Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

HIRSCHSPRUNG DI RUANG RAUDHAH 2


RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN
KOTA BANDA ACEH

Oleh :

Anisa Mulyani, S. Kep


221251010112

Pembimbing :
Dr. Hajjul Kamil, S.Kp, M.Kep

KEPANITERAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR


BAGIAN KEPERAWATAN DASAR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2022
HIRSCHSPRUNG

A. Definisi

Penyakit hirschsprung atau megacolon kongenital adalah kelainan bawaan yang


ditandai dengan tidak adanya sel ganglion (aganglionosis) pada segmen usus. Tidak
adanya sel ganglion pada segmen usus mengakibatkan terganggunya respon saraf
parasimpatis yang bertanggung jawab untuk melakukan mampuan peristaltik normal
(Liang, Ji, Yuan, et al, 2014; Kliegman, Stanton, Geme, Schor, Behrman, 2011).
Secara global kejadian hirschsprung adalah 1 : 4400 hingga 1: 7000 kelahiran.
Kejadian hirschsprung lebih sering dijumpai pada anak laki- laki disbanding perempuan
dengan perbandingan 4:1. Di Indonesia, kejadian hirschsprung tidak diketahui secara pasti,
namun dijumpai dalam 1: 5000 kelahiran hidup dengan prediksi kasus 1540 bayi lahir
dengan hirschsprung (Corputty, Lampus., Monoarfa, 2015).

B. Etiologi

Penyebab hirschsprung belum diketahui secara pasti namun diduga terjadi karena
faktor genetik (penyakit familial), lingkungan, sering terjadi pada anak down syndrome,
Waardenburg, tuli bawaan, malrotasi, divertikulum lambung, dan atresia usus (Moore,
2018).

C. Patofisiologi

Penyakit ini disebabkan aganglionosis pada plexus myentericus (Aurbach) dan plexus
submucosa (Meissner) dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke
arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan
sekitarnya, 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus (Palissei, Wirawan, &
Faruk, 2021).
Kerusakan primer pada segmen kolon menimbulkan terjadinya abnormalitas
hinggahkan tidak adanya gerakan peristaltik pada usus sehingga terjadi penumpukan isi
usus dan dan distensi usus yang berdekatan. Selain itu, kegagalan relaksasi otot sfingter
ani menyebabkan gejala klinis berupa obstruksi dan mempersulit pengeluaran gas, zat
padat (feses), maupun cairan.
Saat usia 5 hingga 12 bulan kegagalan migrasi kraniokaudal pada precursor sel
ganglion saluran gastrointestinal penyebabkan penyakit hirschsprung berupa distensi dan
iskemia pada dinding usus. Distensi dinding usus ini menyebabkan enterokolitis
(inflamasi pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi
atau anak dengan penyakit hirschsprung (Radeanty, Ilawanda, & Anjarwati, 2020).

D. Klasifikasi

Hirschsprung menurut Abdelrahman, et al (2022) dikategorikan berdasarkan sekmen


yang terdampak:
1. Ultra short segment: ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rectum (1-2
cm).
2. Short segment: ditemukan aganglionosis pada rectum dan sebagian kecil colon.
3. Long segment: terjadi aganglionosis pada rektum dan sebagian besar colon.
4. Total colon aganglionik: terjadi aganglionosis rektum, seluruh colon bahkan sebagian
usus kecil.

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit hirschsprung terbagi menjadi dua periode, yaitu periode
neonatal dan periode anak-anak (Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021):
1. Periode neonatal : terlambat pengeluaran mekonium lebih dari 24 jam pasca lahir,
muntah berwarna hijau, serta terjadi distensi abdomen
2. Periode anak-anak.
Pada anak gejala klinis yang sering terjadi adalah konstipasi kronis dan gizi buruk.
Jika pada dinding abdomen terlihat gerakan peristaltik gejala klinis yang terlihat jika
dilakukan rectal examination atau pemeriksaan colok dubur feses biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau busuk, penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien hirschrsprung yaitu: biopsi, kolonoskopi,


radiologis dengan kontras enema (Nadya, 2019).
1. Biopsi
Biopsi adalah metode pemeriksaan untuk mengidentifikasi sel-sel abnormal untuk
untuk mengetahui jenis penyakit tertentu atau penyebab penyakit. Pada kasus
hirschrsprung biopsi dapat digunakan untuk mengukur seberapa parah kondisi
hirschrsprung.
2. Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah digunakan unruk mengetahui gangguan pada kolon dan rektum
yang sering digunakan jika didapati gejala berupa sakit perut, tinjamengandung darah,
diare kronis, abnormalitas pada foto rontgen dan CT scan.
3. Radiologis dengan kontras enema
Pemeriksaan radiologis pada kasus dini (85-90%) biasanya terlihat gambaran
transitional zone, namun untuk kasus terlambat diagnose gambaran radiologis megacolon
dan terdapat enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon).

G. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pada penyakit hirschrsprung adalah sebagai berikut:


1. Temporasi ostomy dilakukan proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
mengembalikan ukuran colon menjadi normalnya.
2. Pembedahan koreksi dilakukan kembali jika berat anak sudah mencapai sekitar 9 kg
atau dapat dilakukan sekitar 3 bulan setelah operasi pertama.
H. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian hirschprung terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan evaluasi


diagnostik.
1. Keluhan utama yang lazim ditemukan pada anak adalah nyeri abdomen. Sedangkan
pada bayi, orang tua dapat mengeluhkan bayinya muntah-muntah. Keluhan lain dapat
dijumpai seperti distensi abdomen, mual, muntah, dan nyeri kolik abdomen.
2. Pengkajian riwayat kesehatan sekarang, contohnya keluhan orangtua pada bayi
dengan tidak adanya evakuasi mekonium lebih dari 24 jam pasca lahir diikuti
konstipasi, muntah, dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa
minggu atau bulan, konstipasi ringan entrokolitis dengan distensi abdomen, dan
demam. Pada pemeriksaan colok dubur feses menyembur. Pada anak, anak akan
rewel dan mengeluh nyeri pada abdomen, dapat juga mengeluh kontipasi atau diare
berulang. Pada kondisi kronis, terlihat gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada anak. Dengan berlanjutnya proses penyakit, maka akan terjadi enterokolitis
berlanjut ke sepsis, nekrosis usus, dan perforasi.
3. Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga biasanya dijumpai kondisi yang sama pada
generasi terdahulu terjadi 30% dari kasus hirschrsprung.
4. Pengkajian psikososial akan adanya peningkatan kecemasan, serta perlunya
pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan pengobatan.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang didapatkan hasil sama dengan manifestasi klinik
hirschrsprung. Pasien tampak lemah atau gelisah. Tanda-tanda vital hipertermi,
dehidrasi dan demam didapatkan jika sudah terjadi kondisi syok atau sepsis. Pada
pemeriksaan fisik fokus di area abdomen, lipat paha, dan rektum:
a. Inspeksi: adanya distensi abdominal. Pemeriksaan rektum dan feses didapatkan
adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.
b. Auskultasi: didapatkan penurunan bising usus, bahkan hingga hilangnya bising
usus.
c. Perkusi: timpani akibat abdominal kembung.
d. Palpasi: teraba dilatasi kolon pada abdomen.
6. Pengkajian diagnostik seperti pemeriksaan laboratorium (leukositosis dan gangguan
elektrolit atau metabolik), foto polos abdomen sebagai alat bantu deteksi obstruksi
intestinal pola gas usus, dan USG untuk mendeteksi kelainan intra abdominal.

I. Diagnosa Keperawatan

1. Inkontinensia fekal berhubungan dengan penurunan tonus otot.


2. Defisit nutrisi berhubungan dengan mual muntah (ketidakmampuan mencerna
makanan).
3. Nyeri berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
4. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas karena
mual.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya insisi (prosedur
invansif).
J. Intervensi Keperawatan

Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Manajemen eliminasi fekal
fekal keperawatan selama 3x 24 jam Observasi
kontinensia fekal membaik - Identifikasi masalah usus dan
SLKI Kriteria Hasil: penggunaan obat pencahar.
- Pengontrolan pengeluaran - Monitor buang air besar (mis.
feses warna, frekuensi, konsistensi
- Defekasi. dan volume).
- Frekuensi buang air besar. - Monitor tanda dan gejala diare,
konstipasi atau impaksi.
Terapeutik
- Jadwalkan waktu defekasi
bersama pasien.
- Sediakan makanan tinggi serat.
Edukasi
- Jelaskan jenis makanan
yang membant
meningkatkan keteraturan
peristaltik usus.
- Anjurkan pengurangan asupan
makanan yang meningkatkan
pembentukkan gas.
- Anjurkan mengkonsumsi
makanan yang mengandung
tinggi serat.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat
supositoria anal, jika perlu.
Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi
keperawatan selama 3x 24 jam
kontinensia fekal membaik Observasi
SLKI Kriteria Hasil: - Identifikasi status nutrisi
 Porsi makanan yang di - Alergi dan intoleransimakan
habiskan meningkat. - Identifikasi makan yang disukai
 Kekuatan otot pengunyah - Identifikasi kebutuhan kalori
meningkat. dan jenis nutrient
 Verbalisasi keinginan untuk - Monitor asupan makanan
meningkatkan nutrisi - Monitor hasil pemeriksaan
meningkat. laboratorium

 Pengetahuan tentang pilihan Terapeutik


makana yang sehat - Lakukan orah hygine sebelum

meningkat. makan jika perlu

 Pengetahuan tentang pilihan - Berikan makanan tinggi serat

minuman yang sehat untuk mencegah konstipasi

meningkat. - Sajikan makanan secara

 Pengetahuan tentang menarik dan sesuai suhu

standar asupan nutrisi Edukasi

yang tepat meningkat. - Anjurkan diet yang


diprogramkan
 Sikap terhadap
Kolaborasi
makanan/minumam sesuai
- Kolaborasi pemberian medikasi
dengan tujuan kesehatan
sebelum makan missal pereda
meningkat.
nyeri, antimetik jika perlu
 Berat badan membaik.
- Kolaborasi dengan ahli gizi
 Indeks masa tubuh
untuk menentukan jumlah
membaik.
kalori dan jenis nutrient yang
 Frekuensi makanan
dibutuhkan
membaik.
 Nafsu makan
membaik.Pengontrolan
pengeluaran feses
 Defekasi.
 Frekuensi buang air besar.
Nyeri Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
keperawatan 3x24 jam nyeri Observasi
dapat teratasi dengan kriteria  Identifikasi lokasi,
hasil: karakteristik, durasi, frekuensi,
 Keluhan nyeri menurun kualitas, intensitas nyeri.
 Meringis menurun  Identifikasi skala nyeri.
 TTV membaik  Identifikasi faktor yang
 Perilaku membaik memperberat dan memperingan
nyeri.
 Identifikasi respons nyeri non
verbal.
Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis.relaksasi napas dalam).
 Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
 Fasilitasi istirahat dan tidur.
Edukasi
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu.
Risiko Infeksi Setelah dilakukan intervensi Manajemen cairan
keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi:
maka tingkat infeksi menurun  Monitor status hidrasi
dengan kriteria hasil: (frekuensi nadi, kekuatan nadi,
 Demam menurun akral, pengisian kapiler,
 Kemerahan menurun kelembaban mukosa, turgor
 Nyeri menurun kulit dan tekanan darah)
 Bengkak menurun  monitor berat badan harian
 Kebersihan tangan  monitor berat badan sebelum
meningkat dan sesudah dianalisis
 Kebersihan badan  monitor hasil pemeriksaan
meningkat laboratorium
 Nafsu makan meningkat Terapeutik:
 Kadar sel darah putih  Catata intake dan outpur dan
membaik hitung balance cairan 24 jam
 Berikan asupan cairan sesuai
kebutuhan
 Berikan cairan intravena jika
perlu
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian diuretik,
jika perlu.
Risiko ketidak Setelah dilakukan intervensi Observasi:
seimbangan keperawatan selama 3 x 24 jam  Monitor tanda dan gejala
cairan maka tingkat infeksi menurun infeksi lokal dan sistemik.
dengan kriteria hasil: Terapeutik:
 Asupan cairan.  Berikan perawatan kulit pada
 Keluaran urin. area edema.
 Kelembaban membran  Cuci tangan sebelum dan
mukosa. sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien.
Edukasi:
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi.
 Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar.
 Anjurkan cara memeriksa
kondisi luka.
 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi.
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu.
Risiko Infeksi Setelah dilakukan intervensi Observasi:
keperawatan selama 3 x 24 jam  Monitor tanda dan gejala
maka tingkat infeksi menurun infeksi lokal dan sistemik.
dengan kriteria hasil: Terapeutik:
 Demam menurun  Berikan perawatan kulit pada
 Kemerahan menurun area edema.
 Nyeri menurun  Cuci tangan sebelum dan
 Bengkak menurun sesudah kontak dengan pasien

 Kebersihan tangan dan lingkungan pasien.

meningkat Edukasi:

 Kebersihan badan  Jelaskan tanda dan gejala

meningkat infeksi.

 Nafsu makan meningkat  Ajarkan cara mencuci tangan

 Kadar sel darah putih dengan benar.

membaik  Anjurkan cara memeriksa


kondisi luka.
 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi.
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdelrahman, S. T., Ezzat, T. A., Saleh, M. I., Sakr, S. M., Abdeldayem, M. S., & Alalfy,
A. A. (2022). Hirschsprung disease; insights into developmental etiology,
pathophysiology and postoperative long-term outcomes. Austin J Clin Pathol.
Corputty E.D., Lampus H.F., Monoarfa A. (2015). Gambaran Penyakit Hirschsprung di
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode Januari 2010 – September 2014.
Jurnal e-Clinic (eCI)
Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson textbook
of pediatrics. 19 ed. Philadelphia; Elsevier Inc: 2011.
Liang CM, Ji DM, Yuan X, et al. RET and PHOX2B genetic polymorphisms and
Hirschsprung's disease susceptibility: a meta-analysis. PLoS ONE.
2014;9(3):e90091.
Moore SW. Advances in understanding the association between Downsyndrome and
Hirschsprung disease (DS–HSCR). Pediatric Surgery International. 2018; 34:
1127-1137.
Nadya, D. A. (2019). Gambaran gangguan eliminasi fekal pada pasien anak dengan
hirschprung disease di ruang cendana 4 irna I RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai