Anda di halaman 1dari 5

PENERAPAN “3M” SEBAGAI UPAYA MEMERANGI KEKERASAN PADA

ANAK SELAMA MASA PANDEMI COVID-19

Oleh:

Agatha Wulan Pramesti

205060600111008

Dalam kehidupan berumah tangga, sosok buah hati merupakan kehadiran


yang selalu dinantikan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, melihat fakta bahwa dengan
lahirnya seorang anak dalam keluarga menjadi salah satu tanda bahwa sepasang
sejoli siap untuk menjadi orang tua. Dalam menjalankan peran sebagai orang tua,
tentunya banyak hal yang harus dilakukan, diantaranya adalah menjaga dan
mendidik anak agar anak tersebut tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan baik.
Namun, ekspektasi yang telah dibangun berbanding terbalik dengan kenyataan
yang ada. Pasalnya, setiap tahun tercatat adanya pengaduan dan pelaporan
terhadap kekerasan pada anak. Kekerasan pada anak pun meningkat setiap
tahunnya. Masyarakat pun akhirnya menganggap bahwa kekerasan pada anak
merupakan masalah yang cukup serius. Pada tahun 2015 hingga tahun 2016
jumlah peristiwa kekerasan yang dilaporkan kepada Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengalami kenaikan yang cukup
signifikan, dimana peristiwa pada tahun 2015 tercatat sebanyak 1.975 peristiwa
dan pada tahun 2016 bertambah menjadi 6.820 peristiwa.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 kekerasan terhadap anak


adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, maupun seksual. Dengan menilik data yang
telah diberikan oleh KPPPA, dapat ditarik hipotesis bahwa peristiwa kekerasan
terhadap anak merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, terutama pada
masa pandemi covid-19. Pandemi yang telah terjadi di seluruh belahan dunia ini
telah mengubah pola hidup masyarakat dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Salah satunya dalam bidang pendidikan. Pandemi yang terjadi menyebabkan
Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) yang mengharuskan warganya untuk tetap berada di rumah dan
melakukan protokol kesehatan sesuai dengan anjuran Pemerintah. Hal ini berlaku
pula pada proses belajar mengajar anak mulai dari jenjang SD sampai Perguruan
Tinggi. Proses belajar yang tadinya dilakukan di sekolah secara tatap muka, harus

1
dilakukan secara online. Alhasil, orang tua harus melakukan pekerjaan ekstra
dalam hal mengajarkan anaknya selama di rumah. Hal ini dikarenakan
pembelajaran secara daring yang dinilai kurang efektif.

Banyak hal yang mengindikasikan hal tersebut, diantaranya lemahnya


pengawasan selama proses belajar di rumah serta peserta didik yang mungkin
kurang memahami materi yang diberikan. Menurut WHO, terdapat berbagai jenis
kekerasan yang mungkin dilakukan orang tua pada anak, yaitu penganiayaan,
bullying, kekerasan remaja, kekerasan pasangan intim, kekerasan seksual dan
kekerasan emosional. Kekerasan yang sering terjadi selama pandemi adalah
penganiayaan dan kekerasan emosional (psikologis). Penganiayaan adalah
kekerasan yang melibatkan keterlibatan fisik, seksual, dan psikologis, sedangkan
kekerasan emosional adalah kekerasan dengan indikasi membatasi gerakan
anak, pencemaran nama baik, cemoohan, ancaman, intimidasi, dsb. Terkait
dengan kekerasan anak pada masa pandemik, Ketua KPAI, Susanto menyatakan
bahwa anak rentan menjadi korban kekerasan karena dua faktor yaitu konflik yang
terjadi diantara orang tua dan anak karena hubungan yang sudah retak serta
masalah ekonomi keluarga yang terdampak Covid-19 (katadata.co.id, 2020)

Perekonomian Indonesia yang lesu akibat pandemi menyebabkan banyak


orang kehilangan pekerjaan dan akhirnya menganggur. Menganggur berarti
seseorang tidak memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan primer,
terutama pangan. Hal ini tentunya dapat berpengaruh pada kesehatan mental,
dimana seseorang bisa mengalami stress maupun depresi. Pelepasan stress
tersebut pun dapat berpengaruh pada pola asuh orang tua pada anak. Orang tua
bisa saja melampiaskan rasa stress yang mereka miliki pada anak, terutama ketika
anak tidak mau mendengarkan orang tua. Apalagi ditambah dengan adanya
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara online karena pandemi.
Terkadang anak mengalami rasa jenuh dan bosan karena harus belajar di depan
komputer dan tidak bisa bertemu dengan teman-teman sepermainannya. Mereka
pun akhirnya tidak memiliki semangat untuk belajar. Hal ini mengakibatkan orang
tua akhirnya pun mengambil tindakan yang berakhir dengan kekerasan, misalnya
memukul anak hingga memberikan kekerasan secara verbal yang berdampak
pada mental anak. Seperti yang terjadi pada provinsi Jawa Timur. Menurut
Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Isa Ansori, kekerasan anak merebak pada
masa pandemi. Surabaya merupakan wilayah dengan laporan kasus kekerasan

2
anak terbanyak. LPA juga mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan anak ini
didominasi oleh orang dekat, yaitu dilakukan oleh orang tua, saudara, maupun
sepupu. Menurut Violence Prevention Initiative (2009), tindak kekerasan pada
anak dalam berbagai jenisnya dapat mempengaruhi kondisi perkembangan
kognitif, sosial dan emosional serta kondisi fisik anak. Anak yang mengalami
kekerasan fisik dapat ditandai dengan adanya luka lebam, terdapat luka gigitan,
patah tulang, dsb. Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat mengalami
mimpi buruk serta menunjukkan perilaku seksual yang tidak pantas. Lalu anak
yang mengalami kekerasan rumah tangga maupun secara tidak langsung
mengakibatkan perubahan perilaku anak yang menjadi lebih agresif, depresi,
sering marah, dan lain-lain.

Maraknya kekerasan yang terjadi serta dampak buruknya pada anaknya


membuat masyarakat sangat prihatin. Oleh karena itu, paradigma yang
berkembang pada masyarakat yaitu anak merupakan milik orang tua harus segera
diubah. Paradigma seperti ini telah menyebabkan orang tua merasa berhak untuk
melakukan apa pun pada anaknya. Terdapat beberapa upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka meminimalisir kekerasan terhadap anak. Meskipun upaya
ini kecil, namun upaya ini diharapkan dapat mengubah mindset orang tua dalam
mendidik anaknya. Upaya ini disebut dengan “3M”. Upaya “3M” yang dimaksudkan
disini adalah “Menanyakan”, “Membimbing”, “Meminta Maaf”. Selama berada di
rumah, dan melakukan kegiatan, baik belajar maupun melakukan kegiatan lain
tentunya kadang anak merasa bosan dengan rutinitas yang monoton. Oleh karena
itu, sudah menjadi tugas orang tua untuk menanyakan kepada anak mengenai
penyebab anak mengalami kebosanan, Dengan menanyakan langsung kepada
anak, orang tua pun dapat mengetahui usaha yang dapat dilakukan untuk
mengatasi rasa jenuh pada anak, Setelah bertanya, upaya selanjutnya yang bisa
dilakukan adalah membimbing. Membimbing yang dimaksudkan disini adalah
melakukan kegiatan yang dapat mengasah kreativitas anak selama di rumah.
Kegiatan tersebut diharapkan merupakan kegiatan yang bermanfaat dan dapat
dilakukan bersama sehingga relasi dan jalinan antara orang tua dan anak tetap
terjaga. Lalu, upaya terakhir adalah meminta maaf. Upaya ini dilakukan apabila
selama kegiatan bertanya dan membimbing anak, dalam pelaksanaannya
melakukan kesalahan, misalnya berkata kasar, melakukan tindak kekerasan, dsb.
Kegiatan ini bisa dilakukan dengan cara mengajak anak untuk duduk dan
berbicara selama empat mata. Permintaan maaf dapat diselipkan dalam

3
pembicaraan tersebut sehingga anak tidak merasa canggung dan lebih paham
dengan apa yang dimaksud. Selain meminta maaf, orang tua juga dapat mengajak
anaknya untuk saling merefleksikan diri sehingga kedepannya tidak terjadi
kesalahpahaman. Walaupun nanti ada kesalahpahaman, masalah tersebut dapat
diatasi dengan kepala dingin karena orang dan anak telah mengerti satu sama
lain.

Anak merupakan penerus dari kelangsungan kehidupan Bangsa


Indonesia. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mengasuh dan mendidik
anak untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, seorang anak harus
diberikan ruang gerak yang cukup agar dapat mengembangkan minat sesuai
dengan umur dan bakat dan milikinya. Tidak hanya itu, orang tua sebagai orang
yang paling dekat dengan anak harus dapat memberikan perlindungan bagi hak
dasar yang dimiliki anak. Salah satunya yaitu hak untuk terhindar dari tindak
kekerasan yang dapat membahayakan kesehatan fisik maupun jiwa.

4
SUMBER:

[1] I. Kandedes, “KEKERASAN TERHADAP ANAK DI MASA PANDEMI


COVID-19,” Harkat (Media Komun. Gender), vol. 2507, no. 1, pp. 1–9,
2020.

[2] I. Maulana, “Kasus Kekerasan Anak di Probolinggo Naik selama Pandemi


Covid-19,” Jawa Pos, 2020.
https://www.bing.com/search?q=%3Chttps%3A%2F%2Fjatimtimes.com%2
Fbaca%2F225876%2F20201010%2F124400%2Fkasus-kekerasan-anak-
di-probolinggo-naik-selama-pandemi-covid-
19%3E&cvid=f4ae64b1bd914591acdacb395ed0d110&FORM=ANAB01&P
C=ASTS.

[3] Kementrian Sosial RI, “Mencegah Diri Menjadi Pelaku Kekerasan


Terhadap Anak di Rumah,” Kemensos Hadir, 2020. .

[4] Pusdatin Kemenkes RI, KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN REMAJA.


2018.

Anda mungkin juga menyukai