Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) didefinisikan sebagai proliferasi sel stroma yang
menyebabkan pembesaran ukuran prostat. BPH ini sudah menjadi masalah global pada pria usia lanjut.
Di dunia, hampir 30 juta pria menderita BPH. Pada usia 40 tahun sekitar 40%, usia 60-70 tahun
meningkat menjadi 50%, dan usia lebih dari 70 tahun mencapai 90%. Dan diperkirakan sebanyak 60%
pria usia lebih dari 80 tahun memberikan gejala LUTS. Di Amerika Serikat, hampir 14 juta pria pada
usia lanjut menderita BPH dan prevalesinya meningkat setiap tahunnya. (Gloria,2015).
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di
Indonesia setelah batu saluran kemih. Diperkirakan sekitar 5 juta pria diatas usia 60 tahun atau lebih
menderita BPH dan 2,5 juta pria diantaranya memberikan gejala LUTS. Berdasarkan data yang ada,
sedikitnya gejala yang timbul pada BPH berhubungan dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala
berkaitan dengan obtruksi yaitu susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% laki- laki
mengeluh kekuatan dan pancaran urine berkurang. (Dewi,2009) Gejala LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms) ini merupakan gejala saluran kemih bagian bawah yang biasanya terjadi pada usia lanjut.
(Keong Tatt Foo).
BPH menjadi masalah serius yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
pada pria usia lanjut. Gejala BPH ini dapat menyebabkan disfungsi ereksi dan masalah ejakulasi. Pria
dengan LUTS atau gejala BPH yang berat akan mengalami penurunan libido, mempertahankan ereksi
dan tingkat kepuasan seksual yang akan menurun. (Gloria,2015).
Survey dari Multi-National Aging Men (MSAM) yang dilakukan di eropa dan Amerika
menunjukkan bahwa dari 14.000 pria pada usia 50-80 tahun mengalami masalah seksual akibat BPH.
Data menunjukkan 49% mengalami kesulitan ereksi, mengalami gangguan ejakulasi dan 7%
mengalami nyeri saat berhuungan seksual. Meningat tingginya angka kejadian BPH, maka dari itu
penulis tertarik mengambil laporan kasus untuk mempelajari lebih lanjut mengenai penyakit tersebut.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas
Nama : Tn. M.
Usia : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ajung
Agama : Islam
Suku Bangsa : Madura
Pekerjaan : Petani
Tgl. Masuk RS : 17 Januari 2021
Tgl. Pemeriksaan : 17 Januari 2021

Anamnesis
KU : Sulit buang air kecil
RPS : Pasien mengeluh sulit buang air kecil sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasakan masih bisa
mengeluarkan kencing (mengejan untuk kencing), kencing keluar hanya menetes, terasa nyeri dan panas
saat kencing, sedang kencing dan setelah kencing. Kencing tidak disertai dengan darah atau nanah.
Pasien mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien mengeluhkan kencing sering sekitar 6-7
kali setiap harinya namun terasa tidak puas saat kencing, terasa ada sisa namun tidak bisa keluar,
pancaran kencing selalu sedikit dan melemah. Pada malam hari pasien tidak sering terbangun untuk
kencing. Pasien tidak pernah kencing keluar batu. Kemudian pasien dibawa ke PKM dan dipasang
selang cateter dan diganti tiap 10 hari. Setelah dipasang kateter, pasien merasa lega.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Hipertensi disangkal, Diabetes Melitus disangkal
Riwayat Penyakit Pengobatan:
Pemasangan Down cateter
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama.

3
Pemeriksaan Fisik
I. Status Generalis

Keadaan Umum : Cukup


Kesadaran/GCS : Composmentis/4-5-
6 Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, Reguler, Kuat angkat
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,8 oC
SpO2 : 98% tanpa O2

II. Pemeriksaan Fisik Umum


a. Kepala
 Kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
 Hidung : Deformitas (-), rhinorrhea (-)
 Telinga : Otorrhea -/-
b. Leher
 Pembesaran KGB (-) deviasi trakhea (-)
c. Thoraks
 Inspeksi :Terlihat bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada
kanan dan kiri simetris, retraksi dinding dada (-), iktus kordis tidak
tampak
 Palpasi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, iktus
kordis teraba pada ICS V midclavicula sinistra
 Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru kanan dan kiri
 Auskultasi : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
d. Abdomen
 Inspeksi : Fatty, distended (-), DC (-) DS (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)
 Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-),
hepar/lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen.
e. Ekstremitas
Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak didapatkan oedem, CRT < 2
detik.
III. Pemeriksaan Fisik
Khusus Status Urologis
 Regio Flank : Flank Pain (-/-), teraba massa (-/-)
 Regio Suprapubik : Vesica Urinaria teraba penuh, nyeri tekan (+),
tidak teraba massa
 Regio Urogenitalia : MUE (+) letak normal, bloody discharge (-),
terpasang downcateter ukuran 16.

Rectal Touching

Didapatkan tonus sfingter ani baik, mukosa licin, sulcus medianus teraba
normal, nodul (-), pembesaran prostat grade II dengan konsistensi prostat
kenyal, permukaan licin dan rata, lobus kanan kiri simetris. Nyeri (-), feses (-),
darah (-), lendir (-).
Pemeriksaan IPSS

Skor IPSS : 23 (Berat)

Untuk pertanyaan no.1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut :


0 = tidak pernah 3 = kurang lebih separuh kejadian
1 = <1 dari 5 kejadian 4 = lebih dari separuh kejadian
2 = separuh kejadian 5 = hampir selalu
Dalam 1 bulan terakhir ini berapa seringkah anda :
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing? Skor 5
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengah jam yang lalu Anda
kencing? Skor 3
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal ini
dilakukan berkali-kali? Skor 4
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing? Skor 2
5. Merasakan pancaran urin yang lemah? Skor 4
6. Harus mengejan dalam memulai kencing? Skor 4
Untuk pertanyaan no.7, jawablah dengan skor seperti dibawah ini :
0 = tidak pernah 3 = 3 kali
1 = 1 kali 4 = 4 kali
2 = 2 kali 5 = 5 kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali anda terbangun dari tidur malam
untuk kencing? Skor 1
Pertanyaan penilaian tentang kualitas hidup :
8. Bagaimana anda menikmati hidup? Mostly dissatisfied. Skor 4
Diagnosis Kerja : Retensi urin ec BPH
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Lengkap Tgl 17-01-2021

2. Foto Thorax
Planning Terapi
Inf PZ 14 tpm
levofloxacine 1x500 mg iv
Ramipril 5mg 0 1
Simvast 20mg 0 1
Imocard sr 1x1
Pro Prostatectomy
Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Benign Prostate Hyperplasi merupakan pertumbuhan nodul fibroadenomatosa dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa sehingga menyebabkan obstruksi leher kandung kemih
dan uretra prostatika. Pada histopatologi, BPH merupakan nodular hiperplasi yang mempengaruhi zona
transisional dan periuretral. (Keong Tatt Fou,2017). BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi
pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan prostat mengalami atrofi
dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urin. (Anil
Kapoor,2012)

Epidemiologi
Di dunia, hampir 30 juta pria menderita BPH. Pada usia 40 tahun sekitar 40%, usia 60-70
tahun meningkat menjadi 50%, dan usia lebih dari 70 tahun mencapai 90%. Dan diperkirakan sebanyak
60% pria usia lebih dari 80 tahun memberikan gejala LUTS. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih.
Diperkirakan sekitar 5 juta pria diatas usia 60 tahun atau lebih menderita BPH dan 2,5 juta pria
diantaranya memberikan gejala LUTS. (Gloria,2015)
Faktor- faktor terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada
predisposisi genetic atau perbedaan ras. Kira-kira 60% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang
menjalani operasi. BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal
dominan, dimana penderita yang memiliki orang tua menderita BPH memiliki 4 kali lipat lebih besar
dibandingkan dengan yang normal. (Glenn S, 2015).
Anatomi Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ
kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini
menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat
merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan
lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram. Prostat mengelilingi uretra pars prostatika dan ditembus di bagian
posterior oleh dua buah duktus ejakulatorius. (Purnomo,2011)

Gambar 1: Anatomi Prostat (sumber adam’s, 2011)


Secara histologi prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang mencurahkan sekretnya ke
dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini bermuara ke uretra pada kedua sisi kolikulus
seminalis. Kelenjar ini terbenam dalam stroma yang terutama terdiri dari otot polos yang dipisahkan
oleh jaringan ikat kolagen dan serat elastis. (Richard., Snell.2013)
Batas batas Prostat (Richard., Snell, 2013)

 Ke superior: Basis prostatae berlanjut dengan collum vesicae urinaria, otot polos berjalan tanpa
terputus dari satu organ ke organ yang lain. Urethra masuk ke pusat basis prostatae.
 Ke inferior : Apex prostatae terletak pada facies superior diaphragma urogenitale. Urethra
meninggalkan Prostat tepat di atas apex facies anteri
 Ke anterior : Facies anterior prostatae berbatasan dengan symphisis pubis, dipisahkan oleh lemak
ektraperitoneal yang terdapat di dalam cavum retropubicum (cavum Retzius). Selubung fibrosa
prostat dihubungkan dengan aspek posterior os pubis oleh ligamentum puboprostaticum.
Ligamentum ini terletak di samping kanan dan kiri linea mediana dan merupakan penebalan fascia
pelvis.
 Ke posterior : Facies posterior prostatae berhubungan erat dengan facies anterior ampulae recti dan
dipisahkan dari rectum oleh septum rectovesicale (fascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada
masa janin oleh penyatuan dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang awalnya
meluas ke bawah sampai ke corpus perineale.
 Ke lateral: Facies lateralis prostatae difiksasi oleh serabut anterior musculus levator ani pada saat
serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.

Struktur Prostat

Kelenjar-kelenjar prostat yang jumlahnya banyak, tertanam di dalam campuran otot polos dan
jaringan ikat dan ductusnya bermuara ke urethra prostatica. Prostat secara tidak sempurna terbagi dalam
lima lobus. Lobus anterior terletak di depan urethra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus
medius atau lobus medianus adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara urethra dan urethra
prostatica ductus ejaculatorius. (Sherwood,2011). Facies superior lobus medius berhubungan dengan
trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar.

Lobus posterior terletak di belakang urethra dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga
mengandung jaringan kelenjar. Lobus lateralis dextra dan sinistra terletak di samping urethra dan
dipisahkan satu dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada permukaan posterior
prostat. Masing-masing lobus lateralis mengandung banyak kelenjar. (Richard., Snellen,2013)
Vaskularisasi

Arterinya dari cabang-cabang arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media
memvaskularisasi prostat. Vena-vena membentuk plexus venosus prostaticus, yang terletak di antara
capsula prostatica dan selubung fibrosa. Plexus prostaticus menampung darah dari vena dorsalis penis
profunda dan sejumlah venae vesicales, serta bermuara ke vena iliaca interna. Persarafan prostat berasal
dari plexus hypogastricus inferior. Saraf simpatik merangsang otot polos prostat selama ejakulasi.

Gambar 2 : Potongan coronal laki-laki memperlihatkan prostat,diafragma urogenital.


(sumber : Richard., Snellen,2013)

5 zona pada kelenjar prostat:


a. Zona Anterior atau Ventral .
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini
meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat.Zona ini rentan
terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25%
massa glandular prostat.Zona ini resisten terhadap inflamasi.
Peripheral zone

Transition zone

Urethra

Gambar 3. Posisi Zona Perifer dan Transisional (Sumber : Sherwood.,2011)

d. Zona Transisional.

Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik.
Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama
jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra

Bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang
segmen uretra proksimal.

Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2)
Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel
prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel. (Purnomo,2011)

Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal. (Purnomo,2011).

Ketidakseimbangan antara estrogen –testosterone


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap
sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen
di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar. (Anil Kapoor,2012).

Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel
epitel maupun stroma. (Purnomo, 2011).

Fisiologi Prostat
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari vesikula
seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga
pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat,
fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui
kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan
perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi.
Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian
Stilbestrol. (Guyton,2011).
Patofisiologi BPH
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor
yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. ( Keong Tatt Fou, 2017)
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran
urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine,
buli- buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli- buli. Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien
dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus. (Purnomo,2011)
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari
buli- buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Hiperplasia Prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesika meningkat

↓ ↓
Buli-buli: Ginjal dan ureter:
 Hipertrofi otot detrusor Refluks VU
 Trabekulasi Hidroureter
 Selula Hidronefrosis
 Divertikel buli-buli Gagal ginjal

Bagan1. Pengaruh Hiperplasia prostat Pada Saluran Kemih

Hidronefrosis

Hidroureter

Hipertofi otot detrusor

Benigna prostat hiperplasi


Manifestasi Klinis

 Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)

Tabel 1. Gejala Benigna Prostat Hiperplasia

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli- buli untuk mengeluarkan
urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh faktor pencetus antara lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung
diuretikum, minum tertalu banyak).
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat).
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan
antikolinergik atau adrenergic α).

Sistem skoring I-PSS terdiri atas 7 pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Skor ringan (0-7), sedang (8-19),
berat (≥ 20). (Anil Kapoor,2012)
Keluhan pada saluran kemih bagian atas
Keluhan ini berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang yang
merupakan tanda dari hidronefrosis, atau demam yang merupakan tanda dari infeksi. (Purnomo,2011)

Pemeriksaan dan Diagnosis


1. Pemeriksaan Fisik
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine.
Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia
paradoksa. (Purnomo,2011)
Pada colok dubur yang harus diperhatikan
1) tonus sfingter ani/reflex bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan buli- bulineurogenik
2) mukosa rectum
3) keadaan prostat antara lain :
Kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetris antar lobus dan batas prostat.
Pada colok dubur pembesaran prostat benigna menunjukan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Volume yang normal pada
dewasa adalah 20-30 g. Pengukuran lebih tepat dapat menggunakan transrektal ultrasonografi (TRUS).
Raba apakah terdapat fluktuansi (abses prostat)/ nyeri tekan (prostatitis). Konsistensi prostat
keras/teraba nodul dan mungkin diantara lobus prostat tidak simetris. (Syamsuhidayat,2010).

Gambar 5. Pemeriksaan Rektal Digital (DRE)


2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi
adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau glukosa.
b. Faal Ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, BUN,
dan kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid residu
(PVR) yang tinggi.
c. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik).
d. PSA (Prostat Spesifik Antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat. (Anil Kapoor,2013)
e. Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan stroma di prostat. Beberapa kasus
menunjukkan proliferasi halus-otot hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia.

Gambar 7. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat


Hiperplasia (Sumber : Fiore,2013)
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan
kadangkala menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu
retensi urine. (Purnomo,2011)
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan
gelombang suara di prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada
layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal tampak memang tumor,
digunakan probe dan gambar USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum
mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy
terutama dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat. (Anil Kapoor,2012).

a. Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui pembukaan urethra di dalam penis.
Prosedur ini dilakukan setelah solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang. Tabung
tersebut disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu melihat bagian
dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini memungkinkan untuk menentukan ukuran kelenjar dan
mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.

Gambar 8. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat


Hiperplasia (Sumber:Vedmed.tennesse)
b. Ultrasonografi trans abdominal
Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan pembesaran bagian dalam glandula,
yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona
central dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical
capsule. USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan
ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

Gambar 9. Gambaran Sonografi Prostat Normal (Sumber : Purnomo,2011)

Gambar 10. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia


(Sumber: Purnomo,2011)

4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
 Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah miksi
 Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering
pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan
residu urin. Post-void residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih
setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih yang
memadai dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien diminta
untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.
(Purnomo,2011)

Gambar 11. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH Keterangan :

Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin lebih dari 15mL/s, urin residu 9
mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia prostat, terlihat waktu berkemih
memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100 mL.
Scoring IPSS
Skor I-PSS (International Prostate Symptom Score) merupakan skore yang berdasarkan pada
jawaban atas tujuh pertanyaan yang mengangkut gejala miksi dan 1 pertanyaan tentang kualitas
hidupnya. Tiap- tiap pertanyaan yang mengenai gejala miksi ini pasien diizinkan untuk memilih satu
dari enam jawaban yang menunjukkan tingkat keparahan dan peningkatan gejala miksi.
Hasil dari scoring ini adalah
o Mild (symptom score less than of equal to 7)
o Moderate (symptom score range 8-19)
o Severe (symptom score range 20-35)
Penatalaksanaan
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu
urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. (Purnomo,2011)
a. Watchful Waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat etrapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4)
kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
(Purnomo,2011)

Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya


keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri.
Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
dipikirkan terapi yang lain.

b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase. (Anil Kapoor,2012)
 Penghambat reseptor adrenergik α
Mekanisme kerja pada obat ini adalah mengendurkan otot polos prostat dan
leher kandung kemih, yang membantu untuk meringankan obstruksi kemih
disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax),
alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin
(Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan
pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu
dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat. (Purnomo,2011)
 Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam
sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan
replikasi sel-sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara
langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini menyebabkan
pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.
(Purnomo,2011)
 Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi parsial, tetapi data-data farmakologik
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fisioterapi sampai sata ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan
fitofarmaka bekerja sebagai : antiestrogen, antiandrogen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factos (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan
metabolism prostaglandin, efek anti inflamasi, menuruknan outflow
resistance dan memperkecil volume prostat. Diantara fitofarmaka yang
banyak dipasarkan adalah: Pyegeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya. (Purnomo,2011).

c. Terapi Invasif Minimal


Tindakan ini dilakukan pada pasien yang terutama ditujukan untuk pasien yang
memiliki resiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan invasif minimal
diantaranya adalah :
 Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro
pada frekuensi 915-1269 mhz yang dipancarkan melalui antenna yang
diletakkan di dalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44 oC dapat
menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena
nekrosis koagulasi. Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro
dipancarkan melalui kateter yang terpasang di dalam uretra. Besar dan arah
pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat melunakkan
jaringan prostat yang membuntu di uretra. Morbiditasnya relatif rendah, dapat
dilakukan tanpa anestesi, dapat dijalani oleh pasien yang kondisi kurang baik
jika menjalani pembedahan. (Purnomo,2011)
 TUNA (Transurethral Needle Ablation of The Prostate)
Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral jarum ablasi invasif
minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan
energy radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region
prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat
panas. Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan
efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi
transurethral dari prostat (TURP).(Simon ,2015)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 100 oc, sehingga dapat menyebabkan jaringan prostat.
Sistem
ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energy pada frekuensi radio. (Simon,2015)

Gambar 17. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

 Microwave uretral

Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan gelombang


mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat yang berlebih.
Dalam prosedur yang disebut microwave thermotherapy transurethral
(TUMT), perangkat mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk
memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit.
Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat
jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi
ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan
BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan
intermitensi.
 Stent
Stent dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan
disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.
Stent temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak
diserap dan tidak mengadakan reaksi jaringan. Stent yang permanen terbuat
dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel atau titanium. Sayangnya
setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa
gejala iritatif, perdarahan uretra atau rasa tidak enak di daerah penis.
(Purnomo,2011)

d. Pembedahan
 Pembedahan Terbuka
Beberapa macam teknik prostatektomi terbuka adalah metode millin, yaitu
melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, sedangkan teknik freyer melalui pendekatan suprapubik
transvesika, atau transperineal. Tindakan ini merupakan tindakan tertua yang
masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efiesien.
Prostatektomi atau pembedahan terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat
besar (>100 gram ). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn
(3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher
buli- buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85-100%. (Purnomo,2011).

 TURP (Transuretral Resection Prostate)


Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan
untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan
TURP, alat yang disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. The
resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi
lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik yang
memotong jaringan dan segel pembuluh darah. (Simon,2015)
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah
sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan
menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal
dengan sindrom TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai
gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat
bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak dan
jatuh ke dalam koma. (Purnomo,2011)
Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator harus
membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan harus
memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi diharapkan dapat
mengurangi penyerapan air ke sistemik.

Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan


memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek samping yang
mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi
ini, semen mengalir mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks
bukannya keluar uretra. Berikut adalah beberapa penyulit yang bisa terjadi :
Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra
Tabel 1. Penyulit TURP.

Gambar : Proses TURP


 Operasi Laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan
pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser
menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan
terapi ulang 2% setiap tahun. (Purnomo,2011). Kekurangannya adalah : tidak
dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi, sering banyak
menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan,
tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih
rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat
menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa semburan
energi yang berlangsung 30 sampai
60 detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan
penyusutan. (Anil Kapoor,2012)
 Elektrovaporisasi Prostat
Cara elektrovaporasi ini sama dengan TURP, hanya saja teknik ini
menggunakan roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup
kuat, sehingga membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman,
tidak banyak menimbulkan pendarahan pada saat operasi. Teknik ini dapat
dikerjakan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan
operasi yang lebih lama. (Purnomo,2011).
Riwayat
Pemeriksaan fisik & DRE
Urinalisa
PSA (meningkat/tidak)

Indeks gejala Retensi urinaria+gejala yang


berhubungan dg BPH
Hematuria persistent
Gejala Gejala sedang Batu buli
ringan Infeksi saluran urinaria
(AUA≤7)/ berulang
Tes diagnostic
Uroflow
Residu urin postvoid Operasi

Pilihan terapi

Terapi invasif
Terapi non-invasif

Tes diagnostic
Pressure flow
Uretrosistoskopi
Watchful Terapi medis
USG prostat

Terapi minimal invasif Operasi

Bagan 2. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia

Komplikasi
 Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi kandung
kemih, nyeri suprapubik
 Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri
 Infeksi traktus urinaria
 Batu buli
 Hematuri, Hidronefrosis-gangguan pada fungsi ginjal
 Inkontinensia-urgensi
 Hidroureter (Syamsuhidayat. 2010
DAFTAR PUSTAKA

Alen, Simon. 2015. Benign Prostatic Hyperplasia Treatment. Departement of


Urology. Yerevan State Medical University, Institute of Surgery
Mikaelan. Vol : 12 No:5.

Kapoor, Anil. 2012. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management in Primary


Care Setting. Departement of Urology Mc Master University.
Juravinski Cancer Center. Hamilton. Ontario Kanada. Page 10-15.

Purnomo., Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran


Universitas Brawijaya. Page 125-144.

Sampekalo, Gloria., A. Monoarfa., Richard. 2015. Angka Kejadian LUTS yang


Disebabkan Oleh BPH di RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado
Periode 2009-2013. Journal e-Clinic. Vol: 3 no 1. Page : 568.

Sjamsuhidajat R.,Karnadihajarja W., Prasetyono T.O.H dan Rudiman R. 2011. Buku


ajar Ilm Bedah Sjamsuhidajat-de jong, Ed 3. Jakarta : EGC.

Sherwood, Laura Lee. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC hal : 553-
569.

Snell, Richard.2013. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 10. Jakarta
: EGC. Hal : 778-799.

Tatt Fao, Keong. 2017. A Review Pathophysiology of Clinical Benign Prostatic


Hyperplasi. Departement of Urology Singapore General Hospital.
Asian Journal Urology. Vol : 4. Page : 152-157.

Anda mungkin juga menyukai