BLOK 12 GANGGUAN
SISTEM KARDIOVASKULAR
SKENARIO 3
OLEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2020/2021
SKENARIO 3
“Sesak Napas”
Pada pemeriksaan fisik ditemukan dyspnoe, kesadaran kompos mentis, gelisah dan
badan berkeringat dingin, tekanan darah 160/110 mmHg, nadi 110 kali/menit, JVP
(Jugular Venous Pressure) meningkat, asites (+) . Pada pemeriksaan Foto Thorak
terlihat tanda pembesaran jantung. Dokter menganjurkan agar Tn. Chandra dirawat di
Rumah Sakit.
1
Terminologi asing
1. Asites: Efusi dan akumulasi cairan serosa dirongga abdomen (Dorland ed. 29,
hal. 78) (Siti).
2. Compos mentis: Sadar sepenuhnya (Dorland hal. 175, ed. 29) (Ragil)
3. Kardiomegali: pembesaran jantung yang abnormal akibat hipertrofi dan dilatasi
(Dorland, ed. 32, hal. 343) (Nadia)
4. Dyspnea: pernafasan yang sukar (sesak) (Dorland ed.30, hal. 249) (Intan)
5. JVP (Jugular Venous Pressure): Pengukuran tidak langsung dari pengukuran
vena kava, desakan darah dalam vena tepat dengan serambi kanan untuk
mengetahui tekanan pada atrium kanan (Pemeriksaan Klinik Dasar 2020) (Siti).
2
Rumusan masalah
3
Hipotesis
4
SKEMA
Tn. Chandra 50 tahun
Puskesmas
ANAMNESIS :
Pemeriksaan Fisik :
DIAGNOSIS
BANDING:
DIAGNOSIS :
• Pneumonia
Gagal jantung kongestif • PPOK
• ARDS
• Emboli paru
• Gagal ginjal
PENATALAKSANAAN kronik dan
sindrom
Dokter menganjurkan agar Tn. nefrotik
Chandra dirawat dirumah • Sirosis hepatic
sakit
5
LEARNING OBJEKTIF
6
Pembahasan
Dispnea adalah gejala penyakit, bukan penyakit itu sendiri. Dengan demikian,
etiologinya dapat ditetapkan sebagai timbul dari empat kategori utama: pernapasan,
jantung, neuromuskular, psikogenik, penyakit sistemik, atau kombinasi dari semuanya.
Penyebab pernapasan mungkin termasuk asma, eksaserbasi akut atau gangguan paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, emboli paru, keganasan paru, pneumotoraks,
atau aspirasi. Penyebab kardiovaskular mungkin termasuk gagal jantung kongestif,
edema paru, sindrom koroner akut, tamponade perikardial, defek katup jantung,
hipertensi pulmonal, aritmia jantung, atau pirau intrakardiak.
Dispnea adalah sensasi kehabisan udara dan tidak mampu bernapas cukup cepat
atau cukup dalam. Ini hasil dari beberapa interaksi sinyal dan reseptor di SSP,
kemoreseptor reseptor perifer, dan mekanoreseptor di saluran napas bagian atas, paru-
paru, dan dinding dada.
Pusat pernapasan otak terdiri dari 3 pengelompokan neuron di otak: kelompok medula
dorsal dan ventral dan kelompok pontin. Pengelompokan pontine selanjutnya
diklasifikasikan menjadi pusat pneumotaksik dan apneustik. Medula dorsal
bertanggung jawab untuk inhalasi; medula ventral bertanggung jawab untuk
pernafasan; pengelompokan pontine bertanggung jawab untuk memodulasi intensitas
dan frekuensi sinyal meduler di mana kelompok pneumotaxic membatasi inhalasi dan
pusat apneustik memperpanjang dan mendorong inhalasi. Masing-masing kelompok ini
berkomunikasi satu sama lain untuk bekerja sama untuk potensi alat pacu jantung
respirasi.
Mekanoreseptor yang terletak di saluran udara, trakea, paru-paru, dan pembuluh paru
ada untuk memberikan informasi sensorik ke pusat pernapasan otak mengenai volume
ruang paru-paru. Ada 2 jenis utama sensor toraks: spindel regangan yang beradaptasi
lambat dan reseptor iritan yang beradaptasi cepat. Sensor spindel kerja lambat hanya
menyampaikan informasi volume. Namun, reseptor kerja cepat merespons baik volume
informasi paru-paru maupun pemicu iritasi kimia seperti zat asing berbahaya yang
7
mungkin ada. Kedua jenis sinyal mekanoreseptor melalui saraf kranial X (saraf vagus)
ke otak untuk meningkatkan laju pernapasan, volume pernapasan, atau untuk
merangsang pola pernapasan batuk yang salah akibat iritasi di saluran napas.
Kemoreseptor perifer terdiri dari karotis dan badan aorta. Kedua situs berfungsi
untuk memantau tekanan parsial oksigen arteri dalam darah. Namun, hiperkapnia dan
asidosis meningkatkan sensitivitas sensor ini, sehingga memainkan peran parsial dalam
fungsi reseptor. Badan karotis terletak di percabangan arteri karotis komunis, dan badan
aorta terletak di dalam lengkung aorta. Setelah dirangsang oleh hipoksia, mereka
mengirim sinyal melalui saraf kranial IX (saraf glossopharyngeal) ke nukleus traktus
solatarius di otak yang, pada gilirannya, merangsang neuron rangsang untuk
meningkatkan ventilasi. Diperkirakan bahwa badan karotis terdiri dari 15% dari total
kekuatan pendorong respirasi.
Pusat pernapasan yang terletak di dalam medula oblongata dan pons batang otak
bertanggung jawab untuk menghasilkan ritme pernapasan dasar. Namun, laju respirasi
dimodifikasi dengan memungkinkan masukan sensorik agregat dari sistem sensorik
perifer yang memantau oksigenasi, dan sistem sensorik pusat yang memantau pH, dan
secara tidak langsung, kadar karbon dioksida bersama dengan beberapa bagian lain dari
otak serebelum memodulasi sinyal saraf terpadu. Sinyal tersebut kemudian dikirim ke
otot-otot utama pernapasan, diafragma, interkostal eksternal, dan otot-otot skalenus
bersama dengan otot-otot kecil pernapasan lainnya.
8
ditemukan hepatomegali Pada bayi dan anak, hepatomegali lebih sering
ditemukan dari pada ederna perifer maupun peningkatan tekanan vena jugularis
• Peningkatan tekanan vena leher (v .jugularis) Tidak ditemukan pada bayi
• Edema perifer : tidak ditemukan pada bayi
• Kelopak mata yang bengkak, biasanya dijumpai pada bayi
Seringkali tidak mudah menegakkan diagnosis gagal jantung pada bayi Untuk
memudahkan, Ross membuat sistem skoring sbb.
• Takipne
• Sesak nafas, terutama saat aktivitas Sesak nafas mengakibatkan kesulitan
makan, penurunan asupan kalori dan peningkatan matabolisme Dalam jangka
panjang akan mengakibatkan gagal tumbuh.
• Ortopne : sesak nafas yang mereda pada posisi tegak
• Mengi atau ronki. Pada bayi mengi lebih sering dijumpai dibanding ronki
• Batuk.
Kriteria Mayor:
• Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)
• Distensi vena-vena leher
• Peningkatan tekanan vena jugularis
• Ronki basah basal
• Kardiomegali
• Edema paru akut
9
• Gallop (S3)
• Refluks hepatojugular positif
Kriteria Minor:
• Edema ekstremitas
• Batuk malam
• Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas)
• Hepatomegali
• Efusi pleura
• Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari normal
• Takikardi >120 kali per menit
Diagnosis Banding
• Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paru berat
(ARDS), emboli paru
• Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
• Sirosis hepatik
• Diabetes ketoasidosis.
Penatalaksanaan
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan
> 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
10
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
• Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan terutama
pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
(kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).
Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk
mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C).
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka mortalitas. Jika
selama 6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat badan >6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status
nutrisi pasien harus dinilai dengan hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
• Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau
di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
• Aktvitas seksual
11
Tujuan Tata Laksana Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas .Tindakan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian
penting dalam tata laksana penyakit jantung.Menyajikan strategi pengobatan
mengunakan obat dan alat pada pasien HFREF. Selain itu, penting untuk mendeteksi
dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non
kardiovaskular yang menyertai.
2. Aktivitas fisik
Prognosis
Gagal jantung di komunitas masih menunjukkan prognosis yang sangat buruk dan
menyebabkan kematian pada 60% pria dan 40% wanita dalam kurun waktu 5 tahun
sejak diagnosis Beragam faktor telah diketahui dapat meningkatkan mortalitas dan
berkaitan dengan prognosis buruk pada pasien dengan gagal jantung.
Morbiditas dan mortalitas pada semua jenis gagal jantung kronik simptomatis
sangat tinggi, dimana angka mortalitas 20-30% pada gagal jantung tingkat ringan dan
sedang dalam satu tahun, sedangkan pada gagal jantung tingkat berat angka mortalitas
mencapai 50% dalam satu tahun. Prognosis pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
Asimtomatis lebih baik dibandingkan dengan yang mempunyai gejala. Prognosis pada
pasien dengan gagal jantung kongestif tergantung tingkat keparahan, usia dan jenis
kelamin. Prognosis buruk pada pasien laki-laki. Faktor lain yang menentukan prognosis
termasuk klasifikasi NYHA, fraksi ejeksi ventrikel kiri dan status neurohormonal.
13
7. Kriteria Rujukan
14
Kriteria Rujukan
Ada berbagai kemungkinan kondisi jantung yang dapat menyebabkan sesak napas atau
kesulitan bernapas. Ini termasuk:
16
DAFTAR PUSTAKA
Chouihed, T., et al., (2018). Management of Suspected Acute Heart Failure Dyspneu
in the Emergency Department: Results from the French Prospective Multicenter
DeFSSICA Survey. Scandinavian Journal of Trauma, Resucitation and
Emergency Medicine. Diakses
dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5026775/pdf/13049_2016
_Article_300.pdf
Dube, B., Agostoni, P., Laveneziana, P., (2019). Exertional Dyspnoea in Chronic Heart
Failure: The Role of the Lung and Respiratory Mechanical
Factors. ERSpublication. Diakses
dari: https://err.ersjournals.com/content/errev/25/141/317.full.pdf
Kupper, N., et al., (2018). Determinants of Dyspnea in Chronic Heart Failure. Journal
of Cardiac Failure. Diakses dari: https://www.onlinejcf.com/article/S1071-
9164(15)01122-7/fulltext
Aritonang, Y., (2019). Gambaran Frekuensi Perbafasan pada Pasien Gagal Jantung
Fungsional Kelas II & III di Jakarta. Jurnal Ilmiah Widya. Diakses
dari: http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1460089.
Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2019. (Usatine, et al., 2019).
Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2019. (RE & Rakel, 2011).
Pratter MR, Curley FJ, Dubois J, Irwin RS: Cause and evaluation of chronic dyspnea
in a pulmonary disease clinic. Arch Intern Med 149 (10): 2277–2282, 2019.
Mahmood SS, Wang TJ. The epidemiology of congestive heart failure: Contributions
from the Framingham Heart Study. Glob Heart [Internet]. 2018;8(1):77–82. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.gheart.2018.12.006.
17
Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2019
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur
Heart J [Internet]. 2019 Jul 14;37(27):2129–200. Available from:
https://academic.oup.com/eurheartj/article-lookup/doi/10.1093/eurheartj/ehw128.
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2019
ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure. J Am Coll Cardiol
[Internet]. 2019;62(16):e147–239. Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0735109713021141.
Kalogeropoulos AP, Georgiopoulou V V., Giamouzis G, Smith AL, Agha SA, Waheed
S, et al. Utility of the Seattle Heart Failure Model in Patients With Advanced Heart
Failure. J Am Coll Cardiol [Internet]. 2019 Jan;53(4):334–42. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0735109708036152.
Watson RD, Gibbs CR, Lip GY. ABC of heart failure. Clinical features and
complications. BMJ [Internet]. 2000 Jan 22;320(7229):236–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10642237.
Manurung D. Tatalaksana gagal jantung akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2018. p. 1515.
Abraham WT, Fonarow GC, Albert NM, Stough WG, Gheorghiade M, Greenberg BH,
et al. Predictors of in-hospital mortality in patients hospitalized for heart failure.
Journal of the Amerian College of Cardiology. 2008. Available from
http://www.medscape.com/viewarticle/57695.
The Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology.
Guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure. Eur Hear J. 2019; 26:
384-416.
18
British Heart Foundation. (homepage on the Internet) London: The Heart Foundation;
c1995-2005 (Updated 2008 May 15; cited 2008 June 5). Prevalence of heart failure;
(about 4 screen) Available from: http://www.heartstats.org/datapage.asp?id=1125.
Gheorghiade M, Pang PS. Acute Heart Failure Syndromes. Journal of the. American
College of Cardiology (Cited 2019 Mei). Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/588863.
Klabunde RE. Electrical activity of the heart. In: Cardiovascular physiology concepts,
2nd ed. 2019:9-24
Prust MJ, Stevenson WG, Strichartz GR, Lilly LS. Mechanism of Cardiac Arrhytmias.
In: Lilli LS. Pathophysiology of Heart Disease, 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2018: 268-309
19
20