Anda di halaman 1dari 33

Pengaruh Terpaan Informasi Cyberbullying dan Konformitas Kelompok Teman

Sebaya terhadap Perilaku Cyberbullying

Skripsi

Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan

Pendidikan Strata I

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Diponegoro

Penyusun:

Nama: Dewi Larasati

NIM: 14030115120051

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teknologi saat ini semakin maju dan sangat berpengaruh pada kehidupan manusia.

Kemajuan teknologi ini telah menjalar dalam berbagai aspek kehidupan., termasuk aspek

komunikasi dan informasi. Internet merupakan salah satu contoh perkembangan teknologi

yang paling banyak digunakan oleh manusia saat ini. Kemunculan internet telah membawa

perubahan besar dalam proses komunikasi. Tidak hanya sebagai sumber informasi saja,

internet juga menjadi sarana komunikasi untuk membagikan informasi. Berbagai jenis

informasi dari yang umum hingga privasi dapat diakses dan disebarkan melalui internet.

Seperti yang dikatakan McQuail (2011:118), bahwa internet merupakan pintu yang dapat

diakses menuju jagat raya konten dalam dunia maya.

Seiring dengan perkembangannya, jumlah pengguna internet di seluruh dunia terus

meningkat. Menurut data statistik digital dan pengguna internet di dunia yang dirilis

Hootsuite (We Are Social) pada 24 April 2019, jumlah pengguna internet global mencapai

4,437 miliar orang dari total populasi penduduk 7,697 miliar. Dengan kata lain sebesar 58

persen dari keseluruhan populasi dunia menggunakan internet. Dari jumlah pengguna

internet tersebut, banyak yang menggunakan internet untuk mengakses media sosial.

Tercatat pengguna aktif media sosial mencapai angka yang sangat tinggi yaitu 3,499 miliar

orang. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 202 miliar orang (6,1%) dibandingkan dengan

jumlah pengguna pada tahun sebelumnya (https://wearesocial.com/blog/2019/04/the-state-

of-digital-in-april-2019-all-the-numbers-you-need-to-know, diakses pada 30 Oktober 2019

pukul 23:40 WIB).

Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna internet pada tahun 2019 mencapai 150 juta

orang dari total 268,2 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, sejumlah 150 juta orang juga

merupakan pengguna aktif media sosial baik yang berbasis messenger maupun jejaring

sosial. Artinya, dapat dikatakan bahwa hampir semua pengguna internet di Indonesia juga
merupakan pengguna aktif media sosial. Penetrasi usia pengguna media sosial tertinggi di

Indonesia diduduki oleh rentang usia 18-24 tahun (33%) dan 25-34 tahun (33%), kemudian

diikuti oleh usia 13-17 tahun (15%), 35-44 (12%), 45-54 tahun (4,4%), lebih dari 65 tahun

(2%), dan 55-64 tahun (1,2%) (https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia,

diunduh pada 30 Oktober 2019 pukul 23:47 WIB).

Gambar 1.1

Ada banyak pendapat mengenai pengertian media sosial. Menurut Philip Kotler dan

Kevin Keller (2016), media sosial adalah sarana bagi konsumen untuk berbagi informasi

teks, gambar, video, dan audio dengan satu sama lain dan dengan perusahaan dan

sebaliknya. Menurut Chris Brogan (2010:11), media sosial adalah seperangkat alat

komunikasi dan kolaborasi baru yang memungkinkan terjadinya berbagai jenis interaksi

yang sebelumnya tidak tersedia bagi orang awam. Sedangkan menurut Tracy L. Tulen dan

Michael R. Solomon (2014) media sosial adalah sarana untuk komunikasi, kolaborasi, serta

penanaman secara daring di antara jaringan orang-orang, masyarakat, dan organisasi yang

saling terkait dan saling tergantung dan diperkuat oleh kemampuan dan mobilitas teknologi.
Media sosial sendiri merupakan medium di internet untuk merepresentasikan diri,

berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lainnya, dan untuk

membentuk ikatan secara virtual (Nasrullah, 2015:11). Ardianto dalam bukunya

Komunikasi 2.0: Teoritisasi dan Implikasi (2011:xii) mengatakan bahwa media sosial

disebut jejaring sosial online, bukan media massa online karena media sosial memiliki

kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi opini publik yang berkembang di masyarakat.

Penggalangan dukungan dan gerakan massa dapat terbentuk karena kekuatan media online.

Sebab apa yang ada di media sosial terbukti mampu membentuk opini, sikap dan perilaku

publik atau masyarakat. Seiring perkembangan zaman, media sosial tidak hanya menjadi

saluran komunikasi berbagi pesan pribadi saja. Saat ini, media sosial menjadi platform

andalan untuk berbagai kegiatan komunikasi seperti iklan, promosi, public relations,

kampanye politik, kampanye perusahaan, hingga kampanye sosial.

Namun, selain beragam manfaat positif seperti di atas, internet dan media sosial juga

dapat memberikan dampak negatif. Model komunikasi dalam media sosial yang tidak secara

tatap muka membuat orang-orang lebih berani untuk mengungkapkan pendapatnya,

termasuk juga menyampaikan opini mengenai orang lain. Terkadang, hal ini sampai

membuat orang lain merasa terintimidasi atau terbully akibat ungkapan-ungkapan kasar atau

mengganggu yang diarahkan kepadanya. Bullying yang terjadi di internet atau media sosial

ini disebut cyberbullying. Cyberbullying merupakan tindakan intimidasi atau kekerasan

verbal yang dilakukan seseorang melalui media eletronik ataupun media internet.

Cyberbullying diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) Flaming, mengirimkan

pesan elektronik dengan amarah dan bahasa yang kasar dan vulgar (berapi-api), (2)

Harrasment, secara berulang-ulang mengirimkan pesan yang berisi kata-kata kasar,

gangguan dan bahkan ancaman, (3) Denigration, mengirim atau mengunggah gosip atau

rumor mengenai seseorang untuk merusak reputasinya, (4) Impersonation, membajak akun

seseorang dan mengirimkan atau mengunggah pesan-pesan yang tidak senonoh, (5) Outing
& Trickery, menjalin hubungan baik dengan seseorang danmembujuknya untuk

memberikan informasi yang sifatnya pribadi lalu menyebarluaskannya, (6) Exclusion,

secara sengaja mengeluarkan seseorang dari grup online (Willard dalam Feinberg dan

Robey, 2010).

Tindakan cyberbullying terjadi di berbagai belahan dunia. Dari hasil survei yang

dirilis UNICEF pada September 2019, menunjukkan bahwa sebanyak 1 dari 3 orang-orang

usia muda di 30 negara menyatakan bahwa mereka pernah mengalami cyberbullying. Survei

ini dilakukan dengan 170.000 responden berusia 13-24 tahun yang berasal dari berbagai

negara termasuk Indonesia (www.unicef.org/press-poll-more-third-young-people-30-

countries-report-being-victim-online-bullying, diakses pada 12 November 2019 pukul 00:06

WIB).

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah membuat larangan tindakan cyberbullying

melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Pasal 28 ayat 1 mengatur tentang orang yang dengan sengaja menyebarkan

berita bohong dan menyesatkan serta merugikan orang lain. Ancaman pidananya yaitu

penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar rupiah. Sedangkan pasal 28

ayat 2 yang mengatur tentang orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang

tujuannya untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA antar

individu atau kelompok, dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda

maksimal 1 miliar rupiah.

Sayangnya, menurut Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Pengguna Internet di

Indonesia 2018 yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),

49% pengguna internet mengaku pernah mengalami bully dalam bentuk diejek atau

dilecehkan di media sosial (https://databoks.katadata.co.id/2019/05/16/survei-apjii-49-

pengguna-internet-pernah-dirisak-di-medsos, diakses pada 11 November 2019 pukul 23:54

WIB).
Mengutip dari www.akurat.co, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan

bahwa kasus cyberbullying di Indonesia saat ini meningkat pesat. Pada tahun 2018, kasus

yang tercatat mencapai 209 kasus. Jumlah ini sangat berbeda jauh dengan tahun 2015 yang

nihil, alias nol kasus (https://akurat.co/gayahidup/id-697514-read-cyber-bullying-

meningkat-pesat-catat-pesan-kpai, diakses pada 14 Februari 2020 pukul 22.20 WIB).

Contoh-contoh kasus cyberbullying di Indonesia dapat kita lihat dengan mudah

melalui pemberitaan yang ada di berbagai media massa. Bentuk cyberbullying yang

diberitakan cukup beragam, mulai dari komentar negatif atau kasar kepada seseorang di

media sosial, teror melalui pesan-pesan pribadi, pembajakan akun berujung pemerasan, dan

lain sebagainya. Korbannya pun beragam, mulai masyarakat biasa, selebritis, hingga

politikus. Pelakunya juga bisa merupakan individu maupun kelompok.

Beberapa contoh kasus cyberbullying yang sempat ramai diberitakan media adalah

kasus Bowo Alpenliebe, remaja berusia 13 tahun yang namanya tenar berkat aplikasi

TikTok yang dihujat dengan kata-kata kasar hingga ancaman di media sosial karena diduga

menggelar acara meet and greet dengan biaya yang mahal. Permasalahan ini bahkan sampai

melibatkan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan manajemen TikTok. Kasus

ini mengakibatkan aplikasi TikTok diblokir untuk sementara waktu oleh Kementerian

Komunikasi dan Informatika karena dianggap menimbulkan dampak negatif terutama bagi

remaja (https://m.detik.com/news/berita/d-4106505/disesalkan-bowo-alpenliebe-tik-tok-

dilanda-bullying, diakses pada 9 Januari 2020 pukul 12.03 WIB).

Ada juga kasus saling serang di media sosial antara Lucinta Luna dengan

sekumpulan selebgram (selebriti Instagram) di media sosial yang baru-baru ini terjadi.

Mereka saling mengejek dan mengancam satu sama lain dengan kata-kata yang sangat

kasar. Kata-kata kasar tersebut disampaikan secara langsung dan juga melalui tulisan. Mulai

dari mencela fisik, memanggil dengan sebutan goblok, lonte (wanita murahan), tengkorak
hidup, bajingan, bangsat, hingga menyamakan seseorang sebagai anjing atau babi. Kasus ini

ramai diberitakan televisi dan media online.

Gambar 1.2 Contoh cyberbullying yang dilakukan Lucinta Luna

(https://www.instagram.com/lucintaluna, diakses 7 Januari 2020 pukul 18.16 WIB)

Contoh lainnya adalah pembullyan beberapa artis di media sosial yang dilakukan

oleh para penggemar artis lain. Seperti Boy William, Cinta Kuya, Cinta Laura, dan artis

lainnya yang diserang ARMY (sebutan untuk penggemar idol gorup Korea BTS) karena

dianggap berlaku tidak sopan pada BTS.

Gambar 1.3 Gambar 1.4


https://www.tabloidbintang.com/berita/pol (https://www.hipwee.com/hiburan/, diakses
ah/read/128937/, diakses pada 27 Agustus 27 Agustus 2019 pukul 17.47 WIB)
2019 pukul 18.05 WIB)

Meskipun cyberbullying terjadi di dunia maya, namun dampaknya bisa nyata.

Seperti kasus seorang anak di Bandung yang menyerang temannya setelah berseteru secara

verbal di media sosial, atau Audrey yang mengalami kekerasan fisik oleh sekelompok

remaja setelah saling cekcok dan ejek di media sosial. Kasus Audrey menjadi sorotan besar

media massa setelah #JusticeforAudrey bermunculan di media sosial. Bowo TikTok juga

terpaksa harus keluar dari sekolah menengah pertamanya dan beralih ke homeschooling

setelah dirundung teman-teman di sekolahnya akibat kasusnya di media sosial.

Menurut Kowalski, Limber, dan Agatston (2008), beberapa alasan yang mendorong

seseorang untuk melakukan tindakan cyberbullying adalah sebagai berikut:

1. Sebagai wujud pembalasan atas penindasan yang diterima pelaku sebelumnya

2. Untuk mencari kesan keren dan tangguh

3. Adanya rasa iri kepada orang lain yang akan dijadikan target cyberbullying

4. Pelaku memiliki kepribadian tertentu yang merasa senang untuk menyakiti orang

lain

5. Cyberbullying dianggap sebagai cara untuk menyatakan dominasi dan kekuasaannya

6. Pelaku mendapat kepuasan karena cyberbullying dilakukan sebagai cara

mengeluarkan agresifantasi ketika online.

Sedangkan menurut Kirk R. Williams dan Nancy G. Guerra, ada tiga hal yang bisa

menjadi prevalensi dan prediktor cyberbullying, yaitu:


1. Moral approval of bullying. Persepsi atau persetujuan secara moral seseorang

terhadap tindakan bully baik fisik, verbal, maupun internet.

2. Perceived school climate. Iklim yang dirasakan seseorang di lingkungan sekolah,

seperti kepercayaan, keadilan, kebahagiaan.

3. Perceived peer support. Dukungan teman sebaya yang dirasakan seseorang, seperti

rasa saling percaya, saling peduli, saling membantu.

Sebagai sebuah perilaku, cyberbullying juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

eksternal. Salah satu faktor lingkungan dalam pembentukan perilaku adalah media massa.

Sebagaimana perannya sebagai penyampai informasi, media massa memiliki kemampuan

sebagai alat ideologi dan dapat mepengaruhi sikap dan perilaku seseorang serta membuat

khalayak dapat mendefinisikan realitasnya sendiri. Sebuah pemberitaan dapat dicerna dan

dipahami secara positif dan khalayak dapat memberikan sikap atau melakukan tindakan-

tindakan positif terhadap objek pemberitaan tersebut. Seperti yang dikatakan Donald F.

Robert, terpaan media yang mengakibatkan kehadiran sosial yang dimiliki media yang

kemudian menyebabkan perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku manusia (Schramm

& Roberts, 1990). Sayangnya, bukan hanya sikap dan perilaku positif saja yang dapat

ditimbulkan melainkan juga sikap-sikap serta tindakan negatif yang berpotensi muncul

akibat pemberitaan tersebut.

Selain peran media massa, faktor eksternal lain yang mempengaruhi sikap atau

perilaku sesorang adalah lingkungan sekitarnya. Jika kita perhatikan dari contoh-contoh

kasus cuberbullying Bowo TikTok, Audrey, ataupun Lucinta Luna, terdapat peran dari

kelompok atau peer group di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh Bandura, peer group

menentukan seseorang dalam bertindak (Bryant, Jennings & Oliver, 2009:94). Peer group

merupakan suatu bentuk kelompok sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia akan hidup

dan saling membutuhkan serta memiliki kesamaan satu sama lain. Hal itu berupa keyakinan,

nilai-nilai, norma dan lain-lain. Peer group bisa saja datang dari orang yang kita anggap
penting keberadaannya seperti orang yang status sosialnya lebih tinggi, orang tua, teman

sebaya, istri, suami atau teman dekat (Azwar, 2015:32).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk melihat pengaruh terpaan

informasi cyberbullying dan persepsi mengenai cyberbullying dengan perilaku

cyberbullying masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Media sosial idealnya merupakan medium di internet untuk merepresentasikan diri,

berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lainnya, dan untuk

membentuk ikatan secara virtual. Media sosial dapat memberikan beragam manfaat positif

jika digunakan dengan baik dan bijak.

Namun seiring berjalannya waktu, media sosial tidak hanya digunakan untuk

kegiatan yang positif saja. Kasus cyberbullying terus bermunculan. Cyberbullying yang

terjadi bisa saja merupakan dampak ataupun penyebab dari bullying tradisional. Angka

cyberbullying yang terus naik tiap tahunnya menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak

mampu menggunakan media sosial secara bijak.

Ada banyak faktor yang dapat membuat seseorang melakukan cyberbullying. Salah

satunya adalah faktor eksternal yaitu media dan orang-orang sekitar. Media menyuguhkan

nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. Pentingnya

media massa baik surat kabar, televisi, radio, maupun media baru, membuat peranannya

begitu kuat dan hebat dalam mempengaruhi manusia. Efek pesan-pesan mengenai

cyberbullying yang disampaikan media dapat membentuk pemahaman atau persepsi

masyarakat mengenai cyberbullying. Orang-orang di sekitar kita terutama kelompok teman

sebaya (peer group) juga memiliki andil dalam menentukan bagaimana kita memandang

dan bertindak akan sesuatu. Sehingga dari uraian di atas, didapat rumusan masalah seperti

apakah ada pengaruh terpaan informasi cyberbullying dan konformitas kelompok teman

sebaya terhadap perilaku cyberbullying?


1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan

pengaruh terpaan informasi cyberbullying dan konformitas kelompok teman sebaya

terhadap perilaku cyberbullying.

1.4 Signifikansi Penelitian

1.4.1 Signifikansi Akademis

Penelitian ini diaharapkan dapat menambah referensi terhadap kajian dalam ilmu

komunikasi yang terkait dengan pemberitaan, cyberbullying, dan psikologi komunikasi

mengenai persepsi dan sikap dalam mengaplikasikan pesan media oleh khalayak. Serta

sebagai bahan acuan dan referensi untuk penelitian sejenis yang akan dilakukan di masa

mendatang.

1.4.2 Signifikansi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi bagi seluruh mahasiswa Ilmu

Komunikasi, mengenai pengaruh terpaan informasi cyberbullying dan konformitas

kelompok teman sebaya terhadap perilaku cyberbullying.

1.4.3 Signifikansi Sosial

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan pemahaman baru

kepada masyarakat mengenai pengaruh terpaan informasi cyberbullying dan konformitas

kelompok teman sebaya terhadap perilaku cyberbullying.

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 State of the Art.

1.5.1.1 Risk Factors for Involvement in Cyberbullying: Victims, Bullies and Bully–

victims
Penelitian ini disusun oleh Faye Mishna, Mona Khoury-Kassabri, Tahany Gadalla, Joanne

Daciuk pada tahun 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji frekuensi

cyberbullying di kalangan pemuda dengan membedakan antara tiga kategori keterlibatan

dalam cyberbullying, yaitu korban, pelaku bully, dan korban bully. Melalui tiga kategori

cyberbullying ini, peneliti berusaha mengeksplorasi faktor-faktor yang berkontribusi

terhadap keterlibatan dalam cyberbullying.

Penelitian ini menggunakan sampel besar dan beragam, yaitu sebanyak 2.186 siswa

sekolah menengah pertama dan menengah atas. Para siswa mengisis kuesioner laporan diri

selama waktu kelas. Peneliti menggunalan Regresi Logistik Multinomial untuk menguji

hubungan antara kategori cyberbullying dan variabel independennya (jenis kelamin, usia,

penggunaan teknologi, keterlibatan orang tua dan keselamatan).

Lebih dari 30% siswa dalam penelitian ini diidentifikasi pernah terlibat dalam

cyberbullying, baik sebagai korban ataupun pelaku. 1 dari 4 siswa (25,7%) melaporkan

bahwa mereka terlibat dalam cyberbullying sebagai pelaku intimidasi dan korban dalam

waktu tiga bulan terakhir. Hasil penelitian juga menunjukkan bila siswa yang terlibat dalam

cyberbullying memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk melaporkan tindakan

kekerasan terhadap teman sebaya dibandingkan yang lain. Kebanyakan siswa menggunakan

komputer selama lebih dari satu jam sehari, dan memberikan kata sandi mereka kepada

teman-teman..

Temuan mengungkapkan bahwa keterlibatan siswa dalam cyberbullying tinggi.

Beberapa keunikan muncul mengenai frekuensi dan faktor risiko keterlibatan siswa dalam

cyber bullying. Salah satunya, dalam bully tradisional, kategori pelaku bully diisi kelompok

anak-anak yang paling kecil dan paling rentan. Selain itu, perempuan lebih mungkin

menjadi korban cyberbully daripada laki-laki, berbeda dengan bully tradisional yang mana

lebih banyak laki-laki daripada perempuan biasanya menjadi korban.


1.5.1.2 Prevalence and Predictors of Internet Bullying

Tujuan dari penelitian disusun oleh Kirk R. Williams dan Nancy G. Guerra pada tahun 2017

ini adalah untuk membandingkan prevalensi cyberbullying dengan bullying fisik dan verbal

di antara anak laki-laki dan perempuan usia sekolah dasar, menengah pertama, dan

menengah atas. Selain itu, juga untuk memeriksa apakah prediktor utama bullying fisik dan

verbal juga memprediksi cyberbullying.

Penelitian ini disusun sebagai bagian dari inisiatif pencegahan penindasan di seluruh

negara bagian. Sebanyak 3.339 remaja di Kelas 5, 8, dan 11 dilibatkan untuk menyelesaikan

kuesioner di 78 lokasi sekolah di Colorado selama musim gugur 2005. Kemudian, sebanyak

2.293 sampel asli berpartisipasi dalam survei tindak lanjut di 65 lokasi sekolah pada musim

semi tahun 2006. Kuisioner mencakup ukuran-ukuran tindakan intimidasi dan viktimisasi,

kepercayaan normatif tentang intimidasi, persepsi dukungan sosial teman sebaya, dan

persepsi iklim sekolah.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat prevalensi tertinggi ditemukan untuk verbal,

diikuti oleh fisik, dan kemudian oleh intimidasi internet. Intimidasi fisik dan internet

memuncak di sekolah menengah pertama dan menurun di sekolah menengah atas.

Penindasan verbal memuncak di sekolah menengah pertama dan tetap relatif tinggi selama

sekolah menengah atas. Laki-laki lebih cenderung untuk melaporkan intimidasi fisik

daripada perempuan, tetapi tidak ada perbedaan gender yang ditemukan untuk internet dan

intimidasi verbal. Ketiga jenis intimidasi secara signifikan terkait dengan kepercayaan

normatif yang menyetujui intimidasi, iklim sekolah yang negatif, dan dukungan sebaya

yang negatif.

1.5.1.3 Peer Involvement in Bullying: Insights and Challenges for Intervention

Penelitian ini disusun oleh Paul O'connell, Debra Pepler dan Wendy Craig pada tahun 1999.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji proses peer yang terjadi selama episode
intimidasi di sebuah taman bermain sekolah. Proses-proses ini diperiksa dari perspektif

pembelajaran sosial, hal ini memungkinkan peneliti untuk mempertimbangkan efek dari

berbagai jenis penguatan di antara pelaku intimidasi, korban, dan teman sebaya.

Lima puluh tiga segmen rekaman video diperiksa. Setiap segmen berisi kelompok

sebaya (dua atau lebih teman sebaya) yang melihat kejiadian intimidasi di taman bermain

sekolah. Teman sebaya diberi kode untuk secara aktif bergabung atau secara pasif

memperkuat pelaku intimidasi, dan untuk secara aktif melakukan intervensi atas nama

korban. Rata-rata, empat anak lainnya melihat intimidasi di halaman sekolah tersebut,

dengan rentang dari dua hingga 14 anak. Rata-rata di semua episode, satu anak

menghabiskan 54% dari waktu mereka untuk memperkuat pelaku intimidasi dengan

menonton secara pasif, 21% dari waktu mereka secara aktif memodelkan pelaku intimidasi,

dan 25% dari waktu mereka melakukan intervensi atas nama para korban.

Selain ini, ditemukan juga bahwa anak laki-laki yang lebih tua (kelas 4–6) lebih

mungkin untuk secara aktif bergabung dengan pelaku intimidasi daripada anak laki-laki

yang lebih muda (kelas 1-3) dan anak perempuan yang lebih tua. Gadis-gadis yang lebih

muda dan lebih tua lebih mungkin melakukan intervensi atas nama korban daripada anak

laki-laki yang lebih tua. Hasilnya ditafsirkan sebagai mengkonfirmasikan peran sentral

teman sebaya dalam proses yang terjadi selama episode intimidasi taman bermain.

1.5.1.4 Cyberbullying Via Social Media

Penelitian ini disusun oleh Elizabeth Whittaker dan Robin M. Kowalski dari Clemson

University, Clemson, South Carolina, USA pada tahun 2014. Dalam penelitian ini,

digunakan tiga studi untuk meneliti tingkat prevalensi cyberbullying di kalangan mahasiswa

usia perguruan tinggi, tempat di mana cyberbullying terjadi, dengan fokus khusus pada

media sosial, dan persepsi cyberbullying sebagai fungsi fitur dari target (misalnya, rekan,

selebriti, grup).
Hasil penelitian dari studi 1 menemukan SMS dan media sosial menjadi tempat yang

paling umum digunakan untuk viktimisasi cyberbullying. Studi 2 menunjukkan bahwa fitur

target komentar agresif cyber memengaruhi persepsi cyberbullying. Komentar agresif

daring yang diarahkan pada teman sebaya dianggap paling negatif sedangkan komentar

yang ditargetkan untuk orang acak yang hanya dikenal secara online dievaluasi sebagai

yang paling tidak negatif. Kemudian pada studi 3 yang menggunakan metodologi inovatif

untuk memeriksa cyberbullying, ditemukan bahwa venue (misal Facebook, komentar,

posting forum) dan fitur target memengaruhi sifat pertukaran online.

1.5.2 Paradigma Penelitian

Menurut Sugiyono (2009:42), paradigma penelitian adalah pola hubunan antara variabel

yang akan diteliti. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif (povitivistik), dimana

paradigma positivistik selalu berupa melakukan penelitian dengan mengevaluasi satu

hubungan antar variabel dan hubungannya bersifat kausal (sebab-akibat), maka peneliti

dapat melakukan penelitian dengan memfokuskan kepada beberapa variabel saja. Di dalam

penelitian dengan memfokuskan kepada beberapa variabel saja.

Dalam penelitian ini terdapat satu variabel bebas atau independen, satu variabel

intervening dan satu variabel terikat atau dependen. Variabel bebasnya adalah terpaan

informasi cyberbullying, variabel interveningnya adalah konformitas kelompok teman

sebaya (peer group), sedangkan variabel terikatnya adalah perilaku cyberbullying.

1.5.3 Teori S-O-R

Dalam penelitian ini, teori dasar yang digunakan adalah teori S-O-R atau Stimulus-

Organism-Response. Teori S-O-R dikembangkan oleh Hovland, Janis dan Kelley. Asumsi

dasar teori ini adalah media massa menimbulkan efek yang terarah, segera dan langsung
terhadap komunikan. Model ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi-

reaksi. Artinya teori ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-

simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Pola

S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif (Hovland, dkk., 1963).

Menurut Denis McQuail dan Steven Windhal (dalam Vera 2016:120-121), prinsip

dasar teori ini adalah bahwa efek merupakan reaksi tertentu terhadap stimulus (rangsangan)

tertentu, sehingga orang dapat menduga atau memperkirakan adanya hubungan erat antara

isi pernyataan dengan reaksi audiens. Teori ini memiliki 3 elemen utama, yaitu pesan

(stimulus), penerima/khalayak/komunikasi (organisme) dan efek (respon).

Gambar 1.5 Model Teori S-O-R

Stimulus Organisme Respons

Hovland, Janis dan Kelley (1963) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku

pada hakikatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut

menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari:

1. Pemberian stimulus (rangsang)

Stimulus yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila

stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif

mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima

oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia

mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

2. Pembentukan sikap
Setelah organisme menerima dan mengerti stimulus, kemudian organisme mengolah

stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang

telah diterimanya (bersikap).

3. Pembentukan perilaku

Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus

tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku

tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme.

Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas, kepemimpinan,

gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok

atau masyarakat.

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila

stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus

yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat

meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang

peranan penting (Hovland, dkk., 1963).

1.5.4 Terpaan Informasi Cyberbullying

Menurut pendapat Shore (Krisyantono, 2010: 208-209), terpaan lebih dari sekedar

mengakses media. Terpaan tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup

dekat dengan kehadiran media, akan tetapi apakah seseorang itu benar-benar terbuka

terhadap pesan media tersebut. Terpaan merupakan kegiatan mendengar, melihat dan

membaca pesan-pesan media ataupun pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut

yang dapat terjadi pada tingkat individu atau kelompok.


Informasi merupakan sebuah pesan. Tersedianya informasi akan sangat membantu

dalam pengambilan keputusan oleh konsumen (Suwarman, 2011:413). Seseorang akan

melakukan pengumpulan dan pengolahan informasi tentang cyberbullying, apakah sesuai

atau tidak dengan nilai atau standar yang dimilikinva. Seringkali orang mencari informasi

sebagai dasar suatu keputusan dan secara teliti menilai apa yang kita pelajarı agar dapat

mengambil keputusan sebaik mungkin untuk kepentingan kita (Schiffman & Kanuk,

2008:196). William McGuire (Sumarwan. 2011:95-96) menyatakan ada lima tahap

pengolahan informasi, yaitu tahap pemaparan, perhatian, pemahaman, penerimaan, dan

retensi.

(1) Pemaparan adalah tahap dimana audiens menyadari adanya stimulus tersebut

melalui panca inderanya. (2) Perhatian atau attention adalah ketika audiens mengalokasikan

kapasitas pengolahan terhadap stimulus yang masuk. (3) Pemahaman atau comprehension

adalah tahap menginterpretasi makna stimulus. (4) Penerimaan atau acceptance adalah

tahap dimana timbul dampak persuasif dari stimulus pada audiens. Sedangkan (5) retensi

atau retention adalah tahap pengalihan makna stimulus dan persuasi ke ingatan jangka

panjang

Terpaan informasi tidak selalu menimbulkan efek yang sama pada setiap individu.

Efek yang muncul tergantung pada suasana terpaan (setting of exposure) yang dihadapi oleh

individu tersebut. Terdapat satu konsep yang memiliki peran sangat penting dalam terpaan

informasi yaitu selective perception atau persepsi yang selektif. Adanya proses selektif ini

mengindikasikan bahwa orang yang berbeda dapat menampilkan respon yang juga berbeda

terhadap suatu pesan yang sama. Dalam persepsi yang selektif, persepsi orang dipengaruhi

oleh kemginan, kebutuhan, sikap dan factor psikologis lainnya. Tidak ada seorang

komunikator yang dapat mengasumsikan bahwa sebuah pesan akan memberikan arti yang

dinginkan bagi penerima pesan (receiver).


1.5.5 Konformitas Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)

Konformitas, menurut Rakhmat (2011:149) terjadi ketika sejumlah orang dalam kelompok

mengatakan atau melakukan sesuatu dan ada kecenderungan para anggota lainnya

mengatakan atau melakukan hal yang sama.

Menurut Papalia (dalam Nisfiannoor & Kartika, 2004:161), peer group (kelompok

teman sebaya) membantu anak memilih nilai-nilai yang mereka anut dan memberikan rasa

aman secara emosional. Bila anak tidak memiliki peer group, mereka cenderung tidak

dewasa dan keterampilan sosialnya menjadi terbatas. Akibat pergaulan bersama peer group

ini adalah mereka mengembangkan keterampilan sosial dan intimasi, mempertahankan

hubungan dan rasa memiliki, mereka termotivasi untuk berhasil dan mendapat identitas diri.

Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya

sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap,

pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku sangat besar (Hurlock, dalam Nisfiannoor &

Kartika, 2004:161).

Menurut Santrock (2002:44), peer group adalah sekumpulan individu yang punya

hubungan erat dan saling tergantung. Peer group merupakan salah satu bentuk dari

kelompok sosial. Pengaruh yang ditukarkan dapat berupa orientasi, nilai-nilai, dan norma

yang disepakati oleh orang yang tergabung di dalam kelompok tersebut. Fungsi utama dari

sebuah peer group adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia luar.

Orang yang biasanya dianggap penting bagi individu di antaranya adalah orang tua, orang

yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman bekerja, istri atau

suami, dan lain-lain (Azwar, 2015:32).

Atas pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa konformitas kelompok teman

sebaya (peer group) ialah kecenderungan anggota kelompok individu yang memiliki
kesamaan dan saling mempengaruhi baik berupa orientasi, nilai serta norma yang telah

disepakati oleh kelompok tersebut untuk mengubah perilaku atau kepercayaan sesuai

dengan norma kelompok sebagai akibat dari tekanan kelompok.

1.5.6 Perilaku Cyberbullying

Menurut Usman Efendi (1985:87), perilaku muncul karena adanya faktor pendorong yang

menyebabkan timbulnya suatu kekuatan sehingga individu bertindak. Faktor pendorong

tersebut ada yang berasal dari dalam diri individu yang meliputi keyakinan, motivasi,

tingkat emosional dan jenis kelamin. Kemudian juga terdapat faktor pendorong dari luar diri

seseorang yang meliputi pengetahuan, pendidikan, pengalaman, lingkungan, dan

sebagainya.

Cyberbullying dapat diartikan sebagai aktivitas agresif yang dilakukan melalui

teknologi/alat elektronik/media sosial yang bersifat merugikan atau menimbulkan pelecehan

kepada orang lain dan terjadi secara berulang-ulang (Hinduja dan Patchin dalam Budiarti,

2016: 4). Cyberbullying bisa juga disebut sebagai bullying telah berkembang menjadi

masalah yang lebih luas. Cyberbullying memungkinkan pelaku untuk merahasiakan

identitasnya. Anonimitas tersebut dapat memudahkan pelaku untuk lebih leluasa melakukan

agresi terhadap korbannya tanpa harus melihat reaksi fisik korban.

Menurut Santosa, cyberbullying memiliki delapan bentuk (2017: 34), antara lain:

1. Flaming (Perselisihan)

Flaming adalah perselisihan yang awalnya hanya melibatkan dua orang dan

kemudian menyebarluas sehingga melibatkan banyak orang.

2. Harassment (Pelecehan)

Harassment adalah upaya seseorang untuk melecehkan orang lain dengan mengirim

berbagai bentuk pesan baik tulisan, gambar, maupun video yang bersifat menyakiti,

menghina, mempermalukan, dan mengancam.

3. Denigration (Fitnah)
Denigration adalah upaya seseorang menyebarkan kabar bohong yang bertujuan

untuk merusak reputasi orang lain.

4. Impersonation (Peniruan)

Impersonation adalah upaya seseorang berpura-pura menjadi orang lain dan

mengupayakan pihak ketiga menceritakan hal-hal yang bersifat rahasia.

5. Outing (Penyebaran)

Outing adalah upaya seseorang untuk menyebarkan informasi atau rahasia seseorang

kepada publik.

6. Trickery (Penipuan)

Trickery adalah upaya seseorang melakukan tipu daya demi memperoleh informasi

atau rahasia seseorang yang nantinya akan disebarkan kepada publik.

7. Exclusion

Exclusion adalah upaya yang bersifat mengucilkan atau mengecualikan seseorang

dari dalam kelompok

8. Cyberstalking

Cyberbullying dilakukan di internet. Menurut Nasrullah (2015: 3) kehadiran internet

dan media sosial membuat ruang privat seseorang melebur dengan ruang publik. Fitur

media sosial ini kini banyak dimanfaatkan untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi

dengan pengguna lainnya. Media sosial memfasilitasi penggunanya untuk mengunggah apa

saja yang ingin disampaikan kepada orang lain, baik berupa informasi, kegiatan, momen-

momen berupa gambar ataupun video, serta hal-hal lain tergantung pada keinginan si

pengguna. Media sosial merupakan medium yang memungkinkan pengguna berbagi,

merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi

dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara visual.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku cyberbullying adalah tindakan

agresif dan memiliki kontrol atas perilakunya yang bersifat merugikan atau menimbulkan
pelecehan kepada orang lain dan terjadi secara berulang-ulang melalui medium internet

serta baik secara individu maupun berkelompok.

1.5.7 Pengaruh Terpaan Informasi Cyberbullying dan Konformitas Kelompok

Teman Sebaya terhadap Perilaku Cyberbullying

Untuk menjelaskan pengaruh antara terpaan informasi cyberbullying dan konformitas

kelompok teman sebaya terhadap perilaku cyberbullying maka digunakan Teori S-O-R dari

Hovland, Janis dan Kelley.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sikap ataupun perilaku seseorang

merupakan reaksi tertentu terhadap stimulus (rangsangan) tertentu, sehingga orang dapat

menduga atau memperkirakan adanya hubungan erat antara isi pernyataan dengan reaksi

audiens. Teori ini memiliki 3 elemen utama, yaitu pesan (stimulus),

penerima/khalayak/komunikasi (organisme) dan efek (respon).

Perilaku cyberbullying merupakan respon dari rangsangan atau stimulus mengenai

cybebrullying. Dalam proses pembentukan perilaku cyberbullying, seseorang akan melalui

beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemberian stimulus (rangsang). Stimulus dalam

penelitian ini datang dari terpaan informasi mengenai cyberbullying. Stimulus yang

diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Terpaan sendiri memiliki arti keadaan

seseorang ketika terkena atau tersentuh pesan-pesan media. Maka, ketika seseorang sudah

terterpa informasi cyberbullying artinya stimulus sudah diterima oleh organisme atau

perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia

mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya yaitu pembentukan sikap.

Seseorang akan mengolah stimulus (terpaan informasi cyberbullying) tersebut sehingga

terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). Sikap

dalam penelitian ini adalah sikap seseorang yang dipengaruhi konformitas kelompok teman
sebaya (peer group). Konformitas peer group adalah kecenderungan seseorang untuk

mengubah sikap atau kepercayaan sesuai dengan norma kelompok sebagai akibat dari

tekanan kelompok. Konformitas ini terjadi karena anggota kelompok memiliki kesamaan

dan saling mempengaruhi baik berupa orientasi, nilai serta norma.

Sesuai dengan apa yang dikatakan Hovland mengenai Teori S-O-R, bahwa dalam

meyakinkan organisme untuk mengubah sikap maupun perilaku seseorang terdapat peranan

penting dari faktor reinforcement. Konformitas peer group ini merupakan faktor

reinforcement dalam pembentukan perilaku cyberbullying. Ketika teman-teman dalam peer

group menunjukan dukungan terhadap tindakan cyberbullying atau melakukan tindakan

cyberbullying, maka seseorang akan cenderung mengikuti atau melakukan hal yang sama

seperti yang dilakukan peer groupnya. Akhirnya di proses terkahir, dengan dukungan

fasilitas serta dorongan dari lingkungan (peer group) maka stimulus tersebut mempunyai

efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

1.6 Hipotesis

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:

Terdapat pengaruh positif antara terpaan informasi cyberbullying dan konformitas

kelompok teman sebaya terhadap perilaku cyberbullying.

konformitas Tingkat motivasi


terpaan informasi
kelompok teman melakukan
cyberbullying (X)
sebaya (M) cyberbullying (Y)

1.7 Definisi Konseptual

1.7.1 Terpaan Informasi Cyberbullying

Terpaan informasi cyberbullying merupakan sebuah sentuhan atau keadaan terkena pada

khalayak oleh pesan-pesan yang disebarkan oleh media massa dan merupakan kemampuan
untuk mengingat cerita dan memahami pesan lainnya. Dalam konteks ini, pesan yang

disampaikan media adalah informasi tentang cyberbullying.

1.7.2 Konformitas Kelompok Teman Sebaya

Konformitas kelompok teman sebaya adalah kecenderungan anggota kelompok individu

yang memiliki kesamaan dan saling mempengaruhi baik berupa orientasi, nilai serta norma

yang telah disepakati oleh kelompok tersebut untuk mengubah perilaku atau kepercayaan

sesuai dengan norma kelompok sebagai akibat dari tekanan kelompok.

1.7.3 Perilaku Cyberbullying

Perilaku cyberbullying adalah tindakan agresif dan memiliki kontrol atas perilakunya yang

bersifat merugikan atau menimbulkan pelecehan kepada orang lain melalui medium internet

serta baik dilakukan secara individu maupun secara berkelompok.

1.8 Definisi Operasional

Variabel Dimensi Indikator Skala


Terpaan Tingkat Berapa sering membaca/melihat Interval
Informasi keseringan informasi positif dalam kurun waktu
Cyberbullying setahun
Berapa sering menemukan informasi Interval
negatif dalam kurun waktu setahun
Waktu Berapa lama audiens menggunakan Interval
media
Berapa lama audiens mengikuti Interval
pemberitaan
Atensi Menyebutkan isi informasi tentang Interval
cyberullying dalam kurun waktu
setahun
Pandangan dan penilaian hal yang Interval
terkandung dalam isi informasi
Konformitas Kepercayaan Besar keyakinan individu pada Interval
Kelompok informasi yang benar dari orang lain
Percaya pada setiap informasi yang Interval
Teman disampaikan oleh teman-teman
Berbagi cerita dan rahasia kepada Interval
Sebaya (peer
teman-teman
group)
Kesepakatan Bentuk pengaruh sosial yang dapat Interval
menekan orang lain untuk
menyesuaikan pendapatnya dengan
kesepakatan yang sudah dibentuk
Sependapat dengan teman kelompok Interval
bila membuat suatu keputusan
Ketaatan Respon yang timbul sebagai akibat dari Interval
kesetiaan atau ketertundukan individu
atas otoritas tertentu
Mengikuti kegiatan (bimbingan belajar, Interval
ekstrakulikuler, nongkrong) yang
dilakukan oleh kelompok
Berangkat dan pulang sekolah bersama- Interval
sama teman
Mengikuti style yang digunakan oleh Interval
teman
Penyesuaian Penyesuaian diri dengan norma dan Interval
nilai yang berlaku dalam kelompok.
Berperilaku sesuai dengan aturan Interval
kelompok agar dapat diterima di
lingkup pertemanan
Perilaku Flaming Berselisih dengan seseorang di media Interval
Cyberbullying (Perselisihan) sosial
Harassment Mengırim pesan untuk menyakiti, Interval
(Pelecehan) mempemalukan, atau mengancam
temannya
Mengırim gambar untuk menyakiti, Interval
mempemalukan, atau mengancam
temannya
Mengırim video untuk menyakiti, Interval
mempemalukan, atau mengancam
temannya
Denigration Menyebarkan kabar bohong di media Interval
(Fitnah) sosial untuk merusak reputasi temannya
Impersonation Membuat akun media sosial palsu untuk Interval
(Peniruan) mendapatkan informasi yang bersifat
rahasia
Membuat akun media sosial palsu untuk Interval
memeras seseorang
Outing Menyebarkan informasi atau rahasia Interval
(Penyebaran) seseorang kepada publik
Menyebarkan foto atau video pribadi Interval
seseorang tanpa izin kepada publik
Trickery Menipu seseorang dengan cara berpura- Interval
(Penipuan) pura menjadi teman untuk mendapatkan
informasi rahasia untuk kepentingan
pribadi atau disebarkan kepada publik
Menyebarkan kepada publik informasi Interval
rahasia yang didapatkandengan berpura-
pura menjadi teman seseorang
Exclusion Mengucilkan seseorang dari grup di Interval
(Pengecualian) media sosial
Mengeluarkan seseorang dari grup di Interval
media sosial

1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Tipe Penelitian

Menggunakan metode eksplanatori dengan pendekatan kuantitatif, penelitian eksplanatori

sendiri merupakan penelitian yang menjelaskan hubungan kausal (sebab-akibat) antara

variabel satu dengan yang lainnya (Effendy, 2003:6). Variabel terdiri dari variabel

independen (variabel yang mempengaruhi) dan variabel dependen (yang dipengaruhi).

Dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk menganalisis seberapa besar pengaruh

terpaan informasi cyberbullying dan konformnitas peer group dengan perilaku

cyberbullying.

1.9.2 Populasi dan Sampel

1.9.2.1 Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, populasi

diambil dengan menggunakan pendekatan geografis yakni wilayah Kota Semarang.


Populasi terdiri dari pelajar SMP dan SMA di Kota Semarang dengan syarat aktif

menggunakan media sosial dan pernah terterpa informasi cyberbullying. Hal ini

dikarenakan pelajar SMP dan SMA tersebut termasuk ke dalam rentang masa usia remaja

baik dari sisi umur, pemikiran dan pengambilan tindakan. Pada usia ini, responden dinilai

masih aktif dan mudah dipengaruhi informasi. Sesuai Data Pokok Pendidikan dalam

Lumbung Data Pendidikan Kota Semarang, jumlah keseluruhan siswa SMP di kota

Semarang adalah 42.292 siswa dan SMA/SMK 17.253 siswa.

1.9.2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti. Untuk ukuran sampel, peneliti

merujuk pada anjuran Roscoe yang menjelaskan untuk ukuran sampel yang layak dalam

penelitian adalah antara 30-500. Di mana jumlah sampel minimal adalah 30 sudah dianggap

memiliki tingkat stabilitas yang baik (Sugiyono, 2009:90-91). Atas dasar itu, peneliti akan

menggunakan sampel sebanyak 40 responden.

1.9.3 Teknik Pengambilan Sampel

Metode penarikan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara probability sampling.

Yang merupakan teknik pengambilan sampel yang memberi peluang/kesempatan yang

sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono.

2009: 82). Sedangkan, untuk sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah

multistage random sampling_yang merupakan proses penarikan sampel menggunakan

metode simple random sampling terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama yaitu tahap

pemilihan cluster dari unit sampling dan tahap kedua yaitu tahap penarikan unit sampling

dari cluster yang telah ditentukan pada tahap pertama dan seterusnya. Alur tiap tahap

dilakukan dengan pemilihan gugus-gugus (cluster-cluster) sampai tahap di mana diperoleh

gugus yang homogen. Apabila telah diperoleh gugus yang homogen, pada tahap selanjutnya

yang dilakukan yaitu penarikan unit sampling dari tiap gugus yang homogen tersebut

sehingga diperolen sampel.


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP dan SMA/SMK di Kota

Semarang. Dengan menggunakan multistage random sampling, penentuan sampel

dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Memilih satu kecamatan dari seluruh kecamatan di Kota Semarang

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kota Semarang, diketahui jumlah

keseluruhan kecamatan di Kota Semarang adalah 16 Kecamatan. Kecamatan-kecaatan

tersebut meliputi:

Jumlah
Nama Kecamatan
Kelurahan
Mijen 14
Gunungpati 16
Banyumanik 11
Gajah Mungkur 8
Semarang Selatan 10
Candisari 7
Tembalang 12
Pedurungan 12
Genuk 13
Gayamsari 7
Semarang Timur 10
Semarang Utara 9
Semarang Tengah 15
Semarang Selatan 16
Tugu 7
Ngaliyan 10
Dari 16 kecamatan tersebut, terpilih satu kecamatan secara acak yakni Kecamatan

Pedurungan.

2. Menentukan satu kelurahan dari seluruh kelurahan di Kecamatan Pedurungan

Nama Kelurahan
Gemah Penggaron Kidul
Kalicari Plamongan Sari
Muktiharjo Kidul Tlogomulyo
Palebon Tlogosari Kulon
Pedurungan Kidul Tlogosari Wetan
Pedurungan Lor Pedurungan Tengah
Dari 12 kelurahan tersebut, terpilih satu kelurahan secara acak yakni Kelurahan

Palebon.

3. Menentukan satu SMP dan satu SMA yang berada di Kelurahan Palebon

Terdapat dua SMA/SMK di Kelurahan Palebon, yaitu:

1. SMK Palebon (Jl. Palebon Raya No. 30)

2. SMA Gita Bahari (Jl. Soekarno Hatta No. 180)

Terdapat tiga SMP di Kelurahan Palebon, yaitu:

1. SMP Empu Tantular (Jl. Palebon Raya No. 30)

2. SMP Negeri 14 Semarang (Jl. Panda Raya No. 2)

3. SMP Islam Terpadu PAPB Semarang (Jl. Panda Barat No. 44)

4. SMP Kestarian 1 (Jl. Arteri Soekarno-Hatta)

Dari seluruh SMP dan SMA/SMK yang ada di Kelurahan Palebon terpilihlah secara

acak SMK Palebon dan SMP Negeri 12 Semarang.

4. Memilih Tingkatan Kelas di SMK Palebon dan SMP Negeri 12 Semarang

SMK Palebon dan SMP Negeri 12 Semarang memiliki 3 tingkatan kelas sama seperi

SMP dan SMA pada umumnya yaitu 1, 2 , dan 3. Dari tiga tingkatan kelas, terpilihlah kelas

2 (kelas XI SMK Palebon dan kelas VIII SMP Negeri 12) yang akan menjadi sampel dalam

penelitian ini. Diaman yang menjadi sasaran adalah yang aktif menggunakan media sosial.

1.9.4 Sumber Data

1.9.4.1 Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari sumber data pertama di

lokasi penelitian atau objek penelitian (Bungin, 2014). Sumber data primer berupa

responden atau subjek riset dan hasil pengisian kuesioner atau wawancara responden yang

memenuhí kriteria melalui kuisioner.


1.9.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data (Sugiono, 2009:42). Data sekunder ini merupakan data yang sifatnya

mendukung keperluan data primer seperti buku-buku, literatur dan bacaan yang berkaitan

dengan penelitian.

1.9.5 Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data atau disebut sebagai instrumen riset adalah alat bantu yang

dipilih dan digunakan peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar kegiatan itu

menjadi sistematis dan mudah diperoleh. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat

pengumpulan data. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden.

Kuesioner disebut juga angket olehnya (Kriyantono, 2010:96-97). Teknik pengumpulan

data yang dilakukan adalah menggunakan kuesioner yang disebarkan dan diisi sendiri oleh

responden.

1.9.6 Pengolahan Data

1.9.6.1 Editing

Kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai menghimpun data di lapangan. Kegiatan

ini menjadi penting karena kenyataannya data yang terhimpun kadang kala belum

memenuhi harapan peneliti, ada di antaranya kurang atau terlewatkan, tumpang tindih,

berlebihan, bahkan terlupakan. Oleh karena itu, keadaan tersebut harus diperbaiki melalui

editing (Bungin, 2014:175).

1.9.6.2 Koding

Kegiatan mengklasifikasi data-data. Maksudnya adalah data yang telah diedit tersebut diberi

identitas sehingga memiliki arti tertentu pada saat dianalisis (Bungin, 2014:176).

1.9.6.3 Tabulasi

Kegiatan memasukkan data pada tabel-tabel tertentu dan mengatur angka-angka serta

menghitungnya (Bungin, 2014:178).


1.9.7 Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Data variabel

ini berupa angka-angka dan metode ini menggunaka analisis data statistik untuk mengukur

besarnya antara variabel yang diteliti. Pengukuran statistik bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara variabel-variabel yang memiliki pengaruh melalui pengujian hipotesis.

Sedangkan analisis dalam pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda

karena memiliki lebih dari satu prediktor (Hadi, 1983:21). Analisis ini digunakan untuk

menguji variabel bebas terhadap variabel terikat, yakni untuk menguji hipotesis.

Penelitian ini menganalisis hubungan berita tentang cyberbullying (X1) dan interaksi

peer group (X2) dengan perilaku cyberbullying (Y).

Menurut Sutrisno Hadi (1983), langkah yang digunakan dalam analisis regresi

berganda adalah sebagai berikut:

1. Membuat persamaan linear berganda

Y =a1 X 1+ a2 X 2 + K

Keterangan:
Y = nilai yang diprediksikan/variabel dependen (perilaku cyberbullying)
X1 = variabel independen 1 (terpaan berita tentang cyberbullying)
X2 = variabel independen 2 (interaksi peer group)
K = konstanta, nilai Y jika X : 0
a = koefisien regresi linear

2. Koefisien korelasi

a 1∑ x 1 y +a 2 ∑ x 2 y
R y (1,2 )=
√ ∑ y2

Keterangan:
Ry = koefisien korelasi antara X1 dan X2
a1 = koefisien prediktor X1
a2 = koefisien prediktor X2
∑x1y = jumlah produk antara X1 dan Y
∑x2y = jumlah produk antara X2 dan Y
∑y2 = jumlah kuadrat kriterium Y

Sedangkan untuk uji signifikansi dapat dilakukan dengan menemukan harga F garis

regresi sebagai berikut:

R2 (N −m−1)
F reg =
m(1−R2)

Keterangan:
Freg = harga F garis regresi
N = cacah kasus
m = cacah prediktor
R = koefisien relasi antara kriterium dengan prediktor-prediktor
1.9.8 Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Hasil

penelitian akan valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang

sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2009:121). Instrumen yang valid

berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid

berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Menurut Sugiyono (2009), cara paling sering digunakan untukmengukur biasanya dengan

menghitung korelasi antara setiap skor butir instrumen dengan skor total.

1.9.9 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari

variabel atau konstruk, suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban

seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Instrumen

yang reliabel bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan

menghasilkan data yang sama. Untuk melakukan digunakan penghitungan dengan

modelalpha cronbach karena menggunakan jenis data interval (Sugiyono, 2009)

1.9.10 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tentu saja masih memiliki kelemahan seperti hanya terdapat dua variabel

sebagai faktor yang memengaruhi motivasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan
tertentu. Padahal masih banyak faktor yang memengaruhi motivasi berperilaku seseorang.

Selain itu, penelitian ini hanya mengambil sampel di kota Semarang saja sehingga tidak

cukup luas untuk melihat fenomena di kota-kota lainnya.

Anda mungkin juga menyukai