Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328462164

Ancaman Adiksi Internet dan Pencegahannya

Article · October 2018

CITATIONS READS

0 211

1 author:

D P Budi Susetyo
Soegijapranata Catholic University
7 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Internet behavior View project

Psychology and Culture View project

All content following this page was uploaded by D P Budi Susetyo on 23 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Ancaman Adiksi Internet dan Pencegahannya1
Drs. DP Budi Susetyo, M.Si.2

Pendahuluan
Sekarang ini kita telah hidup di era peradaban internet. Pengguna internet semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2017 tercatat 3,7 milyar warga dunia yang
menggunakan internet (Kominfo.go.id, 2017). Adapun pengguna internet di Indonesa,
sebagaimana dilansir oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), tercatat
sebanyak 132,7 juta orang. Dari konten yang dikunjungi pengguna internet di Indonesia paling
banyak mengunjungi web online shop (62 %), sedangkan untuk media sosial yang paling
banyak dikunjungi adalah facebook (54%). (Kompas.com, 2016).
Internet masih akan terus berkembang dan memengaruhi perubahan pada setiap aspek
kehidupan kita, baik itu kehidupan pribadi, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Hal tersebut
dapat terjadi karena internet mampu menyediakan kebutuhan yang paling dasar dari manusia
yaitu komunikasi. Apalagi komunikasi antar warga masyarakat semakin mudah dilakukan
dengan berkembangnya teknologi wireless dan perangkat komunikasi smartphone (Bargh dan
McKenna, 2004). ‘Connecting People’ begitulah tagline handphone Nokia yang pernah
menguasai pasaran. Memang seperti itulah kiranya yang dibutuhkan masyarakat dari internet,
yaitu memudahkan berkomunikasi satu sama lain. Itulah sebabnya peluncuran konten
facebook sebagai pioner media sosial mendapat respon luar biasa dari masyarakat dan memicu
peningkatan penggunaan internet di masyarakat.
Kemajuan teknologi internet nampaknya juga melampaui ekspektasi masyarakat.
Internet tidak lagi sekedar mengirim email ataupun mengakses informasi, namun teknologi
internet mampu menawarkan segala kemudahan untuk mengatasi persoalan dan memenuhi
kebutuhan. Belakangan ini online menjadi solusi atas banyak persoalan. Layanan online
semakin intensif dijalankan berbagai bidang pemerintahan, pendidikan, bisnis, media massa,
hiburan dan layanan publik. Internet tidak lagi eksklusif bagi kelompok tertentu tetapi sudah
sedemikian merakyat. Namun demikian, apakah masyarakat sudah siap menerima ataupun
beradaptasi dengan kemajuan teknologi internet ?
Sebagaimana sudah diramalkan oleh futurolog Alvin Toffler di tahun 1970 dalam
bukunya Future Shock, bahwa pengetahuan akan menjadi kekuatan ataupun tulang punggung

1
Disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional X Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia, Semarang 23
Agustus 2017.
2
Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang, bsetyo16@yahoo.co.id

1
dalam rangka membangun masyarakat yang kuat melebihi kelimpahan tenaga kerja maupun
materi. Siapapun yang tidak mengikuti perkembangan informasi terbaru baik itu perorangan,
institusi maupun masyarakat akan dengan segera tertinggal. Arus pengetahuan itu akan
mengalir deras melalui komputer dan internet. Namun ketersediaan informasi ataupun
pengetahuan tak terbatas juga menjadi kesulitan tersendiri bagi masyarakat untuk memilih dan
memahaminya. Prediksi tersebut nampaknya sudah terbukti sekarang ini. Kemajuan
pengetahuan yang demikian pesat di dunia internet tidak diikuti kesiapan masyarakat untuk
beradaptasi. Mengacu pada Ward dkk (2001), penyesuaian terhadap pengetahuan seperti
semacam penyesuaian dengan budaya baru. Terdapat konsekuensi psikologis bahkan
psikopatologis yang merugikan ketika gagal menyesuaikan diri dengan budaya baru.
Kelompok yang gagal akan menjadi kelompok yang termarjinalisasi, teralienasi.

Paradoks internet
Sifat ilmu pengetahuan /teknologi sendiri selalu mengandung unsur paradoks. Di satu
sisi teknologi secara otonom berkembang terus menerus tak terbatas. Di sisi lain teknologi
memiliki ekses ataupun dampak negatif ketika diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Ibarat pisau bermata dua, demikian kiranya yang terjadi dalam perilaku ber-internet. Dibalik
banyak manfaat dari internet, nampak mulai terlihat dampak negatif dari segi perilaku
pengguna. Seperti yang terjadi belakangan ini dalam komunikasi di media sosial, fenomena
ujaran kebencian (hate speech) menjadi isu utama yang memprihatinkan. Orang sepertinya
kehilangan etika sopan santun sehingga menulis apa saja tanpa memperhatikan apakah
menyinggung perasaan orang lain, kepantasan dan sebagainya. Fungsi komunikasi dalam
media sosial yang seyogyanya dapat dimanfaatkan kegiatan produktif justru dijadikan alat
untuk menghasut, provokasi misalnya dalam perseteruan politik.
Adiksi internet semakin menyita perhatian serius mengingat semakin meningkatnya
orang menggunakan internet secara berlebihan sehingga mengganggu kehidupan pribadi
maupun sosialnya. Mengacu pada Byun dkk (2009) diperkirakan ada 9 juta warga Amerika
yang dikategorikan sebagai pengguna komputer/internet adiktif. Perilaku adiktif tersebut
mengganggu pekerjaan, sekolah dan kehidupan sosialnya. Diantara semua perilaku adiktif,
persoalan adiksi internet belakangan ini dinilai paling menonjol seiring dengan semakin
meningkatkan penggunaan internet oleh masyarakat. Fungsi internet yang memungkinan
pengguna melakukan interaksi dan sosialisasi secara efektif dan menarik menjadi alasan utama
mengapa orang mau secara berlebihan menggunakan waktunya di internet. Fasilitas email,
forum diskusi, chatting, game online merupakan situs yang paling banyak diakses dengan

2
penggunaan yang meningkat tajam. Blogger.com meningkat 525%, MySpace.com 318 %,
Wikipedia.org 275 %. Namun demikian, kapasitas internet untuk berjejaring menjadi penyebab
terjadinya isolasi sosial dan gangguan fungsional aktivitas sehari-hari. Di dunia kerja ditandai
dengan menurunnya performa kerja dan merupakan bentuk penarikan diri dari tim kerja.
Akibatnya akan mengurangi kepuasan kerja dan penurunan efisiensi kerja.
Di Indonesia semakin banyak orang sibuk chatting di internet karena ditunjang semakin
banyak pilihan situs untuk chatting. Facebook termasuk konten paling banyak digunakan (54
%), menyusul Instagram (15 %), dan konten lain yang juga memiliki peminatnya masing-
masing seperti WhatsApp, Line, BBM dan lainnya. Menurut pengamatan maupun pengalaman
penulis, chatting di internet tidak selalu memiliki konotasi negatif. Banyak hal positif
dilakukan dengan chatting, baik itu untuk keperluan pekerjaan, bisnis, komunikasi pribadi.
Banyak grup dibuat agar pembicaraan ataupun diskusi lebih efektif. Namun demikian gejala
berlama-lama chatting cenderung meningkat. Bahkan aktivitas chatting mulai terasa
mengganggu secara sosial. Jika adiksi diterapkan dengan dosis yang lebih ringan nampaknya
sekarang ini telah berlangsung demam adiksi internet secara kolektif.

Definisi dan cakupan


Definisi adiksi internet berfokus pada pengertian adiksi dimana mengacu pada Byun dkk
(2009) didefinisikan sebagai tindakan kompulsif ataupun ketergantungan yang tak terkendali
terhadap benda, kebiasaan tertentu yang menyebabkan gangguan emosi, mental ataupun respon
fisiologis yang parah. Di dalam berbagai literatur digunakan istilah lain selain adiksi internet
seperti cyberspace addiction, internet addiction disorder, online addiction, Net addiction,
pathological internet use, high internet dependency dan lainnya. Namun adiksi internet paling
populer digunakan. Byun sendiri mendefinisikan adiksi internet sebagai tingkat psikologis
seseorang baik secara mental dan emosional yang terganggu karena penggunaan internet yang
berlebihan.
Young (dalam Kuss & Griffiths, 2011) membedakan adiksi internet dalam 5 kategori
yaitu computer addiction: kecanduan game komputer, informational overload: kecanduan
berselancar dalam web, net addiction: kecanduan judi ataupun belanja online, cybersexual
addiction: adiksi pornografi ataupun seks online, dan cyberrelationship addiction: adiksi
terhadap situs media sosial.
Upaya memahami penyebab adiksi internet telah banyak dilakukan. Mengacu pada Byun
dkk (2009), penelitian banyak dilakukan dengan fokus pada faktor individual sebagai penyebab
adiksi internet, seperti kepribadian, ketrampilan interpersonal yang rendah dan kecerdasan

3
level tinggi, depresi, keinginan bunuh diri, self esteem, kesepian dan malu. Hasil penelitian
kebanyakan menemukan kaitan yang meyakinkan antara adiksi internet dengan faktor-faktor
tersebut. Seorang penyandang adiksi internet umumnya seorang yang suka menyendiri,
memiliki deviasi nilai ataupun prinsip, juga kurang matang dalam pengelolaan emosi dan
ketrampilan sosial.
Namun selain faktor individual fenomena adiksi internet sebenarnya tak dapat
dilepaskan dari faktor sosial dan lingkungan, termasuk juga faktor makro seperti politik,
ekonomi dan budaya. Mengutip definisi psikologi sosial yang dikemukakan Shaw & Coztanzo
(1985) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari
rangsang-rangsang sosial. Berdasarkan definisi tersebut maka adiksi internet dapat dipahami
dalam kaitaanya dengan rangsang-rangsang sosial. Terkait dengan hal tersebut adiksi internet
dapat dikaitkan dengan penyesuaian manusia dengan teknologi, dampak industrialisasi dengan
perilaku, kondisioning dan penguatan perilaku, fenomena keruangan virtual dan pengaruh
kelompok.

Adaptasi Terhadap Teknologi Internet


Komputer, internet, smartphone merupakan penanda peradaban modern yang identik
dengan hal yang serba otomatis, mekanis. Teknologi internet memiliki sistem kerja yang
kompleks yang harus dipahami dan dijalankan oleh penggunanya. Namun demikian penerapan
teknologi internet tidak disertai edukasi ataupun sosialisasi yang memadai. Dunia industri
umumnya hanya berorientasi pada bagaimana hasil produksi dapat diserap sebanyak-
banyaknya oleh pasar, namun kurang memperdulikan dampak negatifnya pada masyarakat.
Teknologi canggih dengan segala kompleksitasnya pada kenyataannya hanya mampu dikuasai
oleh sedikit orang saja yang menguasai teknologi internet ataupun ahli IT. Sementara
mayoritas pengguna internet adalah konsumen yang menguasai teknologi internet secara
terbatas. Mereka adalah kelompok yang rentan menggunakan internet secara akibat
ketidaktahuan bagaimana seharusnya menggunakan internet.
Mengacu pada pendapat Jacob (1993), teknologi memiliki sejumlah dampak negatif
sebagai berikut:
1) Teknologi telah menggeser ataupun mengganti peran manusia (displacement
substitution). Hal tersebut menyebabkan manusia mengalami atropi otot maupun atropi
mental.
2) Kebebasan yang terkekang karena manusia harus menyesuaikan diri dengan alat dan
sistem.

4
3) Kepribadian terhimpit karena manusia cenderung terdesak menjadi manusia massa
yang uniform (sama) dengan yang lain. Dengan uniformitas dan konformitas maka
individualitas menjadi terbatasi, menjadi lebih mementingkan kuantitas daripada
kualitas serta diikuti pendangkalan mental.
4) Manusia sebagai objek (dehumanisasi), yaitu karena teknologi berkembang semakin
canggih, otonom, manusia kebanyakan hanya menjadi budaknya yang efisien. Kalau
manusia tidak mematuhi berarti tidak efisien dilihat sistem manusia – mesin dan harus
diganti.
5) Mentalitas teknologi, yaitu adanya adanya kepercayaan yang berlebihan terhadap alat
(teknosentris). Hal tersebut memunculkan pandangan bahwa segala sesuatu dapat
diselesaikan dengan teknologi, bahkan ilmu pengetahuan berperan sebagai agama
sekuler.
6) Penyesuaian maladaptif. Dalam rangka mengembangkan keseimbangan yang
terganggu oleh hadirnya teknologi, orang terkadang lari dengan penyesuaian yang
maladaptif seperti narkoba, alkohol dan sebagainya, serta mengumpulkan kekuatan
dengan barang-barang penunjuk status (positioning goods) sebagai kompensasi atas
adaptasi yang gagal terhadap teknologi.
7) Krisis teknologis. Hal ini terjadi akibat perkembangan teknologi yang terlalu cepat,
sehingga proses adaptasi dan integrasi tidak sempat dilakukan.
Mengacu pada Fromm (1995) manusia modern memiliki keterlibatan terbatas dalam
proses produksi karena semua menjadi porsi dunia industri dan pemilik modal. Masyarakat
modern lebih didorong untuk menjadi homo consumens, masyarakat gemar mengkonsumsi
semua produk yang dijual di pasaran. Partisipasi manusia dalam setiap proses produksi
memang semakin terbatas. Bahwa sampai pertengahan abad 19 manusia masih menyumbang
15 % enerji untuk kerja, 79 % tenaga hewan dan 6 % mesin. Namun keadaan berbalik ketika
teknologi berkembang demikian pesat seperti yang terjadi sekarang ini, peran mesin semakin
dominan mengantikan kerja manual maupun kecerdasan manusia. Rasiopun bergeser dimana
teknologi/mesin memiliki peran 96 %, hewan 1 % dan manusia hanya 3 %.
Dalam konteks demikian, semakin jelas bahwa peran manusia semakin dikesampingkan
dan kehilangan makna hidup. Manusia menjadi semakin teralienasi dari habitatnya sendiri
karena hanya diperankan sebagai objek, konsumen, sekrup-sekrup yang akan dibuang jika
sudah tak berguna. Oleh Fromm (1995) alienasi diartikan sebagai suatu pengalaman hidup
dimana seorang individu mengalami dirinya sebagai sosok yang terasing. Atau dapat dikatakan
individu merasa terasing dengan dirinya sendiri karena tidak mengalami dirinya sendiri sebagai

5
pusat dunianya, sebagai pencipta aktivitasnya sendiri. Manusia modern mengalami alienasi
karena mereka melakukan pemberhalaan terhadap simbol-simbol peradaban modern. Dalam
pendapat Seeman (dalam Gutrie dan Tanco, 1980) alienasi dapat diartikan sebagai
powerlessness dan meaninglessness.
Mengacu pada telaah di atas maka adiksi internet dapat dipandang sebagai bentuk
penyesuaian maladaptif karena kegagalan memahami secara mendalam substansi teknologi
internet dan bagaimana menggunakan secara efektif. Individu maupun masyarakat sebagai
pengguna memiliki ketergantungan pada internet, hanya ikut-ikutan saya karena uniformitas
dan konformitas, menjadi pengikut setia teknologi, merupakan bentuk fenomena tekno sentris
atau bisa juga sebagai bentuk pelarian atas kegagalan penyesuaian. Akibat teralienasi,
terpinggirkan dan tidak berperan lagi maka manusia kehilangan makna, merasa suwung,
kosong makna hidupnya. Adiksi internet dapat dipandang sebagai modus mengisi kekosongan
makna hidup tersebut meskipun bersifat semu ataupun ilusif.

Ketidakberdayaan Menolak Internet


Konten internet seperti media sosial, game online nampaknya dirancang sedemikian rupa
agar membuat pengguna ingin selalu mengunjungi, ketagihan, bahkan adiktif. Sebagai contoh
konten facebook membuat orang selalu ingin berinteraksi dengan para sahabat ataupun netizen
kapanpun tanpa terbatas ruang dan waktu. Demikian pula game online selalu memberikan
tantangan pada level berikutnya lengkap dengan bonus-bonus virtualnya. Dalam perspektif
behavioristik fitur ataupun konten internet mengandung unsur kondisioning dan penguatan.
Sejak orang mengisi pulsa, memberi paket, pihak provider sudah mengkondisikan pengguna
untuk berlama-lama dengan internetnya. Orang selalu ditawari paket dengan kuota yang lebih
besar dan berbagai bonus dengan konsekuensi pada waktu penggunaan internet yang lebih
lama. Internet juga memiliki unsur penguatan positif yang seringkali tak terduga (partial
reinforcement) untuk penggunaan yang lebih lama. Berjumpa kawan lama melalui facebook
memberikan kesan tak terlupakan tentunya. Hal tersebut sesuatu yang sulit dilakukan tanpa
internet. Bahwa foto-foto, komentar-komentar kita upload mendapatkan tanggapan dari
netizen, mendapatkan banyak ‘jempol’ merupakan bentuk reinforcement positif agar orang
untuk menggunakan internet dengan intensitas lebih lama. Internet juga memberikan banyak
kemudahan. Tanpa harus keluar rumah orang dapat memenuhi kebutuhannya dengan belanja
online, tiket online, banking online dan masih banyak lagi tentunya. Internet juga memfasilitasi
orang mendapatkan pengalaman sensasional (persepsi dangkal) yang membuat orang ingin
mengulang. Misalnya upload foto dengan orang terkenal ataupun foto diri yang sensasional

6
sekedar untuk mendapat jempol. Faktor kondisioning dan penguatan yang dirancang dalam
fitur internet merupakan salah satu faktor adiksi internet.
Internet menyebabkan perubahan makna ataupun konsep keruangan. Adalah Stokol dan
Montero (2002) yang mengatakan bahwa di era internet komunitas manusia tidak lagi
bergantung pada tempat untuk berkomunikasi. Manusia terkoneksi didalam jaringan
komunikasi digital yang sangat personal yang tak terikat oleh ruang dan waktu. Di era sekarang
ini internet tidak lagi identik dengan warung internet. Mau internetan tidak perlu lagi bilik-
bilik untuk privasi. Era wireless dan smartphone merubah konsep ruang fisik menjadi ruang
virtual. Hal tersebut dapat terjadi karena orang tidak memerlukan ruang fisik untuk
menggunakan internet. Dimanapun orang bisa membuka ruang virtualnya baik untuk keperluan
bisnis, diskusi, rapat, komunikasi dengan keluarga, teman, bahkan untuk hal yang sangat
pribadi sekalipun seperti pembicaraan tentang seks. Hal tersebut tentunya menjadi awal
bangkrutnya bisnis warnet. Berinternet tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu, dapat dilakukan
dimanapun. Atau biar lebih asyik dan gaul orang lebih senang main internet di kafe-kafe yang
pasti menyediakan fasilitas wifi. Kalau mau gratis, di taman-taman kota pun jadi karena
semakin banyak kota-kota berkembang menjadi smart city dengan kelengkapan akses internet
untuk publik.
Di dalam keluarga juga terjadi pergeseran makna ruang. Adalah Furedi (2015)
menengarai berkembangnya bedroom culture yaitu ketika anak/remaja lebih senang berlama-
lama di kamarnya sibuk dengan internetnya. Fenomena bedroom culture merupakan antitesis
dari family center television, dimana keluarga biasanya berkumpul di ruang keluarga sambil
ngobrol dan nonton televisi. Berkembangnya bedroom culture mendorong privatisasi
penggunaan media oleh kalangan remaja yang tidak ingin aktivitas internetnya diketahui
ataupun dikontrol orang tua. Fenomena bedroom culture membuat remaja hidup dalam
dunianya sendiri, bersosialisasi dengan dirinya sendiri (self-socialization), menegaskan ruang
privasi yang tak boleh diganggu. Tentu saja hal ini berdampak pada isolasi dari anggota
keluarga lain.
Dalam perspektif psikologi ekologi, lingkungan fisik mengarahkan pada perilaku orang
yang berada di dalamnya, seperti kamar tidur menjadi tempat orang tidur, ruang kuliah tempat
mahasiswa mengikuti kuliah dan sebagainya. Namun dengan adanya internet, fungsi-fungsi
keruangan konvensional seringkali tidak berjalan lagi. Keberadaan remaja berlama-lama di
kamar tidur bukanlah untuk tidur. Dengan internetnya remaja justru sibuk memasuki dan
beraktivitas di ruang virtualnya dengan bermain games, chatting dengan teman-teman
virtualnya, mungkin juga menjelajah online pornografi. Kendali ruang virtual ada pengguna

7
internet karena smartphone ataupun laptop ada di tangan. Orangtua semakin sulit mengontrol
perilaku anak remajanya karena secara fisik ruang virtual sulit dideteksi apalagi untuk
diintervensi.
Dalam kaitannya dengan adiksi internet maka fenomena ruang virtual ini menjadi faktor
yang semakin memicu meningkatnya adiksi internet baik secara individual maupun kolektif.
Sebagaimana yang semakin sering terjadi di kawasan publik dimana orang lebih asyik dengan
gadgetnya sebagai representasi ruang virtualnya. Bagi pribadi-pribadi yang memiliki hambatan
dalam kemampuan sosialisasi, pemalu dan penyendiri, maka ruang virtual menjadi ruang
merdeka untuk berinteraksi ataupun bersosialisasi.
Kelompok memberi pengaruh nyata pada perilaku. Individu terpengaruh kelompoknya
diantaranya melalui imitasi, konformitas, identifikasi. Di kalangan remaja pengaruh
konformitas begitu kuat terhadap berbagai bentuk perilaku. Remaja juga meniru apa yang
dilakukan kelompok maupun orang-orang yang menjadi idolanya. Namun demikian jika
melihat profil penyandang adiksi sosial adalah pribadi-pribadi yang sulit bergaul, lebih
berorientasi individual, maka dapat diasumsikan bahwa pengaruh kelompok yang diterima
adalah dari teman-teman virtualnya, seperti misalnya yang terjadi pada game online
pertemanan virtual dapat berlangsung pada game multiplayer. Pertemanan secara virtual tidak
menjadi beban bagi seorang pemalu dibanding harus melakukan pertemanan secara face to
face. Sebagai kelompok virtual mereka juga memiliki kohesivitasnya sendiri, memiliki cara
komunikasi dengan bahasa mereka sendiri dan juga memiliki benang merah tentang identitas
sosial yang ditampilkan.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dipahami bahwa dalam konteks makro dan sosial,
adiksi internet lebih disebabkan karena: 1) kegagalan beradaptasi dengan teknologi yang
berkembang cepat, 2) dampak industrialisasi modern yang menempatkan masyarakat sebagai
objek ataupun korban, pihak yang teralienasi, 3) akibat dari pengkondisian dan penguatan
untuk menggunakan internet secara berlebihan, 4) perubahan konsep ruang dari ruang fisik
menjadi ruang virtual, 5) pengaruh kelompok virtual. Pada dasarnya semua orang memiliki
predisposisi untuk terpapar adiksi internet dari ringan sampai berat. Hal tersebut karena
internet merupakan sebuah sistem teknologi, sosial dan kultural yang berpengaruh secara
global.
Untuk mengatasi adiksi internet maka dapat diusulkan langkah-langkah preventif sebagai
berikut:

8
1) Edukasi publik dalam rangka adaptasi terhadap teknologi tentang penggunaan internet
yang sehat. Program ini dapat dilakukan melalui media massa, sekolah maupun media
lain. Program ini semestinya juga menjadi tanggungjawab kalangan industri dalam
bentuk CSR (Corporate Social Responsibility).
2) Regulasi bisnis internet yang sehat dan etis dengan memberikan kesempatan konsumen
untuk menerima informasi yang cukup atas produk internet yang dipakai.
3) Aktivasi kembali fungsi-fungsi ruang fisik sesuai peruntukan dalam upaya meredam
gejala ruang virtual. Misalnya: dilarang berinternet saat rapat, tidak chatting saat makan
bersama keluarga dan sebagainya.

Daftar Pustaka

Bargh, J.A. & McKenna, K.Y.A. (2004). The internet and social life. Annual Review of
Psychology Vol. 55: 573 – 590.
Byun, S., et al. (2009). Internet addiction: metasynthesis of 1996 – 2006 quantitative
research. Cyber Psychology & Behavior. Vol. 12, Number 2, p. 203-207.
Fromm, E. (1995). Masyarakat sehat (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Furedi, F. (2015). How the internet and social media are changing culture.
http://www.frankfuredi.com/article/how_the_internet_and_social_media_are_changin
g_culture1
Gutrie, G.M. & Tanco, P.P. (1980). Alienation. In Triandis, H.C. & Dragus, J.G. Handbook
of cross cultural psychology: psychopathology. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Jacob, T. (1993). Manusia, ilmu dan teknologi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Kuss, D.J. & Griffith, M.D. (2011). Online social netwoking and addiction – a review of the
psychological literature. Environmental Research and Public Health, 8, 3528 - 3552
Shaw, M.E & Constanzo, P.R. (1985). Theories of social psychology. Singapore: McGraw-
Hill Book Company
Stokol, D & Montero, M. (2002). Toward an enviromental psychology of the internet. In R.
Betchel & A. Churchman (Eds.), Handbook of Environmental Psychology (661 –
675). New York: John Wiley & Sons.
Toffler, A. (1970). Future shock. New York: Bantam Book
Ward, C., Bochner, S., & Furinham, A. (2001). Psychology of culture shock. Philadelphia:
Routledge

http://isparmo.web.id/2016/11/21/data-statistik-pengguna-internet-indonesia-2016/
https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-
dunia/0/sorotan_media

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai