Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm.

79-93 79

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru

Welly Wirman1, Genny Gustina Sari2, Fitri Hardianti3, Tegar Pangestu Roberto4
1,2,4
Universitas Riau, Riau, Indonesia
3
Universitas Islam Riau, Riau, Indonesia

ABSTRAK

Kasus pelecehan seksual cyber kerap terjadi di Kota Pekanbaru, hal ini dapat dilihat dari pemberitaannya
di beberapa media massa. Tidak adanya data akurat di P2TP2A Kota Pekanbaru tentang pelecehan seksual
dunia maya menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan dan kepedulian publik tentang cyberbullying
terhadap remaja. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dimensi internal dan dimensi eksternal konsep
diri serta pengalaman komunikasi dari remaja korban cyber sexual harrassment. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, teknik pengumpulan data terdiri dari wawancara
mendalam, observasi, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan informan dalam penelitian ini menggunakan
teknik Snowball, dan jumlah informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang. Teknik analisis data
yang digunakan adalah Miles dan Huberman. Sementara teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan
perpanjangan keikutsertaan dan triangulasi. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi
internal konsep diri pada remaja terdiri dari identitas diri negatif. Perilaku mereka pesimistis, tidak mampu
mengendalikan emosi, dan remaja cenderung mendapatkan penilaian negatif dalam bentuk label seksual
dari teman-teman mereka seperti “menggairahkan”, “pelacur” dan sebagainya. Kemudian dimensi eksternal
yang terdiri dari fisik di mana remaja merasa bentuk fisik atau wajah yang dimiliki dapat memprovokasi
pelecehan, merasa kurang baik dalam hal moral-etika karena mereka tidak mengikuti ajaran yang diajarkan
oleh agama, selain itu jika dilihat dari pribadi adanya kecemasan, berpikir negatif, dan skeptis tentang pujian.
Pengalaman komunikasi yang menyenangkan diperoleh dalam bentuk motivasi, perhatian, dan konseling,
pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan seperti korban disalahkan, ejekan, dimarahi oleh orang
tua, dan dianggap melebih-lebihkan.

Kata-kata Kunci: Konsep diri; remaja; cyber sexual harassment; pengalaman komunikasi; Pekanbaru

Dimensions of self consept cyber sexual harassment’s victims in Pekanbaru city


ABSTRACT

The cases of Cyber sexual harassment often occur in Pekanbaru where it can be seen in several mass media.
The absence of accurate data in P2TP2A Pekanbaru about sexual harassment in cyberspace shows the lack
of public knowledge and concern about cyberbullying towards adolescents. This study aims to determine
the internal dimensions and external dimensions of self-concept and communication experiences of victims
of cyber sexual harassment. This study uses qualitative method with phenomenological approaches, data
collection techniques used were in-depth interviews, observation, and documentation. The informants were
gathered by Snowball technique with the total of informants are six people. The data analysis technique used
are from Miles and Huberman. Meanwhile, the technique of data validity check are extension of participation
and triangulation. The results indicate that the internal dimensions of self-concept in adolescents is negative
self-identity. Their behaviors are pessimistic, having uncontrolled emotions, and get negative judgments
from their friends such as “voluptuous”, “prostitutes” and so on. Then the external dimension consisting of
physical, where adolescents feel their physical appearance can provoke harassment, feel poorly on moral-
ethics because they are not religious. Moreover, from personal being, they have anxiety, negative thinking, and
skeptical about compliment. A pleasant communication experiences were obtained in the form of motivation,
attention, and counseling, unpleasant communication experiences such as victim blaming, being ridicule,
scolded by parents, and being considered exaggerating.

Keywords: Self conceptual; adolescents; cyber sexual harassment; communication experience; Pekanbaru

Korespondensi: Dr. Welly Wirman, S.IP., M.Si. Universitas Riau. Kampus Bina Widya Km 12,5 Simpang
Baru Pekanbaru 28293 – Indonesia. Email: welly.wirman@lecturer.unri.ac.id
Submitted: May 2020, Accepted: March 2021, Published: June 2021
ISSN: 2303-2006 (print), ISSN: 2477-5606 (online). Website: http://jurnal.unpad.ac.id/jkk
Terakreditasi Kemenristekdikti RI SK No. 48a/E/KPT/2017
80 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

PENDAHULUAN 2019). Organisasi Kesehatan Dunia menegaskan


bahwa sexual harassment merupakan salah
Cybercrime adalah kejahatan dimana satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi
tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan masalah global (Rusyidi, Bintari, & wibowo,
menggunakan teknologi cyber dan terjadi di 2019). Ada beberapa dampak negatif dari
dunia cyber (Fajri, 2008). Cybercrime dalam praktik cybersex, seperti prostitusi, kejahatan
arti luas meliputi setiap perilaku ilegal yang cyber termasuk pelecehan anak dan pornografi.
dilakukan dengan maksud atau berhubungan Tahun 2014, UNICEF melaporkan bahwa
dengan sistem komputer dan jaringan, termasuk satu dari sepuluh anak perempuan mengalami
kejahatan pemilikan, penawaran atau distribusi sexual harassment. Data ini mungkin belum
dari komputer sistem atau jaringan (Lisanawati, bisa diyakini sepenuhnya, karena pelecehan
2014). Pendapat lainnya tentang cybercrime seksual membuat orang yang dilecehkan tidak
yakni sebagai perbuatan melawan hukum yang nyaman tanpa menimpa sakit fisik yang berat
dilakukan dengan memakai jaringan komputer sehingga masih banyak sexual harassment
sebagai sarana / alat atau komputer sebagai tidak dilaporkan. Oleh karena itu, perilaku
objek, baik untuk memperoleh keuntungan pelecehan tidak terdata dengan baik, baik itu
ataupun tidak, dengan merugikan pihak di lembaga-lembaga hukum maupun lembaga
lain (Arifah, 2011). Di Indonesia Undang- sosial masyarakat. Namun demikian, apabila ini
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terus dibiarkan akan berakibat pada kehidupan
(UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 sudah masyarakat yang tidak aman dan nyaman
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Rahmah, Iriyanti, Maghfiroh, & Agustina,
(DPR). Berdasarkan Undang-Undang ITE, 2017).
terdapat berbagai macam bentuk kejahatan di Adapun contoh pemberitaan terkait
dunia maya (cybercrime) seperti pornografi, pelecehan seksual di dunia maya (cyber
perjudian, penghinaan, pencemaran nama sexual harassment) yang ada di media seperti
baik, pemerasan, pengancaman, carding, diberitakan di riaugreen.com, menyebutkan
politic hacker, teror, abuse, pembajakan, bahwa terdapat remaja berusia 18 tahun yang
penyadapan, dan sebagainya. Salah satu bentuk melapor ke Diskominfo Riau mengenai gambar-
cybercrime dari segi pornografi adalah cyber gambar porno yang diterimanya melalui orang
sexual harassment. Pelecehan seksual di dunia asing di media sosialnya. Selain itu ada pula
maya (cyber sexual harassment) dapat secara penelitian terdahulu oleh Ahmad Fatikhul
sederhana didefinisikan sebagai “pelecehan Abdullah, STKIP PGRI Sidoarjo yang berjudul
seksual yang terjadi terutama melalui internet”. studi fenomenologi pelecehan seksual pada
Menurut Dowdell dalam American Journal of wanita melalui sosial media, dengan tujuan
Nursing, cara termudah hari ini bagi pelaku untuk mengetahui bentuk-bentuk pelecehan
untuk bertemu dan melibatkan anak atau seksual yang terjadi pada media sosial dan
remaja untuk tujuan sexual harassment, respons pengguna media sosial terhadap
pornografi, atau prostitusi adalah melalui pelecehan seksual tersebut (Abdullah, 2008).
internet (Rosyidah & Nurdin, 2018). Penelitian lainnya juga dilakukan oleh
Cybersex bukan merupakan topik baru, Sloane Burke W, dkk. Tentang “Exploring
namun keberadaannya semakin dikenal Cyber Harrassment among Women Who Use
karena praktiknya juga ikut berkembang. Social Media”. Total keseluruhan responden
Goldberg mengatakan bahwa banyaknya orang terdapat 293 perempuan dewasa dengan usia
yang menggunakan Internet untuk cybersex 18 tahun ke atas yang menyelesaikan survei
telah meningkat sepuluh tahun terakhir ini dengan baik. Menyebutkan bahwa responden
(Juditha, 2020). Hal ini berdampak serius pada yang ketika ditanya tentang pengalaman mereka
dorongan seksual pengguna, karena seringkali dengan berbagai bentuk pelecehan dunia maya
tidak mampu menahan dorongan seksual dalam 12 bulan terakhir (tidak termasuk spam),
karena sajian seks di internet tersebut. Sexual 19,9% (n = 57) telah berulang kali menerima
harassment memiliki implikasi sosial sebagai pesan cabul yang tidak diminta di Internet dari
bentuk dari diskriminasi gender dan agresi seseorang yang tidak mereka kenal. Lebih dari
seksual. Terutama memengaruhi kesehatan 10% (11,5%, n = 33) telah menerima pesan
mental pada perempuan (Reed, Wong, & Raj, pornografi, dan hampir seperlima (19,2%, n =

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 81

55) berulang kali menerima ajakan seksual di pelecehan didunia maya . NI mengatakan :
Internet dari seseorang yang tidak mereka kenal “Pelaku video call berkali-kali dan nelfon
(Jasmine, 2021). selalu tengah malam. Aku angkat ternyata
Kemajuan teknologi yang semakin pesat video dia lagi liatin itu nya. Terus dia
layaknya pisau bermata dua tidak hanya nelfon pakai nomor lain, pas di angkat dia
membawa dampak positif namun diikuti mendesah-desah. Terus setelah aku block,
juga dengan serangkaian dampak negatif dia pakai nomor lain lagi whatsapp ke aku
(Habibah & Tianingrum, 2020). Kemudahan foto itu dia, tapi gak aku tanggapin, terus
dan kecanggihan teknologi informasi saat dia chat aku, katanya aku jual mahal dan
ini, menciptakan peluang-peluang baru ngancam mau ambil keperawanan aku.
dalam tindakan kriminal. Pelaku melakukan Semenjak itu aku gak berani keluar-keluar
pelecehan melalui berbagai jenis media sosial rumah jadi takut manatau pelaku tau aku
dan teknologi komunikasi, terlebih lagi korban lagi dimana”. (Wawancara NI, pada 12
yang ditemui merupakan remaja yang masih Januari 2019).
dalam masa transisi menuju pendewasaan. Di
Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun Rata-rata korban yang mengalami pelecehan
mengalami peningkatan, korbannya bukan di dunia maya cenderung memiliki konsep
hanya dari kalangan dewasa saja sekarang diri negatif, hal ini terlihat dari dirinya yang
sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan tidak percaya diri, malu terhadap diri sendiri,
balita (Noviana, 2015). tertutup, dan pemurung. Terlintas pemikiran
Menurut Lidya Mawarni, M.H dari dalam benak penulis bahwa pengalaman
Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru dalam tersebut dapat mempengaruhi kehidupan
Pelatihan Pencegahan KBGO di Pekanbaru, dan cara pandang mereka. Seorang remaja
bahwasanya kekerasan yang terjadi di dunia yang tengah mematangkan konsep dirinya
nyata atau online tidak dapat didiamkan begitu mengalami pengalaman negatif tersebut yang
saja, sebagai masyarakat memiliki hak dan mempengaruhi cara pandang terhadap dirinya
kewajiban untuk mencegah kekerasan seksual dan lingkungan sekitar, dimana hal tersebut
tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan dapat mempengaruhi pola komunikasinya
speak-up atau mengungkapkan kejadian yang secara interpersonal dengan lingkungan sekitar.
menimpa sekitar kita baik teman, saudara atau Penulis juga melakukan wawancara dengan
diri sendiri, mencari perlindungan hukum juga seorang psikolog pada 18 April 2019 di Persona
merupakan hal yang benar untuk dilakukan Quality yang merupakan Kantor Pusat Layanan
(Dreeva, 2019). Psikologi Pekanbaru. Menurut Ibu Irene
Salah satu penyebab dari belum berakhirnya Hutajulu S.Psi selaku psikolog, mengatakan
kekerasan seksual terhadap perempuan di “kasus cyber sexual harassment ini lebih
Indonesia adalah dianutnya budaya patriarki mengerikan dibandingkan pelecehan di dunia
dalam masyarakat Indonesia. Patriarki sendiri nyata karena pelaku tidak bisa dilawan secara
dapat diartikan sebagai sistem pengelompokkan langsung karena membutuhkan keberanian
masyarakat sosial yang mementingkan yang kuat dari pihak korban untuk membalas
garis keturunan laki-laki. Dalam kehidupan tindakannya. Korban tidak bisa lari apabila
masyarakat, paham patriarki berkembang ia masih terhubung dengan dunia maya.”
menjadi sebuah cara untuk mendiskriminasi (Wawancara dilakukan pada 18 April 2019)
perempuan dengan menganggap perempuan Kasus cyber sexual harassment sudah
sebagai pihak yang lebih inferior (Rahayu & marak terjadi di Kota Pekanbaru, dengan
Agustin, 2018). dimuatnya dibeberapa media massa, pada tahun
Penulis melakukan observasi dan 2017 Provinsi Riau menjadi provinsi yang
wawancara sederhana kepada informan kunci, menduduki peringkat ke-2 di Indonesia yang
NI yang menjadi salah satu korban cyber sexual memiliki kasus kekerasan seksual terhadap
harassment. Remaja yang aktif pada komunitas anak terbanyak, kekerasan seksual tersebut
dan forum antipatriarki ini aktif bermedia terus meningkat setiap tahunnya hingga 2019.
sosial dan membahas isu-isu gender nasional Menurut Kepala Bidang Perlindungan Anak
dan pelecehan, suatu ketika ia membagikan dan Perempuan, dari Dinas Pemberdayaan
pengalamannya di media sosial mengenai Perempuan dan Perlindungan Anak Kota

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
82 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

Pekanbaru, Sarkawi Datuak Mongguang Kayo yang dijadikan fokus dalam penelitian ini yaitu
“Jumlahnya mengalami peningkatan cukup Eksploitasi, paksaan, dan ancaman (seseorang
besar dibandingkan kasus yang sama 2017 menerima ancaman seksual, dipaksa untuk
lalu yang hanya 74 kasus dan 2016 sebanyak berpartisipasi dalam perilaku seksual online
63 kasus”. Menurut beliau, pemicu terjadinya atau blackmail yang berisikan konten seksual),
kejahatan seksual terhadap anak-anak atau dan Perilaku seksual yang tidak diinginkan
remaja secara umum akibat degradasi moral (seseorang menerima konten dan komentar
pada sejumlah oknum warga, pengaruh tayangan seksual yang tidak dinginkan), karena penulis
pornografi di ponsel, dan kurang perhatian dari menemukan jenis pelecehan ini yang banyak
pihak keluarga (Nashrullah, 2019). ditampilkan di berbagai media massa dan di
Tidak adanya data di Pusat Pelayanan Kota Pekanbaru . Pelecehan jenis satu dan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak empat memiliki dampak besar ke lingkungan
(P2TP2A) Kota Pekanbaru mengenai remaja sosial, bersifat personal, dan berbentuk foto
yang mendapatkan cyber sexual harassment atau video yang ditambah dengan teks. Korban
menandakan bahwa kurangnya pengetahuan mengalami gangguan psikis seperti perasaan
dan kepedulian masyarakat mengenai pelecehan malu yang kuat, terancam, merasa terhina,
didunia maya terhadap para remaja. Hal ini takut dirinya buruk dimata orang lain, dan
menjelaskan bahwa Cyber Sexual harassment sebagainya, sehingga korban menjadi menarik
sudah menjadi rahasia umum di dalam diri, bermasalah dengan lingkungan sosial,
masyarakat, hingga saat ini belum ada data valid pindah sekolah, melapor kepihak berwajib,
yang mengumpulkan jumlah laporan cyber hingga membunuh.
sexual harassment di Pekanbaru. Kurangnya Salah satu bentuk cybercrime dari segi
kesadaran masyarakat mengenai bahayanya pornografi adalah cyber sexual harassment.
cyber sexual harassment bagi perkembangan Pelecehan seksual di dunia maya (cyber
konsep diri dan perilaku komunikasi seseorang, sexual harassment) dapat secara sederhana
membuat fenomena cyber sexual harassment ini didefinisikan sebagai “pelecehan seksual yang
tidak diatur secara serius. Pandangan masyarakat terjadi terutama melalui internet”. Pelecehan
yang mengganggap pelecehan visual, verbal, seksual secara online dapat terjadi melalui media
maupun teks di dunia maya sebagai masalah yang berbeda seperti ruang obrolan, situs jejaring
sepele membuat korbannya merasa tabu untuk sosial, kotak masuk (inbox), e-mail, iklan, tautan
membuka suara, berkonsultasi, atau melaporkan otomatis atau spam. Penulis memfokuskan pada
hal tersebut kasus korban yang mengalami cyber sexual
Pada akhir 2018 dan 2019, kasus ini sudah harassment melalui ruang obrolan, situs jejaring
cukup merajalela di Kota Pekanbaru sehingga sosial, dan kotak masuk (inbox) karena menurut
banyak dimuat dalam beberapa media online. survei wearesocial.com jumlah pengguna sosial
Seperti yang dimuat oleh tribunpekanbaru.com media di Indonesia mencapai 56% dari jumlah
dimana korban yang bernama Wirzha mengaku penduduk Indonesia, dan penggunaan sosial
Facebook-nya terpampang foto mesum, Wirzha media serta aplikasi messenger merupakan
kemudian mengadukan hal ini ke polisi. Kasus aktivitas yang paling sering dilakukan.
berikutnya dimuat oleh riaugreen.com dimana Fenomena cyber sexual harassment
korban pelecehan seksual berumur 18 tahun banyak melanda para remaja, dilihat dari
mengadu ke Diskominfo Riau. Selain itu juga pemberitaan dan pengguna aktif internet di
ada pemberitaan di merdeka.com dimana Indonesia yang 49,52% di dominasi usia 19-
korban mengaku profil di FB nya berubah 34 tahun. Remaja adalah masa perkembangan
menjadi gambar porno, korban lantas lapor transisi antara masa anak-anak dan masa
kepada polisi, ada pula kasus warga tenayan dewasa yang mencakup perubahan biologis,
raya tega posting video mesum dengan pacarnya kognitif, dan sosial-emosional (Santrock,
di facebook yang dimuat di riauterkini.com dan 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
lain-lain. Ahmed E. Arafa, Rasha, Nahed & Safaa
Berdasarkan jurnal Internasional Project dampak yang ditimbulkan dari cyber sexual
deShame (Childnet, 2017), pelecehan seksual harassment meninggalkan banyak gangguan
secara online telah dikategorikan ke dalam psikologis, mulai dari tekanan emosional,
empat jenis utama , namun hanya dua kategori kesedihan, kesepian, marah, hingga gejala

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 83

depresi dan menghalangi aktivitas sehari-hari Terdapat dua kemungkinan yaitu, individu-
(Arafa, 2018). Selain itu juga kasus kekerasan individu mengembangkan konsep diri melalui
seksual mampu memberikan traumatik korban interaksi dengan orang lain. Kedua, konsep diri
yang lama (Indainanto, 2020). memberikan motif yang penting bagi perilaku
Pada penelitian ini guna mengungkap seseorang. Ketiga, Masyarakat (Society),
konsep diri dan pengalaman komunikasi masyarakat dalam konteks pembahasan George
dari remaja korban cyber sexual harassment Herbert Mead dalam teori Interaksi Simbolik
maka penulis menggunakan teori Interaksi ini adalah masyarakat dalam ruang lingkup
simbolik. Interaksi simbolik didasarkan pada mikro, yaitu organisasi sosial tempat akal budi
ide-ide tentang bagaimana individu melakukan (mind) serta diri (self) muncul. Bagi Mead
interaksi dengan individu lainnya. Interaksi dalam pembahasan ini, masyarakat itu sebagai
simbolik merupakan aktivitas yang menjadi ciri pola-pola interaksi dan institusi sosial yang
khas manusia yakni komunikasi dan pertukaran adalah hanya seperangkat respons yang biasa
simbol-simbol yang diberi makna. Dalam teori terjadi atas berlangsungnya pola-pola interaksi
ini melihat bahwa perilaku manusia dilihat tersebut, karena Mead berpendapat bahwa
sebagai proses yang memungkinkan manusia masyarakat ada sebelum individu dan proses
membentuk dan mengatur perilaku mereka mental atau proses berpikir muncul dalam
dengan mempertimbangkan feedback dari masyarakat.
orang lain. Perilaku seseorang dipengaruhi Teori Interaksi simbolik mengasumsikan
oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, bahwa makna diciptakan melalui interaksi dan
demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui dimodifikasi melalui interpretasi. Teori ini juga
pemberian isyarat berupa simbol, maka kita mengasumsikan bahwa manusia berinteraksi
dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dengan manusia lainnya tergantung pada makna
dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang diberikan. Komunikasi yang efektif
yang ditampilkan oleh orang lain. tidak akan terjadi tanpa adanya makna yang
Tiga konsep utama dalam teori interaksi dibagikan. Kita akan mudah berkomunikasi
simbolik oleh Mead , yaitu mind, self, dan dengan orang yang memiliki kesamaan bahasa
society dapat dijabarkan sebagai berikut : dengan kita dibandingkan dengan mereka yang
Pertama, Pikiran (Mind), pikiran menghasilkan tidak memiliki kesamaan bahasa dengan kita.
suatu bahasa isyarat yang disebut sebagai Begitu pula dalam memahami makna simbolik,
simbol. Simbol-simbol yang memiliki arti kita akan mudah memahami suatu makna
bisa berbentuk gerak gerik atau gesture dan yang hendak disampaikan apabila mengetahui
juga dapat berupa bahasa. Pikiran adalah maksud dari simbol yang diberikan.
mekanisme penunjuk diri (self-indication) Konsep diri terbentuk melalui proses
untuk menunjukkan makna kepada diri sendiri pembelajaran diri mulai dari kecil hingga dewasa.
dan kepada orang lain dan berkembang dalam George Herbert Mead menjelaskan konsep diri
proses sosial komunikasi. Pikiran merupakan sebagai pandangan, penilaian, dan perasaan
hal yang membedakan manusia dengan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai
makhluk hidup lainnya karena mind melalui hasil dari suatu interaksi sosial (Handaningtias
proses berfikir. Kedua, Diri Pribadi (Self), Self & Agustina, 2017). Lingkungan, pengalaman,
atau diri adalah kemampuan untuk menerima dan pola asuh orang tua memberikan pengaruh
diri sendiri sebagai sebuah objek dari perspektif yang signifikan dalam membentuk konsep
yang berasal dari orang lain, atau masyarakat. diri seseorang. Hal-hal tersebut membantu
Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas seseorang untuk dapat mengenali siapa dirinya.
interaksi sosial dengan orang lain. Proses Konsep diri mempunyai sifat yang dinamis
melihat diri sendiri melalui sudut pandang atau dapat berubah. Ada aspek-aspek yang bisa
orang lain merupakan cara yang efektif bagi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan ada
individu untuk masuk ke dalam tatanan sosial yang mudah berubah sesuai dengan situasi yang
karena dengan begitu individu akan mampu dihadapi. Seperti penelitian Roshi Khoirunnisa,
untuk menilai kekurangan ataupun kelebihan Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian yang
yang ada pada dirinya. Konsep ini merujuk berjudul konsep diri remaja korban bullying
pada seperangkat persepsi yang relatif stabil (studi pada siswa korban bullying di SMA
yang dipercaya individu mengenai dirinya. Muhammadiyah 7 Yogyakarta), memperlihatkan

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
84 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

hasil bahwa konsep diri terbentuk dari dimensi dari penelitian ini adalah untuk menentukan
internal (diri pribadi) dan dimensi eksternal dimensi internal dan dimensi eksternal konsep
(interaksi dan lingkungan sosial). Apabila diri serta pengalaman komunikasi dari remaja
korban mengalami pengalaman negatif dari luar korban cyber sexual harrassment.
secara terus menerus akan membentuk konsep
diri yang negatif pula. METODE PENELITIAN
Menurut Fitts konsep diri seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu Metode penelitian yang akan digunakan
pengalaman, kompetensi, aktualisasi diri, adalah kualitatif dengan pendekatan
pola asuh orang tua, kegagalan, depresi, dan fenomenologi. Rivai (Creswell, 2016) juga
kritik internal (Agustiani, 2009). Pengalaman menyebutkan bahwa metode kualitatif
yang diperoleh dalam kehidupan dapat digunakan secara induktif, dengan asumsi
mempengaruhi konsep diri seseorang karena yang didasarkan pada konstruk realitas sosial ,
konsep diri adalah hasil dari sebuah interaksi variabel yang sulit diukur, kompleks dan saling
individu dengan lingkungannya, maka terkait dan data yang dikumpulkan berisi sudut
pengalaman interpersonal merupakan faktor pandang yang mendalam dari informan.
yang paling penting bagi perkembangan konsep Selanjutnya menentukan subjek penelitian,
diri seseorang. Pengalaman interpersonal yang yang artinya orang pada latar penelitian yang
menimbulkan perasaan positif maupun negatif dimanfaatkan untuk memberikan informasi
dan berharga. Kemudian kompetensi yang tentang situasi kondisi latar penelitian
dimaksud adalah pengakuan atau dihargai oleh (Moleong, 2010). Pengambilan subjek
individu lain. Pengakuan atau harga diri yang menggunakan teknik snowball sampling.
diberikan individu lain terhadap dirinya dapat Penulis menggunakan informan kunci (key
mempengaruhi perkembangan konsep dirinya. informan) untuk membangun akses kepada
Seperti dalam penelitian Hikmah Widyana informan-informan lainnya, berawal dari satu
Intan, Universitas Gunadarma. Penelitian yang informan kemudian membesar dan meluas.
berjudul konsep diri remaja korban perkosaan Informan penelitian adalah subjek atau pihak
ini memperlihatkan bahwa pengalaman negatif yang mengetahui atau memberikan informasi
seperti pemerkosaan yang terjadi saat remaja maupun kelengkapan mengenai objek penelitian.
membentuk konsep diri negatif terhadap diri Saat ini yang menjadi subjek penelitian ini
korban. adalah : 4 perempuan ((NI (Informan kunci),
Cyber sexual harassment merupakan suatu MU, NC, dan MA)), 2 laki-laki (DA dan NA).
bentuk pengalaman negatif. Pengalaman negatif Adapun sumber data dalam penelitian ada
maupun positif merupakan salah satu faktor dua, yakni data primer dan data sekunder. Data
yang mempengaruhi pembentukan konsep primer dapat berbentuk opini subjek individu
diri seseorang. Masa remaja merupakan tahap atau kelompok, dan hasil observasi terhadap
pematangan konsep diri individu. Sehingga karakteristik benda (fisik), kejadian, kegiatan
apabila pengalaman negatif terjadi dimasa dan hasil suatu pengujian tertentu Ruslan (Intan,
remaja , hal tersebut dapat mempengaruhi 2015). Data primer yang penulis dapatkan
terbentuknya konsep diri. Menurut Fitts konsep untuk meneliti konsep diri korban cyber sexual
diri seseorang memiliki aspek-aspek yang harassment di Kota Pekanbaru akan berasal
dibagi menjadi beberapa dimensi yaitu dimensi dari pengamatan interaksi para korban cyber
internal dan eksternal (Agustiani, 2009). sexual harassment di kota Pekanbaru terhadap
Dimensi internal memiliki tiga indikator yaitu lingkungan dan dirinya sendiri. Kemudian, data
identitas (identity self), diri perilaku (behavioral primer akan didapatkan dari hasil wawancara
self) dan diri penerimaan (judging self). Dalam terhadap subjek-subjek penelitian.
dimensi eksternal terdapat lima indikator yaitu Sedangkan data sekunder adalah data
fisik (physical self), diri moral etik , diri keluarga yang didapat tidak langsung dari sumbernya
, diri pribadi , dan diri sosial. Tujuan penelitian dimana hal ini diambil dari arsip yang dapat
ini dilakukan adalah untuk mengetahui memberikan data tambahan yang mendukung
bagaimana aspek-aspek tersebut terbentuk analisis dan interpretasi data (Sugiyono, 2016).
setelah seseorang mengalami pengalaman Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
dilecehkan melalui dunia maya. Adapun tujuan langsung dari korban cyber sexual harassment

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 85

Tabel 1 Simbol dalam Cyber Sexual Harassment

No. Simbol / Singkatan Arti Penjelasan


1 Terong Penggunaan emoji ini sering menjadi simbol
yang berkaitan dengan alat kelamin pria
2 Buah Persik Emoji ini sering disalah gunakan sebagai
penggambaran bokong wanita yang besar
3 Buah Pisang Penggunaannya sama dengan emoji terong,
namun pisang digambarkan sebagai alat kelamin
pria yang belum disunat
4 Lidah Emoji ini bermakna atau menggambarkan
kegiatan oral seks (kegiatan seksual
menggunakan mulut)
5 Bulir Air/ Menyimbolkan cairan sperma laki-laki
Keringat
6 Menyeringai Dalam konteks seksual, emoji ini bermaksud
untuk menggoda seseorang
7 Mengedipkan Ekspresi mengedipkan sebelah mata memiliki arti
Mata mencoba menggoda seseorang
8 Air liur Emoji ini menggambarkan ekspresi tergiur dan
terangsang karena melihat tubuh seseorang
9 PS Phonesex Aktivitas berbicara melalui telefon dengan orang
lain mengenai kegiatan seksual dengan maksud
membuat mereka menjadi terangsang
10 VCS Video Call Sex Melakukan panggilan video siaran langsung
diaplikasi tertentu, kemudian menunjukkan
bagian tubuh sensitif seperti alat kelamin atau
lekuk tubuh
11 BO Booking Out Mengajak seseorang keluar dan menginap
disuatu tempat untuk berhubungan seksual, biasa
digunakan oleh jasa prostitusi online
12 Send Nudes Foto Vulgar Meminta foto vulgar atau telanjang melalui pesan
singkat maupun aplikasi chatting
Sumber: Hasil Penelitian, 2019

berupa dokumentasi dan bukti data lain yang akan melakukan wawancara menggunakan
menurut penulis penting untuk dimasukkan. media telekomunikasi seperti aplikasi pesan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan di smartphone (Whatssapp atau Line), melalui
adalah wawancara mendalam, observasi, telepon, dan video conference untuk mengatasi
dan dokumentasi. Pada teknik wawancara, informan yang tidak mau melakukan wawancara
penulis melakukan wawancara tatap muka tatap muka karena berbagai kendala. Penulis
dan mengajukan berbagai pertanyaan yang akan mewawancarai orang terdekat informan
berhubungan dengan konsep diri korban. seperti keluarga, teman, tetangga, atau sahabat
Kemudian, secara tidak langsung penulis akan informan.
melihat komunikasi non verbal dari informan Selanjutnya observasi, adapun teknik
seperti gerakan tangan, ekspresi wajah, gerak observasi yang digunakan adalah teknik
tubuh, dan sebagainya. Selain itu, penulis juga observasi partisipasi pasif. Menurut Susan

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
86 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

Tabel 2 Pemahaman Informan terhadap Makna Simbolik Cyber Sexual Harassment

Pemahaman Simbol Seksual


No. Nama Sebelum Kejadian Sesudah Kejadian S u m b e r
Pemahaman
1. MU Belum mengerti, hanya Menjadi lebih paham setelah Mencari tahu
menganggap hal tersebut menanggapi pesan yang sendiri
sebagai iklan spam yang dikirim pelaku, memahami
ada di sosial media maksud pelaku dan
memahami gelagat orang
yang memiliki niat tidak baik
2. DA Belum mengerti, hanya Lebih memahami bahwa Kakak dan teman
mengetahui apabila gambar atau pesan yang terdekat
seseorang mengirim gambar dikirim sama saja seperti
tidak senonoh artinya melihat langsung didunia
merendahkan diri kita nyata, namun perbedaannya
pelakunya tidak diketahui
3. NA Memahami ada yang Jauh lebih tahu, ada yang Teman dekat
salah dari pesan yang berbentuk verbal, gambar,
diterimanya, namun tidak chat, link menjebak,
tahu cara menghadapinya video, video call, dan
mengetahui emoticon yang
memiliki makna ganda,
serta mengetahui cara
menghadapinya
4. NI Tidak terpikir bahwa Mengetahui istilah seksual Mencari tahu
seseorang bisa dilecehkan seperti BO, send nude, sendiri di internet
melalui sosial media PS, dan mengetahui cara dan bertanya
menanggulanginya kepada teman
5. NC Sudah mengetahui sekilas Jadi tahu istilah-istilah, Teman dekat
mengenai cyber sexual emoticon, dan apa saja
harassment dari teman yang hal yang memiliki makna
mengalami “menggoda” yang dilakukan
lawan jenis seperti pose
mengeluarkan lidah
6. MA Belum tahu, ia hanya Lebih memahami kenapa Teman yang
mengetahui bahwa tidak pada saat itu ia merasa pernah
seharusnya melihat gambar bathinya sebagai perempuan mengalami
seperti itu, ia merasa memberontak karena kejadian yang
berdosa dan takut ketahuan mendapat gambar yang sama.
orang tua melanggar norma dan etika
yang dianutnya. MA bisa
mengetahui gelagat orang
yang ingin memberikan pesan
menjurus kearah seksual

Sumber: Hasil Penelitian, 2019

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 87

Stainback (Sugiyono, 2016) observasi korban yang muncul sebelum dan sesudah
partisipasi pasif, penulis datang ke tempat mengalami cyber sexual harassment ketika
kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut simbol-simbol signifikan digunakan dalam
terlibat dalam kegiatan tersebut. Alasan penulis proses komunikasi dan dipengaruhi oleh
menggunakan teknik ini karena penulis ingin pemahaman society (masyarakat) (Pada tabel
mengetahui kegiatan sehari-hari subjek yang 2).
diamati berkaitan dengan konsep diri subjek, Selain teori Interaksi simbolik, penulis
tapi tidak terlibat langsung dalam kegiatan juga menggunakan konsep dari konsep diri
subjek korban cyber sexual harassment. untuk menjawab tujuan penelitian, Fitts
Observasi dilakukan di tempat dimana subjek (Agustiani, 2009) mengatakan bahwa konsep
melakukan aktivitasnya baik di tempat belajar, diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku
lingkungan rumah maupun di tempat kerjanya, seseorang. Dengan mengetahui konsep diri
serta di akun sosial medianya (aktivitas dunia seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan
maya). Selain itu observasi juga dapat dilakukan dan memahami tingkah laku orang tersebut.
di rumah subjek yaitu saat subjek menjawab Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan
pertanyaan yang diajukan penulis. dengan gagasan-gagasan mengenai dirinya
Terakhir, dokumentasi. Meleong sendiri. Jika seseorang mempersepsikan dirinya
mengemukakan dua bentuk dokumen yang dapat sebagai orang yang superior dibandingkan
dijadikan bahan dalam studi dokumentasi , yaitu dengan orang lain, walaupun dalam hal ini
Dokumen Harian (pribadi) dan Dokumen Resmi belum tentu benar, biasanya tingkah laku yang
(Moleong, 2010). Penulis akan menggunakan ia tampilkan berhubungan dengan kekurangan
Dokumentasi pribadi yang umum digunakan yang dia persepsi secara subyektif tersebut
yaitu catatan harian atau diary (jika ada), surat (Cangara, 2011).
pribadi (e-mail, social media, chat box, dsb). Selanjutnya penulis juga menggunakan
Teknik analisis data menggunakan konsep dari pengalaman komunikasi,
interaktif Miles dan Huberman. Untuk mencapai Pengalaman merupakan sesuatu yang dialami.
keabsahan data dalam penelitian ini, penulis Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa,
menggunakan perpanjangan keikutsertaan dan “all objects of knowledge must conform to
triangulasi. experience” (Wirman, 2012) pengetahuan
melandasi kesadaran yang membentuk
HASIL DAN PEMBAHASAN pemaknaan. Kesadaran yang membentuk
pemaknaan inilah yang mendorong individu
Pada fenomena remaja korban cyber sexual untuk melakukan tindakan atau perilaku
harassment, anak yang belum mengetahui tertentu, dengan merujuk pada, “behavior is
simbol-simbol dan tanda pelecehan seksual an experience of consciousness that bestows
akan mengalami kesulitan pemahaman makna meaning through spontaneous activity”
sehingga anak tidak dapat menghindari (Wirman, 2012). Setiap peristiwa yang dialami
pelecehan, tidak tahu cara menanggulanginya, akan menjadi sebuah pengalaman bagi individu.
dan shock karena tidak memiliki bekal Pengalaman yang diperoleh mengandung suatu
pengetahuan terhadap makna dari simbol-simbol informasi atau pesan tertentu. Informasi ini
tersebut. Salah satu cara anak mendapatkan akan diolah menjadi pengetahuan. Dengan
pemahaman tersebut yaitu dari edukasi seks demikian berbagai peristiwa yang dialami dapat
yang diberikan orang tuanya, namun beberapa menambah pengetahuan individu.
orang tua menganggap edukasi seksual adalah Suatu peristiwa yang mengandung
tabu bagi anak. Alasannya, pengetahuan unsur komunikasi akan menjadi pengalaman
tersebut akan mengalir seiring berjalannya usia komunikasi tersendiri bagi individu dan
mereka. Bahkan, beberapa orang tua masih pengalaman komunikasi yang dianggap
tampak bingung untuk memberikan edukasi penting akan menjadi pengalaman yang paling
kepada anaknya. diingat dan memiliki dampak khusus bagi
Cyber Sexual Harrassment ini juga terdapat individu tersebut (Wirman, 2012). Pengalaman
simbol atau singkatan yang digunakan pelaku yang dijadikan landasan bagi individu untuk
saat melakukan cyber sexual harassment (Pada melakukan tindakan adalah pengalaman yang
tabel 1). Sementara itu bentuk (mind) pikiran melekat pada sesuatu, “people is retrieving a

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
88 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

memory of a prior experience of phenomena” namun menjadikan dirinya sebagai seorang


(Wirman, 2012). yang tidak lagi ekspresif, negative thinking,
Penjelasan mengenai pengalaman tertutup, dan pembenci.
komunikasi yang menyenangkan dan Adapun penyebab konsep diri identitas
tidak menyenangkan dapat diawali dengan yang cenderung negatif ini disebabkan oleh
pernyataan, komunikasi memiliki dimensi pengalaman cyber sexual harassment yang
isi dan dimensi hubungan (Wirman, 2012). merendahkan dan menginjak harga diri anak,
Hal ini berarti pengalaman komunikasi yang dan menyuguhkan mereka dengan hal-hal
menyenangkan (positif) dapat ditinjau, antara seksual yang dianggap berlawanan dengan
lain melalui suatu hubungan yang menunjukkan norma yang dianut selama ini seperti ajakan
adanya kehangatan sikap, penerimaan dan berhubungan seksual, foto alat kelamin, video
perhatian satu sama lain. Sedangkan pengalaman bermasturbasi dan ungkapan yang memiliki
komunikasi yang tidak menyenangkan (negatif) makna negatif bahkan terkadang mengancam
berarti sebaliknya. untuk mencari korban dan melakukan pelecehan
Berdasarkan dari deskripsi teori dan didunia nyata. b). Diri pelaku (behavioral self),
konsep yang telah dipaparkan di atas, maka diri pelaku merupakan persepsi remaja korban
penulis akan mengaitkan teori dan konsep cyber sexual harassment tentang tingkah
diatas dengan konsep diri dan pengalaman lakunya, yang berisi segala kesadaran mengenai
komunikasi dari remaja korban cyber sexual apa yang dilakukan oleh dirinya. Selain itu
harassment. Pertama, penulis akan membahas bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas.
dimensi internal konsep diri, yang dimaksud Diri yang kuat akan menunjukkan adanya
dengan dimensi internal atau juga disebut keserasian antara diri identitas diri pelaku,
kerangka acuan (internal frame of reference) sehingga seseorang tersebut dapat mengenali
adalah penilaian yang dilakukan individu yaitu dan menerima, baik diri sebagai identitas
penilaian yang dilakukan seseorang terhadap maupun diri sebagai pelaku. Kaitan keduanya
dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dapat dilihat pada diri sebagai penilai. Label –
dirinya. Dalam dimensi internal terdapat 3 label yang melekat pada remaja korban cyber
bentuk yaitu a). Identitas Diri (identity self), sexual harassment juga mempengaruhi perilaku
dalam hal ini, umumnya remaja korban cyber mereka dimana informan menunjukkan perilaku
sexual harassment memiliki konsep diri yang rendah diri.
cenderung negatif, remaja korban cyber sexual Berdasarkan hasil di lapangan yang penulis
harassment yang memiliki identitas diri yang lakukan dengan salah seorang remaja korban
berbeda-beda dimana mereka merasa mempunya cyber sexual harassment yaitu MA yang merasa
identitas tersendiri yang menggambarkan siapa sentimental dengan dirinya karena dikekang
mereka sebenarnya dengan dilatar belakangi oleh rasa malu sekaligus karena adanya
mereka adalah remaja korban cyber sexual ancaman dari pelaku sehingga mengarahkan
harassment sehingga mereka merasa memiliki dirinya menjadi remaja yang suka menangis,
kepercayaan diri yang rendah, malu dengan diri sombong dan menghindari komunikasi dengan
sendiri, melankolis (perasaan muram), penakut, lawan jenis, NC juga suka menarik diri dari
suka menyendiri, pemurung, pesimis, dan orang tuanya seperti menghindari interaksi
cenderung menutup diri. kepada mereka, memendam perasaan dan suka
Dari pertanyaan mengenai identitas diri merendahkan dirinya. Berbeda dengan MU,
seperti MA dan MU merasa bahwa dirinya setelah mendapatkan cyber sexual harassment
adalah orang yang lemah, pesimis, lebih suka ia merasa tahu segalanya tentang pelecehan
menyendiri, pemurung dan penakut saat berada sehingga suka memotong pembicaraan,
di keramaian atau di dekat lawan jenis, berbeda lancang, dan berbicara kotor. Hal tersebut
dengan NI dan NC yang memiliki identitas memperlihatkan sisi negatif perlakuan MU
diri yang pemarah, tidak dapat mengontrol sama halnya dengan informan NA yang
emosi yang akan diluapkan, sangat mudah suka berkata kasar dalam mengekspresikan
tersinggung, sensitif dalam menerima pesan perasaannya, tidak dekat dengan keluarga dan
dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. emosinya mudah terpancing. NI menjadi anak
Sedangkan DA dan NA yaitu korban laki-laki yang suka menyindir, tidak mau disalahkan,
yang tidak terlalu mengalami perubahan sifat mudah panik, tidak dekat dengan keluarga

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 89

namun mandiri dalam menghadapi masalah. langsing, gemuk. Pada dasarnya remaja korban
Sedangkan DA adalah remaja yang tidak dapat cyber sexual harassment memiliki kesamaan
mengontrol emosi, suka menantang, dan berani dalam penampilan fisik dengan remaja biasa
mengeluarkan pendapat agar dirinya tidak lainnya, seperti penampilan mereka yang tidak
lagi direndahkan oleh calon-calon pelaku dan ada ubahnya, mengikuti trend dan penampilan
masyarakat. layaknya seusia remaja pada umumnya. Hanya
Kesimpulan yang diperoleh adalah perasaan mereka yang berbeda. Sebagian
korban suka berkata kasar atau menghardik, korban merasa percaya diri dengan bentuk
menghindari keramaian, kaku, suka fisiknya dan merasa cyber sexual harassment
merendahkan diri, menyendiri, mudah panik, tidak mempengaruhi tingkat kepercayaan diri
menghindar dari keluarga, sombong, dan fisiknya. Namun sebagian lagi merasa malu
tertutup. c). Penerimaan diri/ penilaian diri karena gemuk, mengeluh ketika bercermin,
(judging self), penilaian diri remaja korban cyber tidak percaya diri dengan dada dan bokong yang
sexual harassment berfungsi sebagai pengamat, besar, dan tidak nyaman dengan kecantikan yang
penentu standar, dan evaluator sebagai dimilikinya. b). Diri Moral-Etik, Diri moral-
perantara mediator antara identitas dan diri etik merupakan persepsi remaja korban cyber
pelaku remaja korban cyber sexual harassment. sexual harassment tentang dirinya yang dilihat
Mereka cenderung memberikan penilaian dari standar pertimbangan nilai-nilai, moral
terhadap apa yang dipersepsikan. Oleh karena dan etika. Hal ini menyangkut persepsi remaja
itu, label-label yang dikenalkan pada dirinya korban cyber sexual harassment mengenai
bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya hubungannya dengan Tuhan, kepuasannya
namun juga sarat dengan nilai-nilai bagi remaja terhadap kehidupan keagamaannya dan nilai-
korban cyber sexual harassment, sehingga nilai moral yang dianutnya, yang meliputi batas
penilaian ini menentukan para remaja dalam baik dan buruk. Informan mendapatkan contoh
tindakan yang akan ditampilkannya, karena diri moral etika yang tidak baik dari lingkungan,
penilaian menentukan kepuasan seseorang akan pelaku, dirinya sendiri dan orang tua mereka,
dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima seperti berkata kasar atau tidak menutup aurat.
dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan Sebagian besar moral etik informan berasal
menimbulkan harga diri yang rendah pula dan dari pemahaman dirinya sendiri dan keluarga
akan mengembangkan ketidak percayaan yang seperti kurangnya dorongan beribadah dari
mendasar pada dirinya. Di sini korban merasa keluarga, tidak bersyukur dengan bentuk tubuh,
tidak senang dengan penilaian yang diberikan dan sebagainya. Sehingga korban merasa
orang kepadanya seperti cabe, bohay, bahenol, kurang puas antara hubungannya dengan tuhan,
merasa tidak dihargai, menjadi tidak percaya tidak mengikuti ajaran agama (terutama cara
diri dengan citra yang dibawa, merasa harga diri berpakaian), berbuat dosa, dan merasa tidak
rendah, hina dan dilecehkan. Kedua, dimensi memiliki etika yang cukup baik di lingkungan
eksternal konsep diri, pada dimensi eksternal sosial. c). Diri Personal, diri personal merupakan
remaja korban cyber sexual harassment menilai perasaan atau persepsi remaja korban cyber
dirinya melalui hubungan dan aktifitas sosialnya, sexual Harassment tentang keadaan pribadinya.
nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal diluar Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau
dirinya. Dimensi eksternal merupakan suatu hal hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi
yang luas, seperti diri yang berkaitan dengan oleh sejauh mana karakteristik atau watak
lingkungan sosial, sekolah, agama, organisasi di dalam diri remaja korban cyber sexual
dll, namun dimensi eksternal yang dikemukakan Harassment dan diyakini sebagai pribadinya.
oleh William H. Fitts adalah dimensi eksternal Dalam hal ini korban memiliki karakter kritis,
yang bersifat umum bagi orang yang dibedakan agresif, skeptis terhadap pujian, melihat masalah
atas lima bentuk yaitu : a. Diri Fisik, diri dari sisi negatif. d). Diri Keluarga, Dalam
fisik menyangkut persepsi remaja korban keluarga, akan menunjukkan perasaan dan harga
cyber sexual harassment terhadap keadaan diri remaja korban cyber sexual harassment
dirinya secara fisik, persepsi mereka mengenai dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga.
kesehatan dirinya, penampilan dirinya seperti Bagian ini akan menunjukkan seberapa jauh
cantik, jelek, menarik dan tidak menarik serta remaja korban cyber sexual harassment merasa
keadaan tubuhnya seperti tinggi, pendek, kuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga,

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
90 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

Sumber: Olahan Penulis, 2019

Gambar 1 Model Pengalaman Komunikasi Remaja Korban Cyber Sexual Harassment

serta peran maupun fungsi yang dijalankannya tersebut maka akan semakin bertambah depresi
sebagai anggota dari suatu keluarga. Dalam hal dan membuat remaja memiliki citra negatif.
ini korban merasa diri mereka tidak dimengerti Dalam diri sosial, korban merasa enggan
oleh orang tua, selalu merasa tertekan, merasa untuk menambah teman, menghindari interaksi
tidak nyaman berada dekat dengan orang tua, dengan orang baru, sulit menyesuaikan diri,
dan sering melakukan komunikasi menarik tidak menjadi diri sendiri ketika berada di luar,
diri pada kedua orang tuanya. e). Diri Sosial, menjauhi lawan jenis, dan membentengi jalur
Diri sosial merupakan penilaian remaja korban pertemanan dan interaksi baik di dunia nyata
cyber sexual harassment terhadap interaksinya maupun dunia maya.
dengan orang lain maupun lingkungan di Selanjutnya jika dilihat berdasarkan
sekitarnya. Pembentukan penilaian remaja karakteristik konsep diri (Rakhmat, 2009) yang
korban cyber sexual harassment terhadap telah dipaparkan, terlihat bahwa gambaran
bagian-bagian dirinya ini dapat dipengaruhi diri remaja korban cyber sexual harassment
oleh penilaian dan interaksinya dengan orang memiliki gambaran citra diri yang negatif
lain. Ucapan-ucapan bernada menghina dan dimana mereka merasa yang telah mereka
merendahkan dari pelaku akan direkam dalam lakukan dan penilaian mereka terhadap dirinya
pita memori remaja, semakin lama dan sering bersifat negatif. Sementara itu ada juga remaja
mereka mengalami cyber sexual harassment korban cyber sexual harassment yang akhirnya
Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru
(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 91

memiliki gambaran diri positif dimana ia merasa pelecehan yang diterimanya, hal ini biasanya
apa yang telah mereka lakukan dan penilaian diungkapkan oleh orang-orang yang belum
mereka bersifat positif tanpa merugikan diri pernah mengalami cyber sexual harassment
mereka, dan berguna untuk dirinya dimasa sehingga mereka menganggap remeh kejadian-
depan. Berdasarkan pengamatan dan data yang kejadian seperti ini. Berikut kategorisasi dari
disaring maka penulis memaparkan bahwa pengalaman komunikasi remaja korban cyber
semua informan memiliki konsep diri yang sexual harassment (pada gambar 1).
cenderung negatif dimana remaja korban cyber
sexual harassment menilai negatif diri mereka
dan sulit untuk mengenal diri mereka lebih baik. SIMPULAN
Terakhir, penjelasan mengenai pengalaman
komunikasi yang terbentuk setelah remaja Dari hasil penelitian yang penulis lakukan
korban cyber sexual harassment berinteraksi dan penulis paparkan sebelumnya bahwa
dengan significant others (keluarga terdekat) dimensi konsep diri remaja korban cyber sexual
dan reference group (teman dan lingkungan harassment di Kota pekanbaru yaitu dimensi
sekitar) tercipta dua bentuk pengalaman internal yang terdiri dari diri identitas remaja
komunikasi yaitu pengalaman komunikasi korban cyber sexual harassment memandang
menyenangkan dan tidak menyenangkan. diri mereka secara negatif. Perilaku mereka
Pengalaman komunikasi menyenangkan terdiri pesimis, tidak dapat mengontrol emosi dan
dari motivasi yang didapat oleh orang tua sering menarik diri dalam berinteraksi,
dan teman yang peduli dengan kisah korban, remaja mendapatkan penilaian yang negatif
mereka mendapatkan dukungan untuk bangkit berupa label-label seksual dari temannya
kembali (segi psikis), diberikan nasihat, seperti “bahenol”, “bohay”, “cabe-cabean”
serta dituntun untuk melihat sisi positif dari dan sebagainya. Sehingga remaja merasa
kejadian pelecehan tersebut. Kemudian korban tidak senang dengan penilaian yang diberikan
mendapatkan perhatian lebih dari orang tua dan terhadap diri mereka, remaja menilai bahwa
teman-temannya, korban ditemani oleh orang perilaku agresif, rendah diri dan tertutup
sekitarnya agar tidak merasa kesepian atau diakibatkan karena remaja mengalami cyber
diasingkan lalu korban juga mendapat tindakan sexual harassment tanpa mengetahui cara
konseling seperti sering diajak bertukar menghindarinya. Dimensi eksternal yang terdiri
pikiran, mengeluarkan perasaan atau pikiran dari fisik dimana remaja merasa bentuk fisik
yang mengganggunya, mengajak bercerita dan atau wajah yang dimiliki dapat memancing
mengeluarkan curahan hati yang terpendam di pelecehan dan ada yang mensyukuri tanpa
dalam benaknya. mengaitkan pelecehan tersebut, remaja merasa
Pengalaman komunikasi tidak kurang baik dalam hal moral-etik karena jarang
menyenangkan yang didapat oleh korban melakukan ibadah, dan tidak mengikuti ajaran
seperti victim blaming yaitu sebagai korban ia yang disuruh agama, sedangkan diri personal
justru disalahkan oleh orang-orang di sekitarnya remaja merasa diri personal buruk seperti
yang tidak tahu cerita lengkapnya, mereka menyukai kontroversi, pencemas, negatif
dianggap memancing pelaku pelecehan karena thinking, sombong dan skeptis terhadap pujian,
dikaitkan dengan pepatah tidak mungkin ada remaja merasa dihargai, diberi kasih sayang,
asap jika tidak ada api. Kemudian korban juga dan merasa tidak dibeda-bedakan dengan
menerima olokan oleh teman-temannya yang anak lainnya meskipun mereka cenderung
tidak menganggap serius hal tersebut, sering mengurangi interaksi dengan keluarga serta
kali pengalaman pelecehan tersebut dijadikan mereka merasa tidak nyaman ketika berada
bahan bercanda sesama mereka. Lalu dimarahi di keramaian dan menjauhi interaksi dengan
oleh orang tua yang berpikiran negatif terhadap lawan jenis, dan menutup pertemanan di dunia
korban, mereka menganggap korban terlalu aktif nyata dan dunia maya. Remaja korban cyber
didunia maya atau tidak mau mendengarkan sexual harassment di Kota Pekanbaru memiliki
orang tua sehingga menerima akibat dilecehkan konsep diri negatif.
oleh orang asing, dan juga korban sering Pengalaman komunikasi digambarkan
kali dianggap mendramatisir apabila korban sebagai bentuk pengalaman komunikasi
membagikan cerita seputar pengalaman antar pribadi antara orang tua, lingkungan

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
92 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93

pertemanan, sekolah dan lawan jenis. Habibah, U. H., & Tianingrum, N. A. (2020).
Pengalaman komunikasi tersebut berupa Penggunaan media sosial terhadap
pengalaman komunikasi menyenangkan seperti pelecehan seksual pkada siswa sekolah
motivasi, perhatian dan konseling, kemudian di wilayah kerja puskesmas harapan baru
pengalaman komunikasi tidak menyenangkan Kota Samarinda. Borneo Student Research
seperti victim blaming, olokan, dimarahi 1 (3), hlm. 1966-1971 eISSN: 2721-5727.
orang tua, dan dianggap terlalu mendramatisir. Handaningtias, U. R., & Agustina, H. (2017).
Pengalaman komunikasi tidak menyenangkan Peristiwa komunikasi dalam pembentukan
lebih banyak berpengaruh pada persepsi diri konsep diri otaku anime. Jurnal Kajian
sosial (penilaian seseorang terhadap dirinya Komunikasi, Volume 5, No. 2, hlm. 202-209
dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar). https://doi.org/10.24198/jkk.v5i2.11405.
Kondisi ini sebagian besar dialami oleh pelaku Indainanto, Y. I. (2020). Normalisasi kekerasan
yang mendapatkan respons negatif dari orang seksual wanita di media online. Jurnal
tua dan teman-temannya saat mengalami cyber Komunikasi 14(2), hlm. 105-118. doi :
sexual harassment. https://doi.org/10.21107/ilkom.v14i2.6806.
Intan, H. W. (2015). Konsep diri remaja korban
DAFTAR PUSTAKA pemerkosaan. . Jakarta: Universitas
Gunadarma.
Abdullah, A. F. (2008). Studi fenomenologi Jasmine, T. (2021). Kumparan. Dipetik Maret
pelecehan seksual pada wanita melalui 23, 2021, dari https://Kumparan.com:
sosial media. Sidoarjo: STKIP PGRI . https://kumparan.com/tajna-jasmine/
Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan pelecehan-seksual-terhadap-perempuan-
(pendekatan ekologi kaitannya dengan di-media-sosial-1uyDSs0ykK6
konsep diri dan penyesuaian diri pada Juditha, C. (2020). Perilaku cybersex pada
remaja). Bandung : Rafika Aditama . generasi milenial. Jurnal Pekommas, 5 (1),
Arafa, A. E. (2018). Cyber sexual harassment : a 47-58 DOI:10.30818/jpkm.2020.2050106.
cross-section survey over female university Lisanawati, G. (2014). Pendidikan tentang
students in upper egypt. International pencegahan kekerasan terhadap perempuan
Journal of Community Medicine and dalam dimensi kejahatan siber. Jurnal
Public Health, Egypt, 5(1), 61-65 DOI: Pandecta 9 (1), hlm. 1-15 DOI http://
http://dx.doi.org/10.18203/2394-6040. dx.doi.org/10.15294/pandecta.v9i1.2852.
ijcmph20175763. Moleong, L. (2010). Metodologi penelitian
Arifah, D. A. (2011). Kasus cybercrime di kualitatif. Bandung: Remaja Rosda karya .
Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi 18 Nashrullah, N. (2019). REPUBLIKA.co.id.
(2), Hlm. 185 – 195 ISSN: 1412-3126. Dipetik Juni 30, 2019, dari https://nasional.
Cangara, H. (2011). Komunikasi politik konsep, republika.co.id: https://nasional.republika.
teori dan strategi. Jakarta : Grafindo. co.id/berita/nasional/daerah/pog61o320/
Childnet. (2017). Young people’s experiences pencabulan-dominasi-kasus-kekerasaan-
of online sexual harassment. Dipetik Mei anak-di-pekanbaru
30, 2021, dari https://www.childnet.com: Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap
https://www.childnet.com/ufiles/Project_ anak: dampak dan penanganannya child
deSHAME_Dec_2017_Report.pdf sexual abuse: impact and hendling. Sosio
Creswell, J. W. (2016). Research design Informa 1 (1), 13-27 DOI: https://doi.
pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan org/10.33007/inf.v1i1.87.
mixed. Yogyakarta : Pustaka Fajar . Rahayu, M., & Agustin, H. (2018). Representasi
Dreeva. (2019, Maret 25). SAFEnet (Southest kekerasan seksual terhadap perempuan di
Asia Freedom of Expression Network). situs berita Tirto.Id. Kajian Jurnalisme 2
Dipetik Juni 30, 2019, dari https://id.safenet. (1), 115-134 ISSN 2549-1946.
or.id: https://id.safenet.or.id/2019/03/ Rakhmat, J. (2009). Psikologi komunikasi.
pelatihan-pencegahan-kbgo-di-pekanbaru/ Bandung: Remaja Rosda Karya.
Fajri, A. (2008). Cybercrime. Dipetik Mei 30, Rahmah, D. D., Iriyanti, S., Maghfiroh, L., &
2021, dari http://students.ee.itb.ac.id/fajri/ Agustina, N. (2017). Bibliotherapy: self
publication
Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru
(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 9, No. 1, Juni 2021, hlm. 79-93 93

help book meningkatkan self concept pada Rusyidi, B., Bintari, A., & wibowo, H. (2019).
korban sexual harassment. Psikostudia: Pengalaman dan pengetahuan tentang
Jurnal Psikologi 6 (2), hlm. 50-57 ISSN: pelecehan seksual:studi awal di kalangan
2302-2582. mahasiswa perguruan tinggi. Share:
Reed, E., Wong, A., & Raj, A. (2019). Social Work Jurnal 9 (1), hlm. 75-85 Doi:
Cyber sexual harrassment: a summary 10.24198/share.v9i1.21685.
of current measures and implications Santrock, J. (2007). Perkembangan anak jilid 1
for future research. Journal Of edisi kesebelas. Jakarta: Erlangga .
Violence Against Women, 1-14 DOI : Sugiyono. (2016). Metodologi penelitian
10.1177/1077801219880959. kuantitatif, kualitatif, dan r&d. . Bandung:
Rosyidah, F. N., & Nurdin, M. F. (2018). Alfabeta .
Perilaku menyimpang: media sosial Wirman, W. (2012). Pengalaman komunikasi
sebagai ruang baru dalam tindak pelecehan dan konsep diri perempuan gemuk.
seksual remaja. SOSIOGLOBAL: Jurnal Indonesian. Dipetik Mei 2021, 30 , dari
Pemikiran dan Penelitian Sosiologi 2 (2), http://jurnal.unpad.ac.id: http://jurnal.
38-48 DOI:10.24198/jsg.v2i2.17200. unpad.ac.id/ijad/article/view/2659

Dimensi konsep diri korban cyber sexual harassment di Kota Pekanbaru


(Welly Wirman, Genny Gustina Sari, Fitri Hardianti, Tegar Pangestu Roberto)

Anda mungkin juga menyukai