Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN

PERLINDUNGAN DAN PENGHARGAAN HAK ANAK

Dosen Pengampu :
Dra. Kasmiati,M.Pd

Disusun Oleh :
Dini Sanita A1F121085

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2024
PERMASALAHAN :
Bentuk kekerasan di media dapat berupa konten kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan
kekerasan seksual yang berdampak anak kurang sensitif terhadap kekerasan dan menganggap
itu hal biasa saja, anak meniru, lalu bagaimana solusinya?

PEMBAHASAN :
A. Definisi Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau
menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa
dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik
termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan
melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Apa itu “ketimpangan relasi kuasa
dan/atau gender”?
Menurut Komnas Perempuan (2017), “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah
sebuah keadaan terlapor menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/ atau
penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban. Berdasarkan
jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan
secara: verbal, nonfisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

B. Kekerasan Daring atau Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi.


Kejahatan seksual anak di ranah daring semakin mengancam anak-anak Indonesia.
Berdasarkan survei ECPAT tahun 2021, sebanyak 2% pengguna internet berusia 12-17 tahun
di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan daring. Bentuknya bermacam-macam,
antara lain menawarkan uang atau hadiah sebagai imbalan atas gambar atau video seksual
dan keterlibatan anak dalam tindakan seksual, pemerasan secara daring untuk terlibat dalam
aktivitas seksual dan membagikan gambar seksual anak tanpa persetujuan. Dari laporan
“Disrupting Harm di Indonesia”, 17-56% anak tidak memberi tahu kekerasan yang dialami
kepada siapapun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stigma terkait pembicaraan seputar
seks membuat anak-anak yang menjadi korban tidak menyampaikan kekhawatiran dan
melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Hingga kini sebagian besar kasus yang
diproses penegak hukum berasal dari laporan yang dibuat orang dewasa atas nama mereka.

1. Deteksi Dini sebagai Langkah Awal Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak


Deteksi dini merupakan usaha yang dilakukan untuk mengetahui secara awal agar anak tidak
menjadi korban kekerasan baik yang terjadi di ranah daring maupun luring. Deteksi dini
dapat dilakukan melalui pemantauan dan pendampingan aktivitas anak, penyediaan data anak
secara terpilah di tingkat desa/kelurahan, sosialisasi, penguatan kapasitas orang tua/pengasuh
dan masyarakat tentang perlindungan anak. Deteksi dini dilakukan untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman serta perhatian terhadap kondisi perkembangan anak, baik fisik,
psikis, atau gangguan lainnya. Deteksi dini merupakan bentuk preventif jika terdapat
indikasi-indikasi terjadinya kekerasan terhadap anak.
Kepedulian semua pihak merupakan faktor penting dalam pencegahan dan perlindungan
anak. Pemerintah juga mendorong dan memperkuat peran masyarakat, keluarga dan anak itu
sendiri untuk meminimalisir terjadinya kasus kekerasan. Diharapkan masyarakat dan lembaga
yang ada di tingkat desa/kelurahan memiliki peran penting dalam melakukan pencegahan
terjadinya tindak kekerasan terhadap anak., Pemerintah terus mendorong terbentuknya
Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di semua daerah. Pembentukan
PATBM ini menjadi gerakan bersama yang dilakukan secara masif untuk mencegah
kekerasan terhadap anak mulai dari tingkat rukun tetangga, rukun warga, desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.

2. Partisipasi dan Tanggung Jawab Orangtua, Keluarga Tenaga Pendidik dan


Masyarakat
Upaya perlindungan anak di ranah daring menuntut keterlibatan dan tanggung jawab berbagai
pihak, termasuk masyarakat. Di satu sisi, mereka perlu memahami bahwa lingkungan
masyarakat dapat mendukung secara positif tumbuh kembang dan perlindungan anak. Di
lain sisi, mereka juga perlu bersikap kritis terhadap faktor-faktor yang ada dalam
masyarakat dapat menimbulkan risiko bagi anak yang mengalami perlakuan salah secara
fisik, mental dan atau sosial sehingga membahayakan kehidupan mereka.
Pengakuan terhadap nilai ini, memandang masyarakat sebagai sumber pemecahan masalah.
Artinya mereka perlu melibatkan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat sesuai fungsi
dan perannya masing-masing dalam upaya mencegah perlakuan salah terhadap anak serta
menyediakan layanan untuk membantu pemenuhan hak dan perlindungan anak secara
kolektif. Pada saat bersamaan, nilai ini memberi arahan bahwa masyarakat juga
perlu bekerja sama mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan
kerentanan atau risiko bagi perlindungan anak.
Peran orangtua dalam mendampingi masa kecil anak ternyata membawa pengalaman
mengatasi masalah pada masa kritis yang rendah pada masa remaja dan dewasa terhadap
krisis masa remaja yang dihadapinya (Armstrong, Cain, Wylie, Muftić, & Bouffard, 2018).
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya masalah kekerasan adalah bagaimana keluarga
menempatkan anak sebagai view of center dalam keluarga. Kemampuan orang tua dalam
melindungi dan memberikan hak-hak anak khususnya mencegah serta mencari jalan keluar
dari tindakan kekerasan intimidasi serta pelecehan seksual pada anak perlu dipikirkan cara
yang lebih efektif yaitu meningkatkan interaksi orang tua dengan anak secara intens sehingga
orang tua mampu dengan cepat melihat, mengenal perubahan-perubahan yang terjadi pada
setiap anak (A.King, 2001).
Beberapa kasus kekerasan anak baik fisik maupun seksual terjadi karena kurangnya
kepedulian masyarakat dan lemahnya kontrol sosial. Banyak contoh kasus yang terjadi di
Indonesia, misalnya dugaan pemerkosaan dan pencabulan dua bocah perempuan di Padang,
Sumatera Barat, oleh tujuh pelaku yang merupakan keluarga dekat dan tetangga, kasus
pembunuhan anak oleh orangtua kandung, kasus bunuh diri dan kasus kekerasan lainnya.
ARTIKEL KASUS KEKERASAN SEKSUAL MELALUI MEDIA PADA ANAK :
Berikut adalah ulasan salah satu artikel yang membahas terkait kekerasan seksual yang dipicu
oleh sosial media :
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama 4 tahun terakir jumlah
kekerasan kepada anak terus meningkat. Terakhir di 2014 ada 5.066 kasus. Rata-rata
penaikkan kasus dimulai pada tahun 2011 sebanyak 1.000 kasus kekerasan. Ada 10 kategori
kekerasan pada anak, di antaranya kekerasan dalam keluarga, lembaga pendidikan serta
pornografi dan cyber crime.
Khusus kekerasan pada anak yang dipicu dari sosial media dan internet sebanyak 322 kasus
di tahun 2014. Jumlahnya terus naik dari tahun 2011 sekitar 100 kasus.Kejahatan seksual
lewat internet menjadi kategori kasus yang tinggi. Semisal jumlah korban kejahatan seksual
terus naik. Sampai tahun 2014 ada 53 anak yang menjadi korban. Sementara anak pelaku
kejahatan seksual online ada 42 anak, anak korban pornografi dari media sosial ada 163
orang. Terakhir anak pelaku kepemilikan media pornografi di video dan diunggah di media
sosial ada 64 anak.
Sejauhmana media sosial dan internet mendorong kejahatan kekerasan dan seksual pada
anak? Bagaimana solusi untuk mengurangi pengaruh tersebut? Berikut
wawancara suara.com dengan Anggota KPAI Maria Ulfah Anshor akhir pekan lalu:

Sejauhmana media sosial dan dunia maya mempengaruhi jumlah kasus kekerasan
pada anak?
Memang media sosial ini kan alat saja sebenarnya, sama kaya tools lain. Bisa fungsinya
tergantung bagaimana kita memegang alat itu, negatif atau positif. Dalam konteks kekerasan
pada anak, memang banyak kasus-kasus yang bermula dari media sosial atau internet.
Kemudian saling mem-bully antara mereka, termasuk kekerasan seksual terjadi. Terakhir
terkait dengan 'bikini party' ini. Itu Karena internet jangkauannya luas sekali yah. Tapi itu
bisa dicegah. Dampaknya memang pada pemakai anak-anak yang tidak tahu dan mengilah,
termasuk pornografi online juga tidak bisa mengelak dari anak-anak.
Pernah melaporkan konten yang menimbulkan pelecehan seksual atau kekerasan
anak?
Sering, laporan kan ada web yang terkait pornografi. Kami sampaikan ke Kominfo, dan
menurut mereka sering diblokir. Tapi banyak muncul nama baru. Tapi isi yang hampir sama.
Jumlahnya banyak, saya nggak hafal. Itu sudah dilakukan sejak lama.

Adakah perbandingan jumlah kekerasan atau pelecehan pada anak sebelum dan
sesuadah media sosial ini ramai?
Kalau kontribusinya seberapa besar, kita belum pernah meneliti. Tetapi dari sisi pengaruhnya
cukup dahsyat lewat media sosial. Kekerasan yang berakibat pada anak. Justru kekerasan
seksual banyak. Contoh kasus yang prostitusi online kemarin ini. Kan lewat media sosial
juga. Malah pelakunya anak-anak. Korbannya anak-anak.

Dari media sosial atau internet, mana yang paling banyak? Psikis atau seksual?
Yang banyak sih dari media sosial kecenderungannya dari pornografi yah.
Kecenderungannya media online yang pornografi yang menjadi pemicu pada anak-anak
untuk mempraktikkan pada video-video yang mereka lihat. Kekerasan seksual banyak sekali.
Selain itu psikis, itu juga banyak. Dampaknya juga besar sekali. Misal Saya dari
Banjarnegara, karena dialog anak. Mereka banyak bercerita tentang apakah ada yang pernah
mendapat bullying dari teman-temannya? Katanya nggak ada, karena tidak seraya fisik.
Begitu saya tanya apakah pernah ada yang dipalak kakak kelas? Pada ngacung, ada banyak.
Lalu adanya pernah dilecehkan, saling menghina, dan di mana yang paling berat. Katanya di
media sosial, diledek.

Dulu peran sekolah kuat, bagaimana sekarang?


Kalau dilihat peraturan sekolah, kalau pegang ponsel, itu tidak boleh. Banyak yang melarang,
tapi di luar kan mereka masih bisa memakai. Sudah canggih HP mereka. Justru yang perlu
dilakukan penguatan tentang teknologi informasi dan media sosial.
Guru kan banyak yang gaptek, murid itu canggih-canggih yah. Menurut saya harus ada
semacam melek teknologi, komunikasi dialog guru dan murid. Tidak memperlakukan murid
itu ada jarak yang jauh dengan murid. Nah mengurangi jarak, itu perlu.Jadi dengan anak-anak
ada dialog. Guru tidak ditakuti, terlalu disegaji. Segan harus, tapi jangan berjarak. Kedekatan
ini bisa mengurangi dampak negatif. Paling tidak anak curhatnya itu bukan di facebook, tapi
sama guru atau temannya. Padahal bentuk-bentuk informasi kekerasan seksual itu kan sangat
ungkin diintervensi sangat guru.
Saat ini guru dan murid ada gap. Guru saat ini polanya lebih banyak mengajar, bukan
mendidik. Kalau mengajar itu kan text book. Harusnya mendidik dan mengajar itu harus
berjalan seiring. Saya kira akan beda, gurunya bersangkutan dekat. Jangan hanya komunikasi
soal pelajaran, tapi bagaimana dia bertukar pandangan. Termasuk tuntutan dalam berinteraksi
dengan teman-tempannya.

Apakah media sosial bisa memancing perlakukan kekerasan dan pelecehan seksual
pada anak?
Sebenarnya bisa secara langsung. Media sosial bukan hanya tulisan, tapi gambar, video dan
sebagainya. Mereka bisa akses. Jadi tentang kekerasan itu, mereka belajar dari media sosial
itu.

Agar anak tidak terpengaruh dampak negatif, siapa yang harus mengawasi?
Pertama keluarga, ini sangat penting. Bagaimana komunikasi anak dengan orangtua, di rumah
kan dalam keluarga perkotaan, ayah ibunya sibuk kerja, itu intensitas terbatas, tapi kualitas
dengan masing-masing gatget. Di rumah sih di rumah, tapi masing-masing dengan gadgetnya.
Sehingga interaksi terbatas. Ini perlu warning untuk orangtua. Saya yakin jika komunikasi
anak dengan orangtua yang baik, dia masih merasa nyaman tinggal di rumah. Ada yang bisa
diberikan contoh, keteladanan. Banyak anak-anak yang negerasi Alay, sebenernya kan dari
komunikasi orangtua yang kurang dan kuurang kasih sayang, mereka cari pelariannya di luar
itu di luar rumah.
Soal pengasuhan dan pengawasan orangtua. Megasuh tidak hanya membesarkan, tapi
memberikan nilai-nilai kepada anak. Apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak boleh. Apa
yang membahayakan dan apa yang tidak membahayakan. Nah yang kayak gitu kan, nilai
yang menjadi perilaku dari keseharian mereka.
Ketika anak-anak paham soal itu, jika ditawarkan apapun dia tahu, saya nggak ikut ah. Kalau
saya nggak ikut, saya masih punya teman. Nah itu kekhawatirannya. Mereka merasa kalau
tidak ikut gabung ngk akan dapat teman. Misal kasus Bikini Party itu, klau mereka berpikir
nggak ikut pun mereka punya teman, saya yakin ngk ada anak yang ikut. Karena lingkungan
pergaulan, dorongan atau iming-iming dari iklan-iklan yang ditawarkan bisa mempunyai
penasaran yang tinggi.

Sejauhmana KPAI sudah mencegahnya?


Memang tanggungjawab untuk melakukan pencegahan, penanggulangan dan pasca
terhadapanak-anak kita. dilakukan smua pihak. Pertama itu keluarga, ketika di keluarga tidak
masalah. Begitu dia keuar rumah, sekolah. Sekolah harus bertanggungjawab melakukan
pecegahan, melakukan bagaimana anak-anak diberikan nilai2. Yang terpenting, keteladanan.
Ditujukkan ke anak-anak kkta.
Budaya-budaya itu kan yang beredar, orang sebut budaya orang lain. Tapi kita sekarang tidak
bisa ada budaya barat atau timur. Begitu masuk di internet, semua nggak ada batas.
Liberalisasi informasi, siapapun bisa mengakses. Bagaimaa kita memilih media yang
bermanfaat. Sementara untuk anak-anak, masa kecenderungannya ingin tahu, masa transisi
ari anak-anak menuju remaja, ini masa identitas diri. Mencari identas. Perpendampingan di
rumah dan di sekolah.

Apakah harus ada pembatasan dan pelarangan usia anak tertentu tidak boleh pegang
gadget atau internet?
Agak sulit yah, karena walau pun ada larangan. Siapa yang bisa mengawasi anak tidak akses
internet, facebook, twitter. Sementara di kehidupan sekarang itiu sudah menjadi kebutuhan.
Tiggal bagaimana mengisi kontenna. Saya melihat itu alat. Memilih konten tergantung kita.
Kalau merang anak, mungkin di rumah hbut aturan. tapi beda di sekolah atau di lingkungan.
Kita tidak bisa megawasi.

Anda melihat media sosial dan internet sebagai ancaman pemicu kkerasan dan
pelecehan seksual pada anak?
Untuk yang tertentu bisa mengancam, tapi problemnya mengancam pada yang addic. Ada
orang yang tidak bisa lepas dengan HP. tapi ada anak-anak yang biasa. Tapi tergantung
bagaimana ke pengasuhan. Ini bisa jadi ancaman, tapi ada sisi positifnya juga.

SOLUSI BERDASARKAN PERMASALAHAN TERSEBUT :


Berdasarkan pemaparan terkait permasalahan kekerasan seksual yang dialami anak dengan
media komunikasi pemicunya kita dapat memberikan solusi sebagai berikut :
Mengatasi dampak kekerasan di media terhadap anak memerlukan pendekatan yang holistik
dan melibatkan berbagai pihak. Berikut beberapa solusi yang dapat diambil:
1. Pengawasan Orang Tua: Orang tua perlu lebih memperhatikan apa yang ditonton
anak-anaknya di media dan internet. Menjelaskan perbedaan antara kekerasan di
media dengan kehidupan nyata, serta mengajarkan nilai-nilai positif.
2. Pendidikan Media: Melibatkan pendidikan media dalam kurikulum sekolah untuk
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang cara mengonsumsi media dengan
bijak. Mengajarkan anak-anak keterampilan kritis untuk menilai dan menyaring
informasi yang mereka terima.
3. Filter Konten:Menggunakan alat pengendalian orang tua dan filter konten untuk
membatasi akses anak-anak terhadap materi yang tidak sesuai.
4. Pengembangan Keterampilan Empati: Mendidik anak-anak tentang dampak
emosional dan fisik dari kekerasan dapat membantu mereka mengembangkan empati
terhadap orang lain.
5. Diskusi Terbuka: Membuka ruang untuk diskusi terbuka antara orang tua dan anak
tentang apa yang mereka tonton. Mendorong anak untuk bertanya dan berbicara
tentang perasaan mereka terkait kekerasan di media.
6. Kontrol Waktu Tonton: Mengatur batasan waktu untuk menonton TV atau bermain
game agar anak memiliki waktu yang seimbang untuk aktivitas fisik, sosial, dan
akademis.
7. Penegakan Hukum dan Pengawasan Industri: Mendorong penegakan hukum terhadap
konten yang tidak sesuai untuk anak-anak. Mengawasi dan mengatur industri media
untuk memastikan konten yang diproduksi sesuai dengan standar etika.
8. Keterlibatan Masyarakat: Melibatkan masyarakat untuk mendukung inisiatif dan
kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak kekerasan
di media.
9. Pendekatan Terapeutik: Jika anak sudah menunjukkan dampak negatif, pendekatan
terapeutik seperti konseling atau terapi dapat membantu mereka mengatasi pengaruh
tersebut.
Penting untuk menyadari bahwa solusi ini dapat lebih efektif jika diimplementasikan
bersama-sama oleh orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA
Komnas Perempuan (2020). Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Thaun 2019. Diakses
dari https://drive.google.com/file/d/18fePLROxYEoNbDuFvH9IEshykn_y9RpT/view
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020). Cara Puspeka Kemendikbud Kurangi
Tingkat Kekerasan Berbasis Gender. Diakses
dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/11/cara-puspeka-kemendikbud-
kurangi-tingkat-kekerasan-berbasis-gender
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020). Kemendikbud Dorong Penciptaan Kampus
Merdeka yang Sehat secara Holistik. Diakses
dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/12/kemendikbud-dorong-
penciptaan-kampus-merdeka-yang-sehat-secara-holistik

Anda mungkin juga menyukai