OLEH : KELOMPOK 2
DOSEN PEMBIMBING:
Ns.Yosi Suryarinilsih,M.Kep.,Sp.Kep.MB
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Konsep Penyakit Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Benign Prostate
Hyperplasia (Bph)” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah II.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibuk
Ns.Yosi Suryarinilsih,M.Kep.,Sp.Kep.MB,Sebagai Dosen Pembina mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
KELOMPOK 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................1
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
sebesar 1,37% (530 orang). (Profil Kesehatan Jawa Barat 2003) dalam
(Septian, 2005).
2
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018
memperkirakan sekitar 59 pria dari 100.000 penduduk menderita BPH atau
sekitar 70 juta diseluruh dunia. Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan secara umum, diperkirakan hampir
50% pria di Indonesia yang berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita
BPH atau diperkirakan sebanyak 2,5 juta orang. Angka kejadian BPH di
Provinsi Bali berdasarkan data profil kesehatan Provinsi Bali tahun 2018
sebanyak 4.122 orang dimana penderita BPH tertinggi ada di Kabupaten
Gianyar yaitu sebesar 794 kasus. Angka kejadian BPH di RSUD Sanjiwani
Gianyar Tahun 2018 sebanyak 605 kasus sedangkan pada periode Januari
sampai April 2019 mencapai 49 kasus.(Sumberjaya & Mertha, 2020).
3
Hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan untuk memperkaya
ilmu pengetahuan tentang konsep penyakit Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) serta asuhan keperawatannya.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
c. Bagi masyarakat
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Anatomi
1) Anatomi saluran kemih
a. Ginjal
5
Ginjal terletak dibelakang dari cavum abdominalis
(rongga perut) di belakang peritonium pada kedua sisi vertebrata
lumbalis III, dan melekat langsung pada dinding abdomen/perut.
Ginjal berbentuk seperti kacang merah (kara/ercis). Sisi
dalamnya atau hilum menghadap ke tulang punggung sedangkan
sisi luarnya berbentuk cembung. Jumlah ginjal ada dua yaitu
ginjal kanan dan ginjal kiri. Ukuran ginjal sebelah kiri lebih
besar dibanding dengan ginjal sebelah kanan. Ginjal memiliki
ukuran panjang ± 0-12 cm dan lebar ± 6-8 cm dan tebal 2,5 cm
dengan ukuran berat sekitar 200 gram.
1) Piramida ginjal
2) Arteri interlobuler
3) Arteri renalis
4) Vena ginjal
5) Ginjal hilus
6) Pelvis ginjal
7) Ureter
8) Tambuk kecil
9) Kapsula ginjal
10) Kapsula ginjal inferior
11) Kapsula ginjal superior
12) Vena interlobular
13) Nefron
14) Kaliks minor
15) Tambuk mayor
16) Papilla ginjal
6
Batas bagian atas ginjal kanan adalah organ hati,
sedangkan batas atas ginjal kiri adalah organ limpa. Makna
batas ginjal ini, saat kita menarik nafas maka ginjal akan
bergerak ke bawah. Pada umumnya ginjal laki-laki lebih
panjang dibanding dengan ginjal perempuan.
b. Ureter
7
Ureter adalah saluran muskuler berbentuk silinder yang
mengantarkan urine dari ginjal menuju kandung kemih (buli-
buli/vesica urinaria). Dalam tubuh manusia terdapat dua ureter.
Panjang ureter pada orang dewasa ± 25-30 cm dengan luas
penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian terletak pada rongga pelvis.
b) Tunika muskularis
8
Kandung kemih adalah organ yang mengumpulkan urine
yang diekskresikan organ ginjal melalui ureter sebelum dibuang
ke luar tubuh melalui uretra. Kandung kemih merupakan
kantong berongga yang terpenuhi otot-otot dan dapat
digelembungkan (elastis). Kandung kemih ini secara anatomi
berada di belakang simfisis pubis. Dipersilahkan saudara
melihat gambar sistem urinaria di atas. Bagian kandung kemih
terdiri dari 3 bagian yaitu :
9
Uretra adalah saluran yang berjalan dari leher kandung
kemih ke lubang luar, dilapisi membran mukosa yang
bersambung dengan membran yang melapisi kandung kemih.
Pada laki-laki uretra berjalan berkelok-kelok melalui tengah-
tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang
menembus tulang pubis ke bagian penis yang panjangnya sekitar
20 cm. Uretra laki-laki terdiri dari : uretra prosaria, uretra
membranosa, dan uretra kavernosa.
2) Anatomi BPH
10
Kelenjar prostat yang terbagi atas beberapa zona, antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, dan zona
periuretra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona
transisional (Reynard J., 2006).
11
spermine dan kolesterol. Dua puluh lima persen cairan seminal
merupakan cairan alkalis yang diproduksi oleh prostat sehingga
sperma menjadi motil dan dapat bertahan hidup pada kondisi vagina
yang asam.
12
dibagi menjadi beberapa region, meliputi : regio perifer, regio
sentral, transisional, fibromuskular anterior, dan periuretra. Sebagian
besar BPH ditemukan pada zona transisional, sedangkan untuk
karsinoma prostat biasa ditemukan pada zona perifer. (Partin et al.,
2020).
13
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
14
Gejala awal BPH termasuk kesulitan dalam mulai buang air kecil
dan perasaan buang air kecil yang tidak lengkap. Saat kelenjar prostat
tumbuh lebih besar, ia menekan uretra dan mempersempitnya. Ini
menghalangi aliran urin. Kandung kemih mulai mendorong lebih keras
untuk mengeluarkan air seni, yang menyebabkan otot kandung kemih
menjadi lebih besar dan lebih sensitif. Ini membuat kandung kemih tidak
pernah benar-benar kosong, dan menyebabkan perasaan perlu sering
buang air kecil. Gejala lain termasuk aliran urin yang lemah.(Amadea,
Riselena Alysaa, Alfreth, dan Wahyuni, 2019).
4. Etiologi
1) Dihydrotestosteron
2) Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
3) Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
4) Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
5) Interaksi stroma - epitel
6) Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasi stroma dan epitel.
7) Berkurangnya sel yang mati
8) Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
9) Teori sel stem
10) Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit .
15
Menurut (Harun, 2019) menyatakaan Etiologi molekuler BPH
secara pasti masih belum jelas. Benign prostatic hyperplasia secara
histologis ditandai dengan peningkatan jumlah sel epitelial dan stroma
pada daerah periuretral. Peningkatan jumlah sel mungkin disebabkan oleh
proliferasi sel epitelial dan stroma atau terganggunya program kematian
sel. Jumlah sel dan volume pada suatu organ bergantung pada
keseimbangan proliferasi sel dan kematian sel. Peran androgen dan GF
pada BPH masih dipertanyakan meskipun keduanya menstimulasi
proliferasi sel pada model. Androgen, estrogen, interaksi stroma epitelial,
faktor pertumbuhan (GF) dan neurotransmitter kemungkinan memiliki
peranan pada BPH baik secara terpisah maupun kombinasi.
16
gejala klinis. Retensi urine dapat menyebabkan pembentukan batu
kalkulus atau sistitis.
17
“WOC BPH”
17 1
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan fisik
2) Urinalisa
1
18
pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih
bagian atas.
5) Pemeriksaan kreatinin
7) Uroflowmetri
19 2
Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif.
Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.
8) Pemeriksaan urodinamik
9) Sistouretroskopi
3
12) Biopsi prostat
4
Watchful waiting adalah strategi manajemen yang lebih
disukai untuk pasien dengan gejala ringan. Ini juga merupakan
pilihan yang tepat untuk pria dengan gejala sedang sampai berat
yang belum mengalami komplikasi dari LUTS dan BOO
(misalnya, insufisiensi
21 ginjal, retensi urin atau infeksi berulang).
Watchful waiting adalah strategi manajemen di mana pasien
dipantau oleh dokter, namun saat ini tidak menerima intervensi
aktif untuk BPH.
c.Alpha-Blockers
d. Terapi Intervensi
5
a) Transurethral Needle Ablation (TUNA)
6
e) Transurethral incision of the prostate (TUIP)
7
2) Peran perawat dalam treatment pasien
a. Pemberi asuhan,yakni memebrikan pelayanan keperawatan pada
pasien yang membutuhkan sesuai dengan prinsip dan etika
perawat seperti memberikan pelayanan dalam mengatasi
maslaah BPH seperti tindakan
24 bedah.
b. Memberikan informasi dengan tepat dan sesuai agar tidak
menimbulkan kebingungan bagi pasien.
c. Pemimpin komunikasi,dalam menangani pasien dengan keluhan
tertentu terkadang seorang perawat harus menjadi pemimpin
komunikasi agar informasi yang di sampaikan jelas dan tidak
terjadi kekeliruan saat dilakukan treatment dalam mengatasi
BPH
d. Pendidik,perawat diharapkan mampu mengubah gaya hidup
pasien atau keluargannya menjadi lebih sehat,agar gangguan
kesehatan seperti BPH lagi.
e. Pembela, perawat berperan dalam menjembatani antara pasien
dengan dokter maupun tenaga kesehatan
lainnya ,menyampaikan pendapat tentang perawatan yang
diberikan seperti hal nya dalam tindakan operasi dan tindakan
sitotomi perawat disini berperan dalam menyampaikan keluhan-
keluhan yang di rasakan pasca tindakan.
f. Sebagai pemberi bimbingan/konseling pasien,perawat berperan
dalam memberikan bimbingan kepada pasien,keluarga tentang
8
treatment yang di jalani serta dampak atau efek yang akan di
rasakan oleh pasien. Peran perawat sebagai conselor yaitu
sebagai tempat konsultasi dari masalah yang dialami BPH
dengan mengadakan perencanaan terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan.
g. Peran perawat sebagai care provider yaitu memberikan
pelayanan keperawatan kepada individu yang difokuskan pada
penanganan nyeri.
h. Peran perawat sebagai clien advocate, perawat juga berperan
sebagai pelindung klien, yaitu membantu untuk
mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan
mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya komplikasi dari
BPH dan melindungi klien khususnya anak dari efek
hospitalisasi yang
25 berasal dari pengobatan atau tindakan
diagnostik tertetu.
i. Peran perawat sebagai educator yaitu memberikan penyuluhan
kesehatan BPH serta penanganan nyeri pasca trauma dan
pencegahan komplikasi.
j. Peran perawat sebagai koordinator yaitu peran ini dilaksanakan
dengan mengarahkan merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien BPH.
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS DIARE
1. Pengkajian
1) Anamnesa
a. Identitas klien: nama lengkap,jenis kelamin,tanggal
lahir,umur ,nama orang tua. identitas digunakan untuk
9
mengetahui klien yg mengalami BPH yang sering dialami oleh
laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy clevo, 2012)
b. Keluhan utama pasien
10
Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit yang
lain.
Apakah terdapat mual dan muntah.
Apakah tedapat edema.
Bagaimana keadaan urinenya (volume, warna, bau,
berat jenis, jumlah urine dalam 24 jam).
Adakah sekret atau darah yang keluar.
Adakah hambatan seksual.
Apakah ada rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya
nyeri)
d. Riwayat kesehaatn dahulu
f. riwayat nutrisi
11
d) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan
tekanan darah (Prabowo,2014)
3) Pemeriksaan fisik(head to toe)
a. Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak) (aziz
Alimul, 2009).
b. Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan
bau mulut, warna bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau
kotor). Lihat jumlah gigi, adanya karies gigi atau tidak (Aziz
Alimul, 2009).
c. Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa
pada kalenjar tiroid, kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga
kemampuan menelan klien, adanya peningkatan vena jugularis
(Aziz Alimul, 2009)
d. Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas,
apakah ada suara nafas tambahan (Aziz Alimul, 2009)
e. Abdomen
28
Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi:
a) Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi
pada 9 regio abdomen untuk mengetahui ada tidaknya
residual urine
b) Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi
urin dan sering dilakukan teknik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis.
f. Genetalia
a) Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley
kateter dan biasanya terjadi hematuria setelah tindakan
pembedahan, sehingga terdapat bekuan darah pada kateter.
Dan dilakukan tindakan spolling dengan Ns 0,9% / PZ, ini
tergantung dari warna urine yang keluar. Bila urine sudah
jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di lepas
( Jitowiyono, dkk. 2010)
12
b) Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak
ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit
penyerta seperti stenosis meatus, striktur uretralis,
urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis (Prabowo,
2014).
g. Ekstermitas
4) Data psikologis
a. Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit.
b. Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit.
c. Persepsi pasien terhadap penyakit.
5) Data social,budaya,spiritual
29
Hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan
keaktifannya, kegiatan dan kebutuhan sehari-hari :
13
8) Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboraterium
b. Pemeriksaan penunjang
c. Treatment pasien
2. Diagnosis keperawatan
1) Gangguan eliminasi urin b.d ketidak mampuan mengakses toilet d.d
urgensi,dribbling
2) Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri
3) Risiko infeksi d.d efek prosedur invasif
4) Konstipasi b.d ketidakcukupan asupan serat d.d feses keras
3. Intervensi keperawatan
30 Perencanaan
Diagnosa
No
Keperawatan Tujuan Intervensi
( SLKI) ( SIKI )
1 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan perawatan diri:
eliminasi urin b.d intervensi BAB/BAK
ketidak keperawatan OBSERVASI
mampuan selama 2x 24 jam Mengidentifikasi kebiasaan
mengakses toilet maka gangguan BAK/BAB sesuai usia
d.d eliminasi b.d Memonitor integritas kulit
urgensi,dribbling ketidak mampuan pasien
mengakses toilet TARAPEUTIK
membaik dengan Mendukung penggunaan
kriteria hasil. toilet/commode/pispot/urinal
(L.04034) secara konsisten
Menjaga eliminasi selama
Sensasi eliminasi
berkemih Mengganti pakaian pasien
meningkat selama eliminasi,jika perlu
Desakan Latih BAK/BAB sesuai
berkemih jadwal,jika perlu
menurun
Menyediakan alat bantu
Berkemih EDUKASI
14
tidak tuntas Menganjurkan BAK/BAB
menurun secara rutin
Volume Menganjurkan ke kamar
residu urin mandi/toilet,jika perlu
menurun
Urin menetes
menurun
Nokturia
menurun
Mengompol
menurun
Enuresis
menurun
2 Disuria
menurun
Nyeri akut b.d Frukensi
agen pencedera BAK
fisiologis d.d membaik
mengeluh nyeri
Manajement nyeri
OBSERVASI:
Setelah dilakukan Mengidentifikasi
intervensi lokasi,karakteristik ,intensit
keperawatan as nyeri
selama 1x 24 jam Mengidentifikasi skala nyeri
maka nyeri aut Mengidentifikasi factor
menurun ,dengan yang memperberat dan
kriteria hasil memperingan nyeri
(L.08066) Mengidentifikasi pengaruh
Keluhan nyeri nyeri pada kualitas hidup
menurun Memonitor keberhasilan
Meringis terapi komplementer yang
menurun sudah diberikan
Gelisah TARAPEUTIK:
menurun Memberikan teknik
Kesulitan nonfarmakologis untuk
tidur menurun mengurangi rasa nyeri
Berfokus Mengontrol lingkungan
pada diri yang memperberat rasa
sendiri nyeri
menurun Memfasilitasi istirahat dan
Diaphoresis tidur
menurun
Perasaan EDUKASI:
takut Menjelaskan strategi
mengalami meredakan nyeri
15
cedera Menganjurkan
berulang menggunakan analgetik
menurun secara tepat
Frukensi nadi Mengajarkan teknik
membaik nonfarmakologis untuk
Pola napas mengurangi rasa nyeri
3 membaik KOLABORASI
Focus Mengolaborasikan
Risiko infeksi membaik pemberian analgetik,jika
d.d efek prosedur Proses perlu
invasif berpikir
membaik
Fungsi
berkemih
membaik
Nafsu makan
membaik
Pola tidur Pencegahan infeksi
membaik OBSERVASI
Memonitor tanda dan gejala
Setelah dilakukan
infeksi local dan sitemik
intervensi selama
TARAPEUTIK
1x24 jam maka 32 Memberikan perawatan kulit
risiko infeksi d.d
pada area edema
efek prosedur
invasive menurun Mencuci tangan sebelum dan
Dengan kriteria sesudah kontak dengan pasien
hasil: dan linngkungan pasien
(L.14137) Mempertahankan teknik
Kebersihan aseptic pada pasien beresiko
tangan tinggi
meningkat EDUKASI
Nafsu makan Menjelaskan tanda dan gejala
meningkat infeksi
Nyeri Mengajarkan cara mencuci
menurun tangan dengan benar
Cairan berbau Mengajarkan cara memeriksa
busuk kondisi luka atau luka
menurun operasi
Gangguan Menganjurkan meningkatkan
kognitif asupan cairan
4 menurun
Kadar sel
Konstipasi b.d
darah putih
ketidakcukupan
membaik
asupan serat d.d
16
feses keras Kultur darah
membaik
Kultur urin
membaik
Kultur area
luka
membaik
Kultur feses
membaik
Kadar sel
darah putih
Manajement konstipasi
membaik
OBSERVASI
Memeriksa tanda dan gejala
konstipasi
Memeriksa pergerakan
Setelah dilakukan usus,karakteristik feses
intervensi selama Mengidentifikasi factor
1x24 jam maka 33
risiko konstipasi
konstipasi b.d TARAPEUTIK
ketidakcukupan Melakukan massase
asupan serat abdomen,jika perlu
membaik Melakukan evakuasi feses
Dengan kriteria secara manual,jika perlu
hasil: EDUKASI
(L.04033)
Menjelaskan etiologi
kontrol masalah dan alasan tindakan
pengeluaran
Menganjurkan peningkatan
feses
asupan cairan,jika tidak ada
meningkat
kontaindikasi
keluhan
Melatih buang air besar
defekasi
secara teratur
lama dan
Mengajarkan cara mengatasi
sulit
kontipasi/impikasi
menurun
KOLABORASI
mengejan
Mengonsultasikan dengan
saat defekasi
tim medis tentang
menurun
penurunan /peningkatan
teraba mass
frukensi suara usus
pada rektal
Mengolaborasikan
menurun
penggunaan obat pencahar
urgency
,jika perlu
menurun
nyeri
abdomen
menurun
17
konsistensi
feses
membaik
frukensi
defekasi
membaik
peristaltic
usus
membaik
18
Penatalaksanaan jangka panjang pada pasien dengan BPH
adalah dengan melakukan pembedahan. Salah satu tindakan
yang paling banyak dilakukan pada pasien dengan BPH adalah
tindakan pembedahan Transurethral Resection of the Prostate
(TURP) yang prosedur pembedahan dengan memasukkan
resektoskopi melalui uretra untuk mengeksisi dan
mengkauterisasi atau mereseksi kelenjar prostat yang
mengalami obstruksi. Prosedur tersebut menimbulkan luka
bedah yang berakibat menimbulkan nyeri pada luka post operasi
(Purnomo, 2011).
19
yaitu relevan serta berpengaruh dalam terapi dan pencegahan
penyakit. (Benson & Proctor 2000 dalam Solehati, & Kosasih,
2015).
20
Subjek penelitian :
Populasi sebanyak 94 orang dan sampel penelitian
sebanyak 10 orang. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian adalah menggunakan data primer dan sekunder.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis
data univariat dan bivariat dengan metode statistik uji t
pada taraf signifikansi 0,05. Jenis penelitian yang
digunakan adalah quasi eksperiment menggunakan pre
dan post test design dengan pengaruh relaksasi benson
terhadap nyeri pada pasien post operasi benigna prostat
hyperplesia (BPH) di RS Sobirin Kabupaten Musi Rawas.
Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini
37 consecutive sampling yaitu 10 orang.
adalah
( I ) Intervention Intervensi atau tindakan mandiri keperawatan yang dapat
dilakukan dalam mengurangi nyeri pada pasien dengan
post operasi BPH salah satunya yaitu dengan
mengajarkan tehnik relakasasi Benson. Salah satu cara
untuk menurunkan skala nyeri post operasi BPH yaitu
memberikan terapi relaksasi benson kepada pasien
dimana terapi benson merupakan terapi dengan cara non
farmakologi dalam pain management dan merupakan
tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk
menyelesaikan permasalahan biologis pasien. Nyeri dapat
diatasi dengan penatalaksanaan nyeri yang bertujuan
untuk meringankan atau mengurangi rasa nyeri sampai
tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh klien. Ada dua
cara penatalaksanaan nyeri yaitu terapi farmakologis dan
non-farmakologis. Tindakan perawat untuk
menghilangkan nyeri selain mengubah posisi, meditasi,
makan, dan membuat klien merasa nyaman yaitu
mengajarkan teknik relaksasi.
21
Salah satu intervensi perilaku kognitif yang digunakan
untuk mengurangi nyeri pasca operasi adalah relaksasi
Benson. Relaksasi Benson merupakan gabungan antara
teknik respon relaksasi dan sistem keyakinan individu/
faith factor difokuskan pada ungkapan tertentu berupa
nama-nama Tuhan atau kata yang memiliki makna
menenangkan bagi pasien itu sendiri yang diucapkan
berulang-ulang dengan ritme teratur. Keyakinan memiliki
pengaruh fisik atau bahkan jiwa manusia yaitu relevan
serta berpengaruh dalam terapi dan pencegahan penyakit.
Relaksasi Benson merupakan relaksasi menggunakan
teknik pernapasan yang biasa digunakan di rumah sakit
pada pasien yang sedang mengalami nyeri atau
mengalami
38 kecemasan. Dan, pada relaksasi Benson ada
penambahan unsur keyakinan dalam bentuk kata-kata
yang merupakan rasa cemas yang sedang pasien alami.
Kelebihan dari latihan teknik relaksasi dibandingkan
teknik lainnnya adalah lebih mudah dilakukan dan tidak
ada efek samping apapun.
22
Hal ini sejalan dengan Solehati, & Kosasih, (2015)
mengatakan selain mengurangi nyeri pasca bedah,
Relaksasi Benson menghambat aktifitas saraf simpatik
yang mengakibatkan penurunan terhadap konsumsi
oksigen oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot
tubuhmenjadi relaks sehingga menimbulkan perasaan
tenang dan nyaman. Selain itu, Relaksasi Benson
berfokus pada kata atau kalimat tertentu yang diucapkan
berulang kali dengan ritme teratur dan disertai sikap yang
pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai keyakinan
pasien memiliki makna menenangkan. Responden yang
melakukan terapi Benson dengan melafalkan dzikir, maka
syaraf pusat dengan bekerja sesuai teori gate control,
dimana aktivasi pusat otak yang tinggi dapat
39
menyebabkan gerbang sumsum tulang menutup sehingga
memodulasi dan mencegah input nyeri untuk masuk ke
pusat otak yang lebih tinggi untuk dinterpretasikan
sebagai pengalaman nyeri.
(O) Outcome Hasil penelitian ini adalah rata-rata nyeri pada pasien
post operasi benigna prostat hyperplesia (BPH) sebelum
dilakukan relaksasi benson di RS Sobirin Kabupaten
Musi Rawas adalah 7,10. Rata-rata nyeri pada pasien
post operasi benigna prostat hyperplesia (BPH) setelah
dilakukan relaksasi benson di RS Sobirin Kabupaten
Musi Rawas adalah 4,90. Ada pengaruh relaksasi
benson terhadap nyeri pada pasien post operasi benigna
prostat hyperplesia (BPH) di RS Sobirin Kabupaten
Musi Rawas dengan nilai p = 0,000, berarti < 0,05 (α).
23
Perawat RS Sobirin Kabupaten Musi Rawas dapat
memberikan terapi non farmakologi khusunya relaksasi
benson yang dapat diterapkan sebagai terapi
pendamping atau sebagai bagian dari intervensi
keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan
khususnya pada pasien yang mengalami nyeri pasca
operasi BPH .
24
Transurethral Resection Of the Prostate (TURP) yang
prosedur pembedahan dengan memasukkan resektoskopi
melalui uretra untuk mengeksisi dan mengkauterisasi atau
mereseksi kelenjar prostat yang mengalami obstruksi.
Prosedur tersebut menimbulkan luka bedah yang
berakibat menimbulkan nyeri pada luka post operasi.
Subjek penelitian :
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu
(quasy experiment) dengan desain pre and post test
without control. Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien post operasi BPH sebanyak 32 pasien di Ruang
Kenanga RSUD dr. H Soewondo Kendal pada bulan Juni
sampai Agustus 2018 yang diambil dengan menggunakan
teknik
41 purposive sampling dengan menggunakan Uji Non
Parametrik Wilcoxon Match Pair Test karena sakala data
ordinal. Instrumen dalam penelitian menggunakan
koesioner, Lembar observasi skala nyeri dengan
menggunakan Numeric Rating Scale, Stopwatch, dan
Teknik terapi relaksasi Benson.
( I ) Intervention Instrumen dalam penelitian menggunakan koesioner,
Lembar observasi skala nyeri dengan menggunakan
Numeric Rating Scale, Stopwatch, dan Teknik terapi
relaksasi Benson.
25
menenangkan bagi pasien itu sendiri yang diucapkan
berulang-ulang dengan ritme teratur. Keyakinan memiliki
pengaruh fisik atau bahkan jiwa manusia yaitu relevan
serta berpengaruh dalam terapi dan pencegahan penyakit.
(C) Comparison Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian. Solehati, &
Kosasih, (2015) menyatakan bahwa salah satu manfaat
26
dari terapi relaksasi benson adalah menurunkan nyeri.
Bagi penderita yang sangat membutuhkan teknik
menurunkan skala nyeri, terapi relaksasi benson terbukti
bekerja dengan cara menghambat saraf simpatik dan
mengakibatkan saraf parasimpatik bekerja akibatnnya
otot-otot tubuh menjadi rileks dan menekan rasa nyeri
pada pasien.
27
Peneliti Putu Indah Sintya Dewi ;Ni Made Dwi Yunica Astriani
(Program Studi S1 Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Buleleng)
Identitas Jurnal Nama Jurnal : jurnal kesehatan MIDWINERSLION
No :1
Vol :3
Page : 12-16
Tahun : 2018
Diakses dari :
http://ejournal.stikesbuleleng.ac.id/index.php/
Midwinerslion/article/view/4
28
relaksasi benson. Relaksasi Benson merupakan salah satu
teknik relaksasi sederhana, mudah pelaksanaannya, dan
tidak memerlukan banyak biaya. Relaksasi ini merupakan
gabungan antara teknik respons relaksasi dan sistem
keyakinan individu atau faith factor. Fokus dari relaksasi
ini pada ungkapan tertentu yang diucapkan berulang-
ulang dengan menggunakan ritme yang teratur disertai
sikap yang pasrah. Ungkapan yang digunakan dapat
berupa nama-nama Tuhan atau kata-kata yang memiliki
makna menenangkan bagi pasien itu sendiri. Empat
elemen dasar agar teknik relaksasi benson berhasil dalam
penerapannya adalah lingkungan yang tenang, secara
sadar pasien dapat mengendurkan otot-ototnya, pasien
dapat memusatkan diri selama 10-15menit pada ungkapan
yang telah dipilih, dan pasien bersikap pasif terhadap
pikiran-pikiran yang mengganggu.
(C) Comparison Hal ini di dukung oleh Novi Andayani ; Yeni Eliyanti;
Siska Ayu Ningsih(2021) menyatakan nilai mean
terhadap nyeri pada pasien post operasi benigna prostat
hyperplesia (BPH) di Rumah Sakit Dr. Sobirin Kabupaten
Musi Rawas sebelum relaksasi benson adalah 0,379
dengan standar deviasi 1,197 dan setelah relaksasi benson
adalah 0,233 dengan standar deviasi 0,738. Berdasarkan
hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000, berarti < 0,05
(α) sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh
relaksasi benson terhadap nyeri pada pasien post operasi
benigna prostat hyperplesia (BPH) di RS Sobirin
Kabupaten Musi Rawas.
sesuai dengan teori dari Sunaryo dan Lestari (2015) yang
menjelskan bahwa konsep dari Herbet Benson apabila
29
melakukan relaksasi selama 15 menit maka akan
menyebabkan aktivitas saraf simpatik dihambat sedangkn
saat pasien relaksasi yang bekerja sistem saraf
parasimpatis yang akan menyebabkan penurunan
terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh selanjutnya otot-
otot tubuh menjadi rileks sehingga menimbulkan tenang
dan nyaman dengan demikian relaksasi Benson menekan
rasa nyeri.
(O) Outcome Dari hasil penelitian didapatkan nilai p value 0,000
dimana p ˂ α (0,05) maka Ha diterima. Dari hasil yang
didapatkan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
pemberian terapi relaksasi benson terhadap intensitas
nyeri pasien post operasi benigna prostat hyperplasia di
ruang Kamboja RSUD Kabupaten Buleleng.
46
30
yang kami gunakan karena keseuaian dari topik yang akan kami
bahas.
31
Dalam jurnal “Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Nyeri pada
Pasien Post Operasi Benigna Prostat Hyperplesia (BPH) di RS
Sobirin Kabupaten Musi Rawas” Penerapan EBN ini menunjukkan
terdapat pengaruh pada penurunan intensitas nyeri setelah dilakukan
terapi relaksasi progresif hal ini dikarenakan terapi relaksasi
progresif merupakan gabungan antara relaksasi pernafasan dan
latihan otot yang dapat menimbulkan relaksasi pada pasien sehingga
pasien merasa nyaman dan nyeri yang dirasakan berkurang. Setelah
mengetahui bahwa terapi non farmakologi relaksasi progresif dapat
menurunkan intensitas nyeri diharapkan bagi pihak perawat RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek untuk dapat memberikan terapi non
farmakologi salah satunya adalah terapi relaksasi progresif yang
dapat diterapkan sebagai terapi pendamping selain terapi
farmakologi atau sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam
pemberian asuhan keperawatan khususnya pada pasien yang
mengalami nyeri pasca operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia),
perawat hendaknya 48
memberikan pengarahan, membimbing, dan
menganjurkan pasien untuk dapat melaksanakan relaksasi progresif
untuk mengatasi keluhan nyeri dan untuk pasien sebaiknya
umempelajari berbagai tehnik manajemen nyeri khususnya relaksasi
progresif agar secara mandiri dapat mempraktekkan sendiri ketika
merasakan nyeri, sehingga nyeri dapat teralihkan dan bisa berkurang
setelah melakukan terapi relaksasi progresif.
32
bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan
dapat ditemukan di sel-sel substansi gelatinosa di dalam kornus
dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik. Teori ini
ANJANI Journal: Health Sciences Study,mengatakan bahwa impuls
nyeri akan merangsang sel T di kornu dorsalis kemudian naik
menuju medula spinalis dan ke otak ketika gerbang pertahanan
terbuka sehingga nyeri dirasakan dan implus nyeri tidak dapat
dirasakan atau dihambat ketika gerbang pertahanan tertutup. Upaya
untuk menutup pertahanan tersebut merupakan terapi dasar dalam
mengurangi nyeri. Ketika relaksasi mengalihkan pikiran, talamus
akan menengahi perhatian secara selektif ke kortek prefrontal untuk
merubah suara-suara terhadap rangsangan nyeri sehingga
menghambat impuls nyeri. Kemudian otak sebagai penghambat
impuls menutup pintu transmisi pada impuls noxius sehingga impuls
nyeri tidak dapat dirasakan atau dihambat, dan alur serabut saraf
desenden melepaskan opioid endogen seperti endorfin dan dimorfin
sebagai penghambat nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Neuromodulator inimenutup mekanisme pertahanan dengan
menghambat pelepasan substansi P(Solehati & Kosasih, 2015).
6) Applicability
33
dengan menggunakan respon saraf simpatik dan meningkatkan
parasimpatis. Stimulasi saraf simpatik meningkatkan aktifitas tubuh
sedangkan saraf parasimpatis lebih banyak menurunkan aktifitas
tubuh sehingga dapat menurunkan aktifitas. Sehingga intervensi ini
sudah di terapkan di Indonesia.
BAB III
50
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
BPH atau benign prostatic hyperplasia sebanarnya merupakan
istilah histopatologis yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel
epitel kelenjar prostat. Diagnosis BPH dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan colok dubur dan
pemeriksaan penunjang.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian batu
saluran kemih pada pasien BPH yaitu usia dan pekerjaan yang berpengaruh
secara langsung,Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara
lain :1)Dihydrotestosteron; 2)Perubahan keseimbangan hormon estrogen -
34
testoteron; 3) Interaksi stroma - epitel; 4) Berkurangnya sel yang mati; 5)
Teori sel stem.
3.2 SARAN
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena keterbatasan referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman
dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umunya. kita sebagai
perawat harus lebih banyak lagi pengetahun tentang masalah BPH dan
terutama banyak menyerang laki-laki yang sudah berusia lanjut,sehingga
disini sangat di perlukan peran perawat dalam penanganannya.
DAFTAR PUSTAKA
51
Amadea, Riselena Alysaa, Alfreth, dan Wahyuni, R. D. (2019). Jurnal Medical
Profession Benign prostatic hyperplasia (BPH). Encyclopedia of Reproduction, 1(2),
172–176.
Kemalasari, D. W., Nilapsari, R., & Rusmartini, T. (2015). Korelasi Disfungsi Seksual
dengan Usia dan Terapi pada Benign Prostatic Hyperplasia. In Global Medical &
Health Communication (GMHC) (Vol. 3, Issue 2, p. 60).
https://doi.org/10.29313/gmhc.v3i2.1547
35
Partin, A. W., Dmochowski, R. R., & Kavoussi, L. R., & Peters, C. A. (2020). Campbell-
Walsh-Wein UROLOGY TWELFTH EDITION.
Rahmadani, P. (2019). Keperawatan Medikal Bedah II. STIKES Insan Cendikia Medika.
sarma eko natalia sinaga, dian harumawati putri. (2014). Asuhan Keperawatan Tn.”A”
Dengan Gangguan Sistem Perkemihan: Post Operasi Prostatektomy. Jurnal
Obstretika Scientia, 2(2), 178–191.
https://ejurnal.latansamashiro.ac.id/index.php/OBS/article/view/171/170
Sumberjaya, I. W., & Mertha, I. M. (2020). Mobilisasi Dini dan Penurunan Skala Nyeri
pada Pasien Post Operasi TURP. Jurnal Gema Keperawatan, 13(1), 43–50.
25
36