memiliki kecanduan yang tinggi terhadap media sosial lebih banyak

menghabiskan lebih banyak waktunya untuk berkomunikasi secara online

sehingga komunikasi secara face to face yang merupakan bagian dari

keterampilan sosial menjadi berkurang. Hal tersebut menimbulkan dampak

negatif yaitu menurunnya kemampuan komunikasi tatap muka yang

berdampak pada keterampilan sosial seseorang. Ketika seseorang terutama

dewasa awal tidak memiliki keterampilan sosial yang baik maka ia akan

mengalami kesulitan untuk memenuhi tugas kewajiban utamanya secara

sosial yaitu membangun keintiman dengan individu lainya sehingga ia

dapat mengalami keterkucilan atau isolasi sosial dari lingkungannya yang

kemudian dapat mempengaruhi hubungan interpersonalnya (Santrock,

2009). Penelitian ini menemukan kesimpulan bahwa semakin tinggi

tingkat kecanduan media sosial seseorang maka waktu untuk

berkomunikasi secara tatap muka yang dapat melatih keterampilan sosial

akan semakin berkurang karena bagi mereka komunikasi melalui media

sosial lebih menyenangkan (Gross, Juvonen, & Gable, 2002). Hal tersebut

berlaku sebaliknya, semakin rendah tingkat kecanduan seseorang terhadap

media sosial maka kemampuan keterampilan sosialnya lebih baik karena

mereka lebih banyak meluangkan waktu untuk berkomunikasi secara tatap

muka dan hal tersebut sekaligus melatih keterampilan sosial.

42
F. Kerangka Teori
INTENSITAS
PENGGUNAAN
MEDIA SOSIAL

Tinggi (Kecanduan) Rendah (Tidak Kecanduan)


1. Tidak mampu untuk 1. Mampu untuk mengontrol
mengontrol penggunaan penggunaan media sosial.
media sosial. 2. Tidak merasa
2. Merasa gelisah, murung, gelisah/mudah marah
mudah marah ketika ketika berusaha
berusaha mengurangi mengurangi ataupun
penggunaan media sosial. menghentkan penggunaan
3. Kehilangan orang media sosial
terdekat, pekerjaan, 3. Tidak kehilangan orang
kesempatan pendidikan terdekat, pekerjaan,
dan karir akibat kesempatan pendidikan
penggunaan media sosial dan karir akibat
yang berlebihan. penggunaan media sosial.
4. Menggunakan media 4. Tidak menggunakan media
sosial dalam sosial dalam
menyelesaikan masalah menyelesaikan masalah
ataupun menutupi ataupun menutupi perasaan
tidak berdaya atau cemas.
1. Kesulitan beradaptasi
dengan lingkungan baru. 1. Kemampuan menyesuaikan
2. Kurang mampu untuk diri.
memahami emosi yang 2. Kemampuan memahami
orang lain. emosi orang lain.
3. Kesulitan untuk memulai 3. Mampu memulai
percakapan. percakapan.
4. Ketidakmampuan untuk 4. Mampu memahami
memahami komunikasi komunikasi verbal dan
verbal yang disampaikan nonverbal atau percakapan
orang lain dengan orang lain.

Keterampilan Sosial Rendah Keterampilan Sosial Tinggi

43
E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan

negatif antara kecanduan media sosial dan keterampilan sosial pada dewasa

awal. Apabila intensitas kecanduan media sosial tinggi maka keterampilan

sosial akan rendah. Sebaliknya, jika intesitas penggunaan pada kecanduan

rendah maka keterampilan sosial akan tinggi.

44
BAB II

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan

pendekatan korelasional. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan

pengujian hipotesis antara dua variabel tanpa ada upaya untuk

mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi

variabel. Tujuannya untuk mengetahui hubungan antara kecanduan media

sosial dan keterampilan sosial pada dewasa awal.

B. Identifikasi

Variabel dalam penelitian ini:

1. Variabel Bebas : Kecanduan media sosial

2. Variabel Tergantung : Keterampilan sosial

C. Definisi Operasional

1. Variabel bebas (independent)

Kecanduan media sosial yaitu ketidakmampuan seseorang dalam

mengontrol penggunaan internet atau media sosial, yang pada akhirnya

dapat menyebabkan gangguan psikologis, sosial, dan pekerjaan pada

kehidupan sehari-hari (Davis, 2001; Shapira dkk, 2000; Young, 1998).

Kecanduan media sosial dapat diukur melalui skala intensitas

waktu serta dampak perilaku negatif yang ditimbulkan dari

penggunaannya, seperti ketidakmampuan mengontrol penggunaan media

sosial, mengabaikan pekerjaan, mengabaikan kehidupan sosial, mudah

45
merasa marah, dan gelisah yang dapat dikategorikan sebagai perilaku

negatif akibat kecanduan media sosial. Hal tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Cicekoglu, Durualp, & Durualp (2014)

mengatakan bahwa penggunaan internet dapat diamati melalui durasi

penggunaan berapa lama menggunakan internet. Penelitian tersebut juga

sejalan The Graphic, Visualization & Usability Center, the Georgia

Institute of Technology yang menetapkan indikator bahwa individu yang

kecanduan internet pada golongan Heavy Users (lebih dari 40 jam per

bulan) atau 6 jam per hari. Hasil yang didapatkan dari skala intensitas

tersebut akan menunjukkan sejauh mana tingkat kecanduan media sosial

subjek. Jika hasil yang didapatkan semakin tinggi skor intensitas waktu

dan perilaku negatif yang diperoleh subjek pada skala ini maka semakin

tinggi pula kecanduan media sosial yang dimiliki oleh subjek. Akan tetapi,

jika semakin rendah skor intensitas waktu dan perilaku negatif yang

diperoleh subjek maka semakin rendah kecanduan media sosialnya.

2. Variabel Tergantung (dependent)

Keterampilan sosial merupakan sekumpulan keterampilan atau

kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat memahami aturan

sosial di lingkungannya, keterampilan dalam memahami pesan melalui

verbal maupun nonverbal serta kemampuan menyesuaikan perilakunya

dalam berbagai kondisi dan situasi Wu (2008). Keterampilan sosial diukur

menggunakan skala keterampilan sosial Wu (2008). Alat ukur ini terbagi

dalam 3 dimensi, yaitu social presentation, social scanning, social

46
flexibility. Hasil pada skala tersebut menunjukkan tingkat keterampilan

sosial yang dimiliki oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh

subjek pada skala ini, maka semakin tinggi pula kemampuan keterampilan

sosial yang dimiliki oleh subjek, sebaliknya jika apabila skor total yang

diperoleh oleh subjek semakin rendah maka semakin rendah pula

keterampilan sosialnya.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah individu yang berada dalam

tahap perkembangan usia dewasa awal, dengan rentang usia 18 sampai 40

tahun (Santrock, 2012) yang merupakan pengguna media sosial. Bentuk-

bentuk media sosial yang digunakan termasuk diantaranya: Instagram,

Facebook, Twitter, Youtube, Whatsapp, dan Line dll. Metode sampling

adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sampel dengan

menggunakan prosedur tertentu dalam jumlah yang sesuai dengan

memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel

yang dapat benar-benar mewakili populasi (Poerwati, 1994). Sampling

ialah prosedur yang digunakan untuk memilih sampel yang

menggambarkan populasi (Zechmeister, Zechmeister & Shaughnessy,

2001). Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan ialah stratified

random sampling, merupakan populasi yang dibagi dalam sub populasi

yang disebut dengan strata dan sampel random ini menggambarkan dalam

tiap strata (Zechmeister, Zechmeister & Shaughnessy, 2001)

47
E. Metode dan Pengumpulan Data

Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah

menggunakan skala. Pada pengisian skala ini, sampel diminta untuk

mengisi pernyataan dengan memilih beberapa alternatif jawaban yang

tersedia. Skala dalam menurut Azwar (2012) adalah suatu alat ukur

psikologi dalam mengukur atribut tertentu.

1. Skala kecanduan media sosial

Skala disusun oleh peneliti berdasarkan, tingkat perilaku negatif

dari kecanduan media sosial. Skala ini menggunakan skala likert, yaitu

pengukuran psikologis dimana peneliti meminta subjek memberikan

pernyataan setuju dan tidak setuju dalam sebuah kontinum pernyataan

penelitian dalam skala. Media sosial tidak hanya terbatas pada media

yang berupa tulisan, akan tetapi juga berupa gambar dan suara, maupun

gabungan antara ketiganya. Bentuk-bentuk media sosial yang

digunakan termasuk diantaranya: Instagram, Facebook, Twitter,

Whatsapp, dan Line.

Skala ini menggunakan skala likert yang merupakan skala

pengukuran psikologis dimana peneliti meminta subjek memberikan

pernyataan kesesuaian atau ketidaksesuaiannya terhadap isi pernyataan

dalam empat pilihan jawaban yang memungkinkan mendekati gambaran

mengenai dirinya.dalam sebuah kontinum dari pernyataan penelitian

dalam skala (Anderson dalam Supratiknya, 2014). Untuk menghindari

terjadinya central tendency effect pada respon jawaban subjek, maka

48
skala Likert ini terdiri dari beberapa item pernyataan yang memiliki 4

respon jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),

dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Item-item pada skala ini terdiri dari 2

jenis item yaitu favorable untuk menunjukkan sikap positif subyek dan

unfavorable untuk menunjukkan sikap negatif subjek

2. Skala Keterampilan Sosial

Skala Keterampilan Sosial yang digunakan merupakan alat ukur

berdasarkan teori keterampilan sosial dari Wu (2008) yang terdiri dari

tiga dimensi yaitu social presentation, social scanning, dan social

flexibility. Skala ini menggunakan skala likert yang merupakan skala

pengukuran psikologis yang dimana peneliti akan meminta subjek

memberikan pernyataan setuju atau ketidaksetujuannya dalam sebuah

kontinum dari pernyataan penelitian dalam skala (Anderson dalam

Supratiknya, 2014). Dalam menghindari terjadinya central tendency

effect pada respon jawaban subjek, maka skala likert dalam penelitian ini

akan diubah menggunakan skala yang sebenarnya terdiri dari 5 respon

jawaban menjadi 4 jawaban yang bertujuan menghilangkan respon netral

agar tidak terdapat jawaban ragu-ragu yang dinyatakan oleh subjek.

Pada pengisian skala ini, sampel diminta untuk menjawab

pernyataan yang ada dengan memilih salah alternatif jawaban yang

tersedia. Skala keterampilan sosial terdiri dari 4 alternatif jawaban yaitu

Sangat Sesuai= SS, Sesuai= S, Tidak Sesuai = TS, Sangat Tidak Sesuai =

STS. Item-item pada skala ini terdiri dari dua jenis item yaitu item

49
favorable yang merupakan pernyataan yang apabila disetujui akan

menunjukkan sikap positif terhadap subjek, dan yang kedua adalah item

unfavorable yang merupakan pernyataan yang bila disetujui akan

menunjukkan sikap negatif pada subjek (Anderson dalam Supratiknya,

2014).

Tabel 2.

Penilaian Item Skala Kecanduan Media Sosial dan Keterampilan

Sosial.

Respon Fav Unfav


Pernyataan
Sangat Tidak Setuju 1 4
(STS)
Tidak Setuju (TS) 2 3
Setuju (S) 3 2
Sangat Setuju (SS) 4 1

Berikut adalah rincian blueprint dan distribusi item skala

kecanduan media sosial atau penggunaan berlebihan media sosial :

Tabel 3.
Sebaran Item Skala Kecanduan Media Sosial (sebelum uji coba)
N Aspek Indikator F Unf Bobo
o a av t
v
1 Penggu Ketidakmam 1, 29, 22, 12, 27, 30,23
41,
naan puan 15, 26, 6 %
8,
Waktu mengontrol
32,
Yang 36,
Berlebi 34
han

50
2 Perilaku Mengabaikan 19, 33, 40, 4, 10, 24, 23,26
Negatif pekerjaan 9,8, 28 2, %
35
Mengabaikan 25, 5, 31, 16, 13, 18, 2
kehidupan 39, 43 11, 7
sosial 14, ,
37, 9
30 1
%
Perubahan 3, 17, 38, 42, 21 23, 7, 18,60
mood seperti, 20 %
Mudah
marah,gelisa
h
Total 28 16 100
%

Tabel 4.
Skala Keterampilan Sosial (sebelum uji coba)
N Dimensi Indikator F Unf %
o a av
v
1 Social Kemampuan 25,20,14
15,
Presentation memulai
7
pembicaraan

Sikap Ramah 28,21


2,22

Adaptasi 24,27,10 5,3


dalam 0
kelompok
Mampu 33 6,4 48,
menyampaik 57
an pendapat %

2 Social Memahami 18,16 1,3


Scanning emosi 2
Bahasa tubuh 11,26 29, 23,
dan sentuhan 35 68
fisik %

51
3 Social Mampu 34, 3 12,8
Flexibility adaptasi
di
lingkung 28,9
an baru 4%

Mampu 9, 31, 19 17,


beradapa 23,
tasi 13
dengan
orang
lain
Total 19 16 99,
98
%

F. Validitas, Seleksi Item Alat Pengumpulan Data, dan Reliabilitas

1. Validitas

Validitas merupakan ketepatan dan kecermatan suatu instrumen

penelitian dalam melakukan fungsi ukurnya untuk memberikan hasil

ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pengukuran yang

diinginkan (Azwar, 1996). Pada penelitian ini validitas alat ukur yang

digunakan menggunakan validitas isi, yaitu validitas yang diestimasi

lewat pengujian terhadap kelayakan atau relevansi isi tes melalui

analisis rasional oleh para ahli atau expert judgement (Azwar, 2012).

Pada penelitian ini dosen pembimbing bertindak sebagai expaert

judgement dan penelitian ini menggunakan validitas isi dan

berdasarkan pertimbangan expert judgement yaitu dosen pembimbing

skripsi peneliti, skala yang disusun akan diuji validitas isinya melalui

52
analisis isi item alat ukur dengan tujuan untuk menentukan sejauh

mana hasil tes dapat mewakili secara representatif terhadap

keseluruhan materi dan mencakup kawasan ukur. Sebelum skala

dilakukan uji coba, peneliti juga melakukan uji validitas isi dengan

membandingkan kesesuaian item dalam alat ukur dengan blueprint alat

ukur untuk mengetahui apakah item sudah sesuai dengan indikator

variabel yang hendak diukur. Setiap proses penyusunan skala, peneliti

selalu mengkonsultasikan kepada dosen pembimbing sebagai validator,

sehingga akhirnya skala layak untuk dilakukan uji coba.

2. Seleksi Item

Dalam penelitian ini analisis item dilakukan dengan cara

mengkorelasikan skor pada setiap item yang menghasilkan angka daya

diskriminasi item (Supratiknya, 2014). Daya diskriminasi yang

dihasilkan menunjukkan kemampuan item dalam membedakan

kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Hal

ini berkaitan dengan konsistensi antara hal yang diukur dengan tiap

item dengan hal yang diukur dengan skala. Semakin tinggi angka

korelasi positif antara skor item dengan skor skala maka semakin

tinggi juga konsistensi skala tersebut terhadap skala keseluruhan.

Apabila korelasi positif atau angka daya beda item rendah maka item

tersebut harus tereliminasi atau gugur karena tidak sesuai dengan

fungsi ukur skala atau angka daya beda yang kurang baik. Analisis

53
item yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS versi 22.0 for

windows.

Kriteria yang digunakan dalam analisis item adalah item yang

memiliki daya diskriminasi (rix) ≥ 0,30 (Azwar, 2012). Pada item yang

memiliki daya diskriminasi sama dengan atau lebih dari 0,30

merupakan item yang memuaskan dan lolos seleksi (Azwar, 2012).

Teknik yang digunakan untuk menganalisis item-item skala penelitian

ini adalah dengan mengkorelasikan skor tiap aitem dengan skor total

seluruh aitem yang penghitungannya dilakukan menggunakan SPSS

versi 22.0 for windows. Jika suatu item yang lolos tidak mencukupi

jumlah yang diinginkan, hal ini dapat untuk dipertimbangkan untuk

menurunkan sedikit batas kriteria menjadi 0,25. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan koefisien korelasi item total (rix) sebesar 0,25.

Apabila item yang memiliki kurang dari 0,25 (rix) dapat

diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya beda rendah

(Azwar, 2012).

Uji coba skala dilakukan pada tanggal 16 September 2020

hingga 18 September 2020. Subjek dalam uji coba skala ini adalah

berusia dewasa awal dan merupakan pengguna aktif media sosial aktif.

Penyebaran uji coba skala tersebut dilakukan dengan menggunakan

google form secara online dan dapat diakses melalui tautan berikut

bit.ly/SkalaJessiYuni. Jumlah responden yang mengisi kuesioner skala

online dari tanggal 16 September hingga 18 September 2020 ialah

54
sebanyak 130 orang responden. Hasil analisis yang dilakukan dalam

menggunakan penghitungan SPSS versi 22.0 for windows

menunjukkan sebanyak 6 item yang gugur dari 43 item skala

kecanduan media sosial dan sebanyak 7 item yang gugur dari 35 item

pada skala keterampilan sosial.

3. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat

dipercaya. Hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali

pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang

relatif sama, kalau dimensi yang diukur dalam diri subjek memang

belum berubah (Azwar, 1996). Pendekatan yang digunakan dalam uji

reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi

internal dengan konsep koefisien alpha (Cronbach’s alpha coefficient)

yang bergerak dari 0 hingga 1. Pengujian reliabilitas alat ukur dalam

penelitian ini menggunakan teknik validitas internal, yaitu

mengkorelasikan tiap butir dengan skor totalnya. Batas minimum

koefisien korelasi sebagai bukti test-retest reliability yang dipandang

memuaskan adalah 0,70. Demikian sebaliknya, kurang dari 0,70

dipandang kurang bermanfaat sebab hal itu berarti bahwa standard

error atau kesalahan baku yang terkandung dalam skor tampak adalah

sedemikian besar sehingga sulit ditafsirkan (Klein dalam Supratiknya,

2014). Pengujian ini dianalisis dengan menggunakan program software

55
statistik yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut adalah SPSS

(Statistical Package for Social Sciences) version 22.0 for windows.

3. Hasil Uji Coba Skala Penelitian

a. Hasil Uji Coba Skala Kecanduan Media Sosial

Pada tahap uji coba ini dilakukan pengukuran skala dengan

menggunakan program SPSS versi 22.0 for windows. Kriteria pemilihan

item yaitu berdasarkan korelasi item total yang biasanya digunakan

dalam batasan daya diskriminasi rix ≥ 0,030 (Azwar, 2012). Pengujian

reliabilitas skala menggunakan teknik alpha cronbach (ᾱ). Koefisien

reliabilitas kecanduan media sosial dengan alpha cronbach sebesar

0,923 dari 37 item, sedangkan jumlah item yang gugur setelah uji coba

sebanyak 7 item pada favorabel dan unfavorabel. Berikut ini adalah

hasil uji coba kecanduan media sosial.

Tabel 5.

Sebaran Item Skala Kecanduan Media Sosial (setelah uji coba)

N Aspek Indikator F Unf %


o a av
v
1 Penggun Ketidakma 30,23
1, 29, 22, 12, 27, 41,
aan mpuan %
8,
Waktu mengontrol 15, 26, 6
*32,

56
Yang 36,
Berlebih 34
an
2 Perilaku Mengabaik 23,26
Negatif an 19, 33, 40, 4,10, 9, 24,*2 %
pekerjaan 28 , 35
Mengabaik 27,
an 25, 5, 31, *16, 18, 91
kehidupan *13, 39, 43 11,14 %
sosial , 37,
*30
Perubahan 18,60
mood 3, 17, 38, 42, 21 23, 7, %
seperti, *20
Mudah
marah,geli
sah
Total 43 100%

Tanda (*) merupakan tanda item yang gugur setelah uji coba

b. Hasil Uji Coba Skala Keterampilan Sosial

Pada tahap uji coba ini dilakukan pengukuran skala dengan

menggunakan program SPSS versi 22.0 for windows. Kriteria pemilihan

item yaitu berdasarkan korelasi item total yang biasanya digunakan

dalam batasan daya diskriminasi rix ≥ 0,025 (Azwar, 2012). Pengujian

reliabilitas skala menggunakan teknik alpha cronbach (ᾱ). Koefisien

reliabilitas kecanduan media sosial dengan alpha corbach sebesar

0,900, sedangkan jumlah item yang gugur setelah uji coba sebanyak 4

item pada favorabel dan unfavorabel. Berikut ini adalah hasil uji coba

keterampilan sosial.

Tabel 6.
Sebaran Item Skala Keterampilan Sosial (setelah uji coba)
N Dimensi Indikator Fa Unf %

57
o v av
1 Social Kemampuan 25, 20, 14 15,
Presentatio memulai 7
n pembicaraan

Sikap Ramah 28, 21 2,


22

Adaptasi *24, 27, 10 *5,


dalam 30
kelompok

Mampu 33 6,4 48
menyampaikan ,39
pendapat %

2 Social Memahami 18, 16 1,


Scanning emosi 32
Bahasa tubuh 11, *26 *29, 19
dan sentuhan 35 ,35
fisik %

3 Social Mampu 34, 3 12,8


Flexibility adaptasi di
lingkunga
n baru 32
,26
%

Mampu 9, 31, 19 17,


beradapat 23,
asi 13
dengan
orang lain

Total 31 10
0%

58
Tanda (*) merupakan tanda item yang gugur setelah uji coba.

59
4. Metode Analisis Data

Analisis data menurut Azwar (1998) ialah analisis yang dilakukan

dengan tujuan untuk mengorganisasi data sehingga data hasil penelitian

dapat dibaca dan kemudian ditafsirkan.

1. Uji Asumsi

Tujuan dari uji asumsi adalah untuk agar kesimpulan data yang

diperoleh tidak berbeda dan menyimpang dari tujuan penelitian. Uji

asumsi dibedakan menjadi uji normalitas dan uji linearitas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengecek

apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya

normal. Data yang normal memiliki kekhasan seperti mean, median

dan modus dengan memiliki nilai yang sama, serta memiliki bentuk

kurva yang sama (Santoso, 2010). Data dapat dikatakan

berdistribusi normal ketika data yang diuji memiliki taraf

signifikansi (p) > 0,05. Sebaliknya, data dapat dikatakan

berdistribusi tidak normal ketika data yang diuji memiliki taraf

signifikansi (p) < 0,05 (Santoso, 2010).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah ada

hubungan yang linear antara variabel bebas dengan variabel

tergantung (Nisfiannoor, 2009). Uji linearitas dalam penelitian ini

60
dilakukan dengan Test for Linearity dalam program SPSS versi 22.0

for windows. Hubungan yang linier adalah hubungan yang memiliki

nilai signifikansi lebih kecil dari 0, 05 (p ≤ 0,05). Hubungan yang

linier memiliki arti bahwa kuantitas data variabel tergantung akan

meningkat atau menurun seiring dengan perubahan yang terjadi

pada variabel bebas secara linier.

c. Uji hipotesis

Pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada atau

tidaknya hubungan yang negatif antara kecanduan media sosial

dengan keterampilan sosial pada dewasa awal. Pada penelitian ini

peneliti menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson

melalui program SPSS versi 22. Teknik ini dilakukan jika

persebaran data penelitian dapat dikatakan normal dan linier, namun

jika tidak normal atau linier maka pengujian korelasi data penelitian

menggunakan teknik Spearman Rho.

61
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Proses pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan sejak

tanggal 8 Oktober 2020 hingga tanggal 15 Oktober 2020. Pengambilan

data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner penelitian secara online

melalui google form. Penyebaran kuesioner yang dilakukan peneliti dapat

diakses melalui tautan http://bit.ly/TAJessi. Kuesioner tersebut disebarkan

melalui berbagai media sosial, seperti Facebook, Whatsapp, Line, dan

Instagram. Subjek sebagai responden dalam penelitian ini adalah

pengguna aktif media sosial yang berada dalam tahapan usia dewasa awal

18-40 tahun. Data yang terkumpul pada proses penelitian ini sebanyak 208

subjek dengan jumlah perempuan sebanyak 150 orang dan subjek laki-laki

sebanyak 58 subjek.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini sebanyak 208 orang subjek dengan

kriteria usia dewasa awal dengan rentang usia 18-40 tahun serta

merupakan pengguna aktif media sosial. Berikut ini latar belakang atau

gambaran subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini:

62
Tabel 7.
Kepemilikan Jumlah Akun Media Sosial
Jumlah Jumlah Persentase
Akun Subjek
3 akun 73 35,1 %
5 akun 60 28,8 %
≥ 5 Akun 75 36,1 %
Total 208 100%

Berdasarkan tabel 7 di atas menunjukkan jumlah kepemilikan akun

media sosial yang dimiliki oleh subjek sebanyak 208 subjek. Tabel

tersebut menggambarkan bahwa sebanyak 75 subjek memiliki akun media

sosial terbanyak yaitu lebih dari 5 akun media sosial (36,1 %). Kemudian

disusul dengan 73 subjek yang memiliki 3 akun media sosial ( 35,1%) dan

yang terakhir dengan persentase terendah yaitu 60 subjek yang hanya

memiliki 5 akun media sosial (28,8%).

Tabel 8.
Durasi Waktu Penggunaan Media Sosial Perhari
Durasi Jumlah Persentase
Waktu(jam Subjek
)
≤ 3 jam 28 13,5%
3-6 jam 98 47,1%
≥ 6 jam 82 39,4%
Total 208 100%

63
Berdasarkan tabel 8 menjelaskan intensitas waktu oleh subjek

penelitian dalam penggunaan media sosial. Pada urutan tertinggi

sebanyak 98 subjek (47,1 %) yang menggunakan media sosial selama 3-6

jam perhari. Kemudian urutan kedua yaitu intensitas penggunaan waktu

selama lebih dari 6 jam sehari sebanyak 82 subjek (39,4%) dan yang

terendah sebanyak 28 subjek (13,5%) menggunakan media sosial kurang

dari 3 jam perhari

Tabel 9.
Data Demografis Subjek
Jumla
Aspek Kategori Persenta
h
se
18 7 3,4%
19 11 5,3%
20 21 10,1
21 1 %
22 51 0,5%
Usia 23 21 24,5
24 14 %
25 5 6,7%
26 10 2,4%
27 13 4,8%
28 6 6,3%
29 3 1,4%
30 4 2,9%
31 1 1,4%
32 3 1,9%
33 2 0,5%
34 1 1,4%
35 1 1,3%
36 1 0,5%
37 4 0,5%
38 1 0,5%
39 - 1,9%
40 - 0,5%
-
-

64
Laki- 20,3
Jenis Kelamin
laki 58 %
Perempu 1 79,7
an 50 %

Berdasarkan tabel 9 menggambarkan bahwa subjek dalam

penelitian ini sesuai dengan usia dewasa awal yaitu 18-40 tahun, namun

terlihat juga bahwa persebaran usia subjek tidak merata. Berdasarkan

usia, sebanyak 7 subjek berusia 18 tahun (3,4 %), 11 subjek berusia 19

tahun (5,3 %), 21 subjek berusia 20 tahun (10,1 %), 1 subjek berusia 21

tahun (0,5 %), 51 subjek berusia 22 tahun (24,5 %), 21 subjek berusia 23

tahun (10,1 %), 14 subjek berusia 24 tahun (6,7 %), 5 subjek berusia 25

tahun (2,4 %), 10 subjek berusia 26 tahun (4,8 %), 16 subjek berusia 27

tahun (7,7 %), 6 subjek berusia 28 tahun (2,9 %), 3 subjek berusia 29

tahun (1,4 %), 4 subjek berusia 30 tahun (1,9 tahun), 1 subjek berusia

31 tahun (0,5 %), 3 subjek berusia 32 tahun (1,4 %), 2 subjek berusia 33

tahun (0,9 %), 1 subjek berusia 34 tahun (0,5 %), 1 subjek berusia 35

tahun (0,5 %), 1 subjek berusia 36 tahun (0,5 %), 4 subjek berusia 37

tahun (1,9 %), dan 1 subjek berusia 38 tahun.

Berdasarkan data demografis usia yang diperoleh diketahui bahwa

rentang usia 18-25 tahun merupakan usia subjek tertinggi dengan jumlah

keseluruhan sebanyak 155 subjek atau 74, 5 %, lalu di posisi kedua

dengan rentang usia 26-33 tahun sebanyak 45 subjek atau 21,6 %, dan di

posisi terakhir dengan rentang usia 34-40 tahun sebanyak 8 subjek atau

3,8 %. Data tersebut sesuai dengan survei yang pernah dilakukan oleh

65
World Internet Project dalam Arnett, 2013, yang menyatakan bahwa 13

negara di Eropa, Asia dan Amerika menunjukkan bahwa lebih dari 80%

pengguna internet tertinggi berada pada rentang usia 18 hingga 25 tahun.

Selain itu, data penelitian ini sesuai oleh data APJII (2017) bahwa

pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kelompok umur dengan

rentang usia 19-34 tahun. Berdasarkan dengan data demografi jenis

kelamin pada tabel 9, terdapat 58 subjek laki-laki (27,9 %) dan 150

subjek perempuan (72,1 %) dari total 208 orang subjek. Hal ini

menunjukkan bahwa mayoritas subjek adalah perempuan.

C. Deskripsi Data Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan mengenai gambaran

skor secara teoritik dan empirik dari variabel kecanduan media sosial dan

variabel keterampilan sosial melalui analisis deskripsi data penelitian.

Mean teoritik merupakan gambaran rata-rata yang didapatkan pada alat

ukur penelitian. Mean teoritik dapat diperoleh dengan perhitungan secara

manual berdasarkan dari skor yang terendah dan skor tertinggi yang dapat

dicapai pada penelitian. Berikut rumus untuk menentukan mean teoritik:

MT=

( skor terenda h x jumla h item ) +(skor te rti nggi x jumla h item)


2

148+37
MT Kecandua Media Sosial = =92,5
2

124+31
MT Keterampilan Sosial = =77 , 5
2

66
Data mean teoretis dihitung secara manual. Skala kecanduan media

sosial terdiri dari 37 item dengan skor per item 1 – 4, maka skor maksimal

adalah 148 dan skor minimal adalah 37. Maka mean teoritik data adalah

92,5 dan skala keterampilan sosial terdiri dari 31 item dengan skor per item

1-4, maka skor maksimal adalah 124 dan skor minimal 31. Maka mean

teoritik data adalah 77,5. Mean empirik merupakan rata-rata yang

didapatkan dari data subjek penelitian. Perhitungan mean empirik

menggunakan program SPSS versi 22 yang didapatkan dari hasil uji One

Sample Test.

Tabel 10.
Deskripsi Statistik Data Penelitian
Mean
Variabel N Mi Ma SD
Teoriti Empiri
n ks
k k
Kecanduan 2 37 1 92, 79, 15,
Media Sosial 0 4 5 01 790
8 8
Keterampilan
Sosial 2 3 12 77, 87, 13,
0 1 4 5 90 276
8

Berdasarkan dari gambaran tabel data di atas dapat diketahui

bahwa mean empirik pada variabel kecanduan media sosial sebesar 79,01

dan mean teoritik sebesar 92,5 dengan standar deviasi sebesar 15,790.

Berdasarkan dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa mean teoritik lebih

besar dibanding mean empiris, yang artinya bahwa responden dalam

penelitian ini mengalami kecanduan media sosial yang rendah.

67
Pada variabel keterampilan sosial rerata empirik sebesar 87,90 dan

mean teoritik sebesar 77,5 dengan standar deviasi sebesar 13,276. Data

tersebut menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar dibanding mean

teoritik, yang artinya bahwa subjek responden dalam penelitian ini

memiliki keterampilan sosial yang tinggi.

Berdasarkan hasil perhitungan kategorisasi yang telah dilakukan

secara manual dengan menggunakan rumus kategorisasi menurut Azwar

(2019), seperti pada tabel berikut:

Tabel 11.
Rumus Kategorisasi
Rendah X < (Mean hipotetik – 1 x SD hipotetik)
Sedang (Mean hipotetik – 1xSD hipotetik) ≤ X < (Mean
hipotetik + 1 x SD hipotetik)
Tinggi M + 1SD < X

Tabel 12.
Hasil Kategorisasi Kecanduan Media Sosial
Kategori Hasil Jumlah Persentase

Rendah X<74 78 37,5%


Sedang 74 ≤ X < 111 125 60,1%
Tinggi 111 < X 5 2,4%
Total 208 100%

68
Berdasarkan tabel 12 mengenai kategori kecanduan media sosial,

dapat dilihat bahwa dari 208 subjek terdapat 78 subjek (37,5%) yang

mengalami kecanduan media sosial dengan skor kategori rendah.

Kemudian terdapat 125 subjek (60,1 %) yang memiliki skor dengan

kategori sedang dan terdapat 5 subjek ( 2,4%) yang memiliki skor

dengan kategori yang tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa sebagian besar subjek pada penelitian ini memiliki tingkat

kecanduan media sosial yang sedang.

Tabel 13.
Hasil Kategorisasi Keterampilan Sosial
Kategori Hasil Jumlah Persentase
Rendah X<62 6 subjek 2,9 %
Sedang 62 ≤ X < 93 130 subjek 62,5 %
Tinggi 93 < X 72 subjek 34,6%
Total 208 100 %

Berdasarkan tabel 13 mengenai kategori kecanduan media sosial,

dapat dilihat bahwa dari 208 subjek terdapat 6 subjek (2,9%) yang

memiliki keterampilan sosial dalam kategori rendah. Kemudian terdapat

69
130 subjek (62,5%) memiliki skor dalam kategori rendah dan terdapat 72

orang subjek (34,6%) yang memiliki skor dalam kategori tinggi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek pada

penelitian ini memiliki tingkat keterampilan sosial yang sedang.

D. Analisi Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah populasi

dalam persebaran data yang dilakukan berdistribusi normal atau tidak.

Uji normalitas yang dilakukan dalam penelitian ini dengan

menggunakan Lilliefors Significance pada Kolmogorov-Smirnov Test

karena jumlah sample yang digunakan > 50. Data dapat dikatakan

berdistribusi normal jika persebarannya di sekitar garis normal. Hasil

persebaran normal jika nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (p >

0,05), begitu pula jika sebaliknya jika nilai signifikan lebih kecil dari

0,05 (p < 0,05) maka dapat dikatakan bahwa distribusi tidak normal.

Tabel 14.
Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova
Statist Df Sig. Ket
ic
Kecanduan ,033 208 0,200 Norma
Media Sosial l
Keterampilan ,048 208 0,200 Norma
Sosial l

Berdasarkan tabel 14 menunjukkan hasil pada variabel

kecanduan media sosial dan keterampilan sosial memiliki signifikansi

70
yang sama yaitu 0,200 (p > 0,05). Dengan demikian, dapat

diasumsikan bahwa data berdistribusi normal karena nilai p lebih

besar dari 0,05.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

apakah antar variabel kecanduan media sosial dan variabel

keterampilan memiliki hubungan yang linear. Pada penelitian ini

uji linearitas diuji menggunakan test for linearity dengan

menggunakan SPSS versi 22. Data dapat dikatakan linear ketika

taraf signifikansi linearity (p) < 0,05 dan sebaliknya data dikatakan

tidak linear ketika taraf signifikansi linearity (p) > 0,05.

Tabel 15.
Uji Linearitas

Sum D Mean F Sig


of f Squar .
Square e
s
Keca
ndua
n
Linear 6940,18 1 6940,18 46,11 ,00
Medi
ity 4 4 9 0
a
Sosia
l
*
Ketera
mpilan

71
Sosial

Hasil uji linearitas pada tabel 15 menunjukkan bahwa

variabel kecanduan media sosial dan keterampilan sosial memiliki

hubungan yang signifikansi dengan nilai F sebesar 46,119 dan nilai

signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Berdasarkan hasil pada tabel di

atas dapat disimpulkan, bahwa terdapat hubungan yang linear antara

kecanduan media sosial dan keterampilan sosial.

3. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan

hipotesis yang diajukan peneliti diterima atau tidak yaitu hubungan

antara kecanduan media sosial dan keterampilan sosial. Penelitian

ini menggunakan uji hipotesis Pearson Product Moment karena

berdasarkan uji asumsi yang dilakukan mengatakan bahwa data

berdistribusi normal. Asumsi uji korelasi dapat dikatakan

signifikan ketika p < 0,01. Tingkat hubungan dapat dilihat

berdasarkan nilai koefisien korelasinya. Berikut ini nilai koefisien

korelasi menurut Sugiyono (2015).

Tabel 16.
Tabel Tingkat Hubungan
Interval Tingkat
Koefisie Hubungan
n
0,000-0,199 Sangat rendah
0,200-0,399 Rendah

72
0,400-0,599 Sedang
0,600-0,799 Kuat
0,800-1,000 Sangat kuat

Berikut tabel hasil uji hipotesis yang dilakukan dengan

menggunakan teknik analisis korelasi Pearson:

Tabel 17.
Uji Hipotesis Kecanduan Media Sosial dan Keterampilan
Sosial

Kecanduan
Media Keterampilan
Sosial Sosial
Kecanduan Pearson
Media Correlatio 1 -.436**
Sosial n
Sig. (2-
.000
tailed)
N 208 208
Keterampila Pearson
n Sosial Correlatio -.436** 1
n
Sig. (2-
.000
tailed)
N 208 208
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa kecanduan

media sosial dan keterampilan sosial memiliki nilai koefisien

korelasi sebesar -0,436 dengan nilai signifikansi 0,000. Hasil dari

data tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif

antara kecanduan media sosial dan keterampilan sosial. Ini artinya,

semakin tinggi tingkat kecanduan media sosial maka semakin

73
rendah tingkat keterampilan sosial. Begitu pula sebaliknya semakin

rendah tingkat kecanduan media sosial maka semakin tinggi

tingkat keterampilan sosialnya. Berdasarkan kategorisasi interval

korelasi pearson, korelasi antara kecanduan internet dengan

keterampilan sosial adalah berada dalam tingkat sedang (Sugiyono,

2015).

E. Analisis Tambahan

Analisis tambahan pada penelitian ini bertujuan untuk

memperkaya data penelitian terutama mengenai tingkat koefisien korelasi

yang paling tinggi antara kecanduan media sosial dengan ketiga dimensi

keterampilan sosial. Selain itu, analisis tambahan ini juga dapat digunakan

untuk mendukung atau pun membandingkan data yang telah diperoleh

sebelumnya. Berikut ini analisis tambahan yang dilakukan dalam

penelitian ini:

Tabel 18.
Hasil uji korelasi Pearson Product Moment Kecanduan Media
Sosial dan Dimensi Keterampilan Sosial.
Social Social Social
Presentati Scanni Flexibil
on ng ity
Pear Kecanduan Correlati
-,450** -,242** -,379**
son Media on
Corr Sosial Coefficie

74
elati nt
on
Sig. (2-
,000 ,000 ,000
tailed)
N 208 208 208

Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa kecanduan media

sosial dengan ketiga dimensi keterampilan yaitu social presentation,

social presentation, social presentation memiliki hubungan negatif.

Berdasarkan kategorisasi interval korelasi pearson tingkat korelasi

antara kecanduan media sosial dengan social presentation merupakan

dimensi yang memiliki korelasi paling tinggi dengan nilai r = - 0,450

dan termasuk tingkat kategori sedang (Sugiyono, 2015). Selanjutnya,

diikuti oleh dimensi social flexibility yang memiliki nilai r = - 0,379.

Berdasarkan kategorisasi interval korelasi pearson tingkat korelasi

antara kecanduan media sosial dengan social flexibility memiliki

tingkat kategori yang rendah. Dimensi social scanning merupakan

dimensi yang memiliki korelasi paling rendah dengan nilai r = - 0,242.

Berdasarkan kategorisasi interval korelasi pearson tingkat korelasi

antara kecanduan media sosial dengan social scanning memiliki

tingkat kategori yang rendah (Sugiyono, 2015).

F. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecanduan

media sosial dan keterampilan sosial pada individu dewasa awal. Subjek

dalam penelitian ini berjumlah 208 subjek dewasa awal dengang rentang

75
usia 18-40 tahun. Selain itu, pada penelitian ini juga dijabarkan korelasi

antara variabel kecanduan media sosial dengan dimensi-dimensi

keterampilan sosial yang terdiri dari social presentation, social scanning,

dan social flexibility.

Pada keseluruhan data diperoleh juga intensitas penggunaan waktu

dalam menggunakan media sosial yang dapat dijadikan dasar apakah

individu mengalami kecanduan media sosial atau tidak. Terkait durasi

waktu tersebut diperoleh hasil sebanyak 98 subjek (47,1 %) yang

menggunakan media sosial selama 3-6 jam per hari dan merupakan urutan

tertinggi dalam durasi waktu ini. Kemudian selama lebih dari 6 jam sehari

sebanyak 82 subjek (39,4%) dan yang terakhir kurang dari 3 jam per hari

sebanyak 28 subjek (13,5%). Berdasarkan dari data yang diperoleh dapat

diketahui bahwa terdapat 82 subjek (39,4%) yang memiliki tingkat

kecanduan media sosial yang tinggi dengan mengakses media sosial lebih

dari 6 jam sehari. Intensitas waktu bukan satu-satunya indikator dalam

mendiagnosis kecanduan media sosial tetapi juga indicator perilaku negstif

yang ditimbulkan seperti mengabaikan pekerjaan, pendidikan, bahkan

hubungan sosial mereka. Meskipun waktu bukan fungsi langsung dalam

mendiagnosis kecanduan internet, namun penelitian-penelitian awal

menunjukkan bahwa mereka yang diklasifikasikan sebagai pengguna

media sosial yang mengalami kecanduan pada umumnya menghabiskan

waktu antara 40-80 jam per minggu (Grienfield dalam Young & Abreu,

2017). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Çiçekoğlu,

76
Durualp, & Durualp (2014) yang mengatakan bahwa penggunaan internet

dapat diamati melalui durasi penggunaan berapa lama menggunakan

media sosial. Hal tersebut sejalan yang dikemukakan oleh The Graphic,

Visualization & Usability Center, the Georgia Institute of Technology yang

menetapkan indikator bahwa individu yang kecanduan internet pada

golongan Heavy Users (lebih dari 40 jam per bulan) atau 6 jam per hari.

Kecanduan internet merupakan pemakaian internet secara terus-menerus

sehingga dapat mengganggu kehidupan pemakainya.

Ketika pengguna media sosial lebih cenderung berkomunikasi

melalui media sosial dan jarang terlibat dalam komunikasi secara langsung

atau tatap muka, maka individu tersebut kurang terlatih untuk memberikan

feedback komunikasi terhadap lawan bicaranya. Hal tersebut juga berlaku

sebaliknya yaitu jika individu pengguna media sosial tidak menjadikan

media sosial sebagai media utama dalam berkomunikasi, maka individu

tersebut dapat lebih terlatih untuk berinteraksi secara face to face yang

dapat melatih keterampilan sosial dan juga lebih dapat untuk menghargai

lawan bicaranya ketika berinteraksi secara langsung. Penelitian tersebut

diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Murtiadi, dkk (2015)

mengatakan bahwa dalam melakukan interaksi secara online, bahasa tubuh

nonverbal seperti ekspresi perasaan dan emosi tidak dapat diperhatikan.

Berdasarkan dari uji hipotesis yang dilakukan peneliti dengan

korelasi Pearson diketahui nilai korelasi kecanduan media sosial dengan

keterampilan sosial sebesar -0,436 dengan signifikansi sebesar 0,000

77
(p<0,05) yang artinya bahwa terdapat hubungan negatif antara kecanduan

media sosial dan keterampilan sosial yang termasuk dalam kategori tingkat

sedang (Sugiyono, 2015). Dari hasil yang diperoleh tersebut dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecanduan media sosial maka

semakin rendah tingkat keterampilan sosial. Begitu pula sebaliknya

semakin rendah tingkat kecanduan media sosial maka semakin tinggi

tingkat keterampilan sosialnya. Penelitian ini selaras dengan penelitian

yang pernah dilakukan oleh Caplan (2005) yang menyatakan bahwa

individu yang lebih memilih interaksi secara online dibandingkan secara

tatap muka cenderung memiliki keterampilan sosial yang rendah.

Semakin tinggi tingkat kecanduan seseorang terhadap media sosial

maka waktu untuk berkomunikasi secara tatap muka yang dapat melatih

keterampilan sosial semakin berkurang karena bagi mereka komunikasi

melalui media sosial lebih menyenangkan (Gross, Juvonen, & Gable,

2002). Ketika menjabarkan uji korelasi dengan dimensi-dimensi

keterampilan sosial maka diperoleh hasil pada social presentation

memiliki nilai korelasi terbesar di antara ketiga dimensi yaitu nilai r = -

0,450 dan nilai signifikansi p = 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) yang

mengartikan bahwa hubungan negatif antara kecanduan media sosial

dengan social presentation. Artinya bahwa semakin rendah tingkat

kecanduan media sosial maka semakin tinggi social presentation

seseorang dan demikian sebaliknya semakin rendah tingkat kecanduan

media sosial maka semakin tinggi tingkat social presentation. Penelitian

78
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Caplan (2003) yang

mengatakan bahwa individu dengan social presentation yang rendah akan

lebih cenderung memilih berinteraksi melalui online dari pada interaksi

face to face. Jika dilihat secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara kecanduan media sosial dengan ketiga dimensi

keterampilan sosial. Berdasarkan dengan hasil tersebut maka dewasa awal

diharapkan mampu mengontrol penggunaan media sosial agar dapat

memiliki keterampilan sosial yang baik karena dianggap sudah berada

dalam tahap kematangan sosial untuk dapat memenuhi tugas

perkembangan dewasa awal yaitu intimacy dan afiliasi agar dapat menjalin

hubungan yang baik tidak hanya dengan pasangan tetapi juga dengan

keluarga, sahabat maupun teman kerja. Hal yang dapat dilakukan untuk

mengontrol penggunaan media sosial dengan berlatih menggunakan waktu

yang sudah ditetapkan untuk bermedia sosial, mengetahui tujuan ketika

bermedia sosial agar dapat menyesuaikan waktu penggunaannya,

mengembangkan kemampuan pribadi yang dapat mengalihkan

penggunaan media sosial. Selain itu, menurut Young (2017) yaitu dengan

cara pengembangan inventori pribadi, karena pecandu media sosial sering

kali meninggalkan hobi dan minatnya akibat waktunya hanya dihabiskan

untuk mencari minat-minat dalam dunia maya, maka individu tersebut

didorong untuk mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang dulu

dilakukannya dan tidak dipedulikannya lagi dah hal tentu saja perlu

dilakukan dengan bantuan dari terapis maupun kerabat terdekat.

79
G. Keterbatasan Penelitian

Peneliti sangat menyadari bahwa terdapat beberapa keterbatasan

dalam penelitian ini. Pertama, keterbatasan terkait kurangnya kontrol

terutama dalam terpenuhinya subjek sesuai kriteria yang diperlukan secara

langsung. Hal ini disebabkan karena situasi pandemic corona yang tidak

memungkinkan untuk melakukan penyebaran data secara langsung

sehingga harus dilakukan melalui online dalam bentuk google form.

Dengan adanya keterbatasan tersebut peneliti mengantisipasinya dengan

memberikan informasi yang jelas mengenai karakteristik subjek yang

diperlukan pada penelitian ini di halaman awal google form serta

melakukan penyaringan data melalui identitas data diri subjek yang

mengisi kuesioner. Terkait dengan keterbatasan tersebut juga berdampak

pada jumlah subjek di setiap rentang usia kurang proporsional sehingga

hal ini mengakibatkan hasil penelitian kurang dapat digeneralisasikan pada

rentang usia dewasa awal.

Kedua, peneliti tidak dapat mengetahui kondisi subjek secara

langsung ketika mengisi kuesioner karena dilakukan secara online, hal ini

menyebabkan peneliti rentan mendapatkan informasi secara tidak valid.

Dalam mengantisipasi hal tersebut maka peneliti memberikan keterangan

pada bagian awal sebelum mengisi kuesioner penelitian agar subjek

diminta mengisi kuesioner secara jujur dan berdasarkan keadaan yang

sesungguhnya.

80
81
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil analisa beserta pembahasan dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam

penelitian diterima. Kecanduan media sosial berkorelasi dengan

keterampilan sosial pada dewasa awal dengan tingkat korelasi -0,436 dan

nilai signifikansi sebesar 0,000 (0 < 0,01). Hal tersebut dapat memberikan

kesimpulan bahwa terdapat hubungan korelasi negatif antara kecanduan

media sosial dan keterampilan sosial yang dimiliki oleh dewasa awal yaitu

semakin rendah kecanduan media sosial maka semakin tinggi

keterampilan sosial, dan sebaliknya semakin tinggi kecanduan media

sosial maka keterampilan sosial semakin rendah.

Pada analisis data tambahan terkait korelasi kecanduan media

sosial dan dimensi keterampilan sosial menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kecanduan media sosial dengan social

presentation, social scanning, dan social flexibility pada dewasa awal.

Korelasi antara kecanduan media sosial dan social presentation memiliki

nilai korelasi yang paling besar dibandingkan dengan dimensi

keterampilan sosial lainnya.

82
B. Saran

Berdasarakan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka

peneliti mengajukan beberapa saran:

1. Bagi dewasa awal pengguna media sosial

Pada era teknologi yang semakin pesat saat ini media sosial

memang telah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari

kehidupan masyarakat khususnya remaja dan dewasa awal serta

menjadi media yang paling digemari. Dari hasil penelitian ini,

diketahui bahwa kecanduan media sosial dan keterampilan sosial

memiliki kontribusi korelasi yang cukup atau sedang, tetapi

penggunaan media sosial yang berlebihan akan menyebabkan

ketergantungan pada media sosial dan secara signifikan akan

mempengaruhi keterampilan sosial yang telah dibuktikan pada

penilaian korelasi antara kecanduan media sosial dan keterampilan

sosial yang memiliki hubungan korelasi negatif antara kecanduan

media sosial dan keterampilan sosial yang dimiliki oleh dewasa awal

yaitu semakin rendah kecanduan media sosial maka akan semakin

tinggi keterampilan sosial, dan sebaliknya semakin tinggi kecanduan

media sosial maka keterampilan sosial akan semakin rendah. Maka

dari itu, pengguna media sosial dewasa awal diharapkan dapat dengan

bijak mengelola waktu dalam penggunaan media sosial dengan

mengetahui tujuan yang ingin dilakukan ketika menggunakan media

sosial. Para dewasa awal pengguna media sosial juga sebaiknya dapat

83
semakin meningkatkan keterampilan sosial dengan lebih banyak

menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman serta selalu

mengusahakan komunikasi secara langsung.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan,

peneliti memiliki beberapa saran yang perlu untuk diperhatikan bagi

para peneliti selanjutnya:

1. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menganalisis teori hubungan

kecanduan media sosial dan keterampilan sosial dengan sumber

referensi yang lebih banyak untuk memperoleh kebaruan penelitian

karena teknologi khususnya media sosial selalu mengalami

perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu.

2. Peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat mengambil data secara

langsung guna mengontrol dan mengawasi responden ketika proses

pengisian kuesioner penelitian, agar data yang diperoleh sesuai

dengan kondisi subjek serta kriteria subjek yang diinginkan dapat

merata seperti rentang usia rentang usia, jika kriteria data kurang

proporsional hal ini mengakibatkan hasil penelitian kurang dapat

digeneralisasikan.

3. Peneliti data selanjutnya diharapkan dapat memperluas variabel

lain pada penelitian selanjutnya sehingga dapat mengungkap lebih

banyak faktor lainnya seperti kesejahteraan psikologis, self control,

self compassion, dll.

84
DAFTAR PUSTAKA

Abadi , T. W., Sukmawan, F., & Utari, D. A. (September 2013). Media Sosial dan
Pengembangan Hubungan Interpersonal Remaja di Sidorejo. Kanal, Vol 2
No 1, Hal 1-106.

Anna, L. (2019, Juli 05). Otak Manusia Haus Informasi. Lifestyle Kompas.
https://lifestyle.kompas.com/read/2019/07/05/072900920/otak-manusia-
memang-haus-informasi-

Anugrah, A. (2014, Desember 04). Sosial Media: Overdosis.


https://icca.co.id/social-media-overdosis/

Arnett, Jeffrey Jensen. (2013). Adolesence and emerging adulthood: a cultural


approach. United State of Amerika: Pearson Education. 5th Edition

Arumugam, N., Thayalan, X., Kaur, K., & Muthusamy, C. (2013). It Takes Two to
Tango: Academic Environment and Social Skills. Asian Social Science,
9(4), 123-128. doi:10.5539/ass.v9n4p123

APJII. (2017). Hasil Survey Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet di Indonesia
2017. Diunduh dari https://apjii.or.id/survei2017

APJII. (2019). Laporan Survei Internet APJII 2019 - 2020. Diunduh dari
https://apjii.or.id/survei2019x

Azwar, S. (2019). Penyusunan skala psikologis. Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2019). Realibilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar.

Byun, S., et al. (2009). Internet addiction: metasynthesis of 1996 – 2006


quantitative research.

Caplan, S.E. (2005) A Social Skill Account of Problematic Internet Use.


University of Delaware. Journal of communication. 721-736.

85
Castells, Manuel. 2014. “The Impact of the Internet on Society: A Global
Perspective”. https://www.techonologyreview.com/s/530566/the-impact-
of-the-internet-society-a-global-perspective/

Çiçekoğlu, P., Durualp, E., & Durualp, E. (2014). Evaluation ofThe Level of
Internet Addiction Among 6th-8th Grade Adolescents In Term of Various
Variables. European Journal of Research on Education, 22-28.
fromhttp://iassr.org/jurnal

Collin, Rahilly, Richardson & Third. 2011. The benefits of social networking.

Correa, T. (2010). The Participation Divide Among “Web Experts”: Experience,


Skills, and Psychological Factors as Predictors of College Students’ Web
Content Creation. Journal of ComputerMediated Communication 16(1):
71– 92

Cyber Psychology & Behavior. Vol. 12, Number 2, p. 203-207

Duarte, F. (2019, September 09). Berapa banyak waktu yang dihabiskan rakyat
Indonesia di Media Sosial?. https://www.bbc.com/indonesia/majalah-
49630216

Dwiutami, Lussy. 2013. Pola Perilaku Dewasa Muda Yang Kecendrungan


Kecanduan Situs Jejaring Sosial. Jurnal Penelitian dan Pengukuran
Psikologi 2 (1): 51-62

Engelberg, E., & Sjoberg, L. (2004). Internet Use, Social Skills, and Adjustment.
Cyberpsychology & Behavior, 7(1), 41-47.

Griffiths, M. (2005). A ‘Components’ Model of Addiction Within A


Biopsychosocial Framework. Journal of Substance Use, 10 (4), 101-197

Hair, E. C., J. J., & Garrett, S. B. (2002). Helping Teens Develop Healthy
Keterampilan sosial and Relationships: What the Research Shows about
Navigating Adolescence. Washington: Knight Foundation.

86
Hurlock, B.E. (1999). Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kandell. J. J, 1998. Internet Addiction On Campus: The Vulnerabillity Of College


Students, Cyberpsychology & Behavior Volume 1, number 1.

Kementrian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia. 2014. “Pengguna


internet di Indonesia capai 82 juta.
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo
%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/
berita_satker

Kementrian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia. 2018. “Kecanduan


Gawai Ancam Anak-anak”. Diunduh dari
https://kominfo.go.id/content/detail/13547/kecanduan-gawai-ancam-anak-
anak/0/sorotan_media.

Kim, J., LaRose, R., & Peng, W. (2009). Loneliness as the Cause and the Effect of
Problematic Internet Use: The Relationship between Internet Use and
Psychological Well-Being. Cyberpsychology & Behavior, 12(4), 451-455.
doi:10.1089=cpb.2008.0327

Lee, C.-C., & Wen-Bin Chiou. (2013). Keep Logging In! Experimental Evidence
Showing the Relation of Affiliation Needs to the Idea of Online Social
Networking.

Mami, S., & Hatami-Zad, A. (2014). Investigating the effect of Internet Addiction
on Social Skills and in High School Students' Achievement. International
J. Soc. Sci. & Education, 4((Special Issue)), 56-61. doi:2223-4934 E;
2227-393X Print

Mauludi, S. 2018. “Socrates Café: Bijak, Kritis & inspiratif Seputar Dunia &
Masyarakat Digital. Jakarta: PT. Gramedia.

Mengkaka, B. (2015, Juni 24). Kecanduan Internet. Jakarta, Jakarta, Indonesia.

87
Merrel, K.W. & Gimpel, G.A. Social Skill of Children and Adolescents:
Conceptualization. Assesment, Treatment. New Jersey: Lawrence
Erlbaum; 1998

Michelson, L., Sugai, D. P., Wood, R. P., & Kazdin, A. E. (1983). Keterampilan
sosial Assessment and Training with Children. New York: Springer
Science Business Media, LLC.

Mu’tadin, 2006. Ketrampilan Sosial Remaja, www.e-psikologi.com/psikologi


remaja/ketrampilan-sosial. http://www.idai.or.id/remaja.asp, p= 5   diakses
10 september 2012  

Mu’tadin, Z. (2002). Pengantar Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.


Yogyakarta. Andi Offset

Nair, A. R., Ravindranath, S., & Thomas, J. (2013). Can Social Skills Predict
Wellbeing? : An Exploration. European Academic Research, 1(5), 712-
720. Retrieved from www.euacademic.org

Natalia, Theodora. (2009). Hubungan kecanduan internet game online dengan


keterampilan sosial pada remaja. (Skripsi). Jakarta : Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.

Ningtyas, S. D. (2012). Hubungan Antara Self Control Dengan Internet Addiction


Pada Mahasiswa. Educational Psychology Journal ,01, 25-30.

Ozdemir, Y., Kuzucu, Y., &Ak, S. (2014). Depression, loneliness and Internet
addiction: How important is low self-control? Computer in Human
Behavior, 34, 284-290.

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia


( Experience Human Developmen 12 nd. ed). Jakarta Selatan: Salemba.

Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi (ed 7). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia. (2015). Hasil survei: “pengguna


internet di Indonesia” oleh APJII bekerja sama dengan Pusat Kajian

88
Komunikasi Universitas Indonesia.PUSKASKOM. Diunduh dari
http://puskakom.ui.ac.id/publikasi/rilis-pers-hasil-survey-profil-pengguna-
internet-di-indonesia-2014-oleh-apjii-bekerja-sama-dengan pusat-kajian
komunikasi-universitas-indonesia.html

Reed, T. V. 2014. Digitized Lives : Culture, Power, and Social Change in the
Internet Era. New York: Routledge.

Retani, L.R. (2016). Hubungan Antara Tingkat Adiksi dengan Keterampilan


Sosial pada Remaja Pengguna Smartphone di SMP N 10 Tegal. Skripsi.
Semarang: Universitas Diponegoro.

Riggio, R.E., & Reichard, R,J. (2008). The Emotional and Social Intelligences of
Effective Leadership: An Emotional and Social Skill Approach. Journal of
Managerial Psychology.

Santrock, J.W. (2009). Life Span Development 12th Ed. Boston: McGraw Hill
Companies

Saliceti, F. (2015). Internet Addiction Disorder (IAD). Procedia - Social and


Behavioral Sciences , 191, 1372 – 1376.

Sariroh, M. (2016, Mei). Pengaruh Media Terhadap Perkembangan Remaja.


Diambil kembali dari Dampak Media Sosial Terhadap Perkembangan
Remaja.

Setiaji, S., Virlia, S., (2016). Hubungan Kecanduan Game Online dan
Keterampilan Sosial pada Pemain Game Dewasa Awal di Jakarta Barat.
Jurnal Psikologi Psibernetika. 9(2), 93-101.

Spraggrins, A. (2009). Problematic use of online social networking sites for


college students: prevalence, predictors, and association with wellbeing
University of Florida

Suhartini. (2018, Desember 30). Pengaruh Kehadiran Media Sosial terhadap


PerilakuRemaja.https://www.kompasiana.com/suhartini71656/5c28bc2912

89
ae94547b67aa25/pengaruh-kehadiran-media-sosial-terhadap-perilaku-
remaja-

Sugiyono & Susanto, Agus. (2015). Cara Mudah Belajar SPSS & LISREL Teori
dan Aplikasi untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Supratiknya, P. D. (2014). Pengukuran Psikologis. Yogyakarta: Sanata Dharma


University Press.

Supratiknya, P. D. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif & Kualitatif dalam


Psikologi. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Unicef.org. 2014. “Study Terakhir: Kebanyakan Anak Indonesia sudah online,


namun masih banyak yang tidak menyadari potensi resikonya”. Diunduh
dari https://www.unicef.org/indonesia/id/media_22169.html. akses 30
Agustus 2019.

Valkenburg, P. M., & Peter, J. 2011. “Online Communication among Adolescents:


An Integrated Model of its Attraction, Opportunities, and Risks”. Journal
of Adolescent Health, 121-127.

Widiana, H. S., Retnowati, S., & Hidayat, R. (2004). Kontrol Diri Dan
Kecenderungan Kecanduan Internet. Humanitas: Indonesian
Psychologycal Journal , 01(01), 6-16.

Wu, S. (2008). Social skill in the workplace: what is social skill and how does it
matter. Columbia. University of Missouri.

Yao, M. Z., & Zhong, Z. j. (2014). Loneliness, social contacts and Internet
addiction: A cross-lagged. Computer in Human Behavior, 30, 164-170

Yen, J.-Y., Yen, C.-F., Wu, H.-Y., Huang, C.-J., &Ko, C.-H. (2011). Hostility in
the Real World and Online: The Effect of Internet Addiction, Depression,
and Online Activiry. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking,
14(11), 649-655. doi:10.1089/cyber.2010.0393

90
Young, K. S., & Abreu, C. N. (2011). A Handbook and Guide to Evaluation and
Treatment. New Jersey: John Wiley & Son, Inc.

Young, K. S., & Abreu, C. N. (2017). Kecanduan Internet Panduan Konselin dan
Petunjuk untuk evaluasi dan penanganan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

91

Anda mungkin juga menyukai