Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat
sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian
batu empedu masih terbatas.
Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000 kolesistektomi
dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika, yaitu pada 10
sampai 20% penduduk dewasa. Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani
pembedahan. Dua per tiga dari batu empedu adalah asimptomatis dimana pasien tidak
mempunyai keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1-4%. Sementara
pasien dengan gejala simtomatik batu empedu mengalami komplikasi 12% dan 50% mengalami
nyeri kolik pada episode selanjutnya. Risiko penderita batu empedu untuk mengalami gejala dan
komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu menimbulkan masalah
serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan
terus meningkat.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum
ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara
kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang
lain. Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat
bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan
disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu
dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan
kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah
Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.

1
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.M

Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Tanggal masuk RS : Kamis, 16 Juni 2016

Tanggal pemeriksaan : Senin, 20 Juni 2016

II. ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis


Tanggal : Senin, 20 Juni 2016
Tempat : Bangsal Bougenvil kamar 1

1. Keluhan Utama :

Pasien mengeluh muntah-muntah >4 kali dalam 1 hari selama kurang lebih 1 minggu

2. Keluhan Tambahan :

Pasien mengeluh nyeri ulu hati

3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 4 bulan SMRS pasien mengeluh tiba-tiba merasa nyeri seperti diremas-
remas pada ulu hati, nyeri tidak menjalar, nyeri hilang timbul, nyeri sedikit berkurang

2
saat pasien berbaring diam atau duduk menyandar. Nyeri dirasa bertambah berat setelah
pasien makan. Pasien mengeluh mual setiap kali makan dan minum, nafsu makan
berkurang, tidak ada penurunan berat badan. Pasien mengalami kesulitan tidur setiap
kali merasakan nyeri. Tidak ada keluhan demam.
1 hari SMRS nyeri dirasakan semakin berat, pasien merasa begah dan mual.
Pasien tidak mengeluh nyeri saat BAB, intensitas BAB normal 1x setiap hari. BAK
normal, warna kuning bening.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Batu Empedu (+)
Riwayat Kencing Manis dan Darah tinggi disangkal.
Riwayat Sakit Maag disangkal.
Riwayat Penyakit Kuning disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada riwayat penyakit seperti pasien dalam keluarga.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum :tampak sakit sedang

2. Kesadaran : compos mentis

3. Tanda Utama :
Tekanan darah : 130/80 mmHg

Frekuensi nadi : 80 x/menit, teratur.

Frekuensi napas : 24 x/menit

Suhu : 37,60 Celsius

B. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala : Normochepal, rambut tipis

3
2. Mata : Pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-

3. Leher: Trakea letak normal, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.

4. Telinga : Simetris kanan dan kiri, sekret -/-

5. Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -/-, sekret

6. Mulut :Bibir tidak kering, sianosis (-)

7. Thoraks :

a. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 4 linea midclavicularis sinistra

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : SISII normal, murmur (-), gallop (-)

b. Paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pernapasan simetris dalam
keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)

Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-).

9. Abdomen

Lihat status lokalis


10. Ekstremitas
Akral hangat, udem (-)

STATUS LOKALIS REGIO ABDOMEN

Inspeksi : Cembung, venektasi (-)

4
Palpasi : Nyeri tekan pada regio epigastrium, tidak teraba pembesaran hepar, lien
tidak teraba membesar, Murphy Sign (+)

Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen

Auskultasi : BU (+)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium darah (17 Juni 2016)

JENIS 29/06/2015 NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Hemoglobin 11,4 g/dL P: 14-18
W: 12-16
Leukosit 23.260 /uL 5000-10.000
Hematokrit 32 % P: 40-48
W: 37-43
Trombosit 212.000/uL 150-450 rb/u
Na+ 139 135-155 mmol/L
Cl- 103 95-107 mmol/L
K+ 3.37 3,6-5,5 mmol/L
Masa Pembekuan 11 menit 5-15
Masa Perdarahan 2 menit 1-6
Gula Darah Sewaktu 166 mg/dL <200 mg/dL
SGOT 160 u/L P: <37, W:<31 u/L
SGPT 269 u/L P: <41, W:<31 u/L
Ureum 45 mg/dL 17-43 mg/dL
Kreatinin 0,8 P:0,7-1,1 W:0,6-0,9
Asam Urat 5,7 P:3,6-8,2 W:2,3-6,1
Albumin 3.1 g/dl 3.4-4.8 g/dl

2. USG Abdomen (29-03-2016)

5
Hepar : Besar, bentuk normal, permukaan rata, tepi tajam, echogenesitas
parenkim meningkat, Tak tampak lesi hyper/hypoechoic, Saluran empedu
intra/extrahepatic baik tidak melebar.
Kandung empedu: ukuran tampak membesar (10,72 x 3,39 cm), dinding reguler, tak
menebal, intraluminal tampak sludge dan batu kecil multiple (ukuran antara 0,51 s/d 1,25
cm)
Lien : Tak membesar denga pola echotexture parenkhim normal, SOL negatif
Pancreas : Besar, bentuk normal, echostruktur parenkim normal.
Ginjal kanan : Besar dan bentuk normal. Permukaan rata, echo parenkim normal, sistem
pelviocalyces tak melebar, korteks dan medulla tak menipis, tak tampak batu/masaa.
Ginjal kiri : Besar dan bentuk normal. Permukaan rata, echo parenkim normal, sistem
pelviocalyces tak melebar, korteks dan medulla tak menipis, tak tampak batu/masaa.
Aorta : Dinding licin, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
paraaorta.
Vesica Urinaria : Besar, bentuk baik, dinding reguler tak menebal, tak tampak batu, sludge
ataupun massa
Uterus : Besar, bentuk baik. Echotexture parenkhim halus dan homogen.
Intraluminal tak tampak SOL.
Kesan : Fatty Liver
Kantung empedu disertai sludge dan cholelitiasis multiple
Struktur pankreas, lien, ginjal dan VU baik

III. DIAGNOSIS KERJA


Cholelithiasis

IV. DIAGNOSIS BANDING


Apendisitis
Kolesistitis
Gastritis
Pankreatitis
Kolangitis
Kolangiokarsinoma

6
V. PENATALAKSANAAN
Pre-operasi
1. IVFD NaCl 30 tpm
2. Ranitidine 2x50 mg iv
3. Cefotaxim 2x1 gr iv
4. Ketorolac 3x30 mg iv

VI. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Empedu


Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang terletak pada
permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang disebut
dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga
10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang mengandung
vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu
dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Saluran biliaris
dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar
bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus
komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus
hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis.
Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm,
melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri. Suplai
darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus
kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri
hepatik kanan. Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena
kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung
dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal.
Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir
dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau
sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena
portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang
melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik
dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus.

8
Gambar anatomi kandung empedu dan saluran bilier
(sumber: www.pennstatehershey.adam.com)
Fisiologi
Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut: 1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan
empedu yang berasal dari hati di antara dua periode makan. 2. Berkontraksi dan mengalirkan
garam empedu yang merupakan turunan kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin, ke
duodenum sehingga membantu proses pencernaan lemak.
Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air, elektrolit, garam
empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik terlarut lainnya. Kandung empedu
bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan
elektrolit diresorbsi oleh epitel kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan
konstituen organic. Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan
dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan makanan terutama
produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini merangsang
kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga empedu dikeluarkan ke
duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif
disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu
lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu
diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini
garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan
mereka ke kandung empedu. Proses pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut
sebagai sirkulasi enterohepatik. Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan
baik, garam empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus.

9
2.2. Kolelitiasis
2.2.1. Definisi
Istilah cholelithiasis atau kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau didalam duktus koledokus, atau pada kedua-
duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk didalam kandung
empedu (kolesistolitiasis). Jika batu empedu ini berpindah kedalam saluran empedu
ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder.
2.2. Epidemiologi
Sekitar 16 juta orang di AS menderita batu empedu, yang mengharuskan dilakukannya
sekitar 500.000 kolesistektomi dalam setahun. Batu empedu bertanggung jawab secara langsung
bagi sekitar 10.000 kematian pertahunnya. Prevalensi batu empedu bervariasi sesuai dengan usia
dan jenis kelamin. Wanita dengan batu empedu melebihi jumlah pria dengan perbandingan 4:1.
Wanita yang meminum estrogen eksogen memiliki peningkatan resiko, yang melibatkan hormon
lebih lanju lagi. Dengan bertambahnya usia, dominansi wanita ini menjadi kurang jelas. Batu
empedu tidak bisa ditemukan pada orang yang berusia dibawah 20 tahun (1 persen), lebih sering
dalam kelompok usia 40 sampai 60 tahun (11persen) dan ditemukan sekitar 30 persen pada orang
yang berusia di atas 80 tahun.
2.3 Etiologi
1. Obstruksi duktus sistikus dengan distensi dan iskemia vesika bilaris. Sumbatan batu
empedu pada duktus sistikus menyebabkan distensi kandung empedu dan gangguan
aliran darah dan limfe, bakteri komensal kemudian berkembang baik.
2. Cedera kimia (empedu) dan atau mekanik (batu empedu) pada mukosa Infeksi bakteri.
3. Adanya kuman seperti E. Coli, salmonela typhosa, cacing askaris, atau karena pengaruh
enzim enzim pankreas.

Faktor Risiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko di bawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis kelamin. Wanita memiliki resiko 3 kali lipat terkena kolitiasis dibandingkan pria. Ini
dikarenakan hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
usia yang lebih muda.

10
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.4. Patogenesis.

Pembentukan batu empedu terjadi karena zat tertentu di dalam saluran empedu berada
dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutannya. Ketika empedu terkonsentrasi di dalam
kandung empedu, zat tersebut akan membuat empedu supersaturasi, yang kemudian mengendap
dalam larutan sebagai kristal mikroskopik. Kristal tersebut tersumbat di dalam mukus kandung
empedu, dan menghasilkan sludge (lumpur) kandung empedu. Seiring waktu, kristal tersebut
tumbuh, menyatu dan mengering hingga menjadi batu makroskopik. Penyumbatas saluran oleh
sludge ataupun batu akan menyebabkan komplikasi penyakit batu empedu.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan aliran empedu secara parsial ataupun komplit sehingga menimbulkan gejala kolik
empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan
iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan duktus sistikus dan striktur. Jika
batu berhenti didalam duktus sistikus karena diameternya trelalu besar atau tertahan oleh striktur,
batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.

Kolelitiasis asimtomatik biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan


ultrasonografi, pembuatan foto polos perut, atau perabaan sewaktu operasi. Pada pemeriksaan
fisik dan laboratorium tidak ditemukan kelainan.

Terdapat dua zat utama yang berperan dalam pembentukan batu empedu, yaitu kolesterol
dan kalsium bilirubinat.

11
Batu Kolesterol

Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 persen
batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan batu kolesterol campuran yang
mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah
fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni terdapat
dalam sekitar 10 persen dari semua batu kolesterol. Sifat fisikomia empedu bervariasi sesuai
konsentrasi relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam empedu ini dapat dilihat dalam
grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan persentasi konsentrasi molar garam empedu,
lesitin dan kolesterol. Empedu yang mengandung kolesterol seluruhnya di dalam micelles
digambarkan oleh area di bawah garis lengkung ABC (cairan micelle) ; tetapi bila konsentrasi
relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada kolesterol
di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol)

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat
terjadi secara berurutan atau bersamaan:

1. Supersaturasi kolesterol empedu.


2. Hipomotilitas kantung empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.

12
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu

1. Supersaturasi Kolesterol empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme


kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh
komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan
fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk
misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal
dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu
agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil
terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara
komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang
akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol
dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid
bilayer tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel
turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal
sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid
dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana
selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi
terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan
bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.
Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai
faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram
segitiga, keseimbangan titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu,
5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol
dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P
berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan
misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol. Empedu
dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan mengandung konsentrasi
kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu disebut sebagai mengalami

13
supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan wujud
dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel,
vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang
selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram
keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase
misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal).
Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi
kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CSI
didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi
maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase keseimbangan pada model
empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu
keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas
solubilitas empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk
vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga
membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan
fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses
nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia
pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan
untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor
paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-
faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk:
1. Hipersekresi kolesterol.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi
kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
1. peningkatan uptake kolesterol hepatik
2. peningkatan sintesis kolesterol
3. penurunan sintesis garam empedu hepatik

4. penurunan sintesis ester kolestril hepatik

Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim


A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding

14
kontrol.Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik
yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang
tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol pembentukan kristal kolesterol.

2. Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.


Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya
sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada
keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam
empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi
supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar
garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam
empedu utama yakni:
1. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
2. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
3. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan
masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas
yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam
empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan
mensupresi sintesis asam empedu. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang
membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki
sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik
sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu
umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam
deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu
meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu
nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam
empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan
mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan
CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas
protein pronukleasi dalam empedu.

15
3. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid
95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama
fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol.
Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang
berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait
dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.

2. Hipomotilitas kantung empedu.

Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis
dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum
terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi
empedu ke dalam usus proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih
cepat dari evakuasi empedu peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis
empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat :
Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
o Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),
meningkatnya somatostatin dan estrogen.
o Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu
empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung
empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel
otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh
protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara
klinis,penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung
bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan
serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu,
hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis
merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan

16
terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis
menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan
gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan
fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang
berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge)
terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN
untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan
penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama
mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas
kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi
lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal
kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk
membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor
dalam litogenesis batu empedu.

3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.

Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses


nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu
supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh
keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein
tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel
kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol.
Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-
satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan
in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat
kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol
kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi. Faktor
pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk
imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam -1.
Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter

17
(kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat
diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor
antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II.
Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor
ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih
pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek
mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.

4. Hipersekresi mukus di kantung empedu

Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang


universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif
menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas
melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu
evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk
sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal
dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus
belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu hati litogenik. Kelompok
tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang berkontraksi (1,5 sampai 2g) yang
merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa timbul akibat hubungan umpan balik garam
empedu abnormal dengan penurunan sintesis hati bagi garam empedu atau hilangnya garam
empedu secara berlebihan melalui feses akibat malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi atau
pintas ileum. Kelompok lain, terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam jumlah
yang berlebihan. Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet kolesterol dan atau
kandungan kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol juga.

Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan disfungsi vesika
biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa menyebabkan stagnasi empedu di
dalam vesika biliaris dengan resorpsi air berlebihan dan merubah kelarutan unsur empedu.

18
Penelitian percobaan menggambarkan bahwa peradangan dinding kandung empedu bisa
menyebabkan resorpsi garam empedu berlebihan, perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu
serta sekresi garam kalsium, mukoprotein dan debris organik sel; perubahan ini bisa merubah
empedu hati normal menjadi empdu litogenik di dalam vesika biliaris. Peranan infeksi dalam
patogenesis pembentukan batu kolesterol bersifat kontroversial. Walaupun organisme usus
tertentu bisa dibiak dari inti batu kolesterol atau dari dinding vesika biiaris, namun sebagian
besar batu kolesterol terbntuk tanpa adanya infeksi.

Sumber gambar: cholesterolmedications.info

Batu Pigmen

Batu pigmen merupakan sekitar 10 persen dari batu empedu di amerika serikat. Ada dua
bentuk, yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen
murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilannya hijau sampai
hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer
bilirubin, asam empedu, dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26 persen) dan banyak senyawa
organik lain. Di daerah timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60
persen dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam serta
sering membuat batu diluar vesika biliaris di dalam duktus koledokus atau di dalam duktus
biliaris intrahepatik. Batu kalsium bilirubinat sering radioopak, sedangkan batu pigmen murni
mungkin tidak radioopak, tergantung pada kandungan kalsiumnya.

19
Patogenesis batu pigmen berbeda dengan batu kolesterol, kemungkinan mencakup sekresi
pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap di
dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen.
Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi. (anemia hemolitik), lazim
membentuk batu pigmen murni.

Patofisiologi batu Pigmen Murni (pigmen Hitam)


Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat
(khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi
hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar
sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase-
endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada
mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung
empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan komponen sulfat dari
gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang
umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah.
Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat
dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan
kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.

Patofisiologi batu pigmen Kalsium Bilirubinat (batu coklat)


Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan
penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus
bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau
parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis
sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.

patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma


enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-, fosfolipase A dan
hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan
seperti berikut:

Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan


pembentukan bilirubin tak terkonjugat.

20
Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan
asam palmitik).
Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium
dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi
sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis
empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan
glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus
yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.

Batu Pigmen Hitam

sumber gambar: anatomy.med.umich.edu

Batu Pigmen Coklat

2.5 Manifestasi Klinik

21
Hanya 20-25% pasien dengan batu empedu yang menunjukkan gejala klinia. Biasa batu
empedu dijumpai ketika dilakukan pemeriksaan USG dan dijumpai asimtomatik pada 80%
pasien.
1. Kolik bilier
Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu empedu merupakan keluhan utama pada
70-80% pasien. Nyeri kolik disebabkan oleh spasme fungsional di sekitar lokasi obstruksi. Nyeri
kolik mempunyai karakteristik spesifik; nyeri yang dirasakan bersifat episodik dan berat, lokasi
di daerah epigastrium, dapat juga dirasakan di daerah kuadran kanan atas, kuadran kiri,
prekordium, dan abdomen bagian bawah. Onset nyeri tiba-tiba dan semakin memberat pada 15
menit pertama dan berkurang hingga tiga jam berikutnya. Resolusi nyeri lebih lambat. Nyeri
dapat menjalar hingga region interskapular, atau ke bahu kanan.
2. Kolesistitis kronik
Diagnosis yang tidak pasti yang ditandai dengan nyeri perut atas kanan yang bersifat intermiten,
distensi, flatulens, dan intoleransi makanan berlemak, atau apabila mengalami kolesistitis
episode ringan yang berulang.
3. Kolesistitis obstruktif akut
Ditandai dengan nyeri konstan pada hipokondrium kanan, pireksia, mual , dapat atau tidak
disertai dengan jaundice, Murphy sign positif (nyeri di kuadran atas kanan), leukositosis.
4. Kolangitis
Ditandai dengan nyeri abdominal, demam tinggi, obstruktif jaundice (Charcots triad), nyeri
hebat pada kuadran atas kanan.
5. Jaundice obstruktif
Ditandai nyeri abdominal atas, warna feses pucat, urin berwarna gelap seperti teh pekat, dan
adanya pruritus. Jaundice obstruktif dapat berujung ke kolangitis bila saluran bersama tetap
terjadi obstruksi.
2.6 Diagnosis
Gambaran klinis
Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan batu
asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik, dan pasien dengan
komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis dan pankreatitis). Sebagian besar
(80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu dengan diagnosis maupun selama
pemantauan. Hampir selama 20 tahun perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap
asimptomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.
Pada penderita batu kandung empedu yang asimtomatik keluhan yang mungkin bisa
timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intoleransi pada makanan-makanan yang berlemak.

22
Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri
di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam, biasanya lokasi nyeri di
perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktus
biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan
peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri viscera di daerah
epigastrium, mungkin dengan penjalaran ke punggung yang disertai muntah.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Jika terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada
waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga
pasien berhenti menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih banyak
ditemukan di daerah tungkai daripada dibadan.
Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu. Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistisis akut dengan peritonitis lokal atau umum. Hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi
kandung empedu. Tanda murphy positif bila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan
pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu. Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam
fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Perlu diketahui bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, baru akan timbul ikterik klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang
ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan trias
Charcot, yaitu demam dan menggigil, nyeri di daerah hati dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya berupa kolangiolitis piognik intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade
reynold, berupa tiga gejala tria charcot, ditambah shock dan kekacauan mental atau penurunan
kesadaran sampai koma. Kelainan batang saluran empedu sering bisa dicurigai atas dasar riwayat
penyakit saja. Nyeri kuadran kanan atas, intoleransi makanan berlemak, demam dan kedinginan
serta riwayat ikterus, urin berwarna gelap dan feses berwarna terang. Semuanya menggambarkan
penyakit saluran empedu. Di samping itu, gambaran fisis ikterus, nyeri tekan kuadran kanan atas
dan massa pada kuadan kanan atas sangat bermanfaat dalam memusatkan diagnosis pada batang
saluran empedu. Tetapi gambaran ini tidak patognomonik bagi penyakit saluran empedu dan
kadang-kadang bisa timbul sekunder terhadap penyakit dalam sistem organ lain. Lebih lanjut
karena lokasi anatominya, maka batang saluran empedu tidak memberikan kemungkinan dengan
pemeriksaan palpasi luar (kecuali vesika biliaris yang berdistensi). Sehingga berbeda dari banyak

23
sistem tubuh lain, sebenarnya diagnosis pasti sebagian besar kasus saluran empedu selalu
memerlukan bantuan pemeriksaan laboratorium dan/atau teknik pembuatan gambar radiografi,
sonografi atau radionuklir. Tes diagnostik ini telah dirancang secara primer untuk mendeteksi
adanya batu empedu dan/atau untuk menentukan adanya obstruksi atau halangan aliran empedu
dengan analisis kimia berbagai fungsi hati dan ekskresi empedu atau dengan visualisasi langsung
anatomi batang saluran empedu.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium. Batu empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukan kelainan


laboratotik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terdapat sindrom
Mirizzi, akan ditemukan kelainan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus
oleh batu, dinding yang udem di daerah kantong Hartmann, dan penjalaran radang ke dinding
yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali ada serangan akut.
Pencitraan. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
akibat fibrosis atau udem karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. Dengan
ultrasonografi, lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi.
Dengan ultrasonografi, punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren
lebih jelas daripada dengan palpasi. Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang
khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.

2.6. Tatalaksana
1. Paisen Asimtomatik
Belum terdapat bukti yang mendukung intervensi bedah pada kasus asimtomatis. Risiko
operasi dianggap lebih besar dibandingkan manfaatnya. Tatalaksana berupa intervensi gaya
hidup, antara lain olahraga, menurunkan berat badan, dan diet rendah kolesterol.
2. Pasien Simtomatik
Pilihan terapi utama berupa intervensi bedah atau prosedur invasif minimal untuk
mengeluarkan batu. Terapi farmakologis masih belum menunjukan efikasi yang bermakna.
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliarisyang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan
untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Pada kolesistktomi terbuka, insisi dilakukan di daerah subcostal, biasanya pada
kolesistektomi terbuka dilakukan intraoperatif kolangiogram dengan cara memasukkan
kontras lewat kateter kedalam duktus sistikus untuk mengetahui outline dari saluran

24
bilier, alasan dilakukannya intraoperatif kolangiogram adalah karena ada kemungkinan
10 persen terdapat batu pada saluran empedu.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik.Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin
dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.

Sumber gambar: aurorahealthcare.org


c) Prosedur Endoscopic Retrograde Cholangipancreatography (ERCP)
Prosedur Endoscopic Retrograde Cholangipancreatography (ERCP) dengan
sfingterotomi endoskopik bertujuan untuk mengeluarkan batu saluran empedu dengan
balon-ekstraksi melalui muara yang sudah dilebarkan menuju duodenum. Batu empedu
akan keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama instrumen ERCP.

d) Extracorporeal shock wave lithotripsy ( ESWL)


Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

25
Sumber gambar: bupa.co.uk

e) Terapi farmakologis dengan asam urodeksikolat (dosis 10-15 mg/KgBB/hari)

2.7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : (Sjamsuhidajat,2005)
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik

26
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu
muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan kontraksi
kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat
menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi
duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi
maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi
oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh
atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
2.8. Prognosis
Kurang dari setengah pasien dengan batu empedu menjadi simtomatik. Tingkat kematian
dengan kolesistektomi elektif sebesar 0,5%. Tingkat kematian untuk kolesistektomi emergency
sebesar 3-5%. Setelah dilakukan kolesistektomi, batu akan mungkin terbentuk kembali di dalam
saluran empedu. Dari semua pasien yang menolak tindakan operatif, 45% tetap asimtomatik
sedangkan 55% mengalami berbagai macam komplikasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006

R. Sjamsoehidajat and Wim de Jong, Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2010

Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128

Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New Delhi:Blackwell


Publishing.2006.

28

Anda mungkin juga menyukai