Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

DOSEN PENGAMPU : NS. ALFIANUR, M.KEP


DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
1. Rizkyka Putri Ananda (19010011)
2. Novita Sari (19010013)
3. Kartika (19010006)
4. Edi Jumarizal (19010002)

MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PEKANBARU MEDICAL CENTER
T.A 2021

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah tentang Keperawatan Medikal Bedah II .
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai
perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak.

.
Pekanbaru, 7 Januari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i

Kata Pengantar..................................................................................................ii

Daftar Isi...........................................................................................................iii

Bab I Pendahuluan............................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan.....................................................................................................2
Bab II Tinjauan Teori........................................................................................3

A. Pengertian BPH ( Benign prostatic hyperplasia )....................................3


B. Etiologi ...................................................................................................3
C. Klasifikasi ...............................................................................................4
D. Prognosis ................................................................................................5
E. Manifestasi Klinis ...................................................................................5
F. Patofisiologi ............................................................................................7
G. Komplikasi .............................................................................................8
H. Pemeriksaan Penunjangan ......................................................................8
I. Penatalaksanaan BPH ..............................................................................8
J. Kasus ......................................................................................................10
Bab III Penutup ............................................................................................. 13

A.Kesimpulan ............................................................................................13

Daftar Pustaka.................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelenjar Prostat adalah bagian penting dari Sistem Reproduksi
pria. Kelenjar prostat merupakan suatu organ seukuran buah kenari yang
terletak didepan rectum ( ujung usus besar, anus) dibawah bladderm
( Kandung kemih ). Organ ini terdiri dari 70% jaringan kelenjar ( glandular
tissue ) dan 30% jaringan fibromuskular. Pada Pria dewasa beratnya 20
gram. (Waluyo, 2015)
Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benigna prostat
hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang
akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. Umumnya proses hiperplasia mulai pada umur 30 tahun, dengan
kejadian 8% pada laki-laki 30-40 tahun, 40-50% pada laki-laki berumur
51-60 thn dan pada umur lebih dari 80 thn angka kejadian lebih dari 80%.
Pada umur 30-40 tahun terjadi hiperplasia mikroskopis, 40-50 tahun
hyperplasia makroskopis dan setelah umur 50 tahun hiperplasia sudah
menimbulkan gejalah klinik. Prevalensi BPH pada otopsi hampir sama
pada berbagai ethnis. Di Amerika Serikat hampir 1/3 laki-laki berumur 40-
79 thn mempunyai gejala traktus urinarius bagian bawah sedang sampai
berat dengan penyebab utama adalah BPH. (Mahendrakrisna, 2016)
BPH terjadi pada sekitar 70% pria diatas usia 60 tahun. Angka ini
akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka
kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai
gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) sejak tahun 1994 - 2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata ‐ rata
umur penderita berusia 66,61 tahun. (Mochtar, 2015)
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari BPH ?
2. Apa etiologi dari BPH ?
3. Apa saja klasifikasi dari BPH ?
4. Apa prognosis dari BPH ?

1
5. Bagaimanan Manifestasi klinis dari BPH ?
6. Apa patofisiologi dari BPH ?
7. Apa saja komplikasi dari BPH?
8. Bagaimanan pemeriksaan penunjangan BPH ?
9. Bagaimana penatalaksanaan BPH ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui apa saja asuhan keperawatan pada BPH

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian BPH ( Benign prostatic hyperplasia )
BPH ( Benign prostatic hyperplasia) atau Pembesaran Prostat Jinak merupakan
gangguan prostat yang paling sering terjadi dikalangan pria usia pertengahan dan lanjut.
Penyakit ini adalah kondisi dimana prostat membesar tidak lagi sesuai ukuran yang
sebenarnya seukuran kenari. (Waluyo, 2015)
BPH ( Benigna prostatik hiperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doenges, 2014)
BPH ( Benign prostatic hyperplasia) atau Pembesaran Prostat Jinak atau
Hiperplasia Prostat adalah kondisi dimana terjadi pembesaran kelenjar prostat yang
menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Pada usia lanjut beberapa
pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang
berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. (Purnomo, 2007)
B. Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(Menjadi tua). Beberapa Hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah : (Purnomo, 2007)
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan faktor terjadinya
penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5
alfa – reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi
sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar
estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki
peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone

3
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga
masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu
growth faktor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor
(BFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih
besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi
dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan
difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada
jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel.
Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah
sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah
sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-
sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel- sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormon androgen kadarnya menurun, akan
terjadi apoptosis.
C. Klasifikasi
Secara Klinis, derajat pembengkakan prostat dibagi menjadi : (Mochtar, 2015)
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostattismus, pada DRE ( colok dubur)
ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml, tetapi kurang dari
100 ml.
3. Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urin lebih dari 100 ml
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

4
D. Prognosis
Prognosis bervariasi, tergantung pada kecepatan dalam melakukan penanganan.
Ketika kondisi ini diabaikan, BPH akan menjadi lebih parah, dan keparahan dari waktu
ke waktu akan menyebabkan masalah yang serius berupa infeksi saluran kencing,
kerusakan kandung kemih, kerusakan ginjal, batu kandung kemih, dan inkontinensia. Jika
keadaan ini diabaikan dan berlangsung terus menerus, maka daya tahan tubuh menurun
dan penderta rawan mendapat serangan penyakit lain. (Waluyo, 2015)
E. Manifestasi Klinis
Gejala BPH bervariasi mulai dari pancaran urin yang lemah, rasa ingin
buang air kecil tapi urin yang keluar hanya berupa tetesan, rasa ingin BAK,
merasa belum tuntas BAK tapi urin sudah tidak keluar, rasa nyeri saat memulai
BAK, Adanya darah dalam Urin (hematuria) (Waluyo, 2015)
Tanda dan Gejala BPH : (Mochtar, 2015)
1. Gejala pada Saluran Kemih Bagian Bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan
dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi
(sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten
(kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes
setelah miksi), Terminal dribling (menetesnya urin pada akhir
BAK)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada
saat miksi).

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih


bagian bawah, beberapa ahli atau organisasi urologi membuat sistem skoring
yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring
yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) adalah Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score),
sepertiterlihatdibawahini.

5
Tabel 2.1International Prostate Symptom Score (IPSS)

Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi atau lower urinary tract symptoms (LUTS) dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut
kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai 7. Dari skor I-PSS itu dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan : skor 0-7, (2) sedang :
skor 8-19, dan (3 berat : skor 20-35. Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi
kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat, otot buli-buli
mengalami kapayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.

2. Keluhan pada Saluran Kemih Bagian Atas

Keluhan yang ditimbulkan berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang
merupakan tanda dari infeksi.
6
F. Patofisiologi
Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan
hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang
tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang
normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan
perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang
membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk
mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang
menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obsruksi
keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid,
berdilatasi dan tidak sanggup berkontraksi secara efektif.
BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat dari
peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang berbentuk
noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri dari jaringan
kolagen dan otot polos. (Waluyo, 2015)
Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostad, resistensi pada leher buli- buli dan daerah prostad meningkat, serta
otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang
statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Obstruksi
urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras
dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten),
dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih
(hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami
iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih
/disuria . Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan
terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis. (Purnomo, 2007)

7
G. Komplikasi
Komplikasi dari BPH , (Waluyo, 2015)
1. Kerusakan kandung kemih
2. Kerusakan ginjal
3. Batu kandung kemih
4. Inkontinensia
5. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan
pada waktu miksi pasien harus mengedan.
H. Pemeriksaan Penunjangan
1. Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter
anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat.
Pada perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah
asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat
obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi
spontan. Sisa miksi ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar
dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar
ureum kreatinin.
b. Bila perlu lakukan pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA),
untuk dasar penentuan biopsi.
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
b. BNO-IVP
c. Systocopy
d. Systografi
e. USG
I. Penatalaksanaan BPH
1. Observasi (Watchful waiting)
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan, pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap di awasi
oleh dokter. Pasien disarankan menghindari hal-hal yang dapat memperburuk
keadaannya, adapun hal yang harus dihindari pasien antara lain:
a. Berolahraga secara teratur.
b. Pertahankan berat badan ideal.

8
c. Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
d. Berhenti merokok.
e. Minum air putih minimal delapan gelas sehari.
f. Mengurangi konsumsi daging dan lemak hewan, karena kandungan lemaknya dapat
meningkatkan resiko berbagai penyakit.
g. Banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan khususnya yang mengandung
antioksidan tinggi.
2. Medikamentosa/ Obat-obatan
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat
tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya:
Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dan lain-lain), gelombang alfa blocker dan golongan
supresor androgen.
3. Pembedahan
a. Prostatektomi Suprapubis
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
c. Prostatektomi Retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana
insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar
yang terletak tinggi dalam pubis.
d. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretra. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan
mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
e. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.
Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra
parsprostatika (Anonim,FKUI,1995), karena pembedahan tidak mengobati penyebab
BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

9
J. Kasus
Seorang laki-laki berusia 67 tahun, dibawa ke IGD RS Fort De Kock karena
merasa kesakitan pada bagian bawah perutnya, dia juga mengeluh tidak bisa buang air
kecil. Pada saat dilakukan pemeriksaan oleh seorang perawat selanjutnya diketahui
bahwa sejak dua bulan terakhir buang air kecil pasien tidak lancar, kadang urinnya
berwarna kemerahan sehingga dicurigai mengandung senyawa keton, pasien juga
mengeluhkan setiap buang air kecil harus mengejan dan terasa nyeri dipinggangnya,
pasien tidak pernah mempunyai riwayat penyakit prostat. Sejak 5 jam sebelum datang ke
rumah sakit, air kencingnya macet total, perut bagian bawah semakin memberas,
menegang dan sangat nyeri.
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pendidikan, tanggal masuk ke rumah sakit, nomor register dan
diagnosa keperawatan.
2. Keluhan utama
Bapak datang dengan mengeluh tidak bisa buang air keci, nyeri pada pinggang
dan pada saat BAK harus mengejan.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi saluran kemih,
vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat sebelum dibawa ke RS sejak dua bulan terakhir BAK pasien tidak
lancar, urinnya berwarna kemerahan, ketika BAK harus mengedan dan sejak
5 jam sebelum datang ke RS air kencingnya macet total, abdomen bagian
bawah semakin membesar dan menegang serta pasien merasa sangat nyeri.
c. Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti penyakit kelamin, DM,
hipertensi dan lain-lain yang mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada
klien.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok -
septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.

10
c. Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididymitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
B. Diagnsa Keperawaan
1. Pre Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
2. Post Operasi
Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P.
3. Intervensi Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : Retensi urin berkurang
2) Kriteria hasil:
a) Berkemih dalam jumlah yang cukup/normal
b) Tidak terapa distensi vesika urinari

N INTERVENSI RASIONAL
O
1. Dorong klien untuk berkemih tiap 2- Untuk meminimalkan retensi urin
4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. distensi berlebihan pada vesika
urinari.
2. Observasi aliran urin, perhatian Untuk mengevaluasi obstruksi dan
jumlah urin dan kekuatan pilihan intervensi
pancarannya.
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah Retensi urine meningkatkan tekanan
setiap kali berkemih dalam saluran perkemihan yang
dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml Untuk meningkatkan aliran cairan,

11
sehari dalam toleransi jantung. meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal, vesika urinari
dari pertumbuhan bakteri.
5. Berikan obat sesuai indikasi Untuk mengurangi spasme vesika
(antispamodik) urinari dan mempercepat
penyembuhan

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hiperplasia prostat jinak (benign prostatic hyperplasia) adalah pembesaran
kelenjar periurethral yang mendesak jaringan prostat keperifer dan menjadi simpai
bedah (pseudokapsul). BPH merupakan kelainan kedua tersering yang dijumpai pada
lebih dari 50% pria berusia diatas 60 tahun.
Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat
tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang
mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat
sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical.

13
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer. Dkk.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC : 2000

Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC : 2002

Sylvia A. Price. dkk. 2006 “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit” Edisi.
6 Volume. 2. Jakarta: EGC

Uliyah, Musrifatul dan Alimun, Aziz, 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik. Jakarta:
Selemba Medika

14

Anda mungkin juga menyukai