Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peritoneum

2. 1.1 Anatomi

Peritoneum adalah membrane serosa yang melapisi rongga perut dari


diafragma meluas kebawah sampai pelvis. Dibagi menjadi beberapa bagian:

a. Peritoneum parietal: melapisi dinding abdomen

b. Peritoneum visceral: melapisi organ-organ dalam abdomen.

c. Peritoneum yang menghubungkan peritoneum parietal dan visceral juga


berfungsi sebagai alat penggantung: mesentrium, mesenteriolum,
mesokolon transversum, mesosigmoideum, mesovarium, mesosapinx,
dsb

d. Peritoneum yang menggantung bebas sebagai duplikatur: omentum

Celah diantara peritoneum parietal dan visceral disebut cavitas peritonealis. Pada
keadaan normal celah ini mengandung sedikit cairan yang dikenal sebagai liquor
peritonii. Pada laki-laki celah ini merupakan celah yang tertutup. Sedangkan pada
wanita celah ini terdapat hubungan dengan tuba uterina, uterus, dan vagina yang
secara tidak langsung berhubungan dengan eksterior tubuh
Fungsi peritoneum adalah meminimalisir friksi, mencegah infeksi,
menyimpan lemak dan melindungi visera abdomen. Dalam merespons cedera atau
infeksi, peritoneum mengeksudasi cairan dan sel serta membatasi atau melokalisir
infeksi.
Gambar 1. Lapisan dinding abdomen
2. 1.2 Ruang Peritoneum
a. Ruang Subhepatika kanan: ruang yang menjadi tempat pengumpulan cairan
dan terbentuknya abses.
b. Ruang Subfrenika kanan
c. Ruang Subfrenika kiri
d. Ruang Parakolika
e. Kantong Lesser: infeksi yang terbentuk pada rongga ini biasanya berasal dari
organ terdekat seperti gaster dan pankreas.
f. Rongga Pelvis: berada di anterior dari rectum dan merupakan lokasi tersering
dari abses dari rongga pelvis

Gambar 2. Potongan sagital dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal


dengan visceral
2. 1. 3 Vaskularisasi dan Persarafan
Peritoneum visceral dan mesenterium mendapat darah dari arteri splanknikus,
vena kembali masuk ke vena porta. Peritoneum parietal mendapat darah dari cabang
pembuluh darah dari intercostal distal, subcostal, lumbal, dan iliaka serta kembali
melalui vena cava inferior.
Peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf spinal yang sama dengan inervasi
pada dinding abdomen, sensitive terhadap stimuli. Setiap iritasi pada peritoneum
parietal menimbulkan nyeri somatik. Peritoneum visceral diinervasi dari aferen
autonom dan relatif kurang sensitive. Adanya persarafan yang berbeda ini
mengakibatkan perbedaan respon sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang
menstimulasi peritoneum visceral atau parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat
stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di
peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom
pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain
menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot
apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum.

Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle


guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall). Di sisi lain, iritasi dari
peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa
seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf peritoneum visceral terstimulasi
sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi
epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik
(struktur hindgut).
2.1.4 Mekanisme Pertahanan

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah


membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa,
makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kolagen. Total luas
permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2 . Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya
steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang berisikan makrofag, sel
mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat difusi
semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara
terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselular. Tidak seperti
cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat
orifisum yang dibentuk oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di
permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.
Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragma dan tekanan thorako-
abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh
untuk menjaga peritoneum tetap steril.
Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada
rongga peritoneum. Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya
inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-
4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam
48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan sitokin, antara lain
interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), leukotriene, platelet
activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi lokal
pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh
yang secara temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga
peritoneum serta menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.
Mekanisme pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah
abses. Selain itu, omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk
memfasilitasi pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah
daerah subphrenic. Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan
pembentukan eksudat) memiliki efek paradoks. Eliminasi mekanik pada
mekanisme pertahanan yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan
apabila masif dapat mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian.
Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan
opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin
berpindah pada rongga abdomen.

2.2 Peritonitis
2. 2. 1 Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau


seluruh selaput peritoneum parietal ataupun visceral pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
dan kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya disebabkan oleh infeksi
pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal
dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari
organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks. Infeksi dapat juga
menyebar dari organ lain yang menjalar melalui darah. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecil),
namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal
tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

2. 2. 2 Etiologi

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga


disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.

Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)


merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita
usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi, dan
splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik,
gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.

Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara:

a. Invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka


tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi)

b. Translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak


(misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni
pada apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya
anastomosis)

c. Melalui aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada


peritonitis primer dimana terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas
(sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-hemolyticus primer
dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati
dan asites)

d. Melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran


langsung dari lingkungan eksternal: peritonitis pneumokokus
primer, salpingitis akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus)

Peritonitis tersier yang terjadi setelah dilakukan pembedahan dan terapi


antibiotika pada peritonitis sekunder, kemudian terjadi infeksi yang berlanjut
dan super infeksi atau gangguan system imunitas pada pasien sehingga tidak
dapat menahan infeksi dan peritonitis menjadi persisten serta berakhir dengan
kematian, misalnya pada peritonitis tanpa dapat dibuktikan adanya patogen dan
peritonitis karena jamur.

Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh
kasus peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau
gaster. Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu
beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat
terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya saat penyatuan duktus
sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik. Bentuk
peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis tuberkulosis, peritonitis
klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.

2. 2. 3 Patofisiologi
Infeksi intra absominal sering disebabkan oleh perforasi dari traktur bilio-
enterik yang melepaskan mikroba di dalam rongga peritoneum. Pergerakan
fisiologis normal didalam cairan peritonel akan menyebarkan kontaminan
mikroba didalam kavum peritonei. Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan
langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun
apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan
tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada
beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster
atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai
volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator).
Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk
dalam rongga peritoneum.
Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial
(gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut
menyebabkan reaksi peradangan yang mengaktifkan seluruh mekanisme
pertahanan peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat).
Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk
dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi
sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction
Syndrome).

Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari


pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke yang berlanjut
menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan dua
tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju
nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000
sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang).

Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya


aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam
usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga
peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol. Manifestasi klinis dibagi
berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai patofisiologi terjadinya
peritonitis.
Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri perut hebat, nyeri tekan
seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), rebound tenderness, adanya
muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan manifestasi klinis akibat ileus
paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus), sedangkan pada tanda klinis
sistemik dapat ditemukan adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi,
oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).

2. 2. 4 Manifestasi Klinik

Gejala klinis pada peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri
dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
atau tersebar di seluruh abdomen. Nyeri akan semakin berat apabila pasien
bergerak. Gejala lainnya seperti demam suhu >38C namun pada kondisi sepsis
yang berat dapat terjadi hipotermia, mual dan muntah dapat timbul akibat
adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi peritoneum, adanya
cairan dalam rongga abdomen dapat mendorong diafragma yang mengakibatkan
kesulitan bernafas.
Apabila pendarahan terjadi terus menerus, dapat terjadi kondisi
hipovolemia yang mengakibatkan syok hipovolemik, distensi abdomen dengan
penurunan/ tidak terdengarnya bising usus, perut papan (rigiditas abdomen) yang
terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon
terhadap penekanan pada dinding abdomen maupun involunter sebagai respon
terhadap iritasi peritoneum, nyeri tekan dan nyeri lepas, takikardia akibat
pelepasan mediator inflamasi, serta tidak dapat buang air besar atau flatus.

2. 2. 5 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik abdomen dapat ditemukan adanya distensi perut
pada inspeksi,suara bising usus yang menurun, nyeri tekan, nyeri lepas, dan
defans muskular positif pada palpasi, serta pada perkusi dapat ditemukan nyeri
ketok, hipertimpani akibat perut kembung, redup hepar yang menghilang akibat
perforasi organ berisi udara sehingga udara akan mengisi rongga peritoneal dan
terjadi perubahan suara redup menjadi timpani

Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan leukositosis dengan


pergeseran ke kiri pada Differential count leukosit. Pada pasien
immunocompromised dapat terjadi leukopenia. Pada pemeriksaan foto polos
abdomen dapat ditemukan adanya bayangan peritoneal fat line dan psoas line
yang kabur karena inflitrasi sel radang, selain itu dapat tampak udara usus
merata berbeda dengan gambaran ileus obstruksi, dapat juga terlihat penebalan
dinding usus akibat edema, dan gambaran udara bebas. Pemeriksaan penunjang
lain yang dapat dilakukan adalah dengan USG abdomen. CT-scan, dan MRI.

2. 2. 6 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik
broad spectrum, seperti

a. Sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau


ceftriaxone 1x2 gram),
b. Penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram
pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal).

Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien


dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer
umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang
tepat. Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung
perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan
adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP,

Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi


menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik,
antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau
trimethoprim- sulfamethoxazole.
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi
etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi). Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine
qua non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan
bersifat life saving. Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and
definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder,
tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.
Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk
prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan


resusitasi cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan)
untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang
memperparah disfungsi organ. Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram
positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi
upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus
distal dan colon lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob). Beberapa
pilihan regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari
golongan penicillin/ β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram
intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena),
atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan
metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care
Unit dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram
intravena).
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit
normal dan hitung jenis batang < 3%. Resusitasi cairan dan monitoring
hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial
pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central
venous pressure CVP antara 8-12mmHg). Tindakan lainnya, meliputi
pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut
dan mual-muntah yang dominan. Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya
syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari
kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri,
dan mencegah sepsis. Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline
dengan tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit
tercapai. Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang
mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi
ulkus). Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara
sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari
(beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik). Pembilasan
(peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan
hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan
mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re- akumulasi dari pus). Tidak
direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia
lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal,
fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan
ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi
pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure technique).
Teknik ini merupakan teknik closed- abdomen, pada laporan kasus ini tidak
akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

2. 2. 7 Komplikasi
Komplikasi lain yang dapat muncul pada kasus peritonitis adalah adhesi
dan shock sepsis. Adhesi dari organ - organ intra abdomen dapat menyebabkan
obstruksi usus atau volvulus. Penilaian suspek sepsis pada pasien dengan infeksi
yang tidak dirawat dalam ICU dapat dilakukan dengan Quick Sepsis-related
Organ Failure Assesment (qSOFA).
2. 2. 8 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 2). Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.
Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien dengan perforasi
ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri yang minim, dan
diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II atau
Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum
albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang
membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas
yang tinggi.

Tabel dikutip dari: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery.
13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010
2.3 Apendiks
2.3.1 Pendahuluan
Apendik pada orang dewasa berupa suatu tonjolan dengan panjang 5-10
cm yang berpangkal dari dinding posteromedial sekum, kira-kira 3 cm di bawah
katup ileosekal. Dasar dari apendik terfiksasi pada sekum namun ujungnya masih
dalam keadaan bebas, keadaan ini menyebabkan timbulnya berbagai variasi dari
lokasi apendik dalam cavum abdomen. Lokasi apendik dapat berupa retrosekal,
subsekal, retroileal, preileal, atau pelvikal.

Gambar 3. Posisi Apendiks Vermiformis dalam Tubuh Manusia

Apendisitis merupakan radang pada apendiks vermiformis yang


merupakan proyeksi dari apeks sekum. Apendisitis akut merupakan suatu
emergensi bedah abdomen yang umum terjadi dan mengenai 7-12% populasi.
Kelompok usia yang umumnya mengalami apendisitis yaitu usia antara 20 dan 30
tahun.
2.3.2 Patogenesis
Penyebab utama apendisitis akut adalah oleh karena adanya penyumbatan
pada lumen apendik yang diikuti dengan terjadinya peradangan akut. Dimana
sumbatan ini dapat terjadi oleh karena fekalit, hiperplasia limfoid, benda asing,
parasit, adanya striktur atau tumor pada dinding apendiks. Penyebab penyumbatan
yang paling sering pada penderita dewasa adalah fekalit, dimana fekalit yang
timbul dari bahan fekal dan garam inorgani dengan cairan lumen adalah yang
paling sering menimbulkan obstruksi dan didapatkan sekitar 11%- 52% dari
pasien yang menderita apendisitis akut, sedangkan pada anak lebih sering oleh
karena hiperplasia limfoid.
Peningkatan tekanan intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran
limfe, sehingga terjadi edema disertai hambatan aliran vena dan arteri apendik.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis, bahkan dapat terjadi
perforasi. Pada saat terjadi obstruksi akan terjadi proses sekresi mukus yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminer dan distensi lumen maka kondisi
ini akan menstimulasi serat saraf aferen viseral yang kemudian diteruskan menuju
korda spinalis Th8 – Th10, sehingga akan timbul penjalaran nyeri di daerah
epigastrium dan preumbilikal. Nyeri viseral ini bersifat ringan, sukar dilokalisasi
dan lamanya sekitar 4-6 jam disertai timbulnya anoreksia, mual dan muntah.
Peningkatan tekanan intraluminar akan menyebabkan peningkatan tekanan
perfusi kapiler, yang akan menimbulkan pelebaran vena, kerusakan arteri dan
iskemi jaringan. Dengan rusaknya barier dari epitel mukosa maka bakteri yang
sudah berkembang biak dalam lumen akan menginvasi dinding apendik sehingga
akan terjadi inflamasi transmural. Selanjutnya iskemia jaringan yang berlanjut
akan menimbulkan infark dan perforasi. Proses inflamasi akan meluas ke
peritoneum parietalis dan jaringan sekitarmya, termasuk ileum terminal, sekum
dan organ pelvis.
Perforasi dari apendiks dapat menyebabkan timbulnya abses
periapendisitis, yaitu terkumpulnya pus yang terinfeksi bakteri atau peritonitis
difus (infeksi dari dinding rongga abdomen dan pelvis). 3 Apendiks menjadi
terinflamasi, bisa terinfeksi dengan bakteri dan bisa dipenuhi dengan pus hingga
pecah, jika apendiks tidak diangkat tepat waktu. Pada apendisitis perforasi, terjadi
diskontinuitas pada lapisan muskularis apendiks yang terinflamasi, sehingga pus
di dalam apendiks keluar ke rongga perut. Tata laksana dari apendisitis perforasi
adalah mengeluarkan semua isi apendiks yang perforasi tersebut sehingga si
pasien tidak menderita peritonitis, lalu apendiks diangkat
Pada pasien-pasien tertentu akan mengalami penjalaran nyeri menuju perut
kanan bawah. Nyeri somatik ini bersifat terus-menerus dan lebih berat
dibandingkan dengan nyeri pada awal infeksi. Penjalaran nyeri ini tidak selalu
didapatkan dan titik nyeri maksimal mungkin tidak selalu di titik McBurney
tergantung dari lokasi apendiknya.
Pasien dengan apendisitis akut sering tidak mengalami febris atau dengan
febris ringan. Adanya perforasi harus dicurigai bila penderita mengalami febris
lebih dari 38,3°C. Jika terjadi perforasi maka terminal ileum, sekum, dan
omentum dan organ sekitar apendik akan membentuk dinding untuk membatasi
proses radang dan menutupi lubang perforasi dari apendik untuk tidak tejadi
penyebaran infeksi yang meluas yang disebut dengan ” wall off ” atau
appendicular mass ”. Peritonitis akan terjadi bila perforasi mengenai rongga
abdomen.
2.3.3 Manifestasi Klinik
a. Nyeri, pertama pada periumbilical kemudian menyebar ke kuadran kanan
bawah. Nyeri bersifat viseral, berasal dari kontraksi appendiceal atau
distensi dari lumen. Biasaanya disertai dengan adanya rasa ingin defekasi
atau flatus. Nyeri biasanya ringan berkisar selama 4-6 jam.Selama
inflamasi menyebar di permukaan parietal peritonel, nyeri menjadi
somatic, berlokasi di kuadran kanan bawah. Gejala ini ditemukan pada
80% kasus. Biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada pinggang,
serta mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan dan menghindari
nyeri yang semakin parah.
b. Anoreksia sering terjadi. Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus,
tetapi muntah biasanya self-limited
c. Abdominal tenderness, khususnya pada regio apendiks. Sebanyak 96%
terdapat pada kuadran kanan bawah akan tetapi ini merupakan gejala
nonspesifik. Nyeri pada kuadran kiri bawah ditemukan pada pasien dengan
situs inversus atau yang memiliki apendiks panjang. Gejala ini tidak
ditemukan apabila terdapat apendiks retrosekal atau apendiks pelvis,
dimana pada pemeriksaan fisiknya ditemukan tenderness pada panggul
atau rectal atau pelvis. Kekakuan dan tenderness dapat menjadi tanda
adanya perforasi dan peritonitis terlokasir atau difus.
d. Demam ringan, dimana temperatur tubuh berkisar antara 37,2 – 380C (99
– 1000F), jika suhu > 38,30C (1010F) menandakan adanya perforasi.
e. Peningkatan jumlah leukosit perifer. Leukositosis > 20,000 sel/ µL
menandakan adanya perforasi
2.3.4. Diagnosis
Diagnosis apendisitis akut seringkali ditegakkan didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti
hitung sel darah putih dan analisa urine. Pemeriksaan radiologi masih jarang
dilakukan dalam usaha menegakkan diagnosis. Untuk diagnosis pasti apendisitis
akut adalah dengan pemeriksaan histopatologi. Secara khas nyeri difus berawal
dari bagian tengah epigastrium atau daerah umbilikus, yang diikuti dengan nyeri
perut kanan bawah setelah 4-12 jam dan muntah-muntah sering didapatkan sekitar
60% dari penderita dengan apendisitis akut.
Beberapa jam akan terjadi penjalaran nyeri ke perut kanan bawah yang
disebabkan oleh karena terjadinya peradangan peritoneum parietalis. Jika
dibandingkan dengan nyeri saat awal, nyeri ini lebih berat, bersifat terus-menerus
dan terlokalisasi. Penjalaran nyeri dari daerah preumbilikal menuju ke perut kanan
bawah adalah merupakan gambaran yang paling umum dan khas pada pasien
dengan apendisitis akut. Penemuan gejala ini mempunyai sensitivitas dan
spesifitas hampir 80%. Demam biasanya ringan dengan suhu 37,5-38,5°C, febris
yang berat jarang terjadi kecuali jika sudah terjadi perforasi.
Lokasi dari nyeri sangat tergantung dari posisi appendiks. Umumnya nyeri
didapatkan pada titik McBurney di daerah perut kanan bawah. Dari penelitian,
nyeri ini didapatkan sekitar 96% dari pasien, tetapi penemuan ini tidaklah spesifik
Penemuan yang lebih spesifik adalah rebound tenderness, yaitu nyeri perut kanan
bawah yang terjadi saat tekanan di perut kanan bawah dilepaskan., nyeri ketok,
rigiditas dan guarding adalah timbulnya tahanan pada dinding perut saat dilakukan
palpasi.
Menurut Petroianu, (2012) selain pemeriksaan tersebut dapat juga lain
seperti :
1. Rovsing sign adalah nyeri perut kanan bawah yang terjadi saat
dilakukan palpasi di perut bawah kiri dan diduga kuat sudah terjadi iritasi
peritoneum.
2. Psoas sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan
hiperekstensi dari tungkai bawah kanan. Respon yang positif menunjukkan
adanya masa inflamasi yang mengenai otot psoas (retrocecal appendidtis).
3. Obturator sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat
dilakukan internal rotasi pada posisi tungkai bawah kanan fleksi. Respon
yang positif menandakan adanya massa inflamasi yang mengenai rongga
obturator (pelvic apendisitis)
2.3.5 Alvarado score

• Skor 7-10 (emergency surgery group): Semua penderita dengan skor ini
disiapkan untuk operasi apendektomi.
• Skor 5-6 (observation group): Semua penderita dengan skor ini dirawat
inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dengan evaluasi secara
berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik
yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan
dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk.
• Skor 1-4 (discharge home group): Penderita pada kelompok ini setelah
mendapat pengobatan secara simtomatis dapat dipulangkan dengan catatan
harus segera kembali bila gejala menetap atau memburuk.
2.3.6 Tatalaksana
Pengobatan definitif dari apendisitis akut adalah apendektomi, yang
merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah/
mengurangi angka morbiditas. Selain tindakan apendektomi yang biasa dilakukan,
dapat pula dilakukan apendektomi laparoskopi. Apendektomi harus dilengkapi
dengan pemberian antibiotik IV. Pilih antibiotik yang baik untuk bakteri gram negatif
anaerob dan enterobakter, yang banyak digunakan adalah sefalosporin generasi ketiga.
Pemberian antibiotik terutama pada apendisitis perforasi dan diteruskan hingga suhu
tubuh dan hitung jenisnya sudah kembali normal. Pemberian antibiotik ini dapat
menurunkan angka kematian.

2.4 Divertikel Meckel


2.4.1 Pendahuluan
Divertikel Meckel pertama kali dideskripsikan oleh Johan Meckel tahun
1809, merupakan kelainan kongenital saluran pencernaan paling sering ditemukan
kira-kira 2% dari seluruh populasi. Divertikulum Meckel merupakan suatu keadaan
malformasi dari traktus gastrointestinal dengan adanya persistensi dari duktus vitello-
intestinal/ omphalomesenterik yang gagal mengalami penutupan dan absorpsi
2.4.2 Patofisiologi
Duktus omphalomesenterik atau vitelline merupakan duktus yang
menghubungkan menghubungkan yolk sac dengan midgut yang sedang
berkembang. Pada minggu keenam perkembangan embrio, midgut memanjang
dan herniasi menuju korda umbilikus. Di dalam korda umbilikus, midgut
kemudian berotasi 90o berlawanan arah jarum jam di sekitar axis dari arteri
mesenterik superior. Pada waktu yang bersamaan midgut juga memanjang untuk
membentuk jejunum dan ileum dan lumen dari duktus omphalomesenterik akan
menutup. Pada minggu ke-5 sampai ke-8 perkembangan embrio, midgut kembali
menuju kavum abdomen dan duktus omphalomesenterik akan menjadi pita
fibrosis, yang mana akan mengalami disintegrasi dan absorpsi
Jika duktus omphalomesenterik mengalami kegagalan atrofi total dan
disintegrasi, maka duktus ini akan terus tumbuh. Karena kegagalan ini akan
menyebabkan berbagai kelainan kongenital, yaitu:
 Fistula umbilikoileal; dikarenakan patensi komplit dari duktus
omphalomesenterik dengan lumen yang masih utuh terbuka sepanjang
duktus. Secara klinis akan ditemukan feses yang keluar dari umbilikus.
Intususepsi juga bisa ditemukan pada keadaan ini, dengan temuan klinis
berupa prolapse ileum pada umbilikus.
 Sinus duktus omphalomesenterik; dikarenakan oleh kegagalan dari
penutupan bagian distal-end (umbilikus), yang mana ukurannya dapat
bervariasi. Ileum masih terhubung oleh pita fibrosis. Secara klinis pada
bayi akan ditemukan duh mukus yang keluar dari umbilikus.
 Kista duktus omphalomesenterik; dikarenakan oleh bagian tengah dari
duktus masih paten sedangkan sekitarnya sudah mengalami obliterasi. Di
dalam kista akan ditemukan akumulasi mukus, sebab di dalamnya terdapat
lapisan mukosa intestinal.
 Pita fibrosis dari ileum ke umbilikus; dikarenakan oleh duktus
omphalomesenterik yang atrofi tidak secara sempurna mengalami
obliterasi dan absorpsi. Secara klinis dapat menyebabkan obstruksi
intestinal dan volvulus.
 Divertikulum Meckel (98%); dikarenakan oleh obliterasi fibrous dari
umbilikal-end dan patensi komplit ileal-end dari duktus
omphalomesenterik. Divertikulum Meckel terletak pada sisi
antimesenterik dari ileum dan bisa ditemukan pita fibrous, jika bagian
fibrosisnya tidak terobliterasi secara penuh. Divertikulum ini umumnya
ditemukan 40-100 cm dari klep ileocecal dengan panjang dapat mencapai
5 cm dan diameter 2 cm. Suplai darah dan venanya berasal dari pembuluh
darah omphalomesenterik yang masih utuh (arterinya berasal dari cabang
ileal dari arteri mesenteric superior) dan terletak di dalam lipatan terpisah
dari mesenterik usus halus atau sepanjang permukaan divertikulum.
Gambar 01. Jenis-jenis kelainan tubulus omphalomesenterik.

a. Fistula umbilikoileal,

b.Sinus duktus omphalomesenterik,

c.Kista duktus omphalomesenterik,

d.Pita fibrosis,

e.Divertikulum Meckel dengan paten pita fibrosis,

f. Divertikulum Meckel dengan obliterasi penuh.


2.4.3 Gambaran Klinis
Kebanyakan dari pasien yang menderita Divertikulum Meckel tidak
menunjukkan gejala, dan kelainan ini lebih sering ditemukan secara isidental pada
pemeriksaan barium maupun laparotomi. Gejala yang timbul pada kelainan ini
lebih cenderung akibat dari komplikasi yang timbul.
 Obstruksi usus (35%)
Gejala ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa dengan prevalensi 26-
53% dan pada pediatrik prevalensinya 25-40%. Ada beberapa mekanisme yang
menyebabkan terjadinya obstruksi usus yaitu; intususepsi, volvulus, hernia internal
melalui duktus vitelline yang masih ada, pita omphalomesenterik (tersering),
obstruksi luminal dari divertikulum yang terinversi, divertikulitis, benda asing yang
terganjal di dalam divertikulum, inklusi dari divertikulum ke dalam hernia,
obstruksi neoplastik, dan prolapse bentuk T dari kedua aferen dan eferen loop dari
usus melalui fistula duktus vitellin pada umbilikus pada neonatus.
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien adalah vomitus bilious, distensi
abdomen, nyeri periumbilikal, dan konstipasi. 3 Dari pemeriksaan fisik akan
ditemukan adanya nyeri abdomen, vomitus bilious, tegang abdomen, distensi, suara
peristaltik yang hiperaktif, masa abdomen yang terpalpasi, jika berlanjut bisa terjadi
iskemia atau infark dan terjadilan tanda peritoneal akut dan perdarahan
gastrointestinal bawah.
 Pendarahan (32%)
Gejala ini lebih sering dikeluhkan pada pasien pediatrik dibandingkan orang
dewasa, yaitu berupa hematokezia. Perdarahan ini disebabkan oleh adanya ulkus
peptikum. Mukosa gaster heterotrofik di dalam divertikulum akan mensekresi asam
dan akan merusak jaringan sekitar, sehingga timbulah erosi jaringan dan pembuluh
darah.

Pasien umumnya mengeluhkan adanya perdarahan rektum yang tiba-tiba dan


spontan tanpa peringatan dan tanpa nyeri, namun dapat juga disertai nyeri yang
ringan sampai berat. Perdarahannya berwarna merah cerah (brick red), pelan, dan
menggumpal, namun dapat juga banyak yang diakibatkan oleh kontraksi fisiologis
yang merupakan respon dari hipovolemia.

Terdapat juga gambaran currant jelly stools yaitu kotoran yang terlapisi
banyak mukus yag menandakan adanya iskemia dan intususepsi. Pada pemeriksaan
fisik perlu dievaluasi adanya tanda-tanda syok hemorhagik seperti takikardi. Jika
kotoran yang teramati adalah merah cerah atau currant jelly berarati perdarahannya
cepat, dan jika hitam maka perdarahannya pelan.
 Divertikulitis (22%)
Divertikulitis merupakan keadaan inflamasi pada Divertikulum Meckel yang
diakibatkan oleh obstruksi penyempitan pada mulut divertikulum oleh berbagai
obstruktan seperti enterolit, fecolit, parasit, korpus alienum, neoplasma, atau
inflamasi dan fibrosis dari ulkus peptikum. Divertikulits lebih sering ditemukan
pada pasien dewasa.
Gejala yang dapat dikeluhkan oleh pasien adalah seperti nyeri abdomen pada
daerah periumbilikal dan radiasi menuju kuadran kanan bawah, demam, dan
vomitus. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya nyeri tegang abdomen
baik fokal maupun difus, dan kebanyakan pada regio periumbilikal. Pada anak kecil
dapat ditemukan adanya guarding abdomen dan nyeri tegang rebound. Distensi
abdomen dan peristaltik hipoaktif dapat ditemukan pada keadaan lanjut.
 Kelainan Umbilikus (10%)
Kelainan ini meliputi fistula, sinus, kista, dan pita fibrosis. Gejala yang dapat
dikeluhkan oleh pasien dapat berupa discharge kronis dari sinus umbilikus, infeksi
atau ekskoriasi kulit periumbilikal. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya riwayat
infeksi yang berulang, penyembuhan sinus, atau pembentukan abses dinding
abdomen. Jika terdapat fistula, mukosa usus dapat terlihat diatas kulit.
 Hernia Littre
Hernia Littre merupakan sebutan untuk Divertikulum Meckel yang mengalami
herniasi. Regio yang sering adalah di daerah inguinal yaitu 50%, femoral 20%,
umbilical 20%, dan 10% di daerah lainnya. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah
perlahan dibandingkan hernia lainnya, dan dapat berupa distensi abdominal, nyeri,
demam, dan vomitus.
 Neoplasma
Divertikulum Meckel juga dapat berkembang menjadi tumor jinak seperti
leiomyoma, angioma, neuroma, dan lipoma, atau dapat berkembang menjadi
neoplasma malignan seperti sarcoma, tumor karsinoma, adenokarsinoma dan
limfoma Burkitt.
2.4.4 Diagnosis
 Tes Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit gula darah, BUN, serum kreatinin,


dan koagulasi tidak dapat membantu untuk menegakkan diagnosis namun penting
untuk menangani perdarahan dari sistem pencernaan. Hemoglobin dan hematokrit
akan menurun pada anemia atau pendarahan dan 58% dari anak-anak dengan
Divertikulum Meckel memiliki Hb di bawah 8.8 g/dL.
Anemia yang dapat ditimbulkan adalah anemia defisiensi besi namun dapat
juga anemia megaloblastik akibat defisiensi folat dan vitamin B12. Jika terdapat
albumin dan ferritin yang rendah hal ini bisa mengindikasikan adanya penyakit
inflamasi usus (inflammatory bowel disease).

 Imaging

Jika terdapat gejala perdarahan dari saluran cerna dengan klinis mengarah ke
Divertikulum Meckel, evaluasi diagnosis harus fokus dengan skanning Meckel, yaitu
skintiskan technetium-99m pertechnetate. Isotope diinjeksi secara intravena,
kemudian mukosa gaster akan mensekresikan isotope ini, dan jika divertikulum
terdapat jaringan gaster ektopik maka akan nampak gambaran hot spot.
Pada anak- anak sensitivitasnya adalah 80-90%, spesifisitas 95% dan akurasi
90%. Namun pada orang dewasa tanpa pendarahan, sensitivitasnya rendah yaitu
62.5%, spesifisitas 9% dan akurasi 46%

2.4.5 Tatalaksana
 Emergensi

Pemasangan jalur intravena dengan cairan kristaloid dan pasien


dipuasakan secara oral, kemudian periksa laboratorium. Jika terdapat
pendarahan yang signifikan segera transfusi dengan packed red cells (PRC).
Pasien dengan obstruksi usus perlu dilakukan dekompresi nasogastrik dan
lakukan pemeriksaan rontgen foto. Jika terdapat perdarahan pada anak-anak
dengan kotoran yang dark tarry segera lakukan gastrik lavage untuk
mengeksklusi perdarahan dari sistem cerna atas. Dan jika negatif lanjutkan
dengan endoskopi atas dan sigmoidoskopi fleksibel.

 Pembedahan

Ada empat teknik yang mungkin dapat digunakan pada terapi


pembedahan Divertikulum Meckel, yaitu;

1) Divertikulektomi dengan basis penutupan- penjahitan;

2) Wedge resection dari dinding usus berisi divertikulum dengan penutupan-


penjahitan;

3) Segmental reseksi dari usus, termasuk divertikulum dan end-to-end


anastomosis;

4) Pembelahan pita fibrosis dengan atau tanpa divertikulektomi.

Pada keadaan perdarahan wedge resection atau reseksi segmental


dipilih untuk menjamin divertikulum yang tereksisi terdapat mukosa gaster
heterotrofik dan mukosa ileum yang ulserasi. Pada obstruksi usus, eksisi lebar
dibutuhkan untuk memastikan viabilitas dari usus.

Pada kasus anak-anak dengan divertikulum luas yang beresiko terjadi


stenosis ileum jika divertikulektomi atau wedge resection dilakukan, maka
reseksi segmental menjadi pilihan. Pada keadaan Divertikulum Meckel dengan
sinus umbilikus dan fistula, perlu dilakukan eksisi umbilikus.

2.4.6 Prognosis

Ketika komplikasi timbul tindakan pembedahan estimasi mortalitas dan


morbiditas operatif adalah 12%. Resiko kumulatif jangka panjang dari komplikasi
postoperatif adalah 7%. Jika Divertikulum Meckel diangkat pada saat temuan
insidental, resiko mortalitas dan morbiditas komplikasi jangka panjang adalah 1-2%.
Kejadian malignant pada Divertikulum Meckel sebanyak 5%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake R L, Vogl A W, Mitchell A W M et al. Dasar-Dasar Anatomi Gray. 1st ed.


Singapore: Elsevier; 2014.
2. Thomas, G., Lahunduitan, I. and Tangkilisan, A. (2016). Angka kejadian apendisitis di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-
Clinic, 4(1).
3. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al. Schwartz's
principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2015.
4. Buja L, Krueger G, Netter F. Netter's illustrated human pathology. London: Elsevier Health
Sciences; 2014.
5. Hardin M. Acute Appendicitis: Review and Update. Am Fam Physician. 1999;60(7):2027-
2034.
6. de Castro S, Ünlü Ç, Steller E, van Wagensveld B, Vrouenraets B. Evaluation of the
Appendicitis Inflammatory Response Score for Patients with Acute Appendicitis. World
Journal of Surgery. 2012;36(7):1540-1545.
7. Saucier A, Huang E, Emeremni C, Pershad J. Prospective Evaluation of a Clinical Pathway
for Suspected Appendicitis. Pediatrics. 2013;133(1):e88-e95.
8. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston textbook of surgery. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2017.
9. Hlibczuk V et al. Diagnostic accuracy of noncontrast computed tomography for
appendicitis in adults: A systematic review. Ann Emerg Med 2010 Jan; 55:51.
10. Solomkin J, Mazuski J, Bradley J, Rodvold K, Goldstein E, Baron E et al. Diagnosis and
Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children Guidelines
by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of America. Clinical
Infectious Diseases. 2010;50(2):133-164.
11. Fleming FJ, Kim MJ, Messing S, et al: Balancing the risk of postoperative surgical
infections: A multivariate analysis of factors associated with laparoscopic appendectomy
from the NSQIP database. Ann Surg 252:895–900, 2010.
12. McGory ML, Zingmond DS, Tillou A, et al: Negative appendectomy in pregnant women is
associated with a substantial risk of fetal loss. J Am Coll Surg 205:534– 540, 2007.
13. Parks NA, Schroeppel TJ: Update on imaging for acute appendicitis. Surg Clin North Am
91:141–154, 2011.
14. Prystowsky JB, Pugh CM, Nagle AP: Current problems in surgery. Appendicitis. Curr
Probl Surg 42:688–742, 2005.
15. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J et al. Harrison's principles
of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.
16. Skipworth RJE, Fearon KCH. Acute abdomen: peritonitis. Emergency Surgery.
2007;26(3):98 - 101.
17. Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE. APACHE II: a severity of disease
classification system. Crit Care Med. 1985 Oct;13(10):818-29.
18. Marik P, Taeb A. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. Journal of Thoracic Disease.
2017;9(4):943-945.
19. Meljnikov I, Radojcić B, Grebeldinger S, Radojcić N. [History of surgical treatment of
appendicitis]. Med Pregl [Internet]. [cited 2018 May 19];62(9–10):489–92. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20391748
20. Sadler T, Langman J. Langman's medical embriology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;
21. Hodge BD, Bhimji SS. Anatomy, Abdomen, Appendix [Internet]. StatPearls. StatPearls
Publishing; 2018 [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29083761
22. Schropp KP, Garey CL. Meckel’s In: Holcomb GW, Murphy J, editor. Ashcraft’s Pediatric
Surgery. 5th ed. Saunders; 2010. p. 526-31.
23. Beasley SW. Chapter 51 : Vitellointestinal (Omphalomesenteric) Duct Anomalies. In:
Coran AG, editor. Operative Pediatric Surgery. 7th ed. CRC Press; 2013. p. 445–54.
24. Skandalakis L, Gray S, Ricketts R. Small Intestine. In: Surgical Anatomy and Technique A
Pocket Manual. 3rd ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 2009. p. 393.
25. Bucher BT, Keller MS. Meckels’ Diverticulum. N Eng J Med. 2010;364(21):2045
Rattan NK, Singh J. Meckel’s diverticulum in children: Our 12-year experience. African

Journal of Paediatris Surgery. 2016.13(4):170-74

Anda mungkin juga menyukai