Anda di halaman 1dari 30

Presentasi Kasus

Benign Prostatic Hyperplasia

Oleh:
dr. Anisah Rizqa Syafitri

Pendamping:
dr. Sylvia Agestie

Pembimbing:
dr. Adryansyah Chaniago, SpU

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


WAHANA RS PELABUHAN PALEMBANG
2022-2023

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………… 1
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………. 3

BAB 2 STATUS PASIEN……………………………………………………………............ 5

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………….. 11

3.1 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Prostat………………………………..…………… 11

3.2 Benign Prostatis Hyperplasia………………………………..……………………….. 13


3.2.1 Definisi……………………………………………………………………..... 13

3.2.2 Epidemiologi………………………………..……………………................... 14

3.2.3 Etiologi……………………………………………………………………..... 14
3.2.4 Patofisiologi………………………………..……………………................... 15
3.2.5 Manifestasi Klinis………………………………..……………………......... 17
3.2.6 Diagnosis………………………………..……………………........................ 19
3.2.7 Algoritma Diagnosis………………………………..……………………...... 22
3.2.8 Tatalaksana………………………………………………………………… 23
3.2.9 Komplikasi………………………………………………………………… 27
3.2.10 Prognosis………………………………..…………………….........................
28
BAB 4 PEMBAHASAN ………………………………..……………………..................... 29

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….. 31

2
BAB I
PENDAHULUAN

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran non malignant dari


kelenjar prostat yang terjadi akibat faktor penuaan dan dapat mengakibatkan sumbatan
pada buli (bladder outlet obstruction) dan menimbulkan gejala dari saluran kemih bawah
(Lower Urinary Tract Symptomps) sehingga akan mempengaruhi kualitas kehidupan
seseorang.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak yang paling umum
pada laki-laki, dan kejadiannya berkaitan dengan usia. Prevalensi BPH dalam studi otopsi
meningkat dari sekitar 20% pada laki-laki berusia 41-50 tahun, menjadi 50% pada laki-
laki berusia 51-60 tahun, dan hingga 90% pada laki-laki yang berusia lebih dari 70 tahun.
Pada usia 55 tahun, sekitar 25% laki-laki melaporkan gejala berkemih obstruktif. Pada
usia 75 tahun, 50% laki-laki mengeluhkan penurunan kekuatan dan aliran kemih mereka.
Faktor risiko pengembangan BPH kurang dipahami. Beberapa penelitian menunjukkan
kecenderungan genetik, dan beberapa telah mencatat adanya perbedaan insidensi antar
ras.2

BPH adalah suatu kondisi yang dimiliki oleh penuaan. Meskipun BPH bukan
merupakan kelainan yang mengancam jiwa, BPH memiiki manifestasi klinis dari LUTS
yang dapat mengurangi kualitas hidup penderita. Pembesaran prostat akan semakin
meningkat, jadi kandung kemih semakin berkurang. Bila kandung kemih menjadi
dekompensasi, akan terjadi sisa urin, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir berkemih.
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi akibat BPH adalah batu kandung kemih
walaupun dalam praktik klinis, risiko kejadian batu kandung kemih kecil, dan skrining
hanya diindikasikan jika keadaan klinis memerlukannya (misalnya, Hematuria, gagap
buang air kecil).1

Dalam penatalaksanaannya, manajemen BPH memiliki dua tujuan utama, yaitu


mengurangi gejala yang menganggu, dan untuk mencegah atau menunda perkembangan
gejala BPH yang terkait. Tidak semua pasien hyperplasia prostat membutuhkan tindakan
medik, karena terkadang mereka yang memiliki gejala saluran kemih bawah dapat sembuh
sendiri tanpa terapi apapun. Namun diantara mereka ternyata banyak yang membutuhkan
terapi medikamentosa atau tindakan medik akibat keluhan yang semakin buruk dan
mengganggu kualitas hidup (Quality of Life).1,3

3
Pentingnya pengetahuan mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pada suatu penyakit mewajibkan seorang dokter umum untuk
dapat menegakkan diagnosis, menatalaksana, hingga merujuk dengan baik dan benar.

4
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas
Nama : Tn. SDM
Umur : 80 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Mangkubumi No. 14
Tanggal masuk : 13 Februari 2023

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Tidak dapat buang air kecil
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan tidak dapat
buang air kecil (BAK) sama sekali sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dan
terjadi secara tiba-tiba. Pasien juga mengeluh adanya nyeri perut bawah.
Pasien mengeluh keluhan sulit buang air kecil (BAK) sudah dirasakan sejak 1
minggu terakhir. Pasien harus mengejan untuk BAK, hanya menetes, namun masih sering
terasa ada sisa setelah BAK. Pasien agak lama dalam memulai BAK disertai mengejan.
Pancaran BAK mulai melemah dan BAK terasa tidak puas karena masih menetes. Gejala
ini tidak disertai dengan demam.

Riwayat penyakit dahulu :


• Riwayat keluhan serupa (+)
• Riwayat BPH (+) sudah operasi pada bulan Januari 2013
• Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (+) dengan obat rutin Herbesser CD dan
Amlodipin
• Riwayat penyakit kencing manis (-)
• Riwayat asma atau alergi (-)

5
Riwayat penyakit keluarga :
Pasien menyangkal bahwa dalam keluarganya ada yang pernah mengalami
keluhan yang sama.

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Keadaan umum : tampak sakit sedang
B. Kesadaran : compos mentis
C. Vital sign
- Tekanan darah : 170/90 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,7 º C
D. Status Generalisata
- Kepala : normocephal
- Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, reflek cahaya (+/+)
- Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak
hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum
- Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
- Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan, lidah
tidak kotor,faring tidak hiperemis
- Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat
- Thorax

• Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri
simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan
paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

6
• Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I – II murni, murmur (-)

- Abdomen :
Inspeksi : Perut datar simetris.
Palpasi : Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri tekan
suprapubik (+), full blast (+) defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

- Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)

- Status lokalis
Rectal Touche : TSA baik, mukosa rectum licin, ampula tidak kolaps,
teraba massa arah jam 11-1, konsistensi kenyal padat, batas
tegas, permukaan rata licin, sulcus medianus teraba, lobus
kanan dan kiri simetris, nodul (-), pool atas tidak teraba (-
) nyeri tekan (-)

HA : Feses(-), darah(-)

Pemeriksaan IPSS
Untuk pertanyaan no.1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut :
0 = tidak pernah 3 = kurang lebih separuh kejadian
1 = <1 dari 5 kejadian 4 = lebih dari separuh kejadian
2 = separuh kejadian 5 = hampir selalu

7
Dalam 1 bulan terakhir ini berapa seringkah anda :
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing? Skor 5
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengah jam yang lalu Anda kencing? Skor
3
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal ini
dilakukan berkali-kali? Skor 5
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing? Skor 2
5. Merasakan pancaran urin yang lemah? Skor 5
6. Harus mengejan dalam memulai kencing? Skor 5
Untuk pertanyaan no.7, jawablah dengan skor seperti dibawah ini :
0 = tidak pernah 3 = 3 kali
1 = 1 kali 4 = 4 kali
2 = 2 kali 5 = 5 kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali anda terbangun dari tidur malam untuk
kencing? Skor 4
Pertanyaan penilaian tentang kualitas hidup :
8. Bagaimana anda menikmati hidup? Tidak bahagia
Skor 29 = Kategori Berat

E. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium ( tanggal 13 Februari 2023 )
Hb : 18,4 g/dl
Ht : 57 %
Leukosit : 3210/ul
Trombosit : 77.000/ul
DC : 0/0/0/62/30/8
Glukosa darah sewaktu : 90 mg/dl
Na : 139
Kalium : 3,6
Ureum : 22,4 mg/dl
Kreatinin : 1,01 mg/dl
BT (masa pendarahan) : 2’
CT (masa pembekuan) : 12’
8
Pemeriksaan USG:

2.4 Resume
Anamnesis
Pasien laki-laki berumur 80 tahun datang dengan keluhan :
- Sulit BAK sejak 6 jam SMRS, terjadi secara tiba-tiba
- BAK tidak lancar
- Pasien harus mengedan agar air kencingnya keluar
- Pasien merasakan buang air kecil tidak tuntas atau tidak puas
- Pasien merasa BAK menjadi lebih sering dan air kencing yang keluar menetes
dan terasa sakit
- Riwayat keluhan serupa diakui
- Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan daerah supra pubik
- Tanpa disertai dengan demam
Pemeriksaan fisik
Abdomen : nyeri tekan suprapubik (+), full blast (+)
Rectal touche : teraba massa arah jam 11-1, konsistensi kenyal padat, batas tegas,
permukaan rata licin, sulcus medianus teraba, lobus kanan dan kiri
simetris
Skor IPSS: 29 (Kategori berat)

2.5 Diagnosis Kerja


Benign prostat hiperplasia

9
2.6 Diagnosis Banding
- Striktur urethra
- Karsinoma prostat

2.7 Terapi
Medikamentosa :
- IVFD RL gtt 20x/m
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr
- Inj. Lansoprazole 1x1vial
- Herbesser CD 1x200mg PO
- Candesartan 1x16mg PO
- Bisoprolol 1x5mg PO
- Pro TURP

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

2.9 Follow Up
Tanggal Subjective Objective Assessment Plan
13/2/2023 BAK lewat DC KU: TSS Retensio urine 1. Terpasang DC
lancar, darah (-) Sens: CM ec BPH 2. Infus RL gtt 20
TD: 170/90 3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
HR: 80x/mnt 4. Inj. Lansoprazole 1 vial/ 24
RR: 20x/mnt jam
5. USG
6. Konsul PDL
Herbesser CD 1x200mg PO
Candesartan1x16mg PO
Bisoprolol 1x5mg PO
7. Pro TURP tgl 14/2/2023
pukul 14.00

14/2/2022 Nyeri post. Op (+) KU: TSS BPH post TURP 1. Terpasang DC
DC lancar (+), darah Sens : CM POD 0 2. Infus RL gtt 20
(-), blood cloth (-), TD: 130/90 3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
BAB (+) HR: 83x/menit 4. Inj. Lansoprazole 1 vial/ 24
RR: 20x/menit jam

14/2/2022 Nyeri post. Op (+) KU: TSS BPH post TURP 1. Boleh pulang
DC lancar (+), darah Sens: CM POD 0 2. Paracetamol 3x1
(-), makan mulai TD: 130/90 3. Cefixime 2x1
mau minum mau HR: 83x/menit 4. Harnal Ocas 1x1
RR: 20x/menit

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Prostat


Prostat adalah organ fibromuskular dan glandurlar yang terletak inferior
dari buli. Prostat normal memiliki berat sekitar 20 g dan dilewati oleh uretra
posterior, yang panjangnya sekitar 2,5 cm. Prostat dikelilingi oleh capsula fibrosa.
Diluar capsula terdapat selubung fibrosa yang merupakan bagian dari lapisan
visceral fascia pelvis. Prostat yang berbentuk kerucut mempunyai basis yang
terletak di superior dan berhadapan dengan collum vesicae; dan apex prostatae
yang terletak di inferior berhadapan dengan diaphragma urogenitaie. Kedua ductus
ejaculatorius menembus bagian atas facies posterior prostat untuk bermuara ke
urethra pars prostatica pada pinggir lateral utriculus prostaticus.2

Gambar 1. Anatomi dan hubungan antara ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis,
dan vas deferens (tampilan anterior).2

Prostat dapat dibagi menjadi dua cara: menurut lobus atau menurut zona.
Prostat secara tidak sempurna terbagi dalam lima lobus. Lobus anterior terletak di
depan urethra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau lobus
medianus adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara urethra dan ductus
ejaculatorius. Facies superior lobus medius berhubungan dengan trigonum
vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak di
belakang urethra dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga mengandung jaringan
11
kelenjar. Lobus lateralis dexter dan sinister terletak di samping urethra dan
dipisahkan satu dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada
permukaan posterior prostat.4 Masing-masing lobus lateralis mengandung banyak
kelenjar. McNeal (1981) membagi prostat menjadi empat zona: zona perifer, zona
pusat (mengelilingi saluran ejakulasi), zona transisi (mengelilingi uretra), dan
zona fibromuskuler anterior. 2

Gambar 2. Pembagian anatomi prostat berdasarkan zona.2

Kelenjar prostat terletak di belakang simfisis pubis. Dekat dengan


permukaan posterosuperior terdapat vasa deferens dan vesikula seminalis. Di
posterior, prostat dipisahkan dari rektum oleh dua lapisan fasia Denonvilliers,
dasar serosal kantong Douglas, yang meluas ke diafragma urogenital. 2

Gambar 3. Hubungan anatomi antara kandung kemih, prostat, uretra, dan akar penis.2
12
Pasokan arteri ke prostat berasal dari arteri vesikalis inferior, pudendal
internal, dan rectalis media. Vena-vena dari prostat mengalir ke pleksus
periprostatik, yang memiliki hubungan dengan vena dorsalis profunda penis dan
vena iliaka interna (hipogastrik).2

Kelenjar prostat menerima persarafan yang kaya dari saraf simpatis dan
parasimpatis dari pleksus hipogastrik inferior. Saraf simpatik merangsang otot
polos prostat selama eiakulasi. Limfatik dari prostat mengalir ke iliaka internal
(hipogastrik), sakral, vesikalis, dan kelenjar getah bening iliaka eksternal.2

Prostat terdiri dari kapsul fibrosa tipis yang di bawahnya diorientasikan


serat otot polos yang melingkar dan jaringan kolagen yang mengelilingi uretra
(sfingter involunter). Jauh di dalam lapisan ini terletak stroma prostat, yang terdiri
dari jaringan yang terhubung dan serat otot polos yang tertanam kelenjar epitel.
Kelenjar ini mengalir ke saluran ekskretoris utama (jumlahnya sekitar 25), yang
terbuka terutama di lantai uretra antara verumontanum dan leher vesikalis. Tepat
di bawah epitel transisional dari uretra prostat terletak kelenjar periurethral.2

Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama


sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen.
Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya sedikit asam (6,5). Selain itu
dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase
asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma
seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi.2

3.2 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


3.2.1 Definisi
Benign prostatic hyperplasia (BPH) merujuk pada istilah histopatologis,
yaitu adanya pertumbuhan nonmalignansi atau hyperplasia pada jaringan
prostat, sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Sementara itu, istilah benign
prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah klinis yang menggambarkan
bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang
jinak pada prostat, dikenal dengan BPH. Kasus BPH yang berkembang menjadi

13
BPE diperkirakan sekitar 50%. Pada kondisi lebih lanjut, BPE akan
menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign
prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas
penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra,
dinamakan bladder outlet obstruction (BOO).5

3.2.2 Epidemiologi
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak yang paling umum
pada pria, dan insidennya berkaitan dengan usia. Prevalensi kejadianBPH akan
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Hal ini sejalan dengan prevalensi
histologis BPH yang berasal dari autopsi, meningkat darisekitar 20% pada pria
berusia 41-50 tahun menjadi 50% pada pria berusia 51-60 tahun dan meningkat
menjadi 80% hingga 90% pada mereka yang berusia diatas 70 tahun. Meskipun
bukti klinis penyakit tersedia lebih jarang, gejala obstruksi prostat juga
berkaitan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria melaporkan gejala
obstruktif berkemih. Pada usia 75 tahun, 50% pria mengeluhkan penurunan
kekuatan dan kaliber aliran urinmereka.6,7

3.2.3 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah teori dihidrotestosteron, adanya ketidak
seimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stroma dan sel
epitel prostat, dan berkurangnya kematian sel (apoptosis). 8

Teori dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat


penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH
(Gambar 5-2). DHT yang telah terbentuk berikatan denga reseptor androgen
(RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
14
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal
ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

Ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan


kadar estrogen relatitif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat
berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah,
meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

Interaksi stroma-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel


epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu
mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
atuokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

3.2.4 Patofisiologi

Pembesaran prostat merupakan proses hiperplasia, yang akan


menekan aliran urin dalam kandung kemih, dan akhirnya akan
menimbulkan manifestasi klinis. Pembesaran prostat yang mengelilingi dan
menekan uretra, sehingga terjadi obstruksi dan menyebabkan disfungsi
kandung kemih, yang pada akhirnya menimbulkan gejala pada traktus
urinarius bagian bawah. Peningkatan sensitivitas otot detrusor, bahkan
dengan volume urin yang sedikit dalam kandung kemih, diyakini sebagai
kontributor terjadinya peningkatan frekuensi berkemih dan gejala traktus
15
urinarius bagian bawah lainnya. Kandung kemih secara bertahap akan
bertambah lemah dan kehilangan kesanggupan
mengeluarkan/mengosongkan urin secara sempurna, akibatnya dapat terjadi
peningkatan residu urin dan retensi urin akut ataupun kronik.9

Obstruksi saluran keluar dari kandung kemih akan menyebakan


hipertrofi otot detrussor dan penebalan kandung kemih akibat peningkatan
beban melawan resistensi jalan keluar. Dalam kondisi normal, pengosongan
kandung kemih terjadi dengan tekanan detrusor dibawah 30 cmH2O dan
maksimal peak flow rate lebih dari 25 cc/detik. Pada fase awal obstruksi
saluran keluar, flow rate dipertahankan dengan peningkatan tekanan
pengosongan, sehingga terjadi kompensasi hipertrofi. Pada obstruksi lebih
lanjut, tekanan detrussor meningkat lebih tinggi dan flow rate turun dengan
sejumlah besar residu urin dalam kandung kemih. Otot detrussor diganti
dengan jaringan fibrosis, sehingga menjadi lemah dan mengalami
penurunan tonisitas. Pada fase akhir, terjadi dekompensasi hipertrofi dan
kerusakan kandung kemih menjadi irreversible Akibat adanya penebalan
dinding kandung kemih, selain terjadi peningkatan tekanan detrussor, terjadi

juga pembentukan trabekula, saccule dan divertikel pada kandung kemih.


Jika obstruksi tidak bisa diperbaiki dengan terapi medik maka perlu tindakan
operatif (TURP).9

Gambar 4. Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih8

16
3.2.5 Manifestasi Klinis

Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas


gejala obstruksi dan gejala iritatif seperti terlihat pada tabel 1. Manifestasi
klinis hiperplasia prostat dapat dibagi dalam 2 keluhan yaitu karena gejala
obstruksi dan gejala iritasi. Keluhan karena obstruksi antara lain berupa
penurunan kekuatan dan besarnya aliran urin, perasaan pengosongan
kandung kemih yang tak tuntas, double voiding, striningurinate dan post-
void dribbling. Sedangkan gejala iritasi antara lain disuria, urgency,
peningkatan frekuensi berkemih, dan nokturia.9

Tabel 1. Gejala LUTS 8

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih


sebelah bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring
yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem
skoring yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah
Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic
Symptom Score).

17
Gambar 5. International Prostate Scoring System9

International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil


berdasarkan skor American Urological Association (AUA) dibuat untuk
menilai berat-ringannya gejala obstruksi dan iritasi. Sistem skor ini terdiri
dari 7 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan memiliki skor 0-5,
sehingga nilai keseluruhan berkisar antara 0-35. Skor 0-7 menunjukkan
keluhan ringan, skor 8-19 menunjukkan keluhan sedang, dan skor 20-35
menunjukkan keluhan berat.9

3.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis

Diagnosis Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) seringkali dapat


ditetapkan berdasarkan anamnesis saja. Perhatian khusus pada beberapa
poin berikut sangat penting untuk membuat diagnosis yang benar dan
merekomendasikan pilihan pengobatan:10

- Onset dan durasi gejala


- Masalah kesehatan umum (termasuk riwayat seksual)
- Kebugaran untuk setiap kemungkinan intervensi bedah

18
- Keparahan gejala dan bagaimana mereka mempengaruhi kualitas
hidup
- Obat-obatan
- Perawatan yang pernah dicoba sebelumnya

Gejala yang sering dikaitkan dengan BPH dapat disebabkan oleh


proses penyakit lain, dan anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
untuk menyingkirkan etiologi lain dari (gejala saluran kemih bagian bawah
(LUTS). Selain itu, riwayat seksual penting untuk ditanyakan, karena studi
epidemiologi telah mengidentifikasi LUTS sebagai faktor risiko
independen untuk disfungsi ereksi dan disfungsi ejakulasi.10

Ketika prostat membesar, ia mungkin akan seperti "penjepit pada


selang", yaitu akan menyempitkan aliran urin. Saraf di dalam prostat dan
kandung kemih juga dapat berperan dalam menyebabkan gejala umum
berikut:10

- Frekuensi berkemih - Kebutuhan untuk sering buang air kecil di


siang atau malam hari (nokturia), biasanya hanya buang air kecil
dalam jumlah kecil pada setiap episode

- Urgensi urin - Kebutuhan mendadak dan mendesak untuk buang air


kecil, karena sensasi kehilangan urin segera tanpa kendali

- Keraguan - Kesulitan memulai aliran urin; terputus, aliran lemah

- Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap - Perasaan sisa urin


yang persisten, terlepas dari frekuensi buang air kecil

- Mengejan - Kebutuhan mengejan atau mendorong (manuverValsava)


untuk memulai dan mempertahankan buang air kecil agar lebih
sepenuhnya mengevakuasi kandung kemih

- Penurunan kekuatan aliran - Hilangnya kekuatan subjektif aliran urin


dari waktu ke waktu

- Dribbling - Hilangnya sejumlah kecil urin karena aliran urin yang


buruk

19
b.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, digital rectal examination (DRE), dan pemeriksaan
neurologis terfokus dilakukan selama adanya temuan klinis. Pada pemeriksaan
colok dubur/DRE dinilai ukuran dan konsistensi. Pada BPH biasanya
menghasilkan pembesaran prostat yang halus, kencang, dan elastis. Indurasi,
jika terdeteksi, harus membuat dokter waspada terhadap kemungkinan kanker
dan perlunya evaluasi lebih lanjut.2
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan infeksi atau
hematuria dan pengukuran kreatinin serum untuk menilai fungsi ginjal
diperlukan. Serum PSA dianggap opsional, tetapi kebanyakan dokter akan
memasukkannya dalam evaluasi awal. Pemeriksaan PSA, jika dibandingkan
pemeriksaan colok dubur saja dapat meningkatkan kemampuan untuk
mendeteksi kanker prostat, tetapi masih kontroversial karena terdapat banyak
tumpang tindih antara kadar yang terlihat pada BPH dan kanker prostat.2
d. Pencitraan
Pencitraan saluran atas (USG ginjal atau urogram tomografi
terkomputerisasi [CT]) direkomendasikan hanya jika ada penyakit saluran
kemih yang terjadi bersamaan atau komplikasi dari BPH (misalnya, hematuria,
infeksi saluran kemih, insufisiensi ginjal, riwayat penyakit batu). TRUS
berguna untuk menentukan ukuran prostat bagi laki-laki yang akan menjalani
operasi prostat yang diduga mengalami pembesaran prostat yang parah
berdasarkan DRE.2
e. Sistoskopi
Pemeriksaan Sistoskopi ini diperlukan ketika terdapat gejala obstruktif
yang ditandai dengan pembesaran prostat relatif minimal, sistoskopi mungkin
berguna untuk mengidentifikasi leher kandung kemih tinggi, striktur uretra,
atau patologi lainnya. Jika BPH dikaitkan dengan hematuria, maka sistoskopi
wajib dilakukan untuk menyingkirkan kelainan kandung kemih lainnya.2

20
3.2.7 Algoritma Diagnosis

Gambar 6. Algoritma Manajemen Diagnosis Benign Prostat Hiperplasia10

21
3.2.8 Tatalaksana
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh
sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan
konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan
terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
semakin parah.8

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki


keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi
infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5)
mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (5) mencegah
progresifitas penyakit. 8

a. Terapi Observasi
• Menunggu dengan waspada
Pasien dengan gejala ringan (IPSS 0 – 7) dan tanpa faktor penyulit
atau dengan gejala sedang dan gangguan minimal dapat ditangani
dengan watchful waiting. Menunggu dengan waspada termasuk
saran tentang perubahan gaya hidup yang dapat membantu
memperbaiki atau menghindari gejala. Perubahan ini termasuk saran
tentang volume, jenis dan waktu cairan yang dikonsumsi,
penghindaran kafein (diuretik), pantang konsumsi alkohol di malam
hari dan pengaturan buang air besar dengan menghindari
konstipasi.11

b. Terapi Medikamentosa
• Penghambat reseptor adrenergik-α
Caine adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan obat
penghambat adrenergik alfa sebagai salah satu terapi BPH. Pada saat
itu dipakai fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak
selektif yang ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi. Sayangnya obat ini tidak disenangi oleh
pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan kelainan
22
kardiovaskuler lain. penghambat adrenergik–α1 adalah: prazosin
yang diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin
yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dilaporkan
dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine. 8

Akhir-akhir ini telah diketemukan pula golongan penghambat


adrenergik–α1A, yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot
polos prostat. Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki
pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah
maupun denyut jantung. 8

• 5-Alpha Reductase Inhibitors


Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh
enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Menurunnya kadar
DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat
menurun. 8

Dilaporkan bahwa pemberian obat ini (finasteride) 5 mg sehari


yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan
penurunan prostat hingga 28%; hal ini memperbaiki keluhan miksi
dan pancaran miksi. 8

• Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data
farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen,
anti-androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin
(SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostaglandin, efek anti- inflammasi, menurunkan outflow
resistance, dan memperkecil volume prostat.
Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih

23
banyak lainnya. 8

c. Terapi Kombinasi
• α-Adrenergic Blockers dan 5α-Reductase Inhibitors
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin)
dan 5α-reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan
untuk mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat
yang berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga
meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah
perkembangan penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker
untuk memberikan efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-
reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk
menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini
menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut
dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi
kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS
sedang-berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar,
PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya
direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka panjang
(>1 tahun). 12

d. Terapi Operatif
Baik pembedahan maupun AUR (acute urine retention) merupakan
titik akhir yang berbeda dalam perkembangan penyakit BPH. Namun
demikian, ada perbedaan yang nyata. AUR adalah komplikasi BPH
yang memerlukan manajemen, dan pembedahan adalah salah satu
manajemen yang umum digunakan. Kebanyakan pasien menjalani
operasi untuk mengatasi gejala bukan untuk AUR. AUR merupakan
salah satu indikasi untuk melakukan pembedahan pada pasien dengan
BPH.13

24
Indikasi lainnya yaitu pasien yang gagal dengan TWOC (trial
without catheter). TWOC merupakan cara untuk mengevaluasi apakah
pasien dapat berkemih secara spontan setelah terjadi retensi dengan cara
memeriksa pancaran urin dan sisa utin setelah kateter dilepaskan. Pada
praktiknya, AUR menyumbang 5% hingga lebih dari 30% dalam
indikasi pembedahan.13

Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan


pembedahan didasarkan pada indikasinya. Indikasi tindakan
pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
seperti:13

(1) Retensi urine akut


(2) Gagal Trial Without Catheter (TWOC)
(3) Infeksi saluran kemih berulang
(4) Hematuria makroskopik berulang
(5) Batu kandung kemih
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH
(7) Perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian
atas.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan
sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian
terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi
medikamentosa.13

Pembedahan prostat dapat dilakukan secara terbuka denganteknik


operasi prostatektomi atau endourologi transuretral. Dari seluruh
operasi prostat, TURP (transurethral resection of prostate) dan laser
ablasi prostat masih menjadi prosedur yang paling umum dan yang
paling banyak dipelajari. TURP merupakan tindakan reseksi kelenjar
prostat secara transuretra dengan menggunakan cairan irigasi
(H2O/aquadest) agar daerah yang akan direseksi tidak tertutup oleh
darah.13

25
3.2.9 Komplikasi
Komplikasi dari BPH yang progresif jarang terjadi. Dalam praktik
klinis, risiko timbulnya batu kandung kemih dianggap kecil, dan skrining
hanya diindikasikan jika terdapat tanda klinis tertentu. Komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah dompensasi kandung kemih. Hal ini dapat terjadi karena
adanya remodeling dari mukosa kandung kemih. Pada pasien BPH dengan
obstruksi, kandung kemih akan mengalami trabekulasi hingga diventrikulasi
sehingga menurunkan fungsi kandung kemih. Inkontinensia urin adalah
salah satu komplikasi yang paling ditakutkan dari BPH. Hal ini mungkin
merupakan hasil dari BPH sekunder akibat overdistensi kandung kemih
(inkontinensia overflow) atau ketidakstabilan detrusor yang diperkirakan
akan mempengaruhi hingga satu setengah atau lebih dari semua pasien
dengan obstruksi (inkontinensia urgensi).13

Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat adanya peningkatan residu


urine yang akan mempengaruhi perkembangan terjadinya ISK. Pasien
dengan BPH mungkin dapat berkembang menjadi hematuria berat dan
membentuk gumpalan tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi.13

Retensi urine akut merupakan salah satu komplikasi palingsignifikan


atau kondisi jangka panjang yang dihasilkan BPH. Sekitar 25%-30% pria
yang menjalani TURP memiliki AUR sebagai indikasi utama sebelumnya
dan saat ini kebanyakan pasien mengalami kegagalan pengosongan setelah
upaya pengangkatan kateter masih menjalani operasi. Pasien akan
mengalami ketidakmampuan untuk buang air kecil dengan rasasakit yang
meningkat, akhirnya kunjungan ke ruang gawat darurat, kateterisasi,
kunjungan tindak lanjut ke dokter, upaya pelepasan kateter, danpemulihan
spontan berkemih atau operasi, keduanya merupakan proses yang
menyakitkan dan memakan waktu.15

Etiologi AUR kurang dipahami. Obstruktif, miogenik, dan penyebab


neurogenik semuanya mungkin berperan. Infeksi prostat, overdistensi
kandung kemih, asupan cairan yang berlebihan, konsumsi alkohol, dan
infark prostat dapat menjadi hal yang mendasari terjadinya AUR. AUR
spontan harus dibedakan dengan AUR terpicu. AUR terpicu mengacu pada
ketidakmampuan untuk buang air kecil setelah peristiwa pemicu, seperti
26
operasi yang tidak berhubungan dengan prostat, kateterisasi, anestesi,
menelan obat dengan simpatomimetik α, antikolinergik, atau antihistamin.

Seluruh episode AUR lainnya diklasifikasikan sebagai spontan.


Setelah AUR spontan, 15% pasien mengalami episode AUR spontan
lainnya, dan total 75% menjalani operasi, dan setelah AUR terpicu, hanya
9% yang mengalami episode AUR spontan, dan 26% menjalani operasi
spontan.13

3.2.10 Prognosis
Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau
perbaikan dari gejala yang dialaminya. Sekitar 10 - 20%, akan mengalami
kekambuhan penyumbatan 5 tahun.9

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis Prostat Hiperplasi Susp. Jinak (BPH) ditegakkan berdasarkan dari


data yang didapat, yaitu keluhan pasien laki-laki usia 80 tahun datang ke RS dengan
keluhan tidak dapat BAK sejak 6 jam (SMRS) dan terjadi secara tiba-tiba, Sejak
seminggu sebelumnya, pasien telah merasa kesulitan saat BAK. Pasien harus mengejan
untuk BAK. BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang
hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.
Wang D. menyatakan bahwa pada usia 40an, seorang pria mempunyai
kemungkinan terkena BPH sebesar 25%. Menginjak usia 60-70 tahun,
kemungkinannya menjadi 50%, lalu meningkat pada usia diatas 70 tahun menjadi 90%.
Pada kasus di atas usia pasien 80 tahun termasuk dalam kategori faktor resiko BPH. Ini
sesuai dengan teori etiologi BPH yaitu adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron. Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen:testosterone relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis).
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, menyebabkan efek
perubahannya juga terjadi secara bertahap. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher vesika, daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi
lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan
terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula,
sedangkan yang besar dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor mengalami kelelahan dan
mengalami dekompensasi yaitu ketidak mampuan untuk berkontraksi, sehingga terjadi
retensi urin yang menyebabkan ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan
timbulnya rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Dekompensasi yang berkelanjutan dapat
menyebabkan kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.

28
Kasus di atas memenuhi kriteria LUTS, yaitu adanya hesistansi, dimulai dari
proses memulai BAK yang lama, sering mengejan waktu BAK yang disebabkan oleh
karena otot destruksor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan
tekanan intravesikel untuk mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika. Keluhan
terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot
destrussor dalam mempertahankan tekanan intravesikel sampai berakhirnya miksi.
Sistem skoring I-PSS terdiri atas 7 pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS) dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup
pasien. Skor ringan (0-7), sedang (8-19), berat (≥ 20). Pada kasus di atas telah diketahui
skor IPSS adalah 29 yang merupakan skor berat. Penatalaksanaannya dengan dilakukan
tindakan operasi (terbuka atau tertutup). Pada kasus di atas dilakukan tindakan prosedur
TURP atau prosedur endourologi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Wein Alan J, Mavoussi Louis R, Partin Alan W, Peters Craig A. Campbell- Walsh
Urology 11th edition. United States: Elsevier Inc. 2016

2. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology. 19th ed. United States:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2020.

3. Smith JM, O’Flynn JD. Vesical stone: the clinical features of 652 cases. Ir Med J
1975;22:85–9.

4. Isaacs JT, Coffey DS. Etiology and disease process of benign prostatic hyperplasia.
Prostate Suppl. 1989;2:33–50.

5. Tjahjodjati, Soebadi DM, Umbas R, Purnomo BB, Widjanarko S, Mochtar CA, et al.
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic
Hyperplasia / BPH). Ikat Ahli Urol Indones [Internet]. 2017;1–38. Available from:
http://iaui.or.id/gdl/Guideline BPH 2017 (1).pdf

6. W. McAninch J, Lue TF. Smith & Tanagho’ s General Urology. Spesific Infectrions
of the Genitourinary Tract. 2020. 201–228 p.

7. Ng M, Baradhi KM. Benign Prostatic Hyperplasia. StatPearls [Internet]. 2020 Aug 10


Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558920/

8. Purnomo, B. Basuki. Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. SMF/Lab Ilmu Bedah RSUD Dr.
Saiful Anwar. 2003. 93-113 p.

9. Setiati S, Alwi I, Sudooyo AW, Simadibrata, Marcellus. Setiyohadi, Bambang. Syam


AF. Buku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. 2016. 2137–2145 p.

10. Deters LA, Costabile RA, Leveillee RJ, Moore CR, Patel VR. Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH). In: Medscape. Medscape; 2021.

11. Chughtai B, Forde JC, Thomas DDM, Laor L, Hossack T, Woo HH, et al. Benign
prostatic hyperplasia. Nat Rev Dis Prim. 2016;2:1–15.

12. Capogrosso P, Salonia A, Montorsi F. Evaluation and Nonsurgical Management of


Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell-Walsh-Wein Urology. 12th ed. Elsevier
Inc; 2021. p. 15249–417.

13. Roehrborn C, Strand DW. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell- Walsh-Wein
Urology. 12th ed. Elsevier Inc; 2020. p. 15079–195.

30

Anda mungkin juga menyukai