Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga


perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama.Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak
bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut
maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas
bedah.1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan
diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminankontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri
dari selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa
jaringan penghubung areolar yang mendasarinya.Peritoneum dibagi menjadi
peritoneum parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan
peritoneum viseral yang melapisi beberapa organ di dalam kavum.Suatu
ruang sempit yang mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara
peritoneum parietal dan viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa
penyakit, kavum peritoneum dapat membesar akibat akumulasi beberapa
liter cairan, dan kondisi ini disebut asites.5
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen
dan dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja.Organorgan tersebut tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ
seperti ginjal, kolon asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan
pankreas disebut sebagai organ retroperitoneal.5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan
paru, peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera.
Lipatan-lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga
mengikat

dinding

kavum

abdomen.

Lipatan-lipatan

tersebut

juga

mengandung pembuluh darah, saluran limfe, dan saraf-saraf yang


menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada lima lipatan peritoneum utama,
yakni

omentum

besar,

ligamentum

falsiformis,

omentum

kecil,

mesenterium, dan mesokolon.5


Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11
dan nervus subkostalis.Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal
diafragma diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral
mendapat inervasi sesuai organ yang ditutupinya.5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra
abdomen agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan

peritoneum sekitar 100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera


peritoneum, daerah defek mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium
sekitarnya dan sembuh dalam waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan
membran basalis terpapar cairan peritoneum maka akan memacu timbulnya
jaringan fibrosis sehingga timbul adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3
minggu setelah cedera.5

2.2. Peritonitis
2.2.1.

Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum,
fibrin, sel-sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri
abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan
demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
peritoneum.1,3,5
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi
bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi
kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi
yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.5

2.2.2.

Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat
juga disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis,
klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang
jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau
sekunder,

bergantung

pada

apakah

integritas

saluran

gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4


Peritonitis

bakterial

primer

(Spontaneous

Bacterial

Peritonitis/SBP) merupakan infeksi bakteri yang luas pada


peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal

ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90%
kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba.Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya.Faktor
risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intra

abdomen,

imunosupresi,

dan

splenektomi.

Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik,


gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis
dengan asites.3,4,5
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum
akut

yang

terjadi

akibat

hilangnya

integritas

saluran

gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan


kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat
cara: (1) invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada
luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari
organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi
ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau
iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah
dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana
terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis
Streptococcus -hemolyticus primer dan pasien post splenektomi,
SBP pada pasien dengan gagal hati dan asites); dan (4) melalui
saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari
lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari
seluruh kasus peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi
ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan berlanjut
menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat
transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari
peritonitis steril dan dapat terjadi berbagai sumber penyebab:

iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat


kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah
peritonitis tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat
obat dan benda asing.4
2.2.3.

Patofisiologi
Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase
pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum
ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergistik antara aerob
dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh untuk
melokalisasi infeksi.4
Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminankontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik.Hal ini
terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi bergerak ke
arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan gradien tekanan
yang dibuat oleh diafragma.Cairan tersebut melewati stomata pada
peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan
limfe akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus
substernal. Septikemia yang terbentuk umumnya melibatkan
bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan berhubungan dengan
morbiditas yang tinggi.4
Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman
aerob dan anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit
dan komplemen pejamu. Aktivasi komplemen merupakan kejadian
awal pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan
didapat.Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur klasik,
dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu.Surfaktan
fosfolipid yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja
secara sinergis dengan komplemen untuk meningkatkan opsonisasi
dan fagositosis.Sel mesotel peritoneum juga merupakan sekretor
poten mediator pro-inflamasi, termasuk interleukin-6, interleukin-8,

monocyte chemoattractant protein-1, macrophage inflammatory


protein-1, dan tumor necrosis factor-. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur
pensinyalan sel untuk memanggil sel-sel fagosit ke kavum
peritoneum dan upregulation sel mast dan fibroblas pada
submesotelium.4
Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk
melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang
mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan
mekanisme efektor fagositik lokal.Eksudat fibrin tersebut juga
mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan pembentukan
dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas
pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum
menentukan

apakah

fibrin

yang

terbentuk

setelah

cedera

peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara


khusus,

tumor

necrosis

factor-

menstimulasi

produksi

plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum,


yang menghambat degradasi fibrin.4
2.2.4.

Manifestasi Klinis
Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan
metabolik. Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya
akan meningkat sebagai hasil dari refleks volumetrik, intestinal,
diafragmatik, dan nyeri. Asidosis metabolik dan peningkatan
sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan katekolamin
yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi.
Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat
tubuh sedang memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat.
Ileus paralitik dapat terjadi, yang kemudian akan menyebabkan
sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya elektrolit dan eksudat kaya
protein. Distensi abdomen yang hebat akan menyebabkan elevasi
diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan pneumonia.

Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika


peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4
2.2.5.

Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis
sebaiknya termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa
sebelum peritonitis, perjalanan anamnesis, penggunaan agen
immunosuppresif, dan adanya penyakit (contoh: inflammatory
bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang mungkin
menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai
suhu tubuh lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat
bisa menjadi hipotermi.Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari
pelepasan mediator inflamasi, dan hipovolemia intravaskular akibat
muntah dan demam.Dengan dehidrasi progresif, pasien bisa
menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria.
Dengan peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok
hipovolemik dan gagal organ multipel pun dapat terjadi.3,4
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang
dicurigai peritonitis, posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah
lutut pasien bisa membuat dinding abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua
menunjukkan

tenderness

pada

palpasi,

juga

pasien

menunjukkan

kekakuan dinding abdomen.Peningkatan tonus muskular dinding


abdomen mungkin volunter, respons involunter sebab iritasi
peritoneum.Abdomen sering mengembung dengan suara usus
hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice,
angiomata) bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan
nyeri abdomen, terutama dengan inflamasi organ pelvik, tetapi
jarang mengindikasikan diagnosis spesifik. Massa inflamasi kenyal
di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan fluktuasi dan
penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,6

Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan


vaginal

bisa

dengan

penyakit

inflamasi

pelvik

(contoh:

endometriosis, salpingo-ooforitis, abses tubo-ovarian), tetapi pada


pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis berat.3
Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya
gejala yang mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi
diafragma (contoh: empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis,
sistitis, retensi urin akut), dan dinding abdomen (contoh: infeksi,
hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti dari
peritonitis.3
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen
dan lemah. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada
pasien peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau
tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans
muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan pekak hati
menghilang.3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada
pasien peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit,
dan asidosis metabolik.6
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah
neutrofil cairan asites 500 sel/L, dengan sensitivitas 86% dan
spesifisitas 98%. Cairan peritoneum seharusnya dievaluasi untuk
glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase (LDH), jumlah sel,
pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan
peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH
rendah dan level glukosa munurun dengan level LDH dan protein
meningkat. Biasanya, pH cairan asites < 7,34 adalah diagnosis SBP.
SBP ditegakkan ketika jumlah PMN 250 sel/L dengan hasil
kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil kultur
cairan asites negatif tetapi jumlah PMN 250 sel/L.3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi
(anterior, posterior, lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena
ulkus peptikum, pecahnya usus buntu (apendiks) atau karena sebab
lain, tanda utama radiologi: (1) posisi supinasi, didapatkan

preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan


kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri,
didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar
shadow); dan (3) posisi Left Lateral Decubitus (LLD), didapatkan
free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis
dengan dinding abdomen.Jadi gambaran radiologis pada peritonitis
yaitu adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat
dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma
atau intra peritoneal.6,8
2.2.6.

Diagnosis Banding
Pneumonia basal,

infark

miokardium,

gastroenteritis,

hepatitis, dan infeksi saluran kemih mungkin sering salah


didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain nyeri abdomen yang
hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik bilier.4
2.2.7.

Penatalaksanaan
A. Terapi Konservatif
Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi
telah terlokalisasi (misalnya appendix mass); (2) penyebab
peritonitis

tidak

membutuhkan

tindakan

pembedahan

(misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk


anestesi umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien
lanjut usia, pasien sekarat dengan komorbiditas yang hebat);
dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung manajemen
bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa
adalah hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum
luas. Terapi suportif sebaiknya mencakup early enteral
feeding(daripada total parenteral nutrition) untuk pasien
dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4
B. Terapi Segera (Immediate)
Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang
tetap mengikuti kaidah primary survey (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, dan Exposure).6,7,8
9

Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus


dijaga.Penilaian adanya obstruksi jalan napas harus dilakukan
segera. Selain melakukan pembebasan jalan napas, harus juga
dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.6,7,8
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan
leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan
kepala.Lalu dinilai laju dan dalamnya pernapasan.Inspeksi dan
palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan adanya
deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan
tanda cedera lainnya.Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
merupakan hal vital untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat
dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan Analisis Gas
Darah (AGDA).4,6,7,8
Dalam hal circulation,

harus

dilakukan

kontrol

perdarahan.Penilaian kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi


harus dilakukan.Warna kulit dan tekanan darah juga harus
dinilai.2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,
terutama pada pasien dengan ancaman syok.
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis
singkat.Tingkat kesadaran ditentukan dengan menggunakan
skor Glasgow Comma Scale (GCS). Pupil dinilai besarnya dan
refleks cahayanya.4,6,7,8
Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan
dilakukan pencegahan hipotermia.6
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary
survey sudah dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat
dilakukan secondary survey. Pada secondary survey, dilakukan
penilaian terhadap seluruh sistem organ secara lengkap dan
komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem
peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem
saluran kemih (bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5),
dan sistem muskuloskeletal (bone/B6).6
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan
dehidrasi bahkan syok.Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu

10

keadaan keseimbangan cairan yang negatif atau terganggu


yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit. Dehidrasi
terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai
dengan elektrolit.12Resusitasi cairan merupakan hal penting
dalam menangani keadaan tersebut.Resusitasi cairan diawali
dengan pemberian kristaloid i.v. hangat.Volume cairan yang
diberikan

disesuaikan

dengan

derajat

dehidrasi

dan

syok.Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.


Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine
output tiap jam. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan
darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah dan
cross match, dan AGDA.4,6,7,8
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat
badan turun, kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi
kental.Turgor kulit dan tonus berkurang, apatis, gelisah, dan
kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul gejala asidosis
dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat
dan lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan
pernapasan Kussmaul.9,10
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik,
dehidrasi dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan
berat.2,9,10,11
Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda

Ringan

Sedang

Berat

Klinis
Hemodinamik

Takikardi

Takikardi,

Takikardi,

hipotensi

sianosis, nadi sulit

Jaringan

Mukosa
kering

ortostatik,

nadi diraba,

lemah,

vena dingin

kolaps
lidah Lidah
keriput

11

lunak, Atonia,

akral

mata

cekung/corong

Turgor Kulit
Urin
Kesadaran
Defisit

<
Pekat

<<
Pekat,

<<<
jumlah Oliguria

Normal
3-5% BB

menurun
Apatis, gelisah
6-8% BB

Koma
10% BB

Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat


dibagi menjadi: (1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2)
dehidrasi isonatremik atau isotonik, dan (3) dehidrasi
hipernatremik atau hipertonik.9,10,11
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium
yang relatif lebih besar daripada air, dengan kadar natrium
kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat kadar natrium serum
120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual,
muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di
bawah 115 mEq/L, akan terjadi kejang, koma, bahkan
kerusakan neurologis permanen. Kehilangan natrium dapat
dihitung dengan rumus :
Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total
(dalam L) (0,6 x berat badan dalam kg).9,10,11
Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya
cairan sama dengan konsentrasi natrium dalam darah.
Kehilangan natrium dan air adalah sama jumlahnya/besarnya
dalam

kompartemen

cairan

ekstravaskular

maupun

intravaskular.Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130150 mEq/L. Tidak ada perubahan konsentrasi elektrolit darah
pada dehidrasi isonatremik.9,10,11
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan
yang hilang mengandung lebih sedikit natrium daripada darah
(kehilangan cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150
mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit daripada air,
karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah
ke

intravaskular

meminimalisir

penurunan

volume

intravaskular. Dehidrasi hipertonik dapat terjadi karena


12

pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak daripada air. Cairan


rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula
garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang
cukup kuat terhadap kejadian hipernatremia. Terapi cairan
untuk

dehidrasi

hipernatremik

hiperosmolalitas

berat

dapat

dapat

sukar

mengakibatkan

karena

kerusakan

serebrum dengan perdarahan dan trombosis serebral luas, serta


efusi subdural. Jejas serebri ini dapat mengakibatkan defisit
neurologis menetap.9,10,11
Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn
cairan tubuh yang hilang patologis kembali menjadi normal.
Algoritme penanganan pasien dengan dehidrasi meliputi
langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur intravena
ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai
kondisi umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor
kulit,

urin,

dan

diklasifikasikan

kesadaran,

berdasarkan

untuk
derajat

kemudian

pasien

dehidrasinya;

(3)

Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat


dehidrasi dan berat badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan
berdasarkan derajat dehidrasinya dimana pasien dengan
dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi
tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 3060 menit. Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat
yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 8 jam pertama dan 16 jam
berikutnya.Pada 8 jam pertama, diberikan setengah dari
kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi
cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan
cairan rumatan untuk 8 jam.Untuk 16 jam berikutnya,
diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung
sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat,
ditambah dengan cairan rumatan untuk 16 jam.Terapi cairan
pada dehidrasi derajat ringan atau sedang langsung dimulai

13

dengan

tahap

lambat

seperti

yang

telah

disebutkan

sebelumnya.
Jenis-jenis cairan yang dapat digunakan dalam resusitasi :
1

Cairan Kristaloid
Cairan

ini

mempunyai

komposisi

mirip

cairan

ekstraseluler (CES = CEF). Indikasi penggunaan antara


lain untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel pada
pasien syok hipovolemik, kasus kasus perdarahan
memerlukan cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah
cukup (3-4 kali jumlah darah yang hilang ) ternyata sama
efektifnya

seperti

pemberian

cairan

koloid

untuk

mengatasi defisit volume intravaskuler.Waktu paruh cairan


kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, mudah
di dapat, tidak perlu dilakukan cross match, tidak
menimbulkan

alergi,

menurunkan

viskositas

darah,

penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Efek


samping pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema perifer dan edema
paru.Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan
juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang
paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau
agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai
cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi
bikarbonat.
2

Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut plasma substitute atau plasma expander. Di
dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai

14

berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang


menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan
secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan

protein

yang

banyak

(misal

luka

bakar).Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan


dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan
dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan
koloid:
a

Koloid alami
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia
( 5 dan

2,5 % ). Dibuat dengan cara memanaskan

plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk


membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi
protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga
mengandung

alfa

globulin

dan

beta

globulin.Prekallikrein activators (Hagemans factor


fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein
plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu
pemberian infuse dengan fraksi protein plasma
seringkali

menimbulkan

hipotensi

dan

kolaps

kardiovaskuler.
b

Koloid sintesis yaitu:


A Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat
molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam
media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan

15

volume expander yang lebih baik dibandingkan


dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu
memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro
karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas)
darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti
trombotik

yang

adhesiveness,

dapat

menekan

mengurangi
aktivitas

faktor

platelet
VIII,

meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran


darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari
dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat
dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1
(Promit) terlebih dahulu.1
B Hydroxylethyl Starch (HES)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul
10.000 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas
310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal
akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid
ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan
dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau
jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl
starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama 12
jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah
dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch
dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada
penderita gawat.

16

C Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte
dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari
hidrolisa kolagen binatang.Ada 3 macam gelatin,
yaitu:
a

Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)

Urea linked gelatin

Oxypoly gelatin

Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan


pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan
urea linked gelatin.Keuntungan gelatin tidak terlalu
mahal, dapat disimpan 2 3 tahun pada suhu
ruangan, dampak pada system koagulasi tidak terlalu
menonjol, aman bagi fungsi ginjal.Kerugian gelatin
cepat

diekskresi

melalui

urin,

meningkatkan

viskositas darah dan memudahkan agregasi eritrosit,


terjadi reaksi anafilaksis.
Tabel. Kandungan cairan

17

Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien


dengan dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat,
Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%. Kristaloid juga dipilih untuk
memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan penilaian dari
respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan.Apabila
pasien berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan
rumatan. Apabila pasien tidak berespon terhadap terapi cairan
yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi
ini dapat pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang
adekuat, sehingga perlu dilakukan penilaian ulang terhadap
derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.9,10,11
Kebutuhan normal untuk rumatan pada dewasa adalah
25-35 ml/kgBB/hari.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan
elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan
fokus septik atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan

nanah

keluar,

dan

tindakan-tindakan

menghilangkan nyeri. Antibiotik yang diberikan harus


spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob dan anaerob,
dan diberikan secara intravena.Sefalosporin generasi ketiga
dan metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang
sering diberikan.Untuk pasien yang menderita peritonitis yang
didapat di rumah sakit (misalnya kebocoran anastomosis) atau
yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis kedua dengan
meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam
direkomendasikan.Terapi

antijamur

juga

sebaiknya

dipertimbangkan untuk menjangkau spesies Candida yang


mungkin menginfeksi.Penggunaan antibiotik lebih awal dan
sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada

18

pasien dengan syok septik yang berhubungan dengan


peritonitis. Selain untuk dekompresi saluran cerna, penggunaan
pipa nasogastrik juga berfungsi untuk mengurangi risiko
pneumonia aspirasi.1,4
Tabel. Komposisi sekresi tubuh.

2.2.8.

Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses
peritonitis sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan
peritonitis akan mempunyai prognosis yang makin buruk.
Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga, tergantung
lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %;
(2) 24 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam:
prognosisnya 20 %.1

19

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Usia

: 35 th

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Dusun II Air Hitam Sum-Sel

Pekerjaan

: Wiraswasta

No. Rekam Medik

: 11 92 99

Berat Badan

: 73 kg

Tinggi Badan

: 171 cm

Tanggal dilakukan Anesthesia : 3 Desember 2014


Lama anesthesia

: 1 jam 20 menit (11.50-13.10 WIB)

20

Diagnosa pra bedah

: Hernia inguinalis sinistra inkarserata

Jenis pembedahan

: Hernioplasti

Jenis anesthesia

: General Anesthesia

Anesthesia dengan

: Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan


Fentanyl, Maintenance dengan Sevofluran+
O2 + N2O

3.2

Pre-operasi
Anamnesa Pre-operasi
Pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapangan perut sejak 1 hari SMRS.
Nyeri buah zakar (+).mual dan muntah (+), mencret (+). Pasien mengaku
awalnya terdapat benjolan pada lipat paha kiri sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat Operasi sebelumnya (-), Riwayat DM (-), Riwayat Hipertensi (-),
Riwayat penyakit jantung (-), Riwayat Asma (-). Penggunaan obat-obatan
disangkal. Makan dan minum terakhir jam yang lalu. Riwayat merokok (+).

Pemeriksaan Fisik Pre-op


B1

Airway normal, napas spontan simetris, RR

22x/mnt,Rh (-), Wh(-), Struma (-), RR: 22x/menit, skor MOANS 0


(Penyulit mask seal (), obesity (-), age 35, gigi ada, leher bebas
bergerak), skor LEMON (Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid 3
cm, lokasi laring 2 cm, Mallampati score I, Obesitas (-), Leher
bebas bergerak ).
B2

Akral hangat, kering, merah, CRT<2 , nadi 101

x/mnt kuat angkat, TD 110/80, S1S2 tunggal regular, murmur(-),


T.ax: 36,2o C
B3

GCS 456, diameter pupil 3mm/3mm, Reflek Kornea

+/+, Reflek Cahaya +/+


B4

BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 300 ml dalam

4 jam, kuning agak pekat.

21

B5

datar, lemas, Bising Usus (+) menurun, nyeri tekan

seluruh lapangan perut (+)


B6

Mobilitas (+), CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-),

sianosis (-), edema (-)


Pemeriksaan Laboratorium (3 Desember 2014)
Darah Rutin
o Hb

:17,2 gr/dl

(N : 13,4 - 17,7)

o Leukosit

: 18.700 / l

(N : 5.000-10.000)

o Trombosit

: 167.000 /l

(N : 150.000-400.000)

o Hematokrit

: 48 %

(N : 40 - 48)

o Diffcount

: 0/1/1/90/6/2

(N : 0-1/ 1-3/ 2-6/ 5070/ 20-40/ 2-8)

Golongan darah: A
Rhesus: +
Faal Hemostasis
o Waktu perdarahan: 3

(N : 1-6 menit)

o Waktu pembekuan: 10

(N : 10-15 menit)

Kesimpulan : Dalam Batas Normal


3.3 Laporan Anestesi Preoperatif
Assessment: ASA 2, emergensi

Diagnosa pra bedah

: Suspect peritonitis e.c. Hernia inguinalis

sinistra inkarserata

Keadaan pra bedah (3 Desember 2014):


TB: 171 cm, BB 73 kg
TD: 110/80 mmHg, nadi 101 x/menit, RR 22x/menit, suhu

36,2oC
Hb: 17,2 gr/dl
Urine 300 cc (dibuang)
Pasien puasa pre-operasi (6 jam)
Jenis pembedahan : Hernioplasti

22

3.4 Durante Operasi

Jenis anesthesia

: General Anastesi

Teknik anesthesia

: Intubasi oral

Lama anesthesia

: 1 jam 20 menit (11.50- 13.10 WIB)

Lama operasi

: 1 jam (12.00-13.00 WIB)

Posisi

: Supine

Infus

: RL 500 ml, 1 line tangan kiri

Obat-obatan yang diberikan


:
Obat premedikasi : Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi)
Obat induksi:
1 Inj. Fentanil 100 g
2 Inj. Propofol 100 mg titrasi
3 Inj. Atracurium 50 mg IV
Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2
Obat analgetik durante operasi : N2O
Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV dan Sulfas Atropine 0,25 mg IV
Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV
Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV
Cairan masuk:
Pre operatif

: RL 1000 cc

Durante operatif : RL 500 cc dan Gelatin polysuccinate 500 cc

Cairan keluar:
Perdarahan
Produksi urin

: 200 cc
: Preoperatif
Durante operatif

: 300 cc (dibuang)
: 200 cc

3.5 Postoperatif di RR jam 13.15


Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1

: Airway normal, nafas spontan, RR 20x/menit

RH(-),Wh(-),
saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 4 lpm.

23

B2

: Akral hangat, kulit merah, nadi 80x/menit, TD 130/80

mmHg, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,6o C

B3

: GCS 456, diameter pupil 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek


kornea +/+

B4

: Catheter (+), Produksi Urin 250cc

B5

: Bising Usus (+) menurun, mual (-), muntah (-)

B6

: Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis(-)

Terapi Pasca Bedah


Infus: infus RL 1000cc/24 jam
Antibiotika: Ceftriaxone 2x 1 gr iv, Infus metronidazole 3x500 mg.
Bila mual/muntah : Kepala miring, Inj Ondansetron 4 mg iv.
Bila kesakitan: Inj ketorolac 3x 30 mg IV
Minum atau makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah.
Bising usus (+).

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapangan perut sejak 1 hari SMRS.
Nyeri buah zakar (+).mual dan muntah (+), mencret (+). Pasien mengaku awalnya
terdapat benjolan pada lipat paha kiri sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat Operasi
sebelumnya (-), Riwayat DM (-), Riwayat Hipertensi (-), Riwayat penyakit
jantung (-), Riwayat Asma (-). Penggunaan obat-obatan disangkal. Makan dan
minum terakhir jam yang lalu. Riwayat merokok (+).
Kebutuhan cairan basal (maintenance) untuk dewasa adalah 25 - 35
ml/kgBB/hari. BB pasien adalah 73 kg. Jadi kebutuhan cairan basal pasien adalah
25x73 = 1825 cc / hari = 76 cc / jam.
Dari pemeriksaan, didapatkan pasien dengan keadaan dehidrasi ringan.
Dehidrasi ringan (defisit 3-5% BB) = 5/100 x 73000 (gram) = 3650 cc.

24

Rehidrasi lambat: 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 8


jampertama kemudian 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam
kedua.

8 jam pertama :
50% defisit cairan +rumatan :
50% defisit cairan = 50% x 3650 = 1.825cc (dalam 8 jam)
= 228cc/jam
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 73 kg adalah :
25x73 = 1825 cc / hari = 76 cc / jam.
Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:
228 cc/jam + 76 cc/jam = 294 cc/jam
= 294 x 20tetes/60 menit
= 98 tetes/menit
16 jam berikutnya :
50% defisit cairan +rumatan :
50% defisit cairan = 50% x 3650 = 1.825cc (dalam 16 jam)
= 114cc/jam
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 73 kg adalah :
25x73 = 1825 cc / hari = 76 cc / jam
Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:
114 cc/jam + 76 cc/jam = 190 cc/jam
= 190 x 20tetes/60 menit
= 63 tetes/menit
Pasien puasa selama enam jam sebelum operasi. Untuk mengganti cairan
yang hilang, maka kebutuhan basal cairan (maintenance) dikalikan lama puasa, 76
x 6 = 456 cc. Pada 1 jam pertama diberikan 228 cc, dan 2 jam berikutnya
diberikan 114 cc.
Pada intraoperatif sensible water loss dari urine output adalah 200 cc, dan
insensible water loss
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa
besar + kassa kecil dengan perkiraan total 200cc. Metode yang paling umum
digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah
dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons
atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah
10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran
tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan
sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi pasien ini tidak dilakukan.
Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 113 cc/jam x 1 jam

= 113 cc

Cairan yang hilang selama operasi

= 292 cc

: 292 cc/jam x 1 jam

25

Jumlah produksi urine durante operasi

= 200 cc

Jumlah darah yang hilang x 3 RL

: 200 cc x 3

= 600 cc +
1205 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi adalah RL 500 cc dan
Gelatin polysuccinate 500 cc, dan post operatif diberikan RL 1000 cc
Pada keadaan telah dilakukan rehidrasi, Apabila pasien berespon dengan
baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak berespon
terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menemukan penyebab lain dari dehidrasi.

26

BAB V
KESIMPULAN

Kebutuhan cairan basal pada pasien adalah 113 ml / jam. Dari hasil
pemeriksaan didapatkan pasien dengan keadaan dehidrasi ringan. Dehidrasi

ringan (defisit 3-5% BB) = 5/100 x 73000 (gram) = 3650 cc


Pada keadaan Durante operatif, kebutuhan cairan adalah sebanyak 1150 cc,
dan diberikan terapi cairan dengan RL 500 cc dan Gelatin polysuccinate 500

cc, dan post operatif diberikan RL 1000 cc.


Pada keadaan telah dilakukan rehidrasi, Apabila pasien berespon dengan
baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak berespon
terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi.

27

28

Lampiran

29

30

Anda mungkin juga menyukai