Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH KEBIJAKAN KRIMINAL PEMERINTAH TERKAIT PERLINDUNGAN

HUKUM KEKERASAN ANAK DI MASA PANDEMI COVID 19

Disusun oleh

Rylke Marviano Taberima


NIM. 1369320023
Kelas A

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan pada anak di Indonesia setiap tahunnya selalu bertambah. Jumlah peristiwa kekerasan
yang dialaporkan kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada
tahun 2015 hingga tahun 2016 mengalami kenaikan kasus yang cukup signifikan. Peristiwa kekerasan
pada anak yang telah dilaporkan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 1.975 peristiwa, dan bertambah
menjadi 6.820 peristiwa pada tahun 2016, atau bertambah sebanyak tiga kali lipat dari peristiwa
kekerasan pada tahun sebelumnya. Meningkatnya jumlah peristiwa kekerasan pada anak yang
dilaporkan kepada KPPPA serupa dengan jumlah penerimaan pengaduan kekerasan anak yang diterima
oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di periode yang sama. KPAI mencatat selama
periode tahun 2015 hingga tahun 2016 jumlah kasus pengaduan anak meningkat dari angka 4.309 kasus
menjadi sebanyak 4.620 kasus (KPPPA dan BPS, 2017). Selanjutnya pada tahun 2019 KPAI telah
mengumumkan data tingkat kekerasan seksual pada anak terjadi di Institusi Pendidikan sebanyak 21
peristiwa, dengan jumlah korban sebanyak 123 orang anak.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berisi
ketentuan bahwa:perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam
permasalahan yang dialami oleh anak sangat dramatis dan memilukan, karena dialami oleh anak yang
kemampuan fisik dan mental masih sangat terbatas untuk melindungi dirinya dari berbagai resiko dan
bahaya yang dihadapinya. Anak masih bergantung pada orang dewasa yang ada disekitarnya untuk
melindungi mereka.Berbagai upaya telah dilakukan, namun disadari sepenuhnya bahwa di dalam
masyarakat masih banyak anak yang memerlukan upaya perlindungan khusus. Kenyataan di dalam
masyarakat masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan fisik. Beberapa tahun ini kekerasan fisik
terhadap anak semakin meningkat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memyatakan,
kekerasan terhadap anak selalu meningkat setiap tahunnya. Hasil pemantauan KPAI dari tahun 2011
sampai tahun 2014, terjadi peningkatan signifikan.
Pada masa kondisi Covid-19, anak menjadi suatu hal yang serius diperhatikan oleh pemerintah.
Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan yang harus dijaga dan dilindungi,
khususnya dari aspek hukum. Perlindungan hukum dapat diberikan dan diberlakukan terhadap anak
demi menjaga dan melindungi kesejahteraan anak dimasa pertumbuhannya. Perlindungan di sini dapat
diberikan dengan cara memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Anak, yang di dalamnya memuat
suatu peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum yang diberikan terhadap
seorang anak, baik tindak pidana yang dilakukan anak sendiri, maupun perlindungan hukum yang di
berikan terhadap anak dari perlakuan tindak pidana. Upaya perlindungan anak harus dimulai sejak dini,
agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam Pasal 2
ayat (3) dan (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak,
dijelaskan bahwa:
“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun
sesudah dilahirkan. Anak berhak mendapat atas perlindungan dari lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya”.
Ironisnya kekerasan pada anak dimasa pandemic Covid 19 meningkat secara drastis sebagaimana
yang disampaikan oleh KPPPA yang mendata terjadinya peningkatan jumlah peristiwa kekerasan pada
anak dan perempuan pada masa pandemic Covid 19. Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati
menyampaikan bahwa sebanyak 643 peristiwa kekerasan pada anak dan perempuan dan telah
dilaporkan via Sistem Informasi Online (Simfoni PPA) per tanggal 2 maret 2020 sampai 25 april 2020
yaitu sebanyak 275 peristiwa kekerasan telah dialami oleh perempuan sebanyak 277 korban. Adapun
kekerasan terhadap anak dilaporkan sebanyak 368 kasus kekerasan dan jumlah korban sebanyak 407
anak.
Peningkatan jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan Covid 19 ini menyadarkan kita
bahwa masalah kondisi psikologis ditengah masyarakat sangat perlu diperhatikan. Bila hal tersebut
diabaikan maka masyarakat akan semakin rentan dalam menghadapi dampak dari virus Covid 19. Hal
tersebut dapat terjadi karena imunitas tubuh yang menurun karena kondisi psikologis masyarakat yang
tertekan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, adapun permasalahan dalam penulisan ini adalah
“Bagaimana Kekerasan Anak di Masa Pandemi Covid 19.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerasan Pada Anak
Pengertian kekerasan pada anak menurut WHO yaitu semua tindakan yang salah kepada anak,
berupa perlakuan fisik, perlakuan secara emosional, perlakuan secara seksual, penelantaran anak, serta
eksploitasi pada anak yang mengakibatkan kondisi kesehatan anak menjadi berbahaya serta
mempengaruhi kondisi perkembangan anak atau mengancam harga diri anak. Sedangkan UNICEF
memberikan definisi perlindungan anak sebagai suatu cara yang dapat terukur dalam mencegah maupun
memerangi kekerasan pada anak, eksploitasi anak dan memperlakukan anak tidak pada tempatnya,
termasuk juga eksploitasi seksual anak dengan tujuan komersial, perdagangan terhadap anak,
mempekerjakan anak, juga tradisi yang dapat membahayakan anak, misalnya: sunat terhadap anak
perempuan dan perkawinan pada anak.
Kekerasan pada anak terus terjadi dan semakin bertambah jumlahnya setiap tahun serta sulit untuk
dikendalikan. Angka pasti jumlah kekerasan terhadap anak sulit didapatkan data konkritnya sebab masih
banyak periwtiwa kekerasan pada anak yang enggan dilaporkan oleh masyarakat, terutama bila
kekerasan pada anak terjadi dirumah tangga. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap
kekerasan dirumah tangga merupakan masalah internal keluarga yang tidak perlu dicampuri oleh orang
luar termasuk oleh aparat penegak hukum.
KDRT merupakan fenomena social yang banyak ditemui pada semua lapisan masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa korban KDRT yang terbesar adalah anak. Anak-anak yang secara fisik
mengalami kekerasan, akan mengakibatkan berbagai dampak dan trauma psikologis. Berada pada
sebuah rumah yang didalamnya terjadi kekerasan dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan anak dalam
melaksanakan pembelajarannya di sekolah.
Selain kekerasan fisik maupun kekerasan psikis yang kerap terjadi pada anak, permasalahan lain
yang dihadapi oleh anak di Indonesia antara lain adalah jumlah anak berhadapan hukum, eksploitasi
seksual pada anak, pekerja anak, perdagangan anak, anak jalanan, anak yang terlantar dan gizi buruk,
diskriminasi terhadap anak, serta anak dengan perlakuan salah lainnya.
B. Anak Berhadapan dengan Hukum
Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada pasal 1
ayat 2, yang dimaksud dengan hukum yaitu anak-anak yang mengalami konflik dengan hukum; anak-
anak yang menjadi korban tindak pidana; maupun anak yang menyaksikan suatu tindak pidana. Merujuk
pada definisi ini dapat disimpulkan bahwa ada 3 kategori anak berhadapan dengan hukum, yaitu :
1) Anak yang mengalami konflik dengan hukum; yaitu anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
2) Anak sebagai korban tindak pidana; yaitu anak yang mendapatkan penderitaan fisik, mental,
dan/kerugian ekonomi akibat suatu tindak pidana
3) Anak sebagai saksi atas suatu tindak pidana; adalah anak yang bisa dimintai keterangan untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pada siding pengadilan terhadap suatu
perkara pidana yang telah didengar, disaksikan, dan dialami olehnya sendiri.
Jumlah anak berhadapan dengan hukum semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga
memerlukan perhatian yang lebih serius dan penanganan yang lebih intensif dari berbagai pihak terkait.
Tidak hanya itu, masalah anak yang berhadapan dengan hukum juga semakin kompleks dengan adanya
kondisi Lembaga Pemasyarakatan di beberapa daerah, bahkan kebanyakan daerah tidak memisahkan
antara anak yang berhadapan dengan hukum dan orang dewasa. Kondisi tersebut tentu saja sangat
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak karena dalam kondisi demikian, anak yang berhadapan
dengan hukum sangat rentan dengan berbagai nilai dan tindakan yang justru tidak mengarahkannya
kepada hal-hal yang positif. Sehingga, fungsi Lembaga Pemasyarakatan untuk memberikan penyadaran
dan pendidikan yang positif tidak ditemukan dan sebaliknya, tidak menutup kemungkinan keberadaan
Lembaga Pemasyarakatan akan berfungsi untuk menjadi tempat pendidikan hal-hal yang negative dari
narapidana dewasa.
Masalah lain yang dihadapi nak berhadapan dengan hukum yaitu pelaksanaan proses peradilan
acapkali mengabaikan penggunaan pendekatan psikologis anak. Sebaliknya, proses peradilan yang
seringkali menggunakan pendekatan dekresi justru memberikan efek negative terhadap psikologis dan
dampak lainnya kepada anak.
C. Dampak Kekerasan pada Anak
Menurut Violence Prevention Initiative (2009), tindak kekerasan pada anak dalam berbagai jenisnya
dapat mempengaruhi kondisi perkembangan kognitif, social dan emosional serta kondisi fisik anak.
Kekerasan yang dilakukan terhadap anak dapat mengakibatkan dampak-dampak sebagai berikut:
a) Anak yang mengalami kekerasan fisik; dapat ditandai dengan adanya luka lebam, terdapat bekas
gigitan atau mengalami patah tulang yang tidak bisa dijelaskan, anak sering bolos atau tidak
masuk sekolah, anak mengalami cedera namun sering ditutup-tutupi, terlihat ketakutan ketika
melihat kehadiran orang tertentu, dan sering lari dari rumah.
b) Anak yang mengalami kekerasan seksual; dapat mengalami mimpi buruk, anak menjadi malas
makan, anak terkadang menunjukan suatu perilaku seksual yang tidak pantas, anak
memperlihatkan rasa kurang percaya kepada seseorang, terjadi perubahan perilaku yang tiba-
tiba dari kepribadian anak;
c) Anak yang mengalami kekerasan emosional dapat terlihat dari sikap anak yang menunjukan
perilaku ekstrim, pertumbuhan emosional dan fisik anak menjadi lambat, anak sering mengeluh
mengalami sakit kepala atau merasa sakit perut karena alasan yang kurang jelas, anak terlihat
sangat frustasi saat mengerjakan tugas, dan tanda yang lebih ekstrim adalah anak mencoba
untuk bunuh diri;
d) Anak yang mengalami penelantaran akan menunjukan perilaku sebagai berikut: anak tidak
masuk sekolah tanpa keterangan yang jelas, anak terlihat pada aktivitas illegal yang dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, anak terlihat kurang bersemangant;
e) Anak yang terpapat kekerasan dalam rumah tangga, meskipun anak tidak mengalami kekerasan
secara langsung, namun karena anak sering menyaksikan kekerasan yang terjadi dalam
lingkungan rumah tangganya, makan akan mengakibatkan perubahan perilaku anak seperti anak
menjadi lebih bersikap agresif, depresi, sering marah, dan sering merasa ketakutan.
D. Masalah Yang Dihadapi dalam Program Perlindungan Anak
Berbagai permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan perlindungan anak di atas disebabkan oleh
adanya beberapa kondisi structural pada lembaga-lembaga/unit yang menangani perlindungan anak;
belum terlaksananya Pengurus Utamaan Hak Anak (PUHA) di beberapa instansti terkait di daerah-
daerah; adanya perubahan kebijakan oleh pemerintah pusat yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, khususnya terhadap Anak Bermasalah dengan Hukum; kurangnya
pemahaman dan kepedulian baik dari pemerintah (Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), masyarakat dan
orang tua akan pemenuhan dan pemajuan hak-hak anak sebagaimana termaktub pada Konvensi Hak
Anak (KHA) serta Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
Belum memadainya dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan perlindungan anak,
kurangnya koordinasi antar berbagai pihak yang menangani perlindungan anak, sehingga tidak adanya
aksi bersama antar pihak-pihak yang menangani perlindungan anak.
E. Kebijakan Krimnal Oleh Pemerintah dalam Perlindungan Hukum Anak di Masa Pandemi
Covid-19.
Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum menjadi suatu kajian yang tiada hentinya
dilakukan dengan berbagai upaya, mulai dari mengadopsi Konvensi Hak Anak menjadi Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, hingga merubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mulai
berlaku efektif Agustus 2014. Hal ini ditujukan untuk merubah paradigma hukum pidana terhadap anak
dengan jalan memberi ruang dan kesempatan bagi anak-anak untuk dapat tumbuh dan berkembang
sesuai dengan apa yang dicita-citakannya. Tingkat pengawasan yang lemah yang dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan mampu merubah perilaku anak dari yang baik menjadi nakal, sementara
tindakan nakal tersebut, tidak serta- merta menjadi kesalahan anak, terdapat tanggungjawab keluarga
dan masyarakat. Oleh karena itu, pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum harus dibedakan
proses dan penanganannya sebagai upaya penyelamatan masa depan dan sebagai tanggungjawab negara
yang menjamin hak-hak anak agar dapat terpenuhi untuk tumbuh dan berkembang. Perhatian terhadap
hak-hak anak sudah dimulai pada akhir Abad ke-19, pada saat itu anak dijadikan objek yang diteliti dan
dipelajari secara ilmiah. Wilhelm Preyer adalah pelopor dari penelitian anak melalui bukunya Die Seele
des Kindes yang terbit pada Tahun 1882. Namun, pada kondisis kali ini zaman diperhadapkan dengan
kondisi berbeda. Covid-19 membuat segala aktifitas berhenti dan pelaku anak dalam membuat kejahatan
dapat sering terjadi karena faktor pendidikan yang kemudian melemah. Sistem penilaian anak-anak ini
dengan bantuan dan usaha pendidikan harus bisa dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian
manusia dewasa. Namun adalah salah jika penerapan kadar nilai orang dewasa diletakkan pada diri
anak-anak. Untuk memudahkan agar mengerti tentang anak dan menghindari penerapan kadar penilaian
orang dewasa terhadap anak, maka perlu diketahui bagaimana perkembanagan dan pertumbuhan pada
anak. Proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang dapat digolongkan
berdasarkan beberapa pararelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.
Faktor-faktor penyebab kenakalan anak menimbulkan suatu paradigma dalam upaya memahami
anak dan perilaku anak, sehingga upaya preventif dapat dilakukan. Dengan mengetahui faktor ini, maka
pertanggungjawaban keluarga sebagai pilar utama dalam proses berkembangnya anak menjadi suatu
kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi. Anak yang delinkuen menjadi urusan bersama, baik keluarga
sebagai benteng utama dan masyarakat yang menjadi pelindung dan penjaga moral pada lingkungan
tempat anak-anak bermain, sehingga tidak menjadi tanggungjawab pemerintah saja dalam upaya
mendidik anak-anak agar tidak terjebak pada suatu tindakan pidana yang dapat merugikan dirinya dan
keluarga serta orang yang menjadi korban atas tindakan tersebut. Anak sebagai pribadi yang sangat
unik dan memiliki ciri yang khas, walaupun dia bertindak berdasarkan perasaan, pikiran dan
kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan
perilaku anak.
Konstitusi Indonesia, Pasal 28B (2) UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan
bahwa ”setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dan diskriminasi”. Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh
konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal penting dan
harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari-hari. Pembahasan hak dan
kewajiban anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan
atas UU Nomor 23 Tahun 2002. Upaya penanggulangan kenakalan anak, harus dilakukan secara
terpadu, dengan tindakan preventif, tindakan penghukuman, dan tindakan kuratif.
Tindakan preventif atau tindakan yang dapat mencegah terjadinya kenakalan anak, berupa :
1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga
2) Perbaikan lingkungan, yaitu daerah kumuh, kampung-kampung miskin
3) Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku
dan membantu remaja dari kesulitan hidup
4) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja
5) Membentuk badan kesejahteraan anak-anak
6) Mengadakan panti asuhan
7) Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif, pengoreksian dan
asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-anak dan para remaja yang
membutuhkan
8) Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen, disertai
program yang korektif
9) Mengadakan pengadilan anak
10) Mendirikan sekolah bagi anak miskin
11) Mengadakan rumah tahanan khusus bagi anak dan remaja
12) Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok
13) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreatifitas remaja delinkuen dan yang
nondelinkuen.

Dalam menanggulangi kejahatan khususnya anak. Pemerintah menetapkan kebijakan yang kondusif
untuk membesarkan anak dalam keluarga yang stabil dan aman. Sistem peradilan pidana anak
merupakan sistem peradilan pidana, maka di dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana
anak, terlebih dahulu menguraikan tentang sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana (criminal
justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
mempergunakan dasar “pendekatan sistem. Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian
pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan
pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap
atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya. Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan sarana penal ataupun sarana
non-penal. Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yaitu upaya penanggulangan kejahatan
dengan sarana hukum pidana. Penggunaan sarana hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan,
operasional bekerjanya lewat sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem peradilan pidana
di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem yaitu: Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Permasyarakatan), yang secara keseluruhan merupakan
satu kesatuan berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output), berupa tujuan
jangka pendek, tujuan jangka menengah, dan tujuan jangka panjang dari sistem peradilan pidana.

Tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana adalah resosialisasi pelaku tindak pidana, tujuan
menengah adalah pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka panjang adalah kesejahteraan sosial. Tujuan
sistem peradilan pidana anak juga dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sistem
peradilan pidana anak, yaitu SMRJJ/The Beijing Rule, Konvensi Hak-hak Anak. Di Indonesia, tujuan
sistem peradilan pidana anak dapat diketahui pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU
Perlindungan Anak.

Anda mungkin juga menyukai