Oleh:
dr. Anisah Rizqa Syafitri
Pendamping:
dr. Sylvia Agestie
Pembimbing:
dr. Adryansyah Chaniago, SpU
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………… 1
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………. 3
3.2.2 Epidemiologi………………………………..……………………................... 14
3.2.3 Etiologi……………………………………………………………………..... 14
3.2.4 Patofisiologi………………………………..……………………................... 15
3.2.5 Manifestasi Klinis………………………………..……………………......... 17
3.2.6 Diagnosis………………………………..……………………........................ 19
3.2.7 Algoritma Diagnosis………………………………..……………………...... 22
3.2.8 Tatalaksana………………………………………………………………… 23
3.2.9 Komplikasi………………………………………………………………… 27
3.2.10 Prognosis………………………………..…………………….........................
28
BAB 4 PEMBAHASAN ………………………………..……………………..................... 29
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….. 31
2
BAB I
PENDAHULUAN
BPH adalah suatu kondisi yang dimiliki oleh penuaan. Meskipun BPH bukan
merupakan kelainan yang mengancam jiwa, BPH memiiki manifestasi klinis dari LUTS
yang dapat mengurangi kualitas hidup penderita. Pembesaran prostat akan semakin
meningkat, jadi kandung kemih semakin berkurang. Bila kandung kemih menjadi
dekompensasi, akan terjadi sisa urin, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir berkemih.
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi akibat BPH adalah batu kandung kemih
walaupun dalam praktik klinis, risiko kejadian batu kandung kemih kecil, dan skrining
hanya diindikasikan jika keadaan klinis memerlukannya (misalnya, Hematuria, gagap
buang air kecil).1
3
Pentingnya pengetahuan mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pada suatu penyakit mewajibkan seorang dokter umum untuk
dapat menegakkan diagnosis, menatalaksana, hingga merujuk dengan baik dan benar.
4
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas
Nama : Tn. SDM
Umur : 80 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Mangkubumi No. 14
Tanggal masuk : 13 Februari 2023
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Tidak dapat buang air kecil
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan tidak dapat
buang air kecil (BAK) sama sekali sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dan
terjadi secara tiba-tiba. Pasien juga mengeluh adanya nyeri perut bawah.
Pasien mengeluh keluhan sulit buang air kecil (BAK) sudah dirasakan sejak 1
minggu terakhir. Pasien harus mengejan untuk BAK, hanya menetes, namun masih sering
terasa ada sisa setelah BAK. Pasien agak lama dalam memulai BAK disertai mengejan.
Pancaran BAK mulai melemah dan BAK terasa tidak puas karena masih menetes. Gejala
ini tidak disertai dengan demam.
5
Riwayat penyakit keluarga :
Pasien menyangkal bahwa dalam keluarganya ada yang pernah mengalami
keluhan yang sama.
• Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri
simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan
paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
6
• Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I – II murni, murmur (-)
- Abdomen :
Inspeksi : Perut datar simetris.
Palpasi : Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri tekan
suprapubik (+), full blast (+) defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
- Status lokalis
Rectal Touche : TSA baik, mukosa rectum licin, ampula tidak kolaps,
teraba massa arah jam 11-1, konsistensi kenyal padat, batas
tegas, permukaan rata licin, sulcus medianus teraba, lobus
kanan dan kiri simetris, nodul (-), pool atas tidak teraba (-
) nyeri tekan (-)
HA : Feses(-), darah(-)
Pemeriksaan IPSS
Untuk pertanyaan no.1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut :
0 = tidak pernah 3 = kurang lebih separuh kejadian
1 = <1 dari 5 kejadian 4 = lebih dari separuh kejadian
2 = separuh kejadian 5 = hampir selalu
7
Dalam 1 bulan terakhir ini berapa seringkah anda :
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing? Skor 5
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengah jam yang lalu Anda kencing? Skor
3
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal ini
dilakukan berkali-kali? Skor 5
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing? Skor 2
5. Merasakan pancaran urin yang lemah? Skor 5
6. Harus mengejan dalam memulai kencing? Skor 5
Untuk pertanyaan no.7, jawablah dengan skor seperti dibawah ini :
0 = tidak pernah 3 = 3 kali
1 = 1 kali 4 = 4 kali
2 = 2 kali 5 = 5 kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali anda terbangun dari tidur malam untuk
kencing? Skor 4
Pertanyaan penilaian tentang kualitas hidup :
8. Bagaimana anda menikmati hidup? Tidak bahagia
Skor 29 = Kategori Berat
E. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium ( tanggal 13 Februari 2023 )
Hb : 18,4 g/dl
Ht : 57 %
Leukosit : 3210/ul
Trombosit : 77.000/ul
DC : 0/0/0/62/30/8
Glukosa darah sewaktu : 90 mg/dl
Na : 139
Kalium : 3,6
Ureum : 22,4 mg/dl
Kreatinin : 1,01 mg/dl
BT (masa pendarahan) : 2’
CT (masa pembekuan) : 12’
8
Pemeriksaan USG:
2.4 Resume
Anamnesis
Pasien laki-laki berumur 80 tahun datang dengan keluhan :
- Sulit BAK sejak 6 jam SMRS, terjadi secara tiba-tiba
- BAK tidak lancar
- Pasien harus mengedan agar air kencingnya keluar
- Pasien merasakan buang air kecil tidak tuntas atau tidak puas
- Pasien merasa BAK menjadi lebih sering dan air kencing yang keluar menetes
dan terasa sakit
- Riwayat keluhan serupa diakui
- Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan daerah supra pubik
- Tanpa disertai dengan demam
Pemeriksaan fisik
Abdomen : nyeri tekan suprapubik (+), full blast (+)
Rectal touche : teraba massa arah jam 11-1, konsistensi kenyal padat, batas tegas,
permukaan rata licin, sulcus medianus teraba, lobus kanan dan kiri
simetris
Skor IPSS: 29 (Kategori berat)
9
2.6 Diagnosis Banding
- Striktur urethra
- Karsinoma prostat
2.7 Terapi
Medikamentosa :
- IVFD RL gtt 20x/m
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr
- Inj. Lansoprazole 1x1vial
- Herbesser CD 1x200mg PO
- Candesartan 1x16mg PO
- Bisoprolol 1x5mg PO
- Pro TURP
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
2.9 Follow Up
Tanggal Subjective Objective Assessment Plan
13/2/2023 BAK lewat DC KU: TSS Retensio urine 1. Terpasang DC
lancar, darah (-) Sens: CM ec BPH 2. Infus RL gtt 20
TD: 170/90 3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
HR: 80x/mnt 4. Inj. Lansoprazole 1 vial/ 24
RR: 20x/mnt jam
5. USG
6. Konsul PDL
Herbesser CD 1x200mg PO
Candesartan1x16mg PO
Bisoprolol 1x5mg PO
7. Pro TURP tgl 14/2/2023
pukul 14.00
14/2/2022 Nyeri post. Op (+) KU: TSS BPH post TURP 1. Terpasang DC
DC lancar (+), darah Sens : CM POD 0 2. Infus RL gtt 20
(-), blood cloth (-), TD: 130/90 3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
BAB (+) HR: 83x/menit 4. Inj. Lansoprazole 1 vial/ 24
RR: 20x/menit jam
14/2/2022 Nyeri post. Op (+) KU: TSS BPH post TURP 1. Boleh pulang
DC lancar (+), darah Sens: CM POD 0 2. Paracetamol 3x1
(-), makan mulai TD: 130/90 3. Cefixime 2x1
mau minum mau HR: 83x/menit 4. Harnal Ocas 1x1
RR: 20x/menit
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Anatomi dan hubungan antara ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis,
dan vas deferens (tampilan anterior).2
Prostat dapat dibagi menjadi dua cara: menurut lobus atau menurut zona.
Prostat secara tidak sempurna terbagi dalam lima lobus. Lobus anterior terletak di
depan urethra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau lobus
medianus adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara urethra dan ductus
ejaculatorius. Facies superior lobus medius berhubungan dengan trigonum
vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak di
belakang urethra dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga mengandung jaringan
11
kelenjar. Lobus lateralis dexter dan sinister terletak di samping urethra dan
dipisahkan satu dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada
permukaan posterior prostat.4 Masing-masing lobus lateralis mengandung banyak
kelenjar. McNeal (1981) membagi prostat menjadi empat zona: zona perifer, zona
pusat (mengelilingi saluran ejakulasi), zona transisi (mengelilingi uretra), dan
zona fibromuskuler anterior. 2
Gambar 3. Hubungan anatomi antara kandung kemih, prostat, uretra, dan akar penis.2
12
Pasokan arteri ke prostat berasal dari arteri vesikalis inferior, pudendal
internal, dan rectalis media. Vena-vena dari prostat mengalir ke pleksus
periprostatik, yang memiliki hubungan dengan vena dorsalis profunda penis dan
vena iliaka interna (hipogastrik).2
Kelenjar prostat menerima persarafan yang kaya dari saraf simpatis dan
parasimpatis dari pleksus hipogastrik inferior. Saraf simpatik merangsang otot
polos prostat selama eiakulasi. Limfatik dari prostat mengalir ke iliaka internal
(hipogastrik), sakral, vesikalis, dan kelenjar getah bening iliaka eksternal.2
13
BPE diperkirakan sekitar 50%. Pada kondisi lebih lanjut, BPE akan
menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign
prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas
penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra,
dinamakan bladder outlet obstruction (BOO).5
3.2.2 Epidemiologi
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak yang paling umum
pada pria, dan insidennya berkaitan dengan usia. Prevalensi kejadianBPH akan
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Hal ini sejalan dengan prevalensi
histologis BPH yang berasal dari autopsi, meningkat darisekitar 20% pada pria
berusia 41-50 tahun menjadi 50% pada pria berusia 51-60 tahun dan meningkat
menjadi 80% hingga 90% pada mereka yang berusia diatas 70 tahun. Meskipun
bukti klinis penyakit tersedia lebih jarang, gejala obstruksi prostat juga
berkaitan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria melaporkan gejala
obstruktif berkemih. Pada usia 75 tahun, 50% pria mengeluhkan penurunan
kekuatan dan kaliber aliran urinmereka.6,7
3.2.3 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah teori dihidrotestosteron, adanya ketidak
seimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stroma dan sel
epitel prostat, dan berkurangnya kematian sel (apoptosis). 8
Teori dihidrotestosteron
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
14
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal
ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
Interaksi stroma-epitel
3.2.4 Patofisiologi
16
3.2.5 Manifestasi Klinis
17
Gambar 5. International Prostate Scoring System9
3.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
18
- Keparahan gejala dan bagaimana mereka mempengaruhi kualitas
hidup
- Obat-obatan
- Perawatan yang pernah dicoba sebelumnya
19
b.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, digital rectal examination (DRE), dan pemeriksaan
neurologis terfokus dilakukan selama adanya temuan klinis. Pada pemeriksaan
colok dubur/DRE dinilai ukuran dan konsistensi. Pada BPH biasanya
menghasilkan pembesaran prostat yang halus, kencang, dan elastis. Indurasi,
jika terdeteksi, harus membuat dokter waspada terhadap kemungkinan kanker
dan perlunya evaluasi lebih lanjut.2
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan infeksi atau
hematuria dan pengukuran kreatinin serum untuk menilai fungsi ginjal
diperlukan. Serum PSA dianggap opsional, tetapi kebanyakan dokter akan
memasukkannya dalam evaluasi awal. Pemeriksaan PSA, jika dibandingkan
pemeriksaan colok dubur saja dapat meningkatkan kemampuan untuk
mendeteksi kanker prostat, tetapi masih kontroversial karena terdapat banyak
tumpang tindih antara kadar yang terlihat pada BPH dan kanker prostat.2
d. Pencitraan
Pencitraan saluran atas (USG ginjal atau urogram tomografi
terkomputerisasi [CT]) direkomendasikan hanya jika ada penyakit saluran
kemih yang terjadi bersamaan atau komplikasi dari BPH (misalnya, hematuria,
infeksi saluran kemih, insufisiensi ginjal, riwayat penyakit batu). TRUS
berguna untuk menentukan ukuran prostat bagi laki-laki yang akan menjalani
operasi prostat yang diduga mengalami pembesaran prostat yang parah
berdasarkan DRE.2
e. Sistoskopi
Pemeriksaan Sistoskopi ini diperlukan ketika terdapat gejala obstruktif
yang ditandai dengan pembesaran prostat relatif minimal, sistoskopi mungkin
berguna untuk mengidentifikasi leher kandung kemih tinggi, striktur uretra,
atau patologi lainnya. Jika BPH dikaitkan dengan hematuria, maka sistoskopi
wajib dilakukan untuk menyingkirkan kelainan kandung kemih lainnya.2
20
3.2.7 Algoritma Diagnosis
21
3.2.8 Tatalaksana
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh
sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan
konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan
terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
semakin parah.8
a. Terapi Observasi
• Menunggu dengan waspada
Pasien dengan gejala ringan (IPSS 0 – 7) dan tanpa faktor penyulit
atau dengan gejala sedang dan gangguan minimal dapat ditangani
dengan watchful waiting. Menunggu dengan waspada termasuk
saran tentang perubahan gaya hidup yang dapat membantu
memperbaiki atau menghindari gejala. Perubahan ini termasuk saran
tentang volume, jenis dan waktu cairan yang dikonsumsi,
penghindaran kafein (diuretik), pantang konsumsi alkohol di malam
hari dan pengaturan buang air besar dengan menghindari
konstipasi.11
b. Terapi Medikamentosa
• Penghambat reseptor adrenergik-α
Caine adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan obat
penghambat adrenergik alfa sebagai salah satu terapi BPH. Pada saat
itu dipakai fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak
selektif yang ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi. Sayangnya obat ini tidak disenangi oleh
pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan kelainan
22
kardiovaskuler lain. penghambat adrenergik–α1 adalah: prazosin
yang diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin
yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dilaporkan
dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine. 8
• Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data
farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen,
anti-androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin
(SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostaglandin, efek anti- inflammasi, menurunkan outflow
resistance, dan memperkecil volume prostat.
Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih
23
banyak lainnya. 8
c. Terapi Kombinasi
• α-Adrenergic Blockers dan 5α-Reductase Inhibitors
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin)
dan 5α-reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan
untuk mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat
yang berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga
meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah
perkembangan penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker
untuk memberikan efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-
reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk
menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini
menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut
dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi
kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS
sedang-berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar,
PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya
direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka panjang
(>1 tahun). 12
d. Terapi Operatif
Baik pembedahan maupun AUR (acute urine retention) merupakan
titik akhir yang berbeda dalam perkembangan penyakit BPH. Namun
demikian, ada perbedaan yang nyata. AUR adalah komplikasi BPH
yang memerlukan manajemen, dan pembedahan adalah salah satu
manajemen yang umum digunakan. Kebanyakan pasien menjalani
operasi untuk mengatasi gejala bukan untuk AUR. AUR merupakan
salah satu indikasi untuk melakukan pembedahan pada pasien dengan
BPH.13
24
Indikasi lainnya yaitu pasien yang gagal dengan TWOC (trial
without catheter). TWOC merupakan cara untuk mengevaluasi apakah
pasien dapat berkemih secara spontan setelah terjadi retensi dengan cara
memeriksa pancaran urin dan sisa utin setelah kateter dilepaskan. Pada
praktiknya, AUR menyumbang 5% hingga lebih dari 30% dalam
indikasi pembedahan.13
25
3.2.9 Komplikasi
Komplikasi dari BPH yang progresif jarang terjadi. Dalam praktik
klinis, risiko timbulnya batu kandung kemih dianggap kecil, dan skrining
hanya diindikasikan jika terdapat tanda klinis tertentu. Komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah dompensasi kandung kemih. Hal ini dapat terjadi karena
adanya remodeling dari mukosa kandung kemih. Pada pasien BPH dengan
obstruksi, kandung kemih akan mengalami trabekulasi hingga diventrikulasi
sehingga menurunkan fungsi kandung kemih. Inkontinensia urin adalah
salah satu komplikasi yang paling ditakutkan dari BPH. Hal ini mungkin
merupakan hasil dari BPH sekunder akibat overdistensi kandung kemih
(inkontinensia overflow) atau ketidakstabilan detrusor yang diperkirakan
akan mempengaruhi hingga satu setengah atau lebih dari semua pasien
dengan obstruksi (inkontinensia urgensi).13
3.2.10 Prognosis
Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau
perbaikan dari gejala yang dialaminya. Sekitar 10 - 20%, akan mengalami
kekambuhan penyumbatan 5 tahun.9
27
BAB IV
PEMBAHASAN
28
Kasus di atas memenuhi kriteria LUTS, yaitu adanya hesistansi, dimulai dari
proses memulai BAK yang lama, sering mengejan waktu BAK yang disebabkan oleh
karena otot destruksor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan
tekanan intravesikel untuk mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika. Keluhan
terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot
destrussor dalam mempertahankan tekanan intravesikel sampai berakhirnya miksi.
Sistem skoring I-PSS terdiri atas 7 pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS) dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup
pasien. Skor ringan (0-7), sedang (8-19), berat (≥ 20). Pada kasus di atas telah diketahui
skor IPSS adalah 29 yang merupakan skor berat. Penatalaksanaannya dengan dilakukan
tindakan operasi (terbuka atau tertutup). Pada kasus di atas dilakukan tindakan prosedur
TURP atau prosedur endourologi.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Wein Alan J, Mavoussi Louis R, Partin Alan W, Peters Craig A. Campbell- Walsh
Urology 11th edition. United States: Elsevier Inc. 2016
2. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology. 19th ed. United States:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2020.
3. Smith JM, O’Flynn JD. Vesical stone: the clinical features of 652 cases. Ir Med J
1975;22:85–9.
4. Isaacs JT, Coffey DS. Etiology and disease process of benign prostatic hyperplasia.
Prostate Suppl. 1989;2:33–50.
5. Tjahjodjati, Soebadi DM, Umbas R, Purnomo BB, Widjanarko S, Mochtar CA, et al.
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic
Hyperplasia / BPH). Ikat Ahli Urol Indones [Internet]. 2017;1–38. Available from:
http://iaui.or.id/gdl/Guideline BPH 2017 (1).pdf
6. W. McAninch J, Lue TF. Smith & Tanagho’ s General Urology. Spesific Infectrions
of the Genitourinary Tract. 2020. 201–228 p.
8. Purnomo, B. Basuki. Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. SMF/Lab Ilmu Bedah RSUD Dr.
Saiful Anwar. 2003. 93-113 p.
10. Deters LA, Costabile RA, Leveillee RJ, Moore CR, Patel VR. Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH). In: Medscape. Medscape; 2021.
11. Chughtai B, Forde JC, Thomas DDM, Laor L, Hossack T, Woo HH, et al. Benign
prostatic hyperplasia. Nat Rev Dis Prim. 2016;2:1–15.
13. Roehrborn C, Strand DW. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell- Walsh-Wein
Urology. 12th ed. Elsevier Inc; 2020. p. 15079–195.
30