Konteks ini juga mencakup sejauh mana individu, terutama anak-anak dan remaja,
terlibat dalam kegiatan daring. Keberadaan cyberbullying di sekolah, tempat kerja,
dan di dalam keluarga menunjukkan bahwa tidak ada batasan tempat di mana
tindakan ini dapat terjadi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai cara berinteraksi
di dunia maya dan memitigasi risiko cyberbullying menjadi semakin penting
dalam menghadapi perkembangan teknologi dan penggunaan media online yang
semakin meningkat.
Dengan kecanggihan teknologi sekarang begitu juga luasnya akses internet dan
media sosial di Indonesia, maka kasus cyberbullying di Indonesia pun semakin
marak terjadi di berbagai kalangan. Berdasarkan hasil riset Center for Digital
Society pada tahun 2021, dari 3.077 siswa SMP dan SMA, sebanyak 45,35 persen
siswa pernah menjadi korban dan 38,41 persen siswa melakukan cyberbullying.
Selanjutnya ditemukan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia berusia
15 hingga 19 tahun dengan wilayah yang paling besar yaitu wilayah Pulau Jawa
dengan angka yang mencapai lebih dari 50%. Jawa Barat merupakan daerah yang
memiliki kontribusi paling banyak. (Imani dkk, 2021).
Banyaknya anak-anak dan remaja yang semakin terlibat dalam aktivitas online
bisa diakibatkan karena kurang mendapatkan pengawasan orang tua, hal ini
meningkatkan risiko terkena cyberbullying. Selain itu cyberbullying bisa terjadi
karena kebiasaan yang didasarkan oleh lingkungan dan didukung dengan adanya
modal berupa media seperti smartphone.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Bourdieu mengenai habitus. Habitus bukan
bawaan alamiah atau kondrat tetapi hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan
bersosialisasi dalam masyarakat. (Siregar, 2016, Takwin, 2009) Maka dari itu,
pentingnya pengawasan bagi individu saat mereka sudah bermain media sosial,
karena itu berpengaruh untuk membetuk pola perilaku mereka.
Selain dari itu kurangnya pemahaman tentang etika digital dan konsekuensi dari
perilaku online dapat memperburuk fenomena cyberbullying. Pendidikan etika
digital menjadi semakin penting untuk mencegah dan mengatasi masalah ini.
Eksploitasi anonimitas oleh pelaku dimungkinkan oleh platform daring dapat
digunakan oleh pelaku untuk mengungkapkan perilaku yang mungkin tidak
mereka lakukan di dunia nyata.
Berdasarkan teori Willard (dalam Sari & Suryanto, 2012, hal. 53) terdapat enam
bentuk yang dapat menggambarkan cyberbullying: 1) Flaming, yaitu
mengirimkan pesan teks yang berisi kata-kata yang penuh amarah, kasar, dan/
frontal. 2) Harassment (gangguan), merupakan cyberbullying yang berbentuk
berbagai macam pesan yang mengganggu pada email, sms, maupun pesan teks di
jejaring sosial yang dilakukan secara terus menerus. 3) Denigration (pencemaran
nama baik), dimana pelaku mengumbar keburukan seseorang di internet dengan
maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut, hal ini dapat berupa
fitnah/ gosip atau membuat postingan bernada kebencian atau mengumbar
kejelekan korban. 4) Impersonation (peniruan), pelaku berpura-pura menjadi
orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik, agar teman
korban mengira bahwa status atau pesan tersebut adalah asli dari si korban. 5)
Outing, dimana pelaku menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi
orang lain dengan maksud mengumbar borok atau privasi orang lain tersebut. 6)
Trickery (tipu daya), pelaku membujuk korban dengan tipu daya agar
mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut yang akan dijadikan senjata
untuk mempermalukan atau meneror korban.
Cyberbullying merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi pada siapapun dan
dari kalangan manapun, begitu juga dengan cyberbullying yang terjadi pada
content creator. Content Creator sendiri adalah orang yang membuat konten, baik
berupa tulisan, gambar, audio, atau video yang sering ditampilkan di berbagai
platform sesuai tujuannya, seperti TikTok, Youtube, Instagram, dan Website.
Di tahun 2023 ini banyak sekali dari anak-anak muda yang sudah menjadi content
creator dari anak kecil hingga remaja SMA, di Indonesia content creator sendiri
sudah menjadi suatu hal pekerjaan yang begitu banyak orang meminati, apalagi
sekarang ada salah satu platform yang banyak digunakan di Indonesia yaitu
TikTok. Dan di platform tersebut sering kali terjadinya cyberbullying terhadap
content creator yang menuliskan komentar-komentar negatif yang lebih menjurus
pada body shaming. Kasus bullying yang terjadi pada content creator di Indonesia
cukup banyak terjadi, seperti contoh kasus cyberbullying yang dialami content
creator A mayoritas dilakukan oleh pengguna media sosial atau warga internet
Indonesia. Content creator A sendiri sering mendapatkan komentar jahat di video
yang di upload di platform tersebut secara habis-habisnya oleh warga internet
Indonesia.
Dari kasus tersebut ada dampak terhadap content creator yang sering di alami
yaitu overthingking. Menurut Srikandi, (dalam hafitri, dkk, 2022, hlm. 3)
overthinking memiliki beberapa dampak pada kesehatan fisik dan psikososial,
yaitu : Menghambat aktivitas sehari hari, selain membuang-buang waktu,
memikirkan sesuatu secara berulang-ulang membuat energi jadi ikut terkuras dan
tubuh terasa lelah. Sehingga overthinking biasanya membuat seseorang sampai
dititik insomnia, ketika terbiasa insomnia pekerjaan, aktivitas yang akan
dilakukanpun terhambat, tertunda bahkan tidak terlaksana dengan baik.
Menurunkan performa kerja, overthinking akan membuat seseorang menjadi sulit
untuk berkonsentrasi, tidak fokus dalam memecahkan masalah, bahkan kesulitan
berkomunikasi dengan orang lain yang akan mengakibatkan mereka susah untuk
bekerjasama dalam lingkupnya sehingga membuat diri mereka bersandiwara.
Dengan adanya kasus-kasus seperti itu menurut UNICEF ada beberapa cara
mengatasi cyberbullying yang dapat dilakukan : 1) Mengahapus atau memblokir
pengintimidasi, 2) Melaporkan pengintimidasi, 3) Menghindari interaksi dengan
pengintimidasi, 4) Mengedukasi diri sendiri untuk mengetahui bagaimana tentang
cara mengatasi cyberbullying. Adapun solusi secara teknis dengan
mengimplementasi kebijakan privasi yang lebih ketat dan kontrol keamanan di
platform daring untuk melindungi pengguna. Dan menurut Robert M. Z. Lawang,
membatasi perilaku menyimpang meliputi semua tindakan yang menyimpang dari
norma-norma yang berilaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku
tersebut. ( Elly, dkk. 2011)
Manfaat dengan adanya pembahasan cyberbullying dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai risiko dan konsekuensi dari tindakan online yang
merugikan. Adanya panduan tingkatan bagi individu dengan cara
mengidentifikasi, mencegah, dan melaporkan cyberbullying, memungkinkan
mereka untuk mengambil tindakan efektif. Sebagai cara pembentukan budaya
online yang sehat dimana pengguna dapat didukung dengan sehat, dan pengguna
merasa aman, dihargai, dan didukung oleh komunitas daring. Dan paling
terpenting mendukung kesehatan mental bagi individual yang terpengaruh.
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2014). Social Psychology (8th ed.).
New Jersey: Pearson Education.
Muhtar. (2023, Juli 5). Cyberbullying Paling Banyak Terjadi di Media Sosial, Ini
Dampaknya. Retrieved from Universitas Insan Cita Indonesia :
https://uici.ac.id/cyber-bullying-paling-banyak-terjadi-di-media-sosial-ini-
dampaknya/