Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS III

DEMAM TYPHOID
GIZI KURANG

DISUSUN OLEH :
Nuri Anggraeny
17202211084

PEMBIMBING :
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “Veteran” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
2019
PENGESAHAN

Laporan Kasus diajukan oleh


Nama : Nuri Anggraeny
NRP : 1720221084
Program studi : Kedokteran Umum
Judul kasus : Demam Typhoid dan Gizi Kurang
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

Pembimbing

dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : 14 Februari 2019

2
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk
ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam
tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19
tahun.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa
demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi
lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari.
Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris
bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin
disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,
biasanya anak sering mengigau waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi
penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang
dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau
pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan
tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan
Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.

3
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 07 April 2010
Umur : 7 tahun 9 bulan
Alamat : Wonorejo 1/1 Pringapus/Ngemplak 8/1 Bawen
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa

Orang tua / Wali


Ayah: Ibu :
Nama : Tn. Y Nama : Ny. X
Umur : 31 tahun Umur : 28 tahun
Alamat: Wonorejo 1/1 Alamat: Wonorejo 1/1
Pringapus/Ngemplak 8/1 Bawen Pringapus/Ngemplak 8/1 Bawen
Pekerjaan : Buruh bangunan Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SD Pendidikan : SMP
Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam

2.2. RIWAYAT PENYAKIT


A. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu kandung pasien pada tanggal
04 Februari 2019 pukul 15.00 WIB di bangsal anggrek.

Keluhan Utama:
Demam naik turun 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan:
Muntah, pusing, bak seperti teh

4
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang diantar orang tuanya dengan keluhan demam sejak 1 minggu
yang lalu. Demam timbul perlahan, demam meningkat pada sore hingga malam hari
dan menurun saat pagi. Demam tidak disertai menggigil. Keluhan ini disertai
dengan muntah >3x/hari. Pasien juga mengeluh pusing seperti berputar-putar,
lemas dan nafsu makan menurun.
2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan BAK seperti teh,
pasien menyangkal minum obat-obatan tertentu. BAB tidak ada keluhan, nyeri
perut di sangkal, dan keringat dingin disangkal. Keluhan ini tidak disertai dengan
batuk, pilek, mimisan, gusi berdarah.
1 hari sebelum masuk rumah sakit dan saat di IGD pasien mengaku kaki
kanan nya terasa kaku, kaku baru dirasakan pertama kali, karena kaku pasien jadi
tidak bisa berjalan dan kaki tidak bisa ditekuk. Menurut ibu pasien 2 hari yang lalu
pasien jatuh dari sepeda namun kepala tidak terbentur.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah memiliki keluhan seperti ini sebelumnya, tidak ada riwayat
kejang, tidak ada riwayat kaku, tidak ada riwayat asma, tidak ada riwayat penyakit
jantung, riwayat batuk lama dengan pengobatan selama 6 bulan disangkal, riwayat
alergi makanan dan obat di sangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien sudah ke Puskesmas dan mendapat obat paracetamol, namun demam
tidak ada perbaikan.

B. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN


Morbiditas kehamilan Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), anemia
(-), penyakit jantung (-), penyakit paru (-),
KEHAMILAN infeksi pada kehamilan (-), asma (-).
Perawatan antenatal Kontrol rutin 1 kali sebulan ke bidan selama
hamil, imunisasi TT (+) 1 kali, USG (-)
Tempat persalinan Klinik bidan
KELAHIRAN
Penolong persalinan Bidan

5
Spontan pervaginam
Cara persalinan

Masa gestasi 28 minggu (tidak cukup bulan)


Berat lahir : 900 gram
Panjang lahir : tidak tahu
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis (-)
Merah (+)
Keadaan bayi
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
Nilai APGAR : tidak dapat data

Kesimpulan riwayat kehamilan/kelahiran: Pasien lahir spontan pervaginam,


neonatus tidak cukup bulan dengan BBLASR (Berat badan lahir amat sangat
rendah).

C. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Umur Motorik kasar Motorik Halus Bahasa Sosial

1 bulan Lengan bergerak aktif Mengeluarkan suara Menatap ibu


Kaki bergerak aktif Tersenyum
2-3 bulan Tengkurap - Mulai tertawa
Mengamati tangannya
4-6 bulan Tengkurap Memegang benda Bersuara meniru Mampu berinteraksi dengan
Merangkak disekitarnya bunyi lingkungan seperti menoleh
ke arah suara
7-9 bulan Duduk sendiri Mampu Bersuara tanpa arti Dapat mengenali orang tua
Belajar berdiri dengan memindahkan benda Mengucapkan ma... Senang bermain sendiri
kedua kakinya sendiri dari 1 tangan ke da....
(+) tangan lain
Memegang biscuit
1 th Berjalan Menunjuk gambar di Mengucapkan 10 Menangis bila terpisah dari
Menaiki tangga (+) buku kata berbeda orang tua
Belajar berdiri dengan Menyusun balok
kedua kakinya sendiri
(+)

6
2 th Berjalan (+) Menggambar Menyusun kalimat Menirukan sikap atau kata-
Berlari (+) Melempar benda dari 2 kata kata
Menuruni tangga dengan tepat sasaran
dibantu (+)
3 th Naik sepeda roda tiga Mengancing baju Bicara lebih jelas Bisa bermain berkelompok
(+) Menangkap bola Dapat bicara dengan Mengenali nama diri sendiri
Berlari (+) kalimat lengkap
4 th Melompat dengan satu Menyisir rambut Dapat bercerita Berkhayal
kaki (+) sendiri Kalimat yang Meniru peran orang dewasa
Menyikat gigi terstruktur
5 th Memakai baju sendiri Dapat berhitung Senang bermain
sampai 10 berkelompok
Bertanya arti suatu
kata
6 – 12 th Berlari (+) Mengikat tali sepatu Mengerti abstrak Berolahraga
Menaiki sepeda Menulis Memakai logika Mengerti peraturan
Kontrol motoric yang permainan
baik (+)

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Sesuai dengan usia


nya.

D. RIWAYAT MAKANAN
Bubur
Umur SI / PASI Buah / Biskuit Nasi tim
susu

0 – 6 bulan √ Susu Formula - - -

√ Susu formula √½
√Buah pisang
6 – 12 bulan sehari 2-3botol mangkuk -
dan pepaya
ukuran kecil bayi
√Biskuit, buah
√ Susu formula √Nasi lembek
pisang, pepaya,
>1 tahun sehari 3-4 botol - dengan lauk menu
jeruk,
ukuran sedang keluarga
semangka

7
Sayur (-), jus,
Nasi putih, tempe,
Saat ini air putih,
- tahu, ikan dengan
7 tahun pepaya,
frekuens 1-2x/hari
semangka

E. RIWAYAT IMUNISASI
Imunisasi Umur
HBO 0 hari
BCG, Polio 1 1 bulan
DPT/HB1, Polio 2 2 bulan
DPT/HB2, Polio 3 3 bulan
DPT/HB3, Polio 4 4 bulan
Campak 11 bulan
Kesan: Riwayat imunisasi lengkap

F. RIWAYAT KELUARGA
a. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. Y Ny. X
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 31 tahun 28 tahun
Pendidikan terakhir SD SMP
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat

b. Riwayat Penyakit Keluarga


Anggota keluarga yang lain tidak ada yang memiliki keluhan yang sama
dengan pasien. Tidak ada riwayat diabetes melitus, penyakit jantung.

8
c. Genogram

: An. D

G. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah dan ibu dan di rumah milik sendiri. Rumah
memiliki ventilasi yang cukup, jendela dibuka tiap pagi agar udara dan sinar
matahari dapat masuk ke dalam rumah. Daerah tempat tinggal adalah perumahan
padat penduduk, dengan lingkungan sekitar rumah cukup ramai, dan jarak antara
satu rumah dan rumah lain berdempetan. Sumber air bersih air sumur yang dialirkan
dengan pompa untuk keperluan sehari-hari, dan sumber air minum dimasak sendiri.

H. RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI


Ayah pasien bekerja sebagai buruh bangunan serabutan. Sedangkan ibu pasien
merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari terkadang tidak cukup. Sehari-hari pasien diasuh oleh ibunya.
Pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Ayah pasien seorang perokok
aktif.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 04/02/2019 pukul 16.00 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan Gizi : Baik
Keadaan lain : Anemis (-/-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 18 kg

9
Status Gizi

BB saat ini / BB ideal = 18 / 23 = 78,2%


Interpretasi :
 BB saat ini / BB ideal < 70% = Gizi buruk
 BB saat ini / BB ideal 70% - 90% = Gizi kurang
 BB saat ini / BB ideal 90% - 110% = Gizi baik
 BB saat ini / BB ideal 110% - 120% = Gizi lebih
 BB saat ini / BB ideal >120% = Obesitas
Kesan : Gizi kurang
Tanda Vital
Suhu : 39 ºC
Nadi : 131 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Pernapasan : 39 x/menit

10
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Saturasi O2 : 99%
Kepala : Normocephal, ubun-ubun sudah menutup
Rambut : Hitam, ikal, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Edema (-). Tidak pucat, tidak kuning
Mata :Tampak simetris, tidak terdapat perdarahan subkonjungtiva,
Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, palpebra cekung
-/-, pupil bulat isokor Ø 3 mm, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, air mata +/+
Telinga : Sekret -/-, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada tanda-
tanda peradangan.
Hidung : Nafas cuping hidung -/-, sekret -/-
Mulut : Lidah tampak kotor, tremor (-), Mukosa bibir tidak
kering, bibir tidak sianotik, stomatitis tidak ada.
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), T1-T1
Leher : KGB tidak teraba membesar, Kaku kuduk (-)
Thoraks : Bentuk normal, pergerakan napas simetris kanan dan kiri
saat statis dan dinamis.
Paru :
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri dan
dinamis, tidak ada retraksi iga, tidak ada otot bantu napas tambahan.
 Palpasi : Iktus cordis kuat angkat.
 Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi dan tidak ada
wheezing.

Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
- Palpasi :lIctus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung
- Auskultasi : Bunyi jantung reguler

11
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
Palpasi : Supel, tidak ada pembesaran hepar dan lien, turgor baik,
nyeri tekan epigastrium (+)
Anus : eritema natum(-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-),
Kulit : Ptekie (-), purpura (-), lesi (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin 05/2/2019
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI

Hemoglobin 11,0 g/dl 10,8-15,6 g/dl


Leukosit 4,9 ribu 4.5-13.5 ribu
Eritrosit 4,63 jt 3,8-5,8 juta
Hematokrit 33,8% (L) 35-47 %
Trombosit 111 ribu (L) 150-400 ribu
MCV 73,1 (L) 82-88 Fl
MCH 23,6 pg (L) 27-32 pg
MCHC 32,6 g/dl 32-37 g/dl
RDW 15,7 % 10-16
MPV 12,0 % 7-11
LIMFOSIT 1.28 (L) 1,5-6,5
MONOSIT 0,85 (H) 0-0,8
EOSINOFIL 0.01 0.00-0.6 103/mikro
BASOFIL 0,02 0-0,2
NEUTROFIL 2,77 1,8-8,0
LIMFOSIT% 26,0% 25-40
MONOSIT% 17,2 (H) 2-8
EOSINOFIL% 0,1% (L) 2-4
BASOFIL% 0,4% 0-1
NEUTROFIL% 56,3% 50-70

b. Rongten thorax

12
Kesan :
 Pulmo tak tampak infiltrate
 Bentuk dan letak jantung normal
c. Kimia klinik
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal
Glukosa sewaktu 14,8 10-18%
Na+ K+ Cl-
Natrium 129 (L) 136-146 mmol/L
Kalium 4,2 3,5-5,1 mmol/dL
Chloride 96 (L) 98-106 mmol/L
Serologi
Anti Salmonella IgM 6 ≤ negatif
3 : borderline
4-5 : positif lemah
≥6 : positif kuat
Anti Dengue IgM Negatif Negatif
Anti Dengue IgG Negatif Negatif

d. Urin Lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Warna Kuning
Kekeruhan Jernih
Protein urin ±0,15 - (gr/dL)
Glukosa urin - - (mmol/L)

13
Ph 5,5 5-9
Bilirubin urin - - (umol/L)
Urobilinogen 1 +2 - (umol/L)
Berat jenis urin 1020 1000-1030
Keton urin ±5 - (mmol/L)
Leukosit - - (sel/ml)
Eritrosit - - (sel/ml)
Nitrit - -
Sedimen
Eritrosit 96,8 (H) <8,7 uL
Leukosit 38,3 (H) <7,4 uL
Epitel 26,6 (H) <12,9 uL
Slinder 5,30 (H) <0,47 uL
Bakteri 11,4 <0,93 uL
Kristal 0,1 (H) -
Yeast 0,0 Negatif
Epitel tubulus 25,2 -
Slinder patologis 1,80 -
Mucus 7,96 -

IV. RESUME
Anak laki-laki berusia 7 tahun 9 bulan datang dengan keluhan demam sejak
1 minggu yang lalu. Demam timbul perlahan, demam meningkat pada sore hingga
malam hari dan menurun saat pagi. Demam tidak disertai menggigil. Keluhan ini
disertai dengan muntah >3x/hari. Pasien juga mengeluh pusing seperti berputar-
putar, lemas dan nafsu makan menurun.
2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan BAK seperti teh,
pasien menyangkal minum obat-obatan tertentu. BAB tidak ada keluhan, nyeri
perut di sangkal, dan keringat dingin disangkal. Keluhan ini tidak disertai dengan
batuk, pilek, mimisan, gusi berdarah.
1 hari sebelum masuk rumah sakit dan saat di IGD pasien mengaku kaki
kanan nya terasa kaku, kaku baru dirasakan pertama kali, karena kaku pasien jadi

14
tidak bisa berjalan dan kaki tidak bisa ditekuk. Menurut ibu pasien 2 hari yang lalu
pasien jatuh dari sepeda namun kepala tidak terbentur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil :


 Berat Badan sekarang : 18 kg
Status gizi : Gizi kurang
 TD : 90/60 (percentile <95) normal
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lidah kotor, nyeri epigastrium, dan
suhu 39 C. Dan pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan penurunan
trombosit, penurunan hematocrit, MCV menurun, MCH menurun, dan peningkatan
monosit. Pada pemeriksaan elektolit didapatkan hiponatremi dan hipoklorida. Pada
pemeriksaan serologi didapatkan anti IgM Salmonella 6 artinya positif kuat.
Pada pemeriksaan laboratorium urine rutin ditemukan :
Protein ±0,15, Urobilinogen 1 +2, Keton urin ±5, eritrosit 96,2, leukosit 38,3, epitel
26,6 ,dan silinder 5,30.

V. DIAGNOSIS KERJA
 Demam thypoid
 Hiponatremia
 Observasi proteinuria, hematuria mikroskopik, dan infeksi saluran kemih
 Gizi Kurang

V. PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologi
- Infus KAEN 3B 16 tpm diganti asering 16 tpm pada hari ke-2
- Recovit syr 1x5 ml
- Paracetamol 250 mg/4-6 jam
- Mecobalamin 2x250 mg mulai pada hari ke-2
- Inj ceftriakson 1x1 gr
Terapi Non Farmakologi
- Bed Rest
- Diit TKTP 3x lunak

15
o Kalori 1400 kal/hari
o Protein 36 gr/hari
o Lemak 31 gr/hari
Kebutuhan lemak = (20% x Total Energi Harian) : 9 = x gram
- Observasi urin

VI. PROGNOSIS
- Qua ad vitam : dubia ad bonam
- Qua ad functionam : dubia ad bonam
- Qua ad sanationam : dubia ad bonam

VII. Follow up
Tanggal Catatan Integrasi Instruksi
04/2/19 S: P:
Pukul Demam (+), muntah >3x/hari, pusing - Infus KAEN 3B 16
16.00 seperti berputar-putar, lemas, nafsu makan tpm
menurun, BAK seperti teh.. - Recovit syr 1x5 ml
O : KU: Tampak sakit sedang - Paracetamol 250
Kes: compos mentis mg/4-6 jam
TTV: - Inj ceftriakson 1x1
 N: 131x/menit gr
 TD 90/60 mmHg - Cek DR, Urin,
 RR: 39x/menit elektrolit, serologi,

 T: 39oC foto thorax

 BB 18 kg
Pemeriksaan Fisik
Mulut : lidah kotor
Abdomen : nyeri epigastrium,
A: observasi demam

16
05/2/19 S: P:
Pukul Demam (+), muntah >1x/hari, pusing - Infus KAEN 3B 16
6.00 seperti berputar-putar, lemas, nafsu makan tpm diganti
menurun, BAK seperti teh (-).. asering 16 tpm
O : KU: Tampak sakit sedang pada hari ke-2
Kes: compos mentis - Recovit syr 1x5 ml
TTV: - Paracetamol 250
 N: 110x/menit mg/4-6 jam
 TD 90/60 mmHg - Mecobalamin
 RR: 36x/menit 2x250 mg mulai

 T: 38,5oC pada hari ke-2

 BB 18 kg - Inj ceftriakson 1x1

Pemeriksaan Fisik gr

Mulut : lidah kotor - Diit lunak 3x

Abdomen : nyeri epigastrium


A: demam typhoid + hiponatremi +
hiperklorida + observasi proteinuria
dan hematuria mikroskopis + gizi
kurang
06/2/19 S: P:
Pukul Demam (+), muntah (-), pusing - Infus asering 16 tpm
6.00 bekurang, lemas, nafsu makan menurun, - Recovit syr 1x5 ml
BAK seperti teh (-). - Paracetamol 250 mg/4-6
O : KU: Tampak sakit sedang jam
Kes: compos mentis - Mecobalamin 2x250 mg
TTV: - Inj ceftriakson 1x1 gr
 N: 98x/menit
 TD 90/60 mmHg
 RR: 36x/menit
 T: 37,8oC
 BB 18 kg

17
Pemeriksaan Fisik
Mulut : lidah kotor
Abdomen : nyeri epigastrium
Ekstremitas : kaku (+), sulit digerakkan
(+) pada ektremitas inferior dextra, CTEV
(+),
A: demam typhoid + hiponatremi +
hiperklorida + observasi proteinuria
dan hematuria mikroskopis + gizi
kurang
07//2/19 S: P:
Pukul Demam (-), muntah (-), pusing(-), lemas, - Terapi Lanjut
06.00 nafsu makan menurun, BAK seperti teh (-
).
O : KU: Tampak sakit sedang
Kes: compos mentis
TTV:
 N: 96x/menit
 TD 90/60 mmHg
 RR: 34x/menit
 T: 36,8oC
 BB 18 kg
Pemeriksaan Fisik
Mulut : lidah kotor
Abdomen : nyeri epigastrium
Ekstremitas : kaku (+), sulit digerakkan
(+) pada ektremitas inferior dextra, CTEV
(+),
A: demam typhoid + hiponatremi +
hiperklorida + observasi proteinuria
dan hematuria mikroskopis + gizi
kurang

18
08/2/19 S: P:
Pukul Demam (-), muntah (-), pusing(-), lemas, - Terapi Lanjut
6.15 nafsu makan menurun, BAK seperti teh (-
).
O : KU: Tampak sakit sedang
Kes: compos mentis
TTV:
 N: 92x/menit
 TD 90/60 mmHg
 RR: 35x/menit
 T: 36,3oC
 BB 18 kg
Pemeriksaan Fisik
Mulut : lidah kotor <<
Abdomen : nyeri epigastrium (-)
Ekstremitas : kaku (-), bisa digerakkan
(+) pada ektremitas inferior dextra, CTEV
(+),
A: demam typhoid + hiponatremi +
hiperklorida + observasi proteinuria
dan hematuria mikroskopis + gizi
kurang
09/2/19 S: P:
06.00 Demam (-), muntah (-), pusing(-), lemas, - Terapi Lanjut
nafsu makan menurun, BAK seperti teh (-
).
O : KU: Tampak sakit sedang
Kes: compos mentis
TTV:
 N: 93x/menit
 TD 90/60 mmHg

19
 RR: 35x/menit
 T: 36,3oC
 BB 18 kg
Pemeriksaan Fisik
Mulut : lidah kotor <<
Abdomen : nyeri epigastrium (-)
A: demam typhoid + hiponatremi +
hiperklorida + observasi proteinuria
dan hematuria mikroskopis + gizi
kurang

Pasien diizinkan pulang tgl 09/2/2019 dengan keadaan membaik dan obat
yang dibawa pulang:
 Multivitamin 1x5 ml
 Mecobalamin 2x250mg

20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid
adalah penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang
terkontaminasi, ditandai dengan bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh
patogen dan multifikasinya dalam sel-sel fagosit mononuklear pada hati, limpa,
kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum (Sudoyo, dkk. 2006).

B. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun.Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada
91% kasus.

C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram
negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat
bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk
beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering
maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1
minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
(temp 63°C).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau

21
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya.

D. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus
mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus
sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak
yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam
peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

22
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam
hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi
sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

23
Bagan 2.1 Patogenesis Demam Tifoid
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7
– 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Walupun
gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran

24
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare/konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid (kotor dan tremor), pembesaran hati dan limpa, perut
kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,
dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat
ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman
yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di
daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 –
5mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung

25
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali
pada kahir minggu ketiga
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal, bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan
rata-rata antara 10–40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal

26
tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi
dan imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam
pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-
4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis. Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih
jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
 Anemia pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe atau perdarahan usus. Biasanya normositik
normokromik.
 Peningkatan laju endap darah,
 Leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah, namun jarang <3000/ul
 Trombositopeni , terutama pada tifoid yang berat
 Gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya.
 SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.

27
 Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas
normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman
S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Pembentukan
agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu;
1) Aglutinin O (dari tubuh kuman) Titer O yang tinggi aatu kenaikan
titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu
pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang


digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang
setelah penderita sembuh dari sakit. Antigen Vi biasanya tidak dipakai
untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1) Pengobatan dini dengan antibiotik

28
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi
bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense
antigen.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:


 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demamkasih antibiotikanggak
sembuh dalam 5 harites Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa
menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Ada 4 interpretasi hasil :

29
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa

30
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-humanimmobilized sebagai reagen kontrol.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau
di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah pada
1-2 minggu dari perjalanan penyakit, sumsum tulang masih positif
sampai minggu ke-4, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine
dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume
darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama
(10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan
urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan
hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.

31
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
G. Panatalaksanaan
1. Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama (drug of
choice) untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang
diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari intravena.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan

32
diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
 Cotrimoxazole, dengan dosis 6 mg/KgBB/hari oral selama 10 hari.
Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone dengan dosis 80 mg/kg/hari IV sekali
sehari , dalam 5 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral
dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis
selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

33
2. Non medikamentosa
a. Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.
Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan

34
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

H. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Angka kematian pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4
%. Sehingga rata-ratanya adalah 5,7%.
I. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi :
 Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
 Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis,
hepatitis.

35
J. Pencegahan

 Higiene peorangan dan lingkungan


 Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien
demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke
daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun
atau lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval
selang sehari (hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini
belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis
yang bepergian ke daerah endemic.

36
BAB III
KESIMPULAN

Anak perempuan berusia 7 tahun 9 bulan Anak perempuan berusia 7 tahun


9 bulan datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam timbul
perlahan, demam meningkat pada sore hingga malam hari dan menurun saat pagi.
Demam tidak disertai menggigil. Keluhan ini disertai dengan muntah >3x/hari.
Pasien juga mengeluh pusing seperti berputar-putar, lemas dan nafsu makan
menurun. 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan BAK seperti teh,
pasien menyangkal minum obat-obatan tertentu. BAB tidak ada keluhan, nyeri
perut di sangkal, dan keringat dingin disangkal. Keluhan ini tidak disertai dengan
batuk, pilek, mimisan, gusi berdarah. 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan saat di
IGD pasien mengaku kaki kanan nya terasa kaku, kaku baru dirasakan pertama kali,
karena kaku pasien jadi tidak bisa berjalan dan kaki tidak bisa ditekuk. Menurut ibu
pasien 2 hari yang lalu pasien jatuh dari sepeda namun kepala tidak terbentur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil :
 Berat Badan sekarang : 18 kg
 Status gizi : Gizi kurang
 TD : 90/60 (percentile <95) normal
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lidah kotor, nyeri epigastrium dan
suhu 39 C. Dan pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan penurunan
trombosit, penurunan hematocrit, MCV menurun, MCH menurun, dan peningkatan
monosit. Pada pemeriksaan elektolit didapatkan hiponatremi dan hipoklorida. Pada
pemeriksaan serologi didapatkan anti IgM Salmonella 6 artinya positif kuat. Pada
pemeriksaan laboratorium urine rutin ditemukan :
Protein ±0,15, Urobilinogen 1 +2, Keton urin ±5, eritrosit 96,2, leukosit 38,3, epitel
26,6 ,dan silinder 5,30.

Diagnosis kerja:
 Demam thypoid
 Hiponatremia

37
 Observasi proteinuria, hematuria mikroskopik, dan infeksi saluran kemih
 Impact gigi
 Gizi Kurang
Terapi nya:
Terapi Farmakologi
- Infus KAEN 3B 16 tpm diganti asering 16 tpm pada hari ke-2
- Recovit syr 1x5 ml
- Paracetamol 250 mg/4-6 jam
- Mecobalamin 2x250 mg mulai pada hari ke-2
- Inj ceftriakson 1x1 gr
Terapi Non Farmakologi
- Bed Rest
- Diit TKTP 3x lunak
o Kalori 1400 kal/hari
o Protein 36 gr/hari
o Lemak 31 gr/hari
- Observasi urin

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam


Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
2. Antonius dkk, 2009. Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta hlm : 47
3. Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Hlm: 78-87
4. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hlm: 29
5. Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang.
Jakarta: Airlangga University Press. Hlm: 66
6. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:hlm. 1-43.
7. Prasetyo,Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
8. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000. Hlm. 80
9. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
10. Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI, hlm: 48

39

Anda mungkin juga menyukai