Anda di halaman 1dari 27

BPH (BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA)

DISUSUN OLEH :

AMANAH TRI AMALIA


ANGGA PRATAMA PUTRA
ANJAR PRAYOGO
ARTHA WIJAYA RATNASARI
DIKI SETIAWAN
INDAH WAHYUNI
NOVI TRI LESTARI
YULIA MONICA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


MUHAMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat, serta penyertaan-Nya, sehingga makalah “BPH (BENIGNA PROSTAT
HYPERPLASIA)” ini dapat kami selesaikan.

Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa yang
sederhana,singkat serta mudah dicerna isinya oleh para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.Maka kami berharap adanya
masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang.

Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dipergunakan
dengan layak sebagaimana mestinya.

Pringsewu, 28 Februari 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan Makalah ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ...................................................................................................... 4
B. Etiologi ........................................................................................................... 4
C. Patofisiologi ................................................................................................... 5
D. Manifestasi Klinis .......................................................................................... 7
E. Komplikasi ..................................................................................................... 7
F. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 8
G. Penatalaksanaan ............................................................................................. 9
H. Pencegahan .................................................................................................. 13

BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian .................................................................................................... 15
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................................ 19
C. Rencana Keperawatan .................................................................................. 19

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 23
B. Saran ............................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benigna prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non kanker
(noncancerous) dari kelenjar prostat (prostate gland) yang dapat membatasi urin
(kencing) dari kandung kemih (bladder). Prostat hyperplasia merupakan
pembesaran glandula dan aringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan
perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Kelenjar prostat mengitari
leher kandung kemih dan uretra, sehingga hipertropi prostat sering menghalangi
pengosongan kandung kemih (Doenges, 2002).
Kejadian BPH pada pria usia 55 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, pada usia80
tahun angka kejadiannya 60%. Tidak lancarnya dalam pengeluaran urin, kencing
terasa panas, kencing menetes dan lama – lama bisa menyebabkan tidak bisa
kencing (anuria). Hal ini dipengaruhi karena kebiasaan para pria mengangkat beban
berat dalam rentang waktu lama, faktor penuaan dan faktor hormonal. Dalam
menangani Benigna Prostat Hyperplasia adalah melakukan insisi (operasi) BPH.
Untuk menjaga dan mempertahankan kondisi pasien post operasi BPH agar dalam
keadaan baik dan stabil adalah dengan memenuhi kebutuhan nutrisi terhadap tubuh.
Benigna Prostat hyperplasia biasanya di derita oleh Pria dengan usia lanjut 55 tahun
ke atas (Harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/07 askep hipertrofi-prostat).
Kebutuhan nutrisi bagi tubuh merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang
sangat penting. Dilihat dari kegunaannya nutrisi m segala aktivitas dalam sistem
tubuh. Sumber nutrisi dalam tubuh berasal dari dalam tubuh sendiri seperti
glikogen yang terdapat dalam otot dan hati ataupun protein dan lemak dalam
jaringan dan sumber lain yang berasal dari luar tubuh seperti yang sehari – hari
dimakan oleh manusia (Hidayat, 2006).
Pemenuhan kebutuhan nutrisi bukan hanya sekedar untuk menghilangkan rasa
lapar, melainkan mempunyai banyak fungsi. Adapun fungsi umum dari nutrisi di
antaranya adalah sebagai sumber energi, memelihara jaringan tubuh, mengganti sel
tubuh yang rusak, mempertahankan vitalitas tubuh, dan lain-lain. Oleh karena itu,
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi perlu diperhatikan zat gizinya (Asmadi, 2008).

1
Hasil penelitian status gizi lansia post operasi Benigna Prostat Hyperplasia berisiko
untuk masalah nutrisi yang berhubungan dengan proses penyakitnya dan
penggunaan medikasi obat-obatan dapat mempengaruhi absorpsi dan metabolisme
yang menyebabkan menurunkan nafsu makan. Untuk itu kebutuhan dasar nutrisi
harus diperhatikan. Melihat permasalahan diatas, penulis tertarik untuk
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif kepada pasien post operasi
Benigna prostat hyperplasia dengan gangguan kebutuhan dasar nutrisi di Kelurahan
Harjosari II Kec. Medan Amplas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Benigna Prostat Hiperplasia?
2. Apa etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia?
3. Bagaimana patofisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia?
4. Apa saja manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia?
5. Apa komplikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien Benigna
Prostat Hiperplasia?
7. Apa saja penatalaksanaan untuk pasien Benigna Prostat Hiperplasia?
8. Apa saja pencegahan untuk penyakit Benigna Prostat Hiperplasia?
9. Bagaimana pengkajian, diagnosa, dan rencana keparawatan untuk pasien
Benigna Prostat Hiperplasia?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian Benigna Prostat Hiperplasia
2. Untuk mengetahui etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia
5. Untuk mengetahui komplikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien
Benigna Prostat Hiperplasia
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk pasien Benigna Prostat Hiperplasia
8. Untuk mengetahui apa saja pencegahan untuk penyakit Benigna Prostat
Hiperplasia

2
9. Untuk mengetahui pengkajian, diagnosa, dan rencana keparawatan untuk pasien
Benigna Prostat Hiperplasia

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
BPH (Benign Prostate Hyperplasia) BPH (Benign Prostate Hyperplasia) adalah
pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Lebih
dari 50% pria di atas usia 50 tahun mengalami pertumbuhan nodular ini. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa yang jumlahnya
berbeda-beda, sebab dari BPH tidak diketahui. Pembesaran jaringan prostat
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostastika,
yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandungan kemih.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam
derajat yang berbeda-beda: sering kemih, nokturia, urgensi (kebelet), urgensi
dengan inkontinesia, tersendat-sendat mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan
kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah
berkemih. Kandungan kemih yang terenggang dapat teraba pada pemeriksaan
abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandungan kemih yang penuh akan
menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rektal untuk
menilai besarnya kelenjar.
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak
adanya aliran kemih, dan ini memerlukan reseksi bedah pada prostat. Prostatektomi
dapat dilakukan dalam berbagai cara, yang paling sering adalah metode reseksi
transuretral.

B. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi
yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia
80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahunsekiatr 100% (Purnomo,
2011)Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga

4
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut
Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.

C. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat,
serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin.
Pasien tidak bias mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan
terjadi statis urin.Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran
urin tidak deras dan sesudah berkemih masih adaurin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanyaobstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai
obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan
tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak
menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih
lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter danobstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronikmenyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin,

5
dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat
juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

Pathway:

6
D. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH
yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian
atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi(sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten(kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan
miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan
tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati
membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapatterjadi
dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

E. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

7
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk
batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.

F. Pemeriksaan Panunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada
pasien dengan BPH adalah :
Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b.
Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran
kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang
penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada


pasien dengan BPH adalah :

8
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung
kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.

9
Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur(Purnomo,
2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi 18
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-ototberelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa,penghambat
enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin,
afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai
1mg/hari sedangkan dosis tamsulosinadalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan
antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini
menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di
trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi
didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi
dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu

10
setelah ia mulai memakai obat,sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-
obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, transquilizer, dekongestan, obatobatini mempunyai
efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan
bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksidan
pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido,
impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoarepeus dll.
Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama
1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.

Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka


yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari
atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala
ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan
darah yang cukup banyakdibanding dengan metode lain, kerugian lain yang
dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy
3) Prostatektomi retropubik

11
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk
kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah
yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat


dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas)
agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah
gejala-gejala
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini
dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobusmedial yang
langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter
threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk
mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak
meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal
dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak
pada22 kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari
penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat
normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan
memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat
pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada
uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah
pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%)
(Smeltzer dan Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal

12
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada pasien
dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive
minimal diantaranya Transurethral MicrovaweThermotherapy (TUMT),
Transuretral Ballon Dilatation(TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau
prostatcatt.
Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini
hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan
cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.Alat yang
dipakai antara lain prostat.Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang
dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka,
sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat
ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.

H. Pencegahan
Kini, sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi
pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan
utamanya saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan
sejenis minyak, yang bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat
kerja enzim 5-alpha reduktase, yang berperan dalam proses pengubahan hormon
testosteron menjadi dehidrotestosteron (penyebab BPH)5. Hasilnya, kelenjar
prostat tidak bertambah besar.
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di antaranya
adalah :
1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah
pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat
berkembang menjadi kanker prostat.
2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain
tidak terlalu berat.

13
Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan
pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal. L-Glysine, senyawa asam
amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan ke susunan syaraf
pusat. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas
sperma.
Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
Mengurangi makanan kaya lemak hewan, Meningkatkan makanan kaya
lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut), vitamin E,
isoflavonoid (dalam produk kedelai), Makan sedikitnya 5 porsi buah dan
sayuran sehari, Berolahraga secara rutin, Pertahankan berat badan ideal.

14
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat.
Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan
biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang
berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu
diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative /
paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity )
dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract
Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi,
terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan
disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama
kali atau berulang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit
sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung
Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko
terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula
adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti :
Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali

15
f. Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan
interaksi pasca tindakan TURP.
g. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24
jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli – buli memerlukan
penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus .
3) Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat
terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat
terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola
tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan pasca TURP.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan
masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual

16
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd (
Sunaryo, H, 1999: 36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping
klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan
ibadahnya.

h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila
terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi
harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval
monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal
atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb
untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi,
per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa
karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 :
40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
6) Sistem urogenital

17
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi
dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin,
daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika
dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin
dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 –
24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7) Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD.
dr. Soetomo, 1997 : 21).

i. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu
diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila
terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin
juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila
terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur
urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
a) Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter
dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b) Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data
tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang
mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi
urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang
pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .

18
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah
berlebihan .
3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi
(TURP).
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi .(
Marilynn, E.D, 2000 : 683 )

C. Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan anastesi.
a. Tujuan
Pola napas tetap efektif
b. Kriteria hasil
Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas
normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.
Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.
2) Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2
jam.
Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.
3) Kaji bunyi napas tiap 4 jam.
Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim
medis.
4) Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.
Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.
5) Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk
mengurangi nyeri.
Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan
latihan batuk dan napas dalam secara efektif.

19
2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah
berlebihan.
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil,
nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan
keluaran urin tepat.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau
pembentukan bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-
buli.
2) Pantau masukan dan haluaran cairan.
Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu
pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya
perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik.
4) Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan
darah.
Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi
cepat.
5) Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.
6) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler
dan membran mukosa kering.
7) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi,
contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan
penggantian.

20
3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan
irigasi (TURP).
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh,
berorientasi, dan menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.
Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.
2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.
Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim
medis.
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika
diinstruksikan.
Rasional: mencegah terjadinya retensi

4. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.


a. Tujuan
Retensi urin teratasi.
b. Kriteria hasil
Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol buli
buli.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.
2) Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama 24 jam
pertama.
Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter / aliran urin.

21
3) Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran
urin.
4) Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.

5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.


a. Tujuan
Infeksi dicegah.
b. Kriteria hasil
Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan
sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.
2) Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke
dalam buli – buli.
3) Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.
Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.
4) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik berhubungan dengan
peningkatan resiko pada prostatektomi.

22
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Benigna Prostatic Hyperplasia ( BPH ) merupakan pertumbuhan berlebihan dari
sel-sel prostat yang tidak ganas dan biasa menyerang pria diatas 50
tahun. Penyebab BPH tidak diketahui, tetapi mungkin akibat adanya perubahan
kadar hormon yang terjadi karena proses penuaan. Gejala dan tanda-tanda dari BPH
yaitu sering buang air kecil, tergesa-gesa untuk buang air kecil, buang air kecil
malam hari lebih dari satu kali, sulit menahan buang air kecil, pancaran melemah,
akhir buang air kecil belum terasa kosong, menunggu lama pada permulaan buang
air kecil, harus mengedan saat buang air kecil, buang air kecil terputus-putus, dan
waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi
inkontinen karena overflow. Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting,
medikamentosa, terapi bedah konvensional, terapi minimal invasif, dan
farmakoterapi. Prognosis BPH tidak dapat diprediksi, tetapi dapat dikatakan buruk
jika tidak segera ditangani karena dapat berkembang menjadi kanker prostate yang
bersifat mematikan. Upaya pencegahan BPH adalah dengan menjalankan pola
hidup sehat. Di antaranya mengonsumsi buah-buahan yang kaya akan antioksidan
seperti tomat, alpokat, kacang-kacangan, dan mengkonsumsi makanan kesehatan
untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat gizi esensial, vitamin dan mineral.

B. Saran
Agar terhindar dari penyakit BPH sebaiknya pria yang sudah lanjut usia harus bisa
menjaga diri supaya bisa menhindar dan mecegah adanya penyakit BPH. Jika ada
tanda-tanda seperti : sering buang air kecil, tergesa-gesa untuk buang air kecil,
buang air kecil malam hari lebih dari satu kali, sulit menahan buang air kecil,
pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong, menunggu lama
pada permulaan buang air kecil, harus mengedan saat buang air kecil, buang air
kecil terputus-putus, dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi
retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow segeralah periksakan kedokter
untuk peninjauan lebih lanjut agar penyakitnya tidak semakin parah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Arthur C. Guyton, dkk. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC.
Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta : EGC (diinternet Pdf, selasa 15:30)
Evelyn J. Phiel, dkk. 2006. Sistem Reproduksi Pria. (Perpustakaan.)

Anda mungkin juga menyukai