Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TUTORIAL

BLOK HEMATOLOGI SKENARIO 1

KELOMPOK XX
AMINAH HALVAIMA ULFAH G0016024
CYNTHIA BADRIYYAH J. S. G0016054
FEREN MARCELINA WIDIYANTO G0016082
IRENE JESSICA PINARSINTA H. G0016114
M. GHILMAN NURIZZAN G0016138
NATHANIA CHRISTABELLA G0016166
RIZKI ARDIANSYAH G0016188
SAFRILIA SYIFA DWI AGHNIA G0016192
STEFANI DYAH MONISA A. H. G0016208
YOGI IRWANSYAH H. G0016234
ZUMROTUL AYU NINGTYAS G0016238

Leli Saptawati, dr., Sp.MK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 1
Kasus 1 :
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan
demam, disertai perut mual dan susah makan. Selain itu, menurut ibu, anaknya
terlihat lemah dan pucat sejak 2 bulan yang lalu. Kata guru Tknya, anak tidak
selincah teman-temannya dan sering tertidur di kelas. Sejak kecil anak sulit makan
dan tidak suka makan daging. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
palpebra inferior, mukosa bibir dan kuku pucat, hiperemi faring dan tonsil, tidak
didapatkan hepatomegali maupun splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan Hb 7.0 g/dL (nilai rujukan Hb anak : 11.5 – 14.5 g/dL), MCV 52 fL
(nilai rujukan 80 – 100 fL), MCH 21 pg/sel (nilai rujukan 26 – 34 pg/sel). Dokter
meminta pemeriksaan laboratorium lanjutan.

Kasus 2 :
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa orang tuanya ke dokter dengan
keluhan anak terlihat pucat. Keluhan pucat sudah terjadi sejak anak berusia 3
tahun dan makin lama makin berat. Orang tua sudah membawa anak ke dokter
dan sudah diberi tablet tambah darah, tetapi tidak membaik. Sebulan terakhir
terlihat kulitnya kekuningan. Pasien adalah anak pertama, dalam keluarga tidak
ada yang mengalami sakit serupa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak sangat
pucat, tampak sesak, konjungtiva pucat, sklera ikterik, frontal bossing,
hepatomegali 2 cm di bawah arkus kostarum dan splenomegali Schuffner 3. Pada
pemeriksaan jantung didapatkan bising jantung sistolik derajat 3. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 5.8 g/dL, MCV 53.5 fL, MCH 16
pg/sel. Dokter meminta pemeriksaan laboratorium lanjutan.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah 1 : Membaca skenario dan mengklarifikasi kata sulit


1. Konjungtiva palpebra inferior : konjungtiva yang menutupi bagian dalam
kelopak mata dan sklera kecuali kornea bagian bawah.
2. Hiperemi faring : peningkatan volume darah sehingga terjadi
pembengkakan menyebabkan excess pada bagian tertentu.
3. MCH : jumlah rata-rata sel Hb dalam satu sel darah merah.
4. Splenomegali : pembesaran kelenjar limpa.
5. MCV : pemeriksaan sel darah merah yang menunjukkan volume rata-rata
sel dibandingkan volume darah total.
6. Splenomegali Schuffner 3 : metode membagu splenomegali menjadi 8.
Pembesaran dari arkus costae sinistra sampai umbilikus menunjukkan SI –
IV. Pembesaran dari umbilikus sampai SIAS menunjukkan SV – VIII.
7. Arkus kostarum : lengkungan iga.
8. Frontal bossing : penonjolan dahi.
B. Langkah 2 : Merumuskan permasalahan
1. Bagaimana fisiologis dari hemopoiesis sampai eritropoiesis?
2. Apakah diagnosis kerja pada kasus 1 dan 2?
3. Bagaimana hubungan anak susah makan, mual, suka tidur, demam (kasus
1) dan pucat (kasus 2)?
4. Apa etiologi, patofisiologi, patogenesis, gejala dan terapi terkait kasus 1
dan 2?
5. Bagaimana klasifikasi anemia dan gejala khususnya?
6. Apa pemeriksaan lab lanjutan yang dilakukan?
7. Bagaimana kaitan penyakit dengan timbulnya sesak dan kekuningan pada
kulit dan sklera?
8. Kenapa setelah diberi tablet tambah darah kondisi pasien tidak membaik?
9. Kenapa kasus ini terjadi pada anak-anak?
10. Bagaimanakah patogenesis yang menyebabkan pemeriksaan fisik pada
kasus 1 dan 2?
11. Bagaimana interpretasi laboratorium pada kasus 1 dan 2?
C. Langkah 3 : Melakukan curah pendapat dan membuat pernyataan
sementara mengenai permasalahan
1. Eritropoiesis merupakan proses pembentukan eritrosit muda pada sumsum
tulang sampai terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi dan dirangsang
oleh eritropoietin yang merupakan faktor penstimulasi produksi eritrosit,
pengambil zat besi dan pematangan sel.

Pluripotent Stem Cell

Myeloid Stem Cell Limfosit Stem Cell

CFU-M
BFU-E CFU-GM T
B

Megakariot
Monosit Granulosit
CFU-E - Netrofil
- Asidofil
- Basofil
Platelet
Makrosit
Duplikasi Eritroit

Proeritroblas

Basofil eritroblas

Polikromatofil Eritroblas

Orthokromatik Eritroblas

Retikulosit

Eritrosit
Usia Tempat Pembentukan
0 – 3 bulan Yolk sac
3 – 6 bulan Hepar dan lien
6 – dewasa Sumsum tulang
Jika terjadi patogenesis maka produksi di lien
(ekstramedular eritropoiesis)

Pluripoten Stem Cell

Commited Stem Cell


Sel Induk Hemopoietik

Oligopoten Stem Cell

Unipoten Stem Cell

2. Diagnosis kerja pada kasus 1 dan 2.


3. Hubungan susah makan, mual, suka tidur, demam (pada kasus 1) dan
pucat (pada kasus 2).
4. Etiologi, patofisiologi, patogenesis, terapi pada kasus 1 dan 2.
5. Klasifikasi dan gejala khas anemia
6. Pemeriksaan laboratorium lanjutan.
7. Kaitan penyakit dengan timbulnya sesak, kekuningan pada kulit dan
sklera.
8. Penyebab kondisi pasien tidak membaik setelah diberi kapsul darah.
9. Kasus ini terjadi pada anak-anak karena anak-anak berada dalam masa
pertumbuhan begitu cepat yang memerlukan banyak nutrisi, salah satunya
besi. Selain itu, pada kasus 1 disebutkan bahwa di anak sulit makan dan
tidak suka makan daging. Padahal seperti kita ketahui, daging merah
merupakan sumber zat besi yang baik. Sulit makan dapat berupa memilih
milih dalam memakan yang mana kemungkinannya si anak juga
kekurangan asupan vitamin terutama vitamin C yang menjadi prekursor
penyerapan zat besi.
10. Patogenesis yang menyebabkan pemeriksaan fisik pada kasus 1 dan 2.
a. Kasus 1
Didapatkan konjungtiva palpebra inferior, mukosa bibir dan kuku
pucat dikarenakan kekurangan zat besi yang mengakibatkan produksi
hemoglobin pun tidak mencukupi kebutuhan. Padahal hemoglobin lah
yang memberi warna merah pada darah.
b. Kasus 2
Frontal bossing disebabkan oleh ekspansi tulang terutama ke tulang
pipih karena tulang pipih dapat menghasilkan sel darah merah pada
anak-anak. Kekuningan timbul karena peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi dalam darah sehingga ikterus bersifat acboluric jaundice
bahwa dalam urin tidak dijumpai bilirubin.
11. Interpretasi laboratorium pada kasus 1 dan 2.
D. Langkah 4 : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3

- Definisi
1. Anemia
Megaloblastik - Etiologi
Makrositik 2. Anemia - Gejala
Non- - Terapi
Megaloblastik
- Pemeriksaan
Morfologi Normositik

Mikrositik
Anemia Gangguan
pembentukan
eritrosit

Etiopatogenesis Hemorage

Hemolitik

E. Langkah 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran


1. Menentukan diagnosis kerja pada kasus 1 dan 2.
2. Menjelaskan hubungan susah makan, mual, suka tidur, demam (pada kasus
1) dan pucat (pada kasus 2).
3. Menjelaskan etiologi, patofisiologi, patogenesis, terapi pada kasus 1 dan 2.
4. Menjelaskan gejala khas anemia.
5. Menjelaskan pemeriksaan laboratorium lanjutan.
6. Menjelaskan kaitan penyakit dengan timbulnya sesak, kekuningan pada
kulit dan sklera.
7. Menjelaskan penyebab kondisi pasien tidak membaik setelah diberi kapsul
darah.
8. Menjelaskan interpretasi pemeriksaan laboratorium.
F. Langkah 6 : Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri
Pengumpulan informasi baru dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
mahasiswa dengan menggunakan sumber yang EBM (Evidence Based
Medicine) seperti buku, jurnal maupun website.
G. Langkah 7 : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh
1. Diagnosis kerja
Thalasemia terjadi pada bayi. Sebelum usia 2 tahun sudah menunjukkan
mikrotik anemia, jaundice, hepatosplenomegali dan penonjolan tulang.
Diagnosis Hematologi : Thalasemia beta mayor. Hb : 7 g/dL; MCV : 50-
70 fL; MCH : 12-20 pg/sel.
2. Hubungan susah makan, mual, suka tidur, demam (pada kasus 1) dan
pucat (pada kasus 2).
a. Demam. Zat besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan
enzim mieloperoksidase (untuk membunuh kuman), jadi jika kadar zat
besi rendah maka terjadi penrunan imunitas seluler. Namun defisiensi
besi juga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi untuk bakteri
sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang berakibat pada
ketahanan terhadap infeksi. Hal ini karena bakteri butuh zat besi dalam
penyebaran penyakit.
b. Mual. Defisiensi besi menyebabkan gangguan pada enzim
monoaminooksidase ( enzim yang mengurai serotonin ) sehingga
terjadi penumpukan serotonin yang salah satu fungsinya untuk
mengontrol nafsu makan. Hal ini mengakibatkan reseptor 5 HT
(reseptor serotonin) meningkat di usus halus. Jadi ketika kita mencium
bau makanan maka dopamine akan meningkat, namun setelah kita
makan maka serotonin juga meningkat untuk memberikan efek
kenyang. Enzim monoaminooksidase ini nantinya mengurai serotonin
tersebut sehingga kadarnya di tubuh kita tidak terlalu banyak.
3. Etiologi, patofisiologi, patogenesis, gejala dan terapi pada kasus 1 dan 2
a. Etiologi
1) Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan seperti saat menstruasi.
2) Faktor nutrisi, akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan.
3) Kebutuhan besi meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan, dan kehamilan.
4) Gangguan absorbsi besi.
b. Patofisiologi
Eritrosit/Hb  kapasitas angkut oksigen menurun  anoksia
jaringan/organ target  afinitas Hb terhadap Oksigen  curah jantun
meningkat  redistribusi darah  tekanan Oksigen di vena 
anemia  kompensasi (pusing, dll)
Penjelasan :
a) Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen meningkatkan enzim
2,3 DPG (2,3 – Dyphospoglycerate)  yaitu enzim yang bekerja
untuk melepaskan oksigen dari darah ke jaringan.
b) Saat jumlah eritrosit di tubuh kurang , maka tubuh
mengimbanginya dengan meningkatkan curah jantung berdebar
lebih keras  banyak darah dan oksigen yang terpacu keluar.
c) Sementeara paru-paru bekerja keras agar oksigen yang diperoleh
lebih banyak. Sehingga, sebagian pembuluh darah akan melebar
supaya darah yang mengandung oksigen masuk ke dalam jaringan
tubuh. Sedangkan pembuluh darah lain mengecil supaya mampu
mempertahankan oksigen.
d) Redistribusi darah seperti yang di atas ini menyebabkan kita
tampak pucat dan kulit lebih dingin jika diraba. Jika aktivitas
meningkat maka tubuh semakin butuh tambahan oksigen,
sehingga kita menjadi lesu, lemas, lelah, dll.
c. Patogenesis
1) Kasus 1
a) Deplesi besi
- Cadangan besi turun namun tidak sampai mengganggu
proses eritropoiesis
- Absorbsi besi meningkat
- Pengecatan besi negative pada sumsum tulang
b) Eritropoiesis defisiensi besi
- Cadangan besi kosong sampai mengganggu proses
eritropoiesis
- TIBC meningkat
- reseptor transferin serum meningkat
c) Anemia defisiensi besi
- Cadangan besi kosong sampai menimbulkan anemia
- Kekurangan besi pada epitel pada kuku, epitel, dan mulut
faring
2) Kasus 2
a) HbA mempunyai 2 rantai yaitu ranta alpha dan rantai beta.
Rantai alpha dikode gen alpha globin pada kromosom 11 dan
rantai beta dikode gen beta globin oada kromosom 16. Jika
keduanya mengalami mutasi akan mempengaruhi sintesis betha
globin.
b) Pengaruhnya :
- Mutasi pada sekuens promoter akan menurunkan transkripsi
gen globin. Karena masih ada sedikit sintesis maka akan
terjadi thalasemia betha+
- Mutasi di sekuens pengkode. Contohnya ekson yang
membentuk kodon stop yang memberhentikan translasi
mRNA betha globin sehingga membentuk tralasemia betha0
- Mutasi yang menyebabkan kelainan pemrosesan mRNA
yang mengeai intrin maupun ekson yang mengubah splice
junction dan menyebabkan mRNA yang terbentuk menjadi
tidak normal.
c) 2 faktor :
- Berkurangnya sintesis betha globin sehingga menurunkan
HbA yang otomatis menurunkan kadar Hb sehingga menjadi
sel hipokromik
- Kelebihan relative rantai alpha globuli yang normal. Rantai
alpha yang tidak berpasangan membentuk agregat yang tak
larut dalam sel darah merah. Hal ini akan menyebabkan
rusaknya membrane sel, penurunan plastistas dan sel darah
merah yang rentan akan fagositosis. Maka, akan memicu
kerusakan eritoblas dalam sumsum tulang dan berefek pada
peningkatan penyerapan besi.
d. Terapi
1) Farmakologi, dengan pemberian besi
a) Besi peroral
- Pemberian ferrous sulphate 3 x 200mg lebih efektif, murah,
dan aman.
- Pemberian ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate,
ferrous succinate lebih mahal.
- Pemberian besi peroral diberikan saat kondisi lambung kosong
dengan efek samping mual, muntah, konstipasi.
- Pemberian besi peroral selama 6 bulan hingga Hb normal (jika
tidak, akibatnya bisa sering kambuh).
b) Besi parenteral
- Pemberian besi parenteral memiliki efek samping yang
berbahaya dan biayanya lebih mahal.
- Indikasi pemberian besi parenteral ini yaitu jika terdapat
intoleransi oral berat, kurang patuh saat pengobatan, terdapat
kolitis ulserativa, atau saat membutuhkan peningkatan Hb
secara cepat (misal saat preoperasi atau saat hamil trimester
akhir).
- Pemberian besi parenteral misalnya iron dextran complex,
iron sorbitol citric acid complex secara intramuskular atau
intravena secara pelan.
- Pemberian besi parenteral menimbulkan efek samping seperti
reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual,
muntah, sinkop, nyeri perut.
- Pemberian secara parenteral harus dengan dosis yang tepat
(kalau berlebihan akan berbahaya), yang dihitung dengan
rumus: Kebutuhan besi (mg) = (15 - Hb sekarang) x BB x 3
2) Farmakokinetik
a) Transfusi Darah
Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb
tetap pada level 9-9.5gr/dl sepanjang waktu (Bambang, 2010).
b) Terapi Bedah
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang
digunakan pada pasien dengan thalassemia. Limpa diketahui
mengandung sejumlah besar besinontoksik (yaitu, fungsi
penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan seldarah
merah dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu
dipertimbangkan sebelum memutuskan melakukan
splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai penyimpanan untuk besi
nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi
tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat
membahayakan. Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila
limpa menjadi hiperaktif, menyebabkan penghancuran sel
darah merah yang berlebihan dan dengan demikian
meningkatkan kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih
banyak akumulasi besi (Bambang, 2010).
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan
lebih dari 200-250 ml / kg PRC per tahun untuk
mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dlkarena dapat
menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%
(Bambang, 2010).
Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak
prosedur sekarang dilakukan dengan laparoskopi (Bambang,
2010).
c) Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali
dilakukan tahun 1982. Transplantasi sumsum tulang
merupakan satu-satunya terapi definitive untuk talasemia.
Jarang dilakukan karena mahal dan sulit (Bambang, 2010).
3) Non Farmakokinetik
a) Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen
sebagai berikut :
- Vitamin C : 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi
untuk meningkatkan ekskresi besi.
- Asam Folat : 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
- Vitamin E : 200-400 IU setiap hari untuk mmeperpanjnag
umur sel darah merah.
- Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya
akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat
membantu mengurangi penyerapan zat besi di usus.
4. Gejala khas anemia
Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah:
a. Koilonychia, merupakan kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, garis-garis vertikal, dan menjadi cekung;
b. Atrofi papila lidah, di mana permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap;
c. Stomatitis angularis (cheilosis), adanya radang pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan;
d. Disfagia, merupakan nyeri telan karena kerusakan epitel hipofaring;
e. Atrofi mukosa gaster;
f. Pica, merupakan keinginan untuk makan hal-hal yang tidak lazim,
contohnya pasir.
5. Pemeriksaan laboratorium lanjutan
Untuk menegakkan diagnosis terhadap anemia defisiensi besi, dapat
dilakukan berbagai pemeriksaan laboratorium selain pemeriksaan kadar
MCV, MCH, dan MCHC, yaitu:
a. SI (Serum Iron)
Merupakan kadar besi dalam darah. Hasil ADB: <50 ug/dl.
b. TIBC (Total Iron Binding Capacity)
Merupakan tingkat kejenuhan apoferitin terhadap besi. Hasil ADB:
>350 ug/dl.
c. Saturasi Transferin
𝑆𝐼 𝑥 100%
Dapat dihitung dengan rumus: 𝑇𝐼𝐵𝐶

Hasil ADB: <15%


d. Protoporfirin eritrosit
Dalam sintesis heme, diperlukan Fe untuk mengubah protoporfirin
menjadi heme. Jika Fe kurang, maka protoporfirin akan menumpuk
dan tidak bisa menjadi heme. Hasil ADB: > 100 mg/dl.
e. Ferritin serum
Ferritin adalah protein yang mengikat dan menyimpan besi. Pada
anemia defisiensi besi, ferritin serum terhitung rendah karena Fe yang
ada sedikit. Hasil ADB: < 12 ug/l atau <15 ug/l.
f. Reseptor transferin
Pada anemia defisiensi besi, reseptor meningkat sebagai respon atas
berkurangnya besi yang bersirkulasi. Hasil normal: 4 – 9 ug/l darah.
g. Pengecatan besi pada sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s Stain)
Hasil normal adalah: 40 – 60% memiliki granula feritin.
6. Kaitan penyakit dengan timbulnya sesak, kekuningan pada kulit dan
sklera.
Terjadinya organomegali mengakibatkan timbulnya sesak karena
pembesaran hepar dan lien akan mendesak paru-paru sehingga rongga
menyempit. Hepatomegali mengakibatkan produksi dan peredaran
bilirubin mengalami abnormalitas sehingga timbul kekuningan pada kulit
dan mata.
7. Penyebab kondisi pasien tidak membaik setelah diberi kapsul darah.
Pada pasien thalasemia beta mayor mengalami penumpukan zat besi di
dalam tubuh akibat penyerapan besi yang berlebihan sehingga pemberian
kapsul tambah darah yang berisi besi justru akan memperburuk keadaan.
Pasien thalasemia beta mayor membutuhkan terapi pengeluaran besi dari
tubuh yang disebut dengan kelasi.
8. Interpretasi pemeriksaan laboratorium.
a. Anemia hipokromik mikrositer
MCV : 80 fl ; MCH : 27 pg/sel
b. Anemia normokromik normositer
MCV : 80-95 fl ; MCH : 27-34 pg/sel
c. Anemia makrositer
MCV : 95 fl
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I. M. (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.


Bambang H, Permono, 2010, Buku Ajar Hematologi - Onkologi Anak, Ikatan
Dokter Indonesia, Jakarta.
Haut, A. Wintrobe MM, 2010, The Hemoglobinopathies and Thalassemias,
Chruchill Livingstone , New York.
Kaushansky, K. et al., 2010. Clinical Manifestations and Classification of
Erythrocyte Disorders. In: Williams Hematology. 8th ed.McGraw-Hill
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam, A.
F., (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
pp: 2596 – 2598
Woods, H.F., Youdim, M. B. H., Boullin, D. and Callender S. (2008).
Monoamine Metabolism and Platelet Function in Iron Deficiency Anemia.
In : Ciba Foundation Symposium 51 – Iron Metabolism (eds R. Porter and
D.W. Fitzsimons), John Wiley & Sons, Ltd., Chichester, UK.

Anda mungkin juga menyukai