Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER


SKENARIO 2

DOSEN TUTORIAL :
dr. Rusdani., M.KKK

OLEH
Intan Permatasari Putri S (61119094)

UNIVERSITAS BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI KEDOKTERAN
2021
BLOK GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER
TA. 2021-2022
PRODI KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM

SKENARIO 2

SAKIT PERUT

Bapak Joni, 30 tahun, dengan obesitas, datang ke dokter puskesmas dengan keluhan
mencret-mencret berdarah dan bercampur lendir sejak tiga hari yang lalu, dimana sebelumnya ia
jajan sate yang lewat di depan rumah. Disamping itu Bapak Joni juga mengeluh dada rasa
terbakar yang semakin meningkat. Nyeri rasa terbakar ini sebenarnya telah dirasakan sejak
setahun yang lalu dan hilang timbul. Nyeri terutama di retrosternal, makin hebat bila meminum
air atau makanan panas, dan langsung terasa setelah habis makan. Nyeri juga terasa bila ia duduk
atau berbaring. Untuk nyeri dada ini pasien sudah sering berobat ke dokter dan mendapat antasid.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb : 10,8 g/dl, leukosit 6000/mm3. pemeriksaan
tinja ditemukan stadium histolitika Entamoeba histolitika. Pasien diberi metronidazol. Untuk
keluhan nyeri dadanya, pasien dikirim ke RSUD
Dari rujukan balik ternyata tes serologi terhadap Helicobacter pylori hasil negatif. Hasil
endoskopi menunjukkan peradangan di mukosa esophagus bawah dan bagian atas gaster.
Rontgen dengan barium: refluks isi lambung di esophagus bawah. Pasien dianjurkan untuk
menurunkan berat badan. Dapatkah anda menerangkan apa yang terjadi pada Bapak Joni ?

TERMINOLOGI ASING
1. Obesitas: peningkatan berat badan melampaui batas kebutuhan fisik dan sekeletal, akibat
penimbunan lemak tubuh berlebih. Dorland Ed 29, hal 546 (Latansya)
2. Entamoeba histolitika: Entamoeba histolytica adalah sejenis parasit golongan protozoa
usus, yang sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di jaringan
usus besar manusia, namun pada kondisi tertentu dapat berubah menjadi patogen
dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga
menimbulkan ulserasi. (JKS 2018) (Intan)
3. Retrosternal: terletak atau terjadi posterior terhadap sternum (Dorland hal 1905 ed 31)
(Dilla)
4. Serologi: kajian mengenai reaksi antigen antibody infitro (Dorland ed 29. Hal 691) (Siti)
5. Barium: unsur logam bersifat lunak, berwarna perak. (Dorland edisi 30 hal 88) (Rensi)
6. Antasida: obat untuk meredakan gejala akibat sakit maag atau penyakit asam lambung.
(Patel, D., et al (2020). (Intan)
7. Reflux: aliran balik atau aliran Kembali. (Dorland ed. 28 hal 926) (Latansya)
8. Metronidazole (metronidazole): antibiotik untuk mengobati berbagai infeksi akibat
bakteri, yang tergolong dalam kelas antibiotik nitroimidazoles. (Metronidazole –
WebMD 2020) (Intan)
9. Endoskopi: alat untuk memeriksa bagian dalam organ berongga. Dorland ed. 29 hal 271
(Ragil)
10. Helicobacter pylori atau H. pylori: merupakan jenis bakteri yang dapat masuk ke dalam
tubuh yang tinggal dan beradaptasi pada lingkungan saluran pencernaan yang asam serta
menyerang lapisan lambung. (digestive-disorders 2019) (Intan)
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menyebabkan Tn, joni mengeluhkan dad terasa terbakar? (Siti)
2. Apa yang menyebabkan kadar HB Tn. Joni rendah? (Intan)
3. Apa yang menyebabkan BAB Tn. Joni berdarah dan berlendir? (Dilla)
4. Apa hubungan obesitas dengan keluhan Tn. Join? (Intan)
5. Mengapa terjadi reflux? (Ragil)
6. Apa diagnosa sementara untuk Tn. Joni? (Rensi)
7. Mengapa dokter memberikan antacid untuk Tn. Joni? (Intan)
HIPOTESIS
1. Dada rasa terbakar dapat disebabkan oleh kenaikan asam lambung dan adanya aliran
balik asam lambung ke esophagus, sehingga menimbulkan rasa terbakar pada dada
Tn.Joni (intan)
2. Karena adanya infeksi E. histolytica yang menyerang eritrosit, menyebabkan perdarahan
rectal berulang hingga akhirnya menyebabkan penurunan kadar hb darah. (Intan)
3. Peradangan di usus seperti colitis ulseratif, penyakit chron, dll, infeksi bakteri, virus atau
parasite, IBS, Malabsorbsi, kanker usus besar (Dilla)
4. karena adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam ronggaperut sehingga
meningkatkan tekanan intra abdomen. (Siti)
5. karena sifngter esophagus bagian bawah gagal berkontraksi sebagaimana mestinya.
sfingter ini berfungsi sebagai katup satu arah yang mencegah isi perut mengalir ke atas
(latansya)
6. diagnosis sementara amoebiasis (dilla)
7. Antasid yang diberikan oleh dokter berfungsi untuk menetralkan asam lambung.(intan)
Tn.Joni
30th
SKEMA

Datang ke puskesmas

PEMERIKSAAN
ANAMNESIS PENUNJANG:
Keluhan: • Pemeriksaan lab:
• mencret-mencret o Hb 10.8g/dl
berdarah dan o Leukosit 6000ml3
bercampur lendir sejak • Pemeriksaan tinja entamoeba
3 hari yang lalu histolytica
• dada rasa terbakar • Tes serologi:
• nyeri di retrosternal o Helicobacter pylori (-)
• Rotgen dgn barium:
o reflux isi lambung di
esofagus bawah
• Endoskopi :
o Peradangan di mukosa
esofagus bawah dan
bagian atas gaster

DIAGNOSIS BANDING
• Disentri amuba
• Disentri basiler
DIAGNOSIS • Eschericae coli
Disentri
• Ca Colorectral

PENATALAKSANAAN
Metronidazol
Learning Objective
1. Jenis-jenis Gangguan lambung
2. Epidemiologi Gangguan lambung dan Disentri
3. Etiologi dan faktor risiko Gangguan lambung dan Disentri
4. Patofisiologi Gangguan lambung dan Disentri
5. Manifestasi klinis Gangguan lambung
6. Pendekatan diagnostik dan diagnosa banding Gangguan lambung
7. Penatalaksanaan Gangguan lambung secara holistik dan Disentri
8. Komplikasi dan prognosis Gangguan lambung dan Disentri
9. Kasus Gangguan lambung dan Disentri yang memerlukan rujukan

Pembahasan
1. Jenis-jenis Gangguan lambung

Gastritis
Gastritis merupakan peradangan pada lambung akibat asam lambung yang merusak lapisan
pelindung dinding lambung. Gastritis dapat melukai dinding lambung jika lapisan lambung
sudah terkikis habis terkena asam lambung, sehingga menimbulkan nyeri lambung, pendarahan,
dan tukak lambung. Beberapa penyebab gastritis yaitu berlebihan mengonsumsi minuman yang
mengandung alkohol atau kafein, mengalami stres, efek samping obat seperti ibuprofen atau
aspirin, bahkan infeksi atau gangguan autoimun.
Gastritis terkadang tidak menimbulkan gejala apa pun. Tapi, sebagian orang dapat mengalami
gejala seperti mudah merasa kenyang, perut terasa sakit, muntah, dan mual.

GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)


GERD atau dikenal dengan istilah penyakit refluks asam lambung adalah kondisi di mana asam
lambung beserta isi lambung naik ke esofagus atau kerongkongan, hingga menimbulkan iritasi
pada dinding esofagus dan nyeri ulu hati. Kondisi ini membuat penderitanya merasa kembung,
terasa asam di rongga mulut akibat asam lambung yang naik, bagian dada serta tenggorokan
terasa nyeri dan tersumbat, cegukan, bersendawa, batuk kering, hingga sulit untuk menelan
makanan.
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya GERD adalah kebiasaan mengonsumsi
minuman beralkohol, teh dan kopi; suka merokok; tidur setelah makan; dan kelebihan berat
badan. Jika dibiarkan, maka ini kondisi bisa bertambah parah.
Asam lambung bisa mengiritasi dinding esofagus sehingga terjadi peradangan, pendarahan,
penyempitan esofagus akibat jaringan parut dari luka yang mengering, bahkan meningkatkan
risiko terjadinya kanker esofagus.

Tukak Lambung
Tukak lambung adalah luka yang terdapat pada dinding lambung akibat terkikisnya lapisan
lambung. Luka ini juga bisa muncul pada bagian atas usus kecil. Penyebab yang paling umum
adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori dan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, seperti
aspirin, dalam jangka panjang.
Jika Anda menyukai makanan pedas, merokok, ataupun mengonsumsi minuman beralkohol,
maka Anda harus membatasinya. Sebab, hal-hal tersebut dapat memperburuk gejala yang ada.
Gejalanya yaitu nyeri berat pada bagian ulu hati, perut kembung, bersendawa, nafsu makan
berkurang, penurunan berat badan, cepat kenyang, mual dan muntah, perut terasa tidak nyaman
setelah mengonsumsi makanan berlemak, serta BAB berdarah.

Dispepsia
Kondisi ini merupakan kumpulan gejala yang muncul akibat adanya penyakit di bagian perut
atas. Gejalanya mencakup mudah kenyang, rasa tidak nyaman di perut, serta nyeri ulu hati
setelah makan. Selain itu, seseorang yang mengalami dispepsia juga dapat merasakan mual,
kembung, dan perut terasa panas.
Kondisi ini seringkali berkaitan dengan penyakit tukak lambung, gastritis, hingga kanker
lambung. Namun, terkadang munculnya dispepsia tidak berkaitan dengan adanya penyakit yang
khas. Kondisi ini disebut dispepsia fungsional.
Dispepsia sebenarnya masih bisa diatasi dengan menjalani pola makan sehat dan menjauhi
makanan atau minuman yang memicu munculnya gejala. Tapi, jika Anda mengalami gejala lain
berupa muntah darah, kesulitan untuk menelan makanan, sering muntah, perut membengkak,
hingga berat badan turun tanpa sebab yang jelas, maka segera konsultasikan kondisi Anda ke
dokter.

Kanker Lambung
Penyakit lambung lainnya yang berbahaya adalah kanker lambung. Kanker ini terjadi ketika sel-
sel kanker terbentuk di lapisan lambung Anda. Sel-sel ini bisa tumbuh menjadi tumor, dan
biasanya tumbuh secara perlahan selama bertahun-tahun.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa faktor
yang bisa meningkatkan risiko Anda terkena kanker lambung, di antaranya adalah infeksi
bakteri H. pylori, merokok, obesitas, berusia di atas 55 tahun, kebiasaan mengonsumsi daging
merah, garam, dan jarang mengonsumsi serat.

Gastroparesis
Merupakan penyakit di mana lambung lebih lambat mencerna makanan. Kondisi yang
mengganggu fungsi lambung ini terjadi ketika otot-otot dinding lambung tidak bekerja dengan
baik sehingga fungsi pencernaan pada lambung menjadi terganggu.
Gastroparesis muncul karena adanya gangguan pada saraf lambung. Ada beberapa faktor risiko
yang dapat meningkatkan kemungkinan sesesorang terkena kondisi ini, seperti diabetes,
gangguan tiroid, riwayat operasi pada saluran pencernaan, terapi radiasi pada bagian perut untuk
kasus kanker, dan efek samping obat-obatan, misalnya antinyeri golongan narkotik.
Penyakit pada lambung tidak hanya mengganggu aktivitas, tapi juga kesehatan secara
keseluruhan akibat terganggunya pencernaan dan asupan nutrisi. Oleh sebab itu, Anda harus
menjaga kesehatan lambung dengan lebih memerhatikan gaya hidup dan pola makan. Jika
mengalami gejala gangguan lambung, maka segera konsultasikan pada dokter untuk
mendapatkan penanganan yang tepat.

2. Epidemiologi Gangguan lambung dan Disentri

EPIDEMIOLOGI GERD

Penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan penyakit


gastrointestinal yang paling umum terjadi walau data epidemiologi di Indonesia tidak tercatat
secara jelas.
Global

Penyakit refluks gastroesofageal merupakan penyakit gastrointestinal yang paling umum. Sekitar
9 juta kunjungan poli rawat jalan/outpatient department per tahun terkait dengan GERD. Sekitar
5 dari 1000 orang per tahun di Amerika Serikat dan Inggris terkena GERD. Prevalensi GERD
diperkirakan sektiar 18.1%-27.8% di Amerika Utara, 8.8%-25.9% di Eropa, 2.5%-7.8% di Asia
Timur, 11.6% di Australia, dan 23% di Amerika Selatan. Prevalensi GERD di Asia jauh lebih
rendah dibandingkan negara-negara di Eropa dan Amerika, akan tetapi angka ini juga terus
meningkat dari tahun ke tahun sejak 1995 (p<0.0001), terutama di Asia Timur.

Indonesia

Epidemiologi GERD di Indonesia tidak tercatat dengan jelas. Data dari Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 30 dari 127 pasien (22.8%) yang menjalani
endoskopi gastrointestinal atas dengan indikasi dispepsia mengalami esofagitis. Angka kejadian
esofagitis juga meningkat dari 5.7% menjadi 25,18% dari tahun 1997-2002 dengan rata-rata
kasus per tahun 13.13%.

Mortalitas

Angka kematian akibat penyakit refluks gastroesofageal cukup rendah sekitar 0.46/100.000 jiwa
pada tahun 2000. Kematian terkait GERD ini umumnya disebabkan karena komplikasi dan
tindakan yang dilakukan. Sebanyak 1.9/1000 tindakan operasi GERD menyebabkan kematian,
sekitar 11% kematian terjadi karena komplikasi awal operasi antirefluks dan 4% karena
komplikasi lambat. Sebanyak 82.47% mortalitas tercatat karena esofagitis hemoragiik, 41.23%
pneumonia aspirasi, 25.14% ulkus perforasi, 15.9% ruptur esofagitis, dan 13.7% terkait striktur.

EPIDEMIOLOGI DISENTRI

Epidemiologi disentri menyebar di seluruh dunia dengan terpusat pada negara berkembang yang
memiliki tingkat sanitasi yang rendah. Angka insidensi disentri basiler terbanyak adalah pada
anak-anak dengan usia 1 hingga 4 tahun. Kondisi ini menjadikan disentri basiler sebagai
penyebab diare tersering pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun, di Afrika dan Asia Selatan.
Prinsip penularan disentri amuba adalah dengan tertelannya makanan yang terkontaminasi feses
yang mengandung kista matang. Oleh sebab itu, disentri amuba sering ditemukan pada
wisatawan yang melakukan perjalanan ke wilayah endemik.

Global
Dalam skala global, kasus disentri menyebar di seluruh dunia dengan jumlah kasus yang lebih
tinggi ditemukan pada negara berkembang.Hal ini dikarenakan buruknya sanitasi dan
tercemarnya sumber air bersih dengan kotoran manusia.

Disentri Basiler

Infeksi yang ditimbulkan oleh spesies Shigella tersebar secara bervariasi di seluruh dunia.
Kebanyakan Shigella flexneri tersebar di negara dengan ekonomi lemah, seperti di Afrika dan
Asia. Sedangkan Shigella sonnei banyak ditemukan di negara dengan ekonomi kuat.

Secara global angka kejadian disentri basiler dilaporkan sekitar 165 juta kasus per tahun. Kasus
disentri terbanyak terjadi pada negara berkembang yaitu sekitar 99% pada tahun 1999 yang
menyebabkan kematian hingga 1,1 juta per tahunnya. 61% atau sekitar 671.000 merupakan anak-
anak dengan usia kurang dari 5 tahun.

Penelitian yang dilakukan Aslam A, et al di negara maju seperti Amerika Serikat


diperkirakan angka kejadian disentri sekitar 450.000 per tahunnya. Shigella sonneimerupakan
penyebab utama, yakni sebanyak 77% atau sekitar 346.500 kasus pertahunnya. Sedangkan
penyebab utama disentri basiler pada negara berkembang adalah Shigella
dysenteriae dan Shigella flexneri, yang menyebabkan sekitar 28 kasus dari 100.000 anak-anak
dengan usia kurang dari 4 tahun. Angka kejadian disentri pada anak-anak yang berusia antara 4
sampai 11 tahun adalah 25 kasus dari 100.000. Shigellamerupakan penyebab terbanyak
terjadinya diare pada anak dibawah 5 tahun di Sahara Afrika dan Asia Selatan.

Studi pernah dilakukan oleh Chang, Zharoui et al di negara Cina dalam kurun waktu 2004
hingga 2014, dengan metode analisis data surveilans yang didapatkan dari sistem pelaporan
infeksi nasional dan sistem surveilans rumah sakit.. Hasil dari penelitian ini diperoleh sekitar 3
juta kasus disentri pada tahun 2004 hingga 2014. Adapun kasus paling banyak adalah pada anak
usia kurang dari 1 tahun, dengan angka insiden kejadian sebesar 228.59 kasus per 100.000 orang
pertahunnya, dan anak usia 1 hingga 4 tahun sebesar 92.58 kasus per 100.000 orang per tahun.

Disentri Amuba

Infeksi Entamoeba Histolytica paling banyak terjadi di negara subtropis dan tropis seperti negara
negara di Amerika tengah dan selatan, Asia Pasifik dan Afrika. Di benua Afrika dan Asia
tenggara infeksi Entamoeba Histolytica menjadi salah satu penyebab terjadinya diare berat pada
anak dengan usia kurang dari 5 tahun yang kemudian berpotensi tinggi menyebabkan kematian.

Menurut data yang di release oleh Geo Sentinel surveillance Network, dimana telah dilakukan
sistem monitoring berskala internasional disebutkan bahwa Entamoeba histolytica merupakan
penyebab infeksi saluran pencernaan terbanyak ketiga yang terjadi pada seseorang yang telah
bepergian ke daerah endemik. Diperkirakan sebanyak 14 dari setiap 1000 orang yang telah
bepergian ke daerah endemik terinfeksi Entamoeba histolytica.

Indonesia
Data epidemiologi terkait kasus disentri di Indonesia belum banyak ditemukan

Disentri Basiler

Berdasarkan data yang dibuat oleh World Health Organization (WHO) disebutkan bahwa kasus
disentri di Aceh pada tahun 2000 didapatkan 3032 kasus terjadi pada Anak usia kurang dari 5
tahun dan terdapat 10589 kasus pada anak usia lebih dari 5 tahun. Kasus disentri di Aceh
mengalami penurunan pada tahun 2001, dimana anak usia kurang dari 5 tahun sebanyak 2295
kasus dan pada anak usia lebih dari 5 tahun sebanyak 9048 kasus

Disentri Amuba

Menurut data yang direlease oleh media litbang kesehatan, infeksi Entamoeba histolyticayang
terjadi di Indonesia berkisar antara 10% hingga 18%. Sumber data lain yakni studi retrospektif
deskriptif yang dilakukan oleh Purnomo Budi dan Hegar Badriul pada januari 2009 hingga
desember 2010 di Jakarta, terdapat sebanyak 6.5% anak mengalami diare berdarah dimana pada
feses ditemukan trofozoit.
Mortalitas
Angka kematian yang tinggi akibat disentri dapat ditemukan pada kelompok rentan, diantaranya
bayi (terutama yang tidak mendapatkan air susu ibu), anak malnutrisi, dan usia >50 tahun.
Disentri Basiler

Angka kematian akibat

Secara global angka kematian akibat kasus disentri mencapai 1,1 juta per tahun, dimana kasus
disentri terbanyak terjadi di negara berkembang, yaitu sekitar 99% pada tahun 1999. Angka
kejadian shigellosis dilaporkan sekitar 165 juta kasus per tahun. Sedangkan angka kematian
akibat disentri di Cina pada tahun 2004 adalah sebesar 0.028% menjadi 0.003% di tahun 2014

Disentri Amuba

Setiap tahunnya sekitar 50 juta orang terinfeksi amebiasis menyebabkan kematian. Kematian
tertinggi terjadi pada kasus kolitis ekstensif fulminan sebesar 40% dan amebiasis hepar dengan
ruptur abses perikardium sekitar 30%.

3. Etiologi dan faktor risiko Gangguan lambung dan Disentri

ETIOLOGI GERD

Etiologi terjadinya penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux disease (GERD)


adalah paparan refluksat gaster berlebih ke dalam esofagus yang berlangsung secara kronis.
Refluksat gaster tersebut merupakan campuran dari asam lambung, sekresi asam empedu, dan
juga pankreas. Proses refluks ini terjadi secara multifaktorial, tetapi paling sering disebabkan
karena gangguan katup esofagus bawah.

Faktor Risiko

Faktor risiko yang mendorong terjadinya GERD antara lain adalah:


• Obesitas
• Jenis kelamin laki-laki
• Usia tua
• Gaya hidup: merokok (baik aktif maupun pasif), konsumsi alkohol dan kafein, gaya
hidup sedentary
• Hernia hiatus
• Diabetes mellitus
• Jenis makanan: makanan pedas, asam, berlemak, dan gorengddeep fried
• Pola diet: makan kurang dari 3 kali sehari, makan dalam porsi terlalu besar
• Posisi duduk dan tiduran setelah makan
• Penyakit yang memicu refluks: Zollinger-Ellison
• Kelainan anatomis: kantung asam/acid pocket lebih besar
• Obat-obatan: nitrat, penghambat sawar kalsium/calcium channel blocker, agnosis beta,
antikolinergik.

ETIOLOGI DISENTRI

Berdasarkan etiologinya, disentri pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu disentri bakteri dan
disentri amuba. Disentri bakteri atau yang dikenal juga dengan disentri basiler atau shigellosis,
disebabkan oleh bakteri Shigella sp dan merupakan penyebab disentri tersering pada anak.
Sedangkan disentri amuba atau amebiasis disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
Penularan disentri basiler terjadi melalui makanan ataupun minuman yang tidak bersih dan
terkontaminasi Shigella sp, kontak dari orang ke orang atau lalat, serta aktivitas seksual yang
mengakibatkan kontak dengan feses orang yang terinfeksi difteri. Bakteri ini merupakan bakteri
gram negatif, non-motil, fakultatif anaerob dan tidak berspora.
Sama halnya dengan disentri basiler, penularan disentri amuba terjadi secara fekal oral.
Rendahnya sanitasi merupakan faktor utama dalam penyebaran disentri amuba. Makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses yang mengandung kista Entamoeba histolyticamerupakan
sumber penularan pada kasus ini. Kista yang masuk melalui saluran pencernaan akan mengalami
eksitasi didalam usus halus dan mengeluarkan trofozoit yang kemudian bermigrasi ke usus besar
yang selanjutnya trofozoit akan memperbanyak diri melalui pembelahan biner dan menghasilkan
kista. Selain saluran pencernaan trofozoit juga akan masuk kedalam pembuluh darah sehingga
terjadi infeksi ekstraintestinal.

Faktor Risiko Disentri


Disentri dapat terjadi pada semua orang. Namun, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko seseorang terkena disentri, yaitu:

• Berusia sangat muda (anak-anak) atau sangat tua (lansia di atas 65 tahun)
• Memiliki anggota keluarga atau kerabat yang sedang menderita disentri
• Tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan baik
• Memiliki gangguan sistem imun, misalnya akibat mengonsumsi obat penekan sistem
imun (imunosupresan), menjalani kemoterapi, atau menderita HIV
• Memiliki kebiasaan seks anal.

4. Patofisiologi Gangguan lambung dan Disentri


PATOFISIOLOGI GERD

Patofisiologi penyakit refluks gastroesofageal merupakan proses yang kompleks dan


multifaktorial. Pemahaman tentang patofisiologi gastroesophageal reflux disease (GERD) juga
terus mengalami perkembangan. Secara garis besar, GERD terjadi karena masuknya konten dari
gaster ke dalam esofagus atau refluks gastroesofageal (RGE) yang berlangsung secara kronis.
Refluks merupakan salah satu proses yang secara fisiologi dapat terjadi, akan tetapi sistem
gastrointestinal memiliki mekanisme anti-refluks yang sangat baik. Gangguan mekanisme anti-
refluks ini dapat menyebabkan RGE yang berlangsung secara kronis. Hal ini terjadi karena
beberapa faktor, di antaranya paparan konten gaster, masalah sfingter esofagus, gangguan
motilitas gastrointestinal, hipersensitivitas esofagus, hernia hiatus, kelainan mukosa.

Paparan Refluksat

Refluksat adalah campuran dari asam lambung, asam empedu, enzim-enzim pencernaan,
patogen, serta zat perusak lainnya. Refluksat pada umumnya bersifat asam, sehingga dapat
merusak lapisan epitel saluran pencernaan dan iritasi esofagus. Dalam keadaan normal, refluks
lambung ini dapat dicegah dengan mekanisme antirefluks. Volume refluksat serta durasi paparan
refluks dapat membuat mekanisme antirefluks lama kelamaan menjadi tidak efektif. Kegagalan
mekanisme antirefluks akan mengakibatkan zat asam naik ke esofagus dan merusak integritas
sawar mukosa/mucosal barrier. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan esofagitis dan
displasia esofagus.

Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat
penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. Sedangkan
yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik
dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan
intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.

Patofisiologi disentri

Disentri basiler

Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan
diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat inflamasi yang mengandung
leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah. Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap
pH yang rendah, maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air,
makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus
halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga
terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ilium hanya
hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal,
nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada
daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung.

S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, dan
toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin
tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel
mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang
khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5 cm sehingga
dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan
peritoneum.

Disentri Amuba

Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besardapat berubah menjadi
patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor
yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik
faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya
mempunyai peran.

5. Manifestasi klinis Gangguan lambung

Gejala Gangguan Pencernaan


Gangguan pencernaan dapat menimbulkan beragam gejala, seperti:

• Sulit menelan
• Sensasi terbakar di dada (heartburn)
• Mual
• Muntah
• Perut kembung
• Sakit maag
• Sakit perut
• Diare
• Sembelit
• Muntah darah atau BAB berdarah
• Berat badan naik atau malah turun
Gejala Klinis

Disentri Basiler

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari sampai 4 minggu. Pada
fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare disertai demam yang mencapai 400C.
Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan
nafsu makan menurun.

Disentri Amuba

Carrier (CystPasser) Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan
karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus.

Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan suatu
keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih.
Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati yang terasa
hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan atau saat
berbaring. Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi,
disfagia hingga odinofagia.

Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia
atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada
non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita
GERD.

Karakteristik dispepsia secara umum meliputi rasa penuh pasca-makan, cepat kenyang, rasa
terbakar di ulu hati berhubungan dengan GERD, nyeri epigastrium, nyeri dada non-jantung, dan
gejala kurang spesifik seperti mual, muntah, kembung, bersendawa, distensi abdomen. Pasien
dispepsia fungsional biasanya mengalami gejala intermiten dalam jangka panjang diselingi
periode remisi. Membedakan dispepsia organik dengan fungsional memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang akurat.

Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan nyeri
perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti
artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara
sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemia,
demam, gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan
klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase
remisi.

6. Pendekatan diagnostik dan diagnosa banding Gangguan lambung


DIAGNOSIS GERD

Diagnosis awal penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux disease (GERD)


dapat ditegakkan secara klinis melalui penilaian dokter dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan apabila terdapat keraguan dalam diagnosis atau terjadi
gagal terapi serta dapat digunakan untuk menilai komplikasi dan menyingkirkan diagnosis
banding. Hasil pemeriksaan penunjang dapat mendukung diagnosis awal dan menjadikan GERD
diagnosis definitif ataupun tidak. Sistem skoring seperti Gastroesophageal Reflux Disease
Questionnaire (GERD-Q) dapat digunakan untuk membantu diagnosis awal.

Anamnesis

Anamnesis merupakan kunci utama dalam diagnosis GERD. Tanda dan gejala yang sering kali
muncul adalah:
▪ Gejala tipikal
▪ Rasa terbakar atau asam/heartburn
▪ Regurgitasi
▪ Disfagia
▪ Gejala atipikal
▪ Batuk kronis
▪ Suara serak, terutama di pagi hari
▪ Nyeri ulu hati
▪ Nyeri dada yang menyerupai angina pektoris
▪ Mengi
▪ Hipersalivasi
▪ Rasa mengganjal di tenggorokan/sensasi globus
▪ Odinofagia
▪ Mual
▪ Otitis media
▪ Karies

Ada beberapa pemeriksaan untuk diagnosis GERD yaitu:


1. Pemeriksaan Esofagogram.Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan
lipatan mukosa esofagus, erosi dan striktur. Pemeriksaan ini mempunyai akurasi 24,6% untuk
esofagitis ringan, 81,6% esofagitis sedang, dan 98,7% esofagitis berat.
2. Monitoring pH intra esofagus 24 jam.Pemeriksaan ini berhubungan dengan episode reflux
dan gejala-gejalanya serta
NERD. Akurasi pemeriksaan ini mencapai 96%.
3. Tes Perfusi Berstein. Digunakan untuk menilai sensitivitas mukosa esofagus terhadap paparan
asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCl 0,1% yang dialirkan ke esofagus dan
menggunakan NaCl 0,9% sebagai kontrol. Sensitivitas pemeriksaan ini 78 % dan spesifisitas
84%.
4. Tes PPI. Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang
diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini
mempunyai sensitivitas 75% dan spesitivitas 55%.
5. Manometri esofagus. Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi
pada pasien NERD terutama untuk tujuan penelitian. Pemeriksaan ini juga untuk menilai
gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
6. Endoskopi. Diindikasikan: Menilai adanya kerusakan mukosa esofagus mulai erosi sampai
keganasan. Mengambil sampel biopsi.
Kecurigaan adanya esofagus Barrett’s.
7. Histopatologi. Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan.
Tetapi bukan untuk memastikan NERD.

7. Penatalaksanaan Gangguan lambung secara holistik dan Disentri

PENATALAKSANAAN GERD

1. Modifikasi gaya hidup. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan faktor risiko seperti
berhenti merokok, menurunkan berat badan, menghindari makanan yang berpotensial
menyebabkan reflux seperti coklat dan makanan yang mengandung mint, meninggikan
kepala dan tempat tidur, dan menghindari makan sebelum tidur.

2. Farmakologi.
Pengobatan GERD
3. Pembedahan antireflux

Modalitas ini bersifat individu. Terapi ini dilakukan apabila dengan pengobatan medikamentosa
gagal. Operasi dilakukan bila pemeriksaan manometri menunjukkan motilitas esofagus normal.
Indikasi lain adalah untuk memperbaiki diafragma pada kasus hiatus hernia.

4. Terapi endoskopi

Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing,
dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal

junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
5. Follow up. Menurut beberapa studi observasi, bila selama 10 tahun tidak ada perubahan
gejala, maka sebaiknya dilakukan endoskopi ulang dan selanjutnya dilakukan setiap 10 tahun.

Komplikasi

1. Erosif esofagus. Keadaan ini paling sering terjadi yaitu suatu inflamasi mukosa esofagus.
2. Esofagus barrett’s. Adalah komplikasi jangka panjang. Benyak penelitian sudah membuktikan
ada hubungan antara reflux jangka panjang dengan insiden esofagus Barrett’s.
3. Striktur esofagus. Jika reflux berlangsung secara kronik, dan inflamasi berlangsung lama dapat
menyebabkan striktur.

Penatalaksanaan Disentri

Disentri Basiler

Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika.
Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila
tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Resistensi terhadap sulfonamid,
streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya
resisten terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kumann terhadap
ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari.
Begitu pula dengan trimetoprimsulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-
5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.

Disentri amuba

Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20
hari. Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari.
Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-
10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10
hari. Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga kali sehari
selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4
minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.

Rehidrasi
Pada kasus disentri, tubuh akan kehilangan cairan, elektrolit, dan zinc, yang disebabkan oleh
terjadinya diare. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, maka tubuh
akan mengalami dehidrasi. Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan kondisi klinis
pasien. Resusitasi cairan pada kasus disentri bergantung pada derajat dehidrasi yang dialami oleh
pasien.

8. Komplikasi dan prognosis Gangguan lambung dan Disentri

GERD
➢ Esofagitis
Terjadinya esofagitis apabila isi beserta asam lambung masuk ke dalam esofagus
kemudian merusak permukaan mukosa dari esofagus. Tubuh kemudian merespon hal
tersebut sehingga terjadilah suatu proses inflamasi. Terjadinya suatu respon inflamasi ini
bertujuan untuk menetralisir agen yang telah rusak dan memulai proses penyembuhan.
Namun apabila kerusakan yang ditimbulkan pada esofagus tersebut cukup dalam, lama
kelamaan akan terbentuk suatu tukak/ulkus dimana ulkus tersebut sangat rapuh. Ulkus yang
meradang tersebut lama-kelamaan akan mengikis mukosa hingga sampai ke pembuluh darah
esofagus (esofagitis erosive) sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
perdarahan pada esofagus.
➢ Striktur
Striktur esofagus disebabkan karena ulkus-ulkus yang terdapat pada esofagus telah pulih
namun membentuk suatu jaringan fibrosis. Selanjutnya jaringan fibrosis tersebut lama
kelamaan akan menyusut dan menyempit sehingga lumen esofagus pun ikut menyempit.
Penyempitan ini disebut dengan striktur. Apabila penyempitan ini semakin parah, hal ini
dapat menyebabkan makanan yang masuk ke dalam esofagus tidak dapat sampai ke lambung
karena adanya obstruksi yang disebabkan oleh penyempitan/striktur pada lumen esofagus
tersebut.
➢ Barret esofagus
Merupakan bentuk komplikasi dari gerd derajat berat dimana terjadi metaplasia dari sel
epitel squamous berubah menjadi esofagus columnar. Barret merupakan faktor resiko
terjadinya adenoca esofagus. Perubahan epitel dari squamous menjadi columnar pada
esofagus terjadi pada saat proses penyembuhan dari esofagitis erosive namun selama dalam
masa proses pemulihan tersebut, refluks asam lambung ke esofagus juga terus berlangsung.
Akibat adanya paparan yang berulang-ulang terhadap asam lambung tersebut maka sel epitel
squamous esofagus tersebut lama kelamaan bermetaplasia jadi epitel sel columnar.
➢ Mallory-Weiss tear
Merupakan mukosa linear yang robek(ruptur) pada gastroesofageal junction yang sering
diakibatkan oleh muntah, ketika tear mengganggu submukosa arteriola, dapat menyebabkan
perdarahan cepat. Endoskopi adalah metode diagnostic terbaik, dan perdarahan aktif tear
dapat diobati dengan menggunakan endoskopi yaitu injeksi epinefrin, koagulan, hemoclips
atau ligasi band. Berbeda dengan peptic ulcers, Mallory-weiss tear non bleeding dengan
sentinel clot pada alasnya jarang rebleeds dan dengan demikian tidak diperlukan terapi
endoskopi.

Prognosis
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease / GERD) cukup baik
asalkan pasien mau memodifikasi gaya hidup dan menjalani pengobatan dengan patuh.
GERD yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi, di antaranya berupa Barrett
esofagus dan kanker esofagus.

Disentri
• Dehidrasi
Diare dan muntah yang parah dapat menyebabkan dehidrasi berat. Hal ini bisa
membahayakan jiwa bila tidak segera ditangani, terutama pada anak-anak.
• Kadar kalium rendah
Kadar kalium dapat menjadi sangat rendah karena kalium keluar bersama air saat muntah
atau diare. Kondisi ini bisa menyebabkan gangguan irama jantung yang mengancam nyawa.
• Sindrom hemolitik uremik
Sindrom hemolitik uremik dapat terjadi akibat racun yang dihasilkan bakteri Shigella
masuk ke dalam aliran darah. Racun ini dapat merusak sel darah merah dan pembuluh pada
organ tubuh, terutama ginjal.
• Infeksi darah
Bakteri atau ameba penyebab disentri dapat masuk ke aliran darah. Kondisi ini jarang
terjadi dan umumnya hanya menimpa seseorang dengan daya tahan tubuh lemah, seperti
penderita HIV/AIDS atau kanker.
• Kejang
Meski jarang terjadi, diarea terkadang dapat menyebabkan kejang pada anak-anak.
• Postinfectious arthritis
Kondisi ini dialami oleh sekitar 2% penderita disentri yang disebabkan oleh bakteri
Shigella flexneri. Gejalanya meliputi iritasi mata, nyeri sendi, dan rasa sakit saat buang air
kecil. Keluhan tersebut dapat dirasakan hingga beberapa bulan atau tahun.
• Abses hati
Ameba dapat menyebar dari usus dan menyebabkan abses hati. Pada kondisi yang lebih
parah, ameba juga dapat menyebar ke otak dan paru-paru.
• Megakolon
Megakolon dapat terjadi jika infeksi menyebabkan peradangan yang berat. Peradangan
ini dapat menyebabkan usus besar mengembang dan menipis, bahkan bisa sampai pecah.
• Prolaps rektum
Ketika disentri menyebabkan diare yang sangat parah, otot di bagian dubur dapat
melemah. Hal ini dapat menyebabkan rektum atau bagian akhir dari usus besar keluar dari
dubur.

prognosis
Secara umum disentri memiliki prognosis yang baik apabila diberikan tatalaksana yang
cepat dan tepat. Tatalaksana yang terlambat dan tidak tepat pada disentri akan menyebabkan
komplikasi mulai dari dehidrasi, abses hepar, perforasi kolon, obstruksi usus, prolaps
rektum, bakteremia, hingga hipovolemik berat, yang dapat berujung pada kematian.
9. Kasus Gangguan lambung dan Disentri yang memerlukan rujukan
Gerd
Kasus GERD membutuhkan operasi bila penderita mengalami satu atau beberapa kondisi
berikut:
• Tidak ada perbaikan gejala setelah ia mengonsumsi obat-obatan dan melakukan
perubahan gaya hidup sesuai yang dianjurkan oleh dokter.
• Menderita GERD parah yang disertai dengan komplikasi, seperti Barrett esophagus atau
striktur (penyempitan).
• Memiliki gejala penyerta yang tidak biasa, seperti asma atau masuknya cairan atau
makanan dari saluran cerna ke saluran napas.
• Pasien tidak ingin terus-menerus mengonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama atau
tidak dapat mengonsumsi obat karena alasan medis tertentu.

Disentri
Disentri amoeba berat Penderita ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja, tetapi
juga memerlukan infuse atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti disentri, amoeba
ringan dan sedang perlu ditambah juga emetin atau dehidometin. Obat ini tidak diberikan
secara suntikan intra muscular atau subkutan yang dalam. Dosis emetin 1mg/kgBB sehari
selama 3-5 hari. Dehidroemetin 11,5 mg/kg BB sehari selama 3-5 hari.
Bakteri (Disentri basiler): Shigella Penyebab disentri yang terpenting dan tersering (±
60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan
mengancam jiwa dikarenakan oleh Shigella. Escherichia coli enteroinvasif (EIEC),
Salmonella, Campylobacter jejuni, terutama pada bayi. Amoeba (Disentri amoeba),
dikarenakan Entamoeba hystolitica, bertambah sering pada anak usia > 5 tahun.
Pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis anak atau penyakit dalam apabila terdapat
tanda tanda komplikasi, keluhan tidak membaik dengan terapi adekuat, dan disertai gizi
buruk.
Daftar Pustaka

Buttar NS, Falk GW. Pathogenesis of gastroesophageal reflux and Barrett esophagus. Mayo Clin
Proc. 2001 Feb. 76(2):226-34.
Centers for Disease Control and Prevention. Amebiasis. 2017. Available from:
https://www.cdc.gov/parasites/amebiasis/

DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2005;100:190-200.
Hom C, Vaezi MF. Extra-esophageal manifestations of gastroesophageal reflux disease:
diagnosis and treatment. Drugs 2013; 73: 1281-1295.

Kantor, Micaella & Abrantes, Anarella & Estevez, Andrea & Schiller, Alan & Torrent, Jose &
Gascon, Jose & Hernandez, Robert & Ochner, Christopher. (2018). Entamoeba Histolytica:
Updates in Clinical Manifestation, Pathogenesis, and Vaccine Development. Canadian Journal of
Gastroenterology and Hepatology. 2018. 1-6. 10.1155/2018/4601420.

NHS.uk (Diakses pada 2019). Dysentery

Parija, Subhash & Garg, Atul & Pushpa, K & Khairnar, Krishna & Tamilselvan, Piriyatharisini.
(2010). Polymerase chain reaction of diagnosis of intestinal amebiasis in Puducherry. Indian
journal of gastroenterology : official journal of the Indian Society of Gastroenterology. 29. 140-
2. 10.1007/s12664-010-0033-0.

PGI. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal


Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2016.

Pocket Book of Hospital Care in Children:Guidelines for the Management of Common


Childhood Illnesses. Dysentery. World Health Organization. 2013;II:143-146. Available at:

Prabhurajeshwar C, Kelmani C. Shigellosis: A Conformity Review of the Microbiology,

Pathogenesis and Epidemiology with Consequence for Prevention and Management issues.
Journal of Pure and Applied Microbiology. 2018;12(1):405-417.

Rassameehiran S, Klomjit S, Hosiriluck N, Nugent K. Meta-analysis of the effect of proton


pump inhibitors on obstructive sleep apnea symptoms and indices in patients with
gastroesophageal reflux disease. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2016 Jan. 29 (1):3-6.

Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reux Disease GERD
di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Cermin Dunia Kedokteran 2017;447:329-32.
Talley NJ, Napthali KE. Endoscopy in Symptomatic Gastroesophageal Reflux Disease: Scoping
Out Whom to Target. JAMA Intern Med. 2014 Jan 27.
Williams PCM, Berkley JA. Guidelines for the treatment of dysentery (shigellosis): a systematic
review of the evidence. Paediatrics and International Child Health. 2018;38(sup1):S50–S65.
Available at: https://doi.org/10.1080/20469047.2017.1409454

Willliams P, Berkley JA. Dysentry (Shigellosis) Current WHO Guidelines and The WHO
Essential Medicine List for Children. 2016. Available at:
https://www.who.int/selection_medicines/committees/expert/21/applications/s6_paed_antibiotics
_appendix5_dysentery.pdf

Anda mungkin juga menyukai