Anda di halaman 1dari 18

Tugas Kelompok

MATA KULIAH
NEGOSIASI DAN ADVOKASI KESEHATAN
“LAPORAN KEKERASAN PADA ANAK”

Kelompok :

Nama :

Lila Ramadanti J1A1 16 064


Maemuna J1A1 16 066
Nur Annisa J1A1 16 086

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan pertolongan-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis dalam
menyusun laporan ini sehingga laporan ini dapat selesai pada waktunya.

Kekerasan terhadap anak bukanlah hal yang asing bagi kita. Dewasa ini,
kita sering kali menemui berbagai contoh kekerasan terhadap anak dalam
kehidupan kita sehari-hari. Banyak anak- anak yang mengalami kekerasan karena
perilaku orang tua bahkan ada yang sampai harus menghembuskan napas
terakhirnya karena tindakan kekerasan yang mereka alami.

Semoga laporan ini dapat membawa manfaat bagi para pembaca agar
tidak melakukan kekerasan terhadap anak- anak dimasa yang akan datang karena
anak- anak adalah generasi penerus bangsa ini oleh sebab itu kita harus
menjauhkan mereka dari kekerasan

Akhir kata, penulis mengakui bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun dari pembaca demi kessempurnaan laporan ini.

Kendari, 12 juni 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan merupakan masalah kesehatan masyarakat di samping
menjadi masalah hukum dan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Jordan
(2001) dalam Hastuti (2014) yang menyatakan bahwa kekerasan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang pada saat ini menjadi perhatian dunia
dan memerlukan keterlibatan institusi kesehatan. Masalah kekerasan anak
bukanlah masalah yang berdiri sendiri akan tetapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang saling berinteraksi. Kekerasan pada anak atau lebih
dikenal dengan child abuse disebut juga child maltreatment merupakan
tindakan yang sengaja dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak.
Menurut Halawa (2014) bentuk kekerasan pada anak bisa berupa kekerasan
fisik, seksual, emosional dan penelantaran anak, Setiap orang tua sekali
waktu pasti pernah marah dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang
menyulitkan tersebut. Banyak orang tua yang lepas kendali sehingga
melakukan kekerasan fisik atau mengatakan sesuatu yang menyakiti serta
membahayakan anak tersebut.
World Health Organization (WHO) mengestimasikan sebanyak 40
juta anak usia 0-14 tahun di dunia telah mengalami child abuse, yang
banyak terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan (WHO, 2003
dalam Wulandari, 2007). Kajian Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa
Bangsa (PBB) tentang kekerasan terhadap anak yang dipresentasikan pada
Sidang Umum PBB 11 Oktober 2006 menilai bahwa masih banyak anak-
anak Indonesia yang mendapatkan perlakuan salah atau buruk. Hal senada
diungkapkan oleh Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitas Pelayanan
Perlindungan Anak Indonesia yang mengungkapkan adanya peningkatan
kasus kekerasan terhadap anak di Jakarta, baik oleh orang tua maupun pihak
lain ( UNICEF, 2006 dalam Wulandari, 2007).
Di Indonesia menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan
komisi nasional perlindungan anak (KPAI, 2006) Dari data induk di
Indonesia dan layanan pengaduan pada tahun 2006 jumlah kasus
pelanggaran hak anak sejumlah 13.447.921 kasus.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena
hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang
berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam peran dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1989 dalam Halawa,
2014). Anak-anak yang mendapat perilaku kekerasan dari keluarganya
disebabkan karena faktor kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan
rendahnya tingkat pendidikan orang tua, pengangguran dan tekanan mental
yang umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong
terjadinya kasus kekerasan terhadap anak (Wibowo, 2008 ). Sementara itu,
bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap
anak dibagi ke dalam tiga faktor yaitu faktor orang tua atau keluarga, faktor
lingkungan sosial atau komunitas, dan faktor anak sendiri. (Rusmil, 2004
dalam Huraerah, 2012).
Dampak bagi anak yang merupakan korban perilaku kekerasan
adalah seperti anak suka membolos sekolah, anak dapat tertinggal pelajaran,
maka prestasi belajar akan menurun (Lidya, 2009 dalam Halawa, 2014).
Dampak yang lain adalah anak tidak bisa bergaul, suka berkelahi
dengan teman sebaya dan juga dapat muncul beberapa cedera fisik akibat
perilaku kekerasan seperti memar, rambut rontok, luka dan lain sebagainya.
Bila dampak tersebut terus menerus terjadi pada anak-anak di Indonesia,
maka hal tersebut dapat merusak generasi penerus bangsa (Ardi, 2009
dalam Halawa, 2014).
Pencegahan perilaku kekerasan pada anak dalam keluarga perlu
dilakukan upaya yaitu memberikan pendidikan melalui penyuluhan,
pertemuan rutin masyarakat, acara organisasi, aktif dikomunitas sosial,
peran KPPA, tokoh masyarakat, menambah wawasan bagaimana cara
mendidik dan memahami anak tanpa kekerasan. Bertambahnya wawasan
keluarga yang baik dapat mencegah perilaku kekerasan orang tua kepada
anak
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ciri Umum Kekerasan Pada Anak

Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang
dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun tingkahlakunya. Oleh
karena itu perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi atau perlakuan
khusus dan emosi yang stabil.

Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar. Anak harapan masa


depan bangsa dan agama disandarkan. Dengan bahasa lain, anak adalah
harapan masa depan, penerus cita-cita dan pewaris keturunan. Masa depan
Anak memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensial bangsa dan negara pada masa depan.

Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak.
Ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan
yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai
salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak.
Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk
mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan

Lingkungan rumah dan sekolah adalah lahan subur dan sumber utama
terjadinya kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan
orangtuanya/pengasuh ataupun guru. Pada sisi lain, kasus anak jalanan adalah
kasus yang unik, dimana mereka hidup dijalan, mencari nafkah sendiri
ataupun untuk “agen” dari penyedia jasa anak. Banyak anak tidak dapat
memperoleh haknya sebagai seorang anak.

Data kekerasan setiap tahun mengalami peningkatan, bahkan pada


tahun 2014 dinyatakan sebagai tahun darurat kejahatan seksual pada anak.
Kasus-kasus kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, tertekan secara
mental, kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan
anak dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, trafficking, anak-anak
yang dipekerjakan sebagai PSK, dan kasus perceraian. Semua kasus ini
berobjek pada anak yang tentu saja akan berdampak buruk pada
perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan jelas
mengorbankan masa depan anak
Menurut Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) , setiap
tahun jumlah kekerasan pada anak yang dilaporkan terus menungkat. Data
tersebut dapat dilihat dalam table sebagai berikut :

No Tahun Laporan KPA


1 2008 1726 kasus
2 2009 1998 kasus
3 2010 1826 kasus
4 2011 2509 kasus
5 2012 3332 kasus

Tahun 2012 terdapat laporan kasus , dengan 62% di antaranya


merupakan kekerasan seksual kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang
dewasa atau orang terdekat

Tahun 2016 dalam triwulan pertama menunjukkan 645 laporan, 167


diantaranya adalah anak dengan masalah hukum (ABH), seperti pencurian,
bulliying. 152 kasus berkaitan dengan masalah hak asuh. Ketua KPAI
menyebutkan rata-rata kekerasan pada anak yang terjadi 3.700 per tahun.
Dengan demikian kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia terdapat
lebih dari 10 kasus per-hari

Sementara, data kekerasan pada anak menurut Menurut data pusat dan
informasi (Pusdatin) Komnas PA1 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya:
1. Tahun 2010, tercatat ada 2.2.046 kasus. Terdapat 42% kasus kekerasan
seksual. Di antaranya, sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest
(hubungan intim sedarah).
2. Tahun 2011, tercatat 2.467 kasus, 52% kasus kejahatan seksual
3. Tahun 2012, tercatat 2.637 kasus, 62% kasus kekerasan seksual
4. Tahun 2013, tercatat 2.676 kasus, 54% kasus kekerasan seksual
5. Tahun 2015, tercatat 2.898 kasus, 59% kasus kekerasan seksual.

Data yang diungkap kepolisian, KPAI, dan Komnas PA tersebut hanya


puncak gunung es dari fenomena kekerasan terhadap anak di negeri ini. Bisa
jadi, setiap hari ada anak korban kekerasan dalam keluarga, tetapi tidak
terungkap karena kasus kekerasan anak cenderung dipandang sebagai aib.

Menurut WHO Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan


penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik,
emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan
komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan,
kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya
Menurut UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13
menyebutkan: Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang
melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi:
Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual,
serta trafficking jual-beli anak Kekerasan pada anak disebut juga dengan
Child Abuse, yaitu semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan
oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau
mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di
percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Bentuk Kekerasan pada Anak


Bentuk-bentuk kekerasan pada anak dapat diklasifikasikan dalam 4
macam, yaitu:
1. Kekerasan fisik, yaitu
2. Kekerasan psikis/emosi
3. Kekerasan seksual
4. Kekerasan sosial (penterlantaran)

4 macam bentuk kekerasan tersebut sangat terkait. Kekerasan fisik


yang dialami anak, akan mempengaruhi jiwanya. Demikian juga kekerasan
psikis anak, akan mempengaruhi perkembangan tubuhnya. Apalagi kekerasan
seksual, akan mengakibatkan kekerasan fisik sekaligus kekerasan psikis.
1. Kekerasan Fisik pada Anak
Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan
terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu.
Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak.
Kekerasan anak secara fisik dapat berupa penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian kepada anak.
Kekerasan fisik dapat berbentuk luka, atau dapat berupa lecet atau memar
akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan,
cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin
panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika Lokasi luka biasanya
ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau
daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya
dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai
orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan,
buang air, kencing atau muntah disembarang tempat, memecahkan barang
berharga.
Macam-macam kekerasan fisik, antara lain: ditampar, ditendang,
dianiaya, dipukul/ditinju, diinjak, dicubit, dijambak, dicekik, didorong,
digigit, dibenturkan, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, diancam
dengan benda tajam, dll
Secara fisik, akibat kekerasan fisik antara lain: luka memar, berdarah,
luka lecet,patah tulang, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan, jaringan-
jaringan lunak, pendarahan di bawah kulit,pingsan, dan bentuk lain yang
kondisinya lebih berat, dan akibat yang paling fatal adalah kematian
Beberapa kasus kekerasan yang dialami anak diantaranya dengan dalih
mendisiplinkan anak. Cara yang ditempuh dengan cara melakukan perlakuan
kekerasan fisik dan aturan yang ketat. Oleh sebab itu beberapa kasus pelaku
kekerasan fisik adalah orang tua sendiri atau guru, orang yang seharusnya
melindungi, akan tetapi “salah” cara melindunginya.
Orang tua yang melakukan kekerasan pada anaknya agak sulit untuk
ditindak. Terdapat dilemma saat orang tua dilaporkan kepada pihak berwajib.
Siapa yang akan mencari nafkah apabila nanti orangtuanya di penjara?”. Pihak
orang tua pelaku tindakan kekerasan juga berdalih bahwa ini merupakan
wilayah privacy-nya, dia berhak mendidik anaknya sesuai dengan pemahaman
yang dianutnya. Di sinilah peran daiyah untuk melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang bentuk-bentuk kekerasan berikut dampaknya, dan
hukuman bagi pelaku kekerasan pada anak. Tidak sedikit pelaku kekerasan
pada anak adalah orang tua yang mempunyai pemahaman agama yang baik,
bahkan menjadi tokoh masyarakat (ustad). Pelaku kekerasan biasanya masa
kecilnya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Pemgalaman tersebut yang
kemudian diterapkan untuk mendidik anaknya, dengan kekerasan pula.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang
dialami anak. Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta
martabat korban; penggunaan kata-kata kasar; penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan
ancaman dengan kata-kata dan sebagainya.
Bentuk kekerasan psikis, antara lain: dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa
melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik,
diancam, dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa
menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dll.
Anak yang mendapatkan kekerasan psikis umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut
keluar rumah dan takut bertemu orang lain. Dampak kekerasan psikis akan
membekas dan mengakibatkan trauma, sehingga mempengaruhi perkembangan
kepribadian anak.
Kekerasan emosi adalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan
yang terlihat pada fungsi mental atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung,
menyendiri, tingkah laku agresif atau mal development

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa/diperlakukan secara


seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat
seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan
mengeksploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang
lain.

4. Kekerasan Sosial Mencakup Penelantaran Anak dan Eksploitasi Anak.

Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak
adalah sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh, memaksa anak untuk melakukan
sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-
hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik,
psikis dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik
yang membahayakan
Bentuk-bentuk pentelantaran: kurang memberikan perhatian dan kasih
sayang yang dibutuhkan anak, tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain,
rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak,
tidak mengajak bicara, dll.
Dampak terjadinya pentelantaran akan sangat mempengaruhi tumbuh
kembang anak, antara lain: terjadi kegagalan dalam tumbuh kembang, malnutrisi,
yang menyebabkan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi infeksi kronis, hygiene
kurang, hormon pertumbuhan turun, sehingga dapat mengakibatkan kerdil
Kekerasan karena diabaikan dapat disebabkan karena kegagalan ibu bapak
untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian,
kediaman, perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan penjahat
atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga anak
terpaksa menjaga diri sendiri dan menjadi pengemis.
B. Komponen materi “Kekerasan Pada Anak”

1. korban dari sistem public health


Dari kasus yang kami angkat korban dari sistem public health ini
adalah anak-anak yang mendapat kan kekerasan.

2. Ciri komunitas yang menjadi basis dari persoalan public health


(kekerasan pada anak)
Ciri komunitas yang menjadi basis dari persoalan kekerasan pada
anak, antara lain:

a) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan


tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memeiliki tempramen
lemah, ketidaktahuan anak terhadap hak-haknya, anak terlalu
bergantung kepada orang dewasa. Kondisi tersebut membuat
anak mudah diperdayai.
b) Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan
tidak cukup, banyak anak. Kondisi ini banyak menyebabkan
kekerasan pada anak
c) Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya
perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga
tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak
secara ekonomi.
d) Keluarga yang belum matang secara psikologis, (unwanted
child), anak yang lahir diluar nikah.
e) Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau
kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan
mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
f) Sejarah penelantaran anak. Orang tua semasa kecilnya
mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah
anak-anaknya.
g) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh,
tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap
tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang
terlalu rendah, meningkatnya faham
Selain Ciri komunitas yang menjadi basis dari persoalan public health
kekerasan pada anak ada juga faktor social budaya yang bisa menjadi
penyebab kekerasan pada anak, diantaranya ialah :

a) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai matrealistis


b) Kondisi sosial-ekonomi yang rendah
c) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang
tua sendiri
d) Status wanita yang dipandang rendah
e) Sistem keluarga patriarkhal
f) Pengangguran (unemployment),
g) Penyakit (illness),
h) Kondisi perumahan buruk (poor housing conditions),
i) Keluarga besar , akan tetapi miskin,
j) orang berkebutuhan khusus (disable person) di rumah, dan
k) kematian (death) seorang anggota keluarga

3. Stakeholder yang di pandang penting bisa membantu mengatasi


masalah kekerasan pada anak.
Stakeholder yang dipandang penting bisa membantu mengatasi
masalah kekerasan pada anak yaitu pemerintah dalam hal ini yaitu Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

4. Pendapat kami tentang hal yang salah dari kekerasan pada anak
Pendapat kami mengenai kekerasan yang terjadi pada anak,
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu disebabkan oleh stress
dalam keluarga. Stress dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak,
orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu. Stress berasal dari anak
misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat
berbeda dengan anak pada umumnya. Stress yang berasal dari suami atau
istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua
sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfect
dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa
dengan sikap disiplin. Stress berasal dari situasi tertentu misalnya terkena
suami/istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran,
pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Penyebab utama
lainnya adalah kemiskinan, masalah hubungan sosial baik dalam keluarga
atau komunitas, penyimpangan perilaku sosial (masalah psikososial).
Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum dan pengaruh
nilai sosial kebudayaan di lingkungan sosial tertentu.
5. Intervensi kekerasan terhadap anak pada komunitas terkait
Di indonesia pencegahan kekerasan pada anak, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berencana membentuk Satuan
Tugas (Satgas) Perlindungan Anak sampai tingkat rukun tetangga dan
rukun warga.

intervensi sosial dalam penanganan kekerasan anak, dapat di


deskripsikan sebagai berikut:

Prevensi
Prevensi merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk
mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan luar keluarga, seperti di lingkungan sosial dan bermain
anak. Berbagai sistem sumber yang dapat dayagunakan dalam upaya prevensi
kekerasan terhadap anak, yaitu:
a. Keluarga
Keluarga yang dimaksud di sini bukan hanya keluarga dalam
pengertian keluarga inti (nucleur family), tetapi juga keluarga dalam
pengertian keluarga luas (extended family). Keluarga sebagai lingkungan
pertama bagi setiap orang, akan memberikan berbagai jenis kebutuhan
bagi seseorang, baik ú sikorganis maupun psiko-sosial seperti dukungan
emosional, kasih sayang, nasehat, informasi dan perhatian. Selain
pemenuhan kebutuhan yang bersifat dometik, kelurga perlu memilihkan
teman bagi anak, dan atau memantau pertemanan anak. Prinsipnya anak
mendapatkan teman yang aman, nyaman dan mendukung tumbuh
kembang. Ikatan kekerabatan perlu aktualisasikan kembali untuk
dilembagakan nilai dan norma kekeluargaan dan kepedulian sosial.
b. Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan yang dimaksud mencakup sekolah negeri,
swasta dan pondok pesantren. Institusi-institusi ini sesuai dengan
peranannya telah menyelenggarakan proses pendidikan, baik dalam
kaitannya dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik anak
didik. Namun masih diperlukan materi pelayanan atau mata kuliah yang
bermuatan moral dan kepribadian. Anak didik perlu diberikan ruang
untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi,
permasalahan dan seluk beluk yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial
anak.

c. Lembaga Kesejahteraan Sosial


Upaya prevensi dilakukan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS) lokal, baik yang tumbuh secara alamiah di tingkat lokal (kelompok
agama, rukun lingkungan, paguyuban dan lainlain), maupun yang tumbuh
dari inisiasi pemerintah (Posyandu, PAUD, Dasa Wisma, Family Care
Unit dan lain-lain). Berbagai LKS tersebut memerlukan sebuah media
agar potensi dan sumber daya yang dimiliki dapat disinergikan, sehingga
memberikan hasil yang lebih optimal. LKS yang ada di akar rumput perlu
diberikan kesempatan yang luas sebagai media pertolongan bagi anak,
remaja dan orang dewasa yang berpotensi menjadi korban, pelaku atau
pemicu terjadinya tindak kekerasan.

d. Institusi Peradilan
Institusi hukum sesungguhnya merupakan aras ketiga yang
diperlukan dalam mewujudkan kesejahteraan anak, serelah keluarga dan
masyarakat. Ketiga keluarga dan masyarakat sudah tidak berdungsi dalam
mengendalikan perilaku masyarakat, maka diperlukan pendekatan secara
hukum melalui instir-tusi peradilan. Permasalahnnya, bahwa hukuman
terhadap pelaku tindak kekerasan terhdaap anak, saat ini dinilai belum
memberikan efek jera kepada pelaku maupun orang-orang yang potensial
menjadi pelaku. Hal ini disebabkan, ada kecenderungan hukuman pidana
yang dikenakan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak
menggunakan referensi KUHP dan belum sepenuhnya menggunakan
Undang-Undang Perlindungan Anak. Sistem sumber tersebut ada di
tengahtengah masyarakat. Persoalannya, bagaimana sistem sumber
tersebut dapat didekatkan dengan dunia anak, sehingga mampu menjadi
sistem sumber bagi upaya mencegah tindak kekerasan terhadap anak.
Menurut hemat penulis, Kementerian Sosial cq Direktorat Kesejahteraan
Sosial Anak perlu mengambil peranan sebagai pihak yang menginisiasi
terbentuknya jaringan kerja antara sistem sumber tersebut. Unit kerja ini
dapat menawarkan model-model atau skema pencegahan tindak
kekerasan terhadap anak kepada jaringan kerja tersebut. Mencegah berarti
segala upaya yang dilakukan agar suatu tindakan terentu atau risiko dari
suatu tindakan tidak akan terjadi. Sehubungan dengan bahasan dalam
tulisan ini, mencegah berarti mengoptimalkan fungsi dan peranan sistem
sumber yang ada di masyarakat maupun di instansi pemerintah, sehingga
tindak kekerasan terhadap anak tidak terjadi. Selain setiap sitem sumber
melaksanakan program-program secara parsial sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya, maka perlu dikembangkan jaringan kerja antara sistem
sumber tersebut, misalnya digunakan nama: kelompok kerja atau forum
komunikasi atau komunitas peduli anak dan sebagainya.

Berdasarkan kelembagaan yang menjadi sistem sumber prevensi tindak


kekerasan terhadap anak, maka strategi yang perlu dikembangkan adalah:
a) Optimalisasi Penyuluhan Sosial
Penyuluhan sosial untuk mencegah tejadinya tindak kekerasan terhadap
anak dijadikan gerakan nasional. Sehubungan dengan itu, semua orang secara
individu, kelompok dan komunitas memiliki tugas untuk melakukan penyuluhan
sosial tersebut. Khusus di lingkungan Kementerian Sosial, terdapat satuan kerja
yang memiliki kegiatan yang berkaitan dengan penyuluhan sosial untuk kegiatan
prevensi ini, yaitu Pusat Penyuluhan Sosial, Direktorat Kesejahteraan Sosial
Anak, Sub Direktorat Ketahanan Sosial Keluarga dan Sub Direktorat
Pemberdayaan Keluaraga. Berkaitan dengan itu diperlukan sinergitas pada
satuan-satuan kerja tersebut dalam upaya optimalisasi prevensi terjadinya
kekerasan terhadap anak.
b) Optimalisasi peranan Lembaga
Konsultasi Kesejahteraan Keluarag (LK3), Family Care Unit (FCU) dan
Lembaga Kesejahteraan Sosial lokal yang diorganisasikan melalaui Wahana
Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM). Potensi dan sumber
kesejahteraan sosial (PSKS) merupakan program yang diinisiasi oleh
Kementerian Sosial RI. LK3 memiliki wilayah kerja pada tingkat kabupaten/
kota, sementara itu FCU dan WKSBM memiliki wilayah kerja pada tingkat
desa/kelurahan. Pada tahun 2013 ini Direktorat Pemberdayaan Keluarga dan
Kelembagaan Sosial mengembangkan kebijakan yang diarahkan untuk
mengoptimalkan peranan PSKS tersebut melalui penataan manajemen program.
Pada beberapa kali FGD yang dilakukan (yang diikuti penulis), tindak kekerasan
terhadap anak ini belum menjadi isu penting. Padahal, posisi PSKS tersebut
sangat tersebut, terutama FCU dan WKSBM yang berada di akar rumput, karena
mudah dijangkau, murah dan tidak birokratis sebagai penyedia pelayanan sosial
bagi masyarakat. Oleh karena itu, ke depan perlu optimalisasi peranan PSKS
tersebut.
6. Contoh leaflet, poster dan buku yang dapat digunakan untuk
advokasi public health dari fokus anda.

Contoh-contoh leaflet kekerasan pada anak


BAB III
PENUTUP

Fenomena kekerasan pada anak bagaikan lapisan gunung es di laut.


Hanya sedikit yang dilaporkan. Hal ini terjadi karena pelaku tindak kekerasan
pada anak sebagian besar adalah orang atau keluarga terdekat, bahkan tidak
sedikit yang dilakukan oleh orang tua. Bagaikan simalakama bila pelaku
orangtuanya, jika dilaporkan dapat menjadi masalah karena orang tua yang
mencari nafkah, tidak dilaporkan menjadi rumit, karena telah melanggar
aturan dan merugikan dan membahayakan anak.
Menjadi tugas bagi para daiyah untuk menyadarkan kepada
masyarakat, khususnya orang tua dampak terjadinya kekerasan pada anak.
Trauma yang dialami akan mempengaruhi tumbuh kembang dan
kehidupannya kelak. Upaya strategis yang harus dilakukan adalah
pencegahan. Meskipun demikian, upaya solutif dan terapi serta rehabilitatif
bagi korban kekerasan penting pula untuk dilakukan oleh para daiyah. Inilah
ladang amal yang pahalanya akan terus mengalir
DAFTAR PUSTAKA

Praditama, S., Nurhadi., Budiarti, C.A (2015). Kekerasan Terhadap Anak Dalam
Keluarga Dalam Perspektif Fakta Sosial. Jurnal Universitas Sebelas Maret,

Ningsih, E, S., Bayu., Hennyati , S (2018). Kekerasan Seksual Pada Anak Di


Kabupaten Karawang. Jurnal Bidan “Midwife Journal”, 4 (02)

Hasanah, U., Raharjo, S,Tri (2015). Penanganan Kekerasan Anak Berbasis


Masyarakat. Social Work Jurnal. 6 (1), 1-153

Dewi, N, S., Arisanti, N, Rusmil, V, K., Sekarwana, N., Dhamayanti, M (2017).


Deteksi Dini Pengalaman Kekerasan pada Anak di Tingkat Keluarga di Kecamatan
Jatinangor . Jsk, 2 (3)

Ermanovida ( Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (Analisis Isi Dan


Bentuk Berita Pada Harian Lokal Di Kota Palembang)

Anda mungkin juga menyukai