Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Peritonitis
A.

Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis. (Fauci et al, 2008)
B. Anatomi dan Fisiologi
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari
jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup
dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai
peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003).
Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai
1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan
partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas 1m2 (Heemken, 1997).
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal yang mengandung
protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri
dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta
sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat
sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003). Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di
drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk
bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan
lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan
mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik
agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).

Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya
perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
-

Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma


Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh
karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran
dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu
nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans,
2001). Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke
rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan
enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).

Penghancuran bakteri oleh sel imun


Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan
limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang
mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel
mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin,
faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator proinflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator antiinflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya
keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu
dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi
atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam
keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat
sehingga terjadi kegagalan organ (Marshall, 2003).

Lokalisasi infeksi sebagai abses


Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang
mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah
protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap
bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan
penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam
keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme
ini tak berfungsi (Evans, 2001).

C. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
-

Peritonitis primer (Spontaneus)


Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat
divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder


Regio Asal
Penyebab
Esophagus
Boerhaave syndrome
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Stomach
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Duodenum

Peptic ulcer perforation


Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Biliary tract
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreas
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Small bowel
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Large bowel and appendix
Ischemic bowel
Diverticulitis

Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Uterus, salpinx, and ovaries
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan
operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan
localized (abses intra abdomen).

D. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).
Peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.


Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al,
2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan
malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium
dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini
tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada
awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang

merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis
bacteria (Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al, 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).
E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta
tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,
nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum
peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis
dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,
takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok
(Doherty, 2006).
1) Gejala
-

Nyeri abdomen : Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita
dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada hentihentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih
terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan
penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).
-

Anoreksia, mual, muntah dan demam: Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia,
mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan
terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya
suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).

Facies Hipocrates : Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970). Penderita dengan
peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal.
Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi
interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen
(Schwartz et al, 1989). Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan
tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et
al,1970).

Syok: Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970). Yang
utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari
fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari
endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip
seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).

2) Tanda
-

Tanda Vital: Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi
pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan
tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal
seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih
buruk (Schwartz et al, 1989).

Inspeksi : Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

Auskultasi : Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper
tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara
borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut
yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi (Cole
et al,1970).

Perkusi :Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et
al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan
pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).

Palpasi: Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat
nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini
terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri
membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding
abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang
sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu
titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan
spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang
mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh
suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi
local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas
dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal (Cole et al,1970).

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara
involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi
sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
F. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel
darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya
terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et
al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit
tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal
dapat dilakukan (Doherty, 2006).
2) Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA
dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan
menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau
keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan
menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen
paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral
decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi
dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et
al,1970).

G. Tata Laksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif
terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).

1) Penanganan Preoperatif
-

Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al,
1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika
terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC
(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan
untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,
tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal
(Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah
adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).\

Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang
tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan
kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya
hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun
sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar
kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada
tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.
Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam
plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri

gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari
sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang
sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih
baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama
baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan
terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat
berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hatihati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah
putih yang normal (Doherty, 2006).

Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan,
karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi,
adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisikondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal
(Schwartz et al, 1989).
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan
kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital
(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.
Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

2)

Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan
perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung,
serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu,
darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari
bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan
teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi
fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin
dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan
hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur
apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis
akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob
segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya
karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang
diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan
tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan
menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah
dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat
menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan
membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan
udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis

difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya
abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi
lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

3) Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan
utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan
mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama
10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan
produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).
H.

Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula
biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator
adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CTScan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel
yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).
I. Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,
pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering
adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi
kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan
teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering terjadi
dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan
kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.
Saran
Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit berjalan
terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur dan resistensi
harus diulang terutama pada mereka yang menunjukkan perjalanan penyakit yang panjang dan
berat. Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi dan gunakan obat yang sesuai
resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas.

DAFTAR PUSTAKA

Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp,
Hal 784-795
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An
Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical
Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63
Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill, Peritonitis
halaman 808-810, 1916-1917
Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4
Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.
Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36
Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res
CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care
Medicine; 31(8) : 2228-37
Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

Anda mungkin juga menyukai