MATA KULIAH
NEGOSIASI DAN ADVOKASI KESEHATAN
“LAPORAN KEKERASAN PADA ANAK”
Kelompok :
Nama :
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan pertolongan-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis dalam
menyusun laporan ini sehingga laporan ini dapat selesai pada waktunya.
Kekerasan terhadap anak bukanlah hal yang asing bagi kita. Dewasa ini,
kita sering kali menemui berbagai contoh kekerasan terhadap anak dalam
kehidupan kita sehari-hari. Banyak anak- anak yang mengalami kekerasan karena
perilaku orang tua bahkan ada yang sampai harus menghembuskan napas
terakhirnya karena tindakan kekerasan yang mereka alami.
Semoga laporan ini dapat membawa manfaat bagi para pembaca agar
tidak melakukan kekerasan terhadap anak- anak dimasa yang akan datang karena
anak- anak adalah generasi penerus bangsa ini oleh sebab itu kita harus
menjauhkan mereka dari kekerasan
Akhir kata, penulis mengakui bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun dari pembaca demi kessempurnaan laporan ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan merupakan masalah kesehatan masyarakat di samping
menjadi masalah hukum dan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Jordan
(2001) dalam Hastuti (2014) yang menyatakan bahwa kekerasan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang pada saat ini menjadi perhatian dunia
dan memerlukan keterlibatan institusi kesehatan. Masalah kekerasan anak
bukanlah masalah yang berdiri sendiri akan tetapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang saling berinteraksi. Kekerasan pada anak atau lebih
dikenal dengan child abuse disebut juga child maltreatment merupakan
tindakan yang sengaja dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak.
Menurut Halawa (2014) bentuk kekerasan pada anak bisa berupa kekerasan
fisik, seksual, emosional dan penelantaran anak, Setiap orang tua sekali
waktu pasti pernah marah dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang
menyulitkan tersebut. Banyak orang tua yang lepas kendali sehingga
melakukan kekerasan fisik atau mengatakan sesuatu yang menyakiti serta
membahayakan anak tersebut.
World Health Organization (WHO) mengestimasikan sebanyak 40
juta anak usia 0-14 tahun di dunia telah mengalami child abuse, yang
banyak terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan (WHO, 2003
dalam Wulandari, 2007). Kajian Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa
Bangsa (PBB) tentang kekerasan terhadap anak yang dipresentasikan pada
Sidang Umum PBB 11 Oktober 2006 menilai bahwa masih banyak anak-
anak Indonesia yang mendapatkan perlakuan salah atau buruk. Hal senada
diungkapkan oleh Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitas Pelayanan
Perlindungan Anak Indonesia yang mengungkapkan adanya peningkatan
kasus kekerasan terhadap anak di Jakarta, baik oleh orang tua maupun pihak
lain ( UNICEF, 2006 dalam Wulandari, 2007).
Di Indonesia menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan
komisi nasional perlindungan anak (KPAI, 2006) Dari data induk di
Indonesia dan layanan pengaduan pada tahun 2006 jumlah kasus
pelanggaran hak anak sejumlah 13.447.921 kasus.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena
hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang
berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam peran dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1989 dalam Halawa,
2014). Anak-anak yang mendapat perilaku kekerasan dari keluarganya
disebabkan karena faktor kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan
rendahnya tingkat pendidikan orang tua, pengangguran dan tekanan mental
yang umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong
terjadinya kasus kekerasan terhadap anak (Wibowo, 2008 ). Sementara itu,
bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap
anak dibagi ke dalam tiga faktor yaitu faktor orang tua atau keluarga, faktor
lingkungan sosial atau komunitas, dan faktor anak sendiri. (Rusmil, 2004
dalam Huraerah, 2012).
Dampak bagi anak yang merupakan korban perilaku kekerasan
adalah seperti anak suka membolos sekolah, anak dapat tertinggal pelajaran,
maka prestasi belajar akan menurun (Lidya, 2009 dalam Halawa, 2014).
Dampak yang lain adalah anak tidak bisa bergaul, suka berkelahi
dengan teman sebaya dan juga dapat muncul beberapa cedera fisik akibat
perilaku kekerasan seperti memar, rambut rontok, luka dan lain sebagainya.
Bila dampak tersebut terus menerus terjadi pada anak-anak di Indonesia,
maka hal tersebut dapat merusak generasi penerus bangsa (Ardi, 2009
dalam Halawa, 2014).
Pencegahan perilaku kekerasan pada anak dalam keluarga perlu
dilakukan upaya yaitu memberikan pendidikan melalui penyuluhan,
pertemuan rutin masyarakat, acara organisasi, aktif dikomunitas sosial,
peran KPPA, tokoh masyarakat, menambah wawasan bagaimana cara
mendidik dan memahami anak tanpa kekerasan. Bertambahnya wawasan
keluarga yang baik dapat mencegah perilaku kekerasan orang tua kepada
anak
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang
dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun tingkahlakunya. Oleh
karena itu perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi atau perlakuan
khusus dan emosi yang stabil.
Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak.
Ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan
yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai
salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak.
Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk
mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan
Lingkungan rumah dan sekolah adalah lahan subur dan sumber utama
terjadinya kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan
orangtuanya/pengasuh ataupun guru. Pada sisi lain, kasus anak jalanan adalah
kasus yang unik, dimana mereka hidup dijalan, mencari nafkah sendiri
ataupun untuk “agen” dari penyedia jasa anak. Banyak anak tidak dapat
memperoleh haknya sebagai seorang anak.
Sementara, data kekerasan pada anak menurut Menurut data pusat dan
informasi (Pusdatin) Komnas PA1 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya:
1. Tahun 2010, tercatat ada 2.2.046 kasus. Terdapat 42% kasus kekerasan
seksual. Di antaranya, sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest
(hubungan intim sedarah).
2. Tahun 2011, tercatat 2.467 kasus, 52% kasus kejahatan seksual
3. Tahun 2012, tercatat 2.637 kasus, 62% kasus kekerasan seksual
4. Tahun 2013, tercatat 2.676 kasus, 54% kasus kekerasan seksual
5. Tahun 2015, tercatat 2.898 kasus, 59% kasus kekerasan seksual.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang
dialami anak. Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta
martabat korban; penggunaan kata-kata kasar; penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan
ancaman dengan kata-kata dan sebagainya.
Bentuk kekerasan psikis, antara lain: dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa
melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik,
diancam, dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa
menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dll.
Anak yang mendapatkan kekerasan psikis umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut
keluar rumah dan takut bertemu orang lain. Dampak kekerasan psikis akan
membekas dan mengakibatkan trauma, sehingga mempengaruhi perkembangan
kepribadian anak.
Kekerasan emosi adalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan
yang terlihat pada fungsi mental atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung,
menyendiri, tingkah laku agresif atau mal development
3. Kekerasan seksual
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak
adalah sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh, memaksa anak untuk melakukan
sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-
hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik,
psikis dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik
yang membahayakan
Bentuk-bentuk pentelantaran: kurang memberikan perhatian dan kasih
sayang yang dibutuhkan anak, tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain,
rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak,
tidak mengajak bicara, dll.
Dampak terjadinya pentelantaran akan sangat mempengaruhi tumbuh
kembang anak, antara lain: terjadi kegagalan dalam tumbuh kembang, malnutrisi,
yang menyebabkan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi infeksi kronis, hygiene
kurang, hormon pertumbuhan turun, sehingga dapat mengakibatkan kerdil
Kekerasan karena diabaikan dapat disebabkan karena kegagalan ibu bapak
untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian,
kediaman, perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan penjahat
atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga anak
terpaksa menjaga diri sendiri dan menjadi pengemis.
B. Komponen materi “Kekerasan Pada Anak”
4. Pendapat kami tentang hal yang salah dari kekerasan pada anak
Pendapat kami mengenai kekerasan yang terjadi pada anak,
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu disebabkan oleh stress
dalam keluarga. Stress dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak,
orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu. Stress berasal dari anak
misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat
berbeda dengan anak pada umumnya. Stress yang berasal dari suami atau
istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua
sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfect
dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa
dengan sikap disiplin. Stress berasal dari situasi tertentu misalnya terkena
suami/istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran,
pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Penyebab utama
lainnya adalah kemiskinan, masalah hubungan sosial baik dalam keluarga
atau komunitas, penyimpangan perilaku sosial (masalah psikososial).
Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum dan pengaruh
nilai sosial kebudayaan di lingkungan sosial tertentu.
5. Intervensi kekerasan terhadap anak pada komunitas terkait
Di indonesia pencegahan kekerasan pada anak, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berencana membentuk Satuan
Tugas (Satgas) Perlindungan Anak sampai tingkat rukun tetangga dan
rukun warga.
Prevensi
Prevensi merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk
mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan luar keluarga, seperti di lingkungan sosial dan bermain
anak. Berbagai sistem sumber yang dapat dayagunakan dalam upaya prevensi
kekerasan terhadap anak, yaitu:
a. Keluarga
Keluarga yang dimaksud di sini bukan hanya keluarga dalam
pengertian keluarga inti (nucleur family), tetapi juga keluarga dalam
pengertian keluarga luas (extended family). Keluarga sebagai lingkungan
pertama bagi setiap orang, akan memberikan berbagai jenis kebutuhan
bagi seseorang, baik ú sikorganis maupun psiko-sosial seperti dukungan
emosional, kasih sayang, nasehat, informasi dan perhatian. Selain
pemenuhan kebutuhan yang bersifat dometik, kelurga perlu memilihkan
teman bagi anak, dan atau memantau pertemanan anak. Prinsipnya anak
mendapatkan teman yang aman, nyaman dan mendukung tumbuh
kembang. Ikatan kekerabatan perlu aktualisasikan kembali untuk
dilembagakan nilai dan norma kekeluargaan dan kepedulian sosial.
b. Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan yang dimaksud mencakup sekolah negeri,
swasta dan pondok pesantren. Institusi-institusi ini sesuai dengan
peranannya telah menyelenggarakan proses pendidikan, baik dalam
kaitannya dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik anak
didik. Namun masih diperlukan materi pelayanan atau mata kuliah yang
bermuatan moral dan kepribadian. Anak didik perlu diberikan ruang
untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi,
permasalahan dan seluk beluk yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial
anak.
d. Institusi Peradilan
Institusi hukum sesungguhnya merupakan aras ketiga yang
diperlukan dalam mewujudkan kesejahteraan anak, serelah keluarga dan
masyarakat. Ketiga keluarga dan masyarakat sudah tidak berdungsi dalam
mengendalikan perilaku masyarakat, maka diperlukan pendekatan secara
hukum melalui instir-tusi peradilan. Permasalahnnya, bahwa hukuman
terhadap pelaku tindak kekerasan terhdaap anak, saat ini dinilai belum
memberikan efek jera kepada pelaku maupun orang-orang yang potensial
menjadi pelaku. Hal ini disebabkan, ada kecenderungan hukuman pidana
yang dikenakan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak
menggunakan referensi KUHP dan belum sepenuhnya menggunakan
Undang-Undang Perlindungan Anak. Sistem sumber tersebut ada di
tengahtengah masyarakat. Persoalannya, bagaimana sistem sumber
tersebut dapat didekatkan dengan dunia anak, sehingga mampu menjadi
sistem sumber bagi upaya mencegah tindak kekerasan terhadap anak.
Menurut hemat penulis, Kementerian Sosial cq Direktorat Kesejahteraan
Sosial Anak perlu mengambil peranan sebagai pihak yang menginisiasi
terbentuknya jaringan kerja antara sistem sumber tersebut. Unit kerja ini
dapat menawarkan model-model atau skema pencegahan tindak
kekerasan terhadap anak kepada jaringan kerja tersebut. Mencegah berarti
segala upaya yang dilakukan agar suatu tindakan terentu atau risiko dari
suatu tindakan tidak akan terjadi. Sehubungan dengan bahasan dalam
tulisan ini, mencegah berarti mengoptimalkan fungsi dan peranan sistem
sumber yang ada di masyarakat maupun di instansi pemerintah, sehingga
tindak kekerasan terhadap anak tidak terjadi. Selain setiap sitem sumber
melaksanakan program-program secara parsial sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya, maka perlu dikembangkan jaringan kerja antara sistem
sumber tersebut, misalnya digunakan nama: kelompok kerja atau forum
komunikasi atau komunitas peduli anak dan sebagainya.
Praditama, S., Nurhadi., Budiarti, C.A (2015). Kekerasan Terhadap Anak Dalam
Keluarga Dalam Perspektif Fakta Sosial. Jurnal Universitas Sebelas Maret,