Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

KESEHATAN PERORANGAN

Benign Prostatic Hyperplasia

BPH

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh:

dr. Rizky Istifarina

Pembimbing :

dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

LAMONGAN 2022

HALAMAN PENGESAHAN

Nama Penyusun : dr. Rizky Istifarina

Judul Kasus : BPH

Pembimbing : dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad

Lamongan, 19 Desember 2022

Pembimbing,

dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologi, yaitu adanya


hyperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Sementara itu, istilah benign prostatic
enlargement (BPE) merupakan istilah yang menggambarkan bertambahnya volume prostat
akibat adanya perubahan histopatologis yang jinak pada prostat (BPH). BPE dapat
menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign prostatis obstruction
(BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas penyakit yang mengakibatkan
obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra, dinamakan bladder outlet obstruction (BOO).
BPH dapat menjadi kondisi yang mengganggu dan berpotensi parah. Tidak hanya dapat
menyebabkan gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) dan mengurangi kualitas hidup
pasien, tetapi juga dapat dikaitkan dengan kanker urologi pria tertentu seperti kanker prostat
dan kanker kandung kemih (Basuki, 2003, IAUI, 2017).

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ini adalah penyakit umum terkait usia. BPH terjadi
pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria
berusia di atas 80 tahun. Penelitian yang di lakukan di Rumah Sakit Saiful Anwar terkait
karakteristik pasien BPH yang menjalani TURP pada tahun 2015 – 2017 didapatkan rata-rata
umur penderita adalah usia 68 tahun. Prevalensi kejadian BPH meningkat dengan
bertambahnya usia. Dalam suatu studi autopsy didapatkan 50—80% pasien berusia 60 dan 90
tahun mengalami BPH. Selain itu keluhan utama yang membuat pasien datang ke rumah sakit
adalah retensi urin sekitar 54.9% dan sebagian besar pasien yang mengalami keluhan retensi
urin sekitar 58% pasien memiliki volume prostat yang membesar >50 ml (Basuki, 2003, IAUI,
2017).

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat


aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) (Basuki, 2003, IAUI, 2017).

Faktor resiko terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang
dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah seperti usia,
genetic, dan geografi. Sedangkan faktor yang dapat diubah adalah kadar sex hormone seperti
testosterone, dihydrotestosterone dan estrogen, sindroma metabolic dan penyakit
kardiovaskular, obesitas, diabetes mellitus, aktivitas fisik, diet, dan inflamasi yang menahun
(Patel & Parsons 2014).

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar
saluran kemih. Gejala klinisi yang dapat ditimbulkan adalah keluhan pada saluran kemih
bagian bawah (LUTS) yang terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatis. Gejala obstruksi
terdiri dari hesitansi, pancaran miksi lemah, intermitensi, miksi tidak puas, menetes setelah
miksi. Sedangkan gejala iritasi terdiri dari frekuensi, nokturi, urgensi, disuri. Untuk menilai
tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah terdapat sistem skoring yang
dapat diisi dan dihitung oleh pasien sendiri. Sistem skoring tersebut adalah Skor Internasional
Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dari skor I-PSS itu dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8 –
19, dan (3) berat: skor 20 – 35 (Basuki, 2003, IAUI, 2017).

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk


mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga
jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut. Selain itu
terdapat gejala pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin
melaporkan kasus Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yang terjadi di Rumah Sakit
Muhammadiyah Lamongan (RSML).
1.2 Tujuan

1. Memahami definisi, etiopatofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis pasien kolelitiasis


2. Mengetahui tatalaksana dan komplikasi kolelitiasis.

1.3 Manfaat

Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar dalam
melakukan penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien secara tepat dan
komprehensif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologi, yaitu adanya
hyperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Sementara itu, istilah benign
prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah yang menggambarkan bertambahnya
volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang jinak pada prostat (BPH).
BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign
prostatis obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas penyakit
yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra, dinamakan
bladder outlet obstruction (BOO). Adanya obstruksi pada BPO ataupun BOO harus
dipastikan menggunakan pemeriksaan urodinamik (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran prostat yang tidak ganas yang
disebabkan oleh hiperplasia seluler. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ini adalah
penyakit umum terkait usia yang mempengaruhi 70% pria berusia 70 tahun atau lebih.
BPH dapat menjadi kondisi yang mengganggu dan berpotensi parah. Tidak hanya dapat
menyebabkan gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) dan mengurangi kualitas
hidup pasien, tetapi juga dapat dikaitkan dengan kanker urologi pria tertentu seperti
kanker prostat dan kanker kandung kemih (Dai et all, 2016).
2.2 Anatomi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebalah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Kelenjar prostat yang mengalami
pembesaran dapat membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan hambatan aliran
urine keluar dari buli-buli. Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa sekitar 20 gram. Kelenjar prostat dibagi menjadi beberapa
zona oleh McNeal pada tahun 1976. Kelenjar prostat dibagi menjadi lima zona yaitu
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, dan zona periuretra.
Sebagian besar hyperplasia prostat terdapat pada transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar prostat sangat
tergantung pada hormone testosterone. Hormon testosterone ini akan dirubah menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α- reductase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA didalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelanjar prostat (Basuki, 2003).

A. Skema anatomi zona kelenjar prostat normal


B. Hiperplasia prostat terjadi pada zona transisional menyebabkan penyempitan lumen uretra
posterior.
2.3 Epidemiology
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Penelitian di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3804 kasus dengan rata-
rata umur penedrita berusia 66 tahun. Sedangkan data penilitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Hasan Sadikin dari tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-
rata umur penderita usia 67 tahun. Penelitian yang di lakukan di Rumah Sakit Saiful
Anwar terkait karakteristik pasien BPH yang menjalani TURP pada tahun 2015 – 2017
didapatkan rata-rata umur penderita adalah usia 68 tahun. Prevalensi kejadian BPH
meningkat dengan bertambahnya usia. Dalam suatu studi autopsy didapatkan 50—80%
pasien berusia 60 dan 90 tahun mengalami BPH. Selain itu keluhan utama yang
membuat pasien datang ke rumah sakit adalah retensi urin sekitar 54.9% dan sebagian
besar pasien yang mengalami keluhan retensi urin sekitar 58% pasien memiliki volume
prostat yang membesar >50 ml (Zen ary et all, 2021).
2.4 Etiologi
Penyebab terjadinya hyperplasia prostat masih belum diketahui secara pasti, tetapi
terdapat beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hyperplasia prostat dikaitkan
dengan peningkatakan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah sebagai
berikut (Basuki, 2003):
(1) Teori dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang berperan dalam


pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dihidrotestosteron dibentuk dari testosterone
didalam sel prostat oleh enzim 5α- reductase dengan bantuan koenzim NAPH.
DHT yang telah terbentuk berikatan denga reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth
factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada beberapa penelitian
jumlah kadar dihidrotestosteron pada pasien BPH tidak jauh berbeda dengan pasien
normal, hanya saja pada BPH aktivitas enzim 5α- reductase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini yang menyebabkan sel-sel prostat pada
BPH lebih sensitive terhadao DHT sehingga replikasi sel lebih anyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.

(2) Ketidak seimbangan antara estrogen dan testosterone


Semakin bertambah tua usia, semakin turun kadar testosterone. Sedangkan kasar
estrogen relative tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relative
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen berperan penting dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitaas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Dengan
demikian sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
(3) Interaksi stroma-epitel
Berdasarkan penelitian Cunha tahun 1973 membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung di kontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator growth factor. Sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari
DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutkan
akan mempengaruhi sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau atuokrin, serta
mempengaruhi sel epitel secara parakrin. Stimulasi tersebut yang menyebabkan
terjadinya proleferasi sel epitel maupun stroma.
(4) Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum dapat
diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga
hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
(5) Teori sel stem
Kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada keberadaan
hormone androgen. Terjadinya proleferasi sel-sel pada BPH dikarenakan terdapat
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebih sel stroma
maupun sel epitel
2.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.
Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-
buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini
jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Basuki, 2003).
2.6 Diagnosis
(1) Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis yang cermat
guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis
tersebut meliputi sebagai berikut (Edward, 2008; IAUI, 2017).
- Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu.
- Riwayat penyakit lain (Hipertensi, Diabetes, atau penyakit metabolic lain) dan
penyakit pada saluran urogenital (pernah mengalami cedera pada area
urogenital, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing disertai batu maupun
pasir, atau riwayat pembedahan saluran kemih)
- Riwayat Kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
- Riwayat mengkonumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan kemih. Riwayat
penggunaan obat-obatan perlu ditanyakan karena terdapat 10% laki-laki yang
mengkonsumi obat-obatan tertentu menimbulkan keluhan saluran kemih bagian
bawah (LUTS).
- Riwayat psikososial seperti penggunaan rokok, frekuensi minum kopi.
- Riwayat keluarga yang memiliki sakit pembesaran prostat maupun keganasan
pada kelenjar prostat.

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun


keluhan diluar saluran kemih. Gejala klinisi yang dapat ditimbulkan adalah keluhan
pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) yang terdiri dari gejala obstruksi dan
gejala iritatis. Gejala obstruksi terdiri dari hesitansi, pancaran miksi lemah,
intermitensi, miksi tidak puas, menetes setelah miksi. Sedangkan gejala iritasi
terdiri dari frekuensi, nokturi, urgensi, disuri. Untuk menilai tingkat keparahan dari
keluhan pada saluran kemih bagian bawah terdapat sistem skoring yang dapat diisi
dan dihitung oleh pasien sendiri. Sistem skoring tersebut adalah Skor Internasional
Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score).

Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi
nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup
pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala
LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8 – 19, dan (3)
berat: skor 20 – 35.

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli


untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam
bentuk retensi urine akut.

Selain itu terdapat gejala pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi
antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis
(Basuki, 2003).
(2) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang
didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan
pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pemeriksaa colok dubur direkomendasikan
oleh American Urological Association (AUA) dilakukan terhadap pasien yang
dicurigai mengalami BPH. Pada pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan terkait
(a) tonus sfingter ani/ refleks bulbo-kavernosus unutk menyingkirkan adanya
kelainan buli neurogenic, (b) mukosa rectum, dan (c) keadaan prostat, antara lain:
kemungkinan adanya nodul, konsistensi prostat, simetri antara lobus dan batas
prostat (Pearson & Williams, 2014; IAUI, 2017).
(3) Pemeriksaan Penunjang
- Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.
Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya
infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine. The American
Urological Association (AUA) merekmendasikan pemeriksaan urinalisis pada semua
pria yang mengalami keluhan LUTS. Urinalisis yang normal dapat membantuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti keganasan buli-buli, batu buli-buli, ISK atau
striktur uretra (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran
kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata
13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.

Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan
akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek dan lebih mudah terjadi retensi urine akut.

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.


Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah
0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar
PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi
retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan kateterisasi (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Uroflometry (Pancaran Urine)
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih.
Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume
berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata-rata (Qave), waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Pemeriksaan ini dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum
maupun setelah terapi (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Residu Urine
Post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di kandung kemih setelah
berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-rata 12 mL. Pemeriksaan residu
urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder scan atau dengan kateter uretra.
Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman
bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga
bakteremia (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
- Pencitraan
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih atau
tidak, adanya batu/kalkulosa prostat dan terkadang dapat menunjukkan baingan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang meruoakan tanda dari suatu retensi urine.
Ultrasonografi dapat dilakukan bila pasien mengeluhkan adanya gejala hematuria,
infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis
(batu saluran kencing), dan riwayat menjalani pembedahan pada saluran urogenital.
Ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau ultrasonografi transrectal (TRUS)
bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat. Pengukuran besar peostat penting
dalam menentukan pilihan terapi invasive seperti operasi terbuka, Teknik enukleasi,
TURP, TUIP, atau terapi invasive lainnya. Selain itu pemeriksaan ultrasonografi
penting dilakukan sebelum memulai pengobatan 5-ARI (Basuki, 2003, IAUI, 2017).
2.7 Tatalaksana
Tujuan dari terapi pada BPH adalah untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan terapi
tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Terdapat beberapa pilihan terapi untuk
BPH yaitu
(1) Konservatif (watchful waiting)
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Sebelum melakukan terapi konservatif perlu diberi penjelasan terhadap pasien
terkait segala sesuatu yang mungkin dapat memperburuk keluhan, misalnya:
- Menghindari konsumsi kopi maupun alcohol
- Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebaban iritasi pada
kandung kemih (kopi atau coklat)
- Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
- Hindari menahan kencing terlalu lama
- Penanganan konstipasi

Pasien yang menjalani terapi konservatif diminta untuk datang control berkala (3-6
bulan) untuk menilai perubahan keluhan yang dirasakan, penilaian ulang IPSS,
uroflowmetry, maupun volume residu urine. Jika keluhan dirasa semakin
memburuk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi lain (IAUI, 2017).

(2) Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan kepada pasien dengan skor IPSS > 7. Jenis obat
yang digunakan adalah:
- Alfa blocker
Penggunaan α1-blocker seperti alfuzosin, doxazosin, indoramin, prazosin, and
terazosin dan α1A-blocker tamsulosisn untuk mengurangi gejala BPH
meningkat dalam 10 tahun terakhir. Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan
menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher kandung kemih dan uretra sehingga dapat memperbaiki pancaran urin saat
berkemih dan mengurangi obstruksi pada bladder outlet.
Obat golongan α1-blocker ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-
45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%. Tetapi obat α1-
blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam
jangka panjang. Pengobatan dengan α1-blocker dapat memberikan perbaikan
gejala dalam 48 jam dan pengobatan ini dilanjutkan selama 42 bulan. Efek
samping yang dapat terjadi ketika mengkonsumsi obat α1-blocker adalah sakit
kepala, pusing, hipotensi postural, asthenia, mengantuk, kongesti nasal, dan
ejakulasi retrograde. Pemberian obat α1-blocker harus dimonitor pada pasien
yang menjalani pengobatan antihipertensi dan pasien yang mengalami hipotensi
postural (IAUI, 2017).
- 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel
epitelprostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%.
Obat 5α-reductase inhibitor yang digunakan untuk mengobati BPH adalah
finasteride dan dutasteride. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml.
Sedangkan dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di
antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau
timbul bercak-bercak kemerahan di kulit (IAUI, 2017).
- Antagonis reseptor muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik
sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa
obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah
fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine
l-tartrate. Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala
storage LUTS. Penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan
α-blocker tidak mengurangi gejala storage (IAUI, 2017).
- PDE 5 Inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan
nilai IPSS sebesar 22-37%. Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah
pemakaian 1 minggu. Data meta-analisis menunjukkan PDE 5 inhibitor
memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa
tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat (IAUI, 2017).

(3) Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada pasien BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:

− retensi urine akut; retensi urin yang berulang


− gagal Trial Without Catheter (TWOC);
− infeksi saluran kemih berulang;
− hematuria makroskopik berulang;
− batu kandung kemih;
− penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
− dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat,
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa.

Tindakan pembedahan dibagi menjadi dua yaitu tindakan pembedahan invasive


minimal dan operasi terbuka

a. Invasif minimal

- Transurethral Resection of the Prostate (TURP)


TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan
volume prostat 30-80 ml. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH
hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Penyulit dini
yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang memerlukan
transfusi (0-9%), sindrom TUR (hyponatremia disebabkan oleh absorbsi irigasi
hipotonik )(0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), dan infeksi
saluran kemih (0-22%), striktur, dan disfungsi seksual.
- Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih
(bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil
(kurang dari 30 ml) dantidak terdapat pembesaran lobus medius prostat. TUIP
mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun
tidak sebaik TURP.
- Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan
diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-650C dan
mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 100oC. Penggunaan laser pada
terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada pasien yang terapi
antikoagulannya tidak dapat dihentikan.
b. Operasi terbuka
- Prostatektomi
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan
morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi
dilaporkan sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi.
Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan
striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine (10%).
c. Lain-lain
- Trial without catheterization (TWOC)
TWOC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian
diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TWOC adalah cara
untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara spontan setelah
terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan
pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TWOC baru dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TWOC
umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang
pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.
- Clean intermittent catheterization
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandirimaupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang
pada pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami
gangguan fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam
lingkungan bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara
periodik.
- Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara
pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk
mengalirkan urine.
- Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan
untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat
menjalani tidakan operasi.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Identitas pasien adalah sebagai berikut:

Nama : Tn. K

Umur : 72 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Gembong Babat Lamongan

Agama : Islam

Tanggal Masuk : 18 Januari 2023

No. RM : 36.70.32

3.2 Anamnesis

Berdasarkan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 18 Januari 2023 pukul 08:23
WIB di Instalasi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Lamongan.
Keluhan Utama: Tidak bisa kencing
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan tidak bisa kencing yang dirasakan sekitar 13 jam smrs.
Pasien mengatakan mendadak tidak bisa kencing. Pasien mengatakan kencing hanya
menetes saja. Pasien sudah mencoba untuk mengejan namun kencing dikatakan hanya
menetes saja. Tidak ada keluhan kencing keluar batu maupun pasir. Tidak ada keluhan
BAK berdarah. Tidak ada keluhan demam, tidak sesak, tidak nyeri telan. Pasien bisa
BAB dan bisa kentut. Tidak ada riwayat BAB hitam maupun BAB darah. Tidak ada
riwayat ngongsroh tidak ada nyeri dada. Keluhan penurunan berat badan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Alergi obat disangkal
- Pasien tidak habis minum obat flu
- Riwayat sakit jantung/paru/ginjal/liver disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit serupa

3.3 Pemeriksaan Fisik

Primary Survey

• A: Clear, Gargling (-), Speak fluently (+), Potensial obstruksi (-)


• B: Spontan, RR 20x/menit, Ves/Ves, Rh-/-, Wh-/-, SaO2 98% tanpa O2 support
• C: Akral HKM, CRT < 2 detik, N 92x/menit reguler kuat angkat, TD 196/77 mmHg
• D: GCS 456, Lateralisasi -, PBI 3mm/3mm, RC +/+
• E: Temperature 36oC
Secondary Survey
- Kepala-Leher
Kesadaran: GCS: 456
Anemis-/ Icteric -/Cyanosis -/Dyspneu -
- Thorax
Inspeksi: Simetris

Perkusi: Sonor +/+, Batas jantung kesan normal


Palpasi: Fremitus raba N/N
Auskultasi: Cor: S1S2 Tunggal, Mur-mur (-), Gallop (-)

Pulmo: Ves+/+, Rh -/-, Wz -/-


- Abdomen
Inspeksi: Flat

Auskultasi: Bising usus + N


Perkusi: Timpani
Palpasi: Soepel, Nyeri tekan + suprapubik, Hepar/Lien tidak teraba, Undulasi –,
Vesica urinaria teraba penuh
- Ekstremitas
Akral HKM, CRT < 2 detik, Pitting Oedem -/-.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium Darah Lengkap

Jenis Hasil Nilai Normal Keterangan


Pemeriksaan
GDA 642 100-200 mg/dL H
Serum 0.9 P: 0.7 – 1.2 N
Creatinin L: 0.8 – 1.5
Eritrosit 3.94 3.8 – 5.3 x106/uL N
Hemoglobin 11.2 P: 13 – 18 L
L: 14 – 18
Hematokrit 33.3 L: 40-54 L
P: 35-47
Trombosit 324.000 150.000-450.000/uL N
Leukosit 17.050 4000-11000/uL H
Neutropil 87.4 49-67 % H
Limposit 8.0 25-33 % L
Monosit 3.6 3–7% N
Basofil 0.5 0.0 - 1.0 N
Eosinopil 0.5 1.0 - 2.0 N
NLR 10.9 0.0 – 3.13 N
ALC 1.36
MCV 84.50 87.00-100 L
MCHC 33.60 31.00-37.00 N
MCH 28.40 28.00 – 36.00 N
RDW 12.5 10 – 16.5 N
MPV 9.5 5 – 10 N
LED 25 0-1 H
- Laboraturium Urine Lengkap
Color/Warna: Kuning
Kekeruhan: Jernih
Glukosa: Positif +++
Bilirubin: Negatif
Keton Urine: Negatif
SG: 1.010
Darah: Positif +++
PH: 5.0
Protein: Positif +
Urobilin: Negatif
Nitrit: Negatif
Lekosit Esterase: Negatif
Bakteri: 2+
Silinder: Negatif
Mucus: Negatif
Sperma Urine: Negatif
Epitel: Negatif
Eritrosit urine: 4+
Jamur Urine: Negatif
Lekosit Urine: 1+
Parasit Urine: Negatif
Kristal: Negatif
- Radiologi
Thorax

Hasil Pemeriksaan:
Cor: Besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak nampak fibroinfiltrat
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam, tulang dan soft tissue tak nampak kelainan
Kesimpulan: Foto Thorax tak nampak kelainan
BOF
Hasil Pemeriksaan: Bayangan gas dalam usus bercampur fecal material dengan
distribusi hingga cavum pelvis
Kedua kontur ginjal tak tampak jelas
Hepar dan lien tak membesar
Tak nampak bayangan radio-opaque sepanjang tr.urinarius
Psoas shadow simetris
Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik
Kesimpulan: Bayangan gas dalam usus bercampur fecal material dengan distribusi
hingga cavum pelvis
Tak tampak batu opaque sepanjang tr.urinarius
USG Abdomen Upper/Lower
Hepar:

Ukuran normal, echoparenchym normal, tepi rata, sudut tajam, EHBD / IHBD tak
melebar

Tak tampak massa/ cysta

Galib: Ukuran normal, dinding tidak menebal, tak tampak batu/sludge

Pankreas: Ukuran normal, echoparenchym normal, tak tampak massa / cysta

Lien: Ukuran normal, echoparenchym normal, tak tampak massa / cysta

Ginjal Kanan: Ukuran normal, echoparenchym normal, batas sinus cortex tegas,
tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu / massa / cysta

Ginjal Kiri: Ukuran normal, echoparenchym normal, batas sinus cortex tegas, tak
tampak ectasis PCS, tak tampak batu / massa / cysta

Buli: Volume cukup, tampak iregular dan penebalan dinding +/- 0.4 cm, tak
tampak massa/batu

Prostat: Ukuran +/- 78,7 ml, tak tampak massa/kalsifikasi

Kesimpulan:

- Benign hyperplasia prostat


- Cystitis
3.5 Diagnosis
− Diagnosis Kerja: Retensi urin
− Diagnosis Primer: BPH
− Diagnosis Sekunder: DM Type II
− Diagnosis Komplikasi: Cystitis
3.6 Planning

Terapi Monitoring Edukasi

IVFD RL loading 500cc → - Nyeri Edukasi terkait


1000cc/24jam suprapubik penyakit, gejala,
Inj Metamizole 3 x 1g iv komplikasi,
Inj Ranitidin 2 x 50mg iv pengobatan, dan
Bolus 6 IU + Pump insulin 2 prognosis
IU/Jam
Cek GDA/Shift
Pasang DK → UO 1500cc
Konsultasi
- dr. Randa, Sp.U
→ pro TURP
DAFTAR PUSTAKA

Edwards, J. L. (2008, May 15). Diagnosis and management of benign prostatic hyperplasia.
American Family Physician. Retrieved January 31, 2023, from
https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2008/0515/p1403.html

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (2017). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat
Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia). Jakarta. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)

Parsons, J. K., & Patel, N. D. (2014). Epidemiology and etiology of benign prostatic
hyperplasia and bladder outlet obstruction. Indian Journal of Urology, 30(2), 170.
https://doi.org/10.4103/0970-1591.126900

Pearson, R., & Williams, P. M. (2014, December 1). Common questions about the diagnosis
and management of benign prostatic hyperplasia. American Family Physician. Retrieved
January 31, 2023, from https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2014/1201/p769.html

Purnomo, Basuki B. (2003). Dasar-Dasar Urologi, Jakarta. CV. Sagung Seto Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai