Anda di halaman 1dari 39

Presentasi Kasus

SIROSIS HATI

Oleh :
Farizky Baskoro
110.2011.100
Pembimbing :
dr.Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 18 MEI 26 JULI 2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas
rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus penyakit dalam ini
dengan judul SIROSIS HATI sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon. Berbagai kendala yang
telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, maka
selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus
kepada seluruh pihak yag telah membantu penulis dalam menyelesaikan presentasi kasus ini.

PRESENTASI KASUS

Topik
Penyusun

: Sirosis Hepatis
: Farizky Baskoro

I. Identitas Pasien
Nama

: Tn. A

Usia

: 63 tahun

Pekerjaan

:-

Agama

: Islam

Alamat

:-

Jenis kelamin

: Laki-laki

Ruangan

: Aster-Nusa Indah RSUD Cilegon

No. CM

: 40XXXX

Tanggal Masuk

: 4 Juni 2015 (Aster)

Pembiayaan

: Umum

II. Anamnesa
Keluhan Utama :
Perut yang membesar sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Keluhan Tambahan :
Kaki dan tangan sedikit bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tuan A datang dengan keluhan utama scrotum yang semakin membesar sejak
1 minggu SMRS. Pasien datang dengan keadaan sadar dibawa oleh keluarga ke
RSUD Cilegon pada tanggal 3 Juni 2015, pasien juga mengeluhkan sebelumnya perut
membesar. Pasien merasa scrotum mulai membesar sejak 1 minggu SMRS dengan
didahului perut yang membesar 1 minggu sebelumnya. Selain itu kaki dan tangan
pasien juga sedikit membengkak.
Pasien menyangkal mengeluh muntah, sakit ulu hati, batuk, pilek dan sesak. BAB
dan BAK pasien tidak ada keluhan.

Setelah dari IGD pasien dirawat di ruang Aster RSUD Cilegon, tetapi setelah
itu di-alih rawat ke Nusa Indah.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pernah dirawat sebelumnya dengan diagnosis sirosis hepatis.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Diabetes Melitus.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Hipertensi dan penyakit ginjal
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Asmadan Alergi.
Pasien mengatakan belum pernah menderita sakit TB paru dan juga tidak pernah
mendapat pengobatan paru selama 6 bulan.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Hepatitis pada keluarga disangkal
Riwayat Hipertensi dan gangguan ginjal pada keluarga disangkal
Riwayat DM pada keluarga disangkal
Riwayat TB paru pada keluarga disangkal
Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal
Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
Kepala
(-) Trauma
(-) Sinkop
(-) Rambut rontok
Mata
(-) Nyeri
(-) Radang
(-) Sklera Ikterus

Telinga
(-) Nyeri
(-) Sekret

Hidung
(-) Trauma
(-) Nyeri
(-) Sekret
(-) Epistaksis

(-)
(-)

Nyeri kepala
Nyeri sinus

(-)
(-)
(-)

Sekret
Gangguan penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan

(-)
(-)
(-)

Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran

(-)
(-)
(-)

Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek

Mulut
(-) Bibir
(-) Gusi
(-) Selaput

(-)
(-)
(-)

Lidah
Gangguan pengecapan
Stomatitis

(-)

Perubahan suara

Leher
(-) Benjolan/ massa

(-)

Nyeri leher

Jantung/ Paru
(-) Nyeri dada
(-) Berdebar-debar
(-) Ortopnoe

(-)
(-)
(-)

Sesak nafas
Batuk darah
Batuk

Abdomen
(+) Rasa kembung
(+) Mual
(-) Muntah
(-) Caput medusae
(-) Benjolan
(+) Nyeri perut

(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Perut membesar
Muntah darah
Mencret
Melena
Tinja berwarna dempul
Pelebaran vena

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)

Kencing nanah
Nyeri
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Kencing kuning keruh atau air teh

Otot dan Syaraf


(-) Anestesi
(-) Parestesi
(-) Otot lemah
(-) Kejang
(-) Afasia
(-) Amnesis
(-) Lain-lain

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan / syncope
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas
(+) Bengkak

(-)

Deformitas

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok
(-) Nyeri menelan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria
(-) Stranguri
(-) Poliuria
(-) Polakisuria
(-) Hematuria
(-) Batu ginjal

(-)
(-)

Nyeri sendi
Ikterik

(-)
(-)

Sianosis
Eritem palmar

III. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda Vital:
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Suhu

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: 110/70 mmHg
: 82 kali/menit
: 22x kali/menit
: 360C

STATUS GENERALIS:
1. Kepala :
Normocephal, rambut beruban tidak lebat, dan tidak mudah dicabut.
2. Mata :
Normal, Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
3. Hidung :
Bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-/-), secret (-/-)
4. Telinga :
Membran timpani intak (+), serumen (-/-), secret (-/-)
5. Mulut :
Mukosa mulut basah dan lidah dalam batas normal, tidak sianosis
6. Tenggorokan :
Uvula ditengah, tonsil normal, faring hiperemis (-)
7. Leher :
Tidak tampak pulsasi vena pada leher, tidak teraba adanya massa atau
pembesaran KGB.
8. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada sela iga ke-5 sinistra
Perkusi :
Batas pinggang jantung : ICS II linea parasternal sinistra
Batas kanan jantung
: ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri jantung
: ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
b. Paru
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
6

Palpasi : Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan


kiri sama
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/9. Abdomen
Inspeksi

: Tampak simetris, membuncit, tidak terdapat sikatrik,


tidak ditemukan adanya spider nevi. tidak terlihat
massa, terlihat adanya pelebaran vena, tidak ada

Auskultasi

kelainan kulit
: Bising usus (+), bising aorta abdominalis tidak

Perkusi

terdengar.
: Terdengar suara domianan timpani pada keempat

Palpasi

kuadran abdomen, shifting dullness (+)


: Supel, lembut, turgor normal, hepatoomegali
tidak terdapat nyeri tekan.

10. Ekstremitas
Superior
Inferior

: Akral hangat, sianosis -/-, edema +/+


: Akral hangat, sianosis -/-, edema +/+

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (IGD, 3 Juni 2015)
o
o
o
o
o
o
o
o

Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
GDS
Ureum
Kreatinin
Gol. Darah

: 9,2 g/dl
: 29,0 %
: 6.060 /uL
: 78.000 /uL
: 72 mg/dl
: 27 mg/dl
: 0,8
: B (Rh +)

Laboratorium (Aster, 7 Juni 2015)


o Hb

: 9,3 g/dl

o Ht

: 30,0 %

o Leukosit

: 5.230/uL

o Trombosit

: 70.000/uL

o Albumin

: 2,7 mg/dl

o SGOT

: 18
7

(-),

o SGPT

: 12

o Na

: 143,8 mmol/l

o K

: 4,75 mmol/l

o Cl

: 112,0 mmol/l

IMUNO SEROLOGI
o HbsAg
: negatif
o Anti HCV : negatif
o Anti HIV : non reaktif
Laboratorium (Aster, 8 Juni 2015)
o
o
o
o

Hb
Ht
Leukosit
Trombosit

: 10,1 g/dl
: 29,5 %
: 6.500/uL
: 88.000/uL

USG Abdomen

Hepar

Ukuran membesar (craniocaudal 16,23 cm), bentuk normal,


permukaan rata, sudut tajam, echogenisitas parenkim normal.
Tak tampak lesi hyper/hypoechoic. Vena porta baik. Vena
hepatika dan Vena Kava inferior tampak melebar. Saluran

Kantung Empedu

empedu intra/ekstrahepatik baik tidak melebar.


Besar, bentuk dan caliber normal. Dinding tak menebal, reguler.

Lien

Intraluminal tidak tampak sludge/batu maupun massa.


Besar dan bentuk normal. Parenkim homogen. Tak tampak

Pancreas

nodul.
Besar dan bentuk normal, echostruktur parenkim normal. Tak

Ginjal Kanan

tampak lesi hyper/hypoechoic, ductus pankreaticus tak melebar.


Besar dan bentuk normal. Permukaan rata, echo parenkim
normal, sistem pelviocalyces tak melebar, korteks dan medulla
tak

Ginjal Kiri

menipis.

Tak

tampak

batu/massa

serta

tanda-tanda

bendungan pada ginjal.


Besar dan bentuk normal. Permukaan rata, echo parenkim
9

normal, sistem pelviocalyces tidak melebar, korteks dan medulla


tak

menipis.

Tak

tampak

batu/massa

serta

tanda-tanda

bendungan pada ginjal.


Dinding licin, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah

Aorta

bening para aorta.


Bentuk baik, dindig reguler tak menebal, tak tampak batu.
Tampak ascites dan tampak effusi pleura
Kesan: Hepatomegali dengan dilatasi Vena Hepatika dan Vena Kava inferior,
Vesica Urinaria

cenderung gambaran kongestive liver.


Ascites dan Effusi pleura.
Struktur kandung empedu, pankreas, lien dan ginjal baik.

V. Diagnosis
Diagnosis Kerja : - Sirosis Hepatis
- Hipoalbumin
- CHF
VI. Diagnosis Banding
Cholesistisis
Hepatokarsinoma Seluler
Peritonitis
VII. Pemeriksaan yang Dianjurkan
Pemeriksaan Bilirubin indirek, direk dan total
Pemeriksaan Cairan Asites
Pemeriksaan peritonoskopi (laparoskopi)
Biopsi hati
VIII. Terapi yang diberikan
Ruangan Nusa Indah
Non Farmakologis
Tirah baring

Farmakologis
- Cefotaksim 2x1

IVFD RL asnet

- Ketorolac 3x1
- Furosemide 2x2
- Ranitidine 2x1
- Kalnex 3x1
10

- Vit. K 3x1
- Psidii tab 3x1
- Sucralfat syr 3x1
- Digoxin 1x1/2\
- inj. Omz 2x1
IX. Prognosis

Quo ad vitam

: ad malam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

Quo ad sanactionam : dubia ad malam

11

Follow Up
8 Juni 2015
S:
Pasien mengeluh
scrotum dan perut
masih besar, perut
terasa keras, kaki dan
tangan bengkak, batuk
(+)

O:
o
o
o
o
o
o
o

o
o
o
o

KU: TSS
KS: CM
TD: 110/70
RR: 16
N: 60
S: 36,5oC
Kepala
:
normocephal
Mata
: CA -/Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
:
simetris, retraksi
(-)
Cor
: BJ III reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves -/-,
wh(-) rh(-)
Abd.
: supel,
NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral
+
+
hangat /+ /+
edema +/+ +/+

11 Juni 2015

12

A:

P:

- Hidrocele

- IVFD RL asnet

- Edema
anasarka e.c
hipoalbumin

- Sucralfat syr
- Cefotaksim 2x1
- Ketorolac 3x1

- susp.ascites
- Furosemide 2x2
- Ranitidine 2x1
- Kalnex 3x1
- Vit. K 3x1
- Psidii tab 3x1
- Sucralfat 3x1

S:
Pasien mengeluh
scrotum masih besar,
perut sedikit mengecil
setelah minum obat,
kaki dan tangan masih
bengkak

O:
o
o
o
o
o
o
o

o
o
o
o

A:
KU: TSS
- Hepatomegali
KS: CM
- Sirosis Hepatis
TD: 100/70
RR: 20
- Melena
N: 80
S: 36oC
Kepala
:
normocephal
Mata
: CA -/Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
:
simetris, retraksi
(-)
Cor
: BJ III reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves -/-,
wh(-) rh(-)
Abd.
: supel,
NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral
+
+
hangat /+ /+
edema +/+ +/+

13

P:
- IVFD RL asnet
- Sucralfat syr
- Cefotaksim 2x1
- Ketorolac 3x1
- Furosemide 2x2
- Ranitidine 2x1
- Kalnex 3x1
- Vit. K 3x1
- Psidii tab 3x1
- Sucralfat 3x1
- Digoxin 1x1/2
- inj. Omz 2x1

ANALISA KASUS
1.

Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat ?


Ya, karena pada kasus ini, berdasarkan hasil anamnesis diperoleh keluhan-keluhan yang
mengarah kepada manifestasi klinis dari sirosis hati seperti keluhan lemas, nyeri perut,
penurunan nafsu makan, demam. Selain itu ditemukan juga keluhan yang terkait dengan
gangguan fungsi hepar seperti perut yang membesar disertai bengkak pada kaki, dan juga
adanya bengkak pada scrotum. Selain itu ditambah dengan riwayat penyakit dahulu Tn.
A, dimana pasien pernah dirawat dengan diagnosis yang sama. Pada pemeriksaan fisik
juga ditemukan salah satu tanda utama dari sirosis hati yaitu adanya asites disertai
edema tungkai, dimana hal ini dapat dibuktikan dengan tes undulasi dan shifting dullnes
yang positif. Tidak lupa pula tanda-tanda organomegali, dimana hal ini ditemukan
hepatomegali pada Tn.A.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar albumin yang rendah yang menjadi
salah satu indikasi penurunan fungsi hati dan berhubungan dengan terjadinya edema pad
pasien. Pada pemeriksaan USG abdomen dicurigai gambaran Sirosis Hepatis dengan
terdapat ascites dan adanya dengan hepatomegali dan pelebaran vena.
2. Bagaimanakah bisa terjadi edema pada pasien ini?
Terjadinya edema diawali dengan adanya hipolabumin dimana sintesis albumin turun
sesuai perburukan sirosis. Hal ini berperan menimbukan oedem dan ascites karena
albumin berperan dalam tekanan onkotik plasma, sehingga jika kekurangan albumin
akan terjadi ketidakseimbangan perpindahan cairan yang pada akhirnya menimbulkan
edema.

14

3. Mengapa terjadi trombositopenia pada pasien ini?


Mekanisme terjadinya trombositopenia ini secara klasik diduga akibat adanya pooling
dan percepatan penghancuran trombosit akibat pembesaran dan kongesti limfa yang
patologis yang disebut hipersplenisme. Namun dari pengalaman klinis, banyak pasien
sirosis hati dengan splenomegali memiliki jumlah trombosit normal. Sebaliknya banyak
diantara mereka mengalami trombositopenia tanpa adanya pembesaran limfa. Sehingga
muncul

dugaan

bahwa

ada

mekanisme

lain

dalam

pathogenesis

terjadinya

trombositopenia pada sirosis hati.


Trombopoesis merupakan proses yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sitokin
dan trombopoetin. Trombopoetin merupakan hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh
hepatosit, sedikit pada ginjal, limfa, paru, sumsum tulang dan otak. Trombopoetin adalah
pengatur utama produksi trombosit. Trombopoetin bekerja dengan cara menstimulasi
megakariopoesis dan maturasi trombosit. Kerusakan hati akan mempengaruhi
pembentukan trombopoetin sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan antara
destruksi dan produksi trombosit dengan akibat trombositipenia.
15

4. Mengapa nilai SGOT/SGPT pada pasien ini tidak meningkat?


Pada sirosis hati yang sudah lanjut atau sangat berat sering mendapatkan kadar
SGPT/SGOT normal. Hal ini terjadi karena jumlah sel hati pada sirosis berat sudah
sangat kurang, sehingga kerusakan sel hati relatif sedikit. Tapi kadar bilirubin akan
terlihat meninggi dan perbandingan albumin/globulin akan terbalik. (Suwandhi. 2007)
5. Bagaimanakah prognosis pada pasien ini?
Sampai saat ini kriteria yang dipakai sebagai parameter dalam upaya menentukan
prognostik sirosis hati adalah skor modifikasi Child Pugh. Kriteria ini juga dapat dipakai
untuk menilai keberhasilan terapi konservatif.2 Prognosis sirosis hati berdasarkan skor
kriteria Child Pugh yang dihubungkan dengan angka mortalitas terhadap tindakan
operasi adalah Child Pugh A 10-15%, Child Pugh B 30% dan Child Pugh C > 60%.
Sehingga secara keseluruhan prognosis pada pasien-pasien dengan sirosis hati ialah
dubia ad malam.

16

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Sirosis Hepatis
Istilah Sirosis diberikan pertama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal dari kata
kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi perubahan warna pada
nodul-nodul hati yang terbentuk (Hadi, 2002).
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular
dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah , 2009).
Terlepas dari penyebab sirosis, bentuk patologisnya terdiri dari perkembangan fibrosis
yang menjadi suatu keadaan adanya distorsi bentuk hati yang akan membentuk nodul
regeneratif. Hal ini menyebabkan penurunan massa hepatoseluler, penurunan fungsi, dan
perubahan aliran darah. Induksi fibrosis terjadi dengan aktivasi sel stellate hati, sehingga
terjadi peningkatan pembentukan jumlah kolagen dan komponen lain dari matriks
ekstraseluler (Fauci et al, 2008).
Sirosis hepatis merupakan entitas patologik yang ditandai dengan (1) nekrosis sel hati,
progresif lambat dalam waktu lama yang akhirnya menyebabkan gagal hati kronis dan
kematian; (2) fibrosis, yang mengenai vena sentralis dan daerah porta; (3) nodul regeneratif,
akibat hiperplasia sel hati yang bertahan hidup; (4) distorsi pada arsitektur lobular hati
normal; dan (5) mengenai seluruh hati secara difus (Taylor, 2006).
Menurut Lindseth; sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan
distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati. Sirosis hepatis dapat mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan
pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati (Price, 2006).
2. Etiologi dari Sirosis Hepatis
Penyebab pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :
2.1. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Schiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi
memegang penting untuk timbulnya sirosis hepatis. Dari hasil laporan Hadi di dalam
simposium patogenesis sirosis hepatis di Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata
17

dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani , dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hepatis yang berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini
ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan
pegawai rendah menengah (Hadi, 2002).
2.2. Hepatitis Virus
Infeksi virus merupakan penyebab paling sering dari sirosis hepatis. Hanya HBV atau
HCV mengakibatkan penyakit hati kronis. Virus Hepatitis D adalah virus yang tidak lengkap
yang hanya patogen bila bersama-sama dengan HBV. Virus A dan E penyebab hepatitis, tetapi
tidak berkembang menjadi sirosis hepatis. Virus hepatitis G telah diidentifikasi tidak
menghasilkan penyakit hati. Infeksi HBV didiagnosis oleh adanya antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg); HCV, oleh anti-HCV dan HCV RNA (Anand, 2002).
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hepatis, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam
darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar
untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa
hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi
gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus
A (Hadi, 2002).
2.3. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi
lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alkohol (Hadi, 2002).
Alkohol adalah bentuk minuman yang difermentasi yang banyak dikonsumsi oleh
orang-orang dari berbagai masyarakat dan peradaban di seluruh dunia mulai dari periode
Neolitik sekitar 10.000 SM sampai saat ini. Penyalahgunaan alkohol dihubungkan dengan
sirosis hepatis, bagaimanapun telah terungkap dari berbagai penelitian dan studi yang
dilakukan, dimulai pada akhir abad ke-18. Karena pecandu alkohol dengan sirosis hepatis
secara konsisten kekurangan gizi dan memiliki tubuh kurus dipercaya bahwa penyakit hati
tidak disebabkan oleh meminum terlalu banyak alkohol tetapi dikarenakan terus-menerus
kekurangan asupan gizi yang seharusnya . Konsep teori etiologi gizi untuk penyebab sirosis

18

menjadi faktor yang sangat kuat yang berlanjut sampai pertengahan tahun 1960 (Nayak,
2011).
Dalam perkembangannya pada saat hasil dari studi epidemiologis yang rinci dan studi
klinis pada manusia dan studi eksperimental pada tikus dilakukan evaluasi. Hal ini
ditunjukkan pada manusia sama seperti hewan laboratorium bahwa alkohol dapat langsung
merusak sel-sel hati terlepas dari status gizi host. Kerusakan hati dimulai dengan hati yang
berlemak (steatosis), menyebabkan steatohepatitis, fibrosis progresif dan akhirnya akan
menyebabkan sirosis hepatis. Sampai dengan tahap sirosis ada perbaikan jika alkohol
dihentikan (Nayak, 2011).
Pada kondisi kalori dari protein kurang pada hewan dan manusia maka akan
mendorong steatosis yang parah dan luas, tetapi tidak menyebabkan fibrosis yang signifikan
dan tidak pernah menjadi sirosis. Bahkan, pembentuk kolagen dihati dapat diatasi pada tahap
kekurangan protein (Nayak, 2011).
2.4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda
dengan ditandai sirosis hepatis, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin
pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini
diduga disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati
(Hadi, 2002).
2.5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita
dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan
timbulnya sirosis hepatis (Hadi, 2002).
Jika tidak diobati, hemokromatosis ini akan sangat berbahaya dan hal ini juga
mengarah ke (micronodular) sirosis. Penurunan spontan belum diamati. Tingkat
kelangsungan hidup pada sirosis haemochromatotic adalah 60-65% setelah 10 tahun (Kuntz,
2006).

19

2.6. Sebab-Sebab Lain


1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler (Hadi, 2002).
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan
dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kaum wanita (Hadi, 2002).
3. Penyebab sirosis hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (Hadi, 2002).
3. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000 pasien di
dunia meninggal akibat sirosis hati. Penyakit hati kronis dan sirosis adalah penyebab
kematian ke-12 di Amerika. Pada tahun 2004, kematian yang disebabkan penyakit hati kronis
dan sirosis diperkirakan sebanyak 27.000 kasus. Infeksi hepatitis C adalah penyebab
terbanyak terjadinya sirosis di Amerika dan diikuti karena alcoholic liver disease.
Keseluruhan insiden sirosis di Amerika ditemukan 360 per 100.000 penduduk Di Indonesia
sendiri prevalensi sirosis hati belum ada, hanya ada laporan dari beberapa pusat pendidikan
saja. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien yang dirawat di bagian Penyakit Dalam dalam
kurun waktu 1 tahun berkisar 4,1%. Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai 819 (4
%) dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam.
4. Klasifikasi Sirosis Hepatis Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi:
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata.
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang
jelas.Sirosis hepatis kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada
satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi
hati (Hadi, 2002).
Secara morfologi Sherlock membagi sirosis hepatis bedasarkan besar kecilnya nodul,
yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler (Hadi, 2002).
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis hepatis atas:
20

1.Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis
toksik atau subacute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi
jaringan nekrose.
2.Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennecs cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3.Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis (Hadi, 2002).
Schiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
1.Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis alkoholik
2.Sirosis postnekrotik
3.Sirosis biliaris (Hadi, 2002).
5. Patogenesis
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan
jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif.
Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula
diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama hati akibat induksi alkohol adalah
perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis pasca nekrosis.
a) Perlemakan hati alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam
sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke mebran sel.
b) Hepatitis alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut manjadi sirosis panlobular akibat masuknya alkohol dan
destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di
tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen dan terjalinnya jaringa ikat
halus di sekitar sel hati akan mengakibatkan sel hati beregenerasi sehingga dan
membentuk nodulus. Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti,
diperkirakan proses tersebut dapat terjadi dengan beberapa cara, diantaranya :
1) Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi
oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari
aliran darah yang teroksigenasi.

21

2) Infiltrasi atau aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractans neutrofil oleh


hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil
dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, protease, dan sitokin.
3) Formasi acetal-dehyde-protein adducts, berperan sebagai neoantigen, dan
menghasilkan limfosit yang tersensitasi serta antibodi spesifik yang menyerang
hepatosit pembawa antigen ini.
4) Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut
sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.
c) Sirosis hati pasca nekrosis
Patogenesis pada keadaan ini berhubungan dengan peran sel stellata. Dalam keadaan
normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan
proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus (misal hepatitis virus, bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel
yang membentuk kolagen. Jika proses ini berjalan terus menerus maka akan terjadi
fibrosis dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat.
6. Gejala dan Temuan Klinis
6.1. Gejala Sirosis Hepatis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain. Gejala awal sirosis
(kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan
perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis
mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis
dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang
tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi
mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2009).
6.2. Temuan Klinis Sirosis Hepatis
Temuan klinis sirosis meliputi spider angio maspiderangiomata (atau spider
telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering
22

ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada
anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa
ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat,
walaupun ukuran lesi kecil (Nurdjanah, 2009).
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon esterogen. Tanda ini juga tidak
spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme dan
keganasan hematologi.Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal
dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier.
Osteoartropati gipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari
berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini
juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok
yang juga mengkonsumsi alkohol (Nurdjanah, 2009).
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae
laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke
arah feniminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira
fase menopause. Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik
bisa membesar, normal atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan
nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta
(Nurdjanah, 2009)
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor hepatikum, bau
napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat
pintasan porto sistemik yang berat. Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat
bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3mg/dl tidak terlihat. Warna urin
terlihat gelap seperti air teh (Nurdjanah, 2009)
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepakngepak dari tangan,
dorsofleksi tangan.
23

Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya:


1. Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
2. Batu pada vesika felea akibat hemolisis
3. Pembesaran kelenjar parotis terutama sirosis alkohlik, hal ini akibat sekunder
infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi
insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh beta pankreas (Nurdjanah,2009).
Menurut Price (2006), tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
1. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis. Timbulnya ikterus
(penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati.
Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap
bilirubin.Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi
sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit (Price, 2006).
2. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis. Ketika liver kehilangan
kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen
(ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus.
Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan
resistensi garam dan air (Price, 2006).
3. Hati yang membesar. Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke
bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa
nyeri bila ditekan (Price, 2006).
4. Hipertensi portal. Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal
yang menetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi
terhadap aliran darah melalui hati (Price, 2006).
Gejala kegagalan fungsi hati

Gejala hipertensi porta

Ikterus
Spider naevi
Ginekomastisia
Hipoalbumin
Kerontokan bulu ketiak
Ascites
Eritema palmaris
White nail

Varises esophagus/cardia
Splenomegali
Pelebaran vena kolateral
Ascites
Hemoroid
Caput medusa

Tabel 2. Gejala Klinis Sirosis Hepar


24

7. Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium, untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan tersebut antara
lain:
7.1. Diagnosa Sirosis Hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada
penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang (urine kurang dari 4 meq/l)
menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal (Hadi, 2002).
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi pigmen
empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah
menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman (Hadi, 2002).
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang kadang dalam
bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena
splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru
akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya
trombositopeni (Hadi, 2002).
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang sudah
disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin
menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan
sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam darah
3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang
disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau
lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk
mendeteksi kelainan hati secara dini (Hadi, 2002).
Untuk pengelolaan lebih lanjut , maka penderita sirosis hepatis dengan tanda-tanda
hipertensi portal dapat dibagi atas tiga kelompok berdasarkan kriteria/klasifikasi dari Child,
yaitu Child A yang mempunyai prognosis baik.Child B mempunyai prognosis sedang, dan
Child C yang mempunyai prognosis buruk (Hadi, 2002).

25

Tabel Skor Child-Pugh


7.2. Sarana Penunjang Diagnostik
1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan foto toraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP) (Hadi, 2002).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati, termasuk
sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat
permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul. Pada
fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati yang
irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal (Hadi, 2002).
3. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hepatis akan jelas kelihatan
permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya
gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa
(Hadi,2002).

8. Penatalaksanaan
Menghilangkan pencetus yang menyebabkan sirosis kemungkinan akan menghambat
perkembangan menjadi kelas CPT (Child Pugh Turcotte) kelas A, B, dan C lebih tinggi dan
untuk mengurangi timbulnya kanker hati. Dari penelitian dan studi membuktikan bahwa
pengobatan kausal bahkan dapat membalikkan atau dengan kata lain memperbaiki keadaan
sirosis (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pasien dengan sirosis alkoholik harus berpuasa karena konsumsi alkohol sangat
mendukung fibrogenesis hati dan dekompensasi. Fungsi hati sering memburuk dalam 2-3
minggu pertama withdrawal karena alkohol memiliki efek imunosupresif. Pasien dengan
sirosis kompensasi replikasi HCV bermanfaat diberikan pengobatan antiviral berdasarkan
26

interferon. Eradikasi virus dan sebagai akibat penurunan risiko dekompensasi hepatik dan
karsinoma hepatoseluler dapat tercapai hingga mencapai 40 dan 70% pasien dengan genotipe
1 dan 2, atau 3 masingmasing sesuai kondisinya ( Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam sebuah meta-analisis terakhir 75 dari 153 sirosis dengan biopsi-terbukti
menunjukkan perbaikan kondisi sirosis pada biopsi setelah pengobatan berhasil, tetapi hasil
perlu penyesuaian tinjauan dari variabilitas sampel biopsi. Bagaimana kegunaan pemakaian
interferon selama 3-4 tahun dapat mencegah dekompensasi hati atau karsinoma hepatoseluler
pada subyek dengan stadium 3 atau 4 fibrosis yang tidak respon terhadap terapi interferonribavirin saat ini sedang dilakukan evaluasi dalam percobaan prospektif besar dan luas
(HALT-C, EPIC-3 dan copilot ) (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pengobatan jangka panjang dengan nukleosida oral dan inhibitor nukleotida
polimerase HBV tidak hanya memperlambat sirosis hepatis atau memperbaiki keadaannya
namun juga terbukti dapat mencegah komplikasi penyakit hati stadium akhir. Dalam sebuah
studi 3 tahun lamivudine untuk HBV, menindaklanjuti biopsi hati menunjukkan perbaikan
sirosis pada 8/11 pasien (73%) (60) dan 436/651 pasien dengan HBVsirosis dirawat dengan
lamivudine selama rata-rata 32 bulan terjadi pengurangan >50% dari titik akhir klinis yang
parah, seperti yang didefinisikan oleh dekompensasi hati, karsinoma hepatoseluler,
spontaneous bacterial peritonitis, perdarahan varises gastroesofagus, atau kematian terkait
dengan penyakit hati yang didapat ( Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam replikasi HBV sirosis (> 105 Copies/mL) pengobatan lamivudine sering
menghasilkan perbaikan klinis, bahkan setelah dekompensasi. Tingginya tingkat resistensi
lamivudine yang mencapai 56% dan 70% setelah 3 dan 4 tahun pengobatan, masing-masing
kini sejak adanya alternatif yang sama baiknya ditoleransi seperti adefovir, entecavir atau
telbivudine, atau kombinasinya yang tersedia yang menampilkan tingkat yang lebih rendah
dari resistensi virus dan profil mutasi yang berbeda (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam satu studi besar, pengobatan adefovir telah berhasil digunakan pada pasien
dengan pra-transplantasi resistensi lamivudine, yang menyebabkan penekanan replikasi virus
HBV ketingkat tidak terdeteksi pada 76% pasien baik dengan stabilisasi atau peningkatan
skor CTP dan kelangsungan hidup 90%. Data pada reversibilitas dan stabilisasi penyebab lain
dari sirosis kurang didefinisikan dengan baik. Penelitian kohort menunjukkan bahwa
beberapa pasien sirosis hepatitis autoimun menunjukkan regresi setelah pengobatan jangka
panjang dengan kortikosteroid dan venesection pasien dengan hemochromatosis herediter
dapat menurunkan perkembangan komplikasi dari hipertensi portal (Schuppan dan Afdhal,
2008).
27

9. Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi antara lain: Edema dan asites, SBP,
Perdarahan

saluran

cerna,

Sindroma

hepato-renal,

Sindroma

hepato-pulmoner,

Hipersplenisme, dan Kanker hati.


9.1. Edema dan Asites
Dengan semakin beratnya sirosis hepatis,maka terjadi pengiriman sinyal ke ginjal
untuk melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan, pada
awalnya akan mengumpul dalam jaringan di bawah kulit sekitar tumit dan kaki , karena efek
gravitasi pada waktu berdiri atau duduk. Penumpukan cairan ini disebut edema atau sembab
pitting (pitting edema). Pembengkakan ini menjadi lebih berat pada sore hari setelah berdiri
atau duduk dan berkurang pada malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada
waktu tidur. Kemudian dengan semakin beratnya sirosis dan semakin banyaknya garam dan
air yang diretensi, air akhirnya juga akan mengumpul dalam rongga abdomen antara dinding
dan perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang berakibat
pembesaran perut, keluhan rasa tak enak dalam perut dan peningkatan berat badan
( Hernomo, 2007).
Dari segi epidemiologi asites adalah salah satu komplikasi utama dari sirosis hepatis
dan hipertensi portal. Dalam waktu 10 tahun sejak diagnosis sirosis, lebih dari 50% pasien
akan terjadi penimbunan cairan (asites). Perkembangan asites dikaitkan dengan prognosis
buruk pada pasien sirosis hepatis, dengan mortalitas 15% dalam satu tahun dan 44% dalam
lima tahun yang telah di follow-up. Oleh karena itu, pasien dengan asites harus
dipertimbangkan untuk transplantasi hati, sebaiknya sebelum perkembangan disfungsi ginjal
(Biecker, 2011).
Untuk membedakan penyebab asites , dilakukan pemeriksaan SAAG (serum-ascites
albumin gradient) : bila nilainya > 1.1 gram %, penyebabnya adalah penyakit non peritoneal
(hipertensi portal,hipoalbuminemia, asites chyllous, tumor ovarium). Sebaliknya bila nilainya
< 1,1 mg % disebabkan eksudat (keganasan, peritonitis-karena TBC, jamur, amuba atau
benda asing dalam peritoneum). Asites juga dibagi dalam 4 tingkatan asites, yaitu : tingkat 1,
hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan seksama; tingkat 2, deteksi lebih mudah tapi
biasanya jumlahnya hanya sedikit; tingkat 3, tampak jelas tetapi tidak terasa keras; dan
tingkat 4, bila asites mulai terasa keras (Hernomo, 2007).

28

9.2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)


Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan kuman.
Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit cairan, sehingga mampu
menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga perut (biasanya
dari usus), atau mengarahkan bakteri ke vena porta atau hati, di mana mereka akan dibunuh
semua. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut tidak mampu lagi untuk
menghambat invasi bakteri secara normal. Selain itu, lebih banyak bakteri yang mampu
mendapatkan jalannya sendiri dari usus ke asites. Karena itu infeksi dalam perut dan asites ini
disebut sebagai peritonitis bakteri spontan (spontaneous bacterial peritonitis) atau SBP. SBP
merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien. Beberapa pasien SBP ada yang tidak
mempunyai keluhan sama sekali, namun sebagian lagi mengeluh demam, menggigil, nyeri
abdomen, rasa tak enak di perut, diare dan asites yang memburuk (Hernomo, 2007).
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dibagi menjadi tiga sub kelompok: (1)
peritonitis bakteri spontan didefinisikan jika positif ditemukan bakteri dalam asites, bersama
dengan leukosit polimorfonuklear yang meningkat dalam ascites (> 250 sel/mm3).
Mikroorganisme yang menyebabkan SBP terdapat dalam 60% -70% kasus. (2) Kultur negatif
asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites , CNNA) , penimbunan cairan (asites)
steril, infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan dengan kultur, hanya peningkatan jumlah
leukosit polimorfonuklear diatas batas 250 sel/mm3 yang terlihat. Jika sampel asites
mengandung darah, SBP diagnosis dibuat dengan menemukan lebih dari satu granulosit
neutrophilic per 250 eritrosit. (3) Monomicrobial non-neutrocytic bacterascites (hanya
bacterascites) jarang dijelaskan. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri tidak disertai
dengan peningkatan leukosit. Hal ini biasanya terungkap dalam Child-Pugh pasien kelas A.
Pemulihan dari bacterascites dapat terjadi secara spontan (pada 60% -80%), atau dapat
berkembang menjadi SBP khas. Bacterascites cukup sering tanpa gejala, dan antibiotik
digunakan hanya jika gejala muncul dan temuan kultur persisten (Lata dkk, 2009).
9.3. Perdarahan Varises Esofagus
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari usus yang
kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam vena porta (hipertensi
portal). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan peningkatan vena porta ini, vena-vena di
bagian bawah esofagus dan bagian bawah atas lambung akan melebar, sehingga timbul
varises esofagus dan lambung. Semakin tinggi tekanan portalnya. Semakin besar varisesnya,
dan makin besar kemungkinannya pasien mengalami perdarahan varises (Hernomo, 2007).
29

Hipertensi portal adalah peningkatan patologis dalam gradien tekanan portal


(perbedaan antara tekanan dalam vena portal dan vena cava inferior). Hal ini terjadi karena
peningkatan aliran darah portal atau peningkatan resistensi vaskuler atau kombinasi
keduanya. Pada sirosis hepatis, faktor utama yang menyebabkan hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi aliran darah portal dan kemudian berkembang menjadi peningkatan
aliran darah portal (Theophilidou, dkk 2012).
Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat, dapat berakibat
fatal. Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis. Bahan yang
dimuntahkan dapat berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti kopi ( coffee
grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.Buang air besar berwarna
hitam dan lembek (melena) dan keluhan lemah dan pusing pada saat posisi berubah
( orthostatic dizziness atau fainting), yang disebabkan penurunan tekanan darah mendadak
saat melakukan perubahan posisi berdiri dari berbaring. Perdarahan juga dapat timbul dari
varises manapun dalam usus. Misalnya dalam kolon, meskipun ini jarang terjadi. Meskipun
belum jelas mekanismenya, pasien yang masuk rumah sakit dengan perdarahan aktif varises
esofagus, berisiko tinggi untuk mengalami PBS ( Hernomo, 2007).
9.4. Enselopati Hepatik
Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh bakteribakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan akan terbentuk dalam
usus.Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya
misalnya amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan toksik
dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke dalam hati untuk didetoksifikasi (Hernomo,
2007).
Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat
hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan darah. Sebagai tambahan , beberapa bagian
darah dalam vena porta tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi langsung masuk ke vena yang
lain (bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik dalam darah tidak dapat masuk ke dalam hati.
Sehingga terjadi akumulasi bahan ini di dalam darah. Apabila bahan-bahan ini terkumpul
cukup banyak, fungsi otak akan terganggu. Kondisi ini disebut enselopati hepatik. Tidur lebih
banyak pada siang dibanding malam ( perubahan pola tidur) merupakan tanda awal enselopati
hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu berkonsentrasi, atau
menghitung, kehilangan memori, bingung, dan penurunan kesadaran secara bertahap.

30

Akhirnya enselopati hepatik yang berat dapat menimbulkan koma dan kematian (Hernomo,
2007).
Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat sensitif terhadap obatobat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi dalam hati. Dosis berapa obat tersebut
harus dikurangi untuk menghindari efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat
golongan sedatif dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-obat yang lain yang
tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati namun lewat ginjal. Ada tiga tipe enselopati
hepatik yang mendasari : tipe A, askibat gagal hati akut; tipe B, akibat pintasan portosistemik tanpa sirosis dan tipe C, akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa
pintasan porto-sistemik (Hernomo, 2007).
Dalam beberapa penelitian Enselopati hepatikum dikaitkan dengan status gizi.
Peneltian soros dkk dengan metode prospektif mengevaluasi Enselopati hepatikum pada 128
pasien dengan sirosis hepatis dari berbagai etiologi. Enselopati hepatikum ini dievaluasi
dengan menggunakan kriteria West Haven dan dua tes psikometri (number connection test A
dan B). Enselopati hepatikum didefinisikan sebagai enselopati hepatikum terbuka menurut
kriteria West Haven dan / atau number connection test A dan / atau B > 3 standar deviasi dari
populasi umum. Status gizi dievaluasi dengan pengukuran BMI dan antropometri serta
estimasi perubahan berat terakhir. Malnutrisi didefinisikan sebagai pengukuran antropometri
bawah persentil ke-5 sesuai dengan nilai-nilai standar untuk populasi umum dan / atau BMI <
20 kg/m2 dan / atau penurunan berat badan 5% -10% dalam 3-6 bulan sebelumnya.
Penyakit diabetes melitus juga dinilai dengan pengukuran glukosa puasa. (Kalaitzakis, 2008).
Dari hasil peneltian 40% dari pasien tersebut kekurangan gizi, 26% menderita
diabetes, dan 34% enselopati hepatikum. Pasien dengan malnutrisi lebih sering menderita
enselopati hepatikum dibandingkan dengan mereka yang tidak kekurangan gizi (46% vs 27%,
P = 0,031). Dalam analisis multivariat, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan number
connection test A secara independen berkorelasi dengan umur, keparahan sirosis dinyatakan
dalam skor Child-Pugh, diabetes dan malnutrisi. Dalam penelitian ini mereka tidak
melaporkan seberapa banyak pasien memiliki diabetes mellitus. Namun, risiko diabetes
mellitus telah dilaporkan meningkat pada pasien dengan sirosis karena hepatitis C dan
mayoritas pasien yang terdaftar dalam studi ini 56% memiliki sirosis virus. Oleh karena itu
tidak diketahui apakah pasien dengan enselopati hepatikum memiliki proporsi yang lebih
tinggi memiliki diabetes dibandingkan dengan pasien tanpa enselopati hepatikum
( Kalaitzakis, 2008).

31

9.5. Sindroma Hepatorenal


Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma
hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena terdapat penurunan fungsi
ginjal namun ginjal secasa fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan sama sekali.
Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan aliran darah ke dalam ginjal. Batasan
sindroma hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif untuk membersihkan bahanbahan toksik dai darah dan kegagalan memproduksi urin dalam jumlah adekuat,meskipun
fungsi lain ginjal yang penting, misalnya retensi garam tidak terganggu (Hernomo, 2007).
Definisi dan kriteria diagnostik untuk sindroma hepatorenal dibentuk pada tahun 1994
didasarkan pada tiga konsep berikut: 1. Gagal ginjal pada sindroma hepatorenal adalah
fungsional dan disebabkan oleh vasokonstriksi arteriolar intrarenal; 2. Sindroma hepatorenal
terjadi pada pasien dengan disfungsi sirkulasi sistemik yang disebabkan oleh vasodilatasi
ekstra-renal; 3. Ekspansi volume plasma tidak meningkatkan gagal ginjal ( Salerno, 2007).
Bila fungsi hati membaik atau dilakukan transplantasi hati pasien sindroma
hepatornal, ginjal akan bekerja normal lagi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa penurunan
fungsi ginjal disebabkan akumulasi bahanbahan toksik dalam darah akibat hati yang tidak
berfungsi. Ada dua tipe sindroma hepatorenal : tipe 1, penurunan fungsi terjadi dalam
beberapa bulan, dan tipe 2, penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam wakti satu
sampai dua minggu (Hernomo, 2007).
9.6. Sindroma Hepatopulmoner
Sindroma Hepatopulmoner adalah komplikasi yang jarang dari penyakit hati dari
berbagai etiologi yang ada dan mungkin menunjukkan prognosis buruk. Oleh karena itu,
diperlukan metode skrining non-invasif yang sederhana untuk mendeteksi sindroma
hepatopulmoner ini. Dalam beberapa penelitian atau studi, pulse oximetry dievaluasi untuk
mengidentifikasi pasien dengan sindroma hepatorenal (Deibert, 2006).
Pada pasien sirosis lanjut dapat berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner,
meskipun ini jarang terjadi. Pasien-pasien ini mengalami kesulitan bernafas akibat sejumlah
hormon tertentu terlepas pada sirosis yang lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar
paru adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah kecil dalam paru yang
mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru. Aliran darah lewat paru mengalami putusan
sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara dalam alveoli. Akibatnya
adalah pasien mengalami perasaan sesak nafas atau nafas pendek, terutama pada saat latihan
(Hernomo, 2007).
32

9.7. Hipersplenisme
Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah merah, leukosit dan
trombosit yang sudah tua .Darah dari limpa akan bergabung dengan aliran darah dari usus
masuk ke dalam vena porta. Akibat peningkatan tekanan vena porta karena sirosis, terjadi
peningkatan blokade aliran darah dari limpa. Akibatnya terjadi aliran darah kembali ke limpa,
dan limpa membesar. Terjadilah splenomegali (Hernomo, 2007).
Kadang-kadang limpa dapat membengkak hebat, hingga menimbulkan nyeri perut.
Dengan pembesaran limpa ini, fungsi filtrasi terhadap terhadap sel-sel darah dan trombosit
ikut meningkat, sehingga jumlahnya akan menurun.Hipersplenisme merupakan istilah yang
di pakai untuk menunjukkan kondisi sebagai berikut : penurunan jumlah sel darah merah
(anemia), penurunan sel darah putih (leukopenia), dan atau trombosit yang rendah
(trombositopenia). Anemia menyebabkan perasaan lemah, leukopenia menyebabkan peka
terhadap infeksi, trombositopenia menyebabkan pembekuan darah dan menimbulkan
perdarahan yang memanjang (Hernomo, 2007).
9.8. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)
Sirosis, apapun penyebabnya, meningkatkan risiko kanker hati primer (hepatocellular
carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati. Kanker hati sekunder
merupakan kanker hati yang berasal dari penyebaran kanker dari tempat lain dalam tubuh
(metastasis). Keluhan terbanyak kanker hati primer adalah nyeri perut, pembengkakan,
pembesaran hati, penurunan berat badan, dan demam. Sebagai tambahan, kanker hati dapat
memproduksi dan melepaskan sejumlah bahan yang menimbulkan berbagai kelainan :
peningkatan sel darah merah (eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia) dan
kalsium darah yang tinggi (hiperkalsemia) (Hernomo, 2007).
Sirosis merupakan kondisi premaligna dan berhubungan dengan risiko peningkatan
kanker hepatoseluler. Dari data statistik selama selama dua dekade terakhir, kejadian kanker
jenis ini meningkat di Amerika Serikat, terutama karena penyebaran HBV dan HCV. Untuk
itu diperlukan langkah-langkah pencegahan. Pengukuran pencegahan termasuk didalamnya
skrining dengan alpha-fetoprotein dan ultrasonografi setiap 6 bulan ( Anand , 2002).

10. Prognosis
Prognosis untuk pasien sirosis tergantung pada komplikasi masing-masing. Yang
mendasari proses morfologi, seperti nekrosis, fibrosis dan regenerasi, gabungan untuk derajat
33

yang sangat berbeda dalam pasien sirosis tunggal. Ada juga perbedaan-perbedaan individu
dalam tanggapan hemodinamik dan efek yang sesuai pada ginjal, paru-paru dan hati, dll. Oleh
karena itu sangat sulit memberikan prognosis yang akurat dalam setiap kasus. Selain itu,
seperti prognosis hanya mencakup jangka waktu tertentu yang relatif singkat (beberapa bulan
sampai satu tahun) (Kuntz, 2008).
Berbagai indeks telah dikembangkan menggunakan parameter sebaik mungkin untuk
menghitung probabilitas kematian atau kelangsungan hidup dalam setiap kasus. Klasifikasi
sirosis menurut kriteria yang dibuat oleh Child dan Turcotte (1964) dan modifikasi oleh Pugh
(1973) telah diterima secara luas. Prognosis dari sirosis yang disebabkan oleh racun (alkohol
atau obat-obatan, bahan kimia, dll) adalah jauh lebih baik dengan menghilangkan kausal atau
penyebab (Kuntz, 2008).
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi sejumlah factor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Penilaian prognosis
sirosis hepatis dapat menggunakan 2 metode yaitu Child-Turcotte-Pugh dan MELD. Child
dan Turcotte pertama kali memperkenalkan sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara
memprediksi angka kematian selama operasi portocaval shunt. Pugh kemudian merevisi
sistem ini pada 1973 dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang
kurang spesifik dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan dengan
menggunakan INR selain waktu protrombin dalam menilai kemampuan pembekuan darah.
Klasifikasi Child-Pugh dapat untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani
operasi, dimana interpretasi penilaian ini terdiri dari Child A, B dan C. Penilaian child-plugh
berkaitan dengan angka kelangsungan hidup pasien sirosis hati tahap lanjut. Angka
kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk Child A 100%, Child B 80% dan Child C yaitu
45%. Penilaian prognosis terbaru adalah Model or End Stage Liver Disease (MELD).
Penilaian MELD memiliki aspek penialian yang lebih spesifik dan terukur yaitu berdasarkan
nilai serum kreatinin, serum bilirubin, dan platelet dalam hal ini INZ (International
Normolized Ratio) dari Prothrombine Time. Hasil dari penilaian prognosis ini dapat
memperkirakan 10-15 % resiko kematian selama 3 bulan ke depan pada pasien sirosis hati
dengan spesifisitas mencapai 67-87%.

34

Measure
Total bilirubin,
(mu.mol/dl)
Serum albumin, g/dl
Ascites
PSE/ensefalopati
Nutrisi

Minimal
<35

Sedang
35-50

Berat
>50

>35
Nihil
Nihil

30-35
Mudah dikontrol
Minimal

<30
Sukar
Berat/koma

Sempurna

Baik

Kurang/kurus

Tabel . Klasifikasi Child-Pugh Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan Fungsi
Hepar

KESIMPULAN
Penyakit sirosis hepatis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Penyebab penyakit ini dapat berupa
zat-zat hepatotoksik maupun akibat dari suatu penyakit sebelumnya dan yang tersering adalah
penyakit hepatitis B.
Untuk mendagnosis penyakit ini dapat dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjamg diagnostik lainnya seperti pemeriksaan laboraorium, USG, dan
untuk diagnosis pasti penyakit ini dilakukan biopsi hati. Hal lain yang harus diperhatikan
dalam mendiagnosis penyakit ini adalah stadiumnya, dimana akan sedikit lebih sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dekompensata dibanding stadium kompensasi.
Terapi pada sirosis hepatis ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan
bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
Bila sirosis telah semakin berlanjut, transplantasi hati tampaknya menjadi satu-satunya
pilihan pengobatan. Rata-rata 80% pasien yang ditransplantasi hati dapat hidup dalam lima
tahun. Dan secara umum penyakit ini menghasilkan prognosis yang buruk.

35

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli .,dan Bahar , Asril., 2007. Pulmonologi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 988 994.
Anand, B.S. 2002. Cirrhosis of Liver. Western Journal of Medicine, Vol. 171, p. 110-115.
Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305772/?

tool=pmcentrez
Avunduk,C. Cirrhosis And Its Complications. Dalam : Manual Of Gastroenterology
Diagnosis And Therapy. 4th Ed.Lippincott Williams & Wilkins

2008 ; 438-54

Bacon, B.R. Cirrhosis And Its Complications. Dalam : Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo,
D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L., Et Al. Harrisons Principles Of
Internal Medicine 17th Edition. Mc Graw Hill Companies, New York..2008: 197180
Biecker, Erwin. 2011. Diagnosis and Therapy of Ascites in Liver Cirrhosis. Journal PubMed
Central

(PMC)

17(10):

12371248.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3068258/?tool=pmcentrez
Chandrasomo, P., and Taylor, C. R. 2005 . Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : EGC :
594595.
Deibert, Peter., et al. 2006. Hepatopulmonary Syndrome in Patients with Chronic Liver
Disease: Role of Pulse Oximetry. Journal PubMed Central (PMC), 6: 15. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1508152/?tool=pmcentrez
Fauci, Anthony.S. MD., et al .2008. Harrison's Principles of Internal Medicine, 17 th edition.
Chapter 302. Gustaviani, Reno. 2007.Metabolik Endokrin. Dalam : Sudoyo, Aru,
W., dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan

36

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :


18571859.
Hadi, Sujono. 2002 . Gastroenterologi . Bandung . PT Alumni : 613 651.
Kalaitzakis, Evangelos., and Bjrnsson, Einar., 2008. Hepatic encephalopathy in patients
with liver cirrhosis: Is there a role of malnutrition?. Journal PubMed Central (PMC),
14(21):

34383439.

Available

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2716602/?tool=pmcentrez
Khan, H., Iman, N. Hypoalbuminemia : A Marker Of Esophageal Varices In Chronic Liver
Disease Due To Hepatitis B And C. Rawal Medical Journal 2009;34;1; 98-101
Kuntz, E., and Kuntz, H.D. 2006. Hepatology, Principles and Practice 2nd Edition. Chapter
35 : 716-749.
Kuntz, E., and Kuntz, H.D. 2008. Hepatology, Principles and Practice 3rd Edition. Chapter
35 : 738-772.
Kusumobroto, O.Hernomo. 2007.Sirosis Hepatis. Dalam : Sulaiman, Ali., dkk.,ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Hati. Jakarta : Jaya Abadi : 335 345.
Lata, Jan., Stiburek, Oldich., and Kopacova, Marcela. 2009. Spontaneous bacterial
peritonitis: A severe complication of liver cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC)
, 15(44): 55055510. Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2785051/?tool=pmcentrez
Mulyanto. Epidemiologi Hepatitis B Di Indonesia. Dalam : Sulaiman, A.S., Sulaiman, B.S.,
Sulaiman, H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini Hepatitis B Dan C
Dalam Praktik Klinis SehariHari. Sagung Seto, Jakarta,2010;17-20.
Mulyanto. Epidemiologi Hepatitis C . Dalam : Sulaiman, A.S., Sulaiman, B.S., Sulaiman,
H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini Hepatitis B Dan C Dalam
Praktik Klinis Sehari-Hari. Sagung Seto, Jakarta,2010;41-3.
37

Nayak, N. C. 2011. End Stage Chronic Liver Disease , Yesterday, Today and Tomorrow. In :
Michelli, L Miranda., Ed. Hepatology Research And Clinical Development Liver
Cirrhorsis: Causes, Diagnosis And Treatment, New York : Nova Biomedical Books :
59 83.
Nurdjanah, S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.,
Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid I , Jakarta 2009;668-673
Panggabean, M.Parulan. 2007. Kardiologi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :1639 1640.
Price, A. Sylvia., Wilson, M. Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC : 493 497.
Salerno, Francesco., et al. 2007. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal
syndrome in cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC), 56(9): 13101318.Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1954971/?tool=pmcentrez
Sanityoso, A., Stephanie, A. Komplikasi Hepatitis Dan Tatalaksana. Dalam: Sulaiman, A.S.,
Sulaiman, B.S., Sulaiman, H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini
Hepatitis B Dan C Dalam Praktik Klinis Sehari-Hari. Sagung Seto, Jakarta,2010;5970.
Schuppan, Detlef., & Afdhal, Nezam H., 2008. Liver Cirrhosis. Journal PubMed Central
(PMC), 371(9615): 838851. Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178/?tool=pmcentrez
Suwitra, Ketut. 2007 . Ginjal Hipertensi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 570 573.
Theophilidou, E., et al. 2012. Liver metastases, a rare cause of portal hypertension and stoma
bleeding. Brief review of literature. Journal PubMed Central (PMC), ; 3(5): 173
38

176. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3316765/?


tool=pmcentrez
Wang, C.S., Yao, W.J., Wang, S.T., Chang, T.T., Chou, P. Strong Association Of Hepatitis C
Virus (HCV) Infection And Thrombocytopenia: Implications From A Survey Of A
Community With Hyperendemic HCV Infection . Clinical Infectious Diseases
2004;39;790-796
Weksler, B.B. Review Article: The Pathophysiology Of Thrombocytopenia In Hepatitis C
Virus Infection And Chronic Liver Disease. Aliment Pharmacol Ther 2007; 26
(Suppl 1), 1319
Widjaja, S. 2008. Gangguan Faal (Fungsi) Hati Yang Sering Ditanyakan Oleh Penderita.
Available from

http://www.medistra.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=106

39

Anda mungkin juga menyukai