Anda di halaman 1dari 9

https://psikologi.uin-malang.ac.

id/2017/02/23/tingginya-angka-rasio-peningkatan-
cyberbullying-di-indonesia/

Kutipan narasi diatas merupakan ilustrasi dari cyberbullying di kehidupan sehari-hari yang kadang
luput dari perhatian banyak orang karena dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam
dunia cyber. Padahal cyberbullying memiliki dampak negatif loh khususnya bagi sisi psikologis
individu yang mengalaminya. Yuk, kenali lebih dekat apa dan penyebab dari Cyberbullying
itu. Bullying dapat dilakukan secara verbal dan fisik (Kim, 2006). Cyberbullying merupakan salah
satu bentuk bullying yang menyentuh sisi psikologis manusia lewat serangan verbal. Umumnya ia
terjadi di dunia maya terutama pada media sosial. Bentuk dari cyberbullying ialah ejekan, hinaan
ancaman ataupun rumor yang merusak reputasi individu atau kelompok pada media sosial yang
digunakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia. Cyberbullying juga bisa diartikan
sebagai kejahatan dunia maya yang dilakukan oleh pengguna teknologi komunikasi dan informasi
yang dengan sengaja, diulangi, untuk merugikan orang lain. Menurut Hinduja dan Patchin dalam
(Donegan, 2012) cyberbullying sebagai sebuah tindakan yang dengan sengaja mengirimkan pesan
teks elektronik ataupun screenshoot gambar, rekaman video juga suara yang biasa diupload ke
situs jejaring sosial yang bernada mengejek, melecehkan, mengancam dan mengganggu pengguna
jejaring sosial lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang di dunia bisa saling terkoneksi dengan adanya Internet
(Interconnected Network). Melalui internet kita bisa bebas mengakses informasi dan dengan
bantuan media sosial akses untuk berkomunikasi dengan siapapun menjadi mungkin.
Perkembangan kemajuan teknologi ini membawa manfaat yang berarti bagi, namun menyisakan
efek negatif yang cukup signifikan bagi masyarakat di era modern ini, yah cyberbullying salah
satunya. Berdasarkan survei IPSOS di 24 Negara termasuk Indonesia, didapati bahwa, satu dari
sepuluh atau sekitar 12% orang tua melaporkan bahwa anak mereka mengalami bullying, sekitar
60% menyatakan alat yang digunakan ialah Facebook.

Fakta diatas menunjukkan bahwa, media sosial yang digunakan oleh para remaja tidak difungsikan
sebagaimana mestinya. Alih-alih untuk bertukar informasi dan saling bertegur sapa saat
terpisahkan oleh jarak, media sosial justru menjadi tools utama untuk memuaskan hasrat seseorang
dalam mengintimidasi atau mengganggu orang yang lemah, baik secara individu maupun
kelompok. Dalam dunia cyber gangguan ini meliputi bentuk agresi dalam hubungan dan segala
bentuk-bentuk ancaman elektronik, dan ini terjadi di mana saja dan kapan saja (Parsons, 2005).

Alat yang digunakan untuk melakuakn cyberbullying bermacam-macam, tidak


hanya facebook ada instan message (IM), chatroom, trash polling site, blog, Bluetooth
bullying, dan yang paling sering ialah situs jejaring sosial. Kasus cyberbullying di dalam situs
jejaring sosial yang kerap terjadi di Indonesia bisa ditelusuri lewat (facebook, instagram, Path,
BBM, dll). Di Indonesia, pada survey yang dilakukan Kompas.com, pengguna internetpada tahun
2012 mencapai 63 juta orang atau 24,23 persen dari total populasi Negara ini. Tahun 2014, terus
tumbuh menjadi 107 juta, dan 139 juta atau 50 persen total populasi pada tahun 2015. Hasil
penelitian Yahoo dan Taylor Nelson Sofred (TNS) Indonesia menunjukkan bahwa, pengakses
terbesar di Indonesia adalah mereka yang berusia remaja, antara 15-19 tahun dengan prosentase
sebanyak 64 persen. Artinya, secara psikologis, remaja yang berkisar umur 15-19 tahun sedang
mengalami proses perkembangan dan secara mental belum matang dalam menghadapi berbagai
persoalan. Ini juga yang menyebabkan sering terjadi miss communication antara pengguna jejaring
sosial.

Fenomena cyberbullying memang harus diwaspadai mengingat kejahatan ini berbeda dengan
kejahatan bullying pada umumnya. Cyberbullying dapat dilakukan dimana saja, tanpa mengenal
batas territorial dan tidak diperlukan interkasi langsung antara pelaku dengan korban bully-nya.
Bisa dipastikan setiap orang yang memiliki akses untuk menggunakan internet dan memiliki
jejaring sosial berpotensi menjadi tersangka atau bahkan korban dalam cyberbullying ini.
Sayangnya di negara berkembang khususnya, Indonesia cyberbullying masih belum mendapatkan
perhatian khusus. Cyberbullying belum dimasukkan dalam definisi dan klasifikasi kejahatan di
dunia cyber dan masih dianggap sebagai permasalahan yang sepele (Sudarwanto, 2009). Padahal,
korban dari cyberbullying kebanyakan ialah generasi muda mengingat fakta di lapangan dan
kehidupan remaja yang sangat luwes dan dekat dengan berbagai teknologi digital seperti media
sosial yang jenisnya beragam.

Cyberbullying nampaknya menjadi sebuah cara tersendiri bagi individu atau kelompok untuk
menyampaikan ketidaksenangan guna menjatuhkan atau menyakiti pihak lain yang tanpa sadar
mampu melukai seseorang secara psikis. Efek paling dramatis dari kejahatan cyberbullying ialah
perasaan stress dan depresi yang berujung pada bunuh diri oleh individu yang mengalami
kejahatan ini, baik dari individu atau kelompok tertentu lewat jejaring sosial yang digunakannya.
Pada tahun 2010 Cyberbullying Research Center yang dikepalai Sameer Hinduja dan Justin W.
Patchin kembali memberikan informasi penting mengenai cyberbullying. Sebanyak 4.441 remaja
pada rentang usia 11-18 tahun dari sekolah di daerah selatan US mengisi survei dan mereka
menemukan jenis-jenis cyberbullying, serangan verbal yang kerap dialami oleh mereka yakni,
disalahkan, dan komentar menyakitkan pada posting online yang mereka lakukan (14,3%, 8,8%),
dan fitnah-fitnah di sosial media tentang mereka (menyebarkan rumor) dan menghancurkan
reputasi ewat media sosial (13,3%, 6,8%) (Hinduja & Patchin 2010 dalam (Donegan, 2012)

Tingginya angka cyberbullying di Indonesia harusnya menyadarkan kita agar mencari cara untuk
mencegah terus meningkatnya persentase cyberbullying, agar kedepannya tidak ada lagi
korban cyberbullying yang berujung pada kematian. Sebagaimana yang dialami oleh Yoga
Cahyadi, pria asal Yogyakarta yang diduga nekat melakukan aksi bunuh diri dengan menabrakkan
dirinya di kereta api yang tengah melintas. Dilansir oleh CNN Indonesia (10/09/2014) Yoga
diduga mengakhiri hidupnya, setelah depresi akibat tekanan dan hujatan di sosial medianya akibat
gagalnya acara hiburan Lockstock Fest#2 dimana ia bertugas sebagai ketua penyelenggara.
Sebelum melakukan aksi itu, Yoga sempat menulis sebuah pesan di akun twitter-nya yang
menunjukkan perasaan tertekannya akibat bullying yang diterima di sosial media. Sementara itu
di belahan bumi lainnya, pada tahun 2013 Carlos Vigil, remaja usia 17 tahun memilih bunuh diri
setelah tidak tahan terinitimidasi selama bertahun-tahun oleh teman-teman sekolahnya di masa
SMA-nya akibat penampilannya dan rumor yang menyebar di media sosial bahwa dirinya ialah
Gay.

Kenyataan bahwa media sosial telah menjadi sarana utama untuk berekspresi dan berbagi banyak
hal telah menjadikan Cyberbullying menjadi fenomena yang paling potensial terjadi, disamping
fakta atas tingginya rasio penggunaan media sosial melalui gadget pada remaja di Indonesia.
Adalah sebuah impian yang semestinya diwujudkan melalui tindakan nyata, untu menjadikan
media sosial menjadi tempat yang aman untuk berbagi. Dimulai dari diri sendiri ayo gunakan
media sosial secera efektif, jadikan ia sebagai tempat untuk berbagi informasi yang positif,
berkomunikasi saat jarak memisahkan, dan menyemangati satu sama lain bukan justru untuk saling
menjatuhkan, menghina dan menyakiti. So, hargai postingan orang lain, berkomentar secara sopan
dan gunakan media sosial dengan bijak seperti berpikir dulu sebelum membuat postingan di
internet karena pengguna internet bukan hanya anda sehingga siapapun bisa mengakses apapun
yang anda posting.. Let’s do it now to prevent cyberbullying!

https://ganeshahandayani.wordpress.com/2022/06/29/ulasan-jurnal-perpectrators-action-after-a-
murder-in-particular-handling-the-corpse-to-evade-criminal-responsibility-study-finding/#more-
367

Perpectrators Action After A Murder, In Particular Handling The Corpse To Evade Criminal
Responsibility – Discussion of Study Finding

Skala Kriminal Pembunuhan di Polandia

Pembunuhan adalah kematian diluar jalur hukum dengan sengaja dilakukan oleh orang lain kepada
seseorang. Data yang berasal dari Police Headquarters (PH), terdapat 14.312 kasus pembunuhan
di Polandia dalam kurun waktu 17 tahun dari 2000 hingga 2017. Dari kasus pembunuhan yang
teridentifikasi, terdapat 13.307 orang sebagai pelaku atau sekitar 92,9% yang ditemukan. Pada
tahun 2002, terdapat 1269 kasus pembunuhan dan ditahun 2017 terdapat 513 kasus pembunuhan.
Berbanding terbalik dengan jumlah kasus yang cenderung turun, jumlah pelaku terlihat adanya
peningkatan. Fakta ini diperoleh dari data ditahun 2000 terdapat 87% pelaku pembunuhan dan
meningkat 92,1% pada tahun 2017. Peningkatan ini dipengaruhi oleh faktor peningkatan kualitas
dalam mendeteksi pelaku pembunuhan, termasuk adanya kemajuan dibidang sains forensik seperti
AFIS dan DNA. Skala kejahatan terorganisir telah perlahan menurun dan berubah sejak tahun
1990an, yang mana tentunya juga mempengaruhi jumlah skala pembunuhan.

Tujuan & Pengaturan Studi Dari Masalah Penelitian

Peneliti melakukan analisa kepada tingkah laku pelaku pembunuhan setelah melakukan aksinya,
khususnya dalam menangani mayat korban agar terhindar dari tanggung jawab hukum.
Karakteristik populasi yang dipilih secara acak dan melalui pertimbangan sebagai berikut:

1) Apa tindakan yang dilakukan pelaku pasca pembunuhan?


2) Seberapa luas kelompok dari pelaku yang melakukan tindakan penghilangan mayat atau
membuat bunuh diri palsu pada mayat?
3) Apa metode yang dipakai untuk menghilangkan mayat (metode mudah, metode rumit,
metode faking suicide)?
4) Apa dampak paling besar pada pemilihan metode penanganan mayat?
5) Apa rencana (pemilihan senjata keadaan) dalam tindakan pembunuhan & persiapan yang
diasosiasikan dekat dengan rencana penanganan mayat?

Metode Penelitian

Kasus dalam penelitian berdasarkan data yang termasuk kasus kriminal menurut Art. 148 dari
hukum pidana. Isi dari itu adalah “siapa yang membunuh seseorang akan diberikan hukuman
penjara minimal 8 tahun, 25 tahun, atau seumur hidup”. Membunuh seseorang dalam konteks,
yaitu:

1) Dengan kekejaman
2) Berhubungan dengan penyanderaan, pemerkosaan, atau perampokan
3) Untuk motif yang ditolak dengan alasan tertentu karena motif pembunuhan yang tidak
masuk akal
4) Menggunakan bahan peledak

Seseorang yang membunuh lebih dari satu orang dalam sekali aksi, atau yang sebelumnya pernah
dihukum atas kasus pembunuhan, atau membunuh masyarakat yang sedang melaksanakan tugas
resmi yang berhubungan dengan perlindungan keamanan, petugas keamanan, atau pengamanan
publik dihukum minimal 15 tahun.

Penelitian terbentang selama 17 tahun dari tahun 2000 hingga 2017 dengan menganalisa 500
kasus. Kasus juga tersebar di 7 pengadilan regional. Terdapat 101 kasus di pengadilan regional
Utara, 63 kasus di pengadilan regional Elblag, 129 kasus di pengadilan regional Gdansk, 36 kasus
di pengadilan regional Katowize, 81 kasus di pengadilan regional Olszsya, 40 kasus di pengadilan
regional Torium, 50 kasus di pengadilan regional Warsaw.

Karakteristik Dari Populasi Studi/Penelitian

Karakteristik yang ditentukan dalam populasi adalah jumlah pelaku sebanyak 604 orang dan
jumlah korban sebanyak 521 orang. Mayoritas kasus pembunuhan, data mengungkapkan
bahwasanya pelaku dan korban saling mengenal satu sama lain. Banyak pelaku dan korban
memiliki hubungan suami istri melalui pernikahan negara maupun agama. Munculnya hubungan
lain selain pernikahan antara subjek (pelaku & korban) ditemukan pada 43 kasus atau sebesar
8,6%. Rata-rata umur pelaku mayoritas tergolong sangat muda yaitu 106 pelaku dengan usia 16-
20 tahun. Terdapat 91 pelaku dengan usia 21-25 tahun dan 91 pelaku dengan usia 26-30 tahun.
Dari sebaran umur pelaku, umur yang paling muda yaitu 12 tahun dan tertua pada umur 82 tahun.
Dilihat dari jenis kelamin, pelaku dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 491 orang dan
perempuan sebanyak 113 orang.

Selain itu terdapat 424 kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang diri tanpa bantuan, 54
kasus pembunuhan dilakukan oleh 2 orang pelaku, 17 kasus pembunuhan dilakukan oleh 3 orang
pelaku, dan 4 kasus pembunuhan dilakukan oleh 4 orang pelaku serta satu kasus pembunuhan
melibatkan 5 orang pelaku. Jumlah korban kasus pembunuhan terbanyak terdapat pada kelompok
usia 46-50 tahun. Dari sebaran usia korban pembunuhan, didapatkan korban dengan usia termuda
yaitu bayi baru lahir dan usia tertua adalah usia 91 tahun. Mayoritas jenis kelamin korban adalah
laki-laki sebanyak 365 orang. Jika dilihat dari jumlah kasus pembunuhan dengan jenis kelamin,
terdapat lebih dari 300 kasus pembunuhan yang dilakukan laki-laki kepada laki-laki dan terdapat
lebih dari 100 kasus pembunuhan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan. Namun, hanya
terdapat kurang dari 100 kasus pembunuhan yang dilakukan perempuan kepada laki-laki.

Dalam menganalisa kerumitan metode pembunuhan, terdapat 378 kasus pembunuhan dimana
pelaku menggunakan satu metode untuk membunuh atau disebut simple killing. Selain itu, juga
ada 142 kasus dengan menggunakan dua metode atau disebut complex killing. Kasus pembunuhan
dalam kondisi mabuk terdapat 175 kasus ditemukan. Jika melihat persentase tempat kejadian
pembunuhan (TKP), jumlah terbanyak berada di rumah yang ditinggali bersama oleh pelaku &
korban sebanyak 174 kasus. Tempat pembunuhan terbanyak kedua adalah rumah korban sebanyak
118 kasus. Lalu dirumah pelaku sebanyak 36 kasus, halaman belakang sebanyak 23 kasus. Lokasi
pembunuhan juga berada di tempat umum seperti jalan raya dengan jumlah 21 kasus dan taman
dengan jumlah 20 kasus. Pada kasus pembunuhan, korban yang telah meninggal sebelum tim
penyelamat (polisi atau ambulan) datang sebanyak 432 kasus dan korban yang meninggal di rumah
sakit sebanyak 64 kasus.

Dilihat dari motif, pembunuhan yang tidak direncanakan sebelumnya memiliki jumlah kasus yang
besar dibandingkan yang direncanakan. Sebanyak 468 kasus pembunuhan dilaporkan tidak
terencana. Selain itu, motif dari istri yang membunuh suami mayoritas adalah untuk mendapatkan
uang dari asuransi. Kebanyakan pembunuhan yang terjadi dilakukan secara spontan, impuls, dan
dikuasai oleh emosi. Mayoritas kasus pembunuhan yang terjadi dilakukan setelah meminum
(sedang atau sudah) alkohol dengan jumlah 468 kasus pembunuhan.

Tindakan Yang Dilakukan Pelaku Setelah Pembunuhan

Terdapat 6 kelompok umum tindakan yang dilakukan pelaku setelah pembunuhan, yaitu:

1) Perilaku Netral
Pelaku tidak melakukan apapun setelah membunuh korban. Tidak melakukan apapun
artinya pelaku tidak menangani senjata yang digunakan untuk membunuh atau TKP dengan
sebuah cara. Artinya, pelaku tidak berusaha menutupi jejak kejahatan. Hal ini terjadi karena
ada dua kemungkinan, yaitu ada saksi yang berusaha menghentikan atau pelaku terlalu
mabuk.
2) Mengurus Mayat Dengan Cara Tidak Benar
Pelaku menangani mayat korban dengan rasa hormat. Ini beralasan sebagai bentuk
kompensasi atas perbuatan yang dilakukan pelaku. Cara yang dilakukan pelaku untuk
menangani mayat korban adalah dengan memandikannya, lalu memakaikan baju, dan
terakhir meletakkan mayat ditempat tidurnya.
3) Tindakan Menolong
Setelah menyakiti korban untuk membunuh, pelaku berusaha untuk menolong korban,
berusaha untuk menyadarkan korban. Selain itu, pelaku mencoba untuk memberitahu
orang lain disekitar TKP atau menelepon polisi atau ambulan untuk menyelamatkan.
4) Tindakan Menghindari Tanggung Jawab Hukum
Pelaku yang termasuk dalam kelompok ini memliki tindakan yang kompleks. Beberapa
respon perilaku seperti meninggalkan TKP, bersembunyi, mengubah identitas,
memberitahu orang lain seperti polisi atau ambulan untuk memberikan alibi, menuduh
orang lain, dan menangani senjata bekas kasus pembunuhan.
- Menangani Senjata
Cara-cara untuk menghilangkan jejak senjata yang digunakan untuk melakukan aksi
pembunuhan beragam cara. Cara yang dilakukan seperti menjauhkan senjata dari TKP,
diletakkan di barang orang lain, disembunyikan, dibersihkan, atau dihancurkan tanpa
ada sis.
- Menangani TKP
Cara-cara menangani TKP seperti membersihkan lokasi, menghilangkan beberapa
objek yang menjadi jejak pembunuhan seperti baju, keset, kursi, dan lainnya. Selain
menghilangkan objek, mengubah tata letak barang untuk menutupi jejak pembunuhan
atau menghancurkan TKP tanpa sisa dengan membakar TKP contohnya.
- Menagani Mayat
Menangani mayat merupakan upaya untuk melakukan pencegahan identifikasi
karakteristik dari korban.
- Membuang Korban
Membuang mayat merupakan salah satu metode mudah dengan menyembunyikan atau
memindahkan korban dari TKP. Selain itu juga bisa dengan mengubur korban,
menenggelamkan, maupun dengan cara memotong bagian tubuh. Cara yang cukup
rumit adalah dengan menghancurkan tubuh dengan cara membakar merebus,
melarutkan dengan zat kimia, atau dengan menjadikan mayat sebagai pakan hewan
buas.
5) Tindakan Menyakiti Diri Sendiri
Artinya pelaku melakukan bunuh diri setelah membunuh korbannya. Cara seperti ini
adalah salah satu upaya yang dianggap sebagai proses menghindari tanggung jawab
hukum. Cara ini bisa dibilang sebagai homiced-suiced (h-s). Pelaku yang menghindari
tanggung jawab hukum dengan cara seperti ini sering didapatkan menderita gangguan
kejiwaan.
6) Tindakan Lain
Tindakan yang dilakukan pelaku setelah pembunuhan tidak jelas, artinya banyak perilaku
yang muncul dari beragam kelompok tindakan. Pelaku melakukan kombinasi dari beragam
tindakan setelah membunuh.

Menurut Z. Marck, metode menghilangkan mayat bisa dikategorikan dalam beberapa bentuk,
yaitu:

1) Tindakan sederhana, memindahkan dari TKP, menyembunyikan, menimbun dengan


sesuatu, seperti tanah, salju, atau tumpukan jerami.
2) Menguburkan atau menenggelamkan mayat.
3) Menyembunyikan dengan kombinasi (mutilasi dan membakar).
4) Menghancurkan tubuh tanpa sisa dengan bahan kimia.

Anda mungkin juga menyukai