Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK 12 GANGGUAN

SISTEM KARDIOVASKULAR

SKENARIO 3

OLEH

Intan Permatasari Putri S (61119094)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2020/2021
SKENARIO 3

“Sesak Napas”

Tuan Chandra, 50 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas


terutama waktu melakukan aktifitas fisik meski aktivitas yang ringan sejak 2 bulan yang
lalu. Satu tahun terakhir ini keluhan ini semakin parah, kedua kaki terasa berat bila
berjalan dan perut semakin membesar.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan dyspnoe, kesadaran kompos mentis, gelisah dan
badan berkeringat dingin, tekanan darah 160/110 mmHg, nadi 110 kali/menit, JVP
(Jugular Venous Pressure) meningkat, asites (+) . Pada pemeriksaan Foto Thorak
terlihat tanda pembesaran jantung. Dokter menganjurkan agar Tn. Chandra dirawat di
Rumah Sakit.

Bagaimana anda menjelaskan kemungkinan penyakit yang diderita oleh Tuan


Chandra?

1
Terminologi asing

1. Asites: Efusi dan akumulasi cairan serosa dirongga abdomen (Dorland ed. 29,
hal. 78) (Siti).
2. Compos mentis: Sadar sepenuhnya (Dorland hal. 175, ed. 29) (Ragil)
3. Kardiomegali: pembesaran jantung yang abnormal akibat hipertrofi dan dilatasi
(Dorland, ed. 32, hal. 343) (Nadia)
4. Dyspnea: pernafasan yang sukar (sesak) (Dorland ed.30, hal. 249) (Intan)
5. JVP (Jugular Venous Pressure): Pengukuran tidak langsung dari pengukuran
vena kava, desakan darah dalam vena tepat dengan serambi kanan untuk
mengetahui tekanan pada atrium kanan (Pemeriksaan Klinik Dasar 2020) (Siti).

2
Rumusan masalah

1. Apa penyebab pembesaran jantung pada Tn. Chandra? (Nuri)


2. Mengapa pada pemeriksaan fisik ditemukan asites pada Tn. Chandra? (Retvy)
3. Bagaimana hubungan sesak nafas dan kardiomegali? (anisyah)
4. Apa yang menyebabkan kedua kaki Tn. Chandra terasa berat saat berjalan dan
perut Tn. Chandra semakin membesar? (Nadia)
5. Apa kemungkinan diagnosis yang dialami oleh Tn. Chandra? (Intan)
6. Apa yang menyebabkan pemeriksaan JVP Tn. Chandra menidngkat? (Intan)
7. Apakah ada hubungan aktivitas fisik dengan sesak nafas yang dialami oleh Tn.
Chandra? (Dilla)

3
Hipotesis

1. Kerdiomegali disebabkan oleh meningkatnya kerja otot jantung yang bekerja


lebih berat dari biasanya yang menyebabkan terjadinya penebalan lapisan di
jantung. (Gelfis)
2. Asites pada Tn. Chandra terjadi akibat ketidakmampuan otot jantung untuk
memompa cairan dan darah ke seluruh tubuh. Kondisi ini dapat membuat cairan
Kembali ke paru-paru atau organ lain serta bocor ke rongga peritoneal. (Siti)
3. Kardiomegali dapat menyebabkan aritmia sehingga mempengaruhi aliran darah
menuju paru dan terjadi sesak nafas. (Anisyah)
4. Kondisi perut membengkak dan kaki terasa berat ketika berjalan disebabkan
karena janutng bocor. Kombinasiantara peningkatan tekanan di pembuluh darah
serta kompensasi retensi natrium dan air, membuat cairan berkumpul di bagian
perut, hati, dan kaki. Alhasil, bagian tersebut pun akan mengalami
pembengkakan. (Ragil)
5. Gagal jantung kongestif. (Intan)
6. Diakibatkan adanya kegagalan jantung dalam memompa darah ke dalam
sirkulasi. (Intan)
Tekanan vena jugularis adalah pengukuran tidak langsung dari tekanan vena
cava. Vena cava menentukan gambaran dari kondisi atrium kanan pada jantung.
Meningkatnya JVP diakibatkan adanya kegagalan jantung dalam memompa
darah ke dalam sirkulasi. Sehingga dapat diakatan jantung Tn. Chandra
khususnya pada atrium kanan mengalami gangguan dalam memompa darah.
(Ragil)
7. Aktivitas fisik yang berlebihan bisa menyebabkan sesak nafas dikarenakan
kerja jantung menjadi lebih banyak. (Dilla)

4
SKEMA
Tn. Chandra 50 tahun

Puskesmas

ANAMNESIS :
Pemeriksaan Fisik :

KELUHAN UTAMA : • Dyspnea,


• kesadaran kompos
PEMERIKSAAN
• Sesak nafas, onset : ketika mentis,
melakukan aktivitas fisik • gelisah dan badan PENUNJANG:
meski yang ringan, durasi: berkeringat dingin,
Foto thorax: terlihat tanda
- 2 bulan yang lalu. • tekanan darah 160/110
mmHg, pembesaran jantung
KELUHAN TAMBAHAN : • nadi 110 kali/menit, (Kardiomegali)
• JVP meningkat,
• Kedua kaki terasa berat
• asites (+)
bila berjalan, perut
membesar (setahun
terakhir)

DIAGNOSIS
BANDING:
DIAGNOSIS :
• Pneumonia
Gagal jantung kongestif • PPOK
• ARDS
• Emboli paru
• Gagal ginjal
PENATALAKSANAAN kronik dan
sindrom
Dokter menganjurkan agar Tn. nefrotik
Chandra dirawat dirumah • Sirosis hepatic
sakit

5
LEARNING OBJEKTIF

1. Menjelaskan etiologi dan sesak nafas

2. Menjelaskan patofisiologi sesak nafas

3. Menjelaskan manifestasi klinis gagal jantung

4. Menjelaskan pendekatan diagnosis banding dari sesak nafas

5. Menjelaskan penatalaksanaan sesak nafas akibat jantung

6. Menjelaskan komplikasi dan prognosis sesak nafas akibat jantung

7. Menjelaskan sesak nafas akibat jantung yang memerlukan rujukan

6
Pembahasan

1. Etiologi dan Sesak nafas

Dispnea adalah gejala penyakit, bukan penyakit itu sendiri. Dengan demikian,
etiologinya dapat ditetapkan sebagai timbul dari empat kategori utama: pernapasan,
jantung, neuromuskular, psikogenik, penyakit sistemik, atau kombinasi dari semuanya.
Penyebab pernapasan mungkin termasuk asma, eksaserbasi akut atau gangguan paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, emboli paru, keganasan paru, pneumotoraks,
atau aspirasi. Penyebab kardiovaskular mungkin termasuk gagal jantung kongestif,
edema paru, sindrom koroner akut, tamponade perikardial, defek katup jantung,
hipertensi pulmonal, aritmia jantung, atau pirau intrakardiak.

Penyebab neuromuskular mungkin termasuk trauma dada dengan fraktur atau


flail chest, obesitas masif, kyphoscoliosis, disfungsi sistem saraf pusat (SSP) atau
sumsum tulang belakang, kelumpuhan saraf frenikus, miopati, dan neuropati. Penyebab
psikogenik mungkin termasuk sindrom hiperventilasi, dispnea psikogenik, sindrom
disfungsi pita suara, dan aspirasi benda asing. Penyakit sistemik lainnya mungkin
termasuk anemia, gagal ginjal akut, asidosis metabolik, tirotoksikosis, sirosis hati,
anafilaksis, sepsis, angioedema, dan epiglotitis.

2. Patofisiologi sesak nafas

Dispnea adalah sensasi kehabisan udara dan tidak mampu bernapas cukup cepat
atau cukup dalam. Ini hasil dari beberapa interaksi sinyal dan reseptor di SSP,
kemoreseptor reseptor perifer, dan mekanoreseptor di saluran napas bagian atas, paru-
paru, dan dinding dada.

Pusat pernapasan otak terdiri dari 3 pengelompokan neuron di otak: kelompok medula
dorsal dan ventral dan kelompok pontin. Pengelompokan pontine selanjutnya
diklasifikasikan menjadi pusat pneumotaksik dan apneustik. Medula dorsal
bertanggung jawab untuk inhalasi; medula ventral bertanggung jawab untuk
pernafasan; pengelompokan pontine bertanggung jawab untuk memodulasi intensitas
dan frekuensi sinyal meduler di mana kelompok pneumotaxic membatasi inhalasi dan
pusat apneustik memperpanjang dan mendorong inhalasi. Masing-masing kelompok ini
berkomunikasi satu sama lain untuk bekerja sama untuk potensi alat pacu jantung
respirasi.

Mekanoreseptor yang terletak di saluran udara, trakea, paru-paru, dan pembuluh paru
ada untuk memberikan informasi sensorik ke pusat pernapasan otak mengenai volume
ruang paru-paru. Ada 2 jenis utama sensor toraks: spindel regangan yang beradaptasi
lambat dan reseptor iritan yang beradaptasi cepat. Sensor spindel kerja lambat hanya
menyampaikan informasi volume. Namun, reseptor kerja cepat merespons baik volume
informasi paru-paru maupun pemicu iritasi kimia seperti zat asing berbahaya yang

7
mungkin ada. Kedua jenis sinyal mekanoreseptor melalui saraf kranial X (saraf vagus)
ke otak untuk meningkatkan laju pernapasan, volume pernapasan, atau untuk
merangsang pola pernapasan batuk yang salah akibat iritasi di saluran napas.

Kemoreseptor perifer terdiri dari karotis dan badan aorta. Kedua situs berfungsi
untuk memantau tekanan parsial oksigen arteri dalam darah. Namun, hiperkapnia dan
asidosis meningkatkan sensitivitas sensor ini, sehingga memainkan peran parsial dalam
fungsi reseptor. Badan karotis terletak di percabangan arteri karotis komunis, dan badan
aorta terletak di dalam lengkung aorta. Setelah dirangsang oleh hipoksia, mereka
mengirim sinyal melalui saraf kranial IX (saraf glossopharyngeal) ke nukleus traktus
solatarius di otak yang, pada gilirannya, merangsang neuron rangsang untuk
meningkatkan ventilasi. Diperkirakan bahwa badan karotis terdiri dari 15% dari total
kekuatan pendorong respirasi.

Kemoreseptor sentral memegang mayoritas kendali atas dorongan pernapasan. Mereka


berfungsi melalui penginderaan perubahan pH dalam SSP. Lokasi utama di dalam otak
meliputi permukaan ventral medula, dan nukleus retrotrapesium. Perubahan pH di
dalam otak dan cairan serebrospinal di sekitarnya terutama disebabkan oleh
peningkatan atau penurunan kadar karbon dioksida. Karbon dioksida adalah molekul
lipid larut yang bebas berdifusi melintasi sawar darah-otak. Karakteristik ini terbukti
lebih berguna karena perubahan pH yang cepat dalam cairan serebrospinal
dimungkinkan. Kemoreseptor yang responsif terhadap perubahan pH terletak di
permukaan ventral medula. Saat area ini menjadi asam, input sensorik dihasilkan untuk
merangsang hiperventilasi, dan karbon dioksida di dalam tubuh dikurangi melalui
peningkatan ventilasi. Ketika pH naik ke tingkat yang lebih alkalosis, terjadi
hipoventilasi, dan kadar karbon dioksida menurun akibat penurunan ventilasi.

Pusat pernapasan yang terletak di dalam medula oblongata dan pons batang otak
bertanggung jawab untuk menghasilkan ritme pernapasan dasar. Namun, laju respirasi
dimodifikasi dengan memungkinkan masukan sensorik agregat dari sistem sensorik
perifer yang memantau oksigenasi, dan sistem sensorik pusat yang memantau pH, dan
secara tidak langsung, kadar karbon dioksida bersama dengan beberapa bagian lain dari
otak serebelum memodulasi sinyal saraf terpadu. Sinyal tersebut kemudian dikirim ke
otot-otot utama pernapasan, diafragma, interkostal eksternal, dan otot-otot skalenus
bersama dengan otot-otot kecil pernapasan lainnya.

3. Manifestasi Klinis gagal jantung

Tanda kongesti vena sitemik (gagal jantung kanan)

• Hepatomegali. Hati teraba kenyal dan tumpul Hepatomegali tidak selalu


dijumpai. Sebaliknya adanya hepatomegali tidak memastikan adanya gagal
jantung Pada kondisi paru yang hiperinflasi (asma, bronkiolitis) dapat

8
ditemukan hepatomegali Pada bayi dan anak, hepatomegali lebih sering
ditemukan dari pada ederna perifer maupun peningkatan tekanan vena jugularis
• Peningkatan tekanan vena leher (v .jugularis) Tidak ditemukan pada bayi
• Edema perifer : tidak ditemukan pada bayi
• Kelopak mata yang bengkak, biasanya dijumpai pada bayi

Seringkali tidak mudah menegakkan diagnosis gagal jantung pada bayi Untuk
memudahkan, Ross membuat sistem skoring sbb.

Tanda kongesti vena paru (gagal jantung kiri)

• Takipne
• Sesak nafas, terutama saat aktivitas Sesak nafas mengakibatkan kesulitan
makan, penurunan asupan kalori dan peningkatan matabolisme Dalam jangka
panjang akan mengakibatkan gagal tumbuh.
• Ortopne : sesak nafas yang mereda pada posisi tegak
• Mengi atau ronki. Pada bayi mengi lebih sering dijumpai dibanding ronki
• Batuk.

Tanda gangguan miokard

• Takikardia. Apapun penyebabnya, tanda yang pertama muncul pada gagal


jantung biasanya adalah takikardia. Laju jantung » 160 menit pada bayi dan
»100 pada anak (saat diam). Jika laju jantung »200 /menit perlu dicurigai
adanya takikardia supraventrikular
• Kardiomegali hampir selalu ditemukan pada pemeriksaan fisis atau foto
toraks.Foto torak lebih dapat dipercaya dalam mendiagnosis kardiomegali.
• Peningkatan tonus simpatis : berkeringat, gangguan pertumbuhan. Irama derap
(gallop).

4. Pendekatan diagnosis banding sesak nafas


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham yaitu minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.

Kriteria Mayor:
• Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)
• Distensi vena-vena leher
• Peningkatan tekanan vena jugularis
• Ronki basah basal
• Kardiomegali
• Edema paru akut

9
• Gallop (S3)
• Refluks hepatojugular positif

Kriteria Minor:
• Edema ekstremitas
• Batuk malam
• Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)
• Hepatomegali
• Efusi pleura
• Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari normal
• Takikardi >120 kali per menit

Diagnosis Banding
• Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paru berat
(ARDS), emboli paru
• Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
• Sirosis hepatik
• Diabetes ketoasidosis.

5. Penatalaksanaan sesak nafas akibat jantung

Penatalaksanaan

Manajemen Perawatan Mandiri

Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang


bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna untuk perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas, dan prognosis.

Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan
> 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).

• Ketaatan pasien berobat

10
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.

• Asupan cairan

Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan terutama
pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
(kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).

• Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk
mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C).

• Kehilangan berat badan tanpa rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka mortalitas. Jika
selama 6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat badan >6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status
nutrisi pasien harus dinilai dengan hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).

• Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau
di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).

• Aktvitas seksual

Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal


tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III, tingkatan bukti B).

TATA LAKSANA FARMAKOLOGI

11
Tujuan Tata Laksana Gagal Jantung

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas .Tindakan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian
penting dalam tata laksana penyakit jantung.Menyajikan strategi pengobatan
mengunakan obat dan alat pada pasien HFREF. Selain itu, penting untuk mendeteksi
dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non
kardiovaskular yang menyertai.

1. Modifikasi gaya hidup


a) Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter
(berat)
b) Berhenti merokok dan konsumsi alkohol

2. Aktivitas fisik

a) Pada kondisi akut berat: tirah baring


b) Pada kondisi sedang atau ringan:batasi beban kerja sampai 60% hingga 80%
dari denyut nadi maksimal (220/umur)

3. Penatalaksanaan farmakologi Pada gagal jantung akut:

a) Terapi oksigen 2-4 liter per menit


b) Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan pemberian furosemid
injeksi 20 s/d 40 mg bolus dapat diulang tiap jam sampai dosis maksimal
600 mg/hari.
c) Segera rujuk.

Pada gagal jantung kronik:

a) Diuretik: diutamakan loop diuretic (furosemid) bila perlu dapat


dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 jam tidak ada respon rujuk ke
layanan sekunder.
b) ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II receptor blocker (ARB) mulai
dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang efektif dalam
beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai dosis maksimal dan
target tidak tercapai segera dirujuk.
c) Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk menjaga denyut nadi
tidak terlalu cepat.

Konseling dan Edukasi


12
a. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit gagal jantung kronik
misalnya tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar lemak atau kadar gula
darah.
b. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-tanda kegawatan kardiovaskular
dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah pengobatan di rumah sakit.
c. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan.
d. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien beraktivitas dan
berinteraksi.
e. Melakukan konferensi keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor
pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta menyepakati
bersama peran keluarga pada masalah kesehatan pasien.

6. Komplikasi dan prognosis sesak nafas akibat jantung


• Syok kardiogenik
• Gangguan keseimbangan elektrolit.
• Gagal jantung dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti aritmia,
kejadian tromboemboli (KTE), komplikasi saluran cerna, dan pernapasan.

Prognosis

Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon pengobatan.

Gagal jantung di komunitas masih menunjukkan prognosis yang sangat buruk dan
menyebabkan kematian pada 60% pria dan 40% wanita dalam kurun waktu 5 tahun
sejak diagnosis Beragam faktor telah diketahui dapat meningkatkan mortalitas dan
berkaitan dengan prognosis buruk pada pasien dengan gagal jantung.

Morbiditas dan mortalitas pada semua jenis gagal jantung kronik simptomatis
sangat tinggi, dimana angka mortalitas 20-30% pada gagal jantung tingkat ringan dan
sedang dalam satu tahun, sedangkan pada gagal jantung tingkat berat angka mortalitas
mencapai 50% dalam satu tahun. Prognosis pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
Asimtomatis lebih baik dibandingkan dengan yang mempunyai gejala. Prognosis pada
pasien dengan gagal jantung kongestif tergantung tingkat keparahan, usia dan jenis
kelamin. Prognosis buruk pada pasien laki-laki. Faktor lain yang menentukan prognosis
termasuk klasifikasi NYHA, fraksi ejeksi ventrikel kiri dan status neurohormonal.

13
7. Kriteria Rujukan

14
Kriteria Rujukan

• Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas peayanan kesehatan


sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam
untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti ekokardiografi.
• Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam waktu
cepat harus segera dirujuk layanan sekunder atau layanan tertier terdekat untuk
dilakukan penanganan lebih lanjut.

Ada berbagai kemungkinan kondisi jantung yang dapat menyebabkan sesak napas atau
kesulitan bernapas. Ini termasuk:

• Penyakit arteri koroner Penyakit arteri koroner adalah penyakit yang


menyebabkan pembuluh darah yang memasok darah ke jantung menyempit dan
15
mengeras. Kondisi ini menyebabkan aliran darah ke jantung menurun yang dapat
merusak otot jantung secara permanen. Selain kesulitan bernapas, tanda dan
gejala penyakit jantung koroner juga termasuk: Nyeri dada (angina) Serangan
jantung .
• Penyakit jantung bawaan Penyakit jantung bawaan atau terkadang disebut cacat
jantung bawaan adalah kondisi yang mengacu pada masalah bawaan pada
struktur dan fungsi jantung. Masalah ini dapat menyebabkan: Kesulitan bernapas
Sesak napas Irama jantung yang tidak normal.
• Aritmia Aritmia adalah jenis detak jantung tidak teratur yang memengaruhi ritme
jantung atau detak jantung. Kondisi ini bisa menyebabkan jantung berdetak
terlalu cepat atau terlalu lambat. Orang dengan kondisi jantung yang sudah ada
sebelumnya berisiko lebih tinggi mengalami aritmia jantung.
• Gagal jantung kongestif Gagal jantung kongestif terjadi ketika otot jantung
menjadi lemah dan tidak dapat memompa darah secara efisien ke seluruh tubuh.

16
DAFTAR PUSTAKA

Chouihed, T., et al., (2018). Management of Suspected Acute Heart Failure Dyspneu
in the Emergency Department: Results from the French Prospective Multicenter
DeFSSICA Survey. Scandinavian Journal of Trauma, Resucitation and
Emergency Medicine. Diakses
dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5026775/pdf/13049_2016
_Article_300.pdf

Dube, B., Agostoni, P., Laveneziana, P., (2019). Exertional Dyspnoea in Chronic Heart
Failure: The Role of the Lung and Respiratory Mechanical
Factors. ERSpublication. Diakses
dari: https://err.ersjournals.com/content/errev/25/141/317.full.pdf

Kupper, N., et al., (2018). Determinants of Dyspnea in Chronic Heart Failure. Journal
of Cardiac Failure. Diakses dari: https://www.onlinejcf.com/article/S1071-
9164(15)01122-7/fulltext

Aritonang, Y., (2019). Gambaran Frekuensi Perbafasan pada Pasien Gagal Jantung
Fungsional Kelas II & III di Jakarta. Jurnal Ilmiah Widya. Diakses
dari: http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1460089.

Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2019. (Usatine, et al., 2019).

Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2019. (RE & Rakel, 2011).

Pratter MR, Curley FJ, Dubois J, Irwin RS: Cause and evaluation of chronic dyspnea
in a pulmonary disease clinic. Arch Intern Med 149 (10): 2277–2282, 2019.

Mahmood SS, Wang TJ. The epidemiology of congestive heart failure: Contributions
from the Framingham Heart Study. Glob Heart [Internet]. 2018;8(1):77–82. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.gheart.2018.12.006.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2020). Pedoman


Tatalaksana Gagal Jantung. PERKI.

Aaronson, P. I., & Ward, J. P. T. (2020). At A Glance Sistem Kardiovaskular. Edisi


kelima.

17
Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2019
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur
Heart J [Internet]. 2019 Jul 14;37(27):2129–200. Available from:
https://academic.oup.com/eurheartj/article-lookup/doi/10.1093/eurheartj/ehw128.

Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2019
ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure. J Am Coll Cardiol
[Internet]. 2019;62(16):e147–239. Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0735109713021141.

Kalogeropoulos AP, Georgiopoulou V V., Giamouzis G, Smith AL, Agha SA, Waheed
S, et al. Utility of the Seattle Heart Failure Model in Patients With Advanced Heart
Failure. J Am Coll Cardiol [Internet]. 2019 Jan;53(4):334–42. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0735109708036152.

Canepa M, Fonseca C, Chioncel O, Laroche C, Crespo-Leiro MG, Coats AJS, et al.


Performance of Prognostic Risk Scores in Chronic Heart Failure Patients Enrolled in
the European Society of Cardiology Heart Failure Long-Term Registry. JACC Hear
Fail [Internet]. 2018 Jun;6(6):452–62. Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S2213177918301239.

Watson RD, Gibbs CR, Lip GY. ABC of heart failure. Clinical features and
complications. BMJ [Internet]. 2000 Jan 22;320(7229):236–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10642237.

Manurung D. Tatalaksana gagal jantung akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2018. p. 1515.

Abraham WT, Fonarow GC, Albert NM, Stough WG, Gheorghiade M, Greenberg BH,
et al. Predictors of in-hospital mortality in patients hospitalized for heart failure.
Journal of the Amerian College of Cardiology. 2008. Available from
http://www.medscape.com/viewarticle/57695.

The Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology.
Guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure. Eur Hear J. 2019; 26:
384-416.
18
British Heart Foundation. (homepage on the Internet) London: The Heart Foundation;
c1995-2005 (Updated 2008 May 15; cited 2008 June 5). Prevalence of heart failure;
(about 4 screen) Available from: http://www.heartstats.org/datapage.asp?id=1125.

Gheorghiade M, Pang PS. Acute Heart Failure Syndromes. Journal of the. American
College of Cardiology (Cited 2019 Mei). Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/588863.

Klabunde RE. Electrical activity of the heart. In: Cardiovascular physiology concepts,
2nd ed. 2019:9-24

Prust MJ, Stevenson WG, Strichartz GR, Lilly LS. Mechanism of Cardiac Arrhytmias.
In: Lilli LS. Pathophysiology of Heart Disease, 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2018: 268-309

19
20

Anda mungkin juga menyukai