SIROSIS HATI
Oleh :
Farizky Baskoro
110.2011.100
Pembimbing :
dr.Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas
rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus penyakit dalam ini
dengan judul SIROSIS HATI sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon. Berbagai kendala yang
telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, maka
selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus
kepada seluruh pihak yag telah membantu penulis dalam menyelesaikan presentasi kasus ini.
PRESENTASI KASUS
Topik
Penyusun
: Sirosis Hepatis
: Farizky Baskoro
I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. A
Usia
: 63 tahun
Pekerjaan
:-
Agama
: Islam
Alamat
:-
Jenis kelamin
: Laki-laki
Ruangan
No. CM
: 40XXXX
Tanggal Masuk
Pembiayaan
: Umum
II. Anamnesa
Keluhan Utama :
Perut yang membesar sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Keluhan Tambahan :
Kaki dan tangan sedikit bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tuan A datang dengan keluhan utama scrotum yang semakin membesar sejak
1 minggu SMRS. Pasien datang dengan keadaan sadar dibawa oleh keluarga ke
RSUD Cilegon pada tanggal 3 Juni 2015, pasien juga mengeluhkan sebelumnya perut
membesar. Pasien merasa scrotum mulai membesar sejak 1 minggu SMRS dengan
didahului perut yang membesar 1 minggu sebelumnya. Selain itu kaki dan tangan
pasien juga sedikit membengkak.
Pasien menyangkal mengeluh muntah, sakit ulu hati, batuk, pilek dan sesak. BAB
dan BAK pasien tidak ada keluhan.
Setelah dari IGD pasien dirawat di ruang Aster RSUD Cilegon, tetapi setelah
itu di-alih rawat ke Nusa Indah.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pernah dirawat sebelumnya dengan diagnosis sirosis hepatis.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Diabetes Melitus.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Hipertensi dan penyakit ginjal
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Asmadan Alergi.
Pasien mengatakan belum pernah menderita sakit TB paru dan juga tidak pernah
mendapat pengobatan paru selama 6 bulan.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Hepatitis pada keluarga disangkal
Riwayat Hipertensi dan gangguan ginjal pada keluarga disangkal
Riwayat DM pada keluarga disangkal
Riwayat TB paru pada keluarga disangkal
Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal
Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
Kepala
(-) Trauma
(-) Sinkop
(-) Rambut rontok
Mata
(-) Nyeri
(-) Radang
(-) Sklera Ikterus
Telinga
(-) Nyeri
(-) Sekret
Hidung
(-) Trauma
(-) Nyeri
(-) Sekret
(-) Epistaksis
(-)
(-)
Nyeri kepala
Nyeri sinus
(-)
(-)
(-)
Sekret
Gangguan penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan
(-)
(-)
(-)
Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran
(-)
(-)
(-)
Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek
Mulut
(-) Bibir
(-) Gusi
(-) Selaput
(-)
(-)
(-)
Lidah
Gangguan pengecapan
Stomatitis
(-)
Perubahan suara
Leher
(-) Benjolan/ massa
(-)
Nyeri leher
Jantung/ Paru
(-) Nyeri dada
(-) Berdebar-debar
(-) Ortopnoe
(-)
(-)
(-)
Sesak nafas
Batuk darah
Batuk
Abdomen
(+) Rasa kembung
(+) Mual
(-) Muntah
(-) Caput medusae
(-) Benjolan
(+) Nyeri perut
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Perut membesar
Muntah darah
Mencret
Melena
Tinja berwarna dempul
Pelebaran vena
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
Kencing nanah
Nyeri
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Kencing kuning keruh atau air teh
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan / syncope
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)
Ekstremitas
(+) Bengkak
(-)
Deformitas
Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok
(-) Nyeri menelan
(-)
(-)
Nyeri sendi
Ikterik
(-)
(-)
Sianosis
Eritem palmar
STATUS GENERALIS:
1. Kepala :
Normocephal, rambut beruban tidak lebat, dan tidak mudah dicabut.
2. Mata :
Normal, Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
3. Hidung :
Bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-/-), secret (-/-)
4. Telinga :
Membran timpani intak (+), serumen (-/-), secret (-/-)
5. Mulut :
Mukosa mulut basah dan lidah dalam batas normal, tidak sianosis
6. Tenggorokan :
Uvula ditengah, tonsil normal, faring hiperemis (-)
7. Leher :
Tidak tampak pulsasi vena pada leher, tidak teraba adanya massa atau
pembesaran KGB.
8. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada sela iga ke-5 sinistra
Perkusi :
Batas pinggang jantung : ICS II linea parasternal sinistra
Batas kanan jantung
: ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri jantung
: ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
b. Paru
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
6
Auskultasi
kelainan kulit
: Bising usus (+), bising aorta abdominalis tidak
Perkusi
terdengar.
: Terdengar suara domianan timpani pada keempat
Palpasi
10. Ekstremitas
Superior
Inferior
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
GDS
Ureum
Kreatinin
Gol. Darah
: 9,2 g/dl
: 29,0 %
: 6.060 /uL
: 78.000 /uL
: 72 mg/dl
: 27 mg/dl
: 0,8
: B (Rh +)
: 9,3 g/dl
o Ht
: 30,0 %
o Leukosit
: 5.230/uL
o Trombosit
: 70.000/uL
o Albumin
: 2,7 mg/dl
o SGOT
: 18
7
(-),
o SGPT
: 12
o Na
: 143,8 mmol/l
o K
: 4,75 mmol/l
o Cl
: 112,0 mmol/l
IMUNO SEROLOGI
o HbsAg
: negatif
o Anti HCV : negatif
o Anti HIV : non reaktif
Laboratorium (Aster, 8 Juni 2015)
o
o
o
o
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
: 10,1 g/dl
: 29,5 %
: 6.500/uL
: 88.000/uL
USG Abdomen
Hepar
Kantung Empedu
Lien
Pancreas
nodul.
Besar dan bentuk normal, echostruktur parenkim normal. Tak
Ginjal Kanan
Ginjal Kiri
menipis.
Tak
tampak
batu/massa
serta
tanda-tanda
menipis.
Tak
tampak
batu/massa
serta
tanda-tanda
Aorta
V. Diagnosis
Diagnosis Kerja : - Sirosis Hepatis
- Hipoalbumin
- CHF
VI. Diagnosis Banding
Cholesistisis
Hepatokarsinoma Seluler
Peritonitis
VII. Pemeriksaan yang Dianjurkan
Pemeriksaan Bilirubin indirek, direk dan total
Pemeriksaan Cairan Asites
Pemeriksaan peritonoskopi (laparoskopi)
Biopsi hati
VIII. Terapi yang diberikan
Ruangan Nusa Indah
Non Farmakologis
Tirah baring
Farmakologis
- Cefotaksim 2x1
IVFD RL asnet
- Ketorolac 3x1
- Furosemide 2x2
- Ranitidine 2x1
- Kalnex 3x1
10
- Vit. K 3x1
- Psidii tab 3x1
- Sucralfat syr 3x1
- Digoxin 1x1/2\
- inj. Omz 2x1
IX. Prognosis
Quo ad vitam
: ad malam
Quo ad functionam
: dubia ad malam
11
Follow Up
8 Juni 2015
S:
Pasien mengeluh
scrotum dan perut
masih besar, perut
terasa keras, kaki dan
tangan bengkak, batuk
(+)
O:
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
KU: TSS
KS: CM
TD: 110/70
RR: 16
N: 60
S: 36,5oC
Kepala
:
normocephal
Mata
: CA -/Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
:
simetris, retraksi
(-)
Cor
: BJ III reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves -/-,
wh(-) rh(-)
Abd.
: supel,
NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral
+
+
hangat /+ /+
edema +/+ +/+
11 Juni 2015
12
A:
P:
- Hidrocele
- IVFD RL asnet
- Edema
anasarka e.c
hipoalbumin
- Sucralfat syr
- Cefotaksim 2x1
- Ketorolac 3x1
- susp.ascites
- Furosemide 2x2
- Ranitidine 2x1
- Kalnex 3x1
- Vit. K 3x1
- Psidii tab 3x1
- Sucralfat 3x1
S:
Pasien mengeluh
scrotum masih besar,
perut sedikit mengecil
setelah minum obat,
kaki dan tangan masih
bengkak
O:
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
A:
KU: TSS
- Hepatomegali
KS: CM
- Sirosis Hepatis
TD: 100/70
RR: 20
- Melena
N: 80
S: 36oC
Kepala
:
normocephal
Mata
: CA -/Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
:
simetris, retraksi
(-)
Cor
: BJ III reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves -/-,
wh(-) rh(-)
Abd.
: supel,
NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral
+
+
hangat /+ /+
edema +/+ +/+
13
P:
- IVFD RL asnet
- Sucralfat syr
- Cefotaksim 2x1
- Ketorolac 3x1
- Furosemide 2x2
- Ranitidine 2x1
- Kalnex 3x1
- Vit. K 3x1
- Psidii tab 3x1
- Sucralfat 3x1
- Digoxin 1x1/2
- inj. Omz 2x1
ANALISA KASUS
1.
14
dugaan
bahwa
ada
mekanisme
lain
dalam
pathogenesis
terjadinya
16
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Sirosis Hepatis
Istilah Sirosis diberikan pertama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal dari kata
kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi perubahan warna pada
nodul-nodul hati yang terbentuk (Hadi, 2002).
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular
dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah , 2009).
Terlepas dari penyebab sirosis, bentuk patologisnya terdiri dari perkembangan fibrosis
yang menjadi suatu keadaan adanya distorsi bentuk hati yang akan membentuk nodul
regeneratif. Hal ini menyebabkan penurunan massa hepatoseluler, penurunan fungsi, dan
perubahan aliran darah. Induksi fibrosis terjadi dengan aktivasi sel stellate hati, sehingga
terjadi peningkatan pembentukan jumlah kolagen dan komponen lain dari matriks
ekstraseluler (Fauci et al, 2008).
Sirosis hepatis merupakan entitas patologik yang ditandai dengan (1) nekrosis sel hati,
progresif lambat dalam waktu lama yang akhirnya menyebabkan gagal hati kronis dan
kematian; (2) fibrosis, yang mengenai vena sentralis dan daerah porta; (3) nodul regeneratif,
akibat hiperplasia sel hati yang bertahan hidup; (4) distorsi pada arsitektur lobular hati
normal; dan (5) mengenai seluruh hati secara difus (Taylor, 2006).
Menurut Lindseth; sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan
distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati. Sirosis hepatis dapat mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan
pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati (Price, 2006).
2. Etiologi dari Sirosis Hepatis
Penyebab pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :
2.1. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Schiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi
memegang penting untuk timbulnya sirosis hepatis. Dari hasil laporan Hadi di dalam
simposium patogenesis sirosis hepatis di Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata
17
dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani , dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hepatis yang berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini
ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan
pegawai rendah menengah (Hadi, 2002).
2.2. Hepatitis Virus
Infeksi virus merupakan penyebab paling sering dari sirosis hepatis. Hanya HBV atau
HCV mengakibatkan penyakit hati kronis. Virus Hepatitis D adalah virus yang tidak lengkap
yang hanya patogen bila bersama-sama dengan HBV. Virus A dan E penyebab hepatitis, tetapi
tidak berkembang menjadi sirosis hepatis. Virus hepatitis G telah diidentifikasi tidak
menghasilkan penyakit hati. Infeksi HBV didiagnosis oleh adanya antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg); HCV, oleh anti-HCV dan HCV RNA (Anand, 2002).
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hepatis, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam
darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar
untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa
hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi
gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus
A (Hadi, 2002).
2.3. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi
lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alkohol (Hadi, 2002).
Alkohol adalah bentuk minuman yang difermentasi yang banyak dikonsumsi oleh
orang-orang dari berbagai masyarakat dan peradaban di seluruh dunia mulai dari periode
Neolitik sekitar 10.000 SM sampai saat ini. Penyalahgunaan alkohol dihubungkan dengan
sirosis hepatis, bagaimanapun telah terungkap dari berbagai penelitian dan studi yang
dilakukan, dimulai pada akhir abad ke-18. Karena pecandu alkohol dengan sirosis hepatis
secara konsisten kekurangan gizi dan memiliki tubuh kurus dipercaya bahwa penyakit hati
tidak disebabkan oleh meminum terlalu banyak alkohol tetapi dikarenakan terus-menerus
kekurangan asupan gizi yang seharusnya . Konsep teori etiologi gizi untuk penyebab sirosis
18
menjadi faktor yang sangat kuat yang berlanjut sampai pertengahan tahun 1960 (Nayak,
2011).
Dalam perkembangannya pada saat hasil dari studi epidemiologis yang rinci dan studi
klinis pada manusia dan studi eksperimental pada tikus dilakukan evaluasi. Hal ini
ditunjukkan pada manusia sama seperti hewan laboratorium bahwa alkohol dapat langsung
merusak sel-sel hati terlepas dari status gizi host. Kerusakan hati dimulai dengan hati yang
berlemak (steatosis), menyebabkan steatohepatitis, fibrosis progresif dan akhirnya akan
menyebabkan sirosis hepatis. Sampai dengan tahap sirosis ada perbaikan jika alkohol
dihentikan (Nayak, 2011).
Pada kondisi kalori dari protein kurang pada hewan dan manusia maka akan
mendorong steatosis yang parah dan luas, tetapi tidak menyebabkan fibrosis yang signifikan
dan tidak pernah menjadi sirosis. Bahkan, pembentuk kolagen dihati dapat diatasi pada tahap
kekurangan protein (Nayak, 2011).
2.4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda
dengan ditandai sirosis hepatis, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin
pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini
diduga disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati
(Hadi, 2002).
2.5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita
dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan
timbulnya sirosis hepatis (Hadi, 2002).
Jika tidak diobati, hemokromatosis ini akan sangat berbahaya dan hal ini juga
mengarah ke (micronodular) sirosis. Penurunan spontan belum diamati. Tingkat
kelangsungan hidup pada sirosis haemochromatotic adalah 60-65% setelah 10 tahun (Kuntz,
2006).
19
1.Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis
toksik atau subacute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi
jaringan nekrose.
2.Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennecs cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3.Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis (Hadi, 2002).
Schiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
1.Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis alkoholik
2.Sirosis postnekrotik
3.Sirosis biliaris (Hadi, 2002).
5. Patogenesis
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan
jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif.
Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula
diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama hati akibat induksi alkohol adalah
perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis pasca nekrosis.
a) Perlemakan hati alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam
sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke mebran sel.
b) Hepatitis alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut manjadi sirosis panlobular akibat masuknya alkohol dan
destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di
tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen dan terjalinnya jaringa ikat
halus di sekitar sel hati akan mengakibatkan sel hati beregenerasi sehingga dan
membentuk nodulus. Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti,
diperkirakan proses tersebut dapat terjadi dengan beberapa cara, diantaranya :
1) Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi
oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari
aliran darah yang teroksigenasi.
21
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada
anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa
ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat,
walaupun ukuran lesi kecil (Nurdjanah, 2009).
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon esterogen. Tanda ini juga tidak
spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme dan
keganasan hematologi.Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal
dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier.
Osteoartropati gipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari
berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini
juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok
yang juga mengkonsumsi alkohol (Nurdjanah, 2009).
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae
laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke
arah feniminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira
fase menopause. Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik
bisa membesar, normal atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan
nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta
(Nurdjanah, 2009)
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor hepatikum, bau
napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat
pintasan porto sistemik yang berat. Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat
bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3mg/dl tidak terlihat. Warna urin
terlihat gelap seperti air teh (Nurdjanah, 2009)
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepakngepak dari tangan,
dorsofleksi tangan.
23
Ikterus
Spider naevi
Ginekomastisia
Hipoalbumin
Kerontokan bulu ketiak
Ascites
Eritema palmaris
White nail
Varises esophagus/cardia
Splenomegali
Pelebaran vena kolateral
Ascites
Hemoroid
Caput medusa
7. Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium, untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan tersebut antara
lain:
7.1. Diagnosa Sirosis Hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada
penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang (urine kurang dari 4 meq/l)
menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal (Hadi, 2002).
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi pigmen
empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah
menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman (Hadi, 2002).
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang kadang dalam
bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena
splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru
akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya
trombositopeni (Hadi, 2002).
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang sudah
disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin
menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan
sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam darah
3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang
disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau
lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk
mendeteksi kelainan hati secara dini (Hadi, 2002).
Untuk pengelolaan lebih lanjut , maka penderita sirosis hepatis dengan tanda-tanda
hipertensi portal dapat dibagi atas tiga kelompok berdasarkan kriteria/klasifikasi dari Child,
yaitu Child A yang mempunyai prognosis baik.Child B mempunyai prognosis sedang, dan
Child C yang mempunyai prognosis buruk (Hadi, 2002).
25
8. Penatalaksanaan
Menghilangkan pencetus yang menyebabkan sirosis kemungkinan akan menghambat
perkembangan menjadi kelas CPT (Child Pugh Turcotte) kelas A, B, dan C lebih tinggi dan
untuk mengurangi timbulnya kanker hati. Dari penelitian dan studi membuktikan bahwa
pengobatan kausal bahkan dapat membalikkan atau dengan kata lain memperbaiki keadaan
sirosis (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pasien dengan sirosis alkoholik harus berpuasa karena konsumsi alkohol sangat
mendukung fibrogenesis hati dan dekompensasi. Fungsi hati sering memburuk dalam 2-3
minggu pertama withdrawal karena alkohol memiliki efek imunosupresif. Pasien dengan
sirosis kompensasi replikasi HCV bermanfaat diberikan pengobatan antiviral berdasarkan
26
interferon. Eradikasi virus dan sebagai akibat penurunan risiko dekompensasi hepatik dan
karsinoma hepatoseluler dapat tercapai hingga mencapai 40 dan 70% pasien dengan genotipe
1 dan 2, atau 3 masingmasing sesuai kondisinya ( Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam sebuah meta-analisis terakhir 75 dari 153 sirosis dengan biopsi-terbukti
menunjukkan perbaikan kondisi sirosis pada biopsi setelah pengobatan berhasil, tetapi hasil
perlu penyesuaian tinjauan dari variabilitas sampel biopsi. Bagaimana kegunaan pemakaian
interferon selama 3-4 tahun dapat mencegah dekompensasi hati atau karsinoma hepatoseluler
pada subyek dengan stadium 3 atau 4 fibrosis yang tidak respon terhadap terapi interferonribavirin saat ini sedang dilakukan evaluasi dalam percobaan prospektif besar dan luas
(HALT-C, EPIC-3 dan copilot ) (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pengobatan jangka panjang dengan nukleosida oral dan inhibitor nukleotida
polimerase HBV tidak hanya memperlambat sirosis hepatis atau memperbaiki keadaannya
namun juga terbukti dapat mencegah komplikasi penyakit hati stadium akhir. Dalam sebuah
studi 3 tahun lamivudine untuk HBV, menindaklanjuti biopsi hati menunjukkan perbaikan
sirosis pada 8/11 pasien (73%) (60) dan 436/651 pasien dengan HBVsirosis dirawat dengan
lamivudine selama rata-rata 32 bulan terjadi pengurangan >50% dari titik akhir klinis yang
parah, seperti yang didefinisikan oleh dekompensasi hati, karsinoma hepatoseluler,
spontaneous bacterial peritonitis, perdarahan varises gastroesofagus, atau kematian terkait
dengan penyakit hati yang didapat ( Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam replikasi HBV sirosis (> 105 Copies/mL) pengobatan lamivudine sering
menghasilkan perbaikan klinis, bahkan setelah dekompensasi. Tingginya tingkat resistensi
lamivudine yang mencapai 56% dan 70% setelah 3 dan 4 tahun pengobatan, masing-masing
kini sejak adanya alternatif yang sama baiknya ditoleransi seperti adefovir, entecavir atau
telbivudine, atau kombinasinya yang tersedia yang menampilkan tingkat yang lebih rendah
dari resistensi virus dan profil mutasi yang berbeda (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam satu studi besar, pengobatan adefovir telah berhasil digunakan pada pasien
dengan pra-transplantasi resistensi lamivudine, yang menyebabkan penekanan replikasi virus
HBV ketingkat tidak terdeteksi pada 76% pasien baik dengan stabilisasi atau peningkatan
skor CTP dan kelangsungan hidup 90%. Data pada reversibilitas dan stabilisasi penyebab lain
dari sirosis kurang didefinisikan dengan baik. Penelitian kohort menunjukkan bahwa
beberapa pasien sirosis hepatitis autoimun menunjukkan regresi setelah pengobatan jangka
panjang dengan kortikosteroid dan venesection pasien dengan hemochromatosis herediter
dapat menurunkan perkembangan komplikasi dari hipertensi portal (Schuppan dan Afdhal,
2008).
27
9. Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi antara lain: Edema dan asites, SBP,
Perdarahan
saluran
cerna,
Sindroma
hepato-renal,
Sindroma
hepato-pulmoner,
28
30
Akhirnya enselopati hepatik yang berat dapat menimbulkan koma dan kematian (Hernomo,
2007).
Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat sensitif terhadap obatobat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi dalam hati. Dosis berapa obat tersebut
harus dikurangi untuk menghindari efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat
golongan sedatif dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-obat yang lain yang
tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati namun lewat ginjal. Ada tiga tipe enselopati
hepatik yang mendasari : tipe A, askibat gagal hati akut; tipe B, akibat pintasan portosistemik tanpa sirosis dan tipe C, akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa
pintasan porto-sistemik (Hernomo, 2007).
Dalam beberapa penelitian Enselopati hepatikum dikaitkan dengan status gizi.
Peneltian soros dkk dengan metode prospektif mengevaluasi Enselopati hepatikum pada 128
pasien dengan sirosis hepatis dari berbagai etiologi. Enselopati hepatikum ini dievaluasi
dengan menggunakan kriteria West Haven dan dua tes psikometri (number connection test A
dan B). Enselopati hepatikum didefinisikan sebagai enselopati hepatikum terbuka menurut
kriteria West Haven dan / atau number connection test A dan / atau B > 3 standar deviasi dari
populasi umum. Status gizi dievaluasi dengan pengukuran BMI dan antropometri serta
estimasi perubahan berat terakhir. Malnutrisi didefinisikan sebagai pengukuran antropometri
bawah persentil ke-5 sesuai dengan nilai-nilai standar untuk populasi umum dan / atau BMI <
20 kg/m2 dan / atau penurunan berat badan 5% -10% dalam 3-6 bulan sebelumnya.
Penyakit diabetes melitus juga dinilai dengan pengukuran glukosa puasa. (Kalaitzakis, 2008).
Dari hasil peneltian 40% dari pasien tersebut kekurangan gizi, 26% menderita
diabetes, dan 34% enselopati hepatikum. Pasien dengan malnutrisi lebih sering menderita
enselopati hepatikum dibandingkan dengan mereka yang tidak kekurangan gizi (46% vs 27%,
P = 0,031). Dalam analisis multivariat, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan number
connection test A secara independen berkorelasi dengan umur, keparahan sirosis dinyatakan
dalam skor Child-Pugh, diabetes dan malnutrisi. Dalam penelitian ini mereka tidak
melaporkan seberapa banyak pasien memiliki diabetes mellitus. Namun, risiko diabetes
mellitus telah dilaporkan meningkat pada pasien dengan sirosis karena hepatitis C dan
mayoritas pasien yang terdaftar dalam studi ini 56% memiliki sirosis virus. Oleh karena itu
tidak diketahui apakah pasien dengan enselopati hepatikum memiliki proporsi yang lebih
tinggi memiliki diabetes dibandingkan dengan pasien tanpa enselopati hepatikum
( Kalaitzakis, 2008).
31
9.7. Hipersplenisme
Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah merah, leukosit dan
trombosit yang sudah tua .Darah dari limpa akan bergabung dengan aliran darah dari usus
masuk ke dalam vena porta. Akibat peningkatan tekanan vena porta karena sirosis, terjadi
peningkatan blokade aliran darah dari limpa. Akibatnya terjadi aliran darah kembali ke limpa,
dan limpa membesar. Terjadilah splenomegali (Hernomo, 2007).
Kadang-kadang limpa dapat membengkak hebat, hingga menimbulkan nyeri perut.
Dengan pembesaran limpa ini, fungsi filtrasi terhadap terhadap sel-sel darah dan trombosit
ikut meningkat, sehingga jumlahnya akan menurun.Hipersplenisme merupakan istilah yang
di pakai untuk menunjukkan kondisi sebagai berikut : penurunan jumlah sel darah merah
(anemia), penurunan sel darah putih (leukopenia), dan atau trombosit yang rendah
(trombositopenia). Anemia menyebabkan perasaan lemah, leukopenia menyebabkan peka
terhadap infeksi, trombositopenia menyebabkan pembekuan darah dan menimbulkan
perdarahan yang memanjang (Hernomo, 2007).
9.8. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)
Sirosis, apapun penyebabnya, meningkatkan risiko kanker hati primer (hepatocellular
carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati. Kanker hati sekunder
merupakan kanker hati yang berasal dari penyebaran kanker dari tempat lain dalam tubuh
(metastasis). Keluhan terbanyak kanker hati primer adalah nyeri perut, pembengkakan,
pembesaran hati, penurunan berat badan, dan demam. Sebagai tambahan, kanker hati dapat
memproduksi dan melepaskan sejumlah bahan yang menimbulkan berbagai kelainan :
peningkatan sel darah merah (eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia) dan
kalsium darah yang tinggi (hiperkalsemia) (Hernomo, 2007).
Sirosis merupakan kondisi premaligna dan berhubungan dengan risiko peningkatan
kanker hepatoseluler. Dari data statistik selama selama dua dekade terakhir, kejadian kanker
jenis ini meningkat di Amerika Serikat, terutama karena penyebaran HBV dan HCV. Untuk
itu diperlukan langkah-langkah pencegahan. Pengukuran pencegahan termasuk didalamnya
skrining dengan alpha-fetoprotein dan ultrasonografi setiap 6 bulan ( Anand , 2002).
10. Prognosis
Prognosis untuk pasien sirosis tergantung pada komplikasi masing-masing. Yang
mendasari proses morfologi, seperti nekrosis, fibrosis dan regenerasi, gabungan untuk derajat
33
yang sangat berbeda dalam pasien sirosis tunggal. Ada juga perbedaan-perbedaan individu
dalam tanggapan hemodinamik dan efek yang sesuai pada ginjal, paru-paru dan hati, dll. Oleh
karena itu sangat sulit memberikan prognosis yang akurat dalam setiap kasus. Selain itu,
seperti prognosis hanya mencakup jangka waktu tertentu yang relatif singkat (beberapa bulan
sampai satu tahun) (Kuntz, 2008).
Berbagai indeks telah dikembangkan menggunakan parameter sebaik mungkin untuk
menghitung probabilitas kematian atau kelangsungan hidup dalam setiap kasus. Klasifikasi
sirosis menurut kriteria yang dibuat oleh Child dan Turcotte (1964) dan modifikasi oleh Pugh
(1973) telah diterima secara luas. Prognosis dari sirosis yang disebabkan oleh racun (alkohol
atau obat-obatan, bahan kimia, dll) adalah jauh lebih baik dengan menghilangkan kausal atau
penyebab (Kuntz, 2008).
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi sejumlah factor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Penilaian prognosis
sirosis hepatis dapat menggunakan 2 metode yaitu Child-Turcotte-Pugh dan MELD. Child
dan Turcotte pertama kali memperkenalkan sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara
memprediksi angka kematian selama operasi portocaval shunt. Pugh kemudian merevisi
sistem ini pada 1973 dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang
kurang spesifik dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan dengan
menggunakan INR selain waktu protrombin dalam menilai kemampuan pembekuan darah.
Klasifikasi Child-Pugh dapat untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani
operasi, dimana interpretasi penilaian ini terdiri dari Child A, B dan C. Penilaian child-plugh
berkaitan dengan angka kelangsungan hidup pasien sirosis hati tahap lanjut. Angka
kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk Child A 100%, Child B 80% dan Child C yaitu
45%. Penilaian prognosis terbaru adalah Model or End Stage Liver Disease (MELD).
Penilaian MELD memiliki aspek penialian yang lebih spesifik dan terukur yaitu berdasarkan
nilai serum kreatinin, serum bilirubin, dan platelet dalam hal ini INZ (International
Normolized Ratio) dari Prothrombine Time. Hasil dari penilaian prognosis ini dapat
memperkirakan 10-15 % resiko kematian selama 3 bulan ke depan pada pasien sirosis hati
dengan spesifisitas mencapai 67-87%.
34
Measure
Total bilirubin,
(mu.mol/dl)
Serum albumin, g/dl
Ascites
PSE/ensefalopati
Nutrisi
Minimal
<35
Sedang
35-50
Berat
>50
>35
Nihil
Nihil
30-35
Mudah dikontrol
Minimal
<30
Sukar
Berat/koma
Sempurna
Baik
Kurang/kurus
Tabel . Klasifikasi Child-Pugh Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan Fungsi
Hepar
KESIMPULAN
Penyakit sirosis hepatis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Penyebab penyakit ini dapat berupa
zat-zat hepatotoksik maupun akibat dari suatu penyakit sebelumnya dan yang tersering adalah
penyakit hepatitis B.
Untuk mendagnosis penyakit ini dapat dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjamg diagnostik lainnya seperti pemeriksaan laboraorium, USG, dan
untuk diagnosis pasti penyakit ini dilakukan biopsi hati. Hal lain yang harus diperhatikan
dalam mendiagnosis penyakit ini adalah stadiumnya, dimana akan sedikit lebih sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dekompensata dibanding stadium kompensasi.
Terapi pada sirosis hepatis ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan
bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
Bila sirosis telah semakin berlanjut, transplantasi hati tampaknya menjadi satu-satunya
pilihan pengobatan. Rata-rata 80% pasien yang ditransplantasi hati dapat hidup dalam lima
tahun. Dan secara umum penyakit ini menghasilkan prognosis yang buruk.
35
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulkifli .,dan Bahar , Asril., 2007. Pulmonologi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 988 994.
Anand, B.S. 2002. Cirrhosis of Liver. Western Journal of Medicine, Vol. 171, p. 110-115.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305772/?
tool=pmcentrez
Avunduk,C. Cirrhosis And Its Complications. Dalam : Manual Of Gastroenterology
Diagnosis And Therapy. 4th Ed.Lippincott Williams & Wilkins
2008 ; 438-54
Bacon, B.R. Cirrhosis And Its Complications. Dalam : Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo,
D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L., Et Al. Harrisons Principles Of
Internal Medicine 17th Edition. Mc Graw Hill Companies, New York..2008: 197180
Biecker, Erwin. 2011. Diagnosis and Therapy of Ascites in Liver Cirrhosis. Journal PubMed
Central
(PMC)
17(10):
12371248.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3068258/?tool=pmcentrez
Chandrasomo, P., and Taylor, C. R. 2005 . Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : EGC :
594595.
Deibert, Peter., et al. 2006. Hepatopulmonary Syndrome in Patients with Chronic Liver
Disease: Role of Pulse Oximetry. Journal PubMed Central (PMC), 6: 15. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1508152/?tool=pmcentrez
Fauci, Anthony.S. MD., et al .2008. Harrison's Principles of Internal Medicine, 17 th edition.
Chapter 302. Gustaviani, Reno. 2007.Metabolik Endokrin. Dalam : Sudoyo, Aru,
W., dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
36
34383439.
Available
from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2716602/?tool=pmcentrez
Khan, H., Iman, N. Hypoalbuminemia : A Marker Of Esophageal Varices In Chronic Liver
Disease Due To Hepatitis B And C. Rawal Medical Journal 2009;34;1; 98-101
Kuntz, E., and Kuntz, H.D. 2006. Hepatology, Principles and Practice 2nd Edition. Chapter
35 : 716-749.
Kuntz, E., and Kuntz, H.D. 2008. Hepatology, Principles and Practice 3rd Edition. Chapter
35 : 738-772.
Kusumobroto, O.Hernomo. 2007.Sirosis Hepatis. Dalam : Sulaiman, Ali., dkk.,ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Hati. Jakarta : Jaya Abadi : 335 345.
Lata, Jan., Stiburek, Oldich., and Kopacova, Marcela. 2009. Spontaneous bacterial
peritonitis: A severe complication of liver cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC)
, 15(44): 55055510. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2785051/?tool=pmcentrez
Mulyanto. Epidemiologi Hepatitis B Di Indonesia. Dalam : Sulaiman, A.S., Sulaiman, B.S.,
Sulaiman, H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini Hepatitis B Dan C
Dalam Praktik Klinis SehariHari. Sagung Seto, Jakarta,2010;17-20.
Mulyanto. Epidemiologi Hepatitis C . Dalam : Sulaiman, A.S., Sulaiman, B.S., Sulaiman,
H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini Hepatitis B Dan C Dalam
Praktik Klinis Sehari-Hari. Sagung Seto, Jakarta,2010;41-3.
37
Nayak, N. C. 2011. End Stage Chronic Liver Disease , Yesterday, Today and Tomorrow. In :
Michelli, L Miranda., Ed. Hepatology Research And Clinical Development Liver
Cirrhorsis: Causes, Diagnosis And Treatment, New York : Nova Biomedical Books :
59 83.
Nurdjanah, S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.,
Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid I , Jakarta 2009;668-673
Panggabean, M.Parulan. 2007. Kardiologi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :1639 1640.
Price, A. Sylvia., Wilson, M. Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC : 493 497.
Salerno, Francesco., et al. 2007. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal
syndrome in cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC), 56(9): 13101318.Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1954971/?tool=pmcentrez
Sanityoso, A., Stephanie, A. Komplikasi Hepatitis Dan Tatalaksana. Dalam: Sulaiman, A.S.,
Sulaiman, B.S., Sulaiman, H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini
Hepatitis B Dan C Dalam Praktik Klinis Sehari-Hari. Sagung Seto, Jakarta,2010;5970.
Schuppan, Detlef., & Afdhal, Nezam H., 2008. Liver Cirrhosis. Journal PubMed Central
(PMC), 371(9615): 838851. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178/?tool=pmcentrez
Suwitra, Ketut. 2007 . Ginjal Hipertensi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 570 573.
Theophilidou, E., et al. 2012. Liver metastases, a rare cause of portal hypertension and stoma
bleeding. Brief review of literature. Journal PubMed Central (PMC), ; 3(5): 173
38
http://www.medistra.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=106
39