Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

RETENSIO URIN EC BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

Disusun oleh:
Alika Rizki Pratami (1102015017)
Farah Atsilla (1102015082)
Khanza Isdiharana (1102015117)
Primadilla Rahma (1102015178)
Ibrahim Rizal L (1102013129)
Hashifah Shabhati (1102015089)
Puteri Kemala Indah (1102015179)
Raden Maurizka C (1102015185)
Fiqa Tinfitriya A (1102015080)
Titis Nur Indah (1102011282)

Pembimbing : Dr. Kamal Anas, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARJAWINANGUN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
10 AGUSTUS 2020 – 3 OKTOBER 2020

KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 Tahun
Alamat : jakarta
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 10-07-2011 jam 07.10
No. RM : 834120

II. ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA
Tidak bisa kencing

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien laki-laki umur 50 tahun datang ke poliklinik bedah RSMS dengan keluhan

buang air kecil tidak lancar, yang diikuti dengan rasa nyeri jika ingin kencing sejak 3 minggu

yang lalu.

Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh buang air kecil tidak

lancar, pancaran air kencing pendek dari biasanya, aliran kencing terputus-putus dan pasien

harus mengedan saat ingin buang air kecil. Pasien juga mengeluh Pasien mengeluh merasa

tidak puas setelah buang air kecil karena masih merasa ada sisa urin sehabis kencing. Bahkan

pasien juga mengeluh sering bangun pada malam hari untuk buang air kecil ± 5 kali setiap

malam dalam 2 bulan terakhir, namun pasien tidak mengompol.


Pada saat buang air kecil alirannya tidak pernah berhenti tiba-tiba dan tidak disertai rasa

sakit yang hebat pada ujung penis, batang penis dan di daerah pinggang. Jika buang air kecil

tidak pernah bercabang dan tidak mengeluarkan batu saat kencing.

Pasien tidak merasakan badannya panas atau demam. Pasien menyangkal pernah

mengeluarkan darah pada saat buang air kecil dan pasien menyangkal merasakan nyeri daerah

punggung. Sebelumnya pasien sempat berobat ke RS Bumi Ayu dan sudah pasang selang

kencing 3x dan jika selang dilepas pasien mengaku tidak bisa kencing.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

 Pasien tidak pernah menderita keluhan yang sama sebelumnya.

 Riwayat infeksi saluran kemih disangkal.

 Riwayat ganguan ginjal disangkal.

 Riwayat batu saluran kemih disangkal.

 Riwayat operasi daerah kelamin disangkal.

 Riwayat kencing manis disangkal.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

 Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.


IPSS (International prostat sympthom score)
1. Merasa masih terdapat sisa urin setelah kencing (4)
2. Harus kencing lagi padahal setengah jam yang lalu baru kencing (4)
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai lagi berkali-kali (4)
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing (3)
5. Merasakan pencaran urin lemah (4)
6. Harus mengejan dalam memulai kencing (4)
7. 1 bulan terakhir berapa kali terbangun dari tidur malam hanya
untuk kencing (5)

8. Dengan keluhan seperti in bagaimana Anda menikmati hidup (6)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : sedang

Kesadaran : compos mentis

Vital Sign : Tekanan darah : 130 / 80 mmHg

Nadi : 80 x/mnt

Respirasi : 20 x/mnt

Suhu : 36.8 °C (aksiler)

A. STATUS UMUM

- Kulit : warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tugor

cukup

- Kepala : mesochepal, rambut beruban, distribusi rambut merata


- Muka : simetris, tidak ada jejas dan bekas luka.

- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

3 mm, reflek cahaya (+/+) normal .

- Telinga : simetris, serumen kanan kiri (+), tidak ada kelainan bentuk

- Hidung : deviasi septum(-), discharge (-)

- Mulut : bibir tidak kering, lidah tidak kotor,mukosa pucat (-)

- Gigi : gigi tidak lengkap, caries (+)

Pemeriksaan Leher

Inspeksi : Trachea di tengah

Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.

Pemeriksaan Thorax

Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

 Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

 Perkusi : Batas kiri atas : ICS II LMC sinistra

Batas kanan atas : ICS II LPS dextra

Batas kiri bawah : ICS V LMC sinistra

Batas kanan bawah : ICS IV LPS dextra


 Auskultasi : S1 > S2 reguler

Murmur (-), Gallop (-)

Paru

 Inspeksi : dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis

Retraksi tidak ada ,ketinggalan gerak tidak ada.

 Palpasi : simetris, vokal fremitus kanan=kiri, ketinggalan gerak

tidak ada .

 Perkusi : Sonor kedua lapang paru

 Auskultasi : suara dasar : vesikuler

suara tambahan : tidak ada

Pemeriksaan Abdomen

 Status Lokalis

Pemeriksaan Extremitas :

Superior : kanan : udem (-), sianosis (-), tonus otot cukup

kiri : udem (-), sianosis (-), tonus otot cukup

Inferior : kanan : udem (-), sianosis (-), tonus otot cukup

kiri : udem (-), sianosis (-), tonus otot cukup

Reflek :
Ektremitas superior : RF : +/+ normal, RP : -/-

Ektremitas inferior : RF : +/+ normal, RP : -/-

B. STATUS LOKALIS

Regio Abdominal

 Inspeksi : Perut tidak membuncit, darm countor tidak ada, Darm

steifung tidak ada,venektasi tidak ada,sikatrik tidak ada.

 Auskultasi : Bising usus (+) normal

 Palpasi : Nyeri tekan (+) regio suprapubik,

hepar dan lien tidak teraba,defans muskular tidak ada,tidak

teraba massa,ballotement tidak ada.

 Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen

Regio Anal.

Inspeksi : Tidak ada luka dan tidak tampak adanya benjolan

Palpasi : Nyeri tekan (-).

Rectal toucher : Tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps, mukosa rectum

licin, teraba massa di jam 12, kenyal, permukaan licin, simetris, batas

atas dapat diraba, sulcus medianus tidak teraba, batas lateral teraba

pembesaran  3-4 cm

Hand Scoon : feces (-), darah (-), lendir (-).


IV. RESUME

Anamnesis:

Pasien laki-laki 50 tahun dengan keluhan tidak bisa BAK sejak 3 minggu yang lalu dan nyeri

saat ingin BAK sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh harus mengedan agar air

kencingnya keluar, buang air kecil tidak tuntas, BAK lebih sering, pancaran air kencing tidak

kencang dan putus-putus. Pasien juga mengeluhkan terkadang terbangung pada malam hari

untuk BAK. Pasien akhir-akhir ini merasa tidak nyaman dengan keluhannya.

Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal dan pemeriksaan colok dubur didapatkan nyeri (+),

massa (+ di jam 12), kenyal, permukaan licin, simetris, batas atas teraba jelas (+), sulcus

medianus tidak teraba, batas lateral teraba pembesaran 3-4 cm. Skor IPSS dan QoL sebesar 34.

V. DIAGNOSIS

Retensio Urine e.c Benign Prostate Hyperplasia

VI. DIAGNOSIS BANDING

 Karsinoma prostat

 Tumor buli-buli.

VII. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium:

 Darah lengkap: Hb, leukosit, LED, eritrosit, hitung jenis leukosit, ureum, kreatinin.
 Urine: Sedimen urine, Biakan urine.

 Prostat Specific Antigen (PSA).

 PA post operasi


Radiologi:

USG

BNO IVP: selektif

Cystogram

VIII. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif

Infus: IVFD RL 20 tpm.

Analgetik: Inj. Ketorolac 2x30mg.

Antibiotik: Inj. Cefotaxime 2x1 gr.

Pemasangan kateter urin.

2. Operatif: Prostatectomy.

IX. PROGNOSIS.

Quo ad vitam: Dubia ad bonam.

Quo ad functionam: Dubia ad bonam.

Quo ad sanationam: Dubia ad bonam.


PEMBAHASAN

DEFINISI
Retensi urin adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat berkemih spontan sesuai
kehendak. Retensi urin bisa dibagi menjadi 2 keadaan yaitu akut dan kronik. Retensi urin yang
akut adalah ketidak mampuan berkemih yang tiba-tiba dan disertai rasa sakit meskipun kandung
kemih terisi penuh, berlangsung kurang dari 24 jam. Berbeda dengan kronis, tidak ada rasa sakit
karena sedikit demi sedikit menimbunnya, dan berlangsung lebih dari 24 jam. Kondisi yang
terkait adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai
rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau tidak dapat berkemih
sama sekali segera dipasang kateter.
Normalnya manusia memproduksi urin dalam waktu 24 jam adalah sebanyak 1000-
1500cc. sedangkan kapasitas buli-buli secara umum adalah sebanyak 300cc saja dan dalam
sehari manusia dapat berkemih 4-5kali.

PATOFISIOLOGI
Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat untuk
menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Proses berkemih melibatkan 2 proses
yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini
saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal
penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah
dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh
hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine
secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran
kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmitter
utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan
diinformasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis
dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada
kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.

ETIOLOGI
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan kontraksi otot-
otot detroser. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan dikontrol didalam pusat miksi
yaitu diotak dan sakral. Terjadinya gangguan pengosongan kandung kemih akibat dari adanya
gangguan fungsi di susunan saraf pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius
bagian bawah. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi urine. Pada
penyebab akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot
detrusor, atau ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada kasus yang retensi urine
kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux
ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal. Bila pada pasien Tn.
M yang dapat menyebabkan dia mengalami retensi urin adalah karena penyakit penyertanya
yang diketahui melalui pemeriksaan penunjang, diantaranya yaitu BPH, vesicolithiasis, cystitis
dan pielonefritis.

GAMBARAN KLINIS
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan
buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan
keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Suatu
penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna dalam memprediksikan adanya
gangguan berkemih adalah pancaran kencing yang lemah, pengosongan kandung kemih yang
tidak sempurna, mengedan saat berkemih, dan nokturia. Hal ini juga sama dengan apa yang
dirasakan oleh pasien Tn. M.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah
urine yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine,
pengukuran volume residu urine, sangat dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus diperiksa,
dalam hal ini dapat digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan
voiding cystourethrography. Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau sama
dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml dapat dikatakan abnormal dan
biasa disebut retensi urine. Namun volume residu urine antara 50-200ml menjadi pertanyaan,
sehingga telah disepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25% dari total volume
vesika urinaria.

PENATALAKSANAAN
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi, kateter
Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap
kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi. Bila
kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 4 jam. Setelah
berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa
residu urine minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 100 ml urine, drainase
kandung kemih dilanjutkan lagi.

KOMPLIKASI
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka kemampuan elastisitas vesica
urinaria menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya
reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau dapat
juga dilakukan foto BNO-IVP.
BPH
DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah.

KELENJAR PROSTAT

Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra

Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal
uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex
kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. Pada bagian anterior
didukung oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada
bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum.
Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan
biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada
bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan
bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter
eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat
fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada
wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih sedikit.

EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia
40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai
pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.

ETIOLOGI
Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain:

Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH,
juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen
juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan
stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan
menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam
keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen
testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan
terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan
yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat
merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat
terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian
perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)


Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor, transforming
growth 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.

Teori Sel (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa
berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati,
keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang
dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel
stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal
sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan.

Teori Dihidro Testosteron (DHT)


Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar
adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex
hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati
membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim
5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini
mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang
kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan
menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar
periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang
yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan
“glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,
menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan
pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya.

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya
BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum
diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol,
dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.

PATOFISIOLOGI
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan
adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga
terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi
tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi
pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan
tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung
dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra. Selanjutnya hal ini
akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi resistensi uretra yang meningkat,
otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke dalam gagal ginjal.

GEJALA
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif
dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat
dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain:
- Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
- Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
- Miksi terputus (Intermittency)
- Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
- Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh., gejalanya ialah:
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek
bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum
dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat
tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan
nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
 Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA),
Gula darah
 Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis, sedimen
Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit penyerta misalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis
ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung
kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun
hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi
dapat dilihat adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan

DIAGNOSIS
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui:
1. Anamnesis: adanya gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik: terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang
membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum.
Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi

DIAGNOSIS BANDING
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-
obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.

KOMPLIKASI
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal

PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun
atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan
(6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa,
pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka  TUMT
Tabel 2.
waiting adrenergik α  TUBD Pilihan
Penghambat Endourologi  Stent uretra Terapi
reduktese α  TUNA pada
Fisioterapi 1. TURP Hiperplasia
Hormonal 2. TUIP Prostat
Benigna
3. TULP
Elektovaporasi
Riwayat
Pemeriksaan fisik & DRE
Urinalisa
PSA (meningkat/tidak)

Indeks gejala AUA Retensi urinaria+gejala yang


berhubungan dg BPH
Hematuria persistent
Gejala ringan Gejala sedang Batu buli
(AUA≤7)/ Infeksi saluran urinaria berulang
tdk ada gejala Insufisiensi renal
Tes diagnostic
Uroflow Operasi
Residu urin postvoid

Pilihan terapi

Terapi non-invasif Terapi invasif

Tes diagnostic
Pressure flow
Watchful waiting Terapi medis
Uretrosistoskopi
USG prostat

Terapi minimal invasif Operasi

Bagan 1. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia


Penatalaksanaan Nilai indeks gejala BPH Efek samping
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi retensi
urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%
5 alpha-reductase inhibitors Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%
Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave heat Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-10-
16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%

Tabel 3. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat Hiperplasia

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi
namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2)
kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3)
batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi
makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya keluhannya apakah
menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek
daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistansi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.
1. Penghambat reseptor adrenergik α.
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu untuk
meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin
(Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin
(Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan
perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.

Gambar 3. Lokasi Reseptor 1-Adrenergik (1-ARs)

2. Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya
kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini
menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.

c. Terapi Invasif Minimal


Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan
1. Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan gelombang mikro
untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur
yang disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim
gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk
setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih
selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat jalan tanpa
anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau
inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi mengurangi
gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi.

Gambar 4. Microwave Transurethral

2. Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral
jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA
memberikan energy radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region
prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem
TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP).
Gambar 5. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

3. Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk menghancurkan
jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter mengandung beberapa lubang
diposisikan dalam uretra sehingga balon pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah
komputer mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan memanaskan jaringan prostat
sekitarnya. Sistem ini memfokuskan panas di wilayah yang tepat prostat. Sekitar jaringan
dalam uretra dan kandung kemih dilindungi. Jaringan yang hancur keluar melalui urin.

Gambar 6. Thermotherapy dengan Air

d. Bedah
1. Operasi transurethral
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan anestesi, ahli
bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan untuk 90
persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP, alat yang disebut
resectoscope dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci
dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi, dan loop
listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan menyebabkan hipotermia
relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan
pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat
bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak dan jatuh ke
dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator harus
membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan baru memasang
sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air
ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat resectoscope untuk
menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu waktu. Potongan-potongan
jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir
operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan
memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek samping yang mungkin
TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir
mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.

Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut


Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra
Tabel 3. Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan
Gambar 7. Alat TURP, cara melakukan TURP, uretra prostatika pasca TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP), prosedur ini melebar
urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher kandung kemih, di mana
terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu
besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.

2. Open surgery
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat digunakan,
operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat digunakan. Open surgery sering
dilakukan ketika kelenjar sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau
ketika kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan
melalui pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin).
Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85-
100%.
3. Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang
lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit
komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi (kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan disuri
pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi
spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP.
Serat laser melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian
memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi
laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.

Gambar 8. Operasi Laser pada Prostat

a. Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain, koagulasi laser
interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke jaringan prostat untuk
menghancurkannya.

Gambar 9. Interstitial laser coagulation


b. Potoselectif vaporisasi prostat (PVP)
PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara sama dengan
TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan mesin diatermi
yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup
aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini hanya
diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu
operasi yang lebih lama.

Gambar 10. Potoselectif vaporisasi prostat


c. Kontrol berkala
 Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat
perbaikan klinis
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan
pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor
miksi, juga diperiksa kultur urin
 Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit

PROGNOSIS
Prognosis BPH baik, meskipun dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Kelenjar prostat yang
semakin membesar, gejalanya mungkin menjadi lebih buruk, memerlukan pengobatan atau
operasi. Dengan manajemen medis dan / atau bedah yang tepat, gejala kelenjar prostat yang
membesar dapat diobati secara efekti
DAFTAR PUSTAKA

Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot


.com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009
Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2. Jakarta:
Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85
McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign prostatic
hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s urology. 7th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.
Dorland, W. A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Jakarta, EGC.
Rasjad C. Hernia. Dalam : Sjamsuhidajat R, Jong WD, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2004; hal. 523-38
Sabiston. Buku ajar bedah (Essentials of surgery. Bagian 2, cetakan I : Jakarta, penerbit buku
kedokteran EGC. 1994.
Schwartz. et al.intisari prinsip-prinsip ilmu bedah.Ed. 6. jakarta: penerbit buku kedokteran EGC,
2000.

Anda mungkin juga menyukai