Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.SB
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 52 Tahun
Alamat : Jl. Pajaiyyang
Pekerjaan : PNS
Status : Sudah menikah
Tanggal Kunjungan : 4 Oktober 2018
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak nafas
Anamnesis terpimpin :
Sesak nafas sudah dirasakan sejak 2 tahun lalu, memberat 1 bulan terakhir. Sesak
nafas dirasakan terus menerus. Dyspnea D. Effort (+), Ortopneu (+). Sesak
disertai dengan keringat dingin. Pasien merasah gelisah. Demam (-), Mual (-),
Muntah (-).
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat pemasangan cincin pada tahun 2006
 Riwayat hipertensi ada
 Riwayat DM ada
 Riwayat merokok atau minum alkohol tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIS
1. Status Generalis
Keadaan umum:
Sakit sedang/Gizi kurang/Composmentis (GCS 15 E4M6V5)
BB: 58 kg, TB: 158 cm, IMT: 23.23 kg/m2
Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 MmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 36,50C
2. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+2 cmH2O, limfadenopati(-), pembesaran gondok (-)
3. Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris kesan
menurun
Perkusi :
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi pernapasan: bronchial,
Bunyi tambahan: rhonki +/+ wheezing +/+
4. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak
Palpasi : Apeks jantung tidak teraba
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea mid aksilaris sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II murni regular, bising tidak ada
5. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
6. Pemeriksaan Ekstremitas
Extremitas hangat
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorax 25 September
• Dilatasi suprahilar kedua paru
• Cor : membesar dengan CTI 0,62, pinggang jantung melurus, apex
terangkat (RVE), aorta nomal
• Tulang-tulang yang tervisualisasi intak
• Jaringan lunak sekitar baik
• Kesan : Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru

E. DIAGNOSIS
 CHF NYHA III e.c CAD
F. TERAPI (pasien konsumsi saaat ini)
• Furosemide 40 mg/24j/oral (1-0-0)
• Amlodipine 10 mg (0-0-1)
• Nitrocaf 2 x 1
• Clopidogrel 75 mg 1 x 1
• Novorapid 10-10-10
• Levemir 0-0-12
Diskusi
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis didapatkan pasien mengeluh sesak
terutama saat beraktivitas hal ini disebabkana karena adanya bendungan pada jantung.
Salah satu faktor resiko yang ada pasien yaitu miokard iscmeik/infark (telah
dipasangkan cincin), diamana hal ini menyebabkan kontraksi jantung berkurang
sehingga curah jantung pun menurun. Penurunan curah jantung mengakibatkan
volume darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang
adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu reflex hemostasis atau mekanisme
kompensasi berupa peningkatan tekana pengisian (filling pressure) dari jantung atau
preload. Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata – rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam
paru - paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda -
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi.
Pemberian obat nitrat pada pasien ini untuk melancarkan suplai darah ke jantung,
karena pada pasien terjadi iskemik pada jantung. Furosemide (loop diuretik)
penggunaan obat ini digunakan untuk menguras cairan didalam tubuh seperti kita
ketahui pasien CHF mengalami overload yang bisa mengakibatkan udem pada tubuh
sehingga dipilihlah obat ini.
Dokumentasi
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan
ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke
seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya
mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering
merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan
cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya
sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. (Mansjoer dan Triyanti, 2007)
Gagal jantung adalah sindrom klinik dengan abnormalitas dari struktur atau
fungsi jantung sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah ke jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

B. KLASIFIKASI
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional
dalam 4 kelas: (Mansjoer dan Triyanti, 2007)
kelas 1 Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tampa keluhan
kelas 2 Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari aktivitas sehari-
hari tanpa keluhan.
kelas 3 Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan.
kelas 4 Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas apapun dan harus
tirah baring.

C. ETIOLOGI
Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif (CHF)
dikelompokan berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
1. Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia
kronis/ berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung)
a. Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect
(ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.
d. Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal.
Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO:
Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume
Sekuncup (SV: Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah
yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling
pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut
jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi
pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan
kadar kalsium); (3) Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik pada
jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang akibat
penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan
tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini
akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan
menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama,
maka akan terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa
berfungsi dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama
(kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik.
Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan
dan timbul edema paru atau edema sistemik.
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial
atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral.
Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium,
frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan volume darah sentral
yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang
untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh.
Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu
terjadinya iskemia pada pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan
peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer.
Adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi
jika aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan
jaringan. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran
darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan
retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-aldosteron juga akan teraktivasi,
menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler perifer selanjutnya dan penigkatan
afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium dan cairan.
Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam
sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada
gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat peningkatan tekanan
atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek natriuretik dan
vasodilator.

E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda gagal ke belakang jantung kiri:
 Dispnea (sulit bernapas)
Merupakan keluhan yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja
pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurang kelenturan paru dan
peningkatan tahanan aliran udara. Dispnea saat beraktivitas (dyspneu d’effort)
menunjukan gejala awal dari gagal jantung kiri.
 Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu
d’effort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan
ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan
peningkatan tekanan kapiler pulmoner.
 Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari)
Merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan
gejala gagal jantung yang lain.
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3
jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau
wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial
menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea
dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami
batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.
 Ronki
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru merupakan ciri khas
dari gagal jantung kiri. Awalnya terdengar dibagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.
 Hemoptisis
Disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena.
 Disfagia (sulit menelan)
Disebabkan oleh distensi atrium kiri atau vena pulmonalis yang menyebabkan
kompresi esofagus dan disfagia.
Gejala dan tanda gagal ke belakang jantung kanan:
 Kongesti vena sistemik
Dapat diamati dengan peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), vena-vena leher
mengalami bendungan. Tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan
terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
 Hepatomegali (pembesaran hati)
Nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
 Keluhan gastrointestinal.
Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal
merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada
dinding usus dan/atau kongesti hepar.
 Edema perifer
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula tampak
pada bagian tubuh yang bergantung seperti palpebra pada pagi hari. Siangnya edema
akan tampak pada ekstremitas terutama tungkai akibat gravitasi.
 Nokturia (diuresis malam hari)
Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring.
 Asites dan edem anasarka
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema tubuh
generalisata.

F. PENATALAKSANAAN
1. Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada gagal jantung, suatu latihan rutin
ringan terbukti bermanfaat pada pasien gagal jantung dengan NYHA kelas I-III.
Pasien euvolemik sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti
jalan atau mengayuh sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa
penelitian mengenai latihan fisik memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya
gejala, meningkatkan kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas dan durasi
kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan restriksi intake kalori belum
diketahui secara jelas

2. Diet
Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien gagal jantung.

3. Diuretik
Kebanyakan dari manifestasi klinik gagal jantung sedang hingga berat diakibatkan
oleh retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik
adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada
gagal jantung berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga
status volume pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan
edema) atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis,
edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of Henle
(loop diuretics) dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan Cl – pada bagian
asendens pada loop of henle; thiazide dan metolazone mengurangi reabsorbsi Na+
dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus distal, dan diuretic hemat kalium seperti
spironolakton bekerja pada tingkat duktus koligens.

4. Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada gagal jantung akut sebagai first line theraphy, apabila
hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti dengan diuresis
sedikit, untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-load. Contoh
vasodilator Gliseril trinitrat 5-mononitrat, Isosorbid dinitrat, Nitropusid, dan
Nesitirid.

5. ACE Inhibitor (ACEI)


Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan
pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF (Ejection fraction) menurun.
ACE inhibitor mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi
enzyme yang berperan terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak
hanya itu, karena ACE inhibitor (ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga
dapat mengakibatkan peningkatan bradykinin, yang akan meningkatkan efek
bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI menstabilkan LV remodeling,
meringankan gejala, mengurangi kemungkinan opname, dan memperpanjang harapan
hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan efek ACEI, dianjurkan untuk
diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan tetapi, penting untuk
mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi
kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah,
diikuti dengan peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin
angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama
pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu
diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal
menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi
potassium yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu diturunkan.

6. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena
batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem
rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda.
ACEI memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I.
Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB
pada terapi ACEI pada pasien HF kronis.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah,
fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.
7. β-Adrenergic Receptor Blockers
Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic
yang berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor
adrenergik (α1, β1, and β2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir
tiga reseptor ini, kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh
reseptor β1. Jika diberikan bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat
proses LV remodeling, meringankan gejala pasien, mencegah opname, dan
memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta blocker diindikasikan pada pasien
HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun (<40%).
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari
penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah
permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker
dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu,
dosis beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1
receptor yang dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.

8. Antagonis Aldosteron
Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek
aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang
independent dari efek keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan
sekresi aldosteron secara transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron
akan kembali seperti sebelum terapi ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian
antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas III atau kelas IV
yang memiliki EF yang menurun (<35%).
Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan resiko
hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi
suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis
aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens
kreatinin <30>5.0 mmol/L.

9. Antikoagulan dan Antiplatelet


Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada
penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun.
Penurunan fungsi LV dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang
kardiak yang berdilatasi dengan peningkatan resiko pembentukan thrombus.
Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial
paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner, termasuk stroke
atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik kardiomyopati
simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan adanya thrombus
LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah MI, kecuali
terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.
Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk
menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81
mg) dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.

Daftar Pustaka
1. Ahlquist David A, Camilleri M. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th
edition. Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2008.
2. Simadibrata K, Daldiyono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo
(Editor), Balai Penerbit UI. Jakarta, 2006.
3. Naskah lengkap penyakit dalam. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam
2007.
4. Kabo Peter, Prof. Dr. PhD, MD. Bagaimana menggunakan obat-obat
kardiovaskular secara rasional. Balai penerbit FKUI. Jakarta, 2010

Anda mungkin juga menyukai