KESEHATAN PERORANGAN
BPH
Disusun Oleh:
Pembimbing :
LAMONGAN 2022
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing,
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ini adalah penyakit umum terkait usia. BPH terjadi
pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria
berusia di atas 80 tahun. Penelitian yang di lakukan di Rumah Sakit Saiful Anwar terkait
karakteristik pasien BPH yang menjalani TURP pada tahun 2015 – 2017 didapatkan rata-rata
umur penderita adalah usia 68 tahun. Prevalensi kejadian BPH meningkat dengan
bertambahnya usia. Dalam suatu studi autopsy didapatkan 50—80% pasien berusia 60 dan 90
tahun mengalami BPH. Selain itu keluhan utama yang membuat pasien datang ke rumah sakit
adalah retensi urin sekitar 54.9% dan sebagian besar pasien yang mengalami keluhan retensi
urin sekitar 58% pasien memiliki volume prostat yang membesar >50 ml (Basuki, 2003, IAUI,
2017).
Faktor resiko terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang
dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah seperti usia,
genetic, dan geografi. Sedangkan faktor yang dapat diubah adalah kadar sex hormone seperti
testosterone, dihydrotestosterone dan estrogen, sindroma metabolic dan penyakit
kardiovaskular, obesitas, diabetes mellitus, aktivitas fisik, diet, dan inflamasi yang menahun
(Patel & Parsons 2014).
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar
saluran kemih. Gejala klinisi yang dapat ditimbulkan adalah keluhan pada saluran kemih
bagian bawah (LUTS) yang terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatis. Gejala obstruksi
terdiri dari hesitansi, pancaran miksi lemah, intermitensi, miksi tidak puas, menetes setelah
miksi. Sedangkan gejala iritasi terdiri dari frekuensi, nokturi, urgensi, disuri. Untuk menilai
tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah terdapat sistem skoring yang
dapat diisi dan dihitung oleh pasien sendiri. Sistem skoring tersebut adalah Skor Internasional
Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dari skor I-PSS itu dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8 –
19, dan (3) berat: skor 20 – 35 (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar dalam
melakukan penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien secara tepat dan
komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologi, yaitu adanya
hyperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Sementara itu, istilah benign
prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah yang menggambarkan bertambahnya
volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang jinak pada prostat (BPH).
BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign
prostatis obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas penyakit
yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra, dinamakan
bladder outlet obstruction (BOO). Adanya obstruksi pada BPO ataupun BOO harus
dipastikan menggunakan pemeriksaan urodinamik (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran prostat yang tidak ganas yang
disebabkan oleh hiperplasia seluler. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ini adalah
penyakit umum terkait usia yang mempengaruhi 70% pria berusia 70 tahun atau lebih.
BPH dapat menjadi kondisi yang mengganggu dan berpotensi parah. Tidak hanya dapat
menyebabkan gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) dan mengurangi kualitas
hidup pasien, tetapi juga dapat dikaitkan dengan kanker urologi pria tertentu seperti
kanker prostat dan kanker kandung kemih (Dai et all, 2016).
2.2 Anatomi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebalah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Kelenjar prostat yang mengalami
pembesaran dapat membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan hambatan aliran
urine keluar dari buli-buli. Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa sekitar 20 gram. Kelenjar prostat dibagi menjadi beberapa
zona oleh McNeal pada tahun 1976. Kelenjar prostat dibagi menjadi lima zona yaitu
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, dan zona periuretra.
Sebagian besar hyperplasia prostat terdapat pada transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar prostat sangat
tergantung pada hormone testosterone. Hormon testosterone ini akan dirubah menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α- reductase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA didalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelanjar prostat (Basuki, 2003).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini
jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Basuki, 2003).
2.6 Diagnosis
(1) Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis yang cermat
guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis
tersebut meliputi sebagai berikut (Edward, 2008; IAUI, 2017).
- Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu.
- Riwayat penyakit lain (Hipertensi, Diabetes, atau penyakit metabolic lain) dan
penyakit pada saluran urogenital (pernah mengalami cedera pada area
urogenital, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing disertai batu maupun
pasir, atau riwayat pembedahan saluran kemih)
- Riwayat Kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
- Riwayat mengkonumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan kemih. Riwayat
penggunaan obat-obatan perlu ditanyakan karena terdapat 10% laki-laki yang
mengkonsumi obat-obatan tertentu menimbulkan keluhan saluran kemih bagian
bawah (LUTS).
- Riwayat psikososial seperti penggunaan rokok, frekuensi minum kopi.
- Riwayat keluarga yang memiliki sakit pembesaran prostat maupun keganasan
pada kelenjar prostat.
Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi
nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup
pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala
LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8 – 19, dan (3)
berat: skor 20 – 35.
Selain itu terdapat gejala pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi
antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis
(Basuki, 2003).
(2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang
didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan
pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pemeriksaa colok dubur direkomendasikan
oleh American Urological Association (AUA) dilakukan terhadap pasien yang
dicurigai mengalami BPH. Pada pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan terkait
(a) tonus sfingter ani/ refleks bulbo-kavernosus unutk menyingkirkan adanya
kelainan buli neurogenic, (b) mukosa rectum, dan (c) keadaan prostat, antara lain:
kemungkinan adanya nodul, konsistensi prostat, simetri antara lobus dan batas
prostat (Pearson & Williams, 2014; IAUI, 2017).
(3) Pemeriksaan Penunjang
- Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.
Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya
infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine. The American
Urological Association (AUA) merekmendasikan pemeriksaan urinalisis pada semua
pria yang mengalami keluhan LUTS. Urinalisis yang normal dapat membantuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti keganasan buli-buli, batu buli-buli, ISK atau
striktur uretra (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran
kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata
13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan
akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek dan lebih mudah terjadi retensi urine akut.
Pasien yang menjalani terapi konservatif diminta untuk datang control berkala (3-6
bulan) untuk menilai perubahan keluhan yang dirasakan, penilaian ulang IPSS,
uroflowmetry, maupun volume residu urine. Jika keluhan dirasa semakin
memburuk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi lain (IAUI, 2017).
(2) Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan kepada pasien dengan skor IPSS > 7. Jenis obat
yang digunakan adalah:
- Alfa blocker
Penggunaan α1-blocker seperti alfuzosin, doxazosin, indoramin, prazosin, and
terazosin dan α1A-blocker tamsulosisn untuk mengurangi gejala BPH
meningkat dalam 10 tahun terakhir. Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan
menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher kandung kemih dan uretra sehingga dapat memperbaiki pancaran urin saat
berkemih dan mengurangi obstruksi pada bladder outlet.
Obat golongan α1-blocker ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-
45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%. Tetapi obat α1-
blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam
jangka panjang. Pengobatan dengan α1-blocker dapat memberikan perbaikan
gejala dalam 48 jam dan pengobatan ini dilanjutkan selama 42 bulan. Efek
samping yang dapat terjadi ketika mengkonsumsi obat α1-blocker adalah sakit
kepala, pusing, hipotensi postural, asthenia, mengantuk, kongesti nasal, dan
ejakulasi retrograde. Pemberian obat α1-blocker harus dimonitor pada pasien
yang menjalani pengobatan antihipertensi dan pasien yang mengalami hipotensi
postural (IAUI, 2017).
- 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel
epitelprostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%.
Obat 5α-reductase inhibitor yang digunakan untuk mengobati BPH adalah
finasteride dan dutasteride. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml.
Sedangkan dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di
antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau
timbul bercak-bercak kemerahan di kulit (IAUI, 2017).
- Antagonis reseptor muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik
sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa
obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah
fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine
l-tartrate. Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala
storage LUTS. Penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan
α-blocker tidak mengurangi gejala storage (IAUI, 2017).
- PDE 5 Inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan
nilai IPSS sebesar 22-37%. Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah
pemakaian 1 minggu. Data meta-analisis menunjukkan PDE 5 inhibitor
memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa
tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat (IAUI, 2017).
(3) Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada pasien BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat,
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa.
a. Invasif minimal
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. K
Umur : 72 Tahun
Agama : Islam
No. RM : 36.70.32
3.2 Anamnesis
Berdasarkan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 18 Januari 2023 pukul 08:23
WIB di Instalasi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Lamongan.
Keluhan Utama: Tidak bisa kencing
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan tidak bisa kencing yang dirasakan sekitar 13 jam smrs.
Pasien mengatakan mendadak tidak bisa kencing. Pasien mengatakan kencing hanya
menetes saja. Pasien sudah mencoba untuk mengejan namun kencing dikatakan hanya
menetes saja. Tidak ada keluhan kencing keluar batu maupun pasir. Tidak ada keluhan
BAK berdarah. Tidak ada keluhan demam, tidak sesak, tidak nyeri telan. Pasien bisa
BAB dan bisa kentut. Tidak ada riwayat BAB hitam maupun BAB darah. Tidak ada
riwayat ngongsroh tidak ada nyeri dada. Keluhan penurunan berat badan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Alergi obat disangkal
- Pasien tidak habis minum obat flu
- Riwayat sakit jantung/paru/ginjal/liver disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Primary Survey
Hasil Pemeriksaan:
Cor: Besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak nampak fibroinfiltrat
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam, tulang dan soft tissue tak nampak kelainan
Kesimpulan: Foto Thorax tak nampak kelainan
BOF
Hasil Pemeriksaan: Bayangan gas dalam usus bercampur fecal material dengan
distribusi hingga cavum pelvis
Kedua kontur ginjal tak tampak jelas
Hepar dan lien tak membesar
Tak nampak bayangan radio-opaque sepanjang tr.urinarius
Psoas shadow simetris
Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik
Kesimpulan: Bayangan gas dalam usus bercampur fecal material dengan distribusi
hingga cavum pelvis
Tak tampak batu opaque sepanjang tr.urinarius
USG Abdomen Upper/Lower
Hepar:
Ukuran normal, echoparenchym normal, tepi rata, sudut tajam, EHBD / IHBD tak
melebar
Ginjal Kanan: Ukuran normal, echoparenchym normal, batas sinus cortex tegas,
tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu / massa / cysta
Ginjal Kiri: Ukuran normal, echoparenchym normal, batas sinus cortex tegas, tak
tampak ectasis PCS, tak tampak batu / massa / cysta
Buli: Volume cukup, tampak iregular dan penebalan dinding +/- 0.4 cm, tak
tampak massa/batu
Kesimpulan:
Edwards, J. L. (2008, May 15). Diagnosis and management of benign prostatic hyperplasia.
American Family Physician. Retrieved January 31, 2023, from
https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2008/0515/p1403.html
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (2017). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat
Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia). Jakarta. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)
Parsons, J. K., & Patel, N. D. (2014). Epidemiology and etiology of benign prostatic
hyperplasia and bladder outlet obstruction. Indian Journal of Urology, 30(2), 170.
https://doi.org/10.4103/0970-1591.126900
Pearson, R., & Williams, P. M. (2014, December 1). Common questions about the diagnosis
and management of benign prostatic hyperplasia. American Family Physician. Retrieved
January 31, 2023, from https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2014/1201/p769.html
Purnomo, Basuki B. (2003). Dasar-Dasar Urologi, Jakarta. CV. Sagung Seto Jakarta.