Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

DOSEN PENGAMPU :
Ns. Wasisto Utomo, S.Kep., M.Kep

OLEH KELOMPOK 1 :
CICA KRISTINA
DINI HARYATI ULFA
DINY REFIANI
DWI APRI KURNIAWAN
EFPRITA MEIGA DIAHSARI
ELSA AULIA RIZAL
FATHMI KHAIRA
FEBY FITRI DARMADI
GUSMELDAWATI
B 2019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah pleno yang
berjudul Asuhan Keperawatan BPH ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas seminar pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Konsep BPH.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Wasisto Utomo, selaku
dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 26 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi....................................................................................................3
B. Klasisfikasi...............................................................................................4
C. Patofisiologi.............................................................................................4
D. Faktor Resiko...........................................................................................7
E. Manifestasi Klinis....................................................................................7
F. Penatalaksanaan ......................................................................................9
G. Pengkajian................................................................................................13
H. Diagnosa Keperawatan ...........................................................................14
I. Intervensi Keperawatan...........................................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................20
B. Saran........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan
jaringan selular kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan
endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Prostat adalah kelenjar yang
berlapis kapsula dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses
penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009). Benigna Prostat Hipertropi adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria
(Nursalam dan Fransisca, 2006). Pembesaran kelenjar prostat mempunyai
angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya
merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia
prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50
tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79
tahun mengalami hiperplasia prostat. Adanya hiperplasia ini akan
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi
obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang
paling berat yaitu operasi (Smeltzer, 2000). Dengan teknologi dan kemajuan
ilmu yang semakin canggih dalam kehidupan ini banyak membawa dampak
negatif pada kehidupan masyarakat terhadap peningkatan kualitas hidup,
status kesehatan, umur dan harapan hidup. Dengan kondisi tersebut merubah
kondisi status penyakit infeksi yang dulu menjadi urutan pertama kini
bergeser pada penyakit degeneratif yang menjadi urutan pertama.
Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran
prostat benigna. Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun
dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan Fransisca,
2006). Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat

1
mampu memahami dengan baik mengenai Benigna Prostat Hiperplasia serta
mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien Benigna
Prostat Hiperplasia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep umum dari Benigna Prostat Hiperplasia?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari Benigna Prostat Hiperplasia?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai
Benigna Prostat Hiperplasia dan bagaimana cara memberikan
penatalaksaan, serta mahasiswa diharapkan mamp memahami dan
menerapkan asuhan keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia
secara komprehensif.
2. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu Benigna Prostat Hiperplasia gagal ginjal kronik
2) Menjelaskan Klasifikasi Benigna Prostat Hiperplasia
3) Menjelaskan patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia
4) Menjelaskan faktor resiko Benigna Prostat Hiperplasia
5) Menjelaskan manifestasi klinis Benigna Prostat Hiperplasia
6) Menjelaskan penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia
7) Menjelaskan pengkajian Benigna Prostat Hiperplasia
8) Menjelaskan diagnose keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia
9) Menjelaskan intervensi keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat
biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada seorang pria, membesarnya
prostat menyebabkan fungsi leher buli dan uretra pars prostatika menjadi
terganggu, menimbulkan obstruksi saluran keluar buli (Iskandar, 2009). Benigna
prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan
penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan
menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin.( Aulawi,
2014). Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter)
dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika
yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau
lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat
mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar
ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

3
B. Klasifikasi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score
(PSS). Derajat ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat skor 20−35
(Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan
gambaran klinis penyakit BPH. Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Derajat penyakit BPH (Sumber: Sjamsuhidajat dkk, 2012).


Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas <50 mL
mudah diraba
II Penonjolan prostat jelas, batas 50−100 mL
atas dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat >100 mL
diraba
IV - Retensi urin total

C. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

4
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin.
Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes,
kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien
mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga
menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri
saat berkemih atau disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk
akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

Pathway

5
6
D. Faktor resiko
Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran prostat
telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang menganalisis data dari
kelompok plasebo dalam Prostate Cancer Prevention Trial (PCPT), yang
terdaftar 18.880 pria berusia lebih dari 50 tahun, tingginya konsumsi daging
merah dan diet tinggi lemak dapatmeningkatkan risiko BPH, dan tingginya
konsumsi sayuran dikaitkan dengan penurunan risiko BPH. Lycopene dan
suplemen dengan vitamin D bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi
vitamin C, vitamin E, dan selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan
BPH. Aktivitas fisik juga terbukti mengurangi kemungkinan pembesaran prostat
dan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Dalam meta-analisis yang terdaftar
43.083 pasien laki-laki, intensitas latihan itu terkait dengan pengurangan risiko
pembesaran prostat. Sebuah korelasi negatif antara asupan alkohol dan
pembesaran prostat telah ditunjukkan dalam banyak studi penelitian (Yoo & Cho,
2012).
Pria yang mengkonsumsi alkohol secara sedang memiliki risiko 30% lebih
kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinan untuk
mengalami transurethral resection prostate, dan 20% lebih kecil kemungkinan
mengalami gejala nokturia. Namun, dalam meta-analisis dari 19 studi terakhir,
menggabungkan 120.091 pasien, pria yang mengkonsumsi 35 gram atau lebih
alkohol per hari dapat menurunkan risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan
risiko LUTS dibandingkan dengan pria yang tidak mengkonsumsi alkohol (Yoo
& Cho, 2012).

E. Manifestasi klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari
BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih
bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

7
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan
tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati
membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi
dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
Tanda gejala yang muncul pada pasien penderita Benigna Prostat
Hiperplasia menurut (Aulawi, 2014) adalah :
1. Kesulitan mengawali aliran urine karena tekanan pada uretra dan leher
kandung kemih
2. Frekuensi perkemihan, sering kencing arean tekanan pada kandung kemih.
3. Urgensi perkemihan, perlu segera kekamar mandi karena tekanan pada
kandung kemih
4. Nocturia adalah sering bangun malam hari untuk kencing karena tekanan
pada kandung kemih
5. Turunya kekuatan aliran air kemih
6. Aliran urine keluar yang tidak lancar

8
7. Hematuria adalah kondisi dimana urine keluar bercampur darah.

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non Medis
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal
ginjal, mengurangi volume residu urine setelah miksi dan mecegah progretifitas
penyakit.
a) Watchfull waiting
Terapi ini ditujukan pada pasien dengan keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas sehari hari. Pasien tidak diberi terapi apapun tetapi
hanya dijelaskan mengenai keluhan yang dapat memperburuk keluhanya
misalnya , jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan,
mengurangi pengguanaan obat obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, kurangi makan pedas dan asin, jangan menahan kencing
terlalu lama.
2. Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi medikametosa adalah berusaha untuk: mengurangi resistensi
otot polos postat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika
dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa ( adrenergic alfa blocker ),
mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone atau dihidrotestosteron ( DHT )
melalui penghambat 5α reduktase.
1) Penghambat reseptor adrenergic-α seperti:
a. Fenoksibenzamin : mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi.
b. Prazosin, terazosin, afluzosin dan doksazosin yang diberikan 2x sehari
yang dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine.
c. Tamsulosin : mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa
menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.

9
2) Penghambat 5α-reduktase
Finasteride 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu
menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki
keluuhan miksi dan pancaran miksi.
3) Fitoterapi
Jenis fitoterapi : Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi,
Radix urtica, dll fungsi fitoterapi sendiri adalah anti esterogen, anti
androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin ( SHBG ),
inhibisi basic fibroblast growth factor ( BFGF ) , efek anti inflamasi,
menurunkan outflow resistancedan memperkecil volume prostat.
4) Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang, mengalami tidak
menunjukkkan perbaikan setelah terapi medikametosa, mengalami retensi
urine, mengalami infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal,
timbulnya baru saluran kemih atau penyakit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah. Pembedahan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Operasi prostatektomi terbuka
Dilakukan pada daerah suprapubik transvesika atau retropubik
infravesikal. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat
besar ( >100 gram ). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi
terbuka adalah inkontinensia urine (3 %), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Perbaikan
gejala klinis sebanyak 85-100% dengan angka mortalitas sebanyak 2%.
b. TURP ( Transurethral Resection of the Prostate )
Dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan ( pembilas )
agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.
Cairan yang digunakan berupa laturan non ionic, yang dimaksudkan agar
tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai
yaitu H2O ( aquades ). Kerugian aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui vena yang

10
terbuka saat reseksi. Kelebihan aquades dapat menyebabkan hiponatremia
relative atau gejala intoksikasi air atau sindroma TURP. Sindrom ini
ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan
darah meningkat, dan bradikardi. Jika tidak segera diatasi pasien akan
mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal.
Angka mortalitas sindroma TURP sebesar 0,99 %. Untuk mengurangi
resiko timbulnya sindroma TURP tindakan reseksi tidak boleh dilakukan
lebih dari 1 jam dan untuk mengurangi penyerapan air ke sirkulasi
sistemik dapat dipasang sistostomi suprapubik dahulu sebelum reseksi.
c. Elektrovaporisasi Prostat
Cara ini adalah sama dengan TURP, namun cara ini memakai teknik roller
ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga
mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini hanya
diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram), tidak
banyak menimbulkan perdarahan saat operasi dan masa mondok di rumah
sakit lebih singkat namun membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
d. TUIP (Transuretheral incision of the prostate) dan BNI ( Bledder Neck
Incision )
Dilakukan pada hyperplasia prostat yang tidak terlalu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya lebih muda.
Sebelum melakukan tindakan ini harus disingkirkan kemungkinan adanya
karsinoma prostate dengan melakukan colok dubur, melakukan
pemeriksaan ultrasonografi transrektal dan pengukuran kadar PSA.
e. Laser Prostatektomi
Bila dibandingkan dengan tindakan operasi , pemakaian laser ternyata
lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dilakukan secara poliklinis,
penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.
4. Tindakan Invasif Minimal
a. Termoterapi

11
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro
pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang
diletakkan didalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44ᵒC
menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena
nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan secara poliklinis tanpa
pemberian pembiusan. Energy panas yang bersamaan dengan gelombang
mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar
dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat
melunakan jaringan prostat yang membuntu uretra. Mordibitasnya relative
rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien
yang kondisinya kurang baik jika mengalami pembedahan. Cara ini
direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.
b. TUNA (Transurethral needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 100ᵒC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator
yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter
dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi
topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak
pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria.
c. Pemasangan Stent (prostacath)
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pemebsaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher
buli-buli dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat
leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara
temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan
terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan
jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent
yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel,
atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh

12
urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan
anestesi umum atau regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan
yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra
posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan
kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif,
perdarahan uretra, atau rasa tidak enak didaerah penis.
d. HIFU (High intensity focused ultrasound)
Energy panas yang ditimbulkan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat
berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang
mempunyai frekuensi 0,5-10 Mhz. energi dipancarkan melalui alat yang
diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini
memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan
gejala klinis 50-60% dan Q maksimal rata-rata meningkat 40-50%. Efek
lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa
kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun. Meskipun sudah
banyak modalitas yang telah diketemukan untuk mengobati pembesaran
prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan
adalah TUR prostat.
(B Purnomo Basuki, 2008)

G. Pengkajian
Kaji berapa lama keluhan hesistansi (mengejan untuk memulai urine),
keluhan intermitensi (miksi berhenti kemudian memancar lagi), pancaran
miksi melemah, keluhan miksi tidak puas, keluhan miksi menetes, keluhan
peningkatan frekuensi miksi, keluhan miksi sering pada malam hari, keluhan
sangat ingin miksi dan keluhan rasa sakit sewaktu miksi mulai dirasakan .
Kaji pengaruh gangguan miksi pada respon psikologis dan perencanaan
pembedahan. Pada pengkajian sering didapatkan adanya kecemasan,

13
gangguan komsep diri (gambaran diri) yang merupakan respon dari adanya
penyakit dan rencana untuk dilakukan pembedahan.
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan TTV dilakukan terutama pada klien praoperatif. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan, pada retensi urine akut, dehidrasi sampai
syok pada retensi urine, serta urosepsis sampai syok septik. Pada pemeriksaan
pengaruh penyempitan lumen uretra memberikan manifestasi pada tanda-
tanda obstrusksi dan iritasi saluran kemih. Penis dan uretra juga diperiksa
untuk mendeteksi kemungkinan stenosis meatus, striktur uretra , batu uretra,
karsinoma, maupun fimosis. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan Teknik
bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis. Rectal
touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menetukan konsistensi
system persarafan unit vesikp uretra dan besarnya prostat (Muttaqin & Sari,
2011).
Pengkajian Diagnostik:
1. Urinalisis untuk melihat adanya infeksi pada saluran kemih
2. Fungsi ginjal untuk menilai adanya gangguan fungsi ginjal
3. Pemeriksaan uroflowmetri
4. Foto polos abdomen, untuk menilai adanya batu saluran kemih
5. PIV, untuk melihat adanya komplikasi pada ureter dan ginjal, seperti
hydroureter, hidronefrosis.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan (insisi operasi), pemasangan
kateter, spasme kandung kemih
2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan prosedur pembedahan dan
pemasangan kateter urine
3. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, imobilitas, dan
pemasangan kateter urine.
4. Cemas berhubungan dengan inkontinensia urine, disfungsi seksual

14
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, perawatan, rehabilitasi, pencegahan
kekambuhan, tanda dan gejala, komplikasi berhubungan dengan kurang
informasi

J. Intervensi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan untuk mengatasi pasien dengan BPH (Benign
Prostatic Hypertrophy) adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan (insisi operasi),
pemasangan kateter, spasme kandung kemih.
Tujuan :Nyeri berkurang (1-3 hari).
Kriteria hasil :Keluhan nyeri berkurang, skala
nyeri 0-1. Intervensi :
a. Kaji pengalaman nyeri klien, tentukan tingkat nyeri yang
dialami.
b. Pantau keluhan nyeri klien dan kaji penyebab nyeri (insisi
operasi, spasme kandung kemih, obstruksi).
c. Observasi tanda vital sesuai data fokus.
d. Pantau adanya perdarahan, keadaan selang drainase.
e. Lakukan irigasi dan monitor cairan yang dimasukkan dan yang
keluar.
f. Beri kesempatan untuk istirahat (terutama bila nyeri),
lingkungan yang tenang nyaman, minimalisasi stressor.

g. Kolaborasi dengan dokter untuk terapi analgetik


dan kaji efektivitasnya.

2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan prosedur


pembedahan dan pemasangan kateter urine.
Tujuan : Individu menjadi kontinen
Kriteria hasil : Menunjukkan kontinensia urine, eliminasi
urine tidak terganggu berkemih lebih dari 1500

15
cc setiap kali.
Intervensi :
a. Atur kepatenan lokasi kateter uretra sesudah pembedahan
dengan cara:
1. Monitor penutup aliran irigasi three-way dan system
drainase jika digunakan.
2. Lakukan irigasi manual 50 ml cairan irigasi dengan
menggunakan teknik aseptic.
3. Berikan antikolinergik sesuai anjuran untuk mengurangi
spasme kandung kemih.
b. Kaji tingkat perdarahan dan kandungan ; drainase harus
berwarna merah muda terang selama 24 jam dengan cara :
1. Laporkan adanya perdarahan berwarna terang, dengan
meningkatnya viskositas (arteri), mungkin dibutuhkan
tindakan pembedahan.
2. Laporkan setiap peningkatan perdarahan yang gelap (vena),
mungkin dibutuhkan traksi kateter sehingga letak balon
menekan fosa prostatika.
3. Siapkan transfuse untuk mengantisipasi terjadi perdarahan.
c. Berikan cairan infuse sesuai anjuran dan berikan cairan oral
jika dapat ditoleransi untuk hidrasi dan pengeluaran urine.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, imobilitas,


dan pemasangan kateter urine.

Tujuan : Terbebas dari tanda dan gejala infeksi


Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi (kemerahan,
panas, nyeri) suhu pasien normal (36-37º C).
Intervensi :
a. Atur bedrest selama 24 jam dengan monitoring tanda vital,
asupan dan keluaran secara teratur, dan observasi balutan insisi

16
jika ada.
b. Sesudah 24 jam, lakukan ambulasi untuk mencegah thrombosis,
emboli pulmonal, dan pneumonia hipostatik.
c. Observasi warna urine (gelap), bau, dan evaluasi adanya infeksi.
d. Berikan resep sesuai dengan resep dokter.
e. Laporkan setiap nyeri yang hebat, pembengkakan, dan
ketegangan yang menandakan adanya epididimis dari
penyebaran infeksi.

4. Cemas berhubungan dengan inkontinensia urine, disfungsi seksual


Tujuan : Tidak terjadi disfungsi seksual pada
pasien. Kriteria hasil : Pasien mengatakan
pemahaman individu. Intervensi :
a. Jelaskan keadaan yang sebenarnya tentang ketidaknyamanan
pasca bedah dengan cara :
1) Beritahu pasien untuk menghindari berhubungan badan,
mengatur BAB, tidak mengangkat barang berat, tidak
duduk terlalu lama selama 6-8 minggu sesudah
pembedahan, sampai terjadi penyembuhan fosa prostatic.
2) Nasihatkan control sesudah pengobatan, sebab striktur
uretra dapat terjadi dan pertumbuhan kembali prostat
sesudah TURP.
b. Pastikan pasien bahwa inkontinensia urinaria, frekuensi
berkemih, mendadak berkemih, dan disuria dapat terjadi
sesudah kateter dilepas dengan cara :

1) Jika pasien kembali ke rumah dengan kateter, kateter akan


dilepas sekitar tiga minggu ketika sistrogram menunjukkan
kesembuhan.
2) Diskusikan pemakaian produk absorben untuk menampung
urine.

17
c. Ajarkan ukuran untuk mengontrol urinaria :
1) Anjurkan pasien berimajinasi mengenai adanya telur
didalam rektum, serta lemaskan dan kencangkan otot untuk
memecahkannya dengan posisi menahan, kemudian
relaksasi. Pemakaian otot abdominal akan meningkatkan
inkontinensia.
2) Beritahu pasien agar berhenti mengeluarkan kencing sambil
menahan selama beberapa detik. Praktikkan 10-20 kali
sejam sambil menahan.
d. Beritahukan resiko penting sesuai ajuran ahli bedah. Ingatkan
pasien bahwa fungsi ereksi mungkin tidak kembali selama
enam bulan.
e. Bantu pasien untuk mengungkapkan ketakutan dan kecemasan
berhubungan dengan potensial kehilangan fungsi seksual dan
diskusikan dengan pasangan.

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, perawatan, rehabilitasi,


pencegahan kekambuhan, tanda dan gejala, komplikasi
berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : Klien tahu dan mengerti tentang informasi yang
diberikan (1-2 hari)
Kriteria hasil :
a. Klien dapat menyebutkan apa yang sudah dijelaskan.
b. Klien mematuhi aturan pengobatan dan perawatan.
c. Klien dapat melakukan latihan yangdiajarkan.

Intervensi :
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga.
b. Identifikasi faktor penyebab atau penunjang yang dapat
menghalangi penatalaksanaan efektif.

18
c. Beri dan fasilitas kebutuhan informasi yang cukup.
d. Beri kesempatan bertanya dan libatkan dalam perawatan.
e. Jelaskan atau ajarkan tentang : kondisi, pengobatan, parawatan,
rehabilitasi, pencegahan kekambuhan, tanda dan gejala,
komplikasi, bila perlu fasilitasi pertemuan dengan medis.
f. Beri penyuluhan :
1) Latihan perineal sampai control urine tercapai.
2) Berkemih secepatnya bila merasa ingin BAK.
3) Hindari valsava manufer (mengejan, mengangkat beban
berat, naik motor jarak jauh) selama 6-8 minggu.
4) Diinformasikan bahwa makanan pedas, alkohol, kopi
menyebabkan ketidak nyamanan.
5) Harus cukup minum minimal 10 gelas perhari untuk
menghindari dehidrasi.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat
biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada seorang pria, membesarnya
prostat menyebabkan fungsi leher buli dan uretra pars prostatika menjadi
terganggu, menimbulkan obstruksi saluran keluar buli. Penyebab BPH tidak
diketahui, tetapi mungkin akibat adanya perubahan kadar hormon yang terjadi
karena proses penuaan. Kesulitan mengawali aliran urine frekuensi perkemihan,
sering kencing, nocturia, turunya kekuatan aliran air kemih, aliran urine keluar
yang tidak lancer dan hematuria. Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting,
medikamentosa, terapi bedah konvensional, terapi minimal invasif, dan
farmakoterapi.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan
terutama mengenai tata bahasa dan juga referensi. Maka penulis berharap apabila
terdapat kesalahan mohon dimaklumi dan dimaafkan karena keterbatasan
penulis. Juga kritik ataupun saran, sangat diharapkan agar dikemudian hari dapat
menghasilkan makalah maupun karya tulis yang lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Basuki B. Prunomo. (2011). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI,


Katalog Dalam Terbitan (KTO) Jakarta.
Brunner dan Suddarth, Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk).
Jakarta : EGC.
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan keperawatan gangguan sistem
perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Purnomo B. (2012). Dasar-dasar urologi. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Price, Sylvia Anderson, and Wilson, Lorraine Mc Carty, (2005). Patofisiologi


Smeltzer, S dan Bare, B. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy
Editor: Adinda Candralela. EGC : Jakarta
Yoo TK, Cho HJ. (2012). Benign prostatic hyperplasia: from bench to clinic.
Korean Jurnal of Urology. 53(3): 139−148.

21

Anda mungkin juga menyukai